Saya jawab dalam satu postingan saja untuk mengirit waktu dan tempat.
KELANA:
Benar bahwa “logis” dan “tidak logis” adalah bergantung dari masing-masing individu, tapi jangan kita kesampingkan bahwa seseorang bisa belajar, belajar untuk berpikir logis. Bukan sekedar logis standar, tetapi logis yang luas. Dengan mengetahui lebih banyak hal, seseorang akan memahami banyak hal dan semuanya bisa logis. Saya tidak memaksakan seseorang bisa menerima pelogisan yang telah saya sampaikan berdasarkan indikasi-indikasi logis, tetapi mengajak kita semua berpikir logis seluas-luasnya.
TAN:
Nah, berarti Anda mengakui bahwa “logis” dan “tidak logis” bergantung pada masing-masing individu. Baik sekarang kita telaah apa yang Anda maksud dengan “logis yang luas.” Saya melihat bahwa “logis yang luas” itu adalah juga didasari oleh kriteria Anda sendiri. Anda melihat bahwa orang yang “tidak menerima logika” Anda sebagai orang yang “logika standar” atau “sempit.” Ini jelas sangat subyektif. Mari kita ambil contoh kasus adanya hantu. Anda mengatakan bahwa orang yang tidak percaya pada hantu telah menggunakan logika “sempit.” Ini jelas sangat subyektif, karena keberadaan hantu masih belum dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, keberadaan hantu yang Anda yakini itu hanya sekedar “keyakinan” (belief). Di sini suatu “keyakinan” adalah di luar logika. Karena itu sangat tidak tepat apabila Anda menyatakan bahwa orang yang tidak meyakini adanya hantu adalah orang yang menerapkan logika sempit. Meskipun hingga saat ini, masih banyak hal yang belum dapat diungkapkan oleh sains, namun argumenitu tetap saja itu tidak membuktikan bahwa hantu ada.
Agar sesuatu dapat disebut “logis” maka harus ada bukti keberadaannya dahulu yang dapat diukur secara fisis. Mari kita ambil foton sebagai contoh. Foton memang tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi kita dapat “mengukur” keberadaannya (dalam wujud momentum, energi, dan lain sebagainya) di laboratorium. Jadi foton dapat diterapkan kaidah-kaidah logika.
Bagaimana dengan hantu? Hantu belum dapat dibuktikan keberadaannya secara fisis (hanya dari cerita orang-orang dan kitab suci saja, belum dapat membuktikan keberadaannya). Oleh karena itu, tidak tepat menerapkan logika pada dunia-dunia “non materi” (seperti istilah Anda) yang belum dapat dibuktikan “keberadaannya.” Sehingga jelas sekali, Anda tidak dapat mengatakan bahwa orang yang tidak “percaya” apa yang Anda “percayai” sebagai sempit logikanya. Malahan orang lain dapat menganggap Anda berpikir “irasional.” Semoga penjelasan saya di atas dapat dipahami.
KELANA:
Ya, saya mengatakan bahwa anda menggunakan logika standar, logika sains, logika sempit, dimana seseorang hanya membandingkan, menganalisa berdasarkan tolak ukur sains yang hanya menggunakan materi disekelilingnya sebagai alat pembanding, itu berarti orang itu menggunakan logika sempit. Anda berusaha menyangkal keberadaan hantu dengan hanya menggunakan alat materi untuk mengamati, anda tidak memasukan adanya indikasi keberadaan alat non materi sebagai alat pengamatan anda dalam perbandingan yang anda lakukan. Dengan alasan inilah saya mengatakan bahwa anda menggunakan logika standar, logika sains, logika sempit, dan anda sendiri secara tidak sadar menyatakan diri anda menggunakan logika sains dengan mengatakan “tidak saintifik”.
TAN:
Tetapi yang Anda katakan itu hanya “belief” Anda sendiri. Perlu Anda ketahui “belief” itu sifatnya subyektif. Gampangnya begini, penganut agama K. dapat menganggap logika anda juga “sempit,” karena Anda tidak percaya Tuhan mereka. Jelas dalam hal ini, logika tidak dapat bermain, oleh karena itu menyebut logika sains sebagai sempit sangat tidak tepat. Ibaratnya ada anak kecil, yang sangat percaya keberadaan Superman atau Batman, dan waktu ada orang dewasa yang tidak percaya keberadaan superhero itu mereka menyebut si orang dewasa itu sebagai berlogika sempit. Sekarang silakan Anda sebutkan, apakah Anda sudah menemukan alat non materi itu. Ini adalah tugas Anda untuk menemukannya, bukan saya. Karena dari diskusi ini saya mengambil posisi sebagai “orang yang hanya menerima pembuktikan sains.” Jadi itu adalah tugas Anda. Sains hanya membatasi diri pada sesuatu yang dapat diukur dan diamati, serta tidak mengulas sesuatu yang hanya berupa “belief” (dari kata orang atau kitab suci). Dapatkah Anda membedakannya?
