Saudara fabian yang baik,
Saya akan sedikit mengeluarkan pertanyaan dengan ilmu pengetahuan saya yang sangat terbatas ini..
Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Justru sebaliknya,saya mengganggap
ehipassiko adalah jalan menuju dhamma dan merupakan inti ajaran SB,
di sutta manakah pernah saudara fabian lihat SB tidak menganjurkan ehipassiko sebagaimana mestinya?Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Anda terlalu cepat menilai saudara fabian...Sebelum "aku" kita padam tidak seharusnya kalimat itu terlontarkan...
Apakah anda hendak berkata bahwa,
"Seluruh isi tipitaka dapat diehipassiko oleh seluruh umat manusia?"(sedangkan kita tidak tahu apa itu "dhamma",mana "dhamma yang benar2 dhamma,bukan sekedar kacang goreng belaka..)
Berasal dari SB atau tidak itu tidak lah begitu penting menurut saya dan seperti pernyataan anda yang berikut,
"kata-kata Sang Buddha "who sees the Dhamma, see me" "Yang paling penting sudahkah anda berehipassiko tentang "Dhamma" itu sendiri?
Sudahkah anda "melihatnya" bukan sekedar "merasakannya"?
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.
Logika atau bukan siapa yang tahu?Apakah anda mengetahuinya?
Siapa yang praktek?Siapa yang menyelami?
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,
"So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:
"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."
Kalau anda berkenan,tolong ditranslate kan ke dalam bahasa indonesia,berhubung talenta dan inteligensi saya sangat rendah...
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya.
Saya setuju sampai pada bagian ini...
Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.
Sutta mana yang anda maksudkan?Sutta sangat banyak dan bertumpukan di dunia ini,mana yang benar mana yang salah?Mana yang mulut SB,mana yang bukan mulut SB?
Apa yang mesti dibanding2kan kecuali kepuasan intelek belaka?
Mencari?Apa yang anda cari?
Setahu saya SB berkata,
"Saya sudah berhenti,kamulah yang masih berlari...Berhentilah..." Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
Saya meragukan sutta ini.....Sutta yang mana yang SB maksudkan disini?
Apakah "Dhamma" sudah terpaku terhadap suatu "dogma"?
Sejak kapan bahwa sutta memiliki otoritas akan "kebenaran tertinggi"?
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,
“Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Lho,bukankah sebelumnya dianjurkan
"kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya."Lantas,kenapa saya harus terpaku terhadap "tipitaka/sutta?"
Apakah "Sutta/Tipitaka" memiliki "otoritas tertinggi" akan suatu "kebenaran"?
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu
“para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.”
Sekarang saya tanyakan kembali,"Sutta yang mana yang dimaksudkan oleh SB?"
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Ya...Semoga anda mengingat kalimat ini...
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya
Lagi2,"Sutta yang mana bro fabian?"
Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak.
Darimana anda tahu bahwa sutta tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan kerangka pikiran mereka?Apakah anda sudah "mantap" sampai berani melontarkan pernyataan seperti diatas?
Apakah anda sudah memperoleh kekuatan2 abhina hingga bisa membaca kerangka pikiran orang lain?
Bisa saja mereka sudah menyelami bahkan sudah arahat,lantas kenapa mereka tidak boleh menolak hal yang bukan keluar dari mulut Sang Buddha/dianggap sebagai "kebodohan"?
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).
Wow...Amazing...
Tipitaka itu apa ya?
Dia kah pemegang otoritas tertinggi akan "kebenaran"?
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!
Sekali lagi saya tanyakan,"Darimana anda tahu mereka membandingkan dengan logika atau bukan?" Itu hanya spekulasi anda belaka...
Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.
Saya sih tidak peduli ehipassiko itu diartikan sebagai apa dan oleh siapa..
Yang pasti bagi saya "menyelami" kebijaksanaan tertinggi...
Kesimpulan:
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Saya juga mau memberi kesimpulan :
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai manusia tidak serta merta menerima suatu sutta bahkan ajaran apapun hanya karena kita merasa nyaman dengan sutta atau ajaran tersebut atau menurut anggapan kita masuk diakal..
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Hehehe,aneh aneh dan aneh...
Itu sih menurut saya kedua2nya kefanatikan dan kebodohan semata...
tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Saya tidak menerima kedua saran diatas...
Saya jadi heran dengan anda,anda tadi diatas berkata sebagai berikut :
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Dan anda sudah menyarankan secara "sepihak" untuk mengambil salah 1 prinsip yang anda lontarkan diatas dan menghindari prinsip lainnya..
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Sekali saya tanyakan,"Darimana anda tahu itu berdasarkan logika atau bukan?"
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
Ini adalah pandangan anda,saya menghargainya tapi saya mau berkata sedikit bahwa,
"kebenaran ada dimana2,tidak perlu dicari,dan kebenaran itu tepat berada didalam hati kita sendiri,bukan diluar hati kita bahkan dihati seorang SammaSambuddha sekalipun..."Salam,
Riky