//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 42900 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #30 on: 12 August 2010, 09:35:47 PM »
15  Anumāna Sutta
Kesimpulan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang menetap di Negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakalā, Taman Rusa. Di sana ia memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.”“Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu berkata sebagai berikut: ‘Semoga Para Mulia menasihati aku, [ ]aku ingin dinasihati oleh Para Mulia’, namun jika ia sulit dinasihati dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dinasihati, jika ia tidak sabar dan tidak menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya tidak dinasihati atau tidak diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang tidak dapat dipercaya.

3. “Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya sulit dinasihati?
(1) Di sini seorang bhikkhu memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat; [ ]ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.
(2) Kemudian, seorang bhikkhu memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.
(3) Kemudian, seorang bhikkhu marah dan dikuasai oleh kemarahan; ini adalah kualitas …
(4) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan kesal karena kemarahan …
(5) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan keras kepala karena kemarahan …
(6) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan ia mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan …
(7) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia menentang si penegur …
( 8 ) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia menjatuhkan reputasi [ ]si penegur …
(9) Kemudian, [96] seorang bhikkhu ditegur, dan ia balik menegur si penegur …
(10) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia berbicara berputar-putar, mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan …
(11) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia tidak memperbaiki perilakunya …
(12) Kemudian, seorang bhikkhu meremehkan orang lain dan sombong …
(13) Kemudian, seorang bhikkhu iri dan kikir …
(14) Kemudian, seorang bhikkhu curang dan menipu …
(15) Kemudian, seorang bhikkhu keras kepala dan angkuh …
(16) Kemudian, seorang bhikkhu melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

“Teman-teman, ini disebut kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

4. Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu berkata sebagai berikut: ‘Semoga Para Mulia menasihati aku, aku ingin dinasihati oleh Para Mulia’, namun jika ia mudah dinasihati dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dinasihati, jika ia sabar dan menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya dinasihati atau diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang dapat dipercaya.

5. “Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya mudah dinasihati?
(1) Di sini seorang bhikkhu tidak memiliki keinginan jahat dan tidak dikuasai oleh keinginan jahat; ini adalah kualitas yang membuatnya mudah dinasihati.
(2) Kemudian, seorang bhikkhu tidak memuji dirinya sendiri dan tidak mencela orang lain; ini adalah kualitas …
(3) Ia tidak marah dan tidak membiarkan kemarahan menguasainya …
(4) Ia tidak marah dan tidak kesal karena kemarahan …
(5) Ia tidak marah dan tidak keras kepala karena kemarahan …
(6) Ia tidak marah, dan ia tidak [ ]mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan …
(7) Ia ditegur, dan ia tidak menentang si penegur …
( 8 ) Ia ditegur, dan ia tidak menjatuhkan reputasi [ ]si penegur … [97]
(9) Ia ditegur, dan ia tidak balik menegur si penegur …
(10) Ia ditegur, dan ia tidak berbicara berputar-putar, tidak mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan …
(11) Ia ditegur, dan ia [ ]memperbaiki perilakunya …
(12) Ia tidak meremehkan orang lain dan tidak sombong …
(13) Ia tidak iri-hati dan tidak kikir …
(14) Ia tidak curang dan tidak menipu …
(15) Ia tidak keras kepala dan tidak angkuh …
(16) Kemudian, seorang bhikkhu tidak melekat pada pandangan-pandangannya sendiri atau menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan mudah; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

6. “Sekarang, Teman-teman, seorang bhikkhu seharusnya berpendapat mengenai dirinya sebagai berikut:
(1) ‘Seseorang yang memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain’. Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan memiliki keinginan jahat dan tidak akan dikuasai oleh keinginan jahat’.
(2-16) ‘Seseorang yang memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain … [98] … Seseorang yang melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain’. Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan aku akan melepaskannya dengan mudah’.