***
KELANA:
Silahkan saja anda mengatakan saya menggunakan logika sempit, tapi anda tidak memiliki alasan yang tepat untuk itu. Dan “bara” prasangka buruk yang ada dalam pikiran anda yang sudah ada di awal posting anda, membuat pikiran anda tidak jernih. Semua yang mengkritisi hal-hal mengenai Mahayana, anda anggap sebagai hal yang patut diredam, dimatikan, dan anda beranggapan hanya anda-lah (Mahayanis) yang berhak mengkritisi hal-hal mengenai Mahayana sehingga anda dengan ringannya mengkritis para bhiksu yang tidak mempelajari Agama Sutra.
TAN:
Karena untuk memahami sutra Mahayana Anda memerlukan pemahaman terhadap filosofi Mahayana. Jadi tidak asal mengkritisi begitu saja. Kalau Anda tidak paham filosofi Mahayana kritikan Anda tidak valid. Bagaimana Anda dapat memberikan kritik terhadap fisika kuantum, kalau Anda tidak paham fisika kuantum? Mengkritik memang mudah, tetapi sekarang ini yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri: Apakah kritikan kita sudah tepat? Kedua, sutra Mahayana adalah untuk praktik bukan untuk debat intelektual semata.
***
KELANA:
Adalah hak anda untuk tidak percaya hantu. Dalam Kalama Sutta disebutkan bahwa jangan percaya begitu saja, tapi kita perlu mencari tahu bukan membiarkan. Dan anda mencari tahu hanya dalam batas perbandingan materi. Dan saya tidak mengatakan dunia non materi, tapi alat non materi. Apa bukti keberadaannya? Anda pernah merasa sedih? Itulah salah satu non materi, tapi alat non materi yang saya maksud bukan itu, tapi kesadaran. Untuk membuktikannya anda perlu meditasi.
TAN:
Pengalaman meditasi, tidak dapat dijadikan bukti akan adanya hantu. Pengalaman meditasi tiap orang beda-beda. Misalnya kalau dalam meditasi saya melihat superman atau Batman. Apakah itu membuktikan kalau superman atau Batman itu ada? Ternyata itu yang Anda anggap sebagai alat non materi. Saya kira suatu alat khusus gitu.
Jadi sekali lagi, Anda sangat subyektif. Menganggap sesuatu yang tidak sejalan dengan “keyakinan” Anda sebagai logika “sempit.” Padahal sekali lagi “belief” itu di luar logika.
***
Kembali lagi mengenai hantu dalam Ratana Sutta. Saya tidak menemukan kata-kata “As a consequence the evil spirits were exorcised, the pestilence subsided” dalam terjemahan lain
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.2.01.piya.htmlJadi pertanyaan anda mengenai “Apakah Anda percaya bahwa penyakit disebabkan oleh roh-roh jahat?” adalah pertanyaan yang salah. Dan tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang salah. Mengapa salah ? Karena penyakit masyarakat Vesali diawali dari kekeringan dan lapar bukan karena para hantu. Para hantu hanya mengkondisikan masyarakat Vesali menjadi terganggu dan tetap pada kondisi sakitnya. Sekali lagi bahwa suatu fenomena tidak berdiri sendiri.
TAN:
Saya tidak tahu, yang pasti kalimat itu dalam terjemahan yang saya miliki ada. Tidak adanya kalimat itu dalam terjemahan yang Anda miliki, bukanlah bukti bahwa terjemahan yang Anda miliki yang paling benar. Jadi pertanyaan saya tetap valid: “Apakah Anda percaya adanya hantu yang disebabkan oleh roh-roh jahat?” Bukti saya adalah tekstual, dalam teks menyatakan demikian. Saya tidak peduli kalau dalam teks terjemahan lain tidak dicantumkan, yang pasti dalam terjemahan yang saya pakai ada dan saya berpatokan pada terjemahan bahasa Inggris yang saya miliki. Lagipula mana mungkin hantu dapat mengkondisikan sakit seseorang? Jelas dari pernyataan Anda, Anda percaya bahwa hantu merupakan penyebab atau setidaknya salah satu penyebab bagi sakitnya seseorang. Kalau Anda menyebut saya berlogika “sempit,” maka saya juga berhak menyebut Anda “irasional.”
