//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)  (Read 29452 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #90 on: 27 February 2011, 11:15:25 AM »
SUTTA 101

922) Doktrin ini, yang di sini dianggap berasal dari para Jain, juga digunakan sebagai kritik oleh Sang Buddha pada SN 36:21/iv.230-31 dan AN 3:61/i.173-74. Ajaran Sang Buddha mengakui keberadaan perasaan yang bukan merupakan akibat dari perbuatan lampau melainkan suatu hal yang muncul bersamaan dengan perbuatan sekarang, dan juga mengakui perasaan yang bukan aktif melalui kamma juga bukan akibat kamma.

923) Dari sini hingga §5, “Kalau begitu ...,” juga terdapat pada MN 14.17-19, pernyataan dari Nigaṇṭha Nātaputta, yang pada MN 14.17 memperkenalkan posisi Nigaṇṭha, di sini adalah lanjutannya, pada §10, sebagai pembenaran para Nigaṇṭha atas pernyataan mereka.

924) Seperti pada MN 95.14.

925) Tidaklah selayaknya bagi mereka untuk membuat pernyataan itu karena “pengerahan keras” mereka, yaitu, praktik pertapaan mereka, adalah penyebab perasaan menyakitkan mereka itu, seperti yang disebutkan oleh Sang Buddha pada §15.

926) Ini adalah ungkapan teknis bagi perbuatan yang masak dalam kehidupan ini.

927) MA: “Suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang” adalah sinonim untuk suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini.[”] Suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang adalah sinonim untuk suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan berikutnya. Tetapi sebuah ketentuan diberikan sebagai berikut: Perbuatan apa pun yang menghasilkan akibat dalam kehidupan yang sama adalah perbuatan yang akibatnya harus dialami di sini dan saat ini, tetapi hanya suatu perbuatan yang menghasilkan akibatnya dalam tujuh hari yang disebut sebagai perbuatan yang akibatnya harus dialami dalam pribadi yang matang.

928) Ini adalah perbuatan yang tidak memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibatnya dan dengan demikian menjadi tertutup.

929) Issaranimmānahetu. Doktrin Theis yang dikritik oleh Sang Buddha dalam AN 3:61/i.174.

930) Sangatibhābahetu. Ini menyinggung doktrin dari Makkhali Gosāla, yang dikritik secara panjang-lebar dalam MN 60.21 dan AN 3:61/i.175.

931) Abhijātihetu. Ini juga merujuk pada prinsip Makkhali Gosāla.

932) Ini adalah formulasi Jalan Tengah dari Sang Buddha, yang menghindari ekstrem penyiksaan diri tanpa terjatuh pada ekstrem lainnya yaitu mengejar kenikmatan indria.

933) MA menjelaskan sumber penderitaan sebagai keinginan, disebut demikian karena merupakan akar penderitaan yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan. Paragraf ini menunjukkan dua pendekatan alternatif untuk mengatasi keinginanyang satu menggunakan usaha yang gigih, yang lainnya adalah keseimbangan yang terlepas. “Peluruhan” dari sumbernya diidentifikasikan oleh MA sebagai jalan lokuttara. Paragraf ini dikatakan mengilustrasikan praktik dari seseorang yang berjalan pada jalan yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat (sukhapaṭipadā khippābhiññā).

934) Paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan alasan Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menjalani praktik pertapaan (dhutanga): penggunaan pertapaan keras yang secukupnya adalah membantu untuk mengatasi kekotoran; tetapi itu dijalani untuk menghapuskan kamma lampau dan untuk memurnikan jiwa, seperti yang dipercaya oleh para petapa Jain dan petapa lainnya. MS mengatakan bahwa paragraf ini mengilustrasikan praktik dari seorang yang berjalan pada jalan yang sulit dengan pengetahuan langsung yang lambat (dukkhapaṭipadā dandhābhiññā).


SUTTA 102

935) Sutta ini adalah padanan dengan panjang menengah dari Brahmajāla Sutta yang lebih panjang, yang terdapat dalam Digha Nikāya dan diterbitkan dalam terjemahannya dengan komentarnya dalam Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views. Penjelasan terperinci pada hampir seluruh pandangan yang disebutkan dalam sutta ini dapat dibaca dalam Pendahuluan dan Bagian ke dua buku tersebut. Ada terjemahan Tibet atas Pañcatraya Sūtra, padanan dari teks ini yang berasal dari aliran Mūlasarvāstivāda, yang bukunya dituliskan dalam Skt. Teks ini dibahas oleh Peter Skilling dalam Mahāsūtras II, pp. 469-511. Skilling menggarisbawahi perbedaan menarik antara versi teks ini dan versi Pali.

936) Skilling menunjukkan bahwa Pañcatraya versi Tibet, menyatakan Nirvāṇa di sini dan saat ini tidak termasuk dalam pandangan akan masa depan melainkan merupakan kelompok terpisah. Brahmajāla Sutta menempatkan pernyataan Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini di antara pandangan-pandangan akan masa depan, tetapi penataan dalam versi Tibet tampaknya lebih logis.

937) Dalam Brahmajāla Sutta, [ ]keenam belas variasi pandangan ini disebutkan, delapan yang terdapat di sini dan dua tetrad lainnya: diri sebagai terbatas, tidak terbatas, keduanya, dan bukan keduanya; dan diri sebagai mengalami kenikmatan luar biasa, kesakitan luar biasa, gabungan keduanya, dan bukan keduanya. Dalam sutta sekarang ini, kedua tetrad ini dimasukkan ke dalam spekulasi tentang masa lampau pada §14, tetapi pada SN 24:37-44/iii.219-20 dijelaskan sebagai diri setelah kematian.

938) Jelas, bahwa dalam daftar di atas pandangan-pandangan diri sebagai tanpa materi, memiliki persepsi kesatuan, dan memiliki persepsi tanpa batas adalah berdasarkan pada pencapaian landasan ruang tanpa batas. MṬ menjelaskan kasiṇa-kesadaran sebagai landasan kesadaran tanpa batas, menyebutkan bahwa para penganut teori ini menyatakan landasan itu sebagai diri.

939) Persepsi di dalam meditasi tanpa materi ke tigalandasan kekosonganadalah yang paling halus dari semua persepsi duniawi. Walaupun masih ada jenis persepsi dalam pencapaian tanpa materi ke empat, ini begitu halusnya sehingga tidak lagi layak disebut sebagai persepsi.

940) MA menuliskan sebagai berikut: “Semua jenis persepsi itu bersama dengan pandangan-pandangan adalah terkondisi, dan karena terkondisi, maka kasar. Tetapi karena ada Nibbāna, yang disebut lenyapnya bentukan-bentukan, yaitu, bentukan-bentukan yang terkondisi. Setelah mengetahui, ‘Ada hal ini,’ yaitu ada Nibbāna, dengan melihat jalan membebaskan diri dari yang terkondisi, maka Sang Tathāgata telah melampaui yang terkondisi itu.”

941) Tetrad ke dua dari §3 dihilangkan di sini, karena diri dianggap sebagai tidak memiliki persepsi. Dalam Brahmajāla Sutta, kedelapan variasi pandangan ini disebutkan, empat ini ditambah tetrad terbatas-tidak terbatas.

942) MA menunjukkan bahwa pernyataan ini dibuat dengan merujuk pada alam-alam kehidupan di mana terdapat seluruh kelima kelompok unsur kehidupan. Dalam alam tanpa-materi, kesadaran ada tanpa kelompok unsur bentuk-materi, dan dalam alam tanpa-persepsi ada bentuk-materi tetapi tanpa kesadaran. Tetapi kesadaran tidak pernah ada tanpa ketiga kelompok unsur batin lainnya.

943) Brahmajāla Sutta menyebutkan delapan variasi pandangan ini, empat ini ditambah tetrad terbatas-tidak terbatas.

944) Sammoha, [ ]di sini jelas memiliki makna berbeda daripada “kebingungan” atau “khayalan” umumnya.

945) MA menjelaskan kata majemuk diṭṭhasutamutaviññātabha sebagai bermakna “apa yang dikenali sebagai terlihat, terdengar, dan tercerap” dan menganggapnya merujuk pada pengenalan pintu indria. Akan tetapi, hal ini juga dapat merupakan seluruh pengenalan pintu pikiran yang lebih kasar. Untuk memasuki pencapaian tanpa materi ke empat, semua “bentukan batin” yang biasa yang terlibat dalam proses pengenalan lainnya harus diatasi, karena keberadaannya adalah rintangan untuk memasuki pencapaian ini. Karena itu, ini disebut “tidak memiliki persepsi” (n’eva saññi).

946) Sasankhārāvasesasamāpatti. Di dalam pencapaian tanpa materi ke empat masih ada sisa-sisa bentukan batin yang sangat halus, karena itu disebut “bukan tidak memiliki persepsi” (nāsaññi).

947) Brahmajāla menjelaskan tujuh jenis nihilisme, di sini seluruhnya dikelompokkan menjadi satu.

948) “Ketakutan dan kejijikan pada identitas” adalah suatu aspek vibhavataṇhā, keinginan akan ketiadaan. Pandangan nihilis yang karenanya “ketakutan dan kejijikan pada identitas” ini muncul masih melibatkan suatu identifikasi sebagai diridiri yang musnah pada saat kematiandan dengan demikian, terlepas dari penyangkalan ini, hal ini mengikat si penganutnya pada lingkaran kehidupan.

949) Sejauh ini hanya empat dari lima kelompok spekulasi tentang masa depan yang telah dianalisa, namun Sang Buddha berkata seolah-olah semuanya telah dijelaskan. MA berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan menjelaskan bahwa pernyataan “Nibbāna di sini dan saat ini” tercakup dalam “memiliki persepsi kesatuan” dan “memiliki persepsi keberagaman” dalam §3. Akan tetapi, penjelasan ini tidak meyakinkan. Ñm, dalam Ms, menambahkan judul “Nibbāna di sini dan saat ini” sebelum §17-21 yang tampaknya bersesuaian dengan empat terakhir dari lima doktrin Nibbāna di sini dan saat ini dalam Brahmajāla. Akan tetapi, interpretasi ini sepertinya dilawan oleh §13 dan oleh frasa yang digunakan dalam §17, §19, dan §21, “dengan melepaskan pandangan-pandangan tentang masa lampau dan masa depan,” yang mengeluarkan doktrin Nibbāna di sini dan saat ini dari pandangan-pandangan tentang masa depan (walaupun ditempatkan di antara pandangan-pandangan demikian dalam pembukaan). Persoalan ini tampaknya tidak dapat dipecahkan, dan memunculkan kecurigaan bahwa teks telah mengalami perubahan hingga tingkat tertentu dalam penyampaian lisan. Penambahan pandangan-pandangan tentang masa lampau persis di bawah juga menimbulkan persoalan. Bukan hanya karena pandangan-pandangan itu tidak disebutkan dalam pembukaan, tetapi penempatan yang masa lampau setelah yang masa depan membalikkan urutan waktu yang normal. Skilling beranggapan bahwa paragraf ini adalah bagian dari komentar lisan dari sutta ini yang, pada titik tertentu, terserap ke dalam teks.

950) Pandangan ini memasukkan seluruh empat pandangan eternalis yang berspekulasi tentang masa lampau yang disebutkan dalam Brahmajāla.

951) Karena ini adalah pandangan yang merujuk pada masa lampau, dapat dianggap menyiratkan bahwa pada titik tertentu di masa lampau, diri dan dunia muncul secara spontan dari ketiadaan. Demikianlah ini terdiri dari dua doktrin asal-mula yang terjadi secara kebetulan dari Brahmajāla, seperti pendapat MA.

952) Ini memasukkan keempat jenis eternalisme sebagian.

953) Ini dapat memasukkan keempat jenis pengelakan tanpa akhir atau “geliat-belut” pada Brahmajāla.

954) Pandangan-pandangan 5-8 bersesuaian persis dengan empat pandangan perpanjangan dari Brahmajāla.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #91 on: 27 February 2011, 11:34:56 AM »
955) Kedelapan pandangan (9-16) adalah, dalam Brahmajāla, termasuk di dalam doktrin-doktrin yang memiliki persepsi keabadian yang terdapat dalam kelompok spekulasi tentang masa depan.

956) Yaitu, mereka harus menerima doktrin mereka di atas suatu dasar selain pengetahuan, yang melibatkan kepercayaan atau penalaran. Pada MN 95.14, dikatakan bahwa kelima dasar pendirian ini menghasilkan kesimpulan yang dapat terbukti benar atau salah.

957) MA: ini sebenarnya bukanlah pengetahuan, melainkan pemahaman keliru; demikianlah ini dinyatakan sebagai kemelekatan pada pandangan-pandangan.

958) MA mengatakan bahwa pada titik ini, keseluruh enam puluh dua pandangan yang dijelaskan dalam Brahmajāla Sutta telah dicantumkan, namun sutta ini bahkan memiliki jangkauan yang lebih luas karena memasukkan penjelasan atas pandangan identitas (paling jelas pada §24).

959) Bagian judul ini, dan huruf Romawi berikutnya “V”, ditambahkan oleh Ñm dengan anggapan bahwa paragraf ini menyajikan doktrin Nibbāna di sini dan saat ini, yang disebutkan tetapi tidak dijelaskan sebelumnya.

960) MA: Bagian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana keseluruhan enam puluh dua pandangan spekulatif muncul di atas pandangan identitas.

961) Pavivekaṁ pītiṁ. Ini merujuk pada dua jhāna pertama, di mana pīt termasuk.

962) MA menjelaskan bahwa ini adalah kesedihan yang disebabkan oleh kehilangan jhāna. Kesedihan ini tidak muncul segera saat lenyapnya jhāna, melainkan setelah perenungan atas lenyapnya.

963) Nirāmisaṁ sukhaṁ. Ini adalah kenikmatan jhāna ke tiga.

964) Jhāna ke empat.

965) Santo’ham asmi, nibbuto’ham asmi, anupādāno’ham asmi. Dalam Pali, ungkapan aham asmi, “aku”, mengungkapkan bahwa ia masih terlibat dengan kemelekatan, seperti yang akan ditunjukkan oleh Sang Buddha.

966) MA menganggap ini sebagai kiasan dari pandangan identitas. Demikianlah ia masih melekati pandangan.

967) MA di tempat lain menyebutkan ungkapan “kebebasan melalui ketidakmelekatan” (anupāda vimokkha) menyiratkan Nibbāna, tetapi di sini ini berarti pencapaian buah Kearahatan.

968) Brahmajāla Sutta juga menunjuk pada pemahaman asal-mula, dan seterusnya atas keenam landasan kontak sebagai jalan untuk melampaui segala pandangan.


SUTTA 103

969) Bhavābhavahetu. MA: “Apakah engkau berpendapat bahwa Beliau mengajarkan Dhamma sebagai cara untuk memperoleh jasa sehingga Beliau dapat mengalami kebahagiaan dalam kondisi makhluk ini atau [yang lebih tinggi]?”

970) Abhidhamma. MA mengatakan bahwa ini merujuk pada tiga puluh tujuh bantuan pada pencerahan yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya. Baca n.362.

971) Makna (attha) dan kata-kata (byañjana) adalah dua aspek Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha. Paragraf berikut ini, §§5-8, harus dibandingkan dengan DN 29.18-21/iii.128-29, yang juga mengungkapkan kepedulian pada pelestarian makna dan kata-kata yang benar dari Dhamma.

972) Pernyataan ini dibuat karena sedikit penyimpangan dari kata-kata yang sebenarnya tidak harus merupakan rintangan bagi pemahaman benar akan makna. Tetapi di tempat lain (misalnya, AN 2:20/i.59) Sang Buddha menunjukkan bahwa ungkapan salah dari kata-kata dan interpretasi salah dari makna adalah dua faktor yang bertanggung jawab atas distorsi dan lenyapnya Dhamma sejati.

973) Prinsip umum yang mendasari §§10-14 adalah sebagai berikut: jika bhikkhu yang melanggar dapat direhabilitasi, maka terlepas dari apakah hal itu akan melukainya atau seseorang akan mengalami kerepotan, maka ia harus berusaha untuk memperbaikinya. Tetapi jika ia tidak dapat direhabilitasi, maka seseorang seharusnya hanya mempertahankan keseimbangannya sendiri.

974) “Sang Petapa” (samaṇa) dikemas oleh MA dengan satthā, Sang Guru, yang merujuk pada Sang Buddha. Penggunaan kata yang serupa terdapat pada MN 105/18,21.

975) “Hal itu” (dhamma) yang dimaksudkan, menurut MA, adalah pertengkaran.


SUTTA 104

976) Pembukaan sutta ini sama dengan pembukaan sutta DN 29, yang juga menekankan pada pelestarian kerukunan dalam Sangha setelah Sang Buddha meninggal dunia.