7. “Sekarang, Teman-teman, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut:
(1) ‘Apakah aku memiliki keinginan jahat dan apakah aku dikuasai oleh keinginan jahat’? Jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku memiliki keinginan jahat, aku dikuasai oleh keinginan jahat’, maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak memiliki keinginan jahat, aku tidak dikuasai oleh keinginan jahat’, maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(2-16) Kemudian, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut: ‘Apakah aku memuji diri sendiri dan mencela orang lain’? … [99] … ‘Apakah aku melekat pada pandangan-pendanganku, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah’? Jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku melekat pada pandangan-pandanganku … ’, maka [100] ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak melekat pada pandangan-pandanganku … ’, maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

8. “Teman-teman, ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini belum ditinggalkan olehnya, maka ia harus berusaha untuk meninggalkannya seluruhnya. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini telah seluruhnya ditinggalkan olehnya, maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

“Seperti halnya ketika seorang perempuanatau laki-lakimuda, belia, menyukai hiasan, ketika melihat bayangan wajahnya di cermin yang bersih atau dalam semangkuk air, melihat noda atau kotoran di sana, maka ia berusaha untuk membersihkannya, tetapi jika ia melihat tidak ada noda atau kotoran di sana, maka ia menjadi gembira dengan pikiran: ‘Sungguh suatu keberuntungan bagiku bahwa wajahku bersih’; demikian pula ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian … maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Mahā Moggallāna. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Moggallāna.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #31 on: 12 August 2010, 10:04:58 PM »
16  Cetokhila Sutta
Belantara dalam Batin

[101] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu mana pun yang belum meninggalkan lima belantara dalam batin dan belum mematahkan lima belenggu dalam batin dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplinitu adalah tidak mungkin.

3. “Apakah, Para bhikkhu, lima belantara dalam batin yang belum ia tinggalkan? Di sini, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidakpastian, kebimbangan, dan ketidakyakinan pada Sang Guru, dan dengan demikian batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara pertama dalam batin yang belum ia tinggalkan.

4. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidakpastian, kebimbangan, dan ketidakyakinan pada Dhamma[ ] … Ketika batinnya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke dua dalam batin yang belum ia tinggalkan.

5. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidakpastian, kebimbangan, dan ketidakyakinan pada Sangha … Ketika batinnya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke tiga dalam batin yang belum ia tinggalkan.

6. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidakpastian, kebimbangan, dan ketidakyakinan pada latihan … Ketika batinnya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke empat dalam batin yang belum ia tinggalkan.

7. “Kemudian, seorang bhikkhu marah dan tidak senang dengan teman-temannya dalam kehidupan suci, penuh kekesalan dan tidak berperasaan terhadap mereka, and dan dengan demikian batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara ke lima dalam batin yang belum ia tinggalkan.

“Ini adalah lima belantara dalam batin yang belum ia tinggalkan.

8. “Apakah, Para bhikkhu, lima belenggu dalam batin yang belum ia patahkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan kenikmatan indria, dan dengan demikian batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu pertama dalam batin yang belum ia patahkan.

9. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan badan jasmani. [ ]Ketika batinnya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke dua dalam batin yang belum ia patahkan. [102]

10. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan bentuk. Ketika batinnya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke tiga dalam batin yang belum ia patahkan.

11. “Kemudian, seorang bhikkhu makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya kekenyangan dan menyukai kenikmatan tidur, bermalasan, dan mengantuk … Ketika batinnya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke empat dalam batin yang belum ia patahkan.

12. “Kemudian, seorang bhikkhu menjalani kehidupan suci karena bercita-cita untuk bergabung dengan komunitas para dewa: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci, semoga aku menjadi dewa [mulia] atau dewa [yang lebih rendah]’, dan dengan demikian batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika batinnya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu ke lima dalam batin yang belum ia patahkan.

“Ini adalah lima belenggu dalam batin yang belum ia patahkan.

13. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu mana pun yang belum meninggalkan lima belantara dalam batin dan belum mematahkan lima belenggu dalam batin dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplinitu adalah tidak mungkin.

14. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu mana pun yang telah meninggalkan lima belantara dalam batin dan telah mematahkan lima belenggu dalam batin dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplinitu adalah mungkin.

15. “Apakah, Para bhikkhu, lima belantara dalam batin yang telah ia tinggalkan? Di sini, seorang bhikkhu tanpa keraguan, tanpa ketidakpastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidakyakinan pada Sang Guru, dan dengan demikian batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara pertama dalam batin yang telah ia tinggalkan.

