KEHIDUPAN BRAHMACARI SEBAGAI UMAT AWAM
Berdasarkan ajaran Buddha dalam Sobhana Sutta bagian dari Aṅguttara Nikāya II.8 menyebutkan bahwa upasaka dan upasika yang telah mencapai tingkat kesucian minimal sotapana juga disebut Saṅgha. Hal ini terlihat dalam kutipan:
‘‘Cattārome, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhenti. Katame cattāro? Bhikkhu, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Bhikkhunī, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Upāsako, bhikkhave, viyatto vinīto visārado bahussuto dhammadharo dhammānudhammappaṭipanno saṅghaṃ sobheti. Upāsikā, bhikkhave, viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobheti. Ime kho, bhikkhave, cattāro viyattā vinītā visāradā bahussutā dhammadharā dhammānudhammappaṭipannā saṅghaṃ sobhentī’’ti.
Berdasarkan kutipan di atas kita tahu bahwa bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka atau upāsika yang menguasai (viyatta), terlatih (vinīta), terampil (visārada), mendengar banyak (bahusutta), mengingat (Dhammadhara) dan yang selalu berjalan sesuai Dhamma (dhammānudhammappaṭipanno ) adalah disebut sebagai Saṅgha.
Ada pula yang mengartikan bahwa Saṅgha adalah bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka dan upāsika yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian, minila Sotapanna.
Dengan demikian berkaitan dengan kehidupan brahmacari bagi perumah tangga, maka kehidupan brahmacari sebagai umat awam juga akan mampu mengantar seseorang menjadi Saṅgha. Saya sangat mendukung hal ini. Dan semoga banyak pasangan Buddhis di Indonesia yang mau dan MAMPU melakukannya.
Tentu saja tidak harus menjadi pelaku brahmacari dalam menjalankan kehidupan sebagai perumah tangga untuk menjadi Saṅgha seperti tersebut di atas, namun kehidupan brahmacari sebagai perumah tangga tentunya akan lebih menciptakan situasi yang kondusif. Kita ambil contoh mudahnya saja, apabila kita punya anak, kita akan memikirkan pendidikannya, masa depannya, memikirkan bagaimana meninggalkan warisan untuknya dan lain-lain. Sedikit banyak ini akan menjadi penghalang untuk menjadi Saṅgha tadi.
Tentu sangat baik jika sebagai umat awam namun dapat melakukan kehidupan brahmacari dengan alasan bahwa kita dapat melakukan aktivitas kehidupan sosial dengan bebas tanpa terbebani peraturan-peraturan vinaya seperti seorang bhikkhu atau bhikkhuni namun tetap dapat memimpin batin ke pencapaian Nibbāna dengan serius.
Namun, menurut saya hal ini ada beberapa tantangannya, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia, terlebih orang yang berasal dari daerah yang masih sangat tradisional seperti saya. Halangan utamanya adalah kita TERKUNGKUNG oleh KONSEP-KONSEP di masyarakat. Sebagai seorang perempuan, saya akan menyorotinya dari perspektif perempuan. Salah satu konsep yang menyulitkan kehidupan brahmacari sebagai perumah tangga di Indonesia diantaranya adalah KONSEP KESEMPURNAANSEBAGAI PEREMPUAN di masyarakat.
Konsep kesempurnaan perempuan menurut paradigma masyarakat Indonesia dapat dilihat di dalam Panca Dharma Wanita. Di dalam Panca Dharma Wanita disebutkan bahwa istri sebagai: a) pendamping suami, b) penerus keturunan dan pendidik, c) pencari nafkah tambahan, d) pengelola rumah tangga dan e) sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Peran sebagai penerus keturunan yang berarti melahirkan anak akhirnya telah menjadi suatu konsep nasional bagi perempuan-perempuan Indonesia.Konsep ini semakin mengakar kuat dengan adanya konsep bahwa perempuan yang sempurna adalah perempuan yang telah melahirkan.
Hal ini sungguh sangat berbeda dengan konsep kehidupan brahmacari. Konsep bahwa perempuan sempurna adalah perempuan yang menempuh kehidupan brahmacari dan mencapai Sotapanna, kelihatannya masih sulit untuk dibudayakan di masyarakat Buddhis Indonesia, apalagi di masyarakat Indonesia secara luas yang mayoritasnya adalah Islam.
Dengan demikian sebuah praktik yang luhur kadang-kadang menjadi sulit karena berbenturan dengan KONSEP sosial yang ada.
Semoga orang yang melakukan praktik Brahmacari sebagai perumah tangga dimanapun mereka berada, mampu merealisasi Nibbāna.
Salam
Wong Cilik