Ajaran Sang Buddha adalah penuntun bagi kita, untuk itu perlu dilatih dan dipraktekkan. Sang Buddha tidak membabarkan ajarannya hanya untuk dibanding-bandingkan atau dibanggakan keunggulannya terhadap ajaran lain. Orang yg menguasai Tipitakapun belum tentu lebih suci dr umat awam yg hanya mengetahui sedikit ajaran Sang Buddha, tapi melatih dan mempraktekkan dgn sepenuh hati. Seperti Bhikkhu Culapanthaka yg tdak cukup pandai untuk mengerti ajaran Sang Buddha yg dalam, tetapi mencapai tingkat arahat dgn melatih dan mempraktekkan ajaran yg sangat sederhana.
Sering umat Buddha terjerumus dengan kemelekatan pada ajaran yg dianutnya, entah karena merasa telah mempelajari ajaran Sang Buddha yg asli atau sebab lainnya. Bukannya melatih dan mempraktekkan ajaran yg diketahuinya, malah mereka membandingkan, mencari kelemahan, mengkritik ajaran Sang Buddha yg tidak sealiran dgn mereka. Bahkan sikap itu berkembang menjadi mempergunjingkan, mencela sesama umat dan pemuka agama yg tidak sealiran dgn mereka. Mereka terbelenggu dgn pengetahuan berbagai isi kitab suci, namun belum cukup bijaksana untuk mengerti inti hakekat dr ajaran Sang Buddha itu sendiri . Akhirnya hal itu membentuk umat Buddha yg fanatik. Selain karena kurangnya kebijaksanaan dari diri sendiri, kefanatikan ini juga dapat disebabkan warisan dr guru dan pemuka agama yg kurang bijaksana yg menurunkannya pada generasi selanjutnya.
Sebagai umat Buddha kita wajib mengembangkan ajaran Buddha berdasarkan contoh sifat dan sikap yg baik dr kita untuk dijadikan panutan bagi orang lain. Orang lebih menghormati perilaku kita yg baik dan terpuji drpd pengetahuan yg luas namun berperilaku yg tidak sesuai dgn pengetahuan kita. Semoga saja generasi muda sekarang sudah cukup bijaksana untuk meninggalkan sikap fanatik yg dpt menyebarkan benih2 kebencian dan permusuhan yg tidak sesuai dgn ajaran Sang Buddha.