16. “Kemudian, seorang bhikkhu tanpa keraguan, tanpa ketidakpastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidakyakinan pada Dhamma … Ketika batinnya condong pada semangat … itu adalah belantara ke dua dalam batin yang telah ia tinggalkan.

17. “Kemudian, seorang bhikkhu tanpa keraguan, tanpa ketidakpastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidakyakinan pada Sangha … Ketika batinnya condong pada semangat … itu adalah belantara ke tiga dalam batin yang telah ia tinggalkan.

18. “Kemudian, seorang bhikkhu tanpa keraguan, tanpa ketidakpastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidakyakinan pada latihan … Ketika batinnya condong pada semangat … itu adalah belantara ke empat dalam batin yang telah ia tinggalkan.

19. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak marah dan tidak tidak-senang dengan teman-temannya dalam kehidupan suci, tidak kesal dan tidak tanpa-perasaan terhadap mereka, and dan dengan demikian batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. [103] Ketika batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara ke lima dalam batin yang telah ia tinggalkan.

“Ini adalah lima belantara dalam batin yang telah ia tinggalkan.

20. “Apakah, Para bhikkhu, lima belenggu dalam batin yang telah ia patahkan? Di sini, seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan kenikmatan indria, dan dengan demikian batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu pertama dalam batin yang telah ia patahkan.

21. “Kemudian, seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan badan jasmani. Ketika batinnya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke dua dalam batin yang telah ia patahkan.

22. “Kemudian, seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan bentuk. Ketika batinnya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke tiga dalam batin yang telah ia patahkan.

23. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya kekenyangan dan tidak menyukai kenikmatan tidur, bermalasan, dan mengantuk … Ketika batinnya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke empat dalam batin yang telah ia patahkan.

24. “Kemudian, seorang bhikkhu bukan menjalani kehidupan suci karena bercita-cita untuk bergabung dengan komunitas para dewa: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci, semoga aku menjadi dewa [mulia] atau dewa [yang lebih rendah]’, dan dengan demikian batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika batinnya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu ke lima dalam batin yang telah ia patahkan.

“Ini adalah lima belenggu dalam batin yang telah ia patahkan.

25. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu mana pun yang telah meninggalkan lima belantara dalam batin dan telah mematahkan lima belenggu dalam batin dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplinitu adalah mungkin.

26.  “Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari kegairahan dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari kegigihan dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari [kemurnian] pikiran dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari penyelidikan dan tekad berusaha. Dan semangat sebagai yang ke lima.

27. “Seorang bhikkhu yang memiliki lima belas faktor demikian termasuk semangat adalah [104] mampu mendobrak, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.

“Misalkan seekor ayam betina memiliki delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur, yang ia lindungi, erami, dan pelihara dengan baik. Walaupun ia tidak menghendaki: ‘O, semoga anak-anakku mampu memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruhnya dan menetas keluar dengan selamat’! namun anak-anak ayam itu akan mampu memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruhnya dan menetas keluar dengan selamat. [ ]Demikian pula, seorang bhikkhu yang memiliki lima belas faktor demikian termasuk semangat adalah mampu mendobrak, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #32 on: 12 August 2010, 10:34:00 PM »
17  Vanapattha Sutta
Hutan Belantara

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian khotbah tentang hutan belantara. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. [ ]Sewaktu menetap di sana, perhatiannya yang belum kukuh tidak menjadi kukuh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawianjubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatansulit diperoleh. Bhikkhu itu [105] harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini, perhatianku yang belum kukuh tidak menjadi kukuh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh’. Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus meninggalkan hutan belantara itu pada malam itu juga atau pada hari itu juga; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.

4. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana, perhatiannya yang belum kukuh tidak menjadi kukuh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini, perhatianku yang belum kukuh tidak menjadi kukuh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; namun [ ]kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, sewaktu menetap di sini, perhatianku yang belum kukuh tidak menjadi kukuh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai’. Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus pergi dari hutan belantara itu; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.

5. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana, perhatiannya yang belum kukuh menjadi kukuh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: [106] ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini, perhatianku yang belum kukuh menjadi kukuh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; namun [ ]kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, sewaktu menetap di sini, perhatianku yang belum kukuh menjadi kukuh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai’. Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu; ia seharusnya tidak pergi.

6. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana, perhatiannya yang belum kukuh menjadi kukuh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawianjubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatanmudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini, perhatianku yang belum kukuh menjadi kukuh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; dan juga  kebutuhan hidup … mudah diperoleh’. Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak pergi.

7-10. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah desa tertentu ….

11-14. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah pemukiman tertentu ….

15-18. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah kota tertentu ….

19-22. “Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah negeri tertentu ….

23. Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §3) … [107] … Bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu tanpa pamit; ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.

24. Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §4) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu setelah pamit; [ ]ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.

25. Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §5) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu; ia seharusnya tidak meninggalkannya.

26. Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §6) [108]  … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak meninggalkannya, bahkan jika diminta untuk pergi.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #33 on: 13 August 2010, 01:45:51 PM »
15  Anumāna Sutta
Kesimpulan


(3) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan dikuasai oleh kemarahan; ini adalah kualitas ….

(12) Kemudian, seorang bhikkhu meremehkan orang lain, dan sombong ….

(13) Kemudian, seorang bhikkhu iri, dan kikir ….

(14) Kemudian, seorang bhikkhu curang, dan menipu ….

(15) Kemudian, seorang bhikkhu keras kepala, dan angkuh ….
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #34 on: 13 August 2010, 07:58:28 PM »
13  Mahādukkhakkhandha Sutta
Khotbah Panjang tentang Kumpulan Penderitaan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar mereka, [84] memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian mereka berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan. Bagaimana jika kami pergi ke taman para pengembara sekte lain.” Maka mereka pergi ke taman para pengembara sekte lain dan saling bertukar sapa dengan para pengembara. Setelah ramah-tamah itu berakhir, mereka duduk di satu sisi. Para pengembara itu berkata kepada mereka:

3. “Teman-teman, Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh akan kenikmatan indria, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh akan bentuk materi, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh akan perasaan, dan kami juga demikian. Kalau begitu, apakah perbedaannya di sini antara ajaran Petapa Gotama akan Dhamma dan ajaran kami, antara instruksi-instruksi Beliau dan instruksi-instruksi kami?”

4. kemudian para bhikkhu itu dengan tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata para pengembara itu. Tanpa melakukan kedua hal itu mereka bangkit dari duduk dan pergi, dengan berpikir: “Kami akan memahami makna dari kata-kata ini di hadapan Sang Bhagavā.”

5. Ketika mereka telah pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] [85]
 
6. “Para bhikkhu, para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus ditanya sebagai berikut: “Tetapi, teman-teman, apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan?’ dengan ditanya demikian, para pengembara sekte lain tidak akan mampu menjelaskan hal itu, dan lebih jauh lagi, mereka akan mengalami kesulitan. Mengapakah? Karena hal ini bukanlah bidang mereka. Para bhikkhu, Aku tidak melihat satupun di dunia ini bersama para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya, yang mampu memuaskan pikiran dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kecuali Sang Tathāgata atau para siswaNya yang telah mempelajarinya dari Beliau.

(KENIKMATAN INDRIA)

7. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidup ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Kesenangan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini adalah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria.

8. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria? Di sini, para bhikkhu, sehubungan dengan keterampilan yang dengannya seorang anggota keluarga mencari nafkah – apakah juru periksa atau akuntan atau juru hitung atau petani atau pedagang atau peternak atau pemanah atau pegawai kerajaan, atau keterampilam apapun – ia harus mengalami dingin, ia harus mengalami panas, ia terluka oleh kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia terancam kematian oleh lapar dan haus. Ini adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan, dengan kenikmatan indria sebagai sumbernya, kenikmatan indria sebagai dasarnya, [86] penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

9. “Jika tidak ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, maka ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Pekerjaanku sia-sia, usahaku tidak membuahkan hasil!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

