menarik..
bisakah sdr. Fabian sedikit menceritakan latar belakang membuat thread ini ? dan mengapa topik ini yang dipilih :
membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik"
mettacitena..
~ Harpuia ~
ini sepertinya berbahaya, bisa memicu konflik boz..
ntar yang umat dari agama tetangga bisa tersinggung yang mengatakan bahwa hewan yg dijadikan kurban itu berarti mereka melakukan dosa, walo itu benar, namun pandangan mereka bersifat fanatik.. so it's dangerous.. Thanks..
judul topiknya gak benar2 menggambarkan isinya...
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
Isi sayembaranya adalah sebagai berikut:
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.
Bila ada teman-teman yang ingin urunan menambah besarnya hadiah, silahkan.... Bagaimana....?
Apakah bro Morpheus ada ide judul topik yang mungkin bisa lebih menggambarkan isinya..? Saya berterima kasih bila bro Morph mau share.... :)mungkin "sayembara mencari ajaran kekerasan fisik dalam tipitaka".
Kalo boleh tahu,Tujuan di buatnya sayembara ini apa om fabian?
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
Isi sayembaranya adalah sebagai berikut:
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.
Bila ada teman-teman yang ingin urunan menambah besarnya hadiah, silahkan.... Bagaimana....?
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
Isi sayembaranya adalah sebagai berikut:
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.
Bila ada teman-teman yang ingin urunan menambah besarnya hadiah, silahkan.... Bagaimana....?
Wah, saya bisa ikut sayembara ngga nih? ;D ;D ;D................ Saya ingin mengomentari yang digarisbawahi saja. Terkadang Sang Buddha menggunakan kata-kata yang dengan sengaja melukai makhluk lain, meski tujuannya baik. Dalam Abhayarājakumarasutta, Majjhimanikāya, ada perumpamaan yang diberikan Sang Buddha melalui perbincangan-Nya dengan pangeran Abhāya. Kira-kira begini: "Seandainya ada seorang bayi menelan kerikil atau ranting kecil yang mana menyangkut di tenggorokan, seseorang akan mengambil kerikil atau ranting kecil dari mulutnya meski darah harus keluar dari mulut si bayi tersebut. Demikian pula, meski kata-kata tidak menyenangkan, jika kata-kata tersebut benar dan bermanfaat, Sang Buddha akan mengucapkannya pada saat yang tepat." Memang cara ini bertujuan baik karena ingin menyelamatkan orang tersebut, tetapi setidaknya, pernyataan ini secara langsung menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai orang lain. Bahkan dalam Vinaya, jika ada seorang bhikkhu melanggar peraturan, pertama yang harus dilakukan oleh Sangha adalah menegur (rebuke) bhikkhu tersebut. Cara ini melukai tetapi penting supaya bhikkhu tersebut ingat kesalahannya.
Bagaimana,,,,, 5.000.000 kah? ;D ;D ;D
makan-makan dong ;D
boleh, kalau Sam kesulitan untuk mengadakan acara ini, saya bersedia berkorban untuk mewakili
Wah, saya bisa ikut sayembara ngga nih? ;D ;D ;D................ Saya ingin mengomentari yang digarisbawahi saja. Terkadang Sang Buddha menggunakan kata-kata yang dengan sengaja melukai makhluk lain, meski tujuannya baik. Dalam Abhayarājakumarasutta, Majjhimanikāya, ada perumpamaan yang diberikan Sang Buddha melalui perbincangan-Nya dengan pangeran Abhāya. Kira-kira begini: "Seandainya ada seorang bayi menelan kerikil atau ranting kecil yang mana menyangkut di tenggorokan, seseorang akan mengambil kerikil atau ranting kecil dari mulutnya meski darah harus keluar dari mulut si bayi tersebut. Demikian pula, meski kata-kata tidak menyenangkan, jika kata-kata tersebut benar dan bermanfaat, Sang Buddha akan mengucapkannya pada saat yang tepat." Memang cara ini bertujuan baik karena ingin menyelamatkan orang tersebut, tetapi setidaknya, pernyataan ini secara langsung menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai orang lain. Bahkan dalam Vinaya, jika ada seorang bhikkhu melanggar peraturan, pertama yang harus dilakukan oleh Sangha adalah menegur (rebuke) bhikkhu tersebut. Cara ini melukai tetapi penting supaya bhikkhu tersebut ingat kesalahannya.selamat pak, ehehehe rp. 5 juta. Tambah rp 1 juta dri adi lim... ;D
Bagaimana,,,,, 5.000.000 kah? ;D ;D ;D
Horeeeee,,,, make party... ;D ;D ;D
apakah seluruh 6jt akan dihabiskan untuk party "haram" atau ada amanat khusus lain?hmm… interpretasinya kekna ke arah mahluk nih
loh, ini keputusan ditangan yg bikin sayembara donk
yah kalo gitu, keknya gak jadi party deh
Memang bisa gagal kenapa?
gagal karena jurus geliat belut
loh, ini keputusan ditangan yg bikin sayembara donkmqkn keputusan ada ditangan para pemirsa dc..
Sañjayabelaṭṭhiputta? hehehe.....
kayaknya hadiahnya ngga sebanding deh.. ;D
(kalo mau) aye bisa menghasilkan Rp 6 juta dengan waktu yang lebih singkat daripada "membongkar" seluruh Tipitaka.. 8)
apalagi Tipitaka yang mau dibongkar belum semuanya diterjemahkan.. aye mana ngerti bagian Tipitaka yang belum diterjemahkan ke bahasa Inggris? :o
tapi saya masih optimis Mbah Fabian cukup konsisten yg apa yg ia katakan, kalo Bro Adi sih memang agak meragukan
makanya cuma Sam Peacemind yg bisa, karena langsung bongkar dari Pali
Jangan mencurigai yang lain dulu. Nanti partynya malah gagal.. :D
Wah, saya bisa ikut sayembara ngga nih? ;D ;D ;D................ Saya ingin mengomentari yang digarisbawahi saja. Terkadang Sang Buddha menggunakan kata-kata yang dengan sengaja melukai makhluk lain, meski tujuannya baik. Dalam Abhayarājakumarasutta, Majjhimanikāya, ada perumpamaan yang diberikan Sang Buddha melalui perbincangan-Nya dengan pangeran Abhāya. Kira-kira begini: "Seandainya ada seorang bayi menelan kerikil atau ranting kecil yang mana menyangkut di tenggorokan, seseorang akan mengambil kerikil atau ranting kecil dari mulutnya meski darah harus keluar dari mulut si bayi tersebut. Demikian pula, meski kata-kata tidak menyenangkan, jika kata-kata tersebut benar dan bermanfaat, Sang Buddha akan mengucapkannya pada saat yang tepat." Memang cara ini bertujuan baik karena ingin menyelamatkan orang tersebut, tetapi setidaknya, pernyataan ini secara langsung menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai orang lain. Bahkan dalam Vinaya, jika ada seorang bhikkhu melanggar peraturan, pertama yang harus dilakukan oleh Sangha adalah menegur (rebuke) bhikkhu tersebut. Cara ini melukai tetapi penting supaya bhikkhu tersebut ingat kesalahannya.Yang dicari TS adalah melukai atau membunuh dengan sengaja sedangkan dalam Abhayarajakumara, perumpamaan yang dipakai adalah menyelamatkan, walaupun efek sampingnya adalah melukai. Terlebih lagi, perumpamaan itu adalah untuk menggambarkan ucapan tidak enak (yang mungkin dikatakan oleh Buddha) namun bermanfaat, bukan sebuah perbuatan fisik.
Bagaimana,,,,, 5.000.000 kah? ;D ;D ;D
Pada jaman dahulu kala, di Vārāṇasī hiduplah seorang pelacur kelas tinggi bernama Sulasā. Suatu hari, ia menyelamatkan nyawa seorang perampok bernama Suttaka yang akan dihukum mati. Mereka kemudian menikah. Setelah hidup bersama, nafsu keserakahan Suttaka bukannya semakin surut, malah semakin menjadi-jadi. Dahulu ia merampok karena hidupnya serba kekurangan. Namun sekarang setelah hidupnya tidak kekurangan, dirasakannya masih belum berkecukupan.
Tidak terlalu lama berselang, karena ingin menguasai seluruh harta benda Sulasā, si perampok bermaksud membunuh Sulasā, istrinya. Ia membujuk istrinya untuk mengenakan perhiasan-perhiasannya yang sangat berharga dan bersama-sama hendak mengunjungi suatu tempat. Namun di tengah perjalanan, di puncak sebuah gunung, ia minta beristirahat dan menyuruh istrinya agar melepaskan semua perhiasannya. Dia bermaksud hendak membunuhnya dengan melemparkan tubuh Sulasā ke jurang.
Namun Sulasa berpikir, “Ia pasti akan membunuhku. Aku harus menyerangnya lebih dulu. Aku akan menang jika aku menggunakan muslihat.”
Maka ia memohon sambil terisak-isak, “Suamiku…, meskipun engkau mau membunuhku, aku tetap mencintaimu, aku sungguh seorang perempuan yang tak berdaya. Menjelang kematianku, izinkanlah aku memberi hormat kepadamu dari empat penjuru, depan, belakang, kiri, dan kanan.”
Tanpa mencurigai muslihatnya, si perampok mengizinkan istrinya melakukan hal itu. Sewaktu memberi hormat kepada si perampok, yang sedang berdiri di tepi tebing, dari depan dan samping, ketika ia berada di belakangnya, ia memutuskan untuk membunuh suaminya dengan mendorong sekuat-kuatnya hingga Suttaka jatuh dari tebing dan mati.
Bodhisatta (Calon Buddha) yang ketika itu terlahir sebagai dewa yang menetap di gunung tersebut berkata,
“ Na hi sabbesu ṭhānesu puriso hoti paṇḍito, itipi paṇḍito hoti tattha tattha vicakkhaṇā “
[Tidak selalu laki-laki lebih bijaksana; perempuan juga bisa bijaksana dan berpandangan jauh].
Yang dicari TS adalah melukai atau membunuh dengan sengaja sedangkan dalam Abhayarajakumara, perumpamaan yang dipakai adalah menyelamatkan, walaupun efek sampingnya adalah melukai. Terlebih lagi, perumpamaan itu adalah untuk menggambarkan ucapan tidak enak (yang mungkin dikatakan oleh Buddha) namun bermanfaat, bukan sebuah perbuatan fisik.
Jadi menurut saya, (5+1) juta ini masih 'aman'.
IMO, jika ada kasus bayi yg benar2 menelan kerikil, saya pikir cukup dapat disimpulkan dari sutta itu bahwa Sang Buddha menyetujui tindakan-tindakan yg sengaja melukai itu yg tujuannya untuk menyelamatkan, dan ini memenuhi syarat TS bagian "pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain"
saya ikutan akh..untung2 dapet..Sulasa-Jataka (n.419)
Pada jaman dahulu kala, di Vārāṇasī hiduplah seorang pelacur kelas tinggi bernama Sulasā. Suatu hari, ia menyelamatkan nyawa seorang perampok bernama Suttaka yang akan dihukum mati. Mereka kemudian menikah. Setelah hidup bersama, nafsu keserakahan Suttaka bukannya semakin surut, malah semakin menjadi-jadi. Dahulu ia merampok karena hidupnya serba kekurangan. Namun sekarang setelah hidupnya tidak kekurangan, dirasakannya masih belum berkecukupan.
Tidak terlalu lama berselang, karena ingin menguasai seluruh harta benda Sulasā, si perampok bermaksud membunuh Sulasā, istrinya. Ia membujuk istrinya untuk mengenakan perhiasan-perhiasannya yang sangat berharga dan bersama-sama hendak mengunjungi suatu tempat. Namun di tengah perjalanan, di puncak sebuah gunung, ia minta beristirahat dan menyuruh istrinya agar melepaskan semua perhiasannya. Dia bermaksud hendak membunuhnya dengan melemparkan tubuh Sulasā ke jurang.
Namun Sulasa berpikir, “Ia pasti akan membunuhku. Aku harus menyerangnya lebih dulu. Aku akan menang jika aku menggunakan muslihat.”
Maka ia memohon sambil terisak-isak, “Suamiku…, meskipun engkau mau membunuhku, aku tetap mencintaimu, aku sungguh seorang perempuan yang tak berdaya. Menjelang kematianku, izinkanlah aku memberi hormat kepadamu dari empat penjuru, depan, belakang, kiri, dan kanan.”
Tanpa mencurigai muslihatnya, si perampok mengizinkan istrinya melakukan hal itu. Sewaktu memberi hormat kepada si perampok, yang sedang berdiri di tepi tebing, dari depan dan samping, ketika ia berada di belakangnya, ia memutuskan untuk membunuh suaminya dengan mendorong sekuat-kuatnya hingga Suttaka jatuh dari tebing dan mati.
Bodhisatta (Calon Buddha) yang ketika itu terlahir sebagai dewa yang menetap di gunung tersebut berkata,
“ Na hi sabbesu ṭhānesu puriso hoti paṇḍito, itipi paṇḍito hoti tattha tattha vicakkhaṇā “
[Tidak selalu laki-laki lebih bijaksana; perempuan juga bisa bijaksana dan berpandangan jauh].
ada lagi kisah tentang seorang istri yg membunuh suaminya yg jahat dengan cara mendorongnya ke jurang, dan para dewa malah memuji kebijaksanaan si istri tersebut.
Kedua cerita di atas tidak ada dalam Tipitaka, melainkan di dalam kitab komentar (Aṭṭhakathā). Anda berdua tidak berhak mendapatkan 6 juta rupiah.. ;D
saya memang tidak mengharapkan 6jt tapi mana tau masih bisa jadi juara2 dapat 4jt
IMO, jika ada kasus bayi yg benar2 menelan kerikil, saya pikir cukup dapat disimpulkan dari sutta itu bahwa Sang Buddha menyetujui tindakan-tindakan yg sengaja melukai itu yg tujuannya untuk menyelamatkan, dan ini memenuhi syarat TS bagian "pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain"Dalam bayangan saya sih kalau namanya 'sengaja' itu adalah maksudnya memang niatnya melukai. Kalau orang ingin mengeluarkan batu dari mulut bayi, maka ia berusaha sebisa mungkin tidak melukainya. Namun walaupun melukai, tetap akan dilakukan juga jika terpaksa. Berbeda dengan yang sengaja dengan niat melukai. Tapi memang definisi dari TS masih kurang detail, jadi kalau mau dipaksakan, sepertinya bisa juga. Tergantung juri yang menilai.
kok cerita NPNG mirip dengan ini yak :
Kisah Kundalakesi Theri
DHAMMAPADA VIII, 3-4
Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh dan ia secara tiba-tiba jatuh cinta padanya. Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya menolak. Tetapi Kundalakesi tak mau mundur setapak pun. Akhirnya orang tuanya mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan pencuri tersebut.