***
KELANA:
Jadi sekali lagi, silahkan saja anda mengatakan saya menggunakan logika sempit, tapi anda tidak memiliki alasan yang tepat untuk itu.
Anda terlalu gegabah, terlalu cepat mengatakan Case closed. Mari saya buka lagi case-nya.
Saya tidak mengatakan bahwa bahwa meditasi Anapanasati termasuk metoda yang diajarkan Sang Buddha karena tercantum dalam Kanon Pali atau sutta SAJA, tetapi JUGA ADA dalam literatur Mahayana. Sedangkan Mantra tidak terdapat dalam literatur/ sutta / Kanon Pali, hanya ada dalam sutra Mahayana saja. Jadi tidak sama.
Adalah sesuatu yang bodoh jika saya menggunakan alasan karena tercantum dalam Kanon Pali atau sutta SAJA. Please deh ah
Dan anda nampaknya tidak mengindahkan indikasi logis yang pertama karena anda mengincar dan berharap jawaban saya berikan seperti yang anda pikirkan. Anda terlalu meremehkan saya
TAN:
Jadi Anda mengatakan bahwa meditasi Anapanasati “diyakini” (perhatikan saya tulis dalam tanda petik) diajarkan oleh Buddha karena terdapat dalam kanon Pali dan Mahayana? Jelas ini adalah subyektif. Bagaimana jika terdapat ajaran yang terdapat dalam kanon Pali saja, tetapi tidak dalam Mahayana? Apakah Anda masih menganggapnya diajarkan oleh Buddha? Saya yakin Anda akan menjawab “ya.” Karena Anda menganggap bahwa kanon Pali adalah satu-satunya alat untuk mengesahkan “kebenaran.” Perlu saya ulangi lagi, bahwa kami umat Mahayana meyakini semua sutra yang tercantum dalam kanon Mahayana (Taisho Tripitaka) adalah dibabarkan oleh Buddha. Keyakinan ini tidak dapat diotak-atik, terserah Anda hendak menganggap saya “irasional” atau apa. Saya percaya keseluruhan kanon Taisho Tripitaka adalah ajaran Buddha. Titik!
Jadi kriteria Anda di atas sangat subyektif. Anda tidak dapat mengatakan bahwa apa yang diajarkan Buddha harus terdapat dalam dua kanon atau dalam kanon Anda saja. Apa yang HANYA terdapat dalam kanon Mahayana (termasuk metoda mantra) juga kami selaku umat Mahayana yakini sebagai ajaran Buddha. Kalau Anda bersikeras menyatakan bahwa apa yang hanya terdapat dalam kanon Pali sebagai ajaran Buddha, maka saya juga berhak berkeras bahwa apa yang HANYA terdapat dalam kanon Mahayana adalah ajaran Buddha. Kalau Anda mengatakan bahwa apa yang HANYA terdapat dalam kanon Mahayana adalah bukan ajaran Buddha, maka saya juga berhak mengatakan bahwa apa yang HANYA terdapat dalam kanon Pali adalah juga BUKAN ajaran Buddha. Itulah sebabnya saya sebut “case closed.” Tidak ada gunanya diteruskan. Semoga Anda dapat memahami maksud saya ini.
***
KELANA:
Dan anda belum menyebutkan 84.000 pintu Dharma. Jika anda tidak bisa menyebutkannya lebih baik anda akui saja bahwa anda tidak tahu, tidak perlu memberikan jawaban dengan pertanyaan yang remeh seperti ini Atau anda malu mengakui kesalahan ya ?
