//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 42974 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #60 on: 20 August 2010, 10:05:20 PM »
22  Alagaddūpama Sutta
Perumpamaan Ular

(SITUASI)

[130] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, suatu pandangan salah telah muncul dalam diri seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, sebagai berikut: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan bertanya kepadanya: “Teman Ariṭṭha, benarkah bahwa suatu pandangan salah telah muncul dalam dirimu?”

“Demikianlah, Teman-teman. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

Kemudian para bhikkhu ini, berniat untuk melepaskannya dari pandangan salah itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Ariṭṭha, jangan berkata demikian. Jangan salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti itu. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang arang menyala … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan pohon yang penuh dengan buah … dengan perumpamaan rumah pemotongan hewan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya.”

Namun walaupun ditekan, dipertanyakan, dan didebat oleh mereka dengan cara ini, Bhikkhu Ariṭṭha, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, masih tetap bersikeras melekati pandangan salah itu dan mempertahankannya.

4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya [131] dari pandangan salah itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Ariṭṭha, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, dari pandangan salah ini, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Ariṭṭha, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, [ ]atas nama-Ku bahwa Sang Guru memanggilnya.”[132] “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Ariṭṭha.”

“Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Ariṭṭha, benarkah bahwa pandangan salah berikut ini telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.’?”

“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

6. “Orang sesat, dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya? Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang arang menyala … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan pohon yang penuh dengan buah … dengan perumpamaan rumah pemotongan hewan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Ariṭṭha ini, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, telah menyalakan bahkan sepercikan kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”

“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”

Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Ariṭṭha, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”

8. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, [133] apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Ariṭṭha ini, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan … betapa besarnya bahaya di dalamnya.”

“Bagus, Para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Ku-ajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah, Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan … betapa besarnya bahaya di dalamnya. Tetapi Bhikkhu Ariṭṭha ini, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, salah memahami kita dengan dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.

9. “Para bhikkhu, bahwa seseorang dapat menekuni kenikmatan indria tanpa keinginan indria, tanpa persepsi keinginan indria, tanpa pikiran keinginan indriaitu adalah tidak mungkin.

(PERUMPAMAAN ULAR)

10. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa orang sesat mempelajari Dhammakhotbah, syair, penjelasan, bait-bait, ungkapan kegembiraan, sabda-sabda, kisah-kisah kelahiran, keajaiban-keajaiban, dan jawaban-jawaban atas pertanyaantetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Tanpa memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka tidak memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Sebaliknya mereka mempelajari Dhamma hanya demi untuk mengkritik orang lain dan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka tidak mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara keliru dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama.

“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar, dan menangkap gulungannya, atau ekornya, ular itu akan berbalik dan mengigit tangannya, atau lengannya, atau anggota tubuh lainnya. [134] dan karena itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Mengapakah? Karena ia menangkap ular itu dengan cara yang salah. Demikian pula, di sini beberapa orang sesat mempelajari Dhamma … Ajaran-ajaran itu, karena secara keliru dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan bencana, dan penderitaan bagi mereka untuk waktu yang lama.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #61 on: 20 August 2010, 10:14:56 PM »
sambungan Alagaddūpama Sutta

 11. “Di sini, Para bhikkhu, beberapa anggota keluarga mempelajari Dhammakhotbah, syair … jawaban-jawaban atas pertanyaantetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Dengan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Mereka bukan mempelajari Dhamma demi untuk mengkritik orang lain dan bukan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara benar dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar, dan menangkapnya dengan benar menggunakan tongkat penjepit, dan setelah itu, mencengkeramnya tepat di lehernya. Kemudian, walaupun ular itu akan membelit tangannya atau lengannya atau bagian tubuh lainnya, tetapi ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan yang mematikan karena belitan itu. Mengapakah? Karena cengkeramannya yang benar pada ular itu. Demikian pula, di sini beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma … Ajaran-ajaran itu, karena secara benar dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi nereka untuk waktu yang lama.

12. “Oleh karena itu, Para bhikkhu, ketika kalian memahami makna dari pernyataan-Ku, ingatlah itu; dan ketika kalian tidak memahami makna dari pernyataan-Ku, maka bertanyalah kepada-Ku atau kepada para bhikkhu yang bijaksana.

(PERUMPAMAAN RAKIT)

13. “Para bhikkhu, Aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati. [ ]Dengarkan dan perhatikanlah apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, misalkan seseorang dalam suatu perjalanannya menjumpai hamparan air yang luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya, dan menakutkan, dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. [135] Kemudian ia berpikir: ‘Hamparan air ini sungguh luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Bagaimana jika aku mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berupaya dengan tangan dan kaki, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang’. Dan kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berupaya dengan tangan dan kaki, ia dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Kemudian, ketika ia telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku mengangkatnya di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan’. Sekarang, Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Dengan melakukan hal itu, apakah orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu? Di sini, Para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan’. Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu, maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu. Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.

14. “Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian harus meninggalkan bahkan kondisi-kondisi yang baik, apalagi kondisi-kondisi yang buruk.

(SUDUT PANDANG BAGI PANDANGAN-PANDANGAN)

15. “Para bhikkhu, terdapat enam sudut pandang bagi pandangan-pandangan ini. [ ]Apakah enam ini? seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati, dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’. [ ]Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’. Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’. Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’. Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’. [ ]Dan sudut pandang bagi pandangan ini, yaitu: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; [136] aku akan bertahan selamanya’ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’.

16. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil, dan disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Dan sudut pandang bagi pandangan ini, yaitu: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya’ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’.

17. “Karena ia beranggapan demikian, maka ia tidak terganggu dengan apa yang tidak ada.”

(GANGGUAN)

18. Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, Bhikkhu, beberapa orang berpikir: ‘Aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’. Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah, bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”

19. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”

“Mungkin saja, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, Bhikkhu, beberapa orang tidak berpikir: ‘Aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’. Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya, dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah, bagaimana ketidakmunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”

20. “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”

“Mungkin saja, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, Bhikkhu, beberapa orang berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya’. Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan keinginan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia [137] berpikir: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi’! Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya, dan menjadi kebingungan. Demikianlah, bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #62 on: 21 August 2010, 01:04:24 AM »
Tambahan  49  Brahmanimantanika Sutta


2. di bawah pohon sāla besar. [ ]Pada saat itu,

3. ‘Silakan, Tuan! Selamat datang, Tuan!
Sekarang, Tuan, ini kekal, ini bertahan selamanya

4. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberi tahu Brahmā Baka

5. anggota kelompok Brahmā, [ ]dan ia berkata kepada-Ku: ‘Bhikkhu, Bhikkhu, jangan mencelanya, jangan mencelanya
mahakuasa, maha pembuat dan pencipta
Jika Engkau melampaui kata-kata Brahmā, Bhikkhu, maka, bagaikan seseorang yang yang berusaha
itulah yang akan menimpa-Mu, Bhikkhu

6. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberi tahu Māra:
“Yang ini juga telah jatuh ke dalam genggamanku, yang ini juga telah jatuh ke dalam kekuatanku.”; tetapi Aku

7. Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepada-Mu:
Jika engkau menggenggam tanah, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, bagiku untuk melakukan kehendakku dan menghukum. [ ]Jika engkau menggenggam air

8. “Aku juga mengetahui hal itu, Brahmā.

Sekarang, Tuan, bagaimanakah Engkau memahami jangkauan dan kekuasaan-Mukekuasaanku sejauh itu’?

9.   “Sejauh bulan dan matahari berputar

10. “Tetapi, Brahmā, terdapat tiga tubuh lain,
berdiam di sini cukup lama, ingatanmu akan hal itu telah hilang

Terdapat, tubuh yang disebut [para dewa] dengan Keagungan Gemilang

11. “Brahmā, setelah dengan secara langsung
Aku tidak menegaskan tanah. [ ]Demikianlah, Brahmā

12-23. “Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui air sebagai air
sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap ... [ ]para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang ... [ ] para dewa dengan Buah Besar

24. “Tuan, Jika tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan,

25. “Kesadaran yang tidak terwujud,

26. “Tuan, aku akan menghilang

Menghilanglah dari hadapan-Ku jika engkau mampu, Brahmā

Menghilanglah dari hadapanku jika engkau mampu, Tuan

27.  “Setelah melihat ketakutan dalam penjelmaan

29. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu pengikut Kelompok Brahmā, dan berkata kepada-Ku:
itu adalah apa yang telah Engkau temukan,
Maka, Bhikkhu, aku beri tahukan kepada-Mu:

30. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberi tahu Māra
Beliau tetap seorang Tathāgata. [ ]Jika Sang Tathāgata menuntun para siswa-Nya,

31. Demikianlah, karena Māra tidak mampu menjawab, dan karena [diawali] dengan undangan Brahmā, maka khotbah ini dinamakan “Tentang Undangan Brahmā”.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #63 on: 21 August 2010, 07:50:30 PM »
25  Nivāpa Sutta
Umpan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, pemburu rusa tidak meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘Semoga kelompok-kelompok rusa itu menikmati umpan yang kuletakkan ini dan dengan demikian dapat berumur panjang dan indah dan berumur panjang’. Pemburu rusa meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘kelompok-kelompok rusa itu akan memakan makanan ini dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan yang telah kuletakkan ini; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu akan menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu akan menjadi lengah; ketika lengah, aku dapat melakukan apa pun yang kuinginkan terhadap mereka karena umpan ini’.

3. “Sekarang rusa kelompok pertama memakan makanan itu dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan yang telah diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu menjadi lengah; ketika lengah, pemburu rusa itu melakukan apa pun yang ia inginkan terhadap mereka karena umpan ini. Demikianlah bagaimana rusa kelompok pertama itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

4. “Sekarang rusa kelompok ke dua memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, [152] tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami semuanya menghindari makanan umpan itu; dengan menghindari kenikmatan yang menakutkan itu, kami akan pergi ke dalam hutan belantara dan menetap di sana’. dan mereka melakukan hal itu. Tetapi pada bulan terakhir musim panas ketika rerumputan dan air sudah habis, badan mereka menjadi sangat kurus; mereka kehilangan kekuatan dan tenaga mereka; ketika mereka telah kehilangan tenaga dan kekuatan, mereka kembali ke umpan yang sama yang diletakkan oleh si pemburu rusa. Mereka memakan makanan itu dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan itu; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu menjadi lengah; ketika lengah, pemburu rusa itu melakukan apa pun yang ia inginkan terhadap mereka karena umpan ini. Demikianlah bagaimana rusa kelompok ke dua itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

