Sebenarnya yang menafsirkannya sebagai kanker bukan saya. Lagipula menurut hemat saya hendak ditafsirkan sebagai kanker sekalipun juga tidak terlalu masalah. Yang pasti dalam terjemahan, saya telah mencantumkan makna harafiahnya, yakni "penyakit berat." Selain itu, hendak ditafsirkan sebagai kanker tidak mengurangi esensi sutranya sendiri. Selain itu, zhibing dalam bahasa Mandarin Wenyan (Mandarin sastra kuno) mungkin pula mengacu pada salah satu penyakit tertentu. Saya sedang cari literaturnya. Kalau Anda dapat membantu mencari maknanya yang tepat saya sangat berterima kasih.
Saya tidak tahu siapa yang menafsirkannya, tapi yang pasti itu adalah hal yang gegabah. Dan ketika kita menyebarluaskan tafsiran gegabah tersebut tanpa menelaah terlebih dulu (asal percaya bahwa teks yang sudah ada adalah benar 100%), karena ketidakhatian kita, maka kita mengambil bagian dari kesalahan tersebut.
Dan jelas akan mempengaruhi esensi sutra. Dengan menambah kata kanker bahkan dalam judul sutra menandakan sutra tersebut khusus untuk penyakit kanker. Esensi sutra jika ditambah menjadi lebih spesifik sedangkan jika dihilangkan akan bersifat umum, dan ketika bersifat umum maka mantra ini tidaklah berguna jika ternyata ada mantra lain yang sudah terlebih dulu ada dan sifatnya juga umum. Kemudian muncul pertanyaan mengapa Sang Buddha menciptakan banyak mantra yang khasiatnya sama?
Selain itu kita tidak bisa berpikir dari sudut pandang kita yang mudah memahami sutra semata dengan mengatakan ”ah yang penting esensinya sama”, tapi juga berpikir dari sudut pandang mereka yang awam.
Mengenai kata zhingbing, sayangnya saya tidak mendalami bahasa mandarin dan terbatasnya narasumber, paling mentok saya hanya cari di internet.
Konsep dikotomi seperti di Tiongkok juga dapat dijumpai di literatur2 Hindu, seperti Upanisad. Saya sedang menerjemahkan Mundaka Upanisad, yang di dalamnya juga mengandung konsep dikotomi seperti itu. Memang bahwa istilahnya tidak harus "langit" dan "bumi," tetapi bisa juga Atman dan Brahman, dll.
Saya hanya hendak mengungkapkan bahwa konsep seperti itu tidak hanya monopoli bangsa Tionghua saja.
Sdr. Tan, saya tahu bahwa konsep dikotomi seperti di Tiongkok juga dapat dijumpai di literatur-literatur Hindu, seperti Upanisad, tapi dalam sutra tidak ada indikasi kata yang diganti oleh kata ”yin” adalah bersifat dikotomi. Seperti yang saya sampaikan, kata sebelumnya adalah unsur panas dan angin, jika ada dikotomi maka panas seharusnya diganti dengan ”yang”.
Dan tetap sebuah pertanyaan, apakah umum bahwa dikotomi dengan istilah "langit" dan "bumi" yang identik dengan istilah ”yin dan yang” terdapat dalam sutra-sutra Buddhist?
Sebenarnya kita juga tidak pernah dapat mengetahui secara pasti apakah yang dianggap "asli" oleh para ahli itu benar-benar "asli." Para ahli beranggapan bahwa yang asli sebenarnya hanya beberapa bagian dari Sutta Nipata. Memang benar menerima begitu saja juga bukan saddha yang benar, oleh karena itu, kita harus menggunakan kebijaksanaan dalam menentukan mana yang "asli" dan mana yang "palsu." Pandangan atau hasil penelitian para ahli tidak dapat dijadikan pula patokan untuk menentukan "asli" atau "palsu"nya suatu naskah keagamaan, meskipun suatu naskah secara lahiriah "palsu," tetapi dapat juga secara spiritual adalah "asli."
Jadi, Sdr. Tan, anda sependapat jika dikatakan kita juga tidak bisa menepis bahwa dalam dunia spiritual memungkinkan apa yang "palsu" tetap ”palsu”, dan apa yang ”asli” tetap ”asli”?
Sebenarnya tidak keluar topik. Ini adalah satu kesatuan. Banyak orang yang mendiskreditkan bahwa naskah Mahayana banyak mengandung tahayul, padahal yang mereka kenal adalah praktik luar Mahayana. Di sini saya mencoba membuktikan bahwa dalam kanon Pali pun juga terkandung tahayul yang sama. Kanon Pali juga terdapat hal-hal yang tak masuk akal. Jika seseorang menolak naskah Mahayana dengan alasan di dalamnya banyak terkandung tahayul, maka naskah Pali juga harus ditolak pula, atau dengan kata lain menolak Buddhisme secara keseluruhan!
Oleh karena itu, saya hanya hendak menyampaikan bahwa kita hendaknya tidak menafsirkan sesuatu secara harafiah. Saya tidak sependapat bahwa melihat makna esoteris adalah upaya melogiskan sesuatu hingga sesuai dengan tingkat pemikirannya. Justru makna esoteris itu adalah makna supra-rasional, yang mengatasi logika. Tentu saja secara logis, sampai saat ini saya masih tidak dapat menerima konsep bahwa gerhana matahari disebabkan oleh Rahu, rusa yang dapat berbicara, ataupun air paritta dari mangkuk Sang Buddha yang bila dipercikkan dapat menghilangkan wabah. Itu bagi logika saya, sama saja denga dongeng. Tetapi saya tidak hanya semata melihat makna harafiah (yang tersuratnya) saja.
Well, jika anda katakan tidak keluar topik, mari kita lanjutkan.
Ketika anda mengungkapkan mengenai adanya makna dalam suatu mantra dengan menganggapnya adalah juga Dharma, anda sudah melogiskan mantra tersebut dalam pemikiran anda sendiri. Ketika anda berbicara mengenai mantra prajnaparamita dengan mengatakan :
”Kalau diartikan secara harafiah tanpa tahu makna mantranya, maka orang mengira itu adalah mantra ajaib yang dapat menyelesaikan semua permasalahan. Tetapi tidak demikian halnya. Jika kita hendak mengatasi segenap penderitaan, maka harus "menyeberang ke pantai seberang," yakni mencapai nibanna”, tanpa sadar anda sedang melogiskan sesuatu, sehingga akhirnya disesuaikan maknanya dengan pemahaman yang akhirnya bisa anda atau orang lain pahami.
Anda bisa menggunakan istilah apapun, apakah esoteris ataupun supra-rasional ataupun wisdom, tetapi pada dasarnya semua kembali kepada logika (jalan pikiran) dalam pikiran kita, karena semua termasuk yang anda katakan esoteris ataupun supra-rasional memerlukan suatu pemahaman untuk diri kita sendiri ataupun untuk orang lain, dan pemahaman itu memerlukan proses dan disesuaikan dengan kondisi pikiran kita.
Begitu juga dengan cerita Jataka ataupun kisah deva surya. Ketika kita memahaminya dengan logika standar (logika yang hanya membandingkan dengan apa yang ada sekarang), maka kita akan mentok sampai situ, tetapi ketika kita berpikir dengan logika yang tidak biasa dan berusaha melogiskannya maka kita bisa mengatakan bahwa kisah tersebut hanyalah perumpamaan.