Mereka berdua segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi mencintai suaminya dengan sangat, suaminya tetaplah seorang pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan permatanya.
Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya, dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung.
Katanya: "Adinda, aku ingin melakukan persembahan kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong hidupku ketika akan dibunuh".
Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya.
Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata: "Sekarang kita berdua telah sampai di tujuan. Maka engkau akan kubunuh untuk mendapatkan semua permatamu itu!"
Dengan ketakutan Kundalakesi memohon: "Jangan! Aku jangan kau bunuh. Ambillah semua hartaku, tetapi selamatkanlah nyawaku!"
"Membiarkanmu hidup?" ejek suaminya. "Jangan-jangan nanti engkau malahan melaporkan bahwa permatamu itu kurampas. Tidak bisa! Kau harus kulenyapkan untuk menghilangkan saksi!"
Dalam keputus-asaannya Kundalakesi menyadari bahwa mereka sekarang sedang berada di tepi jurang. Ia berpikir bahwa ia seharusnya berhati-hati dan cerdik. Jika ia mendorong suaminya ke jurang, mungkin merupakan satu kesempatan untuk dapat hidup lebih lama lagi.
Kemudian dengan mengiba ia berkata kepada suaminya: "Kakanda, kita berkumpul bersama-sama ini hanya tinggal beberapa saat lagi. Bagaimana pun juga, engkau adalah suamiku dan orang yang sangat kucintai. Maka, ijinkanlah aku memberikan penghormatan kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Hanya itu saja permintaan terakhirku. Semoga kakanda mau mengabulkan permintaan terakhir isterimu ini".
Setelah berkata seperti itu, Kundalakesi mengitari laki-laki itu dengan penuh hormat, sampai tiga kali.
Pada kali terakhir, ketika ia berada di belakang suaminya, dengan sepenuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh ke tebing batu yang terjal.
Setelah kejadian itu, ia tidak berkeinginan lagi untuk kembali ke rumah. Ia meninggalkan semua permata-permatanya dengan menggantungnya di sebuah pohon, dan pergi, tanpa tahu kemana ia akan pergi.
Secara kebetulan ia sampai di tempat para pertapa pengembara wanita (paribbajika) dan ia sendiri menjadi seorang pertapa penngembara wanita. Para paribbajika lalu mengajarinya seribu problem pandangan menyesatkan.
Dengan kepandaiannya ia menguasai apa yang diajarkan mereka dalam waktu singkat. Kemudian gurunya berkata kepadanya untuk pergi berkelana dan jika ia menemukan seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, jadilah kamu muridnya.
Kundalakesi berkelana ke seluruh Jambudipa, menantang siapa saja untuk berdebat dengannya. Oleh karena itu ia dikenal sebagai "Jambukaparibbajika".
Pada suatu hari, ia tiba di Savatthi. Sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan, ia membuat sebuah gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia di atasnya. Suatu tanda yang biasa ia lakukan untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya.
Sariputta Thera menerima tantangannya.
Kundalakesi menanyakan kepadanya seribu pertanyaan dan Sariputta Thera berhasil menjawab semuanya.
Ketika giliran Sariputta Thera bertanya kepadanya, Sariputta Thera hanya bertanya seperti ini: "Apa yang satu itu? (Ekam nama kim)".
Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawab. Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar ia dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta berkata bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang bhikkhuni.
Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktekkan apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang arahat.
Tak lama setelah kejadian tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: "Apakah masuk akal Bhikkhuni Kundalakesi menjadi seorang arahat setelah hanya sedikit mendengar Dhamma?"
Mereka juga menambahkan bahwa wanita tersebut telah berkelahi dan memperoleh kemenangan melawan suaminya, seorang pencuri, sebelum ia menjadi paribbajika.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 102 dan 103 berikut ini:
Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat adalah lebih baik satu kata Dhamma yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.
Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertemburan, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.
***
bukannya jataka termasuk dalam sutta pitaka-Khuddaka Nikaya ya?..duh ngarep banget ;DDi Jataka banyak kisah pembunuhan, tapi hanya dikisahkan saja, tidak disetujui dan diajarkan oleh Buddha.
ini cerita gue, gimana sih? tapi gak memenuhi syarat karena dari Atthakathaiye, npng di postnya juga ada tuh, yang jataka.
Di Jataka banyak kisah pembunuhan, tapi hanya dikisahkan saja, tidak disetujui dan diajarkan oleh Buddha.
bukannya jataka termasuk dalam sutta pitaka-Khuddaka Nikaya ya?..duh ngarep banget ;D
Jātaka termasuk Tipitaka, tetapi kisah-kisahnya sebenarnya ada dalam Aṭṭhakathā. Jātaka hanya berisi syair-syair doang.
loh bukannya tindakan seperti itu malah dipuji oleh bodhisatta sebagai tindakan bijaksana?Bodhisatta 'kan bukan Buddha. Di kehidupan lampau, bodhisatta juga banyak membunuh orang. Lagipula yang dipuji adalah kecerdikannya, bukan pembunuhannya.
[at] NPNG, sudahlah, daripada tidak sama sekali, mendingan kita jadi supporter bagi pemenang saja, mana tau bisa kecipratan dari sang pemenang
Bodhisatta 'kan bukan Buddha. Di kehidupan lampau, bodhisatta juga banyak membunuh orang. Lagipula yang dipuji adalah kecerdikannya, bukan pembunuhannya.
Di Jataka banyak kisah pembunuhan, tapi hanya dikisahkan saja, tidak disetujui dan diajarkan oleh Buddha.
Samanera yang saya hormati, ^:)^ dan teman-teman sekalian... Maafkan tadinya saya sudah berpikir untuk memberikan hadiah...Tetapi setelah saya baca kembali naskah yang bersangkutan berdasarkan terjemahan Access to insight maupun mettalanka ternyata disana tidak dikatakan pembenaran untuk melukai mahluk lain....
Dalam Sutta tersebut dikatakan "dalam usaha mengeluarkan batu atau ranting kayu", jadi di Sutta tersebut tidak ada tujuan untuk dengan sengaja melukai. Jadi luka bukanlah tujuan atau kehendak dengan sengaja, tapi luka adalah disebabkan kehendak atau cetana (efek samping yang tak diinginkan) untuk mengeluarkan ranting kayu atau batu tersebut.
Kecuali dikatakan bahwa "Melukai dengan sengaja mulut bayi tersebut untuk mendapatkan batu atau kayu....dapat dibenarkan" maka lima juta rupiah saya akan hilang.
Coba cari lagi cerita yang lebih pas... hayooo.... ;D
Mettacittena, _/\_
kan sesuai definisi TS nya:Betul juga. Pikir2 lagi, banyak juga kelemahan TS.
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
kan TS sendiri kgk bilang harus dr sang buddha..
kan sesuai definisi TS nya:
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
kan TS sendiri kgk bilang harus dr sang buddha..
Dalam bayangan saya sih kalau namanya 'sengaja' itu adalah maksudnya memang niatnya melukai. Kalau orang ingin mengeluarkan batu dari mulut bayi, maka ia berusaha sebisa mungkin tidak melukainya. Namun walaupun melukai, tetap akan dilakukan juga jika terpaksa. Berbeda dengan yang sengaja dengan niat melukai. Tapi memang definisi dari TS masih kurang detail, jadi kalau mau dipaksakan, sepertinya bisa juga. Tergantung juri yang menilai.
Sengaja melukai tidak harus berarti berniat melukai secara negatif. Jika kerikil menyangkut ditenggorokan seorang bayi, seumpamanya bayi tersebut dibawa ke dokter, seorang dokter, dengan sengaja dan penuh sadar, harus memotong bagian tubuh (melukai bagian tubuh) sekitar tenggorokan bayi tersebut untuk mengeluarkan kerikil tersebut. Di sini ada unsur kesengajaan untuk melukai meskipun tujuan utamanya adalah demi menyelematkan bayi tersebut.
Bro Kaynin yang baik, reply no 48 disetujui atau tidak oleh Sang Buddha....? Kalau ada persetujuan dari Sang Buddha: "five million rupiahs is yours..... " :PItu Buddha yang ngomong kok. ;D Sayembaranya 'kan tidak membahas arti, komentar dan lain-lain, hanya minta 'penyataan dalam Tipitaka yang menyetujui ...'
Mettacittena,
Samanera yang saya hormati, ^:)^ untunglah tidak tertulis demikian di Sutta tersebut jadi lima jutanya selamat hehehe....
_/\_
Sengaja melukai tidak harus berarti berniat melukai secara negatif. Jika kerikil menyangkut ditenggorokan seorang bayi, seumpamanya bayi tersebut dibawa ke dokter, seorang dokter, dengan sengaja dan penuh sadar, harus memotong bagian tubuh (melukai bagian tubuh) sekitar tenggorokan bayi tersebut untuk mengeluarkan kerikil tersebut. Di sini ada unsur kesengajaan untuk melukai meskipun tujuan utamanya adalah demi menyelematkan bayi tersebut.Memang betul. Ini hanya permainan bahasa saja. 'Jotos' dan 'pijat' juga bisa sama bentuknya, cuma beda niatnya saja.
Itu Buddha yang ngomong kok. ;D Sayembaranya 'kan tidak membahas arti, komentar dan lain-lain, hanya minta 'penyataan dalam Tipitaka yang menyetujui ...'
Kan Angulimala juga membunuh dalam Sutta, apakah dibenarkan....? Di judul awal sudah ditulis membenarkan/ menyetujui..... ;DKalau Angulimala memang diceritakan membunuh dalam sutta, tapi memang tidak dibenarkan. Berbeda dengan syair dhammapada ini yang memang dikatakan oleh Buddha Gotama sendiri, terlepas dari makna 'tersembunyinya'.
Kalau Angulimala memang diceritakan membunuh dalam sutta, tapi memang tidak dibenarkan. Berbeda dengan syair dhammapada ini yang memang dikatakan oleh Buddha Gotama sendiri, terlepas dari makna 'tersembunyinya'.
Kutipan dari mettalanka: "Venerable sir, I will pull it out. If I could not take it out quickly, taking hold of the head with the left hand, would pull it out with the finger of the right hand, even while blood is spilt"
"Bhante, saya akan mengeluarkannya. Jika saya tak dapat mengeluarkannya dengan cepat, dengan memegang kepalanya ditangan kiri, saya akan menariknya dengan jari di tangan kanan, walaupun darah mengucur"
jadi jelas tidak ada kata-kata merobek mulut dsbnya.
Teman-teman sekalian, memang judul yang saya berikan belum sempurna, masukan dari teman-teman sungguh berharga, Mungkin harus ditambah lagi kondisinya untuk sayembara ini sehingga menjadi sempurna, teman-teman harap memberi masukan lebih jauh.....
Mettacittena, _/\_
Kutipan dari mettalanka: "Venerable sir, I will pull it out. If I could not take it out quickly, taking hold of the head with the left hand, would pull it out with the finger of the right hand, even while blood is spilt"
"Bhante, saya akan mengeluarkannya. Jika saya tak dapat mengeluarkannya dengan cepat, dengan memegang kepalanya ditangan kiri, saya akan menariknya dengan jari di tangan kanan, walaupun darah mengucur"
jadi jelas tidak ada kata-kata merobek mulut dsbnya.
Teman-teman sekalian, memang judul yang saya berikan belum sempurna, masukan dari teman-teman sungguh berharga, Mungkin harus ditambah lagi kondisinya untuk sayembara ini sehingga menjadi sempurna, teman-teman harap memberi masukan lebih jauh.....
Mettacittena, _/\_
Kutipan dari mettalanka: "Venerable sir, I will pull it out. If I could not take it out quickly, taking hold of the head with the left hand, would pull it out with the finger of the right hand, even while blood is spilt"
"Bhante, saya akan mengeluarkannya. Jika saya tak dapat mengeluarkannya dengan cepat, dengan memegang kepalanya ditangan kiri, saya akan menariknya dengan jari di tangan kanan, walaupun darah mengucur"
jadi jelas tidak ada kata-kata merobek mulut dsbnya.
Teman-teman sekalian, memang judul yang saya berikan belum sempurna, masukan dari teman-teman sungguh berharga, Mungkin harus ditambah lagi kondisinya untuk sayembara ini sehingga menjadi sempurna, teman-teman harap memberi masukan lebih jauh.....
Mettacittena, _/\_
[...]Kondisinya boleh ditambah lagi untuk sayembara berikutnya >:D
Teman-teman sekalian, memang judul yang saya berikan belum sempurna, masukan dari teman-teman sungguh berharga, Mungkin harus ditambah lagi kondisinya untuk sayembara ini sehingga menjadi sempurna, teman-teman harap memberi masukan lebih jauh.....
Mettacittena, _/\_
Kalau Angulimala memang diceritakan membunuh dalam sutta, tapi memang tidak dibenarkan. Berbeda dengan syair dhammapada ini yang memang dikatakan oleh Buddha Gotama sendiri, terlepas dari makna 'tersembunyinya'.
Memang tidak ada kata-kata langsung 'merobek mulut', tetapi kalimat di atas mengandung unsur pemaksaan secara fisik yang mana si pelaku secara sangat sadar dan tahu bahwa cara tersebut akan melukai si bayi, dan.... Sang Buddha menyetujui cara tersebut. :D
Kalau kondisinya ditambah, ngga ada pemenangnya deh.. :D
kalau mengancam kepala jadi tujuh bagian termasuk gak nih, ada khan suttanya buddha mengancam kepala pecah jadi tujuh di Ambaṭṭha Sutta ;
http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_3:_Ambattha_Sutta_(Walshe)
Bro Kaynin yang baik, Terima kasih masukannya bro, sayang tidak tertulis secara eksplisit tindakan ini dapat dibenarkan atau "membunuh orang tuanya dapat dibenarkan"Yang tertulis di sini, dengan membunuh (orang tua, raja, dsb), "anīgho yāti brāhmaṇo" (brahmana mengembara tanpa kebingungan). "Anigha" adalah tujuan dari berlatih, yaitu terhentinya dukkha. Jadi memang 'membunuh' di sini dianjurkan kok.