TAN:
Justru Anda yang salah. Anda tidak paham filosofi Mahayana, maka Anda mengatakan seperti itu. Dalam sutra-sutra Mahayana disebutkan mengenai 84.000 pintu Dharma dalam artian bahwa Buddha mengajarkan banyak metoda untuk mengajar. Tetapi tidak pernah ada dalam sutra Mahayana yang “mendaftar” 84.000 metoda itu satu persatu. Oleh karena itu, pertanyaan Anda merupakan pertanda bahwa Anda tidak paham Mahayana. Baik, coba sampai di sini diresapi dan dipahami terdahulu. Bagaimana saya tahu dan yakin bahwa metode mantra termasuk dalam ke-84.000 itu? Jawabnya sangat sederhana karena termasuk dalam kanon Taisho Tripitaka (jilid ke-18 – 22), yang disebut bagian Tantrayana (Mizhongbu). Ke-84.000 metoda itu sudah dipaparkan dalam keseluruhan sutra-sutra Mahayana. Selain itu, saya hendak jelaskan pula bahwa angka 84.000 itu cuma simbolis. Apakah jumlahnya benar2 84.000? Tidak ada yang tahu dan tidak perlu diketahui. Yang penting kita praktek bukan mendaftarnya satu persatu. Kalau Anda berkeras menganggapnya sebagai angka yang “harafiah,” maka mohon maaf kali ini saya yang mengatakan bahwa “logika” Anda yang “sempit,” Bung!”
***
KELANA:
anda berusaha mengingkari keberadaan faktor dan kondisi, saya tidak tahu apa alasannya. Tapi ini adalah salah satu sikap menepis fakta.
TAN:
Fakta yang mana? Coba Anda buktikan kalau hantu itu ada. Coba kutipkan pernyataan dari profesor mana yang mengatakan bahwa penyakit itu dipengaruhi hantu atau mengandung faktor dan kondisi hantu? Anda nampak berkeras melogiskan sesuatu yang Anda bela mati-matian. Jadi tidak beda dong dengan orang K. yang berusaha melogiskan kitab suci mereka.
***
KELANA:
Bukti tekstual yang mana Sdr. Tan
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/snp/snp.2.01.piya.html tidak terdapat hal yang mengatakan bahwa penyebab awalnya adalah para hantu. Jadi tanggapan anda akan hal ini gugur.
TAN:
Mana bisa gugur? Di terjemahan yang saya punya ada kok. Anda tidak bisa dong secara sepihak mengatakan demikian. Saya juga dapat berkeras pada bukti saya sendiri. Kalimat itu ada. Titik! Jadi saya kira ini tidak ada gunanya diteruskan.
***
KELANA:
Saya mengatakan bahwa logika tidak sama dengan sains, bukan berarti kita tidak boleh menggunakannya. Tetapi ketika kita HANYA menggunakan logika sains itu berarti kita menggunakan logika standar, logika sempit. Sedangkan saya menggunakan logika yang luas, berarti saya tidak HANYA menggunakan logika standar, logika sains, tetapi logika lainnya. Semoga anda paham akan hal ini.
TAN:
Jadi pertanyaan saya, apakah logika yang “luas” itu harus menerima sesuatu yang “irasional”? Jika demikian, apakah Anda juga menerima kalau dunia diciptakan dalam enam hari? Mohon dijawab dengan “ya” atau “tidak”? Logika sains jelas adalah sesuatu yang universal dan diterima semua orang. Dalam diskusi jelas tidak bisa Anda memaksakan logika Anda saja, yang Anda sebut “luas” itu. Kalau Anda memaksa ya jadinya seperti debat dengan agama lain. Akhirnya tidak ada titik temu.
***
KELANA:
Hujan. Dalam Sutta dikatakan hujan deras menghanyutkan mayat. Dengan demikian bau busuk pun menyingkir. Bisa jadi kuman penyakit merembes dalam tanah, tetapi setidaknya mengurangi keberadaannya di permukaan. Hujan juga bukan berfungsi menghanyutkan tetapi juga memberikan kembali kesuburan pada tanah sehingga bisa ditanami, hujan bisa ditampung untuk minum, sehingga kelaparan dapat teratasi. Ini yang penting. Dan sekali lagi tidak ada indikasi cepat atau lambat masyarakat Vesali sembuh, tetapi sembuh. Tidak seperti dalam sutra penyakit “kanker” tidak ada indikasi sembuh atau tidak. Anda harus mengakui hal ini.
TAN:
Akhirnya diskusinya muter lagi. Dengan mengatakan di atas Anda sudah menggunakan logika sains, yang Anda sebut sempit itu. Jika demikian halnya, berarti pembacaan Ratana Sutta sebenarnya tidak ada artinya, bukan? Oke deh, sekarang pakai “logika” Anda di atas. Baik deh, gini pertanyaan saya. Kalau hujan tidak turun, dengan hanya dibacakan paritta saja apakah masyarakat Vesali akan terbebas dari penderitaannya? Pertanyaan kedua, kalau hujan turun, tetapi tidak dibacakan paritta, apakah rakyat Vesali akan sembuh?