977) MA: “Altar” dan “perlindungan” adalah Nigaṇṭha Nātaputta, yang saat itu telah mati.

978) Samaṇera Cunda adalah adik dari YM. Sāriputta.

979) Bahkan selagi Sang Buddha masih hidup, perselisihan telah terjadi di antara para bhikkhu di Kosambi, merujuk pada MN 48.2.

980) Ini adalah perselisihan tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan atau bantuan menuju pencerahan lainnya.

981) Empat pasang pertama ini termasuk dalam “ketidaksempurnaan yang mengotori pikiran” pada MN 7.3.

982) Adhikaraṇa. Horner menerjemahkan “pertanyaan-pertanyaan sah”. Dibahas secara panjang lebar pada Vin Cv Kh 4/Vin ii.88-93; baca Horner, Book of the Discipline, 5:117-25. Secara singkat, perkara karena perselisihan (vivādādhikaraṇa) muncul ketika para bhikkhu berselisih tentang Dhamma dan Disiplin; perkara karena tuduhan (anuvādādhikaraṇa) ketika para bhikkhu menuduh seorang bhikkhu melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan monastik; perkara karena pelanggaran (āpattādhikaraṇa) ketika seorang bhikkhu yang telah melakukan pelanggaran mencari cara untuk membebaskan diri dari pelanggaran itu; dan perkara sehubungan dengan prosedur (kiccādhikaraṇa) sehubungan dengan mengundang fungsi formal Sangha.

983) Adhikaraṇasamatha. Dibahas secara terperinci dalam Vin Cv Kh 4. Bagaimana ketujuh cara penyelesaian ini diberlakukan bagi pemecahan keempat jenis perkara ini dibahas dalam Vin ii.93-104; baca Horner, Book of the Discipline, 5:125-40.

984) Sammukhāvinaya. Horner menerjemahkan “keputusan yang dihadiri oleh”. Pada Vin ii.93, ini dijelaskan sebagai konfrontasi dengan (atau di hadapan) Sangha, Dhamma, Disiplin, dan individu-individu yang berselisih. Jenis penyelesaian ini berlaku pada seluruh empat jenis perkara ini, dengan perbedaan minor dalam formulasi.

985) Dhammanetti samanumajjitabbā. MA memberikan sebagai contoh dhammanetti adalah sepuluh perbuatan bermanfaat dan tidak bermanfaat, tetapi mengatakan bahwa di sini Dhamma dan Disiplin itu sendiri yang dimaksudkan.

986) Sativinaya. Horner menerjemahkan “keputusan tidak bersalah”. Pada Vin ii.80, dikatakan bahwa ini diberikan ketika seorang bhikkhu adalah bersih dan tanpa pelanggaran dan ia dituduh melakukan pelanggaran; ia harus memohon agar Sangha memberikan kepadanya keputusan demikian dengan cara memohon dengan mengingat perilakunya secara lengkap dan benar.

987) Suatu pelanggaran yang melibatkan kejatuhan, pelanggaran pārājika, mengharuskan pengusiran dari Sangha. Suatu pelanggaran yang berbatasan dengan kejatuhan adalah pelanggaran sanghādisesa, yang memerlukan sidang resmi Sangha dan suatu periode hukuman sementara, atau tahap awal yang mengarah pada pelanggaran pārājika. Saya mengikuti BBS dan SBJ, dengan seorang bhikkhu sebagai yang menuduh, bukan seperti PTS, yang menggunakan bentuk jamak. Demikian pula yang di bawah.

988) Amūḷhavinaya. Suatu keputusan ketidakwarasan masa lalu diberikan jika seorang bhikkhu melakukan pelanggaran selama masa kegilaan. Kriteria yang menentukan ketidakwarasan adalah bahwa ia tidak dapat mengingat perilakunya selama masa yang karenanya keputusan itu dimohon.

989) Prosedur yang dijelaskan adalah metode yang ditetapkan yang mana seorang bhikkhu memperoleh kebebasan atas pelanggarannya ketika ia jatuh ke dalam pelanggaran apa pun yang dapat dimurnikan melalui pengakuan.

990) Pāpiyyāsika. Horner menerjemahkan “keputusan atas keburukan tertentu”, keputusan ini dijatuhkan pada seorang bhikkhu yang merupakan seorang penyebab perselisihan dan pertengkaran dalam Sangha, yang bodoh dan banyak melakukan pelanggaran, atau yang hidup dengan pergaulan yang tidak sepantasnya dengan para perumah tangga.

991) Tiṇavatthāraka. Ini berarti penyelesaian tercapai ketika Sangha telah terlibat dalam perselisihan yang dalam perjalanannya para bhikkhu melakukan banyak pelanggaran minor. Karena untuk memproses pelanggaran-pelanggaran ini dapat memperpanjang konflik, maka pelanggaran-pelanggaran itu dibersihkan dengan cara-cara yang dijelaskan dalam sutta ini. MA menjelaskan bahwa metode ini bagaikan menaburkan rumput di atas kotoran sapi untuk menghilangkan baunya. Demikianlah asal namanya “menutup dengan rumput”.

992) Pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius adalah pelanggaran-pelanggaran dalam kelompok pārājika dan sanghādisesa. Pelanggaran yang berhubungan dengan umat awam adalah kasus-kasus di mana seorang bhikkhu mencela dan merendahkan para perumah tangga.

993) Seperti pada MN 48.6.

994) Pada MN 21.21, ini dikatakan sehubungan dengan perumpamaan gergaji.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #92 on: 27 February 2011, 12:06:47 PM »
SUTTA 105

995) Baca MN 12 dan n.177.

996) Adhimānena. MA: mereka menyatakan ini karena keangkuhan, menganggap mereka telah mencapai apa yang belum mereka capai.

997) MA: Untuk menyatakan tingkat pencapaian mereka.

998) MA: Karena mereka termotivasi oleh keinginan, pikiran Sang Tathāgata untuk mengajarkan Dhamma, yang muncul terhadap para praktisi sejati, menjadi berubah (yaitu, luntur).

999) Lokāmisa. [ ]Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

1000) Āneñja (BBS); ānañja (PTS). Ini adalah istilah teknis untuk pencapaian-pencapaian meditatif dari jhāna ke empat melalui empat pencapaian tanpa materi. Tetapi karena dua pencapaian tanpa materi yang tertinggi dibahas secara terpisah, sepertinya bahwa dalam sutta ini hanya jhāna ke empat dan dua pencapaian tanpa materi yang lebih rendah yang dimaksudkan sebagai “ketenangan”.

1001) Sang Buddha.

1002) Membaca sama seperti BBS, evaṁmāni assa atathaṁ samānaṁ. CPD menyarankan atathaṁ samānaṁ [ ]mungkin berbentuk akusatif absolut. Paragraf ini merujuk kembali kepada persoalan terlalu tinggi menilai diri sendiri yang dengannya khotbah dimulai.

1003) Saya mengikuti PTS di sini, yang tulisannya sepertinya didukung oleh semua versi sebelum BBS. Karena ahli bedah melambangkan Sang Tathāgata, dan teks tidak dapat menganggap bahwa Sang Buddha melakukan kesalahan penilaian, BBS mempertahankan penerapan keras atas perumpamaan ini dan telah “mengoreksi” teks dengan tulisan sa-upādiseso ti jānamāno. Saya mengikuti tulisan ini dalam edisi pertama, tetapi sekarang yakin bahwa itu adalah kesalahan pada BBS dalam mengubah teks yang diterima; penulisan secara paralel keras dalam penerapan perumpamaan adalah tidak seharusnya. Seluruh edisi menuliskan janamāno sebagai kata kerja dalam versi berlawanan dari perumpamaan di bawah. Di mana PTS menuliskan alañ di bawah, kita harus membaca analañ sama seperti BBS dan SBJ, yang juga didukung oleh kemasan dalam MA.

1004) Pelanggaran apa pun dalam dua kelompok, pārājika dan sanghādisesa; baca n.987. Analogi ini sulit diterapkan dengan tepat, karena jika keinginan dan kebodohan telah benar-benar dilenyapkan dalam dirinya dengan hanya sisa-sisa yang tertinggal, maka bhikkhu itu adalah seorang sekha; namun tidak mungkin bahwa seorang sekha dapat meninggalkan latihan atau melakukan pelanggaran yang mengotori. Sepertinya dalam kasus ini, analogi ini harus diterapkan secara longgar, dan bhikkhu itu harus dipahami sebagai seorang yang secara keliru membayangkan bahwa keinginan dan kebodohan telah dilenyapkan dalam dirinya.

1005) Baca MN 66.17. MA: Arahant, terbebaskan dalam Nibbāna, hancurnya keinginan [dengan menggunakannya] sebagai objek, tidak akan pernah mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikirannya untuk melibatkan diri dalam kelima utas kenikmatan indria.

1006) Seperti pada MN 46.19. Saya mengikuti BBS dan SBJ, yang memasukkan rasampannorasampanno, yang tidak terdapat dalam PTS.


SUTTA 106

1007) Baca n.1000. Di sini juga, kata “ketenangan” tampaknya hanya merujuk pada jhāna ke empat dan dua pencapaian tanpa materi yang lebih rendah.

1008) MA mengatakan yang dimaksudkan adalah objek kenikmatan indria objektif dan kekotoran indria.

1009) MA mengemas: “setelah melampaui alam-indria dan setelah bertekad dalam pikiran dengan jhāna sebagai objeknya”.

1010) MA menjelaskan frasa “pikirannya memperoleh keyakinan dalam landasan ini” berarti bahwa ia mencapai pandangan terang yang ditujukan pada pencapaian Kearahatan atau pendahuluan dari jhāna ke empat. Jika ia mencapai pendahuluan dari jhāna ke empat, ini menjadi landasannya untuk mencapai “ketenangan”, yaitu, jhāna ke empat itu sendiri. Tetapi jika ia memperoleh pandangan terang, maka “ia [ ]bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan” dengan memperdalam pandangan terang untuk mencapai Kearahatan. Ungkapan “tekad dengan kebijaksanaan” dapat menjelaskan mengapa ada begitu banyak bagian-bagian berikutnya dari sutta ini, walaupun yang memuncak pada pencapaian bersamaan dengan skala konsentrasi, diungkapkan dalam frasa yang sesuai bagi pengembangan pandangan terang.

1011) MA menjelaskan bahwa paragraf ini menjelaskan proses kelahiran kembali dari seseorang yang tidak mampu mencapai Kearahatan setelah mencapai jhāna ke empat. “Kesadaran yang berkembang” (saṁvattanikaṁ viññāṇaṁ) adalah kesadaran hasil yang dengannya seseorang terlahir kembali, dan ini memiliki sifat ketenangan yang sama dengan kesadaran formatif secara kamma yang dicapai pada jhāna ke empat. Karena itu adalah kesadaran jhāna ke empat yang menentukan kelahiran kembali, orang ini akan terlahir kembali dalam satu alam luhur yang bersesuaian dengan jhāna ke empat.

1012) MA mengatakan bahwa ini adalah perenungan dari seseorang yang telah mencapai jhāna ke empat. Karena ia memasukkan bentuk materi di antara hal-hal yang harus dilampaui, jika ia mencapai ketenangan, maka ia mencapai landasan ruang tanpa batas, dan jika ia tidak mencapai Kearahatan, maka ia terlahir kembali di alam ruang tanpa batas.

1013) MA mengatakan bahwa ini adalah perenungan dari seseorang yang telah mencapai landasan ruang tanpa batas. Jika ia mencapai ketenangan, maka ia mencapai landasan kesadaran tanpa batas dan ia terlahir kembali di alam itu jika ia tidak mencapai Kearahatan.

1014) Ini adalah perenungan dari seseorang yang telah mencapai landasan kesadaran tanpa batas dan bertujuan untuk mencapai landasan kekosongan.

1015) MA menyebutkan ini sebagai kekosongan dua sisiketiadaan “aku” dan “milikku”dan mengatakan bahwa ajaran landasan kekosongan ini dijelaskan lebih melalui pandangan terang daripada konsentrasi, pendekatan ini digunakan pada bagian sebelumnya. Pada MN 43.33, perenungan ini dikatakan mengarah menuju kebebasan pikiran melalui kekosongan.

1016) MA menyebut ini sebagai kekosongan empat sisi dan menjelaskan sebagai berikut: (i) ia tidak melihat dirinya di mana pun; (ii) ia tidak melihat dirinya sendiri yang dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang lain, misalnya, saudara, teman, pelayan, dan sebagainya; (iii) ia tidak melihat diri orang lain; (iv) ia tidak melihat diri orang lain yang dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang dimilikinya. Terdapat catatan dalam Ms oleh Ñm: “Ungkapan-ungkapan ini [dalam paragraf ini dan paragraf berikutnya] sepertinya adalah slogan atau penggambaran stereotip dari pencapaian kekosongan, terutama bagi non-Buddhis, dan kadang-kadang digunakan sebagai landasan bagi pandangan jasmani-yang-ada [=identitas].” Baca catatan 19 pada Vsm XXI,53 oleh Ñm untuk pembahasan lebih lanjut dan referensi lainnya.

1017) MA mengemas: “Jika lingkaran kamma belum terakumulasi olehku, maka sekarang tidak ada bagiku lingkaran akibat; jika lingkaran kanma tidak terakumulasi olehku sekarang, maka di masa depan tidak akan ada lingkaran akibat”. “Apa yang ada, apa yang telah terjadi” adalah kelima kelompok unsur kehidupan. Bagian pertama dari formula ini sekali lagi tampaknya adalah formulasi singkat dari pandangan yang dianut oleh non-Buddhis. Beberapa sutta mengidentifikasikan ini sebagai suatu ungkapan bagi pandangan Nihilis, yang diadaptasi oleh Sang Buddha dengan memberikan makna baru. Untuk kemunculan formula ini di tempat lainnya, baca SN iii.55-56, 99, 183, 206; AN iv.69-72, v.63.

MA mengatakan bahwa ia memperoleh keseimbangan pandangan terang, tetapi dari §11 sepertinya bahwa yang dimaksudkan adalah juga keseimbangan dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

1018) Terdapat permainan kata di sini yang tidak dapat dengan sempurna dipadankan dalam terjemahan. Kata kerja parnibbāyati, diterjemahkan “mencapai Nibbāna”, juga berlaku pada padamnya api. Dengan demikian, pencapaian Nibbāna adalah “padamnya” api nafsu, kebencian, dan kebodohan. Upādāna, “kemelekatan”, juga disebut sebagai bahan bakar yang dibutuhkan oleh api itu. Demikianlah kesadaran berlanjut dalam lingkaran kelahiran kembali selama disokong oleh bahan bakar kemelekatan. Ketika kekotoran-kekotoran padam, maka tidak ada lagi bahan bakar bagi kesadaran yang dapat dibakar, dan dengan demikian bhikkhu yang tanpa kemelekatan “padam” oleh pencapaian Nibbāna. Demikianlah bahan bakar paling halus, yaitu objek kemelekatan yang paling halus (seperti yang diperlihatkan dalam percakapan berikutnya), adalah landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #93 on: 27 February 2011, 12:22:09 PM »
1019) MA: Ini dikatakan dengan merujuk pada kelahiran kembali dari seseorang yang mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Artinya adalah bahwa ia terlahir kembali dalam alam kehidupan yang terbaik, tertinggi.

1020) Nissāya nissāya oghassa nittharaṇā. MA: Sang Buddha telah menjelaskan menyeberangi banjir bagi seorang bhikkhu yang menggunakan segala pencapaian dari jhāna ke tiga hingga pencapaian tanpa materi ke empat sebagai landasan (untuk mencapai Kearahatan).

1021) MA: Pertanyaan Ānanda dimaksudkan untuk mendapatkan penjelasan dari Sang Buddha tentang praktik dari meditator pandangan terang tanpa jhāna (sukkhavipassaka), yang mencapai Kearahatan tanpa bergantung pada pencapaian jhāna.

1022) Esa sakkāyo yāvatā sakkāyo. MA: ini adalah identitas pribadi secara keseluruhanlingkaran tiga alam kehidupan; tidak ada identitas pribadi di luar ini.

1023) MA mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah Kearahatan dari meditator pendangan terang tanpa jhāna. MṬ menambahkan bahwa Kearahatan disebut “Keabadian” karena memiliki rasa Keabadian, karena dicapai dengan berlandaskan Nibbāna Keabadian.


SUTTA 107

1024) MA: Adalah tidak mungkin membangun istana bertingkat tujuh dalam satu hari. Begitu lahan dibersihkan, sejak saat fondasi dibangun hingga pekerjaan mengecat diselesaikan terdapat kemajuan bertahap.