Yang tertulis di sini, dengan membunuh (orang tua, raja, dsb), "anīgho yāti brāhmaṇo" (brahmana mengembara tanpa kebingungan). "Anigha" adalah tujuan dari berlatih, yaitu terhentinya dukkha. Jadi memang 'membunuh' di sini dianjurkan kok.
Kalaupun saya tidak dapat 6 juta, kayaknya Kainyn bisa dapat nih..... :DSudah saya siapkan nih nomor rekeningnya >:D
Sudah saya siapkan nih nomor rekeningnya >:D
Yang tertulis di sini, dengan membunuh (orang tua, raja, dsb), "anīgho yāti brāhmaṇo" (brahmana mengembara tanpa kebingungan). "Anigha" adalah tujuan dari berlatih, yaitu terhentinya dukkha. Jadi memang 'membunuh' di sini dianjurkan kok.sayembaranya secara fisik nih :
Benar-benar mulia nih tujuannya. Padahal kalau saya dapat, mau bikin party. hehe..."Party" juga kok, 'kan atas nama Fabian C. & makhluk2 DC, jadi beramai-ramai. ;D
sayembaranya secara fisik nih :Kalau membunuh yah pasti secara fisiklah. Kalau melukai secara mental itu membuat orang stress sampai sakit jiwa, atau pakai gas halusinasi si Scarecrow di film Batman.
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
kalau mengancam kepala jadi tujuh bagian termasuk gak nih, ada khan suttanya buddha mengancam kepala pecah jadi tujuh di Ambaṭṭha Sutta ;
http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_3:_Ambattha_Sutta_(Walshe)
i knew it :|Knew what?
[Memanfaatkan kelemahan definisi TS]
Dari Tipitaka, Kuddhakanikaya, Dhammapada 294 & 295:
Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca khattiye;
Raṭṭhaṃ sānucaraṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Membunuh ayah dan ibu, dua raja khattiya;
Menghancurkan kerajaan beserta penduduknya, Brahmana sejati berjalan tak tergoyahkan
Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca sotthiye;
Veyagghapañcamaṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Membunuh ayah dan ibu, dua raja makmur;
Membunuh harimau, Brahmana sejati berjalan tak tergoyahkan
Ditunggu hadiahnya.
Ini teman-teman dasar pade muke hadiah... hehehe... tujuannya kan untuk umum... Warga DC diminta untuk nambah hadiah bukannya ngambil hadiah hehehe.....
IMO, jika terjemahannya seperti itu maka di sini saya tidak menemukan unsur pembenaran maupun penolakan. Dan layaknya syair belum tentu merupakan arti sebenarnya.Syair ini adalah metafora, bukan arti sesungguhnya, saya setuju 100%. Tapi mengenai sebab-akibat, memang syair ini sudah jelas. Saya coba ganti:
Berbeda jika : "bunuhlah ayah ibu maka engkau menjadi Brahmana sejati berjalan tak tergoyahkan"
Syair ini adalah metafora, bukan arti sesungguhnya, saya setuju 100%. Tapi mengenai sebab-akibat, memang syair ini sudah jelas. Saya coba ganti:
"Makan nasi, makan kwetiau
makan soto, brahmana kekenyangan"
Sudah tentu artinya brahmana kekenyangan karena makan ini-itu. ;D
Ayo teman-teman sekalian... Tolong bantu kasih ide sempurnakan kata-katanya, dan jangan lupa, bila memungkinkan tambah hadiahnya ya...? ^-^ Thanks...
Mettacittena,
yah boleh2 aja di revisi, tapi revisi hanya berlaku untuk gelombang berikutnya, untuk yg satu ini, karena sudah terlanjur, maka harap dicairkan dulu. babi-babi sudah menunggu
ajakan menyempurnakan ini, menurut etika sayembara hanya berlaku untuk periode berikutnya, untuk periode pertama, penyelengara wajib membayarkan hadiah walaupun tidak sesuai dengan yg dimaksudkan, karena hal ini adalah kecerobohan di pihak penyelenggara
Iya dooongg....( tenang aja tetap konsisten kok... ;D ) Tapi kan belum ada pernyataan eksplisit yang membenarkan tindakan melukai atau membunuh kan...? ;D . Untuk periode pertama sayembara hanya diadakan seminggu saja lalu ditutup... Untuk sayembara periode kedua kalau sudah disempurnakan baru tantangan diajukan untuk masa yang tak terbatas.... fair kan...? Nambahin dong hadiah untuk periode kedua.... hehehe....
Mettacittena,
kurang menarik dan tidak mendidik kalau harus eksplisit, seharusnya implisit juga boleh. karena jika secara eksplisit, tinggal search Tipitaka CD dengan keyword "bunuh" dalam Pali dan perhatikan apakah kata itu digunakan oleh Sang Buddha secara eksplisit untuk membenarkan pembunuhan. tapi jika secara implisit, maka peserta terpaksa membaca keseluruhan sutta agar dapat memahami apa yg dimaksudkan oleh Sang Buddha bahkan walaupun tidak disertai kata "bunuh" secara eksplisit.
NB:jadi hadiah periode pertama kapan bisa dicairkan, saya sebagai wakil dari pemenang berhak menagih walaupun bukan debt collector
kalau dari buddha yg lain gak aci juga ya?Mau pasang kisah Buddha Kassapa memberi 'pandangan mematikan' ke Mara Dusi yah?
Mau pasang kisah Buddha Kassapa memberi 'pandangan mematikan' ke Mara Dusi yah?
lebih keren ajaran "menyeberangkan" dari badut.=))
Ga seru ah, kalau pakai tafsir ini itu, tentu tidak akan ada pemenangnya. Contohnya saya saja yang beri sayembara: kalau bisa ditemukan di tipitaka ada anjuran main lenong pakai musik death metal karangan Johan Sebastian Bach, saya beri 1 M Euro. <- Secara statistik, ini masih lebih mungkin ketimbang 'menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik yang menurut interpretasi, tafsir, komentar, persepsi dan olah makna dari saya'.
kalau kisah arahat bunuh diri, itu khan gara2 ajaran buda mengajarkan asuba
tapi saya masih optimis Mbah Fabian cukup konsisten yg apa yg ia katakan, kalo Bro Adi sih memang agak meragukan
Benar, Sdr. Kainyn, jika kita mengganti kata-katanya dengan kata-kata yang berhubungan dekat dan jelas yaitu antara makan dan kenyang, persepsi kita dengan cepat menghubungkannya sebagai sebab-akibat.Sudah saya singgung sebelumnya, "anīgha" di sini maksudnya tanpa kebingungan/tak tergoyangkan bathinnya. Mana mungkin seorang Buddha memberikan syair yang tidak berhubungan antar frasanya, jadi seperti:
Tapi dalam syair tersebut tidak demikian. Apa hubungan antara berjalan tak tergoyangkan dengan membunuh? Bahkan kita tidak tahu tak tergoyangkan dalam hal apa, apakah batinnya, apakah badannya. Apakah dengan membunuh pasti badannya tidak bergoyang-goyang saat berjalan?
Jadi tidak ada kejelasan hubungan yang benar-benar jelas dalam syair ini.
setuju, idealnya suatu sayembara pasti ada pemenangnya, jika suatu sayembara diadakan tapi mustahil ada pemenangnya, siapa yg mau main?Biasanya sayembara dan sejenisnya harus mencantumkan 'syarat dan ketentuan' yang tepat, karena memang bisa dicari kelemahannya. Saya ingat dulu ada kasus iklan mobil seharga $X yang dalam iklannya dikatakan seharga X pisang (banana), lalu ada orang benar datang membawa pisang sejumlah X untuk beli mobilnya. Pisang ditolak, naik sidang, pembeli menang, dan mobil itu dibeli seharga X pisang.
Kisah Bhaddiya Thera, Si Orang Pendek
DHAMMAPADA XXI : 294, 295
Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka.
Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi tanpa penderitaan lagi".
Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan Beliau berkenan menjelaskan artinya.
Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan dengan kehidupan arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan objek indria. Sang Buddha telah membuat pernyataan metaforis. Istilah "ibu" dan "ayah" digunakan untuk menunjukkan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan/pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan/pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria serta objek indria seperti halnya sebuah kerajaan.
Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair 294 dan 295 berikut ini:
Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria)
bersama dengan para menterinya (kemelekatan),
maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.(294)
Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin),
maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.(295)
http://www.w****a.com/forum/kumpulan-sutra-vinaya-buddhist/6495-kisah-kisah-dhammapada-bab-xxi-bunga-rampai-290-291-292-293-294-295-a.html
hehe sebagai member DC.... om Fabian 6 jt nya ditahan dulu ~ _/\_
"habbit"?
samsara habbit
ckckck
Cerita di atas khan Dhammapada Aṭṭhakathā, dan bukan Dhammapadanya. Yang dijadikan sayembara adalah pernyataan yang ada dalam Tipitaka. Dhammapada Aṭṭhakathā bukan termasuk Tipitaka. Syair yang dicantumkan Kainyn sudah memenuhi syarat untuk menjawan posting awal. hehehe.....
Samanera yang saya hormati, ^:)^ Sayang sekali saya harus mengecewakan Samanera lagi nih... Syair tersebut jelas hanya merupakan kiasan. Tak ada yang dilukai, tak ada yang mati. Hanya bentuk kiasan, bukan real secara fisik. Berikut saya copaskan syair tersebut dari Mettalanka:
Mataram pitaram hantva
rajano dye ca khattiye
rattham sanucaram hantva
anigho yati1 brahmano.
Mataram pitaram hantva
rajano dve ca sotthiye
veyagghapancamam2 hantva
anigho yati brahmano
Ini terjemahan bahasa Inggrisnya:
Verse 294: Having killed mother (i.e., Craving), father (i.e., Conceit), and the two kings (i.e., Eternity-belief and Annihilation-belief), and having destroyed the kingdom (i.e., the sense bases and sense objects) together with its revenue officer (i.e., attachment), the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.
Verse 295: Having killed mother, father, the two brahmin kings and having destroyed the hindrances of which the fifth (i.e., doubt) is like a tiger-infested journey, the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.
Sedangkan sayembaranya ditulis demikian:
"membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik"
Syair itu tidak dimaksudkan membunuh secara fisik, jadi saya masih aman. Ayo jangan menyerah Samanera... :))
Mettacittena, _/\_
selalu ada term and condition baru jika ada jawaban yg benar, sayembara ini tidak sah
_/\_ bagaimanapun juga, siswa sang Buddha jangan hanyut demi 6 jt yah :)) :)) :))
Yang disayembarakan tidak menyebutkan apakah harus mengecualikan'makna kiasan' ataukah tidak. Yang terpenting adalah 'pernyataan dalam Tipitaka'. Makna sesungguhnya dalam syair di atas dijelaskan dalam kitab komentar dan bukan Tipitakanya. Beberapa kata-kata yang ada dalam tanda kurung di terjemahan bahasa Inggris di atas diambil dalam Kitab komentar. Secara pernyataan, dengan melupakan makna yang tersembunyi di balik syair di atas, sudah memenuhi syarat untuk memenangkan sayembara di atas. hehe....
Sekarang juga mesti dibahas mengenai Abhāyarājākumārasutta, Majjhimanikāya terutama ketika Sang Buddha mengklaim bahwa Beliau sendiri juga terkadang mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan (appiyā) dan tidak disetujui (amanāpā) kepada orang lain. Meskipun kata-kata yang diucapkan Beliau pada akhirnya bermanfaat bagi si pendengar, setidaknya, kata-kata tersebut pada awalnya melukai.
Lihat saja dalam Aggikkhandhasutta, Aṇguttaranikāya. Ketika Sang Buddha membabarkan Sutta ini, ada 60 bhikkhu langsung memuntahkan darah ( Imasmiñca pana veyyākaraṇasmiṃ bhaññamāne saṭṭhimattānaṃ bhikkhūnaṃ uṇhaṃ lohitaṃ mukhato uggañchi).
Di sutta ini, ada indikasi bahwa kata-kata yang melukai diperbolehkan jika pada akhirnya memberikan manfaat yang lebih besar. Bagaimana, 6 jutakah? hehehe....
selalu ada term and condition baru jika ada jawaban yg benar, sayembara ini tidak sah
Loh.... kan sudah dibilang term and condition baru untuk tahap ke 2...? Jawaban teman-teman belum ada yang memenuhi term and condition yang ada, jadi 6 jutanya masih aman hehehe.... maaf ^-^
Mettacittena,
lupakan 6 juta,
tambah 1 juta, hadiah jadi 7 juta !
menarik ! :jempol:
perumpamaan bayi menelan kerikil adalah contoh kasus yg paling pas. memang tidak disebutkan bahwa Sang Buddha membenarkan atau menolak cara itu, tapi Sang Buddha menggunakan perumpamaan ini yg menyiratkan bahwa Sang Buddha menerima (menyetujui) cara itu sbg cara untuk menyelamatkan bayi bahkan jika seandainya harus melukai bayi itu, karena bayi yg terluka adalah lebih baik daripada bayi yg mati.
lupakan 6 juta,
tambah 1 juta, hadiah jadi 7 juta !
menarik ! :jempol:
gini aja deh, gue double-in, 14 jt untuk masing2 Bro Adi dan mbah Fabian, jika anda berdua bisa menemukan fakta spt topik sayembara. *kita adu ilmu geliat belut*
[at] Fabian:
Bagi seorang puthujjana, semua bentuk mental akan mempengaruhi kondisi fisik. Jika pikiran muncul ketidak-senangan karena mendengarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, jasmani pun akan terpengaruhi. Jasmani akan menjadi tegang, dada terasa sesak, hati menjadi panas. Ini juga merupakan luka jasmani.. hehehehe.......