Mohon dijawab dengan “ya” atau “tidak”? Untuk pertanyaan pertama, jawaban saya adalah TIDAK. Untuk pertanyaan kedua, jawaban saya adalah YA. Tetapi saya tidak memaksa Anda untuk menjawab seperti jawaban saya. Jadi menurut kesimpulan saya, pembacaan paritta itu cuma semacam “show of force” saja.
Mengenai Sutra Penyembuhan Penyakit Kanker, sudah saja jelaskan bahwa Buddha dalam sutra tersebut menjamin bahwa orang yang membacanya akan sembuh: “Mereka tidak akan mengalirkan darah dan nanah lagi. Penderitaan mereka akan dicabut hingga ke akar-akarnya dan penyakit beratnya akan sirna.”. Silakan Anda telaah kembali sutra tersebut. Kami umat Mahayana percaya bahwa sabda seorang Buddha tidak pernah bohong. Itu sudah cukup sebagai indikasi bahwa penderita sembuh, tidak perlu diceritakan lebih jauh. Anda sangat subyektif dengan menyatakan bahwa alur sutra Mahayana harus seperti sutta Pali. Anda tidak punya hak untuk menganggap bahwa Sutta Pali sebagai satu-satunya penentu atau tolok ukur bagi kebenaran. Kami selaku umat Mahayana juga berhak meyakini bahwa sutra kami juga mengandung kebenaran. Jadi argumen Anda bahwa tidak ada “indikasi” kesembuhan dalam sutra Penyembuhan Penyakit Kanker adalah tidak tepat atau tidak valid. Bagi kami sabda seorang Buddha sudah lebih dari sekedar “indikasi.” Apakah Anda sebagai umat Theravada tidak “percaya” pada perkataan seorang Buddha dalam artian menganggap pada sabda seorang Buddha dapat berbohong? Mohon dijawab dengan “ya” atau “tidak.” Terima kasih.
***
KELANA:
Mengenai air di mangkuk. Inilah akibatnya kalau anda tidak memperdulikan faktor dan kondisi. Seperti yang saya katakan segala fenomena tidak berdiri sendiri. Coba anda perhatikan bahwa Ananda tidak hanya memercikan air dari mangkuk tetapi membacakan Ratana Sutta. Tujuannya apa? Sudah saya sampaikan. Jadi sekali lagi bukan HANYA karena pembacaan Ratana Sutta ataupun pemercikan air dari mangkuk. Tetapi ada FAKTOR lain.
TAN:
Sudah saya ulas di atas. Kalau HANYA memercikkan air yang sudah dibacakan paritta tanpa ada faktor lain, apakah rakyat Vesali akan sembuh? Mohon dijawab dengan “ya” atau “tidak”.
***
KELANA:
Jika anda menjawab bahwa suatu fenomena tidaklah berdiri sendiri, sehingga ketika sakit Ia tidak menggunakan mantra untuk menyembuhkan dirinya, tapi kenapa Sang Buddha justru mengajarkan mantra SAJA kepada para bhiksu Anda sudah terjebak dengan pernyataan anda sendiri.
TAN:
Tetapi Anda perlu ingat. Sutra Mahayana tidak hanya itu saja. Masih banyak sutra lain. Kalau sutra Mahayana hanya Sutra Penyembuh Penyakit Berat, maka pendapat Anda saya terima. Tetapi ingat bahwa Buddha juga mengajarkan sutra-sutra Mahayana lainnya. Berarti argumen Anda bahwa Buddha hanya mengajarkan mantra tidaklah tepat. Sutra-sutra Mahayana harus dipandang sebagai satu kesatuan. Tidaklah bijaksana menyatakan bahwa seekor zebra berwarna putih hanya karena Anda melihat warna putihnya saja. Tidaklah pula bijaksana menyatakan bahwa seekor zebra berwarna hitam hanya karena Anda melihat warna “hitam”nya saja.
***
KELANA:
Ok, saya rasa cukup sekian. Nampaknya anda belum memahami apa itu logika tidak sama dengan sains.
TAN:
Logika mungkin tidak sama dengan sains. Tetapi yang pasti logika dan sains tidak mengajarkan kita untuk berpikir “irasional.”
***