//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kehidupan brahmacari (selibat) di antara perumah tangga di Sri Lanka  (Read 7008 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Barusan, saya tadi singgah sejenak di thread sebelah yang isinya tentang jomblo. Salah satu pandangan yang ada adalah bahwa orang-orang yang masih jomblo sering kali dicap negatif: Tidak laku, perawan kawak, dst. Mungkin pandangan semacam ini dipengaruhi oleh budaya di suatu daerah. Mungkin di daerah itu, telah menjadi budaya bahwa setiap lelaki atau perempuan harus menikah. Mereka harus menjadi istri atau suami orang lain.
Di Sri Lanka, kendati negara ini telah dipengaruhi oleh agama Buddha dengan kuat, tetap saja memiliki pandangan yang sama. Pada umumnya mereka juga berpandangan bahwa perumah tangga harus menikah. Mereka harus memiliki suami atau istri. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang menjalani kehidupan selibat meskipun mereka tetap menjalani kehidupan rumah tangga. Caranya bermacam-macam. Ada yang tetap berumah tangga tetapi tidak mau menikah. Mereka tetap menjadi single hingga akhir hidupnya. Ada juga demi menghindari pemikiran buruk masyarakat, orang-orang yang sepaham, dalam arti ingin menjalani kehidupan selibat, tetapi tetap berumah tangga, menikah. Secara hukum, mereka adalah syah menjadi suami istri. Setelah menikah, mereka akan hidup serumah. Mereka akan saling membantu dan mengerjakan tugas mereka sebagai suami istri. Meski serumah, mereka sepakat untuk tidak mengadakan kontak fisik, tidak ada hubungan badan, tidak ada hubungan seksual. Salah satu tetangga mama angkat saya, ada yang begitu. Suami dan istri selalu rajin dalam praktik. Mereka rajin mengikuti retreat. Mereka hidup rukun dan tidak ada perselisihan di antara mereka. Saya juga pernah dipernalkan kepada seorang psikiater ka****k. Dia menikah dengan seorang Buddhist karena mereka memiliki ide yang sama: Merealisasi Nibbana. Mereka hidup serumah. Namun saat liburan, mereka menghabiskan waktu mereka untuk melakukan retreat di daerah terpencil. Tempat itu sengaja mereka bangun untuk praktik. Ibu angkat saya, juga sudah lebih dari lima tahun ini menjalani kehidupan selibat. Ibu tetap tidur satu ranjang dengan suaminya tetapi mereka sudah tidak lagi melakukan hubungan seksual.
Sudah barang tentu masih banyak orang yang menjalani kehidupan semacam itu di Sri Lanka. Semoga saja contoh-contoh semacam itu dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat kita.
Thanks.
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Ada satu hal yang saya ingin tanya, Sam...

Apakah di Srilanka pekat dengan film-film, sinetron-sinetron, novel-novel, maupun lagu-lagu yang bertemakan cinta dan romansa?

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Saya rasa tidak ada bedanya ya. Saya biasa ke toko buku. Novel-novel cinta ya banyak banget. Kalau pas saya ke toko software, saya juga lihat film-film bertema romantika tetap diminati. Corat-coret di dinding toilet di Mall tentang sex juga ada. Bioskop yang menyediakan film-film syur, juga ada. (ini saya lihat dari papan pengumuman di depan bioskop dengan gambar rada syur dan tulisn: Adult Only)  Kejahatan seks, perselingkuhan juga ada tetapi tidak separah di Indonesia. 
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Mungkin kultur Buddhis India masih kental di Sri Lanka, yah... Makanya ada orang yang menikah namun tidak melakukan hubungan suami-istri. Hal seperti ini juga pernah terjadi di zaman Sang Buddha, yakni pada Pipphali (Maha Kassapa) dan Bhadda Kapilani...