5. “Sekarang rusa kelompok ke tiga memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Rusa kelompok ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di dekat umpan pemburu itu. [153] Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan demikian, kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, pemburu rusa itu tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami karena umpan itu’. Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian pemburu rusa itu dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Rusa-rusa kelompok ke tiga ini licik dan cerdik bagaikan tukang sihir. Mereka memakan umpan yang diletakkan tanpa kita mengetahui bagaimana mereka datang dan pergi. Bagaimana jika kami mengelilingi umpan ini lebih luas dengan pagar dari dahan-dahan; kemudian mungkin kami dapat menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke tiga ini, ke mana mereka bersembunyi’. Demikianlah mereka melakukan hal itu, dan mereka melihat tempat tinggal rusa kelompok ke tiga, ke mana mereka bersembunyi. Dan demikianlah bagaimana rusa kelompok ke tiga itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

6. “Sekarang rusa kelompok ke empat memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Rusa kelompok ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Dan rusa dari kelompok ke tiga, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama [154] dan juga kegagalan rusa kelompok ke dua, dan dengan perencanaan hati-hati untuk bertempat tinggal di dekat umpan, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di tempat di mana pemburu rusa dan para pengikutnya tidak dapat mendatanginya. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan demikian, kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, [155] pemburu rusa itu tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami karena umpan itu’. Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian pemburu rusa itu dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Rusa-rusa kelompok ke empat ini licik dan cerdik bagaikan tukang sihir. Mereka memakan umpan yang diletakkan tanpa kita mengetahui bagaimana mereka datang dan pergi. Bagaimana jika kami mengelilingi umpan ini lebih luas dengan pagar dari dahan-dahan; kemudian mungkin kami dapat menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke empat ini, ke mana mereka bersembunyi’. Demikianlah mereka melakukan hal itu, tetapi mereka tidak menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke empat, ke mana mereka bersembunyi. Kemudian si pemburu rusa dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Jika kami menakuti rusa kelompok ke empat ini, karena ketakutan, mereka akan memperingatkan yang lain, dan karenanya kelompok-kelompok rusa akan meninggalkan umpan yang telah kami letakkan. Bagaimana jika kami membiarkan rusa kelompok ke empat ini’. Mereka melakukan hal itu. Dan demikianlah bagaimana rusa kelompok ke empat itu berhasil terbebaskan dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

7. “Para bhikkhu, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan sebuah makna. Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Umpan’ adalah sebutan bagi kelima utas kenikmatan indria. ‘Pemburu rusa’ adalah sebutan bagi Māra si Jahat. ‘Para pengikut pemburu rusa’ adalah sebutan bagi para pengikut Māra. ‘Kelompok rusa’ adalah sebutan bagi para petapa dan brahmana.

8. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis pertama memakan makanan dengan tanpa kewaspadaan dan langsung mendatangi umpan dan benda-benda materi duniawi yang diletakkan oleh Māra; [156] dengan melakukan hal itu, mereka menjadi mabuk, mereka menjadi lengah; ketika mereka lengah, Māra melakukan apa pun yang ia inginkan terhadap mereka karena umpan dan benda-benda materi duniawi tersebut. Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis pertama gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok pertama.

9. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke dua memperhitungkan: ‘Para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami menghindari umpan makanan dan benda-benda materi duniawi; dengan menghindari kenikmatan yang menakutkan itu, kami akan masuk ke hutan belantara dan menetap di sana’. dan mereka melakukan hal itu. Mereka adalah pemakan sayur-sayuran dan padi-padian atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Mereka hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan, mereka memakan buah-buahan yang jatuh.

“Tetapi pada bulan terakhir musim panas ketika rerumputan dan air sudah habis, badan mereka menjadi sangat kurus; mereka kehilangan kekuatan dan tenaga mereka; ketika mereka telah kehilangan tenaga dan kekuatan, mereka menjadi kehilangan kebebasan pikiran; [ ]dengan hilangnya kebebasan pikiran, mereka kembali ke umpan yang sama yang diletakkan oleh Māra dan benda-benda materi duniawi; mereka memakan makanan dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan itu; dengan melakukan hal itu, mereka menjadi mabuk; ketika mabuk, mereka menjadi lengah; ketika lengah, Māra melakukan apa pun yang ia inginkan terhadap mereka karena umpan dan benda-benda materi duniawi itu. Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis ke dua itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. [157] Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke dua.

10. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke tiga memperhitungkan: ‘Para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana jenis ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di dekat umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi; dengan melakukan demikian, kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, Māra tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami karena umpan dan benda-benda materi duniawi itu’. Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian mereka menganut pandangan-pandangan seperti ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’ dan ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’ dan ‘jiwa dan badan adalah sama’ dan ‘ jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’ dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian’. [ ][158] Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis ke tiga itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke tiga.

11. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke empat memperhitungkan: ‘Para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana jenis ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Dan para petapa dan brahmana jenis ke tiga, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama dan juga kegagalan para petapa dan brahmana jenis ke dua, dan dengan perencanaan hati-hati untuk bertempat tinggal di dekat umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di tempat di mana Māra dan para pengikutnya tidak dapat mendatanginya. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh Māra dan benda-benda materi duniawi; dengan melakukan demikian, kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, Māra tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami karena umpan dan benda-benda materi duniawi itu’. Dan mereka melakukannya. [159] Dan demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana itu berhasil terbebas dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke empat.