10. “Jika tidak ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, ia mengalami kesakitan dan kesedihan dalam menjaganya: ‘Bagaimana agar raja atau pencuri tidak merampas hartaku, juga agar api tidak membakarnya, juga agar air tidak menghanyutkannya, juga agar pewaris yang penuh kebencian merampasnya?’ Dan ketika ia menjaga dan melindunginya, raja atau pencuri merampasnya, atau api membakarnya, atau air menghanyutkannya, atau pewaris yang penuh kebencian merampasnya. Dan ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Apa yang kumiliki sudah tidak ada lagi!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

11. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, raja berselisih dengan raja, para mulia berselisih dengan para mulia, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah tangga berselisih dengan perumah tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki berselisih dengan saudara perempuan, saudara perempuan berselisih dengan saudara laki-laki, teman berselisih dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

12. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan belapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

13. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan [87] dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

14. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mendobrak masuk ke rumah-rumah, merampas harta, melakukan perampokan, menyergap di jalan-jalan, menggoda istri orang lain, dan ketika mereka tertangkap, raja menjatuhkan berbagai hukuman pada mereka. Raja memerintahkan untuk mencambuk mereka, memukul dengan rotan, memukul dengan pentungan, memotong tangan mereka, memotong kaki mereka, memotong tangan dan kaki mereka, memotong telinga mereka, memotong hidung mereka, memotong telinga dan hidung mereka; mereka dikenai siksaan ‘panci bubur,’ ‘bentuk kulit kerang yang halus,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘ tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan jerami’;   dan mereka disiram dengan minyak mendidih, dan mereka dibuang agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan mereka dalam keadaan hidup ditusuk dengan kayu pancang, dan kepala mereka dipenggal dengan pedang - yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, orang-orang melakukan perilaku salah dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Setelah melakukan demikian, saat hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di dalam neraka. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang,  dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

16 (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Yaitu lenyapnya keinginan dan nafsu, melepaskan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.  Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria.

17. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya kenikmatan indria atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya [88] kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya kenikmatan indria atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah mungkin.

(BENTUK MATERI)

18. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan bentuk materi? Misalkan terdapat seorang gadis dari kasta ksatria atau kasta brahmana atau perumah tangga, berusia lima belas atau enam belas tahun, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, kulitnya tidak terlalu gelap juga tidak terlalu cerah. Apakah kecantikan dan kemenarikannya sedang berada pada puncaknya?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Kesenangan dan kegembiraan yang bergantung pada kecantikan dan kemenarikan itu adalah kepuasan sehubungan dengan bentuk materi.

19. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan bentuk materi? Kemudian seseorang melihat perempuan yang sama di sini pada usia delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti kerangka atap, terlipat, ditopang oleh tongkat, berjalan terhuyung-huyung, lemah, kemudaannya sirna, giginya tanggal, rambutnya memutih, rambutnya rontok, gundul, keriput, dengan seluruh tubuh berbisulan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

20. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sakit, menderita, dan sakit keras, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh orang lain. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

21. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, satu, dua, tiga hari setelah kematian, membengkak, memucat, dan cairan menetes. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

22-29. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, dimangsa oleh burung gagak, burung elang, burung nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis belatung ... [89] tulang-belulang dengan daging dan darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang yang tercerai-berai di segala penjuru – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang paha, di sana tulang rusuk, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tengkorak ... tulang-belulang yang memutih, berwarna seperti kulit kerang ... tulang-belulang menumpuk, lebih dari setahun ... tulang-belulang membusuk dan remuk menjadi debu. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

30. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan bentuk materi. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi.

31. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya bentuk materi atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya bentuk materi atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah mungkin.

(PERASAAN)

32. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan perasaan? Di sini, para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.  Pada saat itu ia tidak menghendaki  penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. [90] Pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

33-35. “Kemudian lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Pada saat itu ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

36. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan perasaan? Perasaan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan. Ini adalah bahaya sehubungan dengan perasaan.

37. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan perasaan. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan.

38. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya perasaan atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya perasaan atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah mungkin.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
NOW

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #35 on: 14 August 2010, 01:37:27 AM »
Tambahan 13 Mahādukkhakkhandha Sutta

4. Kemudian para bhikkhu
tidak menyetujui, juga tidak membantah

6. “Tetapi, Teman-teman, apakah
dengan perasaan?’ Dengan
Sang Tathāgata atau para siswa-Nya

7. “Dan apakah, Para bhikkhu, kepuasan

8. “Dan apakah, Para bhikkhu, bahaya
Di sini, Para bhikkhu, sehubungan
keluarga mencari nafkahapakah
atau keterampilam apapunia harus

14. siksaan ‘panci bubur’, ‘bentuk kulit kerang yang halus’, ‘mulut Rāhu’, ‘lingkaran api’,‘ tangan menyala’, ‘helai rumput’,‘pakaian kulit kayu’, ‘kijang’, ‘kail daging’, ‘kepingan uang’, ‘cairan asin’, ‘tusukan berporos’, ‘gulungan jerami’; dan mereka disiram dengan minyak
dipenggal dengan pedangyang

15. kehidupan mendatang, [ ]dengan kenikmatan
16. “Dan apakah, Para bhikkhu, jalan
akan kenikmatan indria. [ ]Ini adalah

17. kenikmatan indriaitu adalah tidak
sepenuhnya kenikmatan indriaitu adalah

18. “Dan apakah, Para bhikkhu, kepuasan
berada pada puncaknya?”“Benar,
Yang Mulia.”“Kesenangan dan

19. “Dan apakah, Para bhikkhu, bahaya
menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah
nyata?”“Benar, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, ini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

20. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah
nyata?”“Benar, Yang Mulia.”“Para bhikkhu,

21. menurut kalian, Para bhikkhu?
bahayanya menjadi nyata?”“Benar, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

22-29. di segala penjurudi sini tulang lengan
Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Apakah
menjadi nyata?”“Benar, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

30. “Dan apakah, Para bhikkhu, jalan
31. memahami sepenuhnya bentuk materiitu adalah
itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materiitu adalah mungkin.

32. “Dan apakah, Para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan perasaan? Di sini, Para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. [ ]Pada saat itu ia tidak

36. (ii) “Dan apakah, Para bhikkhu,

37. (iii) “Dan apakah, Para bhikkhu,

38. sepenuhnya perasaanitu adalah tidak mungkin.
 orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaanitu adalah mungkin.

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #36 on: 14 August 2010, 01:13:00 PM »
Tambahan 13 Mahādukkhakkhandha Sutta

4. Kemudian para bhikkhu itu dengan tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata para pengembara itu, tanpa melakukan kedua hal itu, mereka bangkit dari duduk dan pergi, dengan berpikir: “Kami akan memahami makna dari kata-kata ini di hadapan Sang Bhagavā.”


5. Ketika mereka telah pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, mereka menghadap Sang Bhagavā,

6. “Para bhikkhu, para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus ditanya sebagai berikut: Tetapi,
Para bhikkhu, Aku tidak melihat satu pun di dunia ini

7. bau-bauan yang dikenali oleh hidung
objek-objek sentuhan yang dikenali oleh

8. atau keterampilan apa punia harus

9. mengeluhkan: ‘Pekerjaanku sia-sia, usahaku tidak membuahkan hasil’. Ini juga adalah bahaya sehubungan

10. juga agar pewaris yang penuh kebencian tidak merampasnya’?
mengeluhkan: ‘Apa yang kumiliki sudah tidak ada lagi’.

12. dan dalam peperangan dalam barisan berlapis ganda, mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan;

14. ‘gulungan jerami’;  [ ]dan mereka disiram dengan minyak mendidih,

18. Misalkan terdapat seorang gadis dari kasta kesatria

19. delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun

32. dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. [ ]Pada saat itu, ia tidak menghendaki [ ]penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. [90] Pada saat itu, ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

33-35. dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Pada saat itu, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Pada saat itu, ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan.

38. orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaanitu adalah mungkin.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #37 on: 14 August 2010, 02:25:12 PM »
18  Madhupiṇḍika Sutta
Bola Madu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya, di Kapilavatthu, di Taman Nigrodha.

2. Pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi ke Hutan Besar untuk melewatkan hari itu, dan setelah memasuki Hutan Besar, duduk di bawah anak pohon bilva untuk melewatkan hari itu.