Offline Mr.Jhonz

  • Sebelumnya: Chikennn
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.164
  • Reputasi: 148
  • Gender: Male
  • simple life
Kalau ga mau di omongin/gosipin tetangga/teman pindah aja ke daerah pedalaman/terpencil,hidup di tepi hutan bersahabat dgn suku2 pedalaman..
*di pedalaman kalimantan banyak banget daerah seperti itu :) *bahkan beberapa tempat belum terjamah instalasi listrik 8)
buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
KEHIDUPAN BRAHMACARI SEBAGAI UMAT AWAM

Berdasarkan ajaran Buddha dalam Sobhana Sutta bagian dari Aṅguttara Nikāya II.8 menyebutkan bahwa upasaka dan upasika yang telah mencapai tingkat kesucian minimal sotapana juga disebut Saṅgha. Hal ini terlihat dalam kutipan:

‘‘Cattārome, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhenti. Katame cattāro? Bhikkhu, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Bhikkhunī, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Upāsako, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Upāsikā, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Ime kho, bhikkhave, cattāro viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhentī’’ti.


Berdasarkan kutipan di atas kita tahu bahwa bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka atau upāsika yang menguasai (viyatta), terlatih (vinīta), terampil (visārada), mendengar banyak (bahusutta), mengingat (Dhammadhara) dan yang selalu berjalan sesuai Dhamma  (dhammānudhammappaṭipanno ) adalah disebut sebagai Saṅgha.
Ada pula yang mengartikan bahwa Saṅgha adalah bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka dan upāsika yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian, minila Sotapanna.


Dengan demikian berkaitan dengan kehidupan brahmacari bagi perumah tangga, maka kehidupan brahmacari sebagai umat awam juga akan mampu mengantar seseorang menjadi Saṅgha. Saya sangat mendukung hal ini. Dan semoga banyak pasangan Buddhis di Indonesia yang mau dan MAMPU melakukannya.


Tentu saja tidak harus menjadi pelaku brahmacari dalam menjalankan kehidupan sebagai perumah tangga untuk menjadi Saṅgha seperti tersebut di atas, namun kehidupan brahmacari sebagai perumah tangga tentunya akan lebih menciptakan situasi yang kondusif. Kita ambil contoh mudahnya saja, apabila kita punya anak, kita akan memikirkan pendidikannya, masa depannya, memikirkan bagaimana meninggalkan warisan untuknya dan lain-lain. Sedikit banyak ini akan menjadi penghalang untuk menjadi Saṅgha tadi.
Tentu sangat baik jika sebagai umat awam namun dapat melakukan kehidupan brahmacari dengan alasan bahwa kita dapat melakukan aktivitas kehidupan sosial dengan bebas tanpa terbebani peraturan-peraturan vinaya seperti seorang bhikkhu atau bhikkhuni namun tetap dapat memimpin batin ke pencapaian Nibbāna dengan serius.


Namun, menurut saya hal ini ada beberapa tantangannya, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia, terlebih orang yang berasal dari daerah yang masih sangat tradisional seperti saya. Halangan utamanya adalah kita TERKUNGKUNG oleh KONSEP-KONSEP di masyarakat. Sebagai seorang perempuan, saya akan menyorotinya dari perspektif perempuan. Salah satu konsep yang menyulitkan kehidupan brahmacari sebagai perumah tangga di Indonesia diantaranya adalah KONSEP KESEMPURNAANSEBAGAI PEREMPUAN di masyarakat.


Konsep kesempurnaan perempuan menurut paradigma masyarakat Indonesia dapat dilihat di dalam Panca Dharma Wanita. Di dalam Panca Dharma Wanita disebutkan bahwa istri sebagai: a) pendamping suami, b) penerus keturunan dan pendidik, c) pencari nafkah tambahan, d) pengelola rumah tangga dan e) sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Peran sebagai penerus keturunan yang berarti melahirkan anak akhirnya telah menjadi suatu konsep nasional bagi perempuan-perempuan Indonesia.Konsep ini semakin mengakar kuat dengan adanya konsep bahwa perempuan yang sempurna adalah perempuan yang telah melahirkan.