12. “Dan di manakah Māra dan pengikutnya tidak dapat mendatangi? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

13.  “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

14. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan dengan jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia berdiam dalam kenyamanan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian’. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

15. “Kemudian, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kesenangan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

16. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa perhatian pada keragaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

17. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

18. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [160] menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa’, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra ….

19. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

20. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya, dan telah menyeberang melampaui kemelekatan terhadap dunia.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


ko indra, yg paragraf no. 2, "berumur panjang" nya ada 2x.. mau diganti slh satuny?
« Last Edit: 21 August 2010, 07:55:19 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #64 on: 21 August 2010, 08:36:11 PM »
tambahan 23  Vammika Sutta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang
Anāthapiṇḍika. [ ]Pada saat itu Yang Mulia Kumāra

di satu sisi. [ ]Sambil berdiri, dewa itu

4. bubur, [ ]dan tunduk pada ketidakkekalan,

kebodohan. [ ]‘Buanglah palang itu: tinggalkanlah kebodohan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’.[ ]Ini adalah maknanya.

“Kodok adalah perumpamaan bagi keputusasaan karena kemarahan: ‘Buanglah kodok itu: tinggalkanlah
keputusasaan karena kemarahan. Galilah dengan pisau,

“Garpu adalah perumpamaan bagi keragu-raguan. [ ]‘Buanglah garpu

“Saringan adalah perumpamaan bagi kelima rintangan, yaitu: rintangan keinginan

kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, [ ]yaitu:

kenikmatan indriabentuk-bentuk yang dikenali

“Sepotong daging adalah perumpamaan bagi kesenangan dan nafsu. [ ]‘Buanglah

“Ular Nāga adalah perumpamaan bagi seorang bhikkhu yang telah menghancurkan noda-noda. [ ]‘Biarkanlah
« Last Edit: 21 August 2010, 08:39:15 PM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #65 on: 21 August 2010, 09:13:48 PM »
tambahan 24  Rathavinīta Sutta

1. KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang

2. asal [Sang Bhagavā], [ ]yang melewatkan musim
bhikkhu di sana, oleh teman
penglihatan kebebasan; [ ]ia adalah seorang yang menasihati
menasihati, memberi tahu, memberi instruksi, mendesak, [146] membangkitkan, dan mendorong teman-temannya dalam kehidupan

“Yang Mulia, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sangat dihormati di negeri asal

3. Pada saat itu, Yang Mulia Sāriputta sedang duduk di dekat

7. Hutan Orang Buta dan duduk [ ]di bawah sebatang pohon untuk


9. “Apakah kehidupan suci dijalankan di bawah Sang Bhagavā kita, Teman?”“Benar, Teman.”“Tetapi, Teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah demi pemurnian pikiran maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah demi pemurnian pandangan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah demi pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman.”

10. Ketika ditanya: ‘Kalau begitu, apakah demi pemurnian pikiran … pemurnian pandangan  … pemurnian dengan]

11. “Tetapi, Teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?”“Bukan, Teman.”“Kalau begitu, apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?”“Bukan, Teman.”“Tetapi, Teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?”“Tidak, Teman.”

12. Ketika ditanya: ‘Kalau begitu, apakah pemurnian pikiran … pemurnian pandangan

13. Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. [ ]Dan jika Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai

berikut: ‘Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī, aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di

15.  Adalah demi untuk [ ]mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”
Bahkan, jika dengan membawa Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta di atas alas duduk, di atas kepala mereka agar teman-temannya

17. menyerupai Sang Guru sendiri. [ ]Jika kami mengetahui sebelumnya bahwa engkau adalah Yang Mulia Sāriputta

Bahkan, jika dengan membawa Yang Mulia Sāriputta di atas alas duduk, di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, [151] itu

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #66 on: 21 August 2010, 10:50:42 PM »
tambahan 23  Vammika Sutta

1. Pada saat itu, Yang Mulia Kumāra Kassapa sedang menetap di Hutan Orang Buta.

2. “Bhikkhu, Bhikkhu, gundukan sarang semut ini berasap

‘Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah palang: ‘Sebuah palang, O, Yang Mulia’.

‘Buanglah palang itu; galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kodok: ‘Seekor kodok, O, Yang Mulia’.

‘Buanglah kodok itu; galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah garpu: ‘Sebuah garpu, O, Yang Mulia’.

‘Buanglah garpu itu; galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah saringan: ‘Sebuah saringan, O, Yang Mulia’.

‘Buanglah saringan itu; galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kura-kura: ‘Seekor kura-kura, O, Yang Mulia’.

‘Buanglah kura-kura itu; galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah parang dan balok pengganjal: ‘Sebuah parang dan balok pengganjal, O, Yang Mulia’.

‘Buanglah parang dan balok pengganjal itu; galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sepotong daging: ‘Sepotong daging, O, Yang Mulia’.

‘Buanglah sepotong daging itu; galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor ular Nāga: ‘Seekor ular Nāga, O, Yang Mulia’.

aku tidak melihat seorang pun di dunia ini

3. ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā

“Perbuatan yang dilakukan pada siang hari oleh jasmani, ucapan, dan, pikiran

Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’

“Kodok adalah perumpamaan bagi keputusasaan karena kemarahan[:][.] ‘Buanglah kodok itu: tinggalkanlah

Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

Galilah dengan pisau, Wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #67 on: 22 August 2010, 12:46:22 AM »
Tambahan
24  Rathavinīta Sutta


2. “Para bhikkhu, siapakah yang di negeri asal[-Ku] yang dihormati oleh para bhikkhu di sana, oleh teman

5. Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, setelah menerima instruksi, dinasihati

6. dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari.

7. Kemudian Yang Mulia Puṇa Mantāṇiputta memasuki Hutan Orang Buta

10. Kalau begitu demi apakah, Teman, [148] kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”


12. “Ketika ditanya: ‘Tetapi, Teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan’? Engkau menjawab: ‘Bukan, Teman’. Ketika ditanya: ‘Kalau begitu, apakah pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan? Engkau menjawab: ‘Bukan, Teman’. Tetapi bagaimanakah, Teman, makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami?”

14. dan dengan mengendarai kereta pertama, ia akan tiba di kereta ke dua;

‘Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī, aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di
dan dengan mengendarai kereta pertama, aku tiba di kereta ke dua;
Untuk menjawabnya dengan benar, ia harus menjawab demikian.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #68 on: 24 August 2010, 02:16:28 AM »
Tambahan
22  Alagaddūpama Sutta


3. dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpamaan tulang-belulang

5. beri tahu Bhikkhu Ariṭṭha, yang dulunya adalah

tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya[.]’?”

6. dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpamaan tulang-belulang

8. dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpamaan tulang-belulang

“Bagus, Para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian.
dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpamaan tulang-belulang

10. mengigit tangannya, atau lengannya, atau anggota tubuh lainnya. [134] Dan karena itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

11. akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mnereka untuk waktu yang lama.

13. Bagaimana jika aku mengangkatnya di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi ke mana pun yang kuinginkan’.

Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi ke mana pun yang kuinginkan’.
Sekarang, Para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu, maka orang itu melakukan apa yang seharusnya

15. Apakah enam ini? Seorang biasa yang tidak terlatih,

18. “Mungkin saja, Bhikkhu,”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #69 on: 24 August 2010, 02:56:02 AM »
27  Cūḷahatthipadopama Sutta
Khotbah Pendek tentang Perumpamaan
Jejak Kaki Gajah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, Brahmana Jāṇussoṇi sedang berkendara keluar dari Sāvatthī di siang hari dengan mengendarai kereta yang putih seluruhnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih. Dari jauh ia melihat Pengembara Pilotika datang dan bertanya kepadanya: “Dari manakah Guru Vacchāyana datang di siang hari ini?”

“Tuan, aku datang dari hadapan Petapa Gotama.”

“Bagaimanakah menurut Guru Vacchāyana sehubungan dengan kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana atau tidak?”

“Tuan, siapakah aku yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Hanya seorang yang setara dengan Beliau yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama.”

“Guru Vacchāyana memuji Petapa Gotama dengan sangat tinggi.”

“Tuan, siapakah aku yang dapat memuji Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh pujian sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

“Apakah alasan yang Guru Vacchāyana lihat hingga ia memiliki keyakinan demikian pada Petapa Gotama?”

3. “Tuan, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu [176] jejak kaki gajah yang besar, panjang dan lebar. Ia kan berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah yang besar.’ Demikian pula, ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’ Apakah empat ini?

4. “Tuan, aku telah melihat di sini para mulia terpelajar tertentu yang cerdas, memiliki pengetahuan tentang ajaran-ajaran lain, secerdas para penembak pembelah rambut; mereka mengembara, sebagaimana seharusnya, meruntuhkan pandangan-pandangan lain dengan ketajaman kecerdasan mereka. Ketika mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa-desa atau kota itu’, mereka menyusun pertanyaan sebagai berikut: ‘Kami akan menemui Petapa Gotama dan mengajukan pertanyaan ini kepada Beliau. Jika ia ditanya seperti ini, maka Beliau akan menjawab seperti ini, dan kemudian kami akan membantah ajaran-Nya dengan cara ini; dan jika ia ditanya seperti itu, maka Beliau akan menjawab seperti itu, dan kemudian kami akan menbantah ajaran-Nya dengan cara itu’.

“Mereka mendengar: ‘Petapa Gotama telah datang mengunjungi desa atau kota itu’. Mereka pergi menemui Petapa Gotama, dan Petapa Gotama memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorong mereka dengan khotbah Dhamma. Setelah mereka menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Petapa Gotama dengan khotbah Dhamma, mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki pertama Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik’.

5. “Kemudian, aku telah melihat para brahmana terpelajar tertentu yang cerdas ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke dua Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...’.

6. “Kemudian, aku telah melihat para perumah tangga terpelajar tertentu yang cerdas ... [177] ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke tiga Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...’.

7. “Kemudian, aku telah melihat para petapa terpelajar tertentu yang cerdas ... mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah memohon agar Petapa Gotama mengizinkan mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada mereka. Tidak lama setelah mereka meninggalkan keduniawian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan kehidupan tanpa rumah dan menjalani kehidupan rumah tangga. Mereka berkata sebagai berikut: ‘Kami hampir saja musnah, kami hampir saja binasa, karena sebelumnya kami mengaku bahwa kami adalah para petapa walaupun kami bukanlah para petapa yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para brahmana walaupun kami bukanlah para brahmana yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para Arahant walaupun kami bukanlah para Arahant yang sesungguhnya. Tetapi sekarang kami adalah para petapa, sekarang kami adalah para brahmana, sekarang kami adalah para Arahant’. Ketika aku melihat jejak kaki ke empat Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...’.

“Ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik’.

8. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi turun dari kereta putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan itu tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Mungkin suatu saat atau di saat lainnya [178] kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berbincang-bincang dengan Beliau.”

9. Kemudian Brahmana Jāṇussoṇi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan menceritakan kepada Sang Bhagavā tentang seluruh percakapannya dengan Pengembara Pilotika. Setelah itu, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Pada titik ini, Brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu belum sepenuhnya selesai secara terperinci. Sehubungan dengan bagaimana menyelesaikannya secara terperinci, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”Baik, Yang Mulia,” Brahmana Jāṇussoṇi menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

10. “Brahmana, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu jejak kaki gajah yang besar, panjang, dan lebar. Ia tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar’. Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina kecil yang meninggalkan jejak kaki yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang, dan lebar, dan beberapa gesekan tinggi. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar’. Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gigi yang panjang dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang, dan lebar, dan beberapa gesekan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar’. Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gading dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, , dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang, dan lebar, dan beberapa gesekan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading, dan dahan-dahan yang patah. Dan ia melihat gajah jantan itu di bawah sebatang pohon atau di tempat terbuka, berjalan, duduk, atau berbaring. Ia sampai pada kesimpulan: ‘Ini adalah gajah jantan besar itu’.

11. “Demikian pula, [179] Brahmana, di sini seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau menyatakan pada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, pada generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.

12.  “Seorang perumah tangga atau putra perumah tangga atau seseorang yang terlahir dalam salah satu kasta lainnya mendengar Dhamma itu. Setelah mendengar Dhamma, ia memperoleh keyakinan pada Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, ia merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam rumah, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna seperti kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’. [ ]Kemudian pada kesempatan lainnya, dengan meninggalkan keuntungan kecil atau besar, dengan meninggalkan lingkaran keluarga kecil atau besar, ia mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

13. “Setelah meninggalkan keduniawian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasih pada semua makhluk. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil hanya apa yang diberikan, menerima hanya apa yang diberikan, dengan tidak mencuri, ia berdiam dalam kemurnian. Meninggalkan kehidupan tidak-selibat, ia melaksanakan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari praktik vulgar hubungan seksual.

“Dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; ia mengatakan kebenaran, terikat pada kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, seorang yang bukan penipu dunia. Dengan menghindari ucapan jahat, ia menghindari ucapan jahat; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga tidak mengulangi pada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia menjadi seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, senang dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menganjurkan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang [180] dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat, ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia berlatih makan hanya dalam satu bagian siang hari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. [ ]Ia menghindari menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan hiburan. Ia menghindari mengenakan kalung bunga, mengharumkan dirinya dengan wewangian, dan menghias dirinya dengan salep. Ia menghindari dipan yang tinggi dan besar. Ia menghindari menerima emas dan perak. Ia menghindari menerima beras mentah. Ia menghindari menerima daging mentah. Ia menghindari menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis. Ia menghindari menerima budak laki-laki dan perempuan. Ia menghindari menerima kambing dan domba. Ia menghindari menerima unggas dan babi. Ia menghindari menerima gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina. Ia menghindari menerima ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan penyampai pesan. Ia menghindari membeli dan menjual. Ia menghindari timbangan salah, logam salah, dan ukuran salah. Ia menghindari kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.

14. “Ia menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke mana pun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Bagaikan seekor burung, ke mana pun ia pergi, ia terbang hanya dengan sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula bhikkhu itu menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke mana pun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa cela.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #70 on: 24 August 2010, 10:52:47 PM »
15. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. [ ]Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, [181] ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian mulia akan indria-indria ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa noda.

16. “Ia menjadi seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju maupun mundur; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan maupun ke belakang; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika menunduk maupun menegakkan badan; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika buang air besar maupun buang air kecil; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun tidur, berjalan, berbicara, dan berdiam diri.

17. “Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, dan pengendalian mulia atas indria-indria ini, dan memiliki perhatian mulia dan kewaspadaan mulia ini, ia mencari tempat tinggal yang terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

18.  “Setelah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan, ia duduk bersila, menegakkan badannya, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. [ ]Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelaskasihan bagi kesejahteraan semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan terbebas dari kelambanan dan ketumpulan, seorang yang melihat cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam dengan tanpa kegelisahan dengan batin yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan akan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

19. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidakmurnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik’.

20. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia [182] belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’.

21. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian’. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’.

22. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kesenangan dan memiliki kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’.

23. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’. [183]

24. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka … (seperti Sutta 4, §29) …  Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’.

25. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan[.]’; … ‘Ini adalah noda-noda’; … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’ … ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik’. Tetapi, ia masih dalam proses menuju pada kesimpulan ini.

26. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, batinnya terbebas dari noda keinginan indria, [184] bebas dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan’. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’.

“Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata. Pada titik ini, seorang siswa mulia telah sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik’.  Dan pada titik ini, Brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu selesai secara terperinci.

27. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini, sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”


ko indra, yg no. 16 & 25, yg digarisbawahi,
ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun tidur, berjalan, berbicara, dan berdiam diri.
"berjalan" ada 2x, mmg kelebihan ato mau ganti translatenya?

trs yg "memahami mengetahui",
Ia memahami mengetahui sebagaimana adanya:
mmg begitu ato kelebihan?
« Last Edit: 24 August 2010, 10:58:22 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #71 on: 25 August 2010, 12:12:07 AM »


ko indra, yg no. 16 & 25, yg digarisbawahi,
ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun tidur, berjalan, berbicara, dan berdiam diri.
"berjalan" ada 2x, mmg kelebihan ato mau ganti translatenya?

trs yg "memahami mengetahui",
Ia memahami mengetahui sebagaimana adanya:
mmg begitu ato kelebihan?


no 16. "berjalan" yg ke-2 seharusnya tidak ada

no. 25. seharusnya "ia memahami sebagaimana adanya ..."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #72 on: 25 August 2010, 01:04:36 AM »
28  Mahāhatthipadopama Sutta
Khotbah Panjang tentang Perumpamaan
Jejak Kaki Gajah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: ‘Teman-teman, para bhikkhu.”“Teman.” Mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, bagaikan jejak kaki makhluk hidup apa pun juga yang berjalan dapat masuk ke dalam jejak kaki gajah, dan dengan demikian jejak kaki gajah dinyatakan sebagai pemimpinnya karena ukurannya yang besar; demikian pula, semua kondisi-kondisi bermanfaat dalam dimasukkan dalam Empat Kebenaran Mulia. [ ]Dalam empat apakah? Dalam kebenaran mulia tentang penderitaan, [185] dalam kebenaran mulia tentang asal-mula penderitaan, dalam kebenaran mulia lenyapnya penderitaan, dan dalam kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan.

3. “Dan apakah kebenaran mulia tentang penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.

4. “Dan apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan? Yaitu: kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan.

5. “Dan apakah kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan? Yaitu empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama. Dan apakah empat unsur utama ini? Yaitu unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur angin.

(UNSUR TANAH)

6. “Apakah, Teman, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan menempel; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sum-sum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, kotoran, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. [ ]Sekarang, baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. [ ]Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur tanah.

7. “Sekarang, ada saatnya ketika unsur tanah itu terganggu dan kemudian unsur tanah eksternal lenyap. [ ]Ketika bahkan unsur tanah eksternal ini, yang begitu dahsyat, terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku’.

8. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: [ ]‘Perasaan menyakitkan ini yang muncul dari kontak-telinga telah muncul padaku. Yang begantung, bukan tidak bergantung. Bergantung pada apakah? [186] Bergantung pada kontak’. [ ]Kemudian ia melihat bahwa kontak adalah tidak kekal, bahwa perasaan adalah tidak kekal, dan bahwa kesadaran adalah tidak kekal. Dan pikirannya, setelah menjadikan suatu unsur sebagai objek pendukungnya, masuk ke dalam [objek pendukung yang baru itu] dan memperoleh keyakinan, kekukuhan, dan keteguhan.

9. “Sekarang, jika orang lain menyerang bhikkhu itu dalam cara yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan tidak menyenangkan, melalui kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau, ia memahami: ‘Jasmani ini memiliki sifat bahwa kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerangnya. [ ]Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam “nasihat tentang perumpamaan gergaji”: “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji berpegangan ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaran-Ku.” [ ]Maka kegigihan tanpa lelah akan dibangkitkan dalam diriku dan perhatian tanpa kendur terbentuk, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Dan sekarang biarlah kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerang jasmani ini; karena ini adalah bagaimana ajaran Buddha dipraktikkan’.

10. “Ketika bhikkhu itu merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam dirinya, maka ia membangkitkan dorongan sebagai berikut: ‘Adalah kerugian bagiku, bukan keberuntungan, adalah keburukan bagiku, bukan kebaikan, bahwa ketika aku merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam diriku’. [ ]Seperti halnya ketika seorang menantu-perempuan melihat ayah mertuanya, ia membangkitkan dorongan [untuk menyenangkannya], demikian pula, ketika bhikkhu itu merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam dirinya, maka ia membangkitkan dorongan. Tetapi jika, ketika ia merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat  terbentuk dalam dirinya, [187] maka ia menjadi puas dengannya. Pada titik ini, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR AIR)

11. “Apakah, Teman, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, cair, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, cair, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang, baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

12. “Sekarang, ada saatnya ketika unsur air eksternal terganggu. Air menghanyutkan desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Ada saatnya ketika air di samudra surut seratus liga, dua ratus liga, tiga ratus liga, empat ratus liga, lima ratus liga, enam ratus liga, tujuh ratus liga. Ada saatnya ketika air di samudra sedalam tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … sedalam dua pohon palem, hanya sedalam satu pohon palem. Ada saatnya ketika air di samudra sedalam tujuh depa, sedalam enam depa … sedalam dua depa, hanya sedalam satu depa. Ada saatnya ketika air di samudra sedalam setengah depa, hanya setinggi pinggang, hanya selutut, hanya semata kaki. Ada saatnya ketika air di samudra tidak mencukupi bahkan hanya untuk membasahi sendi jari tangan. Ketika bahkan unsur air eksternal ini, yang begitu dahsyat, [188] terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku’.