1025) Gaṇaka. Namanya berarti “Moggallāna si juru hitung”.

1026) Baca MN 65.33.

1027) Walaupun langkah-langkah praktik sebelumnya adalah suatu hal yang diperlukan bagi para bhikkhu yang berlatih untuk mencapai Kearahatan, namun hal-hal itu juga bermanfaat bagi para Arahant dalam hal peranannya dalam “kediaman yang nyaman di sini dan saat ini”. MA mengidentifikasi ini sebagai “kediaman” dengan pencapaian buah Kearahatan, dan menjelaskan bahwa beberapa Arahant dapat memasuki buah dengan mudah pada setiap saat sementara yang lainnya harus mengerahkan diri mereka dengan tekun untuk menjalani tahapan praktik untuk memasuki buah.

1028) Maggakkhāyī Tathāgato. Bandingkan dengan Dhp 276: “Engkau sendiri yang harus berusaha; Sang Tathāgata hanya menunjukkan jalan.”

1029) Yang berikut ini sama seperti pada MN 5.32.

1030) Paramajjadhammesu. MA: doktrin dari Gotama adalah yang terbaik, tertinggi, di antara ajaran-ajaran masa ituajaran-ajaran enam guru lainnya.


SUTTA 108

1031) MA mengatakan bahwa setelah relik-relik Sang Buddha dibagikan, Yang Mulia Ānanda datang ke Rājagaha untuk membacakan Dhamma (pada Sidang Sangha pertama).

1032) Raja Pajjota adalah sahabat Raja Bimbisāra dari Magadha, yang telah dibunuh oleh putranya, Ajātasattu. Menurut MA, Ajātasattu berpikir bahwa Raja Pajjota mungkin akan menuntut balas atas pembunuhan sahabatnya.

1033) Baca DN 16.1.2-5/iii.72-76.

1034) Inti dari pernyataan ini adalah bahwa Sangha tidak diatur oleh penilaian pribadi anggota-anggotanya, melainkan oleh Dhamma dan aturan Disiplin yang ditetapkan oleh Sang Buddha. Dalam hal ini, para bhikkhu mengikuti instruksi terakhir Sang Buddha: “Apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan Disiplin akan menjadi guru kalian setelah Aku meninggal dunia.” [ ](DN. 16.6.1/ii.154).

1035) Baca n.525.


SUTTA 109

1036) Hari ke lima belas dari setengah bulan. Baca n.59 dan n.809.

1037) MA menjelaskan bahwa bhikkhu ini adalah seorang Arahant dan guru dari enam puluh bhikkhu lainnya yang menetap bersamanya di dalam hutan, berjuang dalam meditasi. Dengan tuntunan sang guru, mereka telah mengembangkan berbagai pengetahuan pandangan terang, namun tidak dapat mencapai sang jalan dan buah. Oleh karena itu, guru mereka membawa mereka pergi menghadap Sang Buddha dengan harapan bahwa Beliau dapat menuntun mereka menuju pencapaian lokuttara. Sang guru mengajukan pertanyaan, bukan karena ia memiliki keragu-raguan, melainkan untuk menyingkirkan keragu-raguan murid-muridnya.

1038) Chandamūlakā. MA mengemas chanda menjadi taṇhā, keinginan, yang merupakan asal-mula penderitaan yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan.

1039) Seperti pada MN 44.6.

1040) Dalam kelompok unsur bentuk materi, masing-masing dari empat unsur utama adalah kondisi bagi ketiga lainnya dan bagi bentuk materi yang diturunkan. Kontak adalah kondisi bagi masing-masing dari ketiga kelompok unsur yang pertengahan, seperti dikatakan: “Dengan kontak seseorang merasakan; dengan kontak seseorang memersepsikan; dengan kontak seseorang berkehendak” (SN 35:93/iv.68). MA menjelaskan bahwa pada saat kehamilan, fenomena materi dan ketiga kelompok unsur batin lainnya yang muncul adalah batin-jasmani yang menjadi kondisi bagi kesadaran kelahiran kembali. Selama perjalanan kehidupan, organ-organ indria fisik dan objek-objek indria bersama-sama dengan ketiga kelompok unsur batin lainnya adalah batin-jasmani yang menjadi kondisi bagi kesadaran indria.

1041) Seperti pada MN 44.7-8.

1042) Tampaknya bahwa bhikkhu ini memiliki kesulitan dalam memahami bagaimana kamma dapat menghasilkan akibat tanpa diri yang menerimanya.

1043) Tulisan dalam kalimat ini saling berbeda dalam edisi-edisi yang berbeda. Sutta yang sama muncul pada SN 22:82/iii.104, dan tulisan di sana (paṭipucchā vinītā) tampaknya lebih sesuai pada tulisan di sini (dalam PTS, paṭicca vinītā; dalam BBS, paṭivinītā). Terjemahan di sini mengikuti teks Saṁyutta. Terjemahan Ñm, yang berdasarkan pada teks Majjhima dari PTS, menuliskan: “Sekarang, Para bhikkhu, kalian telah dilatih oleh-Ku dalam hal ketergantungan [kondisionalitas] dalam berbagai kesempatan.” Tidak ada versi yang merupakan idiom Pali, dan komentar pada kedua Nikāya tidak menjelaskan apa pun.

1044) MA: keenam puluh bhikkhu meninggalkan subjek meditasi awal mereka dan menyelidiki subjek baru (berdasarkan pada khotbah Sang Buddha, MṬ). Tanpa mengubah postur mereka, masih di tempat duduk masing-masing mereka mencapai Kearahatan.


SUTTA 110

1045) Asappurisa. MA mengemasnya dengan pāpapurisa, seorang jahat.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #94 on: 27 February 2011, 01:44:50 PM »
SUTTA 111

1046) Anupadadhammavipassanā. MA menjelaskan bahwa ia mengembangkan pandangan terang ke dalam kondisi-kondisi secara berurutan melalui pencapaian-pencapaian meditatif dan faktor-faktor jhāna, seperti akan dijelaskan. Masa dua minggu merujuk pada hari penahbisan YM. Sāriputta di bawah Sang Buddha hingga pada pencapaian Kearahatan ketika mendengarkan penjelasan Sang Buddha tentang pemahaman perasaan kepada Dīghanaka (baca MN 74.14).

1047) Kelima kondisi pertama adalah urutan faktor-faktor jhāna dari jhāna pertama; kondisi-kondisi berikutnya adalah komponen tambahan yang masing-masing melakukan fungsinya masing-masing di dalam jhāna. Analisis kondisi-kondisi batin secara terperinci ke dalam komponen-komponennya mengantisipasi metodologi Abhidhamma, dan oleh karena itu, bukan kebetulan bahwa nama Sāriputta berhubungan erat dengan munculnya literatur Abhidhamma.

1048) Semua kata ini menyiratkan ditekannya kekotoran secara sementara oleh kekuatan jhāna, bukan kebebasan sepenuhnya dari kekotoran melalui pelenyapan oleh jalan tertinggi, yang belum dicapai oleh YM. Sāriputta.

1049) “Jalan membebaskan diri melampaui ini” (uttariṁ nissaraṇaṁ) di sini adalah pencapaian yang lebih tinggi berikutnya, jhāna ke dua.

1050) Membaca sama seperti edisi BBS passaddhattā cetaso anābhogo. MA menjelaskan bahwa ketertarikan pikiran pada kenikmatan, yang ada dalam jhāna ke tiga, sekarang dianggap kasar, dan ketika lenyap, di sana ada “ketidaktertarikan pikiran karena ketenangan”. Edisi PTS menuliskan passi vedanā, tidak dapat dimengerti dan jelas suatu kesalahan.

1051) Metode introspeksi tidak langsung ini digunakan untuk merenungkan pencapaian tanpa materi ke empat karena pencapaian ini, karena sangat halus, tidak termasuk dalam wilayah penyelidikan langsung bagi para siswa. Hanya para Buddha yang tercerahkan sempurna yang mampu merenungkannya secara langsung.

1052) MA memberikan penjelasan atas paragraf ini, yang disampaikan oleh “para sesepuh dari India”: “Bhikkhu Sāriputta melatih ketenangan dan pandangan terang secara berpasangan dan mencapai buah yang-tidak-kembali. Kemudian ia memasuki pencapaian lenyapnya, dan setelah keluar dari sana, ia mencapai Kearahatan.”

1053) Karena tidak ada faktor-faktor batin dalam pencapaian lenyapnya, MA mengatakan “kondisi-kondisi ini” di sini pasti merujuk pada kondisi-kondisi bentuk materi yang terjadi selama ia mencapai lenyapnya, atau merujuk pada faktor-faktor batin dari pencapaian tanpa materi ke empat yang dicapai sebelumnya.

1054) Perhatikan pencapaian bahwa “tidak ada jalan membebaskan diri melampaui” pencapaian Kearahatan.

1055) Vasippatto pāramipatto. Baca n.763.


SUTTA 112

1056) Baca n.17.

1057) Seperti pada MN 111.4, tetapi di sini kata-kata ini dimaksudkan untuk mengungkapkan lenyapnya kekotoran sepenuhnya melalui jalan Kearahatan.

1058) MA: Semua kata-kata ini menyiratkan keinginan dan pandangan-pandangan.

1059) MA: frasa pertama menegaskan pertimbangan unsur tanah sebagai diri, yang ke dua menegaskan pertimbangan faktor-faktor jasmani dan batin selain unsur tanah sebagai diri. Metode yang sama berlaku untuk unsur-unsur lainnya.

1060) Teks tampaknya berlebihan dalam menyebutkan bentuk-bentuk (rūpa) dan hal-hal yang dikenali (oleh pikiran) melalui kesadaran-mata (cakkhuviññāṇa-viññātabbā dhammā). MA menyebutkan dua pendapat yang diusulkan untuk memecahkan persoalan ini: yang pertama menganggap bahwa “bentuk-bentuk” merujuk pada benda-benda terlihat yang memasuki jangkauan pengenalan, [ ]“hal-hal yang dikenali ...” hingga benda-benda terlihat yang lenyap tanpa dikenali. Pendapat ke dua menganggap bahwa kata pertama menyiratkan semua bentuk tanpa perbedaan, kata berikutnya menyiratkan ketiga kelompok unsur batin yang berfungsi bersama-sama dengan kesadaran-mata.

1061) MA menjelaskan “pembentukan-aku” (ahankāra) sebagai keangkuhan dan “pembentukan-milikku” (mamankāra) sebagai keinginan. “Semua gambaran eksternal” (nimitta) adalah objek-objek eksternal.

1062) MA: Mengingat kehidupan lampau dan pengetahuan kematian dan kemunculan kembali makhluk-makhluk (yang biasanya ada dalam jenis pembabaran seperti ini) di sini tidak termasuk karena pertanyaan pada §11 hanya berhubungan dengan pencapaian Kearahatan, bukan pencapaian lokiya.

1063) MA mengatakan bahwa sutta ini juga disebut Ekavissajjita Sutta (Khotbah Jawaban Tunggal). MA kesulitan menjelaskan mengenai “enam” yang disebutkan dalam judul aslinya, karena hanya lima pertanyaan dan jawaban yang terdapat dalam khotbah ini. MA mengusulkan untuk membagi pertanyaan terakhir menjadi duajasmani diri sendiri dengan kesadarannya dan tubuh kesadaran orang laindan juga menyebutkan pendapat lain bahwa empat makanan seharusnya ditanyakan sebagai pertanyaan ke enam. Akan tetapi, tidak satu pun dari usul-usul ini yang meyakinkan, dan tampaknya bahwa bagian teks itu telah hilang.


SUTTA 113

1064) Sappurisadhamma; asappurisadhamma.

1065) Ini adalah sembilan dari tiga belas praktik pertapaan yang dibahas dalam Vsm II. Yang “duduk terus-menerus” (nesajjika) melaksanakan praktik tidak pernah berbaring, melainkan tidur dalam postur duduk[,].

1066) MA menjelaskan “ketiadaan-identifikasi” (atammayatā, lit. “bukan terdiri dari itu”) sebagai ketiadaan keinginan. Akan tetapi, konteksnya menyiratkan bahwa maknanya adalah ketiadaan keangkuhan. Pernyataan “karena dalam cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu” (yena yena hi maññanti tato taṁ hoti aññathā) adalah suatu teka-teki filosofis yang juga muncul pada Sn 588, Sn 757, dan Ud 3:10. Walaupun MA tidak menjelaskan apa pun, Komentar Udāna (atas Ud 3:10) menjelaskan ini sebagai bermakna bahwa dalam cara bagaimanapun juga kaum duniawi menganggap kelima kelompok unsur kehidupansebagai diri atau sebagai milik diri, dan seterusnyahal yang dianggap tersebut terbukti adalah bukan aspek dari hal tersebut; bukan diri atau milik diri, bukan “aku” atau “milikku”.

1067) Harus dipahami bahwa tidak ada paragraf tentang seorang bukan manusia sejati memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak seperti jhāna-jhāna dan pencapaian tanpa materi, yang dapat dicapai oleh kaum duniawi, pencapaian lenyapnya adalah bidang eksklusif yang hanya dicapai oleh para yang-tidak-kembali dan para Arahant.

1068) Na kiñci maññati, na kuhiñci maññati, na kenaci maññati. Ini adalah pernyataan singkat atas situasi yang sama dengan yang dijelaskan secara lengkap pada MN 1.51.146. Mengenai “penganggapan” baca n.6.


SUTTA 114

1069) Paragraf pertama ini sekadar memberikan “daftar isi” yang akan dijelaskan dalam batang tubuh sutta ini.

1070) Aññamaññaṁ. MA: kedua ini bersifat saling eksklusif, dan tidak ada cara untuk menganggapnya sebagai yang lain.

1071) Walaupun pandangan salah dan pandangan benar biasanya termasuk dalam perilaku pikiran, dalam sutta ini diperlihatkan secara terpisah dalam §10 “perolehan pandangan”.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #95 on: 27 February 2011, 02:03:07 PM »
1072) Sementara ketamakan dan niat buruk pada §7 memiliki kekuatan dari keseluruhan perbuatan (kammapatha), dalam bagian ini tentang kecenderungan pikiran (cittuppāda) diperlihatkan dalam tahap awal sebagai sekadar watak yang masih belum berkembang menjadi kehendak yang berkuasa.

1073) “Perolehan kepribadian” (attabhāvapaṭilābha) di sini merujuk pada cara kelahiran kembali.

1074) Apariniṭṭhitabhāvāya. Ungkapan ini mungkin khas pada sutta ini. MA mengemasnya menjadi bhavānaṁ apariniṭṭhitabhāvāya dan menjelaskan: ada empat cara keberadaan individu “yang tunduk pada penderitaan” (sabyābajjhattabhāvā). Yang pertama adalah kaum duniawi yang tidak mampu mencapai kesempurnaan kehidupan dalam kehidupan itu; baginya, sejak saat terlahir kembali, kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat bertambah dan kondisi-kondisi yang bermanfaat berkurang, dan ia menghasilkan suatu kepribadian yang disertai oleh penderitaan. Demikian pula pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, dan yang-tidak-kembali. Bahkan para yang-tidak-kembali masih belum meninggalkan keinginan akan penjelmaan, dan dengan demikian masih belum mencapai kesempurnaan. Individu-individu [yang disebutkan di bawah dalam teks ini] yang memperoleh kehidupan pribadi “yang bebas dari penderitaan” (abyābajjhattabhāvā) adalah empat yang sama ketika mereka memasuki kehidupan terakhir di mana mereka mencapai Kearahatan. Bahkan kaum duniawi dalam kehidupan terakhirnya mampu menyempurnakan kehidupannya, seperti halnya pembunuh berantai Angulimāla. Kehidupan mereka dikatakan bebas dari penderitaan, dan mereka dikatakan mencapai kesempurnaan.

1075) MA menunjukkan bahwa klausa “Bentuk-bentuk adalah salah satu atau yang lainnya” tidak digunakan di sini karena perbedaannya bukan terletak dalam objeknya melainkan dalam pendekatannya pada objek itu. Bagi seseorang, nafsu dan kekotoran muncul terhadap suatu bentuk tertentu, tetapi orang lain mengembangkan kebosanan dan ketidakterikatan sehubungan dengan bentuk yang sama.

1076) MA mengatakan bahwa mereka yang mempelajari teks dan komentar atas sutta ini tanpa berlatih sesuai sutta ini tidak dapat dikatakan “memahami makna terperinci”. Hanya mereka yang melatihnya yang dapat dikatakan demikian.


