PendahuluanDunia ini, Kaccāna, biasanya bersandar pada dualitas: atas (kepercayaan terhadap) keberadaan atau ketiadaan.... Menghindari kedua ekstrem ini, Sang Tathāgata menunjukkan ajaran tengah: Bergantung pada ketidaktahuan, muncul bentuk-bentuk karma.... Dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentuk-bentuk karma lenyap.... (SN 12:15)
Perkataan Sang Buddha di atas menyatakan dualitas keberadaan (atthitā) dan ketiadaan (natthitā). Kedua istilah ini menunjuk pada ajaran eternalisme (sassata-diṭṭhi) dan annihilasionisme (uccheda-diṭṭhi), konsep salah mendasar atas kenyataan yang dalam berbagai bentuk berulang-ulang muncul kembali dalam sejarah pemikiran manusia.
Eternalisme adalah kepercayaan terhadap substansi atau entitas kekal, apakah dipahami sebagai sejumlah banyak jiwa atau diri individual, yang diciptakan atau tidak, sebagai sebuah roh dunia yang tunggal, satu sosok dewa dalam berbagai penggambaran, atau kombinasi dari beberapa pandangan ini. Annihilisionisme, pada sisi lain, menyatakan keberadaan sementara atas diri atau personalitas, yang sepenuhnya dihancurkan atau lenyap setelah kematian. Oleh karena itu, dua kata kunci dari teks yang dikutip di atas menunjuk pada (1) keberadaan yang mutlak, yaitu yang kekal atas substansi atau entitas yang diasumsikan, dan (2) kebinasaan yang tertinggi, mutlak atas entitas terpisah yang dianggap tidak kekal, yaitu ketiadaan mereka setelah akhir masa kehidupan. Kedua pandangan ekstrem bertahan dan gagal dengan anggapan terhadap sesuatu yang tetap baik dari sifat yang kekal atau tidak kekal. Keduanya akan kehilangan landasan sepenuhnya jika kehidupan dilihat dari sifat sejatinya, sebagai aliran yang berkelanjutan dari proses fisik dan mental yang timbul dari kondisi yang sesuai, sebuah proses yang akan lenyap hanya ketika kondisi-kondisi ini dihilangkan. Ini akan menjelaskan mengapa teks di atas memperkenalkan rumusan awal mula yang saling bergantungan (paṭicca-samuppāda), dan kebalikannya, kelenyapan yang saling bergantungan.
Awal mula yang saling bergantungan, yang merupakan proses yang tidak terputus, tidak memasukkan gagasan atas ketiadaan mutlak, atau kekosongan, yang mengakhiri keberadaan individual; istilah kata sifat “saling bergantungan” menunjukkan bahwa juga tidak ada keberadaan yang mutlak, berdiri sendiri, tidak ada keberadaan sejati yang tetap, namun hanya kemunculan fenomena yang segera lenyap yang bergantung pada kondisi yang juga segera lenyap.
Kelenyapan yang saling bergantungan tidak memasukkan kepercayaan atas keberadaan yang mutlak dan permanen. Ia juga menunjukkan bahwa tidak ada kemerosotan yang otomatis ke dalam ketiadaan, karena lenyapnya keberadaan yang relatif juga terjadi secara berkondisi.
Dengan demikian ajaran awal mula yang saling bergantungan dan kelenyapan yang saling bergantungan merupakan ajaran tengah yang sejati, melampaui ekstrem keberadaan dan ketiadaan.
Namun berpikir dengan cara konseptual yang bertentangan seperti dalam pandangan keberadaan dan ketiadaan telah menggenggam kuat pada manusia. Genggaman itu sangat kuat karena cara pikir ini terus-menerus dipupuk oleh beberapa akar kuat yang tertanam dalam pada pikiran manusia. Yang terkuat dari mereka adalah gagasan praktis dan teoritis atas keakuan atau diri. Ini adalah keinginan kuat untuk pertahanan dan pelestarian personalitas, atau versi yang halus atas hal ini, yang berdiam di belakang semua kepercayaan eternalistik yang beranekaragam. Tetapi bahkan pada orang-orang yang telah membuang keyakinan atau ajaran eternalistik, kepercayaan naluriah atas keunikan dan pentingnya kepribadian mereka tertentu masih sedemikian kuat hingga mereka menganggap kematian, akhir dari kepribadian, berarti kemusnahan total atau ketiadaan. Dengan demikian kepercayaan terhadap diri bertanggung jawab tidak hanya untuk pandangan eternalisme, tetapi juga untuk annihilasionisme, baik dalam bentuk tidak filsofis yang umum yang menganggap kematian sebagai akhir segalanya atau dalam ajaran materialistik yang menguraikan hal yang sama.
Terdapat akar penyebab lain dari gagasan keberadaan dan ketiadaan ini yang berhubungan erat dengan akar utama kepercayaan akan diri. Sebagai contoh, terdapat akar linguistik yang menyusun struktur dasar bahasa (subjek dan predikat, kata benda dan kata sifat) dan kecenderungannya untuk menyederhanakan kalimat persetujuan dan penyangkalan untuk kepentingan kemudahan komunikasi dan orientasi. Ciri struktural dari bahasa dan kebiasaan berbahasa dari kalimat-kalimat yang disederhanakan telah mengakibatkan pengaruh yang halus tetapi kuat pada cara berpikir kita, menyebabkan kita cenderung menganggap bahwa “pasti terdapat sesuatu jika terdapat kata untuk hal tersebut.”
Pandangan satu sisi ini dapat juga timbul dari alasan emosional, sifat dasar terhadap kehidupan yang berlebihan. Ini dapat mencerminkan suasana hati yang optimis dan pesimis, harapan dan keputusasaan, keinginan untuk merasa aman melalui dukungan metafisik, atau keinginan untuk hidup tanpa kekangan dalam semesta yang dibayangkan secara materialistik.Pandangan teoritis atas eternalisme dan annahilasionisme yang dianut oleh seseorang dapat berubah selama masa hidupnya, bersamaan dengan kebutuhan suasana hati atau emosi yang berhubungan.
Terdapat juga akar intelektual: kecenderungan pikiran yang spekulatif dan teoritis. Beberapa pemikir, orang-orang dengan watak berteori (diṭṭhicarita) dalam psikologi Buddhis, cenderung membuat sistem filosofi yang panjang lebar yang beranekaragam di mana, dengan kecerdasan yang luar biasa, mereka bermain satu sama lain dengan pasangan lawan konseptual. Kepuasan besar ini memberikan mereka ikut serta dalam kontruksi pikiran yang demikian lebih jauh memperkuat ketaatan mereka pada pandangan ini.
Dari kata-kata singkat ini, seseorang akan dapat menghargai kekuatan dan perbedaan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan orang berpikir, merasakan dan mengatakan dalam cara yang bertentangan ini: keberadaan mutlak atau ketiadaan mutlak. Demikianlah Sang Buddha memiliki alasan yang bagus karena mengatakan, dalam bacaan pendahuluan kita, bahwa orang-orang biasanya bersandar pada dualitas. Kita tidak perlu terkejut bahwa bahkan Nibbāna, tujuan pembebasan Buddhis, telah dengan salah diartikan dalam pengertian ekstrem ini. Namun konsep kaku keberadaan dan ketiadaan tidak dapat bersifat adil pada sifat kenyataan yang berubah-ubah. Kurang tepat juga mereka diterapkan pada Nibbāna, yang dinyatakan Sang Buddha sebagai di atas duniawi (lokuttara) dan di luar pemikiran konseptual (attakkāvacara).
Pada masa modern ini, ketika pengetahuan tentang ajaran Buddhis baru mencapai Barat, kebanyakan penulis dan sarjana (dengan beberapa pengecualian seperti Schopenhauer dan Max Müller) menganggap Nibbāna sebagai murni dan hanya ketiadaan. Akibatnya, penulis Barat dengan terlalu mudah menjelaskan Buddhisme sebagai ajaran nihilistik yang mengajarkan annihilasi sebagai tujuan tertingginya, sebuah pandangan yang dianggap para penulis ini sebagai samar-samar secara filosofis dan tercela secara moral. Pernyataan yang sama masih kadangkala muncul dalam literatur non-Buddhis yang menimbulkan prasangka. Tanggapan yang berlawanan atas pandangan ini adalah konsep Nibbāna sebagai keberadaan. Ini sekarang diartikan dalam titik terang pandangan filosofis dan agama yang sudah familiar sebagai sesuatu yang murni, kesadaran murni, diri yang murni, atau beberapa konsep metafisik lainnya.
Tetapi bahkan pemikiran Buddhis tidak dapat selalu menjelaskan penafsiran yang tidak seimbang atas Nibbāna. Ini terjadi bahkan pada zaman awal: aliran Sautrāntika memiliki pandangan yang agak nihilistik atas Nibbāna sementara konsep Mahāyānistik atas tanah Buddha (Buddhakṣtra), Buddha awal mula (Ādi-Buddha), Tathāgatagarbha, dst, cenderung pada penafsiran yang positif-metafisik.
Oleh sebab itu, tidak mengejutkan bahwa penulis Buddhis modern juga kadangkala mendukung pandangan ekstrem ini. Namun, di negeri-negeri Buddhis di Timur sekarang tidak ada aliran Buddhis yang diketahui penulis yang cenderung pada penafsiran Nibbāna yang nihilistik. Bertentangan dengan pendapat yang salah, yang disuarakan terutama oleh para penulis Barat yang tidak tahu atau menimbulkan prasangka, Buddhisme Theravada sepenuhnya menolak pandangan bahwa Nibbāna hanyalah kelenyapan. Pernyataan ini akan diperkuat dengan fakta-fakta pada bagian pertama uraian ini.
Terhadap alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, adalah tidak mudah untuk memisahkan dengan jelas kedua pandangan keberadaan dan ketiadaan yang berlawanan tersebut, dan untuk menjaga tetap mendekati jalan tengah yang ditunjukkan Sang Buddha, ajaran awal mula yang saling bergantungan dan kelenyapan yang saling bergantungan. Hingga cara berpikir yang sesuai dengan batas kondisionalitas telah sepenuhnya diserap dalam pikiran, perhatian terus-menerus akan dibutuhkan untuk menghindari tergelincir secara tak sadar ke dalam salah satu pandangan eternalisme dan annihilasionisme, atau mendekati keduanya. Ketika membahas pertanyaan-pertanyaan ini, terdapat bahaya yang seseorang akan bawa melalui argumennya dan membalas salah satu ekstrem dengan menganut lawannya. Oleh sebab itu, dalam perlakuan terhadap masalah tersebut, kehati-hatian ekstra dan otokritik diperlukan agar seseorang tidak kehilangan penglihatan atas jalan tengah.
Tujuan utama risalah ini adalah untuk memberikan bahan materi guna membatasi dengan jelas ajaran Sang Buddha tentang Nibbāna dari kedua penafsiran salah tersebut. Maksudnya tidak untuk mendorong spekulasi tentang sifat Nibbāna, yang akan sia-sia dan bahkan dapat merusak perjuangan untuk mencapainya. Teks kanon yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia mengatakan bahwa Nibbāna, kebenaran yang ketiga, adalah untuk direalisasikan (sacchikātabbaṃ); ia bukan untuk dipahami (seperti kebenaran pertama), ataupun untuk dikembangkan (seperti kebenaran keempat). Kita juga harus menekankan bahwa bahan-bahan materi yang dikemukakan di sini tidak seharusnya digunakan dalam sikap satu sisi sebagai sebuah argumen untuk menuju pada salah satu pandangan ekstrem melawan yang lainnya. Masing-masing dari kedua bagian dalam risalah ini membutuhkan yang lainnya untuk kualifikasi dan kelengkapannya. Diharapkan materi dari sumber kanonik dan komentar yang dikumpulkan dalam halaman-halaman ini, dengan menjelaskan posisi Theravada, sedikitnya akan mengurangi titik pertentangan antara penafsiran-penafsiran yang berlawanan.