IMHO,
tidak perlu rasanya kita membuktikan ke-otentikan suatu sutta (dhamma) apakah berasal dari mulut Sang Buddha sendiri ataukah tidak. Pembuktian ke-otentikan sudah tidak memungkinkan lagi sekarang. Seperti juga Sutta2 yg lainnya, kita hanya dapat ber-ehipassiko terhadap dhamma yg diajarkan, termasuk Abhidhamma.
Setelah suatu dhamma kita baca, kemudian kita renungkan dan kita saksikan di kehidupan sehari2 kita, ternyata terbukti memang benar, maka dhamma tsb bisa kita jadikan pegangan... yg belum terbukti, kita jadikan saja sebagai catatan, mungkin suatu saat bisa kita buktikan, mungkin juga tidak akan terbukti....
Pembuktiannya hanya dapat dilakukan dari: bermanfaat atau tidaknya suatu Dhamma dalam membantu kita mengikis penderitaan kita.
Semoga sharing ini bisa membantu jalan diskusi ini
::
Terima kasih, Rekan Willibordus, Anda telah mengingatkan saya. ... Saya telah
terseret oleh konsep "peta" Rekan Markos. ...
Dari situlah saya terseret bertanya: "peta"-nya otentik gak?
...
Anda betul ... tidak mungkin lagi mengetahui mana sutta/abhidhamma/abhidharma yang berasal dari Sang Buddha dan mana yang tidak ...
Namun, dari fakta adanya dua Abhidhamma/Abhidharma dapat disimpulkan dengan pasti: tidak mungkin kedua-duanya sekaligus berasal dari mulut Sang Buddha. ...
Nah, mau berpegang kepada yang mana, silakan. ... Menurut saya, ukuran relevansi suatu Abhidhamma/Abhidharma/Sutta tergantung seberapa jauh itu membantu mengikis aku/atta.
Sekarang, terserah masing-masing ... mau pakai sutta silakan ... mau pakai abhidhamma Theravada silakan ... mau pakai abhidharma Sanskrit silakan ... mau tidak pakai apa-apa, tapi mengandalkan pengalaman batin sendiri, seperti teman-teman non-Buddhis yang ber-MMD silakan ...
Salam,
hudoyo