SUTTA 115

1077) Delapan belas unsur ini didefinisikan dalam Vbh §§183-84/87-90 dan dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XV, 17-43. Secara ringkas, unsur pikiran (manodhātu), menurut Abhidhamma, termasuk kesadaran yang beralih pada kelima objek indria yang mengalami kontak dengan kelima organ indria (pañcadvārāvajjana-citta) dan kesadaran yang menerima objek setelah dikenali melalui indria-indria (sampaṭicchana-citta). Unsur kesadaran-pikiran (manoviññāṇadhātu) termasuk semua jenis kesadaran kecuali kesadaran lima indria dan unsur pikiran. Unsur objek-pikiran (dhammadhātu) termasuk jenis-jenis fenomena materi yang halus yang tidak terlibat dalam pengenalan indria, yaitu ketiga kelompok unsur batin perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan, dan Nibbāna. Tidak termasuk konsep-konsep, gagasan-gagasan abstrak, penilaian-penilaian, dan sebagainya. Walaupun yang terakhir ini termasuk dalam gagasan objek-pikiran (dhammārammaṇa), unsur objek-pikiran hanya termasuk hal-hal yang ada karena sifat alaminya, bukan hal-hal yang dibentuk oleh pikiran.

1078) Ini didefinisikan dalam Vbh §§180/85-86. Unsur kenikmatan dan kesakitan adalah perasaan menyenangkan dan menyakitkan dalam jasmani; unsur kegembiraan dan kesedihan adalah perasaan menyenangkan dan menyakitkan dalam batin; unsur keseimbangan adalah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. MA mengatakan bahwa kebodohan disebutkan karena jelas serupa dengan unsur keseimbangan.

1079) Vbh §§183/86-87 mendefinisikan ini sebagai enam yang bersesuaian dengan jenis-jenis awal pikiran (vitakka); baca MN 19.2.

1080) MA menjelaskan unsur bidang-indria sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam-indria (kāmāvacara), unsur materi-halus sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam-materi halus (rūpāvacara), dan unsur tanpa materi sebagai empat kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam tanpa materi (arūpāvacara).

1081) MA: unsur terkondisi termasuk segala sesuatu yang dihasilkan oleh kondisi dan merupakan sebutan bagi kelima kelompok unsur kehidupan. Unsur tidak terkondisi adalah Nibbāna.

1082) Kedua belas landasan didefinisikan dalam Vbh §§155-167/70-73 dan dijelaskan dalam Vsm XV, 1-6. Landasan pikiran termasuk semua jenis kesadaran, dan dengan demikian terdiri dari seluruh tujuh unsur yang memfungsikan kesadaran. Landasan objek-pikiran adalah identik dengan unsur objek-pikiran.

1083) Mengenai kata-kata dalam formula sebab-akibat yang saling bergantungan ini, baca pendahuluan pp.30-31.

1084) MA: Seseorang yang memiliki pandangan benar (diṭṭhisampanno) adalah seorang yang memiliki pandangan sang jalan, seorang siswa mulia dengan tingkat minimal pemasuk-arus. “Bentukan” di sini harus dipahami sebagai bentukan terkondisi (sankhata-sankhāra) yaitu, segala sesuatu yang terkondisi.

1085) MA menunjukkan bahwa seorang siswa mulia di bawah tingkat Kearahatan masih dapat memahami bentukan-bentukan sebagai menyenangkan dengan pikiran yang terlepas dari pandangan salah, tetapi ia tidak dapat mengadopsi pandangan bahwa segala bentukan adalah menyenangkan. Walaupun persepsi dan pikiran atas bentukan-bentukan sebagai menyenangkan muncul dalam dirinya, ia mengetahui melalui perenungan bahwa gagasan demikian adalah keliru.

1086) Dalam paragraf tentang diri, sankhāra, “bentukan”, digantikan oleh dhamma, “sesuatu”. MA menjelaskan bahwa penggantian ini dilakukan untuk memasukkan konsep-konsep, seperti gambaran kasiṇa, dan sebagainya, yang oleh orang biasa cenderung diidentifikasikan sebagai diri. Akan tetapi, dengan memandang fakta bahwa Nibbāna digambarkan sebagai tidak dapat hancur (accuta) dan sebagai kebahagiaan (sukha), dan juga dapat disalahpahami sebagai diri (baca MN 1.26), kata sankhāra dapat dianggap hanya termasuk yang terkondisi, sedangkan dhamma termasuk baik yang terkondisi maupun yang tidak terkondisi. Akan tetapi, interpretasi ini tidak disetujui oleh komentar-komentar dari Ācariya Buddhaghosa.

1087) Bagian ini membedakan orang biasa dan siswa mulia dalam hal lima kejahatan berat. MA menunjukkan bahwa seorang siswa mulia tidak mampu secara sengaja membunuh makhluk hidup, tetapi perbedaan yang diberikan di sini melalui pembunuhan ibu dan pembunuhan ayah menekankan pada sisi bahaya dari kondisi orang biasa dan kekuatan seorang siswa mulia.

1088) Yaitu, dapat mengakui seorang lain selain Sang Buddha sebagai guru spiritual tertinggi.

1089) MA: kemunculan seorang Buddha lain adalah tidak mungkin terjadi sejak pada saat seorang Bodhisatta memasuki rahim ibu-Nya dalam kehidupan terakhir-Nya hingga Pengajaran-Nya lenyap sama sekali. Persoalan ini dibahas dalam Miln 236-39.

1090) Pernyataan ini hanya menegaskan bahwa seorang Buddha yang Tercerahkan Sempurna adalah selalu berjenis kelamin laki-laki, tetapi tidak menyangkal bahwa seorang yang sekarang adalah perempuan dapat menjadi seorang Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan. Akan tetapi, untuk menjadi demikian, pada tahap awalnya, ia harus terlahir kembali sebagai seorang laki-laki.

1091) Dalam paragraf ini, frasa karena hal itu, karena alasan itu” (tannidāna tappaccayā) adalah sangat penting. Seperti yang akan diperlihatkan oleh Sang Buddha dalam MN 136, seorang yang menekuni perbuatan jahat mungkin terlahir kembali di alam surga dan seorang yang menekuni perbuatan baik mungkin terlahir kembali di alam rendah. Tetapi dalam kasus-kasus itu, kelahiran kembali itu disebabkan oleh beberapa kamma yang berbeda dengan kamma dari kebiasaan yang ia tekuni. Hukum yang ketat hanya berlaku pada hubungan antara kamma dan akibatnya.

1092) “Empat putaran” adalah unsur-unsur, landasan-landasan, sebab-akibat yang saling bergantungan, dan yang mungkin dan yang tidak mungkin.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #96 on: 27 February 2011, 02:18:30 PM »
SUTTA 116

1093) Di Srilanka, sutta ini secara teratur dibacakan sebagai khotbah perlindungan dan termasuk dalam kompilasi era pertengahan, Mahā Pirit Pota, “Buku besar Perlindungan”.

1094) Ini dan yang berikutnya adalah gunung-gunung yang mengelilingi Rājagaha.

1095) Seorang paccekabuddha adalah seorang yang mencapai pencerahan dan kebebasan oleh dirinya sendiri, tanpa bersandar pada Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, tetapi tidak mampu mengajarkan Dhamma kepada orang lain dan menegakkan Pengajaran. Para paccekabuddha hanya muncul pada masa ketika tidak ada Pengajaran dari seorang Buddha di dunia ini. Untuk pembahasan yang lebih lengkap tentang topik ini, baca Ria Kloppenborg, Tha Paccekabuddha: A Buddhist Ascetic.

1096) Ayaṁ pabbato ime isī gilati: terdapat suatu permainan kata di sini. Gili dalam Isigili tentu saja adalah variasi dialek dari giri, gunung, tetapi teks menghubungkannya dengan kata kerja gilati, menelan, dan dengan gala, tenggorokan, kerongkongan.

1097) Tagarasikhin dirujuk pada Ud 5:4/50 dan SN 3:20/.i.92.

1098) Ñm berkomentar dalam Ms bahwa tanpa bantuan komentar adalah sangat sulit untuk membedakan nama-nama yang benar dari para paccekabuddha dari gelar-gelar yang menggambarkan mereka.


SUTTA 117

1099) Ariyaṁ sammā samādhiṁ sa-upanisaṁ saparikkhāraṁ. MA menjelaskan “mulia” di sini sebagai lokuttara, dan mengatakan bahwa ini adalah konsentrasi yang berhubungan dengan jalan lokuttara. “pendukung dan perlengkapannya”, seperti akan dijelaskan, adalah ketujuh faktor jalan lainnya.

1100) Pubbangamā, lit. “pelopor”. MA mengatakan bahwa kedua jenis pandangan benar adalah pelopor: pandangan benar dari pandangan terang, yang menyelidiki bentukan-bentukan sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri; dan pandangan benar dari sang jalan, yang muncul sebagai akibat dari pandangan terang dan berdampak pada hancurnya kekotoran secara radikal. Pandangan benar dari pandangan terang sebagai pelopor dijelaskan dalam §§4,10,16,22 dan 28; pandangan benar dari sang jalan sebagai pelopor dijelaskan dalam §§34 dan 35.

1101) Pernyataan ini menyarankan bahwa untuk memperoleh pandangan benar tentang sifat dari kenyataan, maka seseorang pertama-tama harus mampu membedakan antara ajaran salah dan pandangan benar tentang sifat kenyataan. MA mengatakan bahwa ini adalah pandangan benar dari pandangan terang yang memahami pandangan salah sebagai objek dengan menembus karakteristik ketidakkekalan, dan seterusnya dan yang memahami pandangan benar dengan mengerahkan fungsi pemahaman dan dengan membersihkan kebingungan.

1102) Ini adalah pandangan benar lokiya, faktor baik yang berperan pada kelahiran kembali yang bahagia tetapi tidak dapat melampaui kehidupan yang terkondisi. Ungkapan upadhi-vepakka dikemas oleh MA berarti bahwa pandangan benar ini memberikan hasil yang terdapat dalam perolehan [MṬ = kelangsungan kelima kelompok unsur kehidupan].

1103) Definisi ini mengartikan pandangan benar lokuttara sebagai kebijaksanaan (paññā) yang terdapat di antara bantuan-bantuan menuju pencerahan sebagai satu indria, kekuatan, faktor pencerahan, dan faktor sang jalan. Definisi yang diformulasikan lebih melalui fungsi kognisi daripada isi objektif dari pandangan benar. Di tempat lain (MN 141.24), pandangan benar sang jalan didefinisikan sebagai pengetahuan Empat Kebenaran Mulia. Kita dapat memahami bahwa pemahaman konseptual dari empat kebenaran mulia termasuk dalam pandangan benar lokiya, sedangkan penembusan langsung pada kebenaran-kebenaran dengan mencapai Nibbāna melalui sang jalan adalah pandangan benar lokuttara.

1104) MA: Faktor-faktor itu menyertai pandangan benar sebagai pendamping dan “pembuka-jalan”. Usaha benar dan perhatian benar adalah pendamping dengan pandangan benar lokuttara; pandangan benar dari pandangan terang adalah “pembuka-jalan” dari pandangan benar lokuttara.

1105) MA menjelaskan ini sebagai pandangan benar dari pandangan terang yang memahami kehendak benar melalui fungsinya dan dengan membersihkan kebingungan. Walaupun tampaknya perbedaan yang lebih mendasar dari kedua jenis kehendak inilah yang menjadi topiknya.

1106) Ini adalah definisi standar dari kehendak benar sebagai salah satu faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan; baca MN 141.25.

1107) Dalam definisi ini, faktor kehendak (sankappa) diidentifikasikan dengan awal pikiran (vitakka), yang lebih jauh lagi ditetapkan sebagai faktor yang bertanggung jawab pada pencerapan dengan memusatkan dan mengarahkan pikiran pada objek. Untuk penjelasan awal pikiran sebagai “bentukan ucapan”, baca 44.15.

1108) MA: Pernyataan ini secara khusus merujuk pada faktor pendamping yang menyertai kehendak benar lokuttara. Pada tahap awal praktik, ketiga kehendak benar lokiya muncul secara terpisah, tetapi pada saat jalan lokuttara, satu kehendak benar tunggal muncul memotong ketiga kehendak salah. Demikianlah kehendak benar lokuttara juga dapat dijelaskan sebagai kehendak meninggalkan keduniawian, tanpa niat buruk, dan tanpa kekejaman. Metode yang sama berlaku pada ucapan benar, dan seterusnya.

1109) Sementara ucapan benar lokiya dilakukan dalam empat cara berbeda menurut jenis ucapan salah yang dihindari, pada saat jalan lokuttara, faktor tunggal ucapan benar mengerahkan empat fungsi memotong kecenderungan terhadap empat jenis ucapan salah. Prinsip serupa berlaku pada perbuatan benar.

1110) Ini adalah cara-cara salah bagi para bhikkhu untuk memperoleh benda-benda kebutuhannya; ini dijelaskan pada Vsm I, 61-65. MA mengatakan bahwa yang disebutkan dalam sutta bukanlah keseluruhan jenis penghidupan salah, yang termasuk cara mencari penghidupan yang melibatkan pelanggaran aturan. Dalam AN 5:177/iii.208, Sang Buddha menyebutkan lima jenis penghidupan salah bagi umat awam: yang berhubungan dengan senjata, makhluk-makhluk hidup, daging, minuman keras, dan racun.

1111) MA menjelaskan bahwa bagi seseorang yang memiliki pendangan benar sang jalan, maka muncul kehendak benar sang jalan; demikian pula, bagi seseorang yang memiliki pandangan benar buah, maka muncul kehendak benar buah. Demikian pula, faktor-faktor berikutnya kecuali dua terakhir juga merujuk pada jalan lokuttara.

1112) Kedua faktor tambahan yang dimiliki oleh Arahant adalah pengetahuan benar, yang diidentifikasikan dengan pengetahuan peninjauannya bahwa ia telah menghancurkan segala kekotoran, dan pembebasan benar, yang dapat diidentifikasikan dengan pengalamannya atas kebebasan dari segala kekotoran.

1113) Dua puluh faktor pada sisi bermanfaat adalah sepuluh faktor benar dan kondisi-kondisi bermanfaat yang berasal-mula dari masing-masing faktor; Dua puluh faktor pada sisi tidak bermanfaat adalah sepuluh faktor salah dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dari masing-masing faktor. Demikianlah asal nama “Empat Puluh Besar”.

1114) MA hanya mengatakan bahwa kedua orang ini menetap di Negeri Okkala. Identitas lainya tidak diketahui.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #97 on: 27 February 2011, 02:54:23 PM »
SUTTA 118

1115) Pavāraṇā adalah upacara yang menutup masa vassa, yang mana masing-masing bhikkhu mengundang semua bhikkhu lainnya untuk menegurnya atas pelanggaran-pelanggarannya.

1116) Komudi adalah hari purnama di bulan Kattika, bulan ke empat musim hujan; disebut dengan nama ini karena bunga Lily (kumuda) dikatakan mekar pada masa itu.

1117) Catatan penjelasan untuk tetrad pertama terdapat pada nn.140-142. MN 10.4 berbeda dengan paragraf ini hanya dengan penambahan perumpamaan. Karena Ācariya Buddhaghosa telah memberikan komentar atas empat tetrad tentang perhatian pada pernapasan ini dalam Visuddhimagga, [ ]dalam MA, ia hanya sekadar merujuk para pembaca kepada Visuddhimagga untuk penjelasan itu. Catatan-catatan 1118-21 ditarik dari Vsm VIII, 226-37, juga dimasukkan oleh Ñm dalam Mindfulness of Breathing.

1118) Seseorang mengalami kegembiraan dalam dua cara: dengan mencapai salah satu dari dua jhāna yang lebih rendah yang mana terdapat kegembiraan, ia mengalami kegembiraan dalam modus ketenangan; dengan keluar dari jhāna itu dan merenungkan bahwa kegembiraan itu tunduk pada kehancuran, ia mengalami kegembiraan dalam modus pandangan terang.

1119) Metode penjelasan yang sama seperti dalam n.1118 berlaku pada klausa ke dua dan ke tiga, kecuali bahwa pada yang ke dua terdiri dari ketiga jhāna yang lebih rendah, dan yang ke tiga terdiri dari seluruh empat jhāna. Bentukan batin adalah persepsi dan perasaan (baca MN 44.14), yang ditenangkan melalui pengembangan tingkat-tingkat ketenangan dan pandangan terang yang lebih tinggi secara berturut-turut.

1120) “Mengalami pikiran” harus dipahami melalui empat jhāna. “Menggembirakan pikiran” dijelaskan sebagai pencapaian dua jhāna yang terdapat kegembiraan atau sebagai penembusan jhāna-jhāna itu dengan pandangan terang sebagai tunduk pada kehancuran, dan seterusnya. “Mengonsentrasikan pikiran” merujuk pada konsentrasi yang berhubungan dengan jhāna atau pada konsentrasi saat-ke-saat yang muncul bersama dengan pandangan terang. “Membebaskan pikiran” berarti membebaskannya dari rintangan-rintangan dan faktor-faktor jhāna yang lebih kasar melalui tingkat-tingkat konsentrasi yang lebih tinggi secara berturut-turut, dan dari distorsi kognitif melalui pengetahuan pandangan terang.