3. Daṇḍapāni orang Sakya, sewaktu berjalan dan berkeliling untuk berolah-raga, juga memasuki Hutan Besar, dan ketika ia telah memasuki Hutan Besar, ia berjalan menuju anak pohon bilva di mana Sang Bhagavā berada dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah itu berakhir, ia berdiri di satu sisi dengan bersandar pada tongkatnya dan bertanya kepada Sang Bhagavā: “Apakah yang Sang Petapa nyatakan, apakah yang Beliau ajarkan?”

4. “Teman, Aku menyatakan dan menyatakan [ajaran-Ku] sedemikian sehingga seseorang tidak bertengkar dengan siapa pun di dunia ini dengan para dewa, Māra, dan brahmana, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya; sedemikian sehingga persepsi tidak lagi mendasari, sehingga brahmana yang berdiam di sana terlepas dari kenikmatan indria, tanpa kebingungan, memotong kekhawatiran, bebas dari keinginan akan segala jenis penjelmaan.”

5. “Ketika hal ini dikatakan, Daṇḍapāni orang Sakya menggelengkan kepalanya, [109] menjulurkan lidahnya, dan mengangkat alis matanya hingga keningnya berkerut dalam tiga garis. [ ]Kemudian ia pergi, dengan bersandar pada tongkatnya.

6. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan berjalan menuju Taman Nigrodha, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan untuk-Nya dan memberitahukan kepada para bhikkhu tentang apa yang telah terjadi. Kemudian seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā:

7. “Tetapi, Yang Mulia, apakah [ajaran] yang Sang Bhagavā nyatakan sedemikian sehingga seseorang tidak bertengkar dengan siapa pun di dunia ini dengan para dewa, Māra, dan brahmana, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya? Dan, Yang Mulia, bagaimanakah bahwa persepsi tidak lagi mendasari Sang Bhagavā, sehingga brahmana yang berdiam di sana terlepas dari kenikmatan indria, tanpa kebingungan, memotong kekhawatiran, bebas dari keinginan akan segala jenis penjelmaan?”

8. “Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan [ ]yang [muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidaksenangan, [110] akhir dari kecenderungan tersembunyi pada pandangan-pandangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada penjelmaan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada kebodohan; ini adalah akhir dari penggunaan tongkat dan senjata, akhir dari pertengkaran, akhir dari percekcokan, akhir dari perselisihan, akhir dari tuding-menuding, akhir dari kedengkian, dan kebohongan; di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.”

9. Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya.

10.  Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: “Sekarang, Teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari duduk-Nya dan masuk ke dalam kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. [ ]Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

11. Kemudian para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan memberitahunya tentang apa yang telah terjadi, [111] dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya kepada kami.”

12. [Yang Mulia Mahā Kaccāna menjawab:] “Teman-teman, ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, berpikir bahwa inti kayu harus dicari di antara dahan dan dedaunan dari sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, setelah ia melewatkan akar dan batang. Dan demikian pula dengan kalian, Para mulia, bahwa kalian berpikir bahwa aku dapat ditanya tentang makna dari hal ini, setelah kalian melewati Sang Bhagavā ketika kalian berhadapan dengan Sang Guru. Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā tahu; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan, Beliau adalah pengetahuan, Beliau adalah Dhamma, Beliau adalah yang suci; [ ]Beliau adalah yang mengucapkan, yang menyatakan, pembabar makna, pemberi Keabadian, Raja Dhamma, Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kalian seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

13. “Tentu saja, Teman Kaccāna, Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā mengetahui; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan … Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kami seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kami harus mengingatnya. Namun Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Yang Mulia Mahā Kaccāna mampu menjelaskan makna secara terperinci dari ringkasan singkat yang diberikan oleh Sang Bhagavā tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya tanpa menganggapnya merepotkan.”

14. “Maka dengarkanlah, Teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan kusampaikan.”“Baiklah, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

15. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apa pun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu … ini adalah akhir dari penggunaan tongkat dan senjata … di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa’, aku memahami maknanya secara terperinci sebagai berikut:

16. “Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka muncul kesadaran-mata. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. [112] Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan bentuk-bentuk masa lampau, masa depan, dan masa sekarang yang dikenali melalui mata.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan … Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, maka muncul kesadaran-pikiran. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan objek-objek pikiran masa lampau, masa depan, dan masa sekarang yang dikenali melalui pikiran.