Btw, dalam kitab Komentar untuk Aggikkhandhasutta, dijelaskan bahwa sebelum memberikan khotbah ini, Sang Buddha terlebih dahulu sudah melihat akibat yang akan terjadi. Namun karena mempertimbangkan bahwa melalui khotbah tersebut 60 bhikkhu akan mencapai arahat, Beliau memberikan khotbah ini, meski Beliaupun tahu bahwa 60 bhikkhu akan memuntahkan darah segar. Nah kitab komentar dengan jelas memberikan indikasi bahwa terkadang melukai secara fisik dibenarkan jika ada keuntungan yang lebih besar. hehehe....
Samanera yang saya hormati, ^:)^ kan Samanera sendiri yang bilang kitab penjelasan bukan termasuk Tipitaka...? Jadi 35 juta belum kena kan....? ;D
Mettacittena, _/\_
gini aja deh, gue double-in, 14 jt untuk masing2 Bro Adi dan mbah Fabian, jika anda berdua bisa menemukan fakta spt topik sayembara. *kita adu ilmu geliat belut*
Bro Indra yang baik, dalam kisah tersebut nampaknya pangeran Abhaya tidak ada mengatakan bahwa ia akan melukai anak itu untuk mengambil batu atau rantingnya, tetapi dalam Sutta tersebut dikatakan bahwa dalam usaha menyelamatkan bayi tersebut mungkin bayinya luka dan mengeluarkan darah, tetapi luka bukanlah tujuan, luka adalah efek samping.
Cetananya bukan untuk melukai, tetapi untuk mengambil batu, untuk menolong menyelamatkan yang merupakan kebalikan dari melukai atau membunuh..
Sutta ini klop dengan kasus brahmana Magandiya dan Bhikkhu-Bhikkhu yang muntah darah.
Siip...... :jempol:
14 juta kali dua jadi 28 juta....
Tambah 7 juta jadi 35 juta..... kamsiah....
Hayo yang bisa menemukan sesuai dengan term and condition, hadiahnya menjadi 35 juta hehehe..... :jempol:
ckckc... baru 1 hari prize sudah bertambah dari sebelumnya 5 jt -> 6 jt -> 7 jt -> 35 jt (meskipun special tuk om Adi & om Fabian) .. wow makin menggiurkan saja ;D
14 juta kali dua jadi 28 juta....
Tambah 7 juta jadi 35 juta..... kamsiah....
Hayo yang bisa menemukan sesuai dengan term and condition, hadiahnya menjadi 35 juta hehehe..... :jempol:
Saya menyebutkan penjelasan kitab komentar karena dalam menanggapi dua syair Dhammapada yang dikutip Kainyn, anda juga menggunakan kitab komentar untuk mendukung bahwa syair tersbt hanya merupakan kiasan. ;D
Samanera yang saya hormati, ^:)^ Coba baca lagi dengan seksama syair ke 295. Sayir 295 dengan jelas mengatakan bahwa itu kiasan. Sedangkan syair 294 dan syair 295 berkaitan. Maaf Samanera hehehe....
Mettacittena, _/\_
benar bahwa cetananya bukan untuk melukai, tapi fakta bahwa bayi itu mungkin terluka sudah bisa diterima bahkan oleh Sang Buddha, ini menyiratkan bahwa Sang Buddha tidak keberatan (=menyetujui) bayi tersebut terluka.
lagipula kalau hal ini menjadi alasan, seorang badut yg menyeberangkan orang lain juga bisa berdalih dengan alasan cetana ini. ;DNah kalau ini pindah ke thread khusus....
tawaran ini khusus untuk mbah fabian dan Bro adi limWah nawarin orang yang salah bro... Justru saya minta dicarikan karena sudah lelah mencari.... ;D
Bro Indra yang baik, menurut yang saya baca dari Sutta tersebut, pangeran Abhaya dengan sengaja mengambil batu/ranting, bukan dengan sengaja melukai mulut, disini juga bisa diartikan Sang Buddha tak keberatan/menyetujui disebabkan tujuannya adalah mengambil batu/ranting.
Syair 194:
Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca khattiye;
Raṭṭhaṃ sānucaraṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Setelah membunuh ayah dan ibu, dua raja khattiya;
Menghancurkan kerajaan beserta penduduknya, Brahmana sejati tidak menderita.
Syair 195:
Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca sotthiye;
Veyagghapañcamaṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Setelah membunuh ayah dan ibu, dua raja makmur;
dan membunuh harimau sebagai yang kelima, Brahmana sejati tidak menderita.
Pernyataan bahwa syair 195 sebagai kiasannya mana nih? Dua syair di atas akan terlihat sebagai kiasan hanya ketika kita mengenal ajaran Buddha dan juga secara eksplisit mengacu kepada kitab komentar. ;D
Samanera yang saya hormati, ^:)^ Entah mungkin Mettalanka yang salah terjemahkan, copy paste terjemahannya berikut:
Verse 295: Having killed mother, father, the two brahmin kings and having destroyed the hindrances of which the fifth (i.e., doubt) is like a tiger-infested journey, the brahmana (i.e., the arahat) goes free from dukkha.
Tapi walaupun syair yang sebenarnya sama seperti yang Samanera muat, tetap saja syair ini tak memenuhi term and condition. Saya copas lagi term and conditionnya:
(membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.)
Mari kita kaji, siapakah nama dua raja Khattiya yang membunuh ayah-ibu dan menghancurkan kerajaan beserta penduduknya tersebut....? Apa nama kerajaan yang dihancurkannya....?
Siapakah nama dua raja makmur yang membunuh ayah-ibu dan membunuh harimau...?
Bila ada namanya tentu saja term and conditionnya otomatis terpenuhi.
Mettacittena, _/\_
begini loh, mbah.
abhaya: Bud, ancua nih, bayiku nelen kerikil.
Buddha: korek aja pake ranting.
abhaya: ah, ntar bayiku terluka
Buddha: memang tapi biarlah luka daripada mati.
abhaya: iye juga ye ...
gitu loh, jadi walaupun resiko terluka itu besar kemungkinan terjadi, tapi baik Sang Buddha maupun Pangeran Abhaya bisa menerima resiko itu. niat memang bukan untuk melukai tapi luka itu bisa saja terjadi, suatu resiko yg bisa diterima. nah kalau resikonya bisa diterima, bukankah artinya cara itu dibenarkan?
Semua yang di dalam tanda kurung itu diambil dari kitab komentar. Bahkan kata veyagghapañcamaṃ yang diartikan sebagai the hindrances of which the fifth is like a tiger-infested journey di atas, secara sederhana, hanya bermakna 'harimau sebagai kelima". Veyaggha = harimau, pañcama = kelima. Kitab komentar menjelaskan bahwa harimau di sini bermakna lima rintangan karena seperti halnya jalan yang ada harimaunya berbahaya, demikian pula, lima rintangan batin merupakan bahaya pikiran. Mettalanka menambahkan terjemahan setelah mengacu kepada kitab komentar.
Yang namanya membunuh makhluk hidup kan tidak harus mengetahui namanya kan? hehe....
Bro Indra yang baik, Saya beri contoh.
Ada seorang anak yang terjatuh naik sepeda, kakinya terseret di jalanan sehingga luka lecet yang cukup dalam.
Di pinggir jalan seorang dewasa membangunkan anak itu lalu membawa ke rumahnya.
Sesampai di rumahnya lalu orang dewasa itu lalu mengambil alkohol untuk membersihkan luka, sebelum mencuci lukanya dengan alkohol orang dewasa tersebut berkata, "Nak... saya akan membersihkan lukamu dengan alkohol, tapi akan terasa sakit, tapi ini perlu dilakukan supaya lukamu tidak infeksi...." Lalu ia membersihkan luka anak itu dengan alkohol.
Pertanyaannya:
Apakah yang dilakukan orang dewasa tersebut tergolong perbuatan dengan sengaja menyakiti anak itu....?
Demikian juga dengan kasus pangeran Abhaya, apakah pangeran Abhaya dengan sengaja bermaksud melukai anak itu....?
Inilah sudut pandang saya menghadapi kasus pangeran Abhaya, sehingga saya tidak menganggap bahwa Sutta itu membenarkan melukai mahluk lain.
Term and conditionnya saya copas kembali:
"Membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik"
Mudah-mudahan menjadi jelas.
Mettacittena,
Syair 194:
Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca khattiye;
Raṭṭhaṃ sānucaraṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Setelah membunuh ayah dan ibu, dua raja khattiya;
Menghancurkan kerajaan beserta penduduknya, Brahmana sejati tidak menderita.
Syair 195:
Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca sotthiye;
Veyagghapañcamaṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Setelah membunuh ayah dan ibu, dua raja makmur;
dan membunuh harimau sebagai yang kelima, Brahmana sejati tidak menderita.
Pernyataan bahwa syair 195 sebagai kiasannya mana nih? Dua syair di atas akan terlihat sebagai kiasan hanya ketika kita mengenal ajaran Buddha dan juga secara eksplisit mengacu kepada kitab komentar. ;D
sudah disepakati bahwa niat memang tidak utk melukai/menyakiti, tapi luka dan sakit itu toh tetap terjadi, dan resiko itu bisa diterima dengan kata lain sakit itu bisa dibenarkan. sebelumnya saya sudah memberikan contoh operasi bypass jantung, operasi itu perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien tapi untuk itu dokter bedah harus melukai dada si pasien. luka ini bisa dibenarkan demi operasi tsb. intinya adalah bahwa tindakan melukai dada itu bisa dibenarkan, sama halnya dengan tindakan melukai bayi itu juga bisa dibenarkan, bukankah begitu?
Bro Indra yang baik, menurut saya
kasus pangeran Abhaya tidak dengan sengaja melukai.
sedangkan kasus dokter bypass jantung dengan sengaja melukai.
Mettacittena,
Kalau saya, Samanera, bukan karena mengenal atau tidak ajaran Buddha sehingga menyimpulkan adanya kiasan dalam terjemahan syair versi yang Sdr. Kainyn sampaikan, tetapi karena tidak adanya kata penentu waktu sebagai penghubung kalimat-kalimat yang terpisah oleh tanda koma. Sedangkan dalam versi Samanera, ada kata penunjuk waktu yaitu kata “setelah” sehingga ada kesan adanya urutan peristiwa.
Satu pertanyaan, mohon petunjuk Samanera untuk pembelajaran saya yang tidak mahir bahasa Pali ini, dimanakah yang mengindikasikan adanya kata “setelah” pada syair tersebut. Jika tidak ada, sekali lagi jika tidak ada, maka tidak menutup kemungkinan penambahan kata “setelah” ini pun karena pikiran kita telah terpengaruh oleh kisah yang ada di dalam atthakatha yang pernah kita baca yang di dalamnya terurai kisah dengan urutan peristiwa.
Thanks
NB: bukan syair 194, 195 tapi 294, 295 _/\_
pake logika aja mbah, memasukkan ranting ke dalam kerongkongan, mungkinkah tidak melukai? apalagi jika dilakukan dengan tergesa2 dan bukan oleh seorang ahli.
Kalo yang ini gimane?
8. Menaklukkan Raja Naga1) Nandopananda
(dengan Kekuatan Kesaktian / Iddhi)
Nandopananda bhujagam vibudham mahiddhim
Puttena Thera bhujagena damapayanto
Iddhupadesa vidhina jitava munindo
Tan tejasa bhavatu te jayamangalani
Nandopananda naga berpengertian salah memiliki kekuatan besar
Putra Sang Buddha yang Terkemuka (Moggallana Thera) sebagai naga pergi untuk menjinakkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan kekuatan kesaktian
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna
Pada suatu hari, jutawan Anathapindika, sesudah mendengarkan Ajaran Sang Buddha di Vihara Jetavana, mengundang Sang Guru Agung dengan lima ratus bhikkhu untuk menerima dana pada esok harinya.
Pagi-pagi sekali, pada saat Sang Buddha memeriksa keadaan di dunia ini, Beliau melihat Raja Naga Nandopananda mempunyai pandangan salah, tetapi mempunyai karma baik untuk berlindung kepada Sang Tri Ratna. Sang Guru juga melihat hanya Bhikkhu Moggallana yang mempunyai kemampuan untuk menaklukkan Raja Naga itu.
Sang Buddha meminta Bhikkhu Ananda untuk memanggil lima ratus muridNya untuk menyertai Beliau ke Surga Tavatimsa 2). Sang Buddha beserta para bhikkhu terbang di udara. Dalam perjalanan menuju Surga Tavatimsa, mereka melintas di atas kediaman Nandopananda. Ketika itu, ia sedang menikmati makanannya yang enak. Ia sangat marah melihat para bhikkhu terbang melintas di atas kediamannya, dan berniat untuk menghalangi perjalanan mereka.
Ia lalu bergelung melingkari Gunung Sineru sebanyak tujuh kali dan kepalanya berada di puncak gunung. Ia menciptakan kegelapan, membuat segala sesuatu tidak kelihatan, sehingga menyebabkan Surga Tavatimsa tidak dapat terlihat. Kegelapan yang terjadi dengan mendadak ini, menyebabkan Bhikkhu Ratthapala berkata kepada Sang Buddha, bahwa tidak ada surga maupun Istana Vejayanta dapat terlihat pada hari itu. Sang Buddha lalu menjelaskan kepadanya bahwa Raja Naga Nandopanandalah yang menyembunyikan gunung tersebut. Setelah mendengar penjelasan Sang Guru, Bhikkhu Ratthapala berkata ia akan pergi dan menaklukkan Raja Naga itu, tetapi Sang Buddha tidak mengijinkannya.
Kemudian Bhikkhu Bhaddiya maju ke depan, menawarkan diri untuk menaklukkannya, tetapi Sang Buddha juga tidak mengijinkannya. Kemudian Bhikkhu Rahula dan beberapa bhikkhu lainnya juga tidak diijinkan oleh Sang Buddha untuk menaklukkan Raja Naga itu.
Dengan seijin Sang Buddha, Bhikkhu Moggallana pergi untuk menaklukkan Raja Naga Nandopananda. Beliau lalu mengubah dirinya seperti Raja Naga juga, lalu mendekati Nandopananda. Ia lalu melingkari Nandopananda sebanyak empat belas kali dengan ekornya.
Ia menaruh kepalanya di atas kepala Nandopananda dan menekannya ke bawah ke Gunung Sineru. Raja Naga berusaha keras untuk melepaskan diri dengan menyemburkan bisanya. Tetapi Bhikkhu Moggallana mengirimkan serangan balasan, yang lebih kuat daripada Raja Naga yang membuat Raja Naga itu amat menderita. Kemudian Raja Naga menyemburkan api, dan Bhikkhu Moggallana juga melakukan hal yang sama. Semburan api itu amat menyakiti Raja Naga, tetapi sebaliknya semburan api Raja Naga tidak menyakiti Bhikkhu Moggallana.