1121) Tetrad ini seluruhnya membicarakan tentang pandangan terang, tidak seperti tiga sebelumnya, yang membicarakan baik tentang ketenangan maupun pandangan terang. “Merenungkan peluruhan” dan “merenungkan lenyapnya” dapat dipahami baik sebagai pandangan terang ke dalam ketidakkekalan bentukan-bentukan maupun sebagai jalan lokuttara yang mencapai Nibbāna, yang disebut meluruhnya nafsu (yaitu, kebosanan, virāga) dan lenyapnya penderitaan. “Merenungkan lepasnya” adalah melepaskan kekotoran melalui pandangan terang dan memasuki Nibbāna melalui pencapaian sang jalan.

1122) MA: Napas masuk-dan-keluar termasuk dalam unsur udara di antara empat unsur yang membentuk jasmani. Juga termasuk dalam landasan sentuhan di antara fenomena jasmani (karena objek perhatian adalah sensasi sentuhan napas masuk dan keluar dari lubang hidung).

1123) MA menjelaskan bahwa pengamatan saksama (sādhuka manasikāra) bukanlah perasaan, tetapi dikatakan demikian hanya sebagai kiasan. Dalam tetrad ke dua, perasaan yang sebenarnya adalah kenikmatan yang disebutkan pada klausa ke dua dan juga perasaan yang terdapat dalam ungkapan “bentukan batin” dalam klausa ke tiga dan ke empat.

1124) MA: Walaupun bhikkhu yang bermeditasi mengambil gambaran napas masuk-dan-keluar sebagai objeknya, ia dikatakan sebagai “merenungkan pikiran sebagai pikiran” karena ia mempertahankan pikirannya pada objek dengan membangkitkan perhatian dan kewaspadaan penuh, dua faktor pikiran.

1125) MA: Ketamakan dan kesedihan menyiratkan kedua rintangan pertama, keinginan indria dan niat buruk, dan dengan demikian mewakili perenungan objek-objek pikiran, yang dimulai dengan lima rintangan. Bhikkhu itu melihat ditinggalkannya rintangan-rintangan yang dipengaruhi oleh perenungan ketidakkekalan, peluruhan, lenyapnya, dan lepasnya, dan demikianlah kemudian mengamati objek dengan keseimbangan.

1126) MA mengatakan bahwa paragraf di atas menunjukkan faktor-faktor pencerahan yang muncul bersamaan dalam tiap-tiap saat-pikiran dalam praktik meditasi pandangan terang.

1127) Baca n.48.

1128) MA: Perhatian yang memahami napas adalah lokiya; perhatian pada pernapasan lokiya menyempurnakan landasan perhatian lokiya; landasan perhatian lokiya menyempurnakan faktor-faktor pencerahan lokuttara; dan faktor-faktor pencerahan lokuttara menyempurnakan (atau memenuhi) pengetahuan sejati dan kebebasan, yaitu, buah dan Nibbāna.


SUTTA 119

1129) §§4-17 dari sutta ini identik dengan MN 10.4-30, kecuali bahwa di sini pengulangan pada pandangan terang digantikan dengan pengulangan yang dimulai dengan “Ketika ia berdiam demikian dengan rajin”. Perubahan ini menunjukkan pergeseran dalam penekanan dari pandangan terang dalam MN 10 menjadi konsentrasi dalam sutta yang sekarang ini. Pergeseran ini muncul kembali dalam paragraf §§37-41, yang keduanya membedakan sutta ini dengan MN 10.

1130) Perumpamaan untuk jhāna-jhāna ini juga terdapat pada MN 39.15-18 dan MN 77.25-28.

1131) Vijjābhāgiya dhammā. MA menjelaskan kondisi-kondisi ini sebagai delapan jenis pengetahuan yang dibabarkan pada MN 77.29-36.


SUTTA 120

1132) Walaupun saya telah mencoba untuk menerjemahkan sankhārā secara konsisten sebagai “bentukan-bentukan”, di sini tampaknya bahwa isinya memerlukan terjemahan berbeda untuk membawakan makna yang dimaksudkan. Ñm menggunakan “tekad”, pilihannya yang konsisten untuk sankhārā. MA awalnya menjelaskan sankhārupapatti sebagai bermakna kemunculan kembali (yaitu, kelahiran kembali) dari hanya bentukan-bentukan, [ ]bukan makhluk atau orang, atau sebagai bermakna kemunculan kembali kelompok-kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan baru di sepanjang bentukan-kamma baik. Akan tetapi, dalam paragraf berikutnya, MA mengemas sankhārā menjadi patthanā, kata yang tidak diragukan bermakna aspirasi.

1133) MA: “Cara” adalah lima kualitas yang dimulai dari keyakinan, bersama dengan aspirasi. Seseorang yang memiliki kelima kualitas ini tanpa aspirasi, atau aspirasi tanpa kualitas-kualitas, tidak memiliki alam tujuan kelahiran yang pasti. Alam tujuan kelahiran hanya dapat dipastikan ketika kedua faktor ini hadir.

1134) MA menjelaskan bahwa ada lima jenis peliputan: peliputan pikiran, yaitu, mengetahui pikiran makhluk-makhluk di seluruh seribu alam; peliputan kasiṇa, yaitu, memperluas gambaran kasiṇa hingga menjangkau seribu alam; peliputan mata dewa, yaitu, melihat seribu alam dengan mata dewa; peliputan cahaya, yang sama dengan peliputan sebelumnya; dan peliputan jasmani, yaitu, memperluas aura jasmani seseorang menjangkau seribu alam.

1135) Baca n.426.

1136) MA: kelima kualitas yang disebutkan adalah cukup untuk memperoleh kelahiran kembali di alam indria, tetapi untuk kelahiran kembali di alam-alam yang lebih tinggi dan hancurnya noda-noda, diperlukan lebih lagi. Dengan melandaskan dirinya pada kelima kualitas, jika ia mencapai jhāna-jhāna, maka ia terlahir kembali di alam-Brahmā; jika ia mencapai pencapaian tanpa materi, maka ia terlahir kembali di alam tanpa materi; jika ia mengembangkan pandangan terang dan mencapai buah yang-tidak-kembali, maka ia terlahir kembali di Alam Murni; dan jika ia mencapai jalan Kearahatan, maka ia mencapai hancurnya noda-noda.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #98 on: 27 February 2011, 03:05:45 PM »
SUTTA 121

1137) Suññatāvihāra. Khotbah ini secara bertahap menjelaskan bahwa ini merujuk pada buah pencapaian kekosongan (suññataphala-samāpatti), buah pencapaian Kearahatan yang dimasuki dengan memusatkan pada aspek kekosongan dari Nibbāna. Baca n.458.

1138) MA: Ia menuruti persepsi hutan yang bergantung pada satu hutan itu sendiri, dengan berpikir: “Ini adalah hutan, ini adalah pohon, ini adalah gunung, ini adalah belukar.” Dalam kalimat berikutnya, saya membaca sama seperti BBS dan SBJ adhimuccati, bukan seperti PTS vimuccati.

1139) MA dan MṬ menjelaskan makna dari paragraf ini sebagai berikut: gangguan kekotoran-kekotoranketertarikan dan kejijikanyang muncul melalui persepsi orang-orang tidak ada di sini. Tetapi masih ada gangguan yang disebabkan oleh munculnya kondisi-kondisi kasar karena kurangnya ketenangan yang diperlukan.

1140) MA: Ia meninggalkan persepsi hutan dan menuruti persepsi tanah karena seseorang tidak dapat mencapai keluhuran dalam meditasi melalui persepsi hutan, tidak konsentrasi pendahuluan juga tidak pencerapan penuh. Tetapi tanah dapat digunakan sebagai objek awal bagi kasiṇa, yang dengan berdasarkan pada objek itu seseorang memperoleh jhāna, mengembangkan pandangan terang, dan mencapai Kearahatan.

1141) Setelah menggunakan persepsi tanah untuk mencapai empat jhāna, ia memperluas kasiṇa-tanah dan kemudian menghilangkan gambaran kasiṇa untuk mencapai landasan ruang tanpa batas. Baca Vsm X, 6-7.

1142) Animitta cetosamādhi. MA: ini adalah konsentrasi pikiran dalam pandangan terang; ini disebut “tanpa gambaran” karena hampa dari gambaran-gambaran kekekalan, dan sebagainya.

1143) Baca MN 52.4. MA menyebut ini “pandangan terang-lawan” (paṭivipassanā), yaitu, penerapan prinsip-prinsip pandangan terang pada tindakan kesadaran yang melakukan fungsi pandangan terang. Dengan berdasarkan pada ini, ia mencapai Kearahatan.

1144) Di sini kata “yang mulia dan tidak terlampaui” (paramānuttarā) telah ditambahkan. MA mengatakan bahwa ini adalah buah pencapaian kekosongan seorang Arahant.


SUTTA 122

1145) Sutta ini bersama dengan komentar lengkapnya telah diterbitkan dalam terjemahannya oleh Ñm dalam The Greater Discourse on Voidness.

1146) MA: ini adalah sebuah bangunan yang dibangun di Taman Nigrodha oleh Kāḷakhemaka orang Sakya. Tempat-tempat tidur, tempat-tempat duduk, alas-alas tidur, dan alas kaki telah dipersiapkan, dan semuanya itu saling berdekatan sehingga bangunan itu menyerupai kediaman dari sekelompok bhikkhu.

1147) MA menjelaskan bahwa ini hanyalah pertanyaan retoris, karena Para Buddha mampu mengetahui apa pun yang ingin Mereka ketahui melalui pengetahuan langsung. Sang Buddha menanyakan ini dengan pikiran: “Segera setelah para bhikkhu ini membentuk komunitas dan bergembira dalam perkumpulan, maka mereka akan bertindak tidak selayaknya. Aku akan membabarkan Praktik Agung Kekosongan yang akan menjadi aturan latihan [larangan bergembira dalam perkumpulan].”

1148) MA: YM. Ānanda bermaksud mengatakan: “Para bhikkhu menjalani kehidupan seperti ini bukan karena mereka bergembira dalam kesibukan, tetapi karena sedang membuat jubah.”

1149) Baca MN 66.20 dan n.678.

1150) Yang pertama adalah kebebasan melalui jhāna-jhāna dan pencapaian-pencapaian tanpa materi, dan yang ke dua adalah kebebasan melalui jalan-jalan lokuttara. Baca juga MN 29.6 dan n.348.

1151) MA: Sang Buddha memulai paragraf ini untuk mencegah kritik bahwa sementara Beliau menginstruksikan agar para siswa-Nya hidup dalam keterasingan, Beliau sendiri sering dikelilingi oleh banyak pengikut. “Kekosongan” di sini adalah buah pencapaian kekosongan’ bava n.1137.

1152) MA menjelaskan kekosongan secara internal sebagai yang berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan seseorang, kekosongan secara eksternal sebagai yang berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan orang lain. Dengan demikian, kekosongan yang dibicarakan di sini pasti adalah kebebasan pikiran sementara yang dicapai melalui perenungan pandangan terang tanpa-diri, seperti yang dijelaskan dalam MN 43.33. Ketika pandangan terang ke dalam tanpa-diri dibawa hingga tingkat sang jalan, keluar dalam buah mengalami Nibbāna melalui aspek kekosongannya.

1153) MA: Ia memperhatikan suatu pencapaian meditatif tanpa materi yang tanpa gangguan.

1154) MA: ini merujuk pada jhāna yang digunakan sebagai landasan bagi pandangan terang. Jika setelah keluar dari jhāna dasar itu, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan melalui perenungan pandangan terang pada kelompok-kelompok unsur kehidupannya sendiri atau kelompok-kelompok unsur kehidupan orang lain, dan ia juga tidak mencapai pencapaian tanpa materi yang tanpa-gangguan, maka ia harus kembali ke jhāna dasar yang sama yang ia kembangkan sebelumnya dan memperhatikannya lagi dan lagi.

1155) Menurut MA, hingga pada titik ini, Sang Buddha telah menunjukkan latihan untuk mencapai kedua jalan pertama, yaitu jalan memasuki-arus dan yang-kembali-sekali. Sekarang Beliau membicarakan paragraf yang sekarang ini (§§14-15) untuk menunjukkan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan yang-tidak-kembali, yang memuncak dalam ditinggalkannya keinginan indria.

1156) Paragraf ini (§§16-17) menunjukkan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan Kearahatan, yang memuncak pada ditinggalkannya keangkuhan “aku”.

1157) Ācariyūpaddava, antevāsūpaddava, brahmacariyūpaddava. Ūpaddava juga dapat diterjemahkan sebagai bencana, malapetaka. MA menjelaskan bahwa Sang Buddha membicarakan paragraf ini untuk menunjukkan bahwa dalam kesendirian ketika seseorang tidak memenuhi tujuan selayaknya dari kehidupan menyendiri. “Guru” adalah seorang guru di luar pengajaran Sang Buddha.

1158) MA: Meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah di luar Pengajaran Sang Buddha memberikan perolehan yang kecil, sehingga seseorang yang jatuh dari sana hanya jatuh dari pencapaian duniawi; ia tidak mengalami penderitaan besar, seperti seseorang yang jatuh dari punggung seekor keledai hanya akan menjadi kotor oleh debu. Tetapi meninggalkan keduniawian dalam Pengajaran Sang Buddha memberikan perolehan besarjalan, buah, dan Nibbāna. Dengan demikian, seseorang yang jatuh dari sana akan mengalami penderitaan besar, bagaikan seseorang yang jatuh dari punggung seekor gajah.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #99 on: 27 February 2011, 03:14:20 PM »
1159) Perbedaan perumpamaan ini antara cara pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat yang basah dan cara ia memperlakukan adonan kendi yang dihasilkan dari tanah liat itu. MA menuliskan: “Setelah menasihati sekali, Aku tidak akan berdiam diri; Aku akan menasihati dan memberikan instruksi dengan cara berulang-ulang menegur engkau. Bagaikan pengrajin tembikar menguji kendi-kendi, menyingkirkan kendi-kendi yang retak, pecah, atau cacat, dan menyimpan hanya yang lolos ujian, demikianlah Aku akan menasihati dan memberikan instruksi dengan cara berulang-ulang menguji engkau. Mereka yang di antara kalian yang selamat, telah mencapai jalan dan buah, akan bertahan menghadapi pengujian.” MA menambahkan bahwa kualitas-kualitas mulia duniawi juga termasuk dalam kriteria keselamatan.


SUTTA 123

1160) Kemampuan ini ditunjukkan dalam DN 14, yang memberikan informasi terperinci mengenai enam Buddha sebelum Gotama.

1161) Ini merujuk pada kelahiran kembali Sang Bodhisatta di alam Surga Tusita, setelah kehidupannya di alam manusia sebagai Vessantara dan sebelum kelahirannya di alam manusia sebagai Siddhattha Gotama.

1162) MA: Di antara setiap tiga sistem dunia terdapat sebuah ruang antara berukuran 8.000 yojana; ini seperti ruang antara ketiga roda kereta atau mangkuk yang saling bersentuhan. Makhluk-makhluk terlahir kembali di sana karena melakukan pelanggaran berat terhadap orang tua mereka atau para petapa dan brahmana baik, atau karena kebiasaan-kebiasaan jahat seperti membunuh binatang, dan lain-lain.

1163) MA: empat dewa adalah Empat Raja Dewa (para dewa yang menetap di alam surga Empat Raja Dewa).

1164) MA: Hal ini terjadi, bukan karena kegagalan dalam persalinan, melainkan karena habisnya umur kehidupannya; karena tempat (di dalam rahim) yang ditempati oleh Sang Bodhisatta, yang menyerupai kamar bagian dalam dari sebuah cetiya, tidak dapat digunakan oleh orang lain.

1165) MA menjelaskan masing-masing aspek dari peristiwa ini sebagai simbol dari pencapaian Sang Buddha kelak. Demikianlah, berdiri pada kedua kakinya (pāda) dengan tegak di atas tanah adalah simbol dari pencapaian empat landasan kekuatan batin (iddhipāda); Beliau menghadap ke utara, melambangkan Beliau mengarah ke atas dan melampaui banyak makhluk; tujuh langkah-Nya, melambangkan Beliau memperoleh tujuh faktor pencerahan sempurna; payung putih, melambangkan Beliau memperoleh payung kebebasan; mengamati segala penjuru, melambangkan Beliau memperoleh pengetahuan kemahatahuan yang tanpa halangan; mengucapkan kata-kata seorang Pemimpin Kelompok, melambangkan Beliau memutar Roda Dhamma yang tidak bisa dihalangi; pernyataan “Inilah kelahiran-Ku yang terakhir,” melambangkan Beliau meninggal dunia dan memasuki unsur Nibbāna tanpa sisa (dari faktor-faktor kehidupan).

1166) Pernyataan ini [ ]tampaknya adalah cara Sang Buddha dalam menilai kualitas yang Beliau anggap sebagai yang sungguh-sungguh mengagumkan dan menakjubkan.


SUTTA 124

1167) Menurut MA, YM. Bakkula menjadi bhikkhu pada saat usianya delapan puluh, yang berarti ia berumur 160 pada saat sutta ini terjadi. Ia dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul sehubungan dengan kesehatan.

1168) MA mengatakan bahwa paragraf di sini yang diapit oleh tanda kurung ditambahkan oleh para sesepuh yang menyusun Dhamma.

1169) Paragraf ini dan paragraf berikutnya menunjukkan YM. Bakkula sebagai pelaku praktik pertapaan. Waktu kaṭhina adalah periode setelah tiga bulan masa vassa ketika para bhikkhu membuat jubah baru dari kain yang mereka terima.

1170) MA mengatakan bahwa setelah ia meninggalkan keduniawian, ia masih menjadi orang biasa selama tujuh hari, tetapi pada hari ke delapan ia mencapai Kearahatan bersama dengan pengetahuan analitis (paṭisambhidā).

1171) MA: YM. Bakkula sendiri tidak memberikan penahbisan (yang merupakan pelanggaran bagi praktik ini) tetapi membuat pengaturan bagi para bhikkhu lain untuk memberikan penahbisan.

1172) MA: YM. Bakkula telah mempertimbangkan bahwa seumur hidupnya, ia tidak pernah menjadi beban bagi para bhikkhu lain, dan ia tidak ingin jenazahnya menjadi beban setelah kematiannya. Demikianlah ia memasuki meditasi pada unsur panas dan mencapai Nibbāna akhir dengan membakar tubuhnya. Hanya reliknya yang tersisa.

1173) MA mengatakan bahwa sutta ini dibacakan pada penyusunan Dhamma ke dua, yang diadakan sekitar seratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbāna.


SUTTA 125

1174) MA mengidentifikasikan Pangeran Jayasena sebagai seorang putra Raja Bimbisāra.

1175) Perumpamaan seperti pada MN 90.11.

1176) Perhatikan bahwa di sini empat landasan perhatian dijelaskan di tempat yang biasanya ditempati oleh empat jhāna.

1177) Saya menerjemahkan dengan lebih berdasarkan pada BBS dan SBJ (yang didukung oleh edisi Sinhala tahun 1937) daripada PTS. Baik BBS maupun SBJ menyingkat paragraf ini; di mana PTS membaca kāyūpasaṁhitaṁ dan dhammūpasaṁhitaṁ, kedua edisi ini membaca kāmūpasaṁhitaṁ dalam kedua tempat, suatu perbedaan besar. Saya diberi tahu bahwa terjemahan China dari Madhyama Āgama (padanan MN dalam Skt) memiliki tulisan yang bersesuaian dengan yang terdapat pada BBS dan SBJ. Versi China menyebutkan seluruh empat jhāna.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #100 on: 27 February 2011, 03:27:28 PM »
SUTTA 126

1178) MA mengatakan bahwa YM. Bhūmija adalah paman dari Pangeran Jayasena.

1179) Āsaṁ karitvā: jika seseorang berkehendak, jika ia memunculkan harapan atau ekspektasi. Petapa atau brahmana yang menganut pandangan ini pasti adalah para skeptis atau nihilis.


SUTTA 127

1180) Appamāṇā cetovimutti, mahaggatā cetovimutti. Pada MN 43.31, seperti juga di sini, kebebasan pikiran yang tanpa batas dijelaskan sebagai empat brahmavihāra. Karena formula dalam tiap-tiap brahmavihāra mencantumkan kata “luhur”, Pañcakanga menjadi bingung dan menganggap kedua kebebasan ini bermakna sama.

1181) MA: Ia mencakup suatu wilayah seluas bawah sebatang pohon dengan gambaran kasiṇa, dan ia berdiam dengan melingkupi gambaran kasiṇa itu, meliputinya dengan jhāna yang luhur. Metode penjelasan yang sama berlaku untuk kasus-kasus berikutnya.

1182) MA: Ajaran ini dibabarkan untuk menunjukkan jenis-jenis kelahiran kembali yang dihasilkan dari pencapaian kebebasan yang luhur.

1183) MA menjelaskan bahwa tidak ada alam dewa terpisah yang disebut “Cahaya Ternoda” dan “Cahaya Murni”. Keduanya adalah sub-kelompok dari kedua alampara dewa dengan Cahaya Terbatas dan para Dewa dengan Cahaya Tanpa Batas. Kelahiran kembali di antara para dewa dengan Cahaya Terbatas ditentukan oleh pencapaian jhāna (ke dua) dengan gambaran kasiṇa terbatas, kelahiran kembali di antara para dewa dengan Cahaya Tanpa Batas ditentukan oleh pencapaian jhāna yang sama dengan gambaran kasiṇa yang diperluas. Kelahiran kembali dengan cahaya ternoda adalah untuk mereka yang belum menguasai jhāna dan memurnikannya dari kondisi-kondisi yang merintangi; kelahiran kembali dengan cahaya murni adalah untuk mereka yang telah memperoleh kemahiran dan pemurnian.

1184) Terdapat suatu permainan kata di sini. Dalam Pāli, kata kerja jhāyati bermakna ganda, yaitu: membakar dan juga bermakna bermeditasi, walaupun kedua makna ini diturunkan dari kata kerja Sanskrit yang berbeda: kshāyati adalah membakar, dhyāyati adalah bermeditasi.

1185) Kata-kata Abhiya, tampaknya, adalah tidak sopan karena secara langsung menyinggung pengalaman pribadi Yang Mulia Anuruddha. MA mengatakan bahwa selama masa pemenuhan kesempurnaannya (pārami) dalam kehidupan-kehidupan lampau, Anuruddha telah meninggalkan keduniawian, dan melalui tiga ratus kehidupan tanpa terputus di alam Brahmā. Karena itulah, ia menjawab demikian.



SUTTA 128

1186) Bagian pembukaan dari sutta ini sama dengan pembukaan dari MN 48.

1187) Bait ini dan tiga berikutnya juga terdapat pada Dhp 3-6. Tiga bait terakhir terdapat pada Dhp 328-30.

1188) Paragraf pada §§8-15 nyaris identik dengan MN 31.3-10. Akan tetapi, dari kelanjutannya, jelas bahwa sutta sekarang ini terjadi pada waktu yang lebih dulu, karena dalam MN 31, seluruh tiga bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan, sedangkan di sini mereka masih berusaha untuk mencapai tujuan.

1189) Di sinilah sutta yang sekarang ini berlanjut secara berbeda dengan MN 31. MA menjelaskan cahaya (obhāsa) sebagai cahaya awal, yang dikemas oleh MṬ sebagai cahaya yang dihasilkan oleh akses pada jhāna. MṬ menambahkan bahwa seseorang yang mencapai jhāna ke empat mengembangkan kasiṇa-cahaya sebagai persiapan untuk membangkitkan mata-dewa. “Penampakan bentuk-bentuk” (dassanaṁ rūpānaṁ) adalah penglihatan pada bentuk-bentuk dengan mata dewa. YM. Anuruddha kelak dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang paling unggul dalam pengerahan mata-dewa.

1190) Nimittaṁ paṭivijjhitabbaṁ. Lit. “Engkau harus menembus gambaran itu.”

1191) Baca MN 52.15.

1192) MA menuliskan: ‘Sewaktu Aku sedang memperhatikan sejenis bentuk tunggal, kerinduan muncul’. Dengan berpikir ‘Aku akan memperhatikan jenis-jenis bentuk berbeda,’ kadang-kadang Aku mengarahkan perhatianku pada alam surga, kadang-kadang pada alam manusia. Sewaktu aku memperhatikan jenis-jenis bentuk berbeda, persepsi keberagaman muncul dalam diri-Ku.[”]

1193) Atinijjhāyittaṁ rūpānaṁ. MA: “Ketika persepsi keberagaman muncul, Aku pikir Aku dapat memperhatikan satu jenis bentuk, apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sewaktu Aku melakukan demikian, meditasi berlebihan pada bentuk-bentuk muncul dalam diriKu.”

1194) Cittassa upakkileso. Kata yang sama digunakan pada MN 7.3, walaupun di sini berarti ketidaksempurnaan dalam pengembangan konsentrasi. Oleh karenanya ungkapan ini telah diterjemahkan dengan sedikit berbeda dalam kedua kasus ini.

1195) “Tiga cara” tampaknya adalah ketiga jenis pertama dari konsentrasi yang disebutkan dalam paragraf berikutnya, juga disampaikan sebagai sebuah triad pada DN 33.1.10/iii.219. Dari ketiga ini, yang pertama adalah jhāna pertama dan yang ke tiga mencakup ketiga jhāna yang lebih tinggi dari skema empat jhāna umumnya. Konsentrasi jenis ke dua tidak mendapat tempat pada skema empat, tetapi muncul sebagai jhāna ke dua dalam pengelompokan lima jhāna yang dijelaskan dalam Abhidhamma Piṭaka. Jhāna ke dua dari skema lima ini dicapai oleh mereka yang tidak dapat mengatasi awal pikiran dan kelangsungan pikiran secara bersamaan, melainkan harus menyingkirkannya secara berturut-tururt.

1196) MA: Konsentrasi dengan kegembiraan adalah dua jhāna yang lebih rendah; konsentrasi tanpa kegembiraan adalah dua jhāna yang lebih tinggi; konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan (sāta), adalah tiga jhāna yang lebih rendah; konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan adalah jhāna ke empat. PTS menghilangkan sātasahagato pi samādhi bhāvito ahosi, yang terdapat dalam edisi-edisi [ ]lain.

1197) MA mengatakan bahwa Sang Buddha mengembangkan konsentrasi-konsentrasi ini pada jaga terakhir malam hari pada malam pencerahan-Nya sambil duduk di bawah pohon Bodhi.


SUTTA 129

1198) Seperti pada MN 13.14

1199) Perumpamaan berikut ini juga digunakan pada SN 12:63/ii.100 untuk mengilustrasikan makanan bagi kesadaran (viññāṇāhāra).

1200) Dan Beliau akan menjelaskanpada MN 130.17-27.

1201) MA: Yaitu, si dungu melakukan ketiga jenis perilaku salah, yang karenanya ia terlahir kembali di neraka. Karena sisa-sisa kamma itu, ketika ia terlahir kembali di alam manusia, ia terlahir kembali di keluarga rendah. Sekali lagi melakukan ketiga jenis perilaku salah, dan sekali lagi terlahir kembali di neraka.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #101 on: 27 February 2011, 03:40:52 PM »
1202) Walaupun Pali tidak mencantumkan partikel negatif na, [ ]namun tampaknya di sini diperlukan untuk menghasilkan makna yang dimaksudkan, dan ini muncul pada klausa sejenis dalam paragraf berikutnya.

1203) Baca MN 91.5. Legenda Raja Pemutar-Roda dibahas secara lengkap dalam DN 17 dan DN 26.

1204) Baca n.809.

1205) MA: Yaitu, si bijaksana melakukan ketiga jenis perbuatan baik, yang karenanya ia terlahir kembali di alam surga. Kembali ke alam manusia, ia terlahir kembali dalam keluarga yang baik dengan kerupawanan dan kekayaan. Sekali lagi ia melakukan ketiga jenis perbuatan baik dan sekali lagi terlahir kembali di alam surga. Harus dipahami bahwa “kesempurnaan sepenuhnya dari tingkatan si bijaksana” adalah sepenuhnya duniawi dan tidak berhubungan dengan tingkat-tingkat kesucian pada jalan kebebasan.

SUTTA 130

1206) Yama adalah dewa kematian. MA mengatakan bahwa ia adalah raja makhluk halus yang memiliki istana surgawi. Kadang-kadang ia menetap di istana surgawi menikmati kenikmatan surgawi, kadang-kadang ia mengalami akibat kamma; ia adalah raja yang baik. MA menambahkan bahwa sebenarnya ada empat Yama, satu di setiap empat gerbang (neraka?).

1207) Menurut legenda Buddhis, tiga dari para utusan surgawiorang tua, orang sakit, dan orang matimenampakkan diri di hadapan Sang Bodhisatta ketika ia sedang menetap di istana, menghancurkan pesona kehidupan duniawi dan menyadarkannya pada keinginan untuk mencari jalan kebebasan. Baca AN 3:38/i.145-46 untuk penjelasan atas asal-usul secara psikologis dari mana legenda ini berkembang.

1208) Penjelasan mengenai neraka berikut ini, hingga ke §16, juga terdapat pada MN 129.10-16.


SUTTA 131

1209) Khotbah ini dengan pendahuluan dan catatan yang panjang tersedia secara terpisah dalam terjemahan oleh Bhikkhu Ñāṇananda dengan judul Ideal Solitude.

1210) Dalam edisi pertama, saya mengikuti Ñm dalam menerjemahkan bhaddekaratta sebagai “satu kemelekatan yang menguntungkan”. Akan tetapi, atas saran dari YM. Thānissaro Bhik, saya mengubahnya menjadi “satu malam keramat”, yang tampaknya lebih tepat. Ratta dan ratti dapat dianggap mewakili Skt rātra dan rātri (= malam) atau Skt rakta dan rakti (= kemelekatan). Ñm mengartikan kata-kata ini dalam makna ke dua, tetapi fakta bahwa baik MA maupun MṬ tidak mengemas ratta dengan menyiratkan bahwa yang dimaksudkan adalah “malam”; karena jika kata itu digunakan dalam makna kemelekatan, suatu kondisi tidak bermanfaat yang khas dalam khotbah Buddhis, maka beberapa klarifikasi komentar pasti telah diberikan. Versi Skt dari Asia Tengah, judul Skt pada versi Tibet, dan terjemahan Tibet sendiri semuanya menggunakan bhadrakarātri. Ini menegaskan identifikasi ratta sebagai “malam”; perubahan dari –e- menjadi -a- dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk mempermudah bacaan menjadi suatu bacaan yang lebih akrab. (Saya berhutang pada Peter Skilling atas informasi ini.) Madhyama Āgama dari China hanya menyalin kembali judul itu dari versi Skt dan dengan demikian tidak memberikan bantuan.

Selain dari rangkaian sutta-sutta ini, kata bhaddekaratta tidak terdapat di mana pun dalam Kanon Pali. MA hanya mengatakan: “‘Satu malam keramat’ adalah satu malam yang keramat karena memiliki penerapan pandangan terang” (bhaddekarattassā ti vipassanāyogasamannāgatattā bhaddekassa ekarattassa). MṬ hanya memberikan pemecahan kata (ekā ratti ekaeratto; bhaddo ekaratto etassā ti bhaddekarattaṁ) dan mengatakan bahwa ini merujuk pada seseorang yang melatih pandangan terang. Seperti yang ditekankan pada syair yang mendorong perlunya menaklukkan kematian dengan mengembangkan pandangan terang, judul ini mungkin menggambarkan seorang meditator yang telah melewati satu malam (dan satu hari) keramat dengan mempraktikkan pandangan terang yang “tak terkalahkan, tak tergoyahkan”. Ñm mengatakan dalam Ms: “Mungkin dapat dianggap bahwa kata ‘bhaddekaratta’ adalah frasa terkenal yang digunakan oleh Sang Buddha dan diberikan makna khusus oleh Beliau, hal ini bukan tidak sering dilakukan, tetapi tampaknya tidak ada alasan untuk melakukan hal itu dan tidak ada bukti untuk kasus ini. Lebih mungkin bahwa kata ini diciptakan oleh Sang Buddha sendiri untuk menggambarkan aspek pengembangan tertentu.”

1211) Secara lebih literal, kedua baris pertama dapat diterjemahkan: Janganlah seseorang kembali ke masa lampau atau hidup dalam pengharapan di masa depan”. Makna ini akan lebih jelas dalam paragraf penjelasan di dalam sutta ini.

1212) MA: Ia harus merenungkan tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini, tepat di mana munculnya, melalui tujuh perenungan pandangan terang (pandangan terang ke dalam ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri, kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, lepasnya.)

1213) Asaṁhīraṁ asankuppaṁ. MA menjelaskan bahwa sutta ini dikatakan bertujuan untuk menunjukkan pandangan terang dan lawan pandangan terang (baca n.1143); karena pandangan terang adalah “tak terkalahkan, tak tergoyahkan”. Karena tidak terkalahkan atau tergoyahkan oleh nafsu dan kekotoran lainnya. Di tempat lain, ungkapan “tak terkalahkan, tak tergoyahkan” digunakan untuk menggambarkan Nibbāna (yaitu, Sb v.1149) atau menggambarkan kebebasan pikiran (misalnya, Thag v.649), tetapi di sini tampaknya merujuk pada tingkatan dalam pengembangan pandangan terang. Kemunculan kembali bentuk kata kerja saṁhirati pada §8 dan §9 menyiratkan bahwa makna yang dimaksudkan adalah perenungan saat ini tanpa tersesat ke dalam pandangan diri.

1214) “Sang Bijaksana damai” (santo muni) adalah Sang Buddha.

1215) MA: Seseorang “menemukan kesenangan” dengan membawa keinginan atau pandangan yang berhubungan dengan keinginan di masa lalu. Harus dipahami bahwa ini bukanlah sekadar perenungan masa lalu melalui ingatan yang menyebabkan belenggu, tetapi menghidupkan kembali pengalaman masa lalu dengan pikiran-pikiran keinginan. Sehubungan dengan hal ini, ajaran Sang Buddha sangat jauh berbeda dengan ajaran Krishnamurti, yang tampaknya menganggap bahwa ingatan itu sendiri sebagai penjahat di belakang layar.

1216) Sintaksis dari Pali memperbolehkan kalimat ini diinterpretasikan dalam dua cara, sebagai menyebutkan bahwa seseorang berpikir, “Aku telah memiliki bentuk demikian di masa lalu,” namun tidak menemukan kesenangan dalam pikiran itu; atau bahwa seseorang tidak menemukan kesenangan di masa lalu dengan memikirkan pikiran demikian. Horner, Ñāṇananda (dalam Ideal Solitude), dan Ñm (dalam Ms) menafsirkan kalimat ini dalam cara pertama; saya mempertahankan terjemahan Ñm dalam edisi pertama. Setelah mempertimbangkan, sekarang saya percaya bahwa interpretasi ke dua adalah lebih tepat menyampaikan makna teks tersebut. Ini juga berkaitan, secara lebih baik, dengan syair itu sendiri, yang menginstruksikan agar siswa tidak berdiam di masa lalu dan di masa depan, melainkan merenungkan “tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini” seperti yang disampaikan oleh syair itu sendiri.

1217) Dalam edisi pertama, kalimat ini diterjemahkan: “Dengan berpikir, ‘Aku akan memiliki bentuk materi demikian di masa depan,’ seseorang menemukan kesenangan di dalam itu”. Setelah merenungkan kembali, sekarang bagi saya tampaknya bahwa kalimat itu mengungkapkan seruan harapan di masa depan.

1218) Kata kerja di sini dan dalam paragraf berikutnya, saṁhirati, merujuk kembali pada baris dalam syair, “tak terkalahkan, tak tergoyahkan”. MA mengemas: “Seseorang ditarik oleh keinginan dan pandangan karena ketiadaan pandangan terang”.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #102 on: 27 February 2011, 03:56:35 PM »
SUTTA 133

1219) Hingga §12, seperti pada MN 18.10-15.

1220) MA: Pada dua sutta sebelumnya dan satu sutta berikutnya, Sang Buddha membabarkan garis besar dan analisis melalui kelima kelompok unsur kehidupan, tetapi di sini ia membabarkannya sedemikian sehingga dapat dianalisis melalui kedua belas landasan indria. Memahami maksud Sang Buddha, YM. Mahā Kaccāna menjelaskan seperti yang ia lakukan, dan karena kemahirannya dalam menangkap metode bahkan ketika tidak ditunjukkan secara eksplisit, Sang Buddha menunjuknya sebagai siswa yang terunggul dalam menjelaskan secara terperinci suatu ajaran yang dinyatakan secara ringkas.


SUTTA 134

1221) Menurut Komentar Thag, Yang Mulia Lomasakangiya telah menjadi bhikkhu pada masa Buddha Kassapa. Setelah Buddha Kassapa membabarkan Bhaddekaratta Sutta, seorang bhikkhu tertentu menyampaikannya kepada Lomasakangiya. Karena tidak mampu memahaminya, ia berseru: “Di masa depan, semoga aku mampu mengajarkan sutta ini kepadamu!” yang lain menjawab: “Semoga aku dapat menanyakannya kepadamu!” Pada masa sekarang, Lomasakangiya terlahir di sebuah keluarga Sakya di Kapilavatthu, sedangkan bhikkhu lainnya itu menjadi Dewa Candana.

1222) MA menjelaskan bahwa ini terjadi pada tahun ke tujuh setelah Pencerahan Sang Buddha, pada saat Beliau melewatkan tiga bulan masa vassa di alam surga Tiga Puluh Tiga mengajarkan Abhidhamma kepada para dewa dari sepuluh ribu sistem dunia yang berkumpul di sana.


SUTTA 135

1223) Baca MN 99. Menurut MA, ayahnya, Brahmana Todeyya, terlahir kembali sebagai anjing di rumahnya sendiri karena kekikirannya yang sangat luar biasa. Sang Buddha mengidentifikasikannya dengan menyuruh anjing itu menggali beberapa harta tersembunyi milik ayah Subha yang dikuburkan sebelum kematiannya. Hal ini menginspirasi keyakinan Subha pada Sang Buddha dan mendorongnya untuk mendatangi dan bertanya tentang cara kerja kamma.

1224) Jika kamma pembunuhan secara langsung menentukan modus kelahiran kembali, maka hal itu akan menghasilkan kelahiran kembali dalam salah satu alam sengsara. Tetapi jika kamma baik mengantarkan menuju kelahiran kembali di alam manusiadan kelahiran kembali sebagai manusia selalu diakibatkan oleh kamma baikkamma pembunuhan akan bekerja dengan cara yang berlawanan dengan kamma penghasil kelahiran kembali dengan menyebabkan berbagai kemalangan yang bahkan berujung pada kematian prematur. Prinsip yang sama berlaku pada kasus berikutnya yang mana kamma buruk menjadi matang dalam kehidupan sebagai manusia: dalam tiap-tiap kasus, kamma buruk melawan kamma baik yang bertanggung jawab atas kelahiran kembali sebagai manusia dengan menimbulkan jenis kemalangan tertentu sesuai kualitas penentunya.

1225) Dalam kasus ini, kamma baik menghindari pembunuhan secara langsung bertanggung jawab atas kelahiran kembali di alam surga atau umur panjang di alam manusia. Prinsip yang sama berlaku dalam seluruh paragraf tentang matangnya kamma baik.


SUTTA 136

1226) MA mengatakan bahwa Potaliputta sesungguhnya tidak secara langsung mendengar dari Sang Buddha, tetapi pernah mendengarkan berita bahwa pernyataan-pernyataan ini dinyatakan oleh Sang Buddha. Pernyataan pertama adalah versi menyimpang dari pernyataan Sang Buddha dalam MN 56.4 bahwa perbuatan pikiran adalah paling tercela di antara ketiga jenis perbuatan bagi pelaksanaan perbuatan jahat. Pernyataan ke dua diturunkan dari pembahasan lenyapnya persepsi oleh Sang Buddha dalam Poṭṭhapāda Sutta (DN 9). MA mengemas kata “kosong” menjadi “tidak berbuah”.

1227) Pernyataan ini dinyatakan oleh Sang Buddha pada SN 36:11/iv.216, sehubungan dengan penderitaan yang terkandung dalam segala bentukan karena alasan ketidakkekalannya. Walaupun pernyataan itu benar, Samiddhi tampaknya telah salah menginterpretasikannya menjadi bermakna bahwa semua perasaan dirasakan sebagai penderitaan, yang jelas salah.

1228) MA: bagian ini tidak menjelaskan pengetahuan Sang Tathāgata mengenai [ ]penjelasan panjang tentang perbuatan, tetapi membentuk kerangka yang bertujuan untuk menyajikan penjelasan.

1229) MA: Ini juga tidak membabarkan pengetahuan mengenai penjelasan panjang tentang perbuatan, tetapi masih membentuk kerangka. Tujuannya di sini adalah untuk menunjukkan apa yang dapat diterima dan apa yang harus ditolak dari pernyataan para petapa dan brahmana luar. Singkatnya, dalil yang melaporkan pengamatan langsung mereka dapat diterima, tetapi generalisasi yang mereka turunkan dari pengamatan itu harus ditolak.

1230) Di sini dimulai penjelasan atas pengetahuan mengenai penjelasan panjang tentang perbuatan.

1231) MA: Orang yang dengan mata dewa telah terlihat melakukan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, dan seterusnya, terlahir kembali di neraka karena perbuatan jahat lain yang telah ia lakukan sebelum ia melakukan pembunuhan, dan seterusnya, atau karena perbuatan jahat yang ia lakukan setelahnya, atau karena pandangan salah yang ia terima pada saat kematian. Walaupun Pali sepertinya mengatakan bahwa ia seharusnya terlahir kembali di neraka karena perbuatan-perbuatan selain daripada yang terlihat sedang ia lakukan, ini jangan dipahami sebagai suatu pernyataan mutlak, melainkan hanya sebagai suatu pernyataan kemungkinan. Yaitu, walaupun mungkin saja bahwa ia terlahir kembali di neraka karena perbuatan jahat yang ia terlihat lakukan, tetapi mungkin juga bahwa ia terlahir kembali di neraka karena perbuatan-perbuatan jahat lain yang ia lakukan sebelumnya atau sesudahnya.

1232) Pernyataan ini menunjukkan bahwa bahkan jika kamma buruknya tidak menghasilkan modus kelahiran kembali, namun kamma itu akan tetap matang baginya dalam suatu cara, apakah dalam kehidupan ini, dalam kehidupan berikut, atau dalam beberapa kehidupan setelah itu.

1233) Dalam kasus ini, kelahiran kembali di alam surga pasti disebabkan karena perbuatan-perbuatan lainnya selain daripada perbuatan yang terlihat sedang ia lakukan, karena suatu perbuatan jahat tidak dapat menghasilkan modus kelahiran kembali yang beruntung.

1234) MA menjelaskan abhabba, tidak mampu, sebagai tidak bermanfaat (akusala), disebut “tidak mampu” karena kosong dari kapasitas untuk tumbuh; dan bhabba, mampu, sebagai berkemampuan, disebut mampu” karena memiliki kapasitas untuk tumbuh. Penjelasan ini tampaknya meragukan; bhabba (Skt bhavya) hanya bermakna “berpotensi, mampu menghasilkan akibat”, tanpa menyiratkan penilaian moral tertentu. MA memberikan dua penjelasan atas dua tetrad itu. Yang pertama berangkat dengan menganggap akhiran –ābhāsa sebagai bermakna “mengungguli” atau “mengatasi”, dan dengan demikian keempat kata itu menunjukkan cara suatu kamma dari satu kualitas dapat mengungguli” kamma lainnya dalam menghasilkan akibatnya. Penjelasan ke dua yang tampaknya lebih meyakinkan, menganggap –ābhāsa sebagai bermakna “tampak”, yang saya ikuti dalam terjemahan ini. Pada penjelasan ini, jenis pertama diilustrasikan oleh orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup dan terlahir kembali di neraka: perbuatannya tidak mampu menghasilkan (akibat baik) karena perbuatan itu adalah tidak bermanfaat, dan tampak tidak mampu karena ia terlahir kembali di neraka, yang sepertinya menjadi sebab bagi kelahiran kembalinya di sana. Yang ke dua diilustrasikan oleh orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup dan terlahir kembali di alam surga: perbuatannya tidak mampu menghasilkan (akibat baik) karena perbuatan itu adalah tidak bermanfaat, namun tampak mampu karena ia terlahir kembali di alam surga; demikianlah bagi para petapa dan brahmana luar, hal ini tampak seperti sebab bagi kelahirannya di alam surga. Kedua kata berikutnya harus dipahami dengan cara yang sama, dengan perubahan seperlunya.


SUTTA 137

1235) MA: Eksplorasi pikiran (manopavicāra) adalah awal pikiran dan kelangsungan pikiran. Seseorang mengeksplorasi (arau memeriksa, upavicarati) objek melalui munculnya kelangsungan pikiran (vicāra), dan awal pikiran berhubungan dengan kelangsungan pikiran.

1236) MA: Setelah melihat suatu bentuk dengan kesadaran-mata, seseorang mengeksplorasi suatu bentuk yang, sebagai suatu objek, adalah penyebab bagi kegembiraan (kesedihan, keseimbangan).

1237) MA: Ini adalah posisi-posisi (pada) bagi makhluk-makhluk yang bertekad pada lingkaran kehidupan dan bagi mereka yang bertekad pada lenyapnya lingkaran.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #103 on: 27 February 2011, 04:16:14 PM »
1238) MA: “Berdasarkan pada kehidupan rumah tangga” berarti berhubungan dengan utas-utas kenikmatan indria; “berdasarkan pada pelepasan keduniawian” berarti berhubungan dengan pandangan terang.

1239) MA: Ini adalah kegembiraan yang muncul ketika seseorang telah menegakkan pandangan terang dan sedang duduk mengamati hancurnya bentukan-bentukan dengan pengetahuan pandangan terang yang tajam dan cerah yang terpusat pada bentukan-bentukan.

1240) MA menjelaskan “kebebasan tertinggi” dan “landasan itu” sebagai Kearahatan. Baca 44.28.

1241) MA: Ini adalah keseimbangan tanpa mengetahui yang muncul dalam diri seseorang yang belum menaklukkan keterbatasan yang dijatuhkan oleh kekotoran atau akibat (perbuatan) masa depan. Ini “tidak melampaui bentuk” karena terjerat, terikat pada objek bagaikan lalat pada segumpal gula.

1242) MA: Ini adalah keseimbangan yang berhubungan dengan pengetahuan pandangan terang. Ini tidak menjadi bernafsu pada objek-objek menyenangkan yang masuk dalam jangkauan indria-indria, juga tidak menjadi marah karena objek-objek tidak menyenangkan.

1243) MA mengatakan bahwa sebelumnya yang dibahas adalah keseimbangan duniawi, tetapi di sini perbedaannya adalah antara keseimbangan dalam membedakan pengalaman indria dan keseimbangan pencapaian meditatif.

1244) MA menuliskan: “Melalui keseimbangan pencapaian tanpa materi, tinggalkanlah keseimbangan pencapaian materi halus; melalui pandangan terang ke dalam alam tanpa materi, tinggalkanlah pandangan terang ke dalam alam materi-halus”.

1245) MA mengatakan bahwa ketiadaan-identifikasi (atammayatābaca n.1066) di sini merujuk pada “pandangan terang yang menuntun menuju keluar”, yaitu, pandangan terang persis sebelum munculnya jalan lokuttara; karena ini berdampak pada ditinggalkannya keseimbangan pencapaian tanpa materi dan keseimbangan pandangan terang.

1246) Satipaṭṭhāna di sini jelas memiliki makna berbeda dari biasanya, seperti akan jelas pada bagian selanjutnya. “Seorang Mulia” adalah Sang Buddha.

1247) Ini adalah salah satu dari Sembilan gelar Sang Buddha dalam penguraian umum kualitas-kualitas Sang Buddha.

1248) “Delapan arah ini” adalah delapan pembebasan, tentang ini baca n.764.


SUTTA 138

1249) Agak janggal bahwa Sang Buddha, setelah mengatakan bahwa Beliau akan mengajarkan ringkasan dan penjelasan, hanya membabarkan ringkasan dan pergi tanpa membabarkan penjelasan. Walaupun di tempat lain Sang Buddha pergi mendadak setelah memberikan pernyataan yang membingungkan (seperti, pada MN 18), pada peristiwa-peristiwa itu Beliau sebelumnya memang tidak menyatakan niatnya untuk memberikan penjelasan. MA tidak memberikan penjelasan.

1250) MA: Kesadaran “kacau dan berhamburan secara eksternal”, yaitu, di antara objek-objek eksternal, ketika muncul melalui keterikatan pada objek eksternal.

1251) MṬ: Bentuk itu sendiri disebut gambaran bentuk (rūpanimitta) dalam hal bahwa bentuk itu menjadi penyebab bagi munculnya kekotoran. Satu yang “muncul setelahnya” melalui nafsu.

1252) MA: pikiran “melekat secara internal” melalui kemelekatan pada objek internal. Teks sutta itu sendiri bergeser dari viññāṇa dalam ringkasan oleh Sang Buddha menjadi citta dalam penjelasan oleh Mahā Kaccāna.