13-15. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … (ulangi §§8-10) … Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.


yg no. 2, semua kondisi-kondisi bermanfaat dalam dimasukkan dalam Empat Kebenaran Mulia
mksdnya "dapat" ato didelete?

no. 6, Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan menempel;
apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati

satu "menempel", satu "dilekati", sdgkn yg 3 unsur selebihnya di paragraf bawah ga pake "menempel" lg, dua2nya "dilekati".  mau ikut yg mana?
« Last Edit: 25 August 2010, 01:16:55 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #73 on: 25 August 2010, 01:06:14 AM »
sambungan 28  Mahāhatthipadopama Sutta

(UNSUR API)

16. “Apakah, Teman, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang, baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

17. “Sekarang, ada saatnya ketika unsur api eksternal terganggu. Api membakar desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Api itu padam karena habisnya bahan bakar hanya ketika api itu mencapai rumput hijau, atau jalan, atau batu, atau air, atau ruang terbuka. Ada saatnya ketika mereka menyalakan api bahkan dengan bulu ayam dan kulit kupasan buah. Ketika bahkan unsur api eksternal ini, yang begitu dahsyat, [ ]terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku’.

18-20. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … (ulangi §§8-10) … Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR UDARA)

21. “Apakah, Teman, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apa pun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, napas masuk, napas keluar, atau apa pun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang, baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur angin dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur angin. [189]

22. “Sekarang, ada saatnya ketika unsur udara eksternal terganggu. Angin menyapu desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Ada saatnya di bulan terakhir musim panas ketika mereka membuat angin dengan menggunakan kipas atau tiupan dan bahkan rumbai jerami di tepi atap jerami tidak bergerak. Ketika bahkan unsur udara eksternal ini, yang begitu dahsyat, [ ]terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku’.

23-25. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … [190] (ulangi §§8-10) … Pada titik ini, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

26. “Teman-teman, seperti halnya ketika suatu ruang dikelilingi oleh kayu dan tanaman menjalar, rumput, dan tanah liat, maka itu disebut ‘rumah’, demikian pula, ketika suatu ruang dikelilingi oleh tulang dan urat, daging dan kulit, maka itu disebut ‘bentuk materi’.

27. “Jika, Teman-teman, secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, dan tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian. [ ]Jika, secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap dan ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, tetapi tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian. Tetapi jika secara internal, mata dalam kondisi baik dan lengkap dan ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, dan ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi[ ], maka ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.

28. “Bentuk materi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur materi yang terpengaruh oleh kemelekatan. [ ]Perasaan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Persepsi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Bentukan-bentukan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kesadaran dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ia memahami sebagai berikut: ‘Sungguh, ini adalah bagaimana terjadinya kebersamaan, pertemuan, dan berkumpulan hal-hal ke dalam lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini. Sekarang ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Seorang yang melihat [191] sebab-akibat yang saling bergantungan melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma melihat sebab-akibat yang saling bergantungan melihat Dhamma.” [ ]Dan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah muncul bergantungan. Keinginan, kegemaran, kecenderungan, dan cengkeraman yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah asal-mula penderitaan. [ ]Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah lenyapnya penderitaan’. Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

29-30. “Jika, Teman-teman, secara internal telinga dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada suara-suara dalam jangkauan pendengaran (seperti pada §§27-28) … Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

31-32. “Jika, Teman-teman, secara internal hidung dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada bau-bauan dalam jangkauan penciuman … Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

33-34. “Jika, Teman-teman, secara internal lidah dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada rasa kecapan dalam jangkauan pengecapan … Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

35-36. “Jika, Teman-teman, secara internal badan dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada objek-objek sentuhan dalam jangkauan sentuhan … Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

37. “Jika, Teman-teman, secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada objek-objek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, dan tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian. [ ]Jika, secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap dan ada objek-objek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, tetapi tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian. [ ]Tetapi jika secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap dan ada objek-objek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, dan ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi[ ], maka ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.

38. “Bentuk materi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur materi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Perasaan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Persepsi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Bentukan-bentukan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kesadaran dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ia memahami sebagai berikut: ‘Sungguh, ini adalah bagaimana terjadinya kebersamaan, pertemuan, dan berkumpulan hal-hal ke dalam lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini’. Sekarang ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Seorang yang melihat sebab-akibat yang saling bergantungan melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma melihat sebab-akibat yang saling bergantungan melihat Dhamma.” Dan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah muncul bergantungan. Keinginan, kegemaran, kecenderungan, dan cengkeraman yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah asal-mula penderitaan. Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah lenyapnya penderitaan’. Pada titik ini juga, Teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #74 on: 25 August 2010, 01:20:47 AM »
2. “Para bhikkhu, pemburu rusa tidak meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘Semoga kelompok-kelompok rusa itu menikmati umpan yang kuletakkan ini dan dengan demikian dapat berumur panjang dan indah dan berumur panjang’. Pemburu rusa meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘kelompok-kelompok rusa itu akan memakan makanan ini dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan yang telah kuletakkan ini; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu akan menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu akan menjadi lengah; ketika lengah, aku dapat melakukan apa pun yang kuinginkan terhadap mereka karena umpan ini’.

ko indra, yg paragraf no. 2, "berumur panjang" nya ada 2x.. mau diganti slh satuny?

ini jg ko? tar kelupaan  ;D
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~