Nandopananda lalu berteriak dengan marah : “Siapakah engkau?”
“Saya adalah Moggallana,” jawab Bhikkhu Moggallana yang sudah kembali ke wujudNya semula.
Sesudah itu Bhikkhu Moggallana masuk ke dalam salah satu kuping Raja Naga dan keluar dari kuping lainnya. Ketika Raja Naga membuka mulutnya, Bhikkhu Moggallana memasuki perutnya, dan mulai berjalan naik turun, dari kepala sampai ke ekor dan dari ekor sampai ke kepala. Sang Buddha menegur Bhikkhu Moggallana dan mengingatkanNya akan kekuatan Raja Naga itu.
Raja Naga amat marah dengan gangguan pada ususnya yang amat menyakitkan. Ia lalu memutuskan untuk menekan sampai mati kalau Bhikkhu Moggallana keluar dari mulutnya. Ia lalu berkata :
“Yang Mulia, keluarlah dan jangan berjalan naik turun di dalam perutku ini.”
Tetapi Bhikkhu Moggallana keluar tanpa diketahuinya. Ketika Raja Naga itu melihatNya sudah berada di luar, ia lalu menyemburkan racun berbisanya yang lain. Bhikkhu Moggallana dengan segera masuk ke Jhana Keempat 3), di sana semburan racun berbisa itu tidak dapat menyentuh selembar rambutpun di tubuhNya.
Selain Sang Buddha, hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat masuk ke Jhana Keempat dengan segera. Para bhikkhu lainnya harus mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan bermeditasi. Bagaimanapun mereka tidak akan dapat dengan segera memasuki Jhana Keempat agar dapat terhindar dari semburan racun berbisa Raja Naga itu, karena apabila terlambat mereka akan hangus menjadi abu. Sang Buddha telah mengetahui kejadian yang amat kritis ini, dan tidak mengijinkan para bhikkhu yang lain, kecuali hanya Bhikkhu Moggallana yang dapat menaklukkan Raja Naga ini.
Nandopananda menerima kekalahannya dan mengubah dirinya menjadi seorang pemuda dan berkata :
“Yang Mulia, saya ingin berlindung kepadaMu.”
Ia bersimpuh di kaki Bhikkhu Moggallana. Kemudian Bhikkhu Moggallana mengatakan bahwa Sang Buddha ada di sini dan mereka lalu pergi menemui Beliau.
Bhikkhu Moggallana membawa Raja Naga ke hadapan Sang Buddha, lalu bersujud :
“Yang Mulia, saya ingin berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha.”
Sang Buddha bersabda :
“O, Raja Naga, semoga kamu bahagia.”
Dengan diiringi ke lima ratus bhikkhu, Sang Buddha lalu melanjutkan perjalanan menuju Surga Tavatimsa menemui Raja Sakka.
Setelah selesai, Sang Buddha kemudian kembali ke Savatthi. Jutawan Anathapindika yang sedang menunggu kedatangan Sang Buddha untuk memberikan dananya, mendengar bahwa Bhikkhu Moggallana dapat menaklukkan Raja Naga Nandopananda merasa amat gembira, lalu ia mempersembahkan dana kepada Sang Buddha dan ke lima ratus bhikkhu terus-menerus selama satu minggu.
Keterangan :
1.Naga : Mahluk Asura yang mempunyai kesaktian
2.Surga Tavatimsa : Alam 33 Dewa yang diketuai oleh Dewa Sakka
3.Jhana Keempat : Salah satu tingkat pencapaian meditasi
Bro Indra yang baik, coba dibaca kembali kisah pangeran Abhaya tersebut.
Apakah bayi itu sendiri yang memasukkan ranting ke dalam kerongkongannya, atau pangeran Abhaya yang memasukkan ranting ke dalam kerongkongannya....?
Saya copaskan kembali postingan Samanera Dhammasiri di page pertama:
"Seandainya ada seorang bayi menelan kerikil atau ranting kecil yang mana menyangkut di tenggorokan, seseorang akan mengambil kerikil atau ranting kecil dari mulutnya meski darah harus keluar dari mulut si bayi tersebut."
Itu berbeda dengan pernyataan bro Indra diatas, karena pernyataan bro Indra berkesan seolah-olah pangeran Abhaya yang memasukkan ranting ke dalam mulut si bayi, padahal bayi itu sendiri yang memasukkan ranting ke dalam mulutnya. Pangeran Abhaya hanya berusaha mengeluarkan ranting tersebut.
Mettacittena,
Bro hendrako yang baik, ane bace yang ini nggak ade yang luka, emang raje nage Nadopananda disakitin, tapi die kagak luka....Ketentuannye kan melukai....? Maap... hehehe.......
Mettacittena,
koreksi: sam dhammasiri blm melibatkan diri di sini, sam peacemind-lah yg anda maksudkan.
anda benar, bahwa bayi itu-lah yg memasukkan ranting, namun hal ini bagi saya bukanlah poin yg penting, yg penting adalah proses mengeluarkan kerikil/ranting itu yg walaupun diketahui dapat mengakibatkan luka namun tetap akan dilakukan demi menyelamatkan si bayi, yg tetap saja bagi saya tindakan melukai demi menyelamatkan itu dapat dibenarkan.
Oh iya thanks untuk koreksinya mengenai Samanera Dhammasiri bro. Mengenai pangeran Abhaya kita berbeda pendapat, menurut saya pangeran Abhaya tak mau melukai dan tak ada maksud melukai, tapi dalam usaha menyelamatkan bayi bisa terluka.
Jadi dalam Sutta ini hal itu yang terjadi dan Sang Buddha membenarkan/menyetujui hal itu.
Perumpamaan yang bro berikan mungkin lebih cocok bila diterapkan untuk seseorang yang terkait karena kena kail pancing agak dalam. Bila seseorang telah kena kail pancing mau tak mau kita harus dengan sengaja memperlebar lubang dengan melukai kulit orang tersebut untuk mengeluarkan pancingnya, karena menyangkut.
Tapi dalam kasus pangeran Abhaya tak dikatakan melukai bayi tersebut untuk mengeluarkan ranting, tapi hanya dikatakan terluka ketika mengeluarkan ranting.
Mettacittena,
gini aja deh, gue double-in, 14 jt untuk masing2 Bro Adi dan mbah Fabian, jika anda berdua bisa menemukan fakta spt topik sayembara. *kita adu ilmu geliat belut*Tambah 6 juta, jadi 20 masing-masing. *siap dengan jurus belut berkeringat direndam oli*
Tambah 6 juta, jadi 20 masing-masing. *siap dengan jurus belut berkeringat direndam oli*
ya saya pun setuju dengan pendapat mbah fabian itu, tapi saya tambahkan sedikit lagi, terluka saat mengeluarkan ranting adalah suatu resiko yg sudah diantisipasi sebelumnya, jadi luka ini bisa dibenarkan, yg penting ranting keluar dan bayi selamat, bukankah begitu?
Tambah 6 juta, jadi 20 masing-masing. *siap dengan jurus belut berkeringat direndam oli*
:jempol:
Coba perhatikan lagi bro... Kalau tidak salah ada tambahan kata "even if" yang kalau saya mengartikannya "walau", jadi saya menginterpretasikan bahwa dalam sutta tersebut pangeran Abhaya akan berusaha mengeluarkan ranting tersebut walau mengakibatkan luka. Tapi kata walau disini bukan berarti pasti, karena bisa ya dan bisa juga tidak.
Jadi kesimpulannya Sang Buddha membenarkan tindakan pangeran Abhaya mengeluarkan ranting dari mulut bayi tersebut walaupun mungkin saja mulut bayi tersebut akan luka.
(tentu sulit menebak apa yang akan dilakukan bayi tersebut ketika ia merasa sakit, ia bisa melakukan berbagai hal yang sulit diantisipasi, yang mungkin saja malah lebih memperparah keadaan dan menyulitkan pertolongan, karena ia belum bisa komunikasi, oleh karena itu belum mengerti petunjuk orang dewasa)
Mettacittena,
seandainya, pada waktu proses mengeluarkan ranting, diketahui pasti apabila dilanjutkan maka akan dapat mengakibatkan luka, apakah proses itu dihentikan atau dilanjutkan? inilah yg saya maksudkan dengan "sudah diantisipasi"
Bila luka diteruskan, bila tidak luka juga diteruskan bro... Tak ada pilihan....
Bro Fabian yg baik,sumber bukan dari Tipitakam jadi tidak berlaku.
Saya tergerak ingin ikutan, tp krn sy sdg sibuk ujian, sy blm sempat mencari di Tipitakanya, maka sy hanya ikutan utk meramaikan aja sayembara ini sbg penggembira tp ga berani ikutan memperebutkan hadiah (data butuh wkt utk mencari di Tipitaka).
1. Dlm Samanera sikkhapada yg diterbitkan oleh Mahasangharaja Thailand dikisahkan Samanera Rahula sbg anak yg berbaikti kpd orang tua, beliau sll merawat Ibunya (Putri Yasodhara/Ven.Bhaddakaccana). suatu hari Putri Yasodhara sakit keras, beliau melaporkan kpd sang Buddha, setelah sang Buddha diberitahu ttg sakit Putri Yasodhara, beliau memberitahu “obatnya”, nah ini yg mk termasuk kategori “menyetujui melukai/membunuh mahluk hidup” karena obat tsb adalah “bubur ikan merah”. Setelah Rahula mendptkan resep obat ini, maka beliau meminta kpd siapa saja yg dpt mencarikan, stlh raja mendengar lalu mempersembahkan obat tsb dan Putri Yasodhara sembuh. Sekali lagi maafkan sy, krn ujian sy ga punya wkt yg cukup buat bongkar2 vinayapitaka, utk mencari kisah dlm samanerasikkhapada ini. Tp kisah ini sy rasa memenuhi criteria menyetujui melukai/membunuh mahluk hidup.
2. Dlm Godhikasutta (Majjhimanikaya, lupa nomor berapa) beliau bunuh diri krn merasa kesal sll terjatuh dari konsentrasi beliau stlh masuk jhana, dimana beliau bertekad tidak ingin terjatuh lagi dan lagi, sehingga beliau memutuskan memotong lehernya ketika mencapai jhana, dan itu dilakukan beliau, stlh itu dg konsentrasi rasa sakit dileher yg terpotong, beliau mencapai arahat. Mara melaporkan kpd sang Buddha bhw murid beliau bunuh diri, tetapi sang Buddha memuji bhikkhu Godhika yg berhasil menjadi arahat. Dengan kata lain sang Buddha menyetujui cara bunuh diri yang penting “mencapai arahat”. Apakah ini bukan kategori menyetujui melukai/membunuh mahluk hidup, krn syarat2 terjadinya melukai/membunuh dg sengaja terpenuhi.sepertinya Sang Buddha memang memuji pencapaian Kearahatan, tapi bukan bagian "bunuh-diri"nya.
3. Ada kisah lain, sy lupa di sutta mana, ada seorang wanita memasak obat utk bhikkhu yg sedang sakit, serta menyiapkan makanannya. Utk membantu segera sembuh dari sakit bhikkhu tsb, Ibu ini memotong daging pahanya, dimasak menjadi makanan lezat dan dipersembahkan kpd bhikkhu yg sedang sakit ini. Shg dg demikian kesehatan bhikkhu ini segera pulih. Bukankah ini masuk kategori melukai mahluk hidup, walau diri sendiri.dan kisah ini kalo gak salah juga melatar-belakangi munculnya vinaya tidak boleh makan daging manusia. jadi jelas Sang Buddha tidak menyetujui hal ini.
4. Ada kisah Jataka, sedang Jataka adl termasuk dlm suttapitaka, ketika sang Buddha menjadi Bodhisatta, beliau mengorbankan diri utk seekor harimau yg kelaparan stlh beberapa hari tidak makan, sehingga lemas tidak mampu mendaki bukit utk mencari makan, padahal barusan melahirkan, sehingga Bodhisatta mengorbankan dirinya dg memotong lehernya dan mengikat dirinya diatas harimau tsb, darah beliau menetes dg maksud agar harimau tsb bisa minum darahnya, dan memberi makan anak2nya. Raja mencari putranya tp tdk diketemui, hanya tinggal pakaian kebesaran dan mahkota yg diikat di pohon (mgk tubuh beliau jg dimakan harimau). Ditempat beliau mengorbankan diri ini lalu raja membangun stupa (tentu stupanya sudah tidak ada, krn sdh tdk terhitung lamanya jaman berlalu).seperti penjelasan dari Sam Peacemind, Jakata hanya berisi syair2, sedangkan kisah2nya semua adalah wilayah Atthakatha, jadi tidak berlaku juga.
nah itu dia yg "sudah diantisipasi", dan luka itu dibisa dibenarkan, bukan?
saya ikutan menjawab, walaupun bukan mewakili mbah fabian
sumber bukan dari Tipitakam jadi tidak berlaku.
sepertinya Sang Buddha memang memuji pencapaian Kearahatan, tapi bukan bagian "bunuh-diri"nya.
dan kisah ini kalo gak salah juga melatar-belakangi munculnya vinaya tidak boleh makan daging manusia. jadi jelas Sang Buddha tidak menyetujui hal ini.
seperti penjelasan dari Sam Peacemind, Jakata hanya berisi syair2, sedangkan kisah2nya semua adalah wilayah Atthakatha, jadi tidak berlaku juga.
saya ikutan menjawab, walaupun bukan mewakili mbah fabian
sumber bukan dari Tipitakam jadi tidak berlaku.
sepertinya Sang Buddha memang memuji pencapaian Kearahatan, tapi bukan bagian "bunuh-diri"nya.
dan kisah ini kalo gak salah juga melatar-belakangi munculnya vinaya tidak boleh makan daging manusia. jadi jelas Sang Buddha tidak menyetujui hal ini.
seperti penjelasan dari Sam Peacemind, Jakata hanya berisi syair2, sedangkan kisah2nya semua adalah wilayah Atthakatha, jadi tidak berlaku juga.wlu syair, tp didlm syair tsb dikatakan klo beliau mengorbankan diri lo. (hehe...sy angkat tangan klo diminta quote]
Saya dapat jawaban lain. Kutipan di bawah ini saya ambil dari Littajātaka, Jātaka. Di sutta ini, ada syair sebagai berikut:7jt + 20jt dari kumis dan kutu jadi 27 jt =))
"Littaṃ paramena tejasā, gilamakkhaṃ puriso na bujjhati;
gila re gila pāpadhuttaka, pacchā te kaṭukaṃ bhavissatīti.".
Yang bisa diartikan sebagai berikut:
Ia tidak mengetahui dadu yang ditelannya diolesi dengan racun yang panas;
Telan, telanlah penjudi jahat! Setelah itu anda akan terbakar di dalam!".
Syair di atas diucapkan oleh Bodhisatta dan diulangi oleh Sang Buddha ketika Beliau menceritakan kepada muridnya. Dalam Jātaka Aṭṭhakathā, diceritakan bahwa suatu saat Bodhisatta berjudi dengan dadu dengan seorang penjudi. Namun tiap kali si penjudi terdesak kalah, ia selalu menelan dadu dan berpura-pura dadu hilang. Bodhisatta tahu bahwa dadu tersebut ditelan. Kemudian, ia mengolesi dadu tersebut dengan racun untuk memberikan pelajaran. So.... 7 jutakah ini? hehehe.....
7jt + 20jt dari kumis dan kutu jadi 27 jt =))
Saya mau ikutan sayembara. Dalam Vinaya Pitaka I, 273, dikatakan bahwa Jivaka Komarabaccha melakukan operasi dibagian kepala seorang pasien. Dia harus memotong tengkorak kepada untuk mengeluarkan 2 makhluk yang menyebabkan pasien menderita selama 7 tahun. Dia juga telah membedah perut seorang pasien untuk menyembuhkan system pencernaan seorang pasien (Vin. I, 275). Akankah ini juga berlalu untuk memenangkan hadia atau akan dijadikan dasar untuk berbelit?
Wah.. bisa bikin party besar-besaran nih.... :)) :)) :))Sabar, Samanera. Belutnya belum keluar.
Saya dapat jawaban lain. Kutipan di bawah ini saya ambil dari Littajātaka, Jātaka. Di sutta ini, ada syair sebagai berikut:Itu pelajaran dari bodhisatta, bukan oleh Buddha. Dalam jataka juga bodhisatta bisa membunuh orang, tapi sekali lagi itu hanya cerita yang dikisahkan saja. Buddha sendiri tidak menyuruh orang melakukan hal tersebut.
"Littaṃ paramena tejasā, gilamakkhaṃ puriso na bujjhati;
gila re gila pāpadhuttaka, pacchā te kaṭukaṃ bhavissatīti.".
Yang bisa diartikan sebagai berikut:
Ia tidak mengetahui dadu yang ditelannya diolesi dengan racun yang panas;
Telan, telanlah penjudi jahat! Setelah itu anda akan terbakar di dalam!".
Syair di atas diucapkan oleh Bodhisatta dan diulangi oleh Sang Buddha ketika Beliau menceritakan kepada muridnya. Dalam Jātaka Aṭṭhakathā, diceritakan bahwa suatu saat Bodhisatta berjudi dengan dadu dengan seorang penjudi. Namun tiap kali si penjudi terdesak kalah, ia selalu menelan dadu dan berpura-pura dadu hilang. Bodhisatta tahu bahwa dadu tersebut ditelan. Kemudian, ia mengolesi dadu tersebut dengan racun untuk memberikan pelajaran. So.... 7 jutakah ini? hehehe.....
Saya mau ikutan sayembara. Dalam Vinaya Pitaka I, 273, dikatakan bahwa Jivaka Komarabaccha melakukan operasi dibagian kepala seorang pasien. Dia harus memotong tengkorak kepada untuk mengeluarkan 2 makhluk yang menyebabkan pasien menderita selama 7 tahun. Dia juga telah membedah perut seorang pasien untuk menyembuhkan system pencernaan seorang pasien (Vin. I, 275). Akankah ini juga berlalu untuk memenangkan hadia atau akan dijadikan dasar untuk berbelit?Tidak bisa, itu merknya 'operasi' bukan melukai kepala orang. Lagipula, bukan Buddha yang melakukan atau membimbing operasi tersebut, tapi Jivaka. Jadi itu bukan ajaran Buddha.
Tidak bisa, itu merknya 'operasi' bukan melukai kepala orang. Lagipula, bukan Buddha yang melakukan atau membimbing operasi tersebut, tapi Jivaka. Jadi itu bukan ajaran Buddha.
[belut mode]Apakah dibilang pakai anesthesia atau tidak? Karena kalau pakai, berarti tidak termasuk menyakiti.[/belut mode]
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
Isi sayembaranya adalah sebagai berikut:
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.
Bila ada teman-teman yang ingin urunan menambah besarnya hadiah, silahkan.... Bagaimana....?
Tidak bisa, itu merknya 'operasi' bukan melukai kepala orang. Lagipula, bukan Buddha yang melakukan atau membimbing operasi tersebut, tapi Jivaka. Jadi itu bukan ajaran Buddha.Kalau definisinya seprti ini
[belut mode]Apakah dibilang pakai anesthesia atau tidak? Karena kalau pakai, berarti tidak termasuk menyakiti.[/belut mode]
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.tentu itu adalah syah karena pasien perlu diikat ditiang ketika operasi dilakukan.
Kalau definisinya seprti ini tentu itu adalah syah karena pasien perlu diikat ditiang ketika operasi dilakukan.
Itu pelajaran dari bodhisatta, bukan oleh Buddha. Dalam jataka juga bodhisatta bisa membunuh orang, tapi sekali lagi itu hanya cerita yang dikisahkan saja. Buddha sendiri tidak menyuruh orang melakukan hal tersebut.
[belut mode]Justru itu adalah ajaran bagi penjudi agar hati-hati dalam menelan dadu, harus dites dulu sebelum ditelan.[/belut mode]
[at] Bro Kaynin, ketentuan dari 1st post bukan menyakiti, tetapi melukai (lihat quote dibawah), kalo cuma menyakiti kisah raja naga yg dipecundangi Bhante Mogallana udah termasuk.
Kalau definisinya seprti iniBenar ada diceritakan harus diikat di tiang?Quote"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.tentu itu adalah syah karena pasien perlu diikat ditiang ketika operasi dilakukan.
begini Sam, untuk membuktikan bahwa suatu tindakan kriminal sudah terjadi, kami perlu membuktikan bahwa memang ada yg jadi korban, dan kami memerlukan identitas korban ini, nama korban, nama orang tua, golongan darah, dan alamat lengkap[belut mode]Jangan lupa NPWP-nya, takutnya menggelapkan pajak juga.[/belut mode]
Syair di atas diucapkan oleh Sang Buddha sendiri di Tipitaka. Syair tersebut kemudian diperjelas oleh Sang Buddha melalui ceritanya di masa lampau dan di cerita tersebut, Sang Buddha tidak memiliki objection bahwa perbuatan-Nya di masa lampaunya salah. Justru dalam ceritanya, tampak sekali Sang Buddha membenarkan perbuatannya di masa lampau. Bahkan di akhir khotbah Beliau mengklaim sendiri, "Saya adalah penjudi bijaksana pada masa itu (paṇḍitadhutto ahameva ahosiṃ). See.... bukan hanya membenarkan perbuatan-Nya di masa lampau, bahkan beliau mengatakan sebagai penjudi bijaksana. (Belut geliat mode on juga). hehehe....
[belut mode]Tetap saja melukai dan operasi itu berbeda, walaupun perbuatannya mungkin ada kesamaan. Misalnya seseorang mau basmi tikus dengan makanan yang diberi racun tikus, apakah orang itu dikatakan 'memberi makan tikus' ataukah 'meracuni tikus'? Padahal tikusnya sama-sama makan lho.
Sebaliknya anak kecil yang senang sama tikus mau memberi makan tikus. Dengan polos dia berpikir, "kakak beri makan kucing dengan 'cereal' yang ada gambar kucingnya, maka saya beri tikus dengan 'cereal' yang ada gambar tikusnya" lalu diberikanlah 'cereal' yang adalah racun tikus itu dan akhirnya si tikus mati. Ini namanya memberi makan atau meracuni? Padahal tikusnya sama-sama modar lho.[/belut mode]
Yang jelas sama2 memberi makan, baik dengan niat meracuni maupun hanya memberi makan.
Sama halnya dengan operasi dan orang yang menggunakan pisau bedah demi niat hanya untuk melukai. Kedua2nya sama2 melukai sama halnya dengan sama2 memberi makan.
Jadi dalam kedua kasus diatas, memberi makan = melukai.
[belut mode]Masa' dianggap sama tanpa membedakan niatnya, bro? Berarti Buddha Gotama waktu ajak Nanda ke Tavatimsa lihat bidadari kaki pink, disamakan dengan hidung belang pergi ajep-ajep lihat cewek sexy?[/belut mode]
Buddha dan Nanda sama2 melihat bidadari, bedanya Buddha tenang (tapi tetap tahu bahwa obyeknya secara konvensi cantik dan sexy) dan yang satunya (pada saat itu kemungkinan) mupeng. =P~
:))
Saya dapat jawaban lain. Kutipan di bawah ini saya ambil dari Littajātaka, Jātaka. Di sutta ini, ada syair sebagai berikut:
"Littaṃ paramena tejasā, gilamakkhaṃ puriso na bujjhati;
gila re gila pāpadhuttaka, pacchā te kaṭukaṃ bhavissatīti.".
Yang bisa diartikan sebagai berikut:
Ia tidak mengetahui dadu yang ditelannya diolesi dengan racun yang panas;
Telan, telanlah penjudi jahat! Setelah itu anda akan terbakar di dalam!".
Syair di atas diucapkan oleh Bodhisatta dan diulangi oleh Sang Buddha ketika Beliau menceritakan kepada muridnya. Dalam Jātaka Aṭṭhakathā, diceritakan bahwa suatu saat Bodhisatta berjudi dengan dadu dengan seorang penjudi. Namun tiap kali si penjudi terdesak kalah, ia selalu menelan dadu dan berpura-pura dadu hilang. Bodhisatta tahu bahwa dadu tersebut ditelan. Kemudian, ia mengolesi dadu tersebut dengan racun untuk memberikan pelajaran. So.... 7 jutakah ini? hehehe.....
Saya mau ikutan sayembara. Dalam Vinaya Pitaka I, 273, dikatakan bahwa Jivaka Komarabaccha melakukan operasi dibagian kepala seorang pasien. Dia harus memotong tengkorak kepada untuk mengeluarkan 2 makhluk yang menyebabkan pasien menderita selama 7 tahun. Dia juga telah membedah perut seorang pasien untuk menyembuhkan system pencernaan seorang pasien (Vin. I, 275). Akankah ini juga berlalu untuk memenangkan hadia atau akan dijadikan dasar untuk berbelit?
Sudah 14 halaman... dan belum ada satupun barang seseorang yg berhasil.
Sepertinya uang 5.000.000 ko Fabian sudah bisa kita bawa makan bareng atau diinvestasikan ke Melindada dege saja?
::
Samanera Dhammasiri yang saya hormati, ^:)^ Contoh yang paling jelas adalah Jivaka Komarabacca melukai kaki Sang Buddha untuk membuat agar darah mengalir supaya sembuh. Akankah ini juga berlalu untuk memenangkan hadiah ini dari bro kaynin dan bro Indra atau akan dijadikan dasar untuk berbelit...?
Mettacittena, _/\_
tentu saja hadiah layak diterima jika anda bisa menyebutkan dengan pisau bedah buatan mana Jivaka melukai kaki Sang Buddha. karena untuk membuktikan suatu tindak kriminal, selain adanya korban, kita harus memiliki bukti berupa alat yg digunakan dalam tindakan tersebut.
[belut kulit minyak kelapa mode]Buddha mengatakan penjudi tersebut bijaksana maksudnya karena tidak menelan dadu. Moral dari cerita: penjudi pinter: tidak telan dadu; penjudi bodoh: telan dadu. Penjelasan: karena dadunya selain tidak enak ditelan, berisiko:
1. tercemar kuman karena yang main itu belum tentu cuci tangan sebelum judi
2. dibuat oleh pabrik yang tidak higienis di mana tikus berkeliaran dan 'menyampah' di mana-mana
3. mengandung bahan tercemar radiasi dari kebocoran PLTN di Fukushima
4. diolesi racun oleh saingan
[/belut kulit minyak kelapa mode]
Samanera yang saya hormati, ^:)^ Bila cerita Jataka ini boleh dijadikan pembenaran maka saya juga mau menuntut bro Kainyn dan bro Indra:
"Di masa lampau suatu ketika ada seorang ahli gulat datang ke kota tempat Bodhisatta berada, karena ia merasa hebat lalu ia menantang seisi kota, tak ada yang sanggup mengalahkannya. Kemudian teman-teman meminta Bodhisatta untuk bertanding melawan ahli gulat tersebut (karena beliau adalah yang terkuat di kota tersebut). Bodhisatta dalam pergulatan tersebut kemudian mematahkan punggung pegulat tersebut untuk memberi pelajaran. So.... 20 jutakah ini? hehehe....
Mettacittena, _/\_
tentu saja hadiah layak diterima jika anda bisa menyebutkan dengan pisau bedah buatan mana Jivaka melukai kaki Sang Buddha. karena untuk membuktikan suatu tindak kriminal, selain adanya korban, kita harus memiliki bukti berupa alat yg digunakan dalam tindakan terse-but.
Dari keseluruhan cerita, Buddha mengatakan Dirinya sebagai penjudi bijaksana di kehidupan lampau bukan karena Beliau tidak menelan dadu, melainkan karena Beliau berhasil memberikan pelajaran ke penjudi yang satunya dengan melukainya melalui racun yang dioleskan di dadu. Sang Buddha juga tidak mengatakan bahwa penjudi tersebut bodoh.
Ok, sekarang lupakan alasan yang berbelit-belit, dan kita kembali kepada pertanyaan yang disayembarakan. Pertanyaan yang disayembarakan adalah siapapun yang menemui pernyataan di dalam Tipitaka yang menyetujui / membenarkan perbuatan yang dengan sengaja melukai atau membunuh makhluk secara fisik akan diberi hadiah.
Syair yang saya kutip adalah PERNYATAAN. Pernyataan ini terdapat dalam TIPITAKA. Pernyataan ini juga MEMBENARKAN PERBUATAN YANG DENGAN SENGAJA MELUKAI MAKHLUK LAIN apalagi dengan adanya kata 'GILA' yang mana merupakan ungkapan suruhan untuk menelan. Ini menunjukkan suatu perbuatan dengan sengaja untuk melukai makhluk lain yang dalam hal ini adalah seorang penjudi jahat (pāpadhuttaka). Sesuai dengan ketentuan pertanyaan yang disayembarakan, semua persyaratan sudah ada.
astaga, jadi om fabian melakukan pelanggaran sila ke empat? apalagi objectnya para samanera?
misalnya : parang/pisau/benda2 tajam
kemudian benda tersebut harus disita sebagai barang bukti utl diajukan ke pengadilan =)) =))
:backtotopic:
Samanera Dhammasiri yang saya hormati, ^:)^ Contoh yang paling jelas adalah Jivaka Komarabacca melukai kaki Sang Buddha untuk membuat agar darah mengalir supaya sembuh. Akankah ini juga berlalu untuk memenangkan hadiah ini dari bro kaynin dan bro Indra atau akan dijadikan dasar untuk berbelit...?
Mettacittena, _/\_Tetapi kejadian tentang Jivaka Komarabaccha melukai kaki Sang Buddha itu terdapat di mana? Apakah bisa disebutkan sumbernya? Jangan-jangan yang membuat sayembara sendiri belum tahu membedakan mana yang dari Tipitaka dan mana yang dari kitab komentar.
Bro Adi Lim mudah-mudahan karma baik berbuah, dapat 20 juta juga ya....?
Mettacittena,
Samanera Peacemind yang saya hormati, ^:)^ Setahu saya kisah itu ada juga di Jataka, disebabkan perbuatan inilah Sang Buddha sering menderita sakit punggung. (Kalau tidak salah ini adalah salah satu perbuatan buruk yang pernah dilakukan oleh Bodhisatta selain menghina Buddha kassapa, menghancurkan patta seorang PaccekaBuddha dll).
Mettacittena, _/\_
Samanera yang saya hormati, ^:)^ Bila cerita Jataka ini boleh dijadikan pembenaran maka saya juga mau menuntut bro Kainyn dan bro Indra:1. Kisahnya bukan di Tipitaka, tapi dikomentar. Jataka hanya berisi syair-syair saja.
"Di masa lampau suatu ketika ada seorang ahli gulat datang ke kota tempat Bodhisatta berada, karena ia merasa hebat lalu ia menantang seisi kota, tak ada yang sanggup mengalahkannya. Kemudian teman-teman meminta Bodhisatta untuk bertanding melawan ahli gulat tersebut (karena beliau adalah yang terkuat di kota tersebut). Bodhisatta dalam pergulatan tersebut kemudian mematahkan punggung pegulat tersebut untuk memberi pelajaran. So.... 20 jutakah ini? hehehe....
Mettacittena, _/\_
saya tunggu membayar atau di bayar 8->
=)) =))
Dari keseluruhan cerita, Buddha mengatakan Dirinya sebagai penjudi bijaksana di kehidupan lampau bukan karena Beliau tidak menelan dadu, melainkan karena Beliau berhasil memberikan pelajaran ke penjudi yang satunya dengan melukainya melalui racun yang dioleskan di dadu. Sang Buddha juga tidak mengatakan bahwa penjudi tersebut bodoh.Samanera, silahkan menuntut hadiah pada bro Fab & bro Adi yang menawarkan untuk umum. Tawaran bro Indra & saya hanya berlaku untuk bro Fab & bro Adi, itupun tidak terbatas pada 1st post, tapi sayembara yang terus ditambah persyaratannya. Karena itulah bro Indra & saya menjanjikan hadiah lebih besar jika bisa 'menangkap belut' (yang sebetulnya adalah tidak mungkin).
Ok, sekarang lupakan alasan yang berbelit-belit, dan kita kembali kepada pertanyaan yang disayembarakan. Pertanyaan yang disayembarakan adalah siapapun yang menemui pernyataan di dalam Tipitaka yang menyetujui / membenarkan perbuatan yang dengan sengaja melukai atau membunuh makhluk secara fisik akan diberi hadiah.
Syair yang saya kutip adalah PERNYATAAN. Pernyataan ini terdapat dalam TIPITAKA. Pernyataan ini juga MEMBENARKAN PERBUATAN YANG DENGAN SENGAJA MELUKAI MAKHLUK LAIN apalagi dengan adanya kata 'GILA' yang mana merupakan ungkapan suruhan untuk menelan. Ini menunjukkan suatu perbuatan dengan sengaja untuk melukai makhluk lain yang dalam hal ini adalah seorang penjudi jahat (pāpadhuttaka). Sesuai dengan ketentuan pertanyaan yang disayembarakan, semua persyaratan sudah ada.
gini aja deh, gue double-in, 14 jt untuk masing2 Bro Adi dan mbah Fabian, jika anda berdua bisa menemukan fakta spt topik sayembara. *kita adu ilmu geliat belut*
Tambah 6 juta, jadi 20 masing-masing. *siap dengan jurus belut berkeringat direndam oli*
Samanera Dhammasiri yang saya hormati, ^:)^ Sesuai dengan argumen yang dikemukakan oleh bro Indra, Samanera harus bisa membuktikan dengan apa tabib Jivaka Komarabacca memotong tengkorak kepala pasien (apakah dengan gergaji atau kapak) demikian juga dengan pembedahan perut, pisau bedah buatan mana tabib Jivaka mengoperasi pasien, karena sesuai argumen bro Indra untuk membuktikan suatu tindak kriminal, selain adanya korban, kita harus memiliki bukti berupa alat yg digunakan dalam tindakan terse-but.Saya melihat bahwa pihak penyelenggara sayembara ini tidak benar-benar mampu membedakan mana fakta yang berasal dari Tipitaka dan mana yang berasal dari Atthakatha. Terbukti dari fakta yang dikemukakan untuk berargumentasi tidak mencantumkan sumbernya. Lebih dari itu, definisinya selalu diubah-ubah. Saya melihat sikap Batara Indra bukan sebagai sesuatu yang serius tetapi sekedar untuk membuktikan bahwa dia pun bisa menggunakan theory "ell-wrinkle". Karena itu, saya melihat tidak ada keseriusan dalam sayembara ini.
Untuk bro Indra terima kasih atas argumennya...
Mettacittena, _/\_
Samanera Dhammasiri yang saya hormati, ^:)^ Contoh yang paling jelas adalah Jivaka Komarabacca melukai kaki Sang Buddha untuk membuat agar darah mengalir supaya sembuh. Akankah ini juga berlalu untuk memenangkan hadiah ini dari bro kaynin dan bro Indra atau akan dijadikan dasar untuk berbelit...?Tentu saja akan digeliat-belut lagi, karena saya memang tidak berniat bertaruh pada hal yang tidak pasti.
Mettacittena, _/\_
[belut mode]Menurut saya kisah itu meragukan karena dalam berbagai Buddhapada (jejak kaki Buddha), tidak ada tanda bekas pisau bedahnya Jivaka tuh.[/belut mode]
Tetapi kejadian tentang Jivaka Komarabaccha melukai kaki Sang Buddha itu terdapat di mana? Apakah bisa disebutkan sumbernya? Jangan-jangan yang membuat sayembara sendiri belum tahu membedakan mana yang dari Tipitaka dan mana yang dari kitab komentar.
Tentu saja akan digeliat-belut lagi, karena saya memang tidak berniat bertaruh pada hal yang tidak pasti.
[belut mode]Menurut saya kisah itu meragukan karena dalam berbagai Buddhapada (jejak kaki Buddha), tidak ada tanda bekas pisau bedahnya Jivaka tuh.[/belut mode]
Jadi heran nih..... Yang disayembarakan adalah untuk mencari PERNYATAAN DALAM TIPITAKA sebagai evidence, tapi kok jadinya malah menyambung minta bukti-bukti lain. Sebenarnya jika yang disayembarakan adalah sekedar "PERNYATAAN', tidaklah penting untuk membuktikan apakah ada bekas pisau bedahnya atau tidak. Juga tidak penting apakah sebuah pernyataan yang dikutip benar-benar terjadi ataukah tidak. Juga tidak penting apakah pernyataan tersebut disetujui oleh Buddha atau tidak, atau disetujui pihak tertentu atau tidak. Di sini yang dicari adalah pernyataan dalam tipitaka yang membenarkan bla bla...... dan bukan evidences lain...Betul, namun samanera jangan melupakan esensi 'menangkap belut'. Kalau straight to the point, membahas hanya yang penting dan relevan dengan topik, tidak melebar, namanya 'menangkap trenggiling', tidak licin karena bersisik, dan tidak berlari cepat atau melompat-lompat. Kalau kita memang sedang main trenggiling dari kemarin saya sudah dapat 6 juta, atau minimal 3 juta (bagi dua dengan Samanera untuk kasus 'keluarkan batu yang tertelan').
Betul, namun samanera jangan melupakan esensi 'menangkap belut'. Kalau straight to the point, membahas hanya yang penting dan relevan dengan topik, tidak melebar, namanya 'menangkap trenggiling', tidak licin karena bersisik, dan tidak berlari cepat atau melompat-lompat. Kalau kita memang sedang main trenggiling dari kemarin saya sudah dapat 6 juta, atau minimal 3 juta (bagi dua dengan Samanera untuk kasus 'keluarkan batu yang tertelan').
Betul, namun samanera jangan melupakan esensi 'menangkap belut'. Kalau straight to the point, membahas hanya yang penting dan relevan dengan topik, tidak melebar, namanya 'menangkap trenggiling', tidak licin karena bersisik, dan tidak berlari cepat atau melompat-lompat. Kalau kita memang sedang main trenggiling dari kemarin saya sudah dapat 6 juta, atau minimal 3 juta (bagi dua dengan Samanera untuk kasus 'keluarkan batu yang tertelan').
Karena nampaknya postingan teman-teman nampaknya sudah melenceng dari tujuan awal, bahkan pernyataan-pernyataan mulai tak terkendali dan cenderung menjurus pada ad hominem dan ada juga yang disebabkan personal vendetta yang saya kira tak perlu saya ladeni. Maka saya perlu mengulangi spirit dari sayembara yang saaya ingin agar diadakan ini:
Pada postingan terdahulu saya telah himbau teman-teman untuk membaca awal thread, nampaknya tak ada satupun teman-teman yang getol posting disini yang berusaha membaca kembali dengan seksama, padahal saya sudah himbau. Oleh karena itu saya copas kembali:
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
Isi sayembaranya adalah sebagai berikut: ........................................................
..............................................
Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.
Postingan diatas dibuat karena saya mengharapkan DC untuk menjawab usul saya ini.... Bahkan menambah hadiah.....
Dan saya sudah katakan sebelumnya: Belakangan saya menyadari mengapa postingan-postingan teman-teman ini melenceng dari tujuan awal.
Diatas jelas saya katakan bahwa saya tidak mengatakan sayembara untuk warga DC... Saya mengusulkan sayembara untuk umum.... Dan mengusulkan kepada DC......
Saya menanggapi karena saya mengira teman-teman tidak terlalu serius.... Ternyata disebabkan salah menginterpretasikan kemudian menjadi sangat serius...
Mettacittena,
jadi mana bagian saya? walaupun hanya sbg tim sukses?Yah, komisi 10% deh dari masing2 pemenang :D
Ah.. benar juga ya... Jadi hanya usul doang nih..
=)) =)) =)) =)) =))
sapa yang kena.. ? hayoo ngaku~~~ ampe semua jurus di keluarkan~ :))
LDM nya masih tebal semua =))Justru saya punya sudah tipis hampir kering.
Justru saya punya sudah tipis hampir kering.khan 20jt nya kaga jadi =))
[belut mode]Wah, ga bisa gitu, bro... Tadi yang dokter bedah sama pembunuh pakai pisau bedah dipukul rata sama, sekarang masa' yang Buddha sama hidung belang dibedain?? ;D [/belut mode]
Sori bro bel (ut), yang di samain perbuatan luarnya, bukan niat dan statusnya....Sebetulnya diklarifikasi, sayembaranya belum mulai. Tapi tidak apa.
Si anak dan pembunuh tikus sama2 memberi makan.
Pembunuh dan dokter sama2 melukai orang.
Buddha dan Nanda, sama2 melihat bidadari.
Jadi saya berpendapat samanera adalah pemenangnya nih. ;D
Kalau saya menang, uangnya akn saya sumbangkan untuk DC. Tetapi sayang, jurus belut yang dipakai sehingga Tuhan DC juga hanya bisa gigit jari.
Sebetulnya diklarifikasi, sayembaranya belum mulai. Tapi tidak apa.
[bel mode]Iya, kalau semua dipukul rata, tidak diklasifikasi berdasarkan niat, berarti bro hendrako mengatakan Buddha ajak Nanda ajep-ajep 'kan? Selain itu berarti bro mengatakan Buddha & Sangha mengemis di jalanan (dan masih banyak lagi kasus yang bisa di-belut-in nih) ;D [/bel mode]
Sebetulnya diklarifikasi, sayembaranya belum mulai. Tapi tidak apa.
[bel mode]Iya, kalau semua dipukul rata, tidak diklasifikasi berdasarkan niat, berarti bro hendrako mengatakan Buddha ajak Nanda ajep-ajep 'kan? Selain itu berarti bro mengatakan Buddha & Sangha mengemis di jalanan (dan masih banyak lagi kasus yang bisa di-belut-in nih) ;D [/bel mode]
Nah, walau dipukul rata tetep aja bukan idung belang dan ngemis, tapi "melihat" bidadari dan menerima makanan.Capek nih memikirkan belut-belut, saya jawab serius saja.
Kalo melihat yang bening2 dan menerima makanan dijalan disebut idung belang dan pengemis itu namanya udah interpretasi/prasangka/menghakimi. Ndak boleh itu...ndak boleh.... [-X
;D
So......, ending thread ini ..... piye..???
Sebetulnya mudah dilihat mana yang belut bro.... Sekarang saya tanya kepada anda:Bro fabian, di situ saya tidak pakai jurus belut, tapi menggunakan kelemahan term & condition. Diminta hanya pernyataan saja, tapi tidak menyebutkan apakah pernyataan itu bermakna denotatif (sebenarnya) ataukah konotatif (bukan sebenarnya).
Apakah Sang Buddha membenarkan seseorang membunuh ayah dan/atau ibunya...?
Sesuai dengan argumen anda berikut ini...?
"Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca khattiye;
Raṭṭhaṃ sānucaraṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Membunuh ayah dan ibu, dua raja khattiya;
Menghancurkan kerajaan beserta penduduknya, Brahmana sejati berjalan tak tergoyahkan
Mātaraṃ pitaraṃ hantvā, rājāno dve ca sotthiye;
Veyagghapañcamaṃ hantvā, anīgho yāti brāhmaṇo.
Membunuh ayah dan ibu, dua raja makmur;
Membunuh harimau, Brahmana sejati berjalan tak tergoyahkan"
Saya ulangi pertanyaan saya, apakah Sang Buddha membenarkan untuk membunuh ayah dan/atau ibu...?
Apakah ini bisa dijadikan dasar pembenaran anda...?
Bro fabian, di situ saya tidak pakai jurus belut, tapi menggunakan kelemahan term & condition. Diminta hanya pernyataan saja, tapi tidak menyebutkan apakah pernyataan itu bermakna denotatif (sebenarnya) ataukah konotatif (bukan sebenarnya).
Dalam syair itu, MEMANG BENAR Buddha menganjurkan pembunuhan ayah-ibu, dsb. Hanya saja, ayah-ibu dan lainnya itu BUKAN makna denotasi, melainkan metafora dari hal-hal yang harus ditinggalkan oleh para siswa.
Saya pamit, maaf kalau ada menyinggung. Kalau tidak puas, silahkan buka spoiler :D
Capek nih memikirkan belut-belut, saya jawab serius saja.
Memotong bagian tubuh adalah memotong bagian tubuh saja, belum bisa disebut melukai ataupun bedah. Ini kata yang netral. Ketika disebutkan bagian tubuhnya, objeknya (apakah mayat/manusia) tujuannya, caranya, maka baru bisa ditentukan istilah yang sesuai. Jika pemotongan itu bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit, membuat cedera, maka bisa disebut melukai. Jika bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dengan prosedur yang benar, maka disebut bedah.
Juga menghindari kejadian yang tidak diinginkan, saya tidak lanjutkan lagi.
Tidak bisa, itu merknya 'operasi' bukan melukai kepala orang. Lagipula, bukan Buddha yang melakukan atau membimbing operasi tersebut, tapi Jivaka. Jadi itu bukan ajaran Buddha.
[belut mode]Apakah dibilang pakai anesthesia atau tidak? Karena kalau pakai, berarti tidak termasuk menyakiti.[/belut mode][at] Bro Kaynin, ketentuan dari 1st post bukan menyakiti, tetapi melukai (lihat quote dibawah), kalo cuma menyakiti kisah raja naga yg dipecundangi Bhante Mogallana udah termasuk.
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
Isi sayembaranya adalah sebagai berikut:
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.
Bila ada teman-teman yang ingin urunan menambah besarnya hadiah, silahkan.... Bagaimana....?
Sayang sekali bro.... Saya baru akan membuktikan bahwa anda belut menuduh belut.... Anda berusaha menjebak saya dengan mencari kelemahan postingan di awal thread , bukan dengan semangat mempromosikan kebaikan dan menyebarkan mental attitude anti kekerasan. Dengan berbagai argumen belut, anda berusaha agar saya menerima sesuai postingan anda, dan ketika saya juga mengungkapkan harapan dan keinginan saya sesuai postingan awal thread anda jadi kecewa dan menuduh saya belut.Oh, masih dendam dan mau dibahas? Boleh.
Lain kali renungkan dulu sebelum menuduh negatif orang lain.
Marilah berdiskusi tanpa prasangka, mendiskusikan kebenaran dan kebaikan bukan mencari menang-menangan...
Oh, masih dendam dan mau dibahas? Boleh.
Di awal saya memang tidak pakai jurus belut, tidak pakai jurus tafsir ini-itu. Sudah saya bilang saya hanya menggunakan kelemahan bahasa (denotatif/konotatif). Yang pertama kali menggunakan istilah belut juga bukan saya, tapi bro Indra. Walaupun berbeda dengan 'belut' Sanjaya Belatthaputta, tapi saya tahu maksudnya kalau pakai tafsir dan penambahan syarat terus, maka tidak ada yang bisa memenangkan sayembara, seperti belut yang menghindar terus dengan licin.
Lalu yang pertama kali klaim hadiah bukan saya, dan bukan hanya saya pula yang klaim hadiah (ada sedikitnya 3 orang lain selain saya). Mengapa hanya saya yang 'diserang' dengan 'mental hadiah'? Apakah karena saya tidak berjubah dan bro fabian tidak berani mengatakan hal itu kepada para Samanera? Juga bukankah sudah saya post bahwa jika saya dapat hadiah itu, saya sumbangkan 100% ke Peduli Kasih? Saya tidak cari menang-menangan, entahlah kalau bro fabian yang kecewa dengan raibnya 20jt dari bro Indra dan saya.
Saya sudah terangkan bahwa bukan itu maksud saya dengan postingan awal, anda menuduh saya menambahkan term and condition yang mana...?"Membunuh ayah-ibu dsb, brahmana terbebaskan."
Anda tidak menjawab pertanyaan saya kemarin: "Apakah dalam ajaran Tipitaka pali membenarkan/menyetujui pembunuhan terhadap ayah dan ibu?"
Jawablah jangan menghindar bagai belut. Saya harapkan kejujuran anda dalam berdiskusi.
Memang bro Indra memulai, tapi ia telah berhenti setelah saya terangkan mengenai tujuan mengadakan sayembara ini, saya anggap selesai. Tapi anda meneruskan sindiran anda, dan saya ingin klarifikasi bahwa saya bukan belut seperti yang anda tuduhkan.
Mengenai Samanera, memang saya beda memperlakukan Samanera dan umat awam. Saya belum menganggap Samanera keterlaluan.
"Membunuh ayah-ibu dsb, brahmana terbebaskan."
Apakah ada pernyataan dalam tipitaka yang menyetujui pembunuhan?
ADA
Apakah pernyataan tersebut secara konteks dan bermakna lugas, menyetujui pembunuhan?
TIDAK, karena itu bermakna konotatif di mana ayah-ibu dan objek terbunuh adalah sebuah metafora dari hal lain.
"Ketika semua belenggu ditinggalkan, maka seorang brahmana bebas dari cengkeraman Mara"
Apakah ada pernyataan bahwa mara bisa mencengkeram orang?
ADA
Apakah benar dalam makna sebenarnya Mara bisa mondar-mandir mencari mangsa dan mencengkeram orang?
TIDAK, karena Mara di sini adalah personifikasi dari kematian yang mana sebelum meninggalkan noda bathin sepenuhnya, seseorang akan terus mengalami kelahiran, sakit, tua, dan kematian.
"Bro fabian tidak mengerti denotatif dan konotatif? Bro fabian fasih yah ilmu bahasanya."
Apakah ada pernyataan dalam posting kainyn yang memuji fabian dalam hal bahasa?
ADA.
Apakah ada secara konteks dan makna sebenarnya, postingan Kainyn yang memuji fabian dalam hal bahasa?
Tidak ada, sebab pernyataan itu adalah satu gaya bahasa sarkasme.
---
Apa yang saya katakan sebagai penambahan 'term & condition' adalah bahwa di awal hanya disebutkan pernyataan, tetapi ternyata malah bahas komentar dari syair yang tidak ada di tipitaka, lalu interpretasi niat (menyakiti waktu mengeluarkan batu di tenggorokan) dan lain-lain.
Kalau masih tidak terima juga, terserah bro fabian saja. Biarkan pembaca yang menilainya sendiri. Nanti kalau suatu saat kalau saya sudah mengenakan jubah, baru kita lanjutkan lagi supaya objektif, bebas bias tanpa kambing hitam.
Itulah sebabnya saya katakan anda yang bagai belut. Saya tahu, anda tahu, semua teman juga tahu bahwa Tipitaka tidak membenarkan/menyetujui membunuh ayah dan ibu. Tetapi anda dengan akal belut anda berusaha agar saya menerima pernyataan yang anda posting bahwa itu sesuai dengan postingan saya.OK deh, bro fabian mah memang paling hebat & konsisten, tidak pernah salah, argumennya lurus langsung mengena pada sasaran, maka tidak pernah ada yang mengeluh dengan postingnya.
Memaksakan saya menerima sutta itu dengan berbagai alasan belut adalah, bagai belut teriak belut.
Ketika kemudian saya muat seluruh isi thread awal, yang menjelaskan dengan benar apa tujuan thread, anda menjadi kecewa, dan masih terus menyindir saya belut. Padahal penolakan satu kali dan keterangan saya cukup. Bahwa itu memang tidak sesuai dengan Tipitaka.
Karena argumen apapun yang anda kemukakan mengenai syair tersebut dimengerti hanya sebagai argumen belut untuk menjebak dengan paksa.
Saya menghindar dengan cara yang halus karena memang dari awal saya mengusulkan, bila memang DC menerima apa yang saya usulkan maka saya bersedia menanggung hadiah sebesar itu, bagi saya awalnya saya hanya menanggapi dan tak langsung bilang bahwa itu hanya usul, sayembaranya belum dimulai, karena saya ingin meng- encourage teman-teman untuk mengemukakan pendapatnya mengenai usul itu, itulah sebabnya saya hanya menanggapi dengan hahahehe....
Berkali-kali saya menghimbau teman-teman untuk membaca awal thread dengan teliti dan seksama untuk mengingatkan secara halus bahwa itu cuma usul, ternyata tak satu orangpun yang menyimak kata-kata usul tersebut dan menanggapi seolah-olah saya mengadakan sayembara.
Sebelum terlalu jauh salah paham maka saya langsung berusaha menyadarkan teman-teman bahwa itu baru usul. Siapa kira anda nampaknya kurang terima dan terus menyindir saya belut.
Saya rasa sudah cukup bagi saya sekarang. Saya kira pembaca akan dapat menilai siapa "belut" yang berusaha memaksa orang menerima pendapatnya dengan kelicinan argumen belut.
OK deh, bro fabian mah memang paling hebat & konsisten, tidak pernah salah, argumennya lurus langsung mengena pada sasaran, maka tidak pernah ada yang mengeluh dengan postingnya.
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
Isi sayembaranya adalah sebagai berikut:
"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.
Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.
Bila ada teman-teman yang ingin urunan menambah besarnya hadiah, silahkan.... Bagaimana....?
Saya kadang salah, ada orang yang tidak suka dengan postingan saya, gaya saya menulis, pendapat saya, persistensi saya, walau kadang saya melenceng, kadang saya nge"junk", kadang saya mengemukakan pendapat saya sendiri, kadang sarkastis, kadang bahkan menyindir Bhikkhu, tapi yang pasti saya akan berusaha selalu menulis dengan tetap berlandaskan Dhamma/kebenaran. Sejauh apapun saya melangkah, saya akan berusaha mengingat untuk kembali pada Dhamma. My guiding light.Ya, saya sampai di sini saja. Silahkan lanjut bagi member lain yang mungkin mau lanjut membahas.
Saya akan tetap menghargai tulisan yang berlandaskan Dhamma/kebenaran.
Jadi kita tutup sampai disini ya...?
Justru itu kalau usul seharusnya balasan posting TS adalah mengingatkan "ini hanya usul" bukan bahas "sah (dapah hadiah) atau tidak".
gara2 usul malah makin panjang , kalau terlalu lama nanti bisa jadi bisul :)) , dari pertama sudah keliatan kalau itu hanya usul aja ;D
tidak ada manusia yang sempurna , semua tidak luput dari salah . mending kita sudahi saja persoalan ini, sesama saudara di forum harus saling memahami dan menerima segala kekurangan saudara lain _/\_
memaafkan lebih baik daripada di maafkan walaupun itu sulit _/\_
hati-hati lah dgn kata "USUL"...
Awas ada SULe :P :P=)) =)) =)) =)) =))
Jadi inget tayangan program Asal-Usul di satu stasiun TV dengan mottonya: "Kalau asal, jangan usul. Kalau usul, ga boleh asal." ;D
ya ampun lama ga muncul, sekali muncul cuman posting gini aja...btw emang ada statement bro fab keluar forum, sam ?
mana nih orangnya? hayoo...sini balik lagi....
klo baca ini jadi sedih deh, gara2 kemarin ada yg usul sesuatu tapi lalu ada salah paham sekarang malah keluar dari forum...pdhal pengetahuan dhammanya mendalam, saya aja banyak belajar dari postingan beliau....semoga beliau mau masuk lagi, mau posting lagi....
btw emang ada statement bro fab keluar forum, sam ?
IMO, case ini cukup sensitif.. jadi "idealnya" kalau bro fab gak posting di sini cukup dikategorikan sebagai "bro fabian gak posting" bukan "keluar forum."
gak posting tidak berarti keluar forum, tapi keluar forum sudah pasti tidak posting lagi..
gak posting bisa saja karena lagi sibuk di dunia nyata, dll ya saya rasa itu privasi bro fabian yang idealnya juga tidak kita otak atik..
[at] Neri: Halo Neri.. hehehe.. Pendapat saya sama dengan Ko Hedi. Masalah beda pendapat mah wajar aja.. Bukan terjadi 1-2 kali ini saja.. Udah dari dulu juga dan mungkin nantinya juga begitu lagi. Lebih bagus berbeda daripada dipaksakan sama. Lagi, kayanya Ko Fab mungkin karena kesibukan aja kalau sampai sementara berhalangan hadir di forum. Di luaran masih tetap ada komunikasi koq. :)
sy rasa om fabian bukan keluar dari forum,tapi lg keluar dari pulau jawa(menurut pengakuan beliau) :)
lagi latihan Bhavana kali ! ^:)^
Tipitaka disini maksudnya Pali Text kan?
Karena kalau di Sanskrit Text Mahayana maupun kanon Tibet saya bisa ketemu bagian yang bisa "dibengkokkan" dan "dimisinterpretasikan" seperti itu.