17. “Ketika ada mata, bentuk, dan kesadaran-mata, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak. [ ]Ketika ada manifestasi kontak, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika ada manifestasi perasaan, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika ada manifestasi persepsi, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika ada manifestasi pemikiran, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran.

“Ketika ada telinga, suara, dan kesadaran-telinga … Ketika ada hidung, bau-bauan, dan kesadaran-hidung … Ketika ada lidah, rasa kecapan, dan kesadaran-lidah … Ketika ada badan, objek sentuhan, dan kesadaran-badan … Ketika ada pikiran, objek pikiran, dan kesadaran-pikiran … adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran.

18. “Ketika tidak ada mata, tidak ada bentuk, dan tidak ada kesadaran-mata, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak. Ketika tidak ada manifestasi kontak, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika tidak ada manifestasi perasaan, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika tidak ada manifestasi persepsi, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika tidak ada manifestasi pemikiran, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran.

“Ketika tidak ada telinga, tidak ada suara, dan tidak ada kesadaran-telinga … Ketika tidak ada hidung, tidak ada bau-bauan, dan tidak ada kesadaran-hidung … Ketika tidak ada lidah, tidak ada rasa kecapan, dan tidak ada kesadaran-lidah … Ketika tidak ada badan, tidak ada objek sentuhan, dan tidak ada kesadaran-badan … Ketika tidak ada pikiran, tidak ada objek pikiran, dan tidak ada kesadaran-pikiran … adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan yang [muncul dari] prolliferasi pikiran.

19. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā [113] bangkit dari duduknya dan memasuki kediaman-Nya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu … maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidaksenangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada pandangan-pandangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada penjelmaan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada kebodohan; ini adalah akhir dari penggunaan tongkat dan senjata, akhir dari pertengkaran, akhir dari percekcokan, akhir dari perselisihan, akhir dari tuding-menuding, akhir dari kedengkian, dan kebohongan; di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa’, aku memahami makna terperinci dari ringkasan itu seperti demikian. Sekarang, Teman-teman, jika kalian menginginkan, pergilah menghadap Sang Bhagavā dan tanyakan kepada-Nya tentang makna dari hal ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

20. Kemudian para bhikkhu, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk mereka dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā mengenai apa yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dan menambahkan: “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan menanyakan kepadanya tentang makna ini. [114] Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

21. “Mahā Kaccāna adalah seorang bijaksana, para bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian menanyakan kepada-Ku tentang makna dari hal ini, Aku akan menjelaskannya dengan cara yang sama seperti Mahā Kaccāna menjelaskannya. Demikianlah makna dari hal ini, dan kalian harus meningatnya.”

22. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, bagaikan seseorang yang keletihan dan lemah karena lapar dan menemukan bola madu, [ ]pada saat memakannya ia akan menemukan rasa yang manis dan lezat; demikian pula, Yang Mulia, bhikkhu manapun yang penuh perhatian, pada saat menyelidiki dengan kebijaksanaan atas makna dari khotbah Dhamma ini, akan merasa puas dan berkeyakinan dalam batin. Yang mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?

“Kalau begitu, Ānanda, engkau dapat mengingat khotbah Dhamma ini sebagai ‘Khotbah Bola Madu’.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #38 on: 15 August 2010, 12:41:11 AM »
tambahan
18  Madhupiṇḍika Sutta


2. setelah makan, Beliau pergi ke Hutan Besar untuk melewatkan hari itu, dan setelah memasuki Hutan Besar, duduk di bawah anak pohon bilva untuk melewatkan hari itu.

4. “Teman, Aku menyatakan dan menyatakan [ajaran-Ku]

gmn ko? itu memang diulang?


5. Ketika hal ini dikatakan, => Ketika hal ini dikatakan,

8. jika tidak ada apa pun di sana

16. Pertemuan ke tiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan.

Pertemuan ke tiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan.

18. tidak ada kesadaran-pikiran … adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran.

19. jika tidak ada apa pun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu … maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidaksenangan,

21. “Mahā Kaccāna adalah seorang bijaksana, Para bhikkhu,
Demikianlah makna dari hal ini, dan kalian harus mengingatnya.”

22. demikian pula, Yang Mulia, bhikkhