1. Agama Buddha mengajarkan Anatta = Kegagalan Untuk Mengajarkan Suatu Pribadi Manusia Yang Unik???
Karena kesadaran kita dibentuk oleh panca khanda... so...... batin / pribadi kita ini hanya suatu "impersonal" tanpa ada sesuatu yang unik. Maka dari itu menurut umat K, Buddhis tidak manusiawi, mirip seperti robot impersonal.
Konsep anatta menunjukkan bahwa tidak ada satu bagian pun yang bisa disebut sebagai "aku". Konsep anatta menunjukkan dengan jelas bahwa anggapan bahwa "aku" (roh / jiwa) ada hanyalah sebatas ilusi. Konsep anatta menguraikan dengan jelas semua alasan tentang mengapa kita sepatutnya tidak melihat diri kita sebagai "aku".
Konsep anatta memberikan pemahaman benar agar kita tidak lagi menggenggam pada keakuan (sifat egois). Konsep anatta menunjukkan dengan jelas lima kelompok kehidupan yang membentuk satu pribadi. Kelima kelompok kehidupan ini sangat bervariasi antar satu pribadi dengan pribadi lainnya. Karena itu, sebenarnya konsep anatta menunjukkan keragaman antar pribadi.
Justru konsep anatta memberikan batasan jelas, bahwa lima kelompok kehidupan ini bekerja bersama sebagai satu fenomena pribadi, yang disebut dengan manusia. Konsep anatta sedikit berkaitan dengan konsep hukum kamma, yang dengan demikian berarti manusia adalah makhluk yang memegang nasibnya sendiri; bukan seperti robot yang dikendalikan oleh "pribadi adikuasa".
2. Hukum karma = Suatu Hukum yang mengajarkan Fatalisme???
Mereka menganngap agama Buddha mengatakan bahwa semua adalah Karma dan kita harus menanggungnya bagaimanapun beratnya. Take responsibility of the karma and NO HOPE. Bagi mereka doktrin karma = meniadakan harapan, semua ditentukan oleh karma.
Kamma adalah perbuatan berkehendak. Seringkali disalah-artikan bahwa kamma (karma) adalah hukuman / balasan. Dalam konsep Buddhisme, hukum kamma hanyalah satu dari 24 faktor penyebab relativitas kehidupan. 24 faktor itu adalah:
1 Hetu-paccayo – Root condition
2 Arammana-paccayo – Object condition
3 Adhipati-paccayo – Predominance condition
4 Anantara-paccayo – Contiguity condition
5 Samanantara-paccayo – immediacy condition
6 Sahajata-paccayo – Co-nascence condition
7 Annamanna-paccayo – Mutuality condition
8 Nissaya-paccayo – Dependence condition
9 Upanisaya-paccayo – Powerful Dependence condition
10 Purejata-paccayo – Pre-nascence condition
11 Pacchajata-paccayo – Post-nascence condition
12 Asevana-paccayo – Repetition condition
13 Kamma-paccayo – Kamma condition
14 Vipaka-paccayo – Kamma-result condition
15 Ahara-paccayo – Nutriment condition
16 Indriya-paccayo – Faculty condition
17 Jhana-paccayo – Jhàna condition
18 Magga-paccayo – Path condition
19 Sampayutta-paccayo – Association condition
20 Vippayutta-paccayo – Dissociation condition
21 Atthi-paccayo – Presence condition
22 Natthi-paccayo – Absence condition
23 Vigata-paccayo – Disappearance condition
24 Avigata-paccayo – Non-disappearance conditionDalam Buddhisme, hukum kamma sendiri juga termasuk dalam salah satu di antara 5 hukum tertib kosmis. Jadi hukum kamma bukanlah sebuah hukum fatalisme yang memonopoli. Pandangan bahwa hukum kamma sebagai fatalis adalah pandangan keliru yang menempatkan hukum kamma seperti Tuhan dalam agama monotheis. Di dalam agama monotheis, justru konsep Tuhan itulah yang merupakan fatalisme.
Dalam Buddhisme, kamma adalah semua perbuatan baik dan buruk yang dilakukan dengan niat. Tidak semua perbuatan akan menghasilkan akibat. Beberapa perbuatan akan berbuah segera dalam kehidupan ini, beberapa akan berbuah di kehidupan berikutnya, beberapa akan berbuah di kehidupan-kehidupan berikutnya, dan beberapa tidak akan berbuah karena tidak dikondisikan oleh kamma-kamma lainnya.
Konsep hukum kamma justru mengajarkan pada semua manusia bahwa nasib buruk juga bisa diatasi. Bencana dalam hidup bisa ditanggulangi.
Semua makhluk:
Memiliki kamma-nya sendiri
Mewarisi kamma-nya sendiri
Lahir dan kamma-nya sendiri
Berhubungan dengan kamma-nya sendiri
Terlindung oleh kamma-nya sendiri.
Apa pun kamma yang diperbuatnya
Baik atau buruk,
Itulah yang akan diwarisinya,
Hendaknya hal ini kerap kali direnungkan.3. Hukum Sebab Akibat = Kegagalan Untuk Memperoleh Keselamatan
Mengajarkan tidak ada harapan bagi orang jahat sekali untuk bertobat dan masuk surga. Yang ditekankan di sini adalah Tidak Adanya Harapan, mis: ketika manusia melakukan Pancanantrya Karma (5 Karma Buruk Berat), maka tidak ada harapan lagi baginya? So agama Buddhis tidak dapat memberikan ketenangan hati pada pengikutnya, karena tidak mampu memberikan HOPE.
Tidak demikian. Hukum sebab-akibat mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia tidak muncul karena kebetulan. Semua ada penyebabnya, dan penyebabnya ini tidak ditemukan dalam penyebab tunggal. Konsep hukum sebab-akibat mengajarkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini saling bergantungan. Tidak ada detonator pertama.
Konsep hukum sebab-akibat ini sebenarnya merupakan konsep turunan yang menjadi populer di kalangan Buddhis belakangan. Sang Buddha tidak pernah menjelaskan konsep ini secara global; Sang Buddha menjelaskan konsep hukum kamma (hukum perbuatan berkehendak) dan hukum paticcasamuppada (fenomena saling kebergantungan). Dan hukum sebab-akibat ini sebenarnya merujuk pada kedua konsep hukum tersebut.
Dalam konsep Buddhisme, keselamatan (baca: menuju surga) sangatlah mudah. Seseorang yang melakukan banyak kejahatan di luar 5 kamma buruk berat, bisa saja meninggal dan menuju surga dengan menjaga pikiran dengan damai sebelum ajal. Juga sebaliknya, sangat mudah menuju neraka. Tapi keberadaan di surga dan neraka itu tidaklah kekal. Sama juga bila seseorang setelah melakukan 5 kamma buruk berat, meski ia akan berada di neraka (alam niraya); tapi kelak ia akan menuju alam lainnya. Semuanya ini bergantung pada kamma (perbuatan lampaunya).
Karena itu, konsep di Buddhisme ini selalu terbuka untuk kesempatan-kesempatan berikutnya. Dalam Buddhisme, dibabarkan konsep universal yang demokratis bahwa semua makhluk memiliki kesempatan berikutnya untuk memperbaiki diri dan beroleh Pembebasan Sempurna (Nibbana) yang jauh lebih tinggi dari sekadar surga saja.
4. Penderitaan = Apakah "Pelenyapan" adalah satu2nya Jalan?
Menurut umat K, umat Buddhis itu mengatasi penderitaan dengan "extinction of our humanbeingness"
Sedangkan agama K, mengajarkanm untuk " rejoice our humanbeingness"
Penderitaan bukanlah seusatu untuk dihindari, demikian menurut umat K.
Penderitaan hanyalah sebagian dari dukkha. Dukkha sendiri cakupannya lebih luas dari sebatas penderitaan. Dukkha adalah segala bentuk dan fenomena kehidupan ini, yang sifat sebenarnya adalah tidak memuaskan. Buddhisme mengajarkan bahwa dukkha ini bermula dari nafsu-keinginan dan kemelekatan pada diri. Nafsu-keinginan dan kemelekatan ini bermula dari ketidaktahuan akan sifat kehidupan. Karena menggenggam nafsu-keinginan dan kemelekatan, makanya semua orang mencari kebahagiaan eksternal. Semua makhluk berlomba untuk mencari kebahagiaan di luar, yaitu kebahagiaan dengan memanjakan 5 indria dan pikiran. Karena semua makhluk sama-sama mencari kebahagiaan ini, maka seringkali semua makhluk mencelakai makhluk lain. Karena semua makhluk menggenggam sifat egois dan dicemari oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin.
Karena semua hal inilah maka dalam pandangan Buddhisme, kehidupan dilihat sebagai suatu pergumulan yang kusut. Berbagai konflik fisik dan batin selalu terjadi dalam hidup. Tapi Buddhisme bukan pandangan pesimis. Melihat bahwa hidup adalah dukkha, dan dukkha disebabkan oleh nafsu-keinginan serta kemelekatan; maka ini berarti ada satu kondisi di mana semua penyebab ini lenyap. Semua penyebab muncul karena dikondisikan. Jika kondisi yang memunculkan nafsu-keinginan dan kemelekatan dicabut, maka itu adalah kondisi yang terbebaskan dari konflik dunia.
Buddhisme juga mengajarkan jalan yang menuju akhir dukkha ini. Jalan itu adalah Jalan Mulia Beruas 8 yang setiap ruasnya membawa pesan untuk mengembangkan dan menata moralitas dan kebijaksanaan. Dengan menata kultivasi moralitas dan kebijaksanaan, kita bisa mencapai Pembebasan. Kebahagiaan sejati ada di dalam (internal), bukan di luar (eksternal). Mencapai Pembebasan adalah mencapai kondisi batin yang teguh tak terguncangkan oleh konflik dunia. Tubuh jasmani bisa lapuk, sakit, dan mati. Tapi bila batin sudah mencapai titik kedewasaan spiritual, maka kita tidak akan terpengaruh pada dukkha dalam menjalani kehidupan yang kusut ini.
Buddhisme mengajarkan kita untuk melenyapkan akar dukkha.
5. Nirvana = Siapa Yang Mau Lenyap ke dalam Ketiadaan??
Krn Nirvana = Anatta, mereka menganggap hal itu sebagai "penghilangan akan keberadaan kita sebagai manusia". Maka dari itu mereka mengatakan: "Siapa yang mau menjadi Bukan Apa-Apa / Kekosongan?" Hidup ini harus berisi dan penuh makna, bukan "KOSONG".
Seperti di poin sebelumnya, tidak ada bagian apapun dari kita yang bisa dinyatakan sebagai "aku" (roh / jiwa). Seseorang yang menggenggam bahwa "aku" adalah eksis, maka sesungguhnya ia telah menggenggam keegoisan. Konsep inilah yang dikembangkan dalam agama monotheisme.
Nibbana (Nirvana) bukanlah kekosongan. Setidaknya ini adalah pandangan Theravada. Seperti yang sudah dijelaskan di poin sebelumnya, Nibbana adalah Pembebasan Sempurna. Yaitu satu kondisi batin yang matang dan dewasa secara spiritual, di mana tidak lagi terpengaruh oleh dukkha. Dalam menjalani hidup yang kusut ini; tidak lagi merasa bahagia, tidak lagi merasa sedih. Karena tidak ada kebahagiaan dan kesedihan, maka itulah kebahagiaan tertinggi.
Menjalani hidup dengan metta (cinta-kasih), karuna (belas-kasih), mudita (simpati) dan upekkha (keseimbangan batin) adalah kehidupan yang sangat bermakna. Dan keempat sifat luhur ini akan menjadi kriteria seseorang yang telah merealisasi Nibbana.
6. Tindakan Bajik = Sia-sia
Krn agama Buddha mengajarkan doktrin Anatta, tidak ada diri yang kekal, maka tidak memiliki fondasi etika yang jelas. Apakah kita ini menyelamatkan suatu "kesadaran impersonal yang dihasilkan oleh panca khanda?" Bila tidak ada pribadi, apa yg kita kultivasi? Bila tidak ada pribadi, lantas metta (cinta kasih) itu ditujukan pada apa?
Berbuat baik dan menjaga moralitas adalah atas dasar pemahaman benar; kedewasaan mental dan kebijaksanaan. Seseorang yang dewasa dan bijaksana akan berbuat baik dan menjaga moralitas, karena ia mencintai kehidupan dan menghargai kehidupan. Berbuat baik dan menjaga moralitas yang benar tidak didasari keakuan (sifat egois). Berbuat baik dan menjaga moralitas sebaiknya dilakukan dengan sadar dan tanpa kemelekatan. Meskipun perbuatan baik juga akan membuahkan kehidupan yang nyaman, tetapi itu bukanlah motivasi utama dalam Buddhisme untuk mengajarkan kebaikan.
Dalam Buddhisme, semua perbuatan baik dan menjaga moralitas adalah satu barometer yang menunjukkan betapa mulianya seseorang. Seseorang yang mulia adalah seseorang yang mendekati kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati adalah Nibbana. Seseorang yang berbuat baik dan menjaga moralitas adalah seseorang yang sudah maju selangkah untuk merealisasi Nibbana.
7. Umat Buddhis gagal menjawab mengapa hukum Dharma itu berjalan seperti itu? Kenapa berjalannya hukum itu harus seperti ini dan itu? Kenapa dunia ini harus eksis, mengapa bukan tidak eksis?
Mengapa berjalannya Dhamma Niyama itu harus seperti ini bukan seperti yang lain? Mengapa dunia ini tampak tertata? Mengapa "the way it is" itu menjadi "the way it is"? Bagi umat K, semuanya tentu memiliki sebuah causal, tidak mesti first causal, tetapi sebuah causal (sebab) mengapa dunia itu "seperti ini" bukan "seperti itu"?
Buddhisme mengajarkan untuk melenyapkan dukkha. Segala jawaban terhadap pertanyaan mengenai topik metafisik dan seputar eksistensi / non-eksistensi tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk perealisasian Nibbana. Oleh karena itu, Sang Buddha hanya mengajarkan ajaran yang penuh moralitas dan kebijaksanaan; jalan untuk hidup yang benar.
Dalam 4 Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Beruas 8, sebenarnya disinggung mengapa dunia ini anicca, dukkha dan anatta. Mengapa kehidupan ini bisa kusut. Mengapa semua makhluk adalah berbeda (unik), dll. Namun topik penjelasannya hanya menyinggung konteks yang berkaitan dengan jalan menuju Nibbana. Sang Buddha tidak menjelaskan di luar dari itu.
Untuk memahami mengapa dunia ini terbentuk demikian dan pertanyaan-pertanyaan semacam di atas, Buddhisme juga menyediakan sarananya. Yaitu, jalan untuk menjadi seorang Sammasambuddha (orang yang tercerahkan lewat usahanya sendiri - otodidak, setelah melalui kultivasi yang sangat panjang). Penjelasan seputar pertanyaan-pertanyaan itu tidak mungkin dapat dijelaskan dalam kalimat sederhana. Butuh kecerdasan dan kebijaksanaan yang amat tinggi untuk memahaminya. Dan seorang Sammasambuddha adalah orang yang mengetahui jawaban atas pertanyaan semacam ini.
Buddhisme secara implisit mengundang setiap orang yang mau mengetahui jawaban dari pertanyaan semacam ini. Kalau Anda mau, silakan kembangkan moralitas dan kebijaksanaan Anda hingga menjadi seorang Sammasambuddha. Ini jauh lebih baik, daripada agama lain yang berusaha menunjukkan jawaban terhadap pertanyaan semacam ini dengan penjelasan sangat sederhana; serta mewajibkan umatnya untuk tidak bertanya lebih lanjut lagi. Alias wajib percaya.
8. Buddha menjauhkan diri kita dari-Nya, sedangkan Yesus menerima kita. Yesus adalah jalan itu sendiri. Buddha hanya bisa menunjukkan Jalan. Buddha mengatakan diri kita sendiri yg bertanggung jawab, tapi Yesus mampu menghapus dosa, menghibur hati yang sakit dan menanggung dosa-dosa manusia. Seems better for a weak person huh??
Sang Buddha tidak pernah manjauhkan kita dari-Nya. Sepertinya ada kesalahan intepretasi.
Sang Buddha hanya menyatakan bahwa ajaran-Nya hanya sebagai panduan. Semua orang harus mempraktikkannya untuk merealisasi Nibbana. Ini seperti seorang motivator yang memberikan panduan motivasi jalan menuju kesuksesan, tetapi kita sendiri yang harus berusaha untuk menjadi orang sukses. Bukan seperti Yesus yang terlalu baik; seorang motivator yang menjanjikan orang lain beroleh kesuksesan secara cuma-cuma asalkan mau percaya pada kata-kata-Nya dan mengikuti kehendak-Nya.
Yesus hanya bisa menghibur orang sakit dan menghapus dosa. Itu semua bisa dilakukan Sang Buddha, meski dengan konteks yang berbeda. Sang Buddha peduli pada kesehatan semua makhluk. Bila Beliau menjumpai orang atau makhluk yang sakit, Beliau akan turun tangan dan mengobatinya. Sang Buddha bahkan mengeluarkan kalimat majas yang sangat mulia, yaitu: "Siapa yang merawat orang sakit, berarti ia merawat Aku". Sang Buddha juga seringkali menolong makhluk lain untuk terhindar dari akibat perbuatan buruknya. Ini seperti menolong orang untuk terhindar dari dosa (akibat buruk), bukan?
Lebih dari itu. Sang Buddha bisa memberikan obat kebahagiaan sejati kepada semua makhluk. Semua makhluk yang memnimun obat ini (Dhamma) dengan benar (mempraktikkan), maka ia bisa mencapai Pembebasan Sempurna (kebahagiaan sejati - Nibbana). Sang Buddha memberikan jalan menuju akhir dukkha.
Sedangkan Yesus tidak bisa menanggulangi mengapa semua makhluk, manusia, dan juga umat-Nya untuk terhindari dari tua, sakit, mati. Yesus tidak mampu memberikan obat kepada umat-Nya untuk mengatasi penderitaan. Justru umat yang semakin menderita dalam hidupnya, namun kuat imannya; adalah umat-umat yang jauh lebih dikasihi Tuhan. Demikianlah amanat dari agama monotheisme. Sungguh suatu pemandangan memilukan, betapa Tuhan menciptakan kehidupan yang kusut ini sebagai bukti kasih-Nya.
Coba direnungkan.
-----------------
Intermezzo:
- Buddha => gelar untuk orang yang tercerahkan; profil utama dalam Agama Buddha
- Buddhisme => adalah pandangan / paham sesuai ajaran Sang Buddha
- Buddhis => orang yang memegang pandangan Buddhisme
- Umat Buddha => orang yang memegang pandangan Buddhisme
Buddhis adalah sama dengan umat Buddha.
Jadi istilah "umat Buddhis" adalah tidak tepat.
Di awal thread, Bro GandalfTheElder menyatakan ada 10 pertanyaan. Ini baru 8 pertanyaan saja. Bisa dicantumkan juga 2 pertanyaan berikutnya di sini?