1253) Seluruh edisi MN 38 Pali di sini menuliskan anupādā paritassanā, secara literal “gangguan karena ketidakmelekatan”, yang jelas berlawanan dengan apa yang secara konsisten diajarkan oleh Sang Buddha: gangguan yang muncul dari kemelekatan, dan lenyap dengan lenyapnya kemelekatan. Akan tetapi, tulisan ini jelas lebih dulu daripada komentar, karena MA menerima anupādā sebagai benar dan memberikan penjelasan berikut: “Dalam makna apakah terjadinya gangguan karena ketidakmelekatan? Melalui ketiadaan segala sesuatu yang dilekati. Karena jika ada bentukan apa pun yang kekal, stabil, suatu diri, atau milik diri, mungkin dilekati. Maka gangguan ini adalah gangguan karena kemelekatan (sesuatu yang dilekati). Tetapi karena tidak ada bentukan yang dapat dilekati demikian, maka walaupun bentuk materi, dan seterusnya, dilekati dengan gagasan ‘bentuk materi adalah diri’, dan seterusnya, sesungguhnya hal-hal itu tidak dilekati (dengan cara bagaimana hal itu dianggap). Demikianlah, apa yang di sini disebut ‘gangguan karena ketidakmelekatan’ adalah dalam makna gangguan karena kemelekatan melalui pandangan-pandangan.” Ñm mengikuti tulisan ini, dan berdasarkan pada penjelasan MA, menerjemahkan frasa “kesedihan [gangguan] karena tidak menemukan apa pun yang dapat dilekati”. Ia tidak membahas persoalan ini dalam catatannya.

Sebuah sutta dalam Saṁyutta Nikāya (SN 22:7/iii,16) sebenarnya identik dengan paragraf ini dari MN 138, kecuali bahwa di sini tertulis, upādā paritassanā, seperti seharusnya, “gangguan karena kemelekatan”. Dari teks Saṁyutta, kita dapat dengan aman menyimpulkan bahwa tulisan dalam Majjhima adalah kesalahan yang seharusnya dihilangkan. Terjemahan saya di sini adalah berdasarkan pada tulisan dari MN 22:7. Horner juga mengikuti bagian belakangan dari teks dalam MLS.

1254) MA menjelaskan frasa tidak umum paritassanā dhammasamppādā sebagai ‘gangguan keinginan dan munculnya kondisi-kondisi tidak bermanfaat (lainnya)”.

1255) Gangguan demikian berakibat dari ketiadaan inti yang kekal dalam segala sesuatu yang dapat memberikan perlindungan dari penderitaan yang diendapkan oleh perubahan dan ketidakstabilannya.

1256) Frasa ini adalah identik baik dalam versi Majjhima maupun Saṁyutta.


SUTTA 139

1257) Ini secara intinya identik dengan pernyataan yang dengannya Sang Buddha yang baru tercerahkan memulai khotbah pertamanya kepada Lima Bhikkhu, sebelum mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada mereka.

1258) Ini adalah sebuah ungkapan yang rumit untuk pengejaran kenikmatan indria.

1259) MA: “dikepung oleh penderitaan, kesulitan”, dan seterusnya, melalui  penderitaan, kesulitan, dan seterusnya dari akibat yang ditimbulkan dan penderitaan dan kesulitan, dan seterusnya, dari kekotoran yang menyertainya.

1260) Ini adalah keinginan akan penjelmaan. Persis di bawah kita harus membaca sekali lagi sebagai bhavasaṁyojanaṁ (seperti pada BBS dan SBJ), bukan seperti PTS vibhavasaṁyojanaṁ.

1261) Yaitu, memuji dan mencela terjadi ketika seseorang membingkai pernyataan seseorang dalam hal orang-orangnya, beberapa dipuji dan yang lainnya dicela. Seseorang mengajarkan “hanya Dhamma” ketika ia membingkai pernyataan seseorang dalam hal kondisi (dhamma)modus praktiktanpa secara eksplisit menghubungkannya dengan orang-orang.

1262) Persoalan “pemaksaan bahasa setempat” ini pasti sangat akut dalam Sangha, ketika para bhikkhu menjalani kehidupan yang terus-menerus mengembara dan melewati banyak daerah dengan bahasa atau dialek yang berbeda-beda.

1263) YM. Subhūti adalah adik dari Anāthapiṇḍika dan menjadi bhikkhu pada hari Hutan Jeta dipersembahkan kepada Sangha. Sang Buddha menunjuknya sebagai siswa terunggul dalam dua kategoriyang hidup tanpa konflik dan yang layak menerima pemberian.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #104 on: 27 February 2011, 04:46:11 PM »
SUTTA 140

1264) Menurut MA, Pukkusāti adalah raja Takkasilā dan bersahabat dengan Raja Bimbisāra dari Magadha melalui para pedagang yang melakukan perjalanan di antara kedua negeri untuk berdagang. Dalam suatu pertukaran hadiah, Bimbisāra mengirimkan sebuah panel emas kepada Pukkusāti di mana ia menuliskan penjelasan Tiga Permata dan berbagai aspek Dhamma. Ketika Pukkusāti membaca tulisan itu, ia menjadi gembira dan memutuskan untuk meninggalkan keduniawian. Tanpa melalui penahbisan resmi, ia mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan istana. Ia pergi ke Rājagaha dengan maksud untuk menemui Sang Buddha, yang saat itu berada di Sāvatthī, kira-kira 300 mil jauhnya. Sang Buddha melihat Pukkusāti melalui mata batinnya, dan mengetahui kemampuannya untuk mencapai jalan dan buah, Beliau melakukan perjalanan sendirian dengan berjalan kaki menuju Rājagaha untuk menemuinya. Agar tidak dikenali, melalui kekuatan kehendak-Nya Sang Buddha menyembunyikan ciri-ciri fisiknya seperti tanda-tanda Manusia Luar Biasa, dan ia tampil seperti umumnya seorang bhikkhu pengembara. Beliau tiba di gubuk pengrajin tembikar tidak lama setelah Pukkusāti, yang telah tiba terlebih dulu, bermaksud untuk pergi ke Sāvatthī pada keesokan harinya untuk menemui Sang Buddha.

1265) Pukkusāti yang tidak menyadari bahwa pendatang baru itu adalah Sang Buddha, menyapa Beliau dengan panggilan akrab “āvuso”.

1266) MA: Sang Buddha mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini sekadar untuk memulai suatu percakapan, karena Beliau telah mengetahui bahwa Pukkusāti telah meninggalkan keduniawian karena Beliau.

1267) MA: Karena Pukkusāti telah memurnikan praktik awal sang jalan dan mampu mencapai jhāna ke empat melalui perhatian pada pernapasan, Sang Buddha langsung memulai dengan suatu khotbah tentang meditasi pandangan terang, membabarkan kekosongan tertinggi yaitu landasan bagi Kearahatan.

1268) MA: Di sini Sang Buddha membabarkan keberadaan yang bukan sesungguhnya melalui keberadaan yang sesungguhnya; karena unsur-unsur adalah keberadaan yang sesungguhnya, tetapi manusia adalah keberadaan yang bukan sesungguhnya. Maksudnya adalah[ ]: “Bahwa apa yang engkau lihat sebagai seorang manusia adalah terdiri dari enam unsur. Sesungguhnya tidak ada manusia di sini. ‘Manusia’ hanyalah sekadar konsep.”

1269) Seperti pada 137.8.

1270) Paññadhiṭṭhāna, saccādhiṭṭhāna, cāgadhiṭṭhāna, upasamādhiṭṭhāna. Ñm, dalam Ms, awalnya menerjemahkan adhiṭṭhāna sebagai “tekad”, dan kemudian menggantinya menjadi “modus pengungkapan”, yang keduanya tampaknya tidak sesuai untuk konteks ini. MA mengemas kata ini dengan patiṭṭhā, yang jelas berarti landasan, dan menjelaskan makna dari pernyataan itu sebagai berikut: “Manusia ini yang terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis pendekatan pikiranketika ia berpaling dari ini dan mencapai Kearahatan, pencapaian tertinggi, ia melakukannya dengan berlandaskan pada keempat landasan ini.” Keempat landasan ini akan dijelaskan secara terpisah pada bagian selanjutnya, §§12-29.

1271) MA: Sejak awal seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan yang muncul dari konsentrasi dan pandangan terang untuk menembus kebijaksanaan buah Kearahatan. Ia harus mempertahankan ucapan jujur untuk mencapai Nibbāna, kebenaran tertinggi. Ia harus melatih pelepasan kekotoran untuk melepaskan segala kekotoran melalui jalan Kearahatan. Sejak awal ia harus berlatih dalam penenangan kekotoran untuk menenangkan segala kekotoran melalui jalan Kearahatan. Demikianlah kebijaksanaan, dan seterusnya yang muncul dari ketenangan dan pandangan terang dijelaskan sebagai landasan awal untuk mencapai landasan kebijaksanaan, dan seterusnya (ciri khas Kearahatan).

1272) MA: Tidak-melalaikan kebijaksanaan dijelaskan melalui meditasi pada unsur-unsur. Analisis unsur-unsur di sini identik dengan yang terdapat pada MN 28.6, 11, 16,21, dan MN 62.8-12.

1273) MA: Ini adalah unsur ke enam, yang “tersisa”[ ]dalam itu masih harus dijelaskan oleh Sang Buddha dan harus ditembus oleh Pukkusāti. Di sini dijelaskan sebagai kesadaran yang menyempurnakan pekerjaan perenungan pandangan terang pada unsur-unsur. Di bawah judul kesadaran, perenungan perasaan juga diperkenalkan.

1274) Paragraf ini menunjukkan kondisionalitas perasaan dan ketidakkekalannya melalui lenyapnya kondisinya.

1275) MA mengidentifikasi ini sebagai keseimbangan jhāna ke empat. Menurut MA, Pukkusāti telah mencapai jhāna ke empat dan memiliki kemelekatan kuat pada jhāna itu. Sang Buddha pertama-tama memuji keseimbangan ini untuk menginspirasi keyakinan Pukkusāti, kemudian setahap demi setahap Beliau menuntunnya menuju jhāna-jhāna tanpa materi dan pencapaian jalan dan buah.

1276) Maknanya adalah: Jika ia mencapai landasan ruang tanpa batas dan meninggal dunia selagi masih melekatinya, maka ia akan terlahir kembali di alam ruang tanpa batas dan akan hidup di sana selama umur kehidupan maksimum 20.000 kappa yang ditentukan di alam itu. Di tiga alam tanpa materi yang lebih tinggi, umur kehidupannya berturut-turut adalah 40.000 kappa, 60.000 kappa, dan 84.000 kappa.

1277) MA: ini dikatakan untuk menunjukkan bahaya dalam jhāna-jhāna tanpa materi. Dengan satu frasa, “ini adalah terkondisi”, Beliau menunjukkan: “Bahkan walaupun umur kehidupan di sana adalah 20.000 kappa, namun itu adalah terkondisi, dirancang, dibangun. Dengan demikian maka tidak kekal, tidak stabil, tidak bertahan lama, sementara. Tunduk pada kemusnahan, kehancuran, dan kelenyapan; ini melibatkan kelahiran, penuaan, dan kematian, yang berlandaskan penderitaan. Ini bukanlah suatu naungan, suatu tempat aman, suatu perlindungan. Setelah meninggal dunia dari sana sebagai kaum duniawi, seseorang masih dapat terlahir kembali di empat alam sengsara.

1278) So n’eva abhisankharoti nābhisañcetayati bhavāya vā vibhavāya. Kedua kata kerja ini menyiratkan gagasan kehendak sebagai kekuatan pembangun yang membangun kelangsungan kehidupan terkondisi. Lenyapnya kehendak akan penjelmaan atau tanpa-penjelmaan menunjukkan padamnya keinginan akan kehidupan abadi dan pemusnahan, yang memuncak pada pencapaian Kearahatan.

1279) MA mengatakan bahwa pada titik ini Pukkusāti menembus tiga jalan dan buah, menjadi yang-tidak-kembali. Ia menyadari bahwa gurunya adalah Sang Buddha sendiri, tetapi ia tidak dapat mengungkapkan hal ini karena Sang Buddha masih melanjutkan khotbah-Nya.

1280) Paragraf ini menunjukkan kediaman Arahant dalam unsur Nibbāna dengan sisa (dari faktor-faktor kehidupan yang terkondisi, sa-upādisesa nibbānadhātu). Walaupun ia tetap mengalami perasaan, namun ia bebas dari nafsu terhadap perasaan menyenangkan, dari penolakan terhadap perasaan menyakitkan, dan dari kebodohan terhadap perasaan netral.

1281) Yaitu, ia terus mengalami perasaan hanya selama jasmaninya dengan indria kehidupannya berlangsung, tetapi tidak melampaui itu.

1282) Ini merujuk pada pencapaian unsur-Nibbāna tanpa sisa (anupādisesa nibbānadhātu)lenyapnya segala kehidupan terkondisi melalui kematiannya.

1283) Ini menutup penjelasan atas landasan pertama, yang dimulai pada §13. MA mengatakan bahwa pengetahuan hancurnya segala penderitaan adalah kebijaksanaan yang berhubungan dengan buah Kearahatan.

1284) MA menyebutkan empat jenis perolehan (upadhi) di sini: baca n.674.

1285) “Arus pasang penganggapan” (maññussavā), seperti yang ditunjukkan dalam paragraf berikut ini, adalah pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang berasal-mula dari ketiga akar penganggapankeinginan, keangkuhan, dan pandangan. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, baca n.6. Sang “bijaksana damai” (muni santo) adalah Arahant.

1286) Apa yang tidak ada padanya adalah keinginan akan penjelmaan, yang menuntun mereka yang belum melenyapkannya kembali kepada kelahiran kembali setelah kematian.

1287) MA mengatakan bahwa ia terlahir kembali di Alam Murni yang disebut Avihā dan mencapai Kearahatan segera setelah ia terlahir kembali di sana. MA mengutip sebuah syair dari Saṁyutta Nikāya (SN 1:50/i.35) menyebutkan Pukkusāti sebagai satu dari ketujuh bhikkhu yang terlahir kembali di Avihā dan mencapai pembebasan dengan melampaui belenggu-belenggu surgawi.




SUTTA 141

1288) Ini merujuk pada khotbah pertama Sang Buddha, yang dibabarkan kepada lima bhikkhu di Taman Rusa di Isipatana.

1289) MA: YM. Sāriputta melatih mereka hingga ia mengetahui bahwa mereka telah mencapai buah memasuki-arus, kemudian ia membiarkan mereka mengembangkan jalan-jalan yang lebih tinggi dengan usaha mereka sendiri dan ia melatih kelompok murid yang baru. Tetapi YM. Moggallāna melanjutkan melatih murid-muridnya hingga mereka mencapai Kearahatan.

1290) Definisi kelahiran, penuaan, dan kematian juga terdapat pada MN 9.22, 26. Keseluruhan analisis terperinci dari Empat Kebenaran Mulia ini juga termasuk dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, dengan penjelasan yang bahkan lebih lengkap pada bagian kebenaran ke dua dan ke tiga. Baca DN 22.18-21/ii.305-13.


SUTTA 142

1291) Mahāpajāpatī Gotamī adalah adik perempuan Ratu Mahāmāyā, ibu Sang Buddha, dan juga istri Raja Suddhodana. Setelah kematian Mahāmāyā, ia menjadi ibu tiri Sang Buddha. Sutta ini terjadi pada masa awal pengajaran Sang Buddha, pada salah satu perjalanan-Nya mengunjungi kota asal-Nya. Setelah kematian Raja Suddhodana, Mahāpajāpatī memohon kepada Sang Buddha agar memperbolehkan perempuan bergabung dalam Sangha, dan penerimaannya menandai awal dari Sangha bhikkhunī, kisah ini terdapat pada Vin Cv Kh 10/ii.253-56 (baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.104-7).

Suatu penempatan kejadian pada waktu yang salah ini dicetuskan oleh YM. Ajahn Sucitto dari Vihara Cittaviveka kepada saya. Sutta ini menggambarkan Mahāpajāpatī Gotamī sebagai seorang umat Buddhis yang berbakti dan merujuk pada Sangha Bhikkhunī seolah-olah Sangha Bhikkhunī sudah ada pada masa itu, namun kisah kanonis tentang berdirinya Sangha Bhikkhunī menunjukkan bahwa Mahāpajāpatī adalah bhikkhunī pertama dalam sejarah. Dengan demikian, Sangha Bhikkhunī pasti belum ada pada saat sutta ini dibabarkan jika Mahāpajāpatī masih menjadi seorang umat awam perempuan. Kita dapat memecahkan persoalan perbedaan ini (yang terabaikan oleh komentator) dengan menganggap bahwa khotbah asli telah belakangan dimodifikasi setelah berdirinya Sangha Bhikkhunī agar sesuai dengan skema persembahan kepada Sangha.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~