Hal ini sungguh sangat berbeda dengan konsep kehidupan brahmacari. Konsep bahwa perempuan sempurna adalah perempuan yang menempuh kehidupan brahmacari dan mencapai Sotapanna, kelihatannya masih sulit untuk dibudayakan di masyarakat Buddhis Indonesia, apalagi di masyarakat Indonesia secara luas yang mayoritasnya adalah Islam.


Dengan demikian sebuah praktik yang luhur kadang-kadang menjadi sulit karena berbenturan dengan KONSEP sosial yang ada.


Semoga orang yang melakukan praktik Brahmacari sebagai perumah tangga dimanapun mereka berada,  mampu merealisasi Nibbāna.



Salam
Wong Cilik  _/\_








« Last Edit: 04 May 2010, 06:25:32 PM by wong cilik »

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
KEHIDUPAN BRAHMACARI SEBAGAI UMAT AWAM

Berdasarkan ajaran Buddha dalam Sobhana Sutta bagian dari Aṅguttara Nikāya II.8 menyebutkan bahwa upasaka dan upasika yang telah mencapai tingkat kesucian minimal sotapana juga disebut Saṅgha. Hal ini terlihat dalam kutipan:

‘‘Cattārome, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhenti. Katame cattāro? Bhikkhu, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Bhikkhunī, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Upāsako, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Upāsikā, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Ime kho, bhikkhave, cattāro viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhentī’’ti.


Berdasarkan kutipan di atas kita tahu bahwa bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka atau upāsika yang menguasai (viyatta), terlatih (vinīta), terampil (visārada), mendengar banyak (bahusutta), mengingat (Dhammadhara) dan yang selalu berjalan sesuai Dhamma  (dhammānudhammappaṭipanno ) adalah disebut sebagai Saṅgha.
Ada pula yang mengartikan bahwa Saṅgha adalah bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka dan upāsika yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian, minila Sotapanna.


Dengan demikian berkaitan dengan kehidupan brahmacari bagi perumah tangga, maka kehidupan brahmacari sebagai umat awam juga akan mampu mengantar seseorang menjadi Saṅgha. Saya sangat mendukung hal ini. Dan semoga banyak pasangan Buddhis di Indonesia yang mau dan MAMPU melakukannya.

Terus apa hubungannya antara sutta di atas dengan kehidupan brahmacari seorang perempuan? Jika alasan utamanya adalah dengan mempraktikkan kehidupan brahmacari seorang wanita bisa menjadi anggota sangha, bukankah tanpa brahmacari juga bisa menjadi anggota sangha terutama jika telah mencapai sotapanna?

Btw, menurut kitab sub-komentar untuk sutta di atas, ke empat kelompok manusia di atas adalah mereka yang telah menembus kebenaran (saccapaṭivedha). Artinya, mereka setidaknya telah mencapai kesucian sotapanna.

Quote
Konsep kesempurnaan perempuan menurut paradigma masyarakat Indonesia dapat dilihat di dalam Panca Dharma Wanita. Di dalam Panca Dharma Wanita disebutkan bahwa istri sebagai: a) pendamping suami, b) penerus keturunan dan pendidik, c) pencari nafkah tambahan, d) pengelola rumah tangga dan e) sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Peran sebagai penerus keturunan yang berarti melahirkan anak akhirnya telah menjadi suatu konsep nasional bagi perempuan-perempuan Indonesia.Konsep ini semakin mengakar kuat dengan adanya konsep bahwa perempuan yang sempurna adalah perempuan yang telah melahirkan.


Hal ini sungguh sangat berbeda dengan konsep kehidupan brahmacari. Konsep bahwa perempuan sempurna adalah perempuan yang menempuh kehidupan brahmacari dan mencapai Sotapanna, kelihatannya masih sulit untuk dibudayakan di masyarakat Buddhis Indonesia, apalagi di masyarakat Indonesia secara luas yang mayoritasnya adalah Islam.

Bagaimana anda tahu bahwa wanita  dikatakan sempurna menurut agama BUddha jika mempraktikkan kehidupan brahmacari? Adakah referensi yang mengatakan demikian?




Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Mungkin kultur Buddhis India masih kental di Sri Lanka, yah... Makanya ada orang yang menikah namun tidak melakukan hubungan suami-istri. Hal seperti ini juga pernah terjadi di zaman Sang Buddha, yakni pada Pipphali (Maha Kassapa) dan Bhadda Kapilani...

perlu ditambahkan yak biar gak ada yang salah sangka. sebelon masuk sangha.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Mungkin kultur Buddhis India masih kental di Sri Lanka, yah... Makanya ada orang yang menikah namun tidak melakukan hubungan suami-istri. Hal seperti ini juga pernah terjadi di zaman Sang Buddha, yakni pada Pipphali (Maha Kassapa) dan Bhadda Kapilani...

perlu ditambahkan yak biar gak ada yang salah sangka. sebelon masuk sangha.

Namun apakah menikah namun tidak melakukan hubungan suami istri bisa disebut sebagai kultur? Karena biasanya kalau sudah menjadi kultur, hal tersebut merupakan kebiasaan / adat. Sekarang pertanyaannya, apakah menikah tanpa melakukan hubungan suami istri merupakan salah satu adat tertentu orang India? Dalam kasus Pipphali dan Bhaddakapilani, keduanya memang pada dasarnya tidak mau menikah. Mereka menikah hanya untuk membahagiakan kedua orangtua mereka.

Perlu diingat bahwa kasus Pipphali dan Bhaddakapilani juga terjadi sebelum mereka mengenal ajaran BUddha. Jadi jelas kehidupan selibat mereka saat menjadi perumah-tangga bukan merupakan pengaruh  kultur Buddhis India.

Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble

KEHIDUPAN BRAHMACARI SEBAGAI UMAT AWAM

Berdasarkan ajaran Buddha dalam Sobhana Sutta bagian dari Aṅguttara Nikāya II.8 menyebutkan bahwa upasaka dan upasika yang telah mencapai tingkat kesucian minimal sotapana juga disebut Saṅgha. Hal ini terlihat dalam kutipan:

‘‘Cattārome, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhenti. Katame cattāro? Bhikkhu, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Bhikkhunī, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Upāsako, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Upāsikā, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Ime kho, bhikkhave, cattāro viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhentī’’ti.


Berdasarkan kutipan di atas kita tahu bahwa bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka atau upāsika yang menguasai (viyatta), terlatih (vinīta), terampil (visārada), mendengar banyak (bahusutta), mengingat (Dhammadhara) dan yang selalu berjalan sesuai Dhamma  (dhammānudhammappaṭipanno ) adalah disebut sebagai Saṅgha.
Ada pula yang mengartikan bahwa Saṅgha adalah bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka dan upāsika yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian, minila Sotapanna.


Dengan demikian berkaitan dengan kehidupan brahmacari bagi perumah tangga, maka kehidupan brahmacari sebagai umat awam juga akan mampu mengantar seseorang menjadi Saṅgha. Saya sangat mendukung hal ini. Dan semoga banyak pasangan Buddhis di Indonesia yang mau dan MAMPU melakukannya.


Terus apa hubungannya antara sutta di atas dengan kehidupan brahmacari seorang perempuan? Jika alasan utamanya adalah dengan mempraktikkan kehidupan brahmacari seorang wanita bisa menjadi anggota sangha, bukankah tanpa brahmacari juga bisa menjadi anggota sangha terutama jika telah mencapai sotapanna?


HUBUNGAN SUTTA DENGAN KEHIDUPAN BRAHMACARI SEBAGAI SEORANG PEREMPUAN…….
Apa hubungannya ya….???????? Saya juga bingung juga nih……
Maksud saya dulu seperti ini…….. kan ada Sutta yang menyebutkan bahwa Perumah tangga pun bisa menjadi Saṅgha……Ini kan motivasi bagus bagi para perumah tangga untuk mengembangkan kualitas batinnya…..Nah, perumah tangga yang mau  menjadi Saṇgha kan bisa dengan menempuh kehidupan brahmacari atau pun tidak……..Lalu, seperti yang saya sampaikan di atas mungkin dengan menempuh kehidupan brahmacari ya ada baiknya….. at least….. akan menciptakan situasi yanglebih kondusif……….Nah…saya pribadi sebagai perempuan setuju untuk menempuh kehidupan brahmacari………walaupun pada kanyataannya  hal ini berbenturan dengan konsep bahwa wanita yang baik adalah wanita yang telah menjalankan Panca Dharma wanita yang salah satunya adalah SEBAGAI PENERUS KETURUNAN………demikian
Ga nyambung lagi ya………….??????? Duh…emang DODOL nih otak…………

JELAS TIDAK HARUS MENEMPUH KEHIDUPAN BRAHMACARI UNTUK MENJADI SOTAPANNA
Saya di atas menyebutkan seperti ini kok……

Tentu saja tidak harus menjadi pelaku brahmacari dalam menjalankan kehidupan sebagai perumah tangga untuk menjadi Saṅgha seperti tersebut di atas, namun kehidupan brahmacari sebagai perumah tangga tentunya akan lebih menciptakan situasi yang kondusif. Kita ambil contoh mudahnya saja, apabila kita punya anak, kita akan memikirkan pendidikannya, masa depannya, memikirkan bagaimana meninggalkan warisan untuknya dan lain-lain. Sedikit banyak ini akan menjadi penghalang untuk menjadi Saṅgha tadi.

Sangha dalam konteks di atas saya pahami sebagai orang yang minimal telah mencapai Sotapanna…….

Duh, memang kayaknya saya harus belajar untuk membuat kalimat yang baik dan benar nih agar bisa dimengerti teman-teman….Maaf ya jika sudah membuat pusing tuing tuing………. :o :o ??? ???


« Last Edit: 09 May 2010, 07:30:22 PM by wong cilik »

Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Quote
Konsep kesempurnaan perempuan menurut paradigma masyarakat Indonesia dapat dilihat di dalam Panca Dharma Wanita. Di dalam Panca Dharma Wanita disebutkan bahwa istri sebagai: a) pendamping suami, b) penerus keturunan dan pendidik, c) pencari nafkah tambahan, d) pengelola rumah tangga dan e) sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Peran sebagai penerus keturunan yang berarti melahirkan anak akhirnya telah menjadi suatu konsep nasional bagi perempuan-perempuan Indonesia.Konsep ini semakin mengakar kuat dengan adanya konsep bahwa perempuan yang sempurna adalah perempuan yang telah melahirkan.


Hal ini sungguh sangat berbeda dengan konsep kehidupan brahmacari. Konsep bahwa perempuan sempurna adalah perempuan yang menempuh kehidupan brahmacari dan mencapai Sotapanna, kelihatannya masih sulit untuk dibudayakan di masyarakat Buddhis Indonesia, apalagi di masyarakat Indonesia secara luas yang mayoritasnya adalah Islam.

Bagaimana anda tahu bahwa wanita  dikatakan sempurna menurut agama BUddha jika mempraktikkan kehidupan brahmacari? Adakah referensi yang mengatakan demikian?


Sekali lagi menempuh kehidupan Brahmacari adalah untuk  menciptakan situasi yang lebih kondusif saja dalam pencapaian Sotapana (untuk menjadi Saṅgha), menurut pemahaman saya lho ya…………

Saya menuliskan bahwa “………menempuh kehidupan brahmacari dan mencapai Sotapanna……”. Jadi menurut pemahaman saya pencapaian kesucian menjadi sotapana adalah standar untuk menjadi perempuan sempurna. Dan hal ini juga berlaku untuk lai-laki tentunya………Jelas hal ini harus dipahami dalam konteks bahwa ini hanya merupakan kesucian tingkat pertama dari empat tingkat kesucian yang ada………sempurna dalam arti tidak akan tumimbal lahir lagi lebih dari 7 kali…kalau yang sempurna mutlak “absolutely perfect” mungkin adalah Arahat……

Memang sih kesempurnaan mungkin kurang tepat…….mungkin bisa diganti dengan idealnya saja…

Saya bukan mau MENGEYEL….tetapi saya MENGUTARAKAN apa yang ada dipikiran……..saya menerima saran baliknya……....daripada saya terjebak dalam pandangan salah…….kan nanti saya ga bisa jadi Saṅgha…hehehe ^:)^

Terima kasih………
 _/\_






[/quote]

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
 [at] Wong Cilik:

Maaf karena sebelumnya saya kurang teliti untuk membaca kalimat awal yang anda tulis yakni : "Berdasarkan ajaran Buddha dalam Sobhana Sutta bagian dari Aṅguttara Nikāya II.8 menyebutkan bahwa upasaka dan upasika yang telah mencapai tingkat kesucian minimal sotapana juga disebut Saṅgha." Oleh karenanya saya memberikan komen bahwa "Jika alasan utamanya adalah dengan mempraktikkan kehidupan brahmacari seorang wanita bisa menjadi anggota sangha, bukankah tanpa brahmacari juga bisa menjadi anggota sangha terutama jika telah mencapai sotapanna".

Saya langsung membaca sutta yang anda sebutkan dan di sana tidak menyebutkan bahwa upasaka /sika yang terlatih, dan seterusnya, telah mencapai minimal sotapanna. Indikasi bahwa mereka telah mencapai setidaknya sotapanna justru disebutkan di Tika / sub komentar.

Saya juga setuju bahwa kehidupan brahmacari akan lebih memberikan peluang yang lebih besar untuk menjadi Ariyasangha ketimbang hidup di dalam rumah-tangga dengan berbagai macam beban anak, istri, dll. Saya rasa benturan yang anda sebutkan sebagai praktisi brahmacari dalam kehidupan berumah-tangga bukan hanya muncul pada jaman sekarang, tapi juga sudah ada pada jaman Sang Buddha. Oleh karenanya, banyak sekali para pemuda, setelah mendengarkan khotbah Sang BUddha dan terdorong untuk mencapai apa yang dicapai Sang Buddha, berpikir:

"yathā yathā khvāhaṃ bhagavatā dhammaṃ desitaṃ ājānāmi yathā yathā kho bhagavā dhammaṃ deseti, nayidaṃ sukaraṃ agāraṃ ajjhāvasatā ekantaparipuṇṇaṃ ekantaparisuddhaṃ saṅkhalikhitaṃ brahmacariyaṃ carituṃ. Yaṃnūnāhaṃ kesamassuṃ ohāretvā kāsāyāni vatthāni acchādetvā agārasmā anagāriyaṃ pabbajeyya’’nti."

"Sejauh saya mengetahui Dhamma yang dibabarkan Sang BUddha, mempraktikkan kehidupan brahmacari yang begitu sempurna dan bersih seperti putihnya kulit kerang (polished shell) bukan hal mudah selama hidup dalam kehidupan berumah-tangga. Bagaimana seandainya saya memotong rambut dan jenggot, mengenakan jubah dan pergi dari rumah ke kehidupan tanpa rumah".

Kutipan di atas juga mengindikasikan bahwa bagaimana pun juga kehidupan brahmacari masih sulit jika kita hidup di tengah-tengah sebuah keluarga. Mungkin dengan tidak menikah meskpun hidup dlam rumahtangga, seseorang bebas dari beban istri, suami, atau anak, tetapi beban-beban lain yang sifatnya rumah-tangga juga masih tetap ada. Oleh sebab itu, Sang Buddha memberikan peluang bagi mereka yang mau mempraktikkan kehidupan brahmacari untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga secara total dan hidup tanpa rumah (setidaknya tidak memiliki house as private property). Anda bisa menjadi bhikkhuni, samaneri atau dasasilamata, atau silacarini....  Sepertinya lebih baik! :D

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Quote
Konsep kesempurnaan perempuan menurut paradigma masyarakat Indonesia dapat dilihat di dalam Panca Dharma Wanita. Di dalam Panca Dharma Wanita disebutkan bahwa istri sebagai: a) pendamping suami, b) penerus keturunan dan pendidik, c) pencari nafkah tambahan, d) pengelola rumah tangga dan e) sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Peran sebagai penerus keturunan yang berarti melahirkan anak akhirnya telah menjadi suatu konsep nasional bagi perempuan-perempuan Indonesia.Konsep ini semakin mengakar kuat dengan adanya konsep bahwa perempuan yang sempurna adalah perempuan yang telah melahirkan.


Hal ini sungguh sangat berbeda dengan konsep kehidupan brahmacari. Konsep bahwa perempuan sempurna adalah perempuan yang menempuh kehidupan brahmacari dan mencapai Sotapanna, kelihatannya masih sulit untuk dibudayakan di masyarakat Buddhis Indonesia, apalagi di masyarakat Indonesia secara luas yang mayoritasnya adalah Islam.

Bagaimana anda tahu bahwa wanita  dikatakan sempurna menurut agama BUddha jika mempraktikkan kehidupan brahmacari? Adakah referensi yang mengatakan demikian?


Sekali lagi menempuh kehidupan Brahmacari adalah untuk  menciptakan situasi yang lebih kondusif saja dalam pencapaian Sotapana (untuk menjadi Saṅgha), menurut pemahaman saya lho ya…………

Saya menuliskan bahwa “………menempuh kehidupan brahmacari dan mencapai Sotapanna……”. Jadi menurut pemahaman saya pencapaian kesucian menjadi sotapana adalah standar untuk menjadi perempuan sempurna. Dan hal ini juga berlaku untuk lai-laki tentunya………Jelas hal ini harus dipahami dalam konteks bahwa ini hanya merupakan kesucian tingkat pertama dari empat tingkat kesucian yang ada………sempurna dalam arti tidak akan tumimbal lahir lagi lebih dari 7 kali…kalau yang sempurna mutlak “absolutely perfect” mungkin adalah Arahat……

Memang sih kesempurnaan mungkin kurang tepat…….mungkin bisa diganti dengan idealnya saja…

Saya bukan mau MENGEYEL….tetapi saya MENGUTARAKAN apa yang ada dipikiran……..saya menerima saran baliknya……....daripada saya terjebak dalam pandangan salah…….kan nanti saya ga bisa jadi Saṅgha…hehehe ^:)^

Terima kasih………
 _/\_






[/quote]

Yap, saya lebih setuju dengan istilah perempuan ideal dari pada perempuan sempurna. Dan sejauh yang saya pelajari di kitab2 suci agama Buddha, perempuan ideal pun tidak harus menjalankan kehidupan brahmacari. Sang Buddha mengajarkan ajarannya kepada wanita tergantung pada kondisi wanita tersebut. JIka wanita tersebut menjalankan kehidupan berumah tangga sebagai seorang istri, sebagai contoh dalam Sigalovādasutta, Sang BUddha memberikan beberapa syarat yang harus dipraktikkan. Jika syarat2 itu terpenuhi, tentu ia bisa disebut sebagai wanita ideal dalam kehidupan berumah-tangga sebagai seorang istri. Sebaliknya, jika seorang wanita menjalankan kehidupan brahmacari sebagai bhikkhuni, tentu Sang Buddha akan menasehati wanita tersebut untuk menjalankan Dhamma dan vinaya kebhikkhunian, dan dengan demikian, wanita tersebut juga bisa disebut sebagai wanita ideal dalam kehidupan kebhikkhunian. Intinya, wanita ideal dalam Buddhisme adalah wanita yang menjalankan apa yang harus dijalankan sesuai dengan Dhamma dan vinaya sesuai dengan posisi atau her way of life.

Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Terima kasih untuk komentarnya dan tentunya penjelasan yang lebih RUNTUT daripada kalimat-kalimat saya.......hehehe


Terima kasih sekali........... _/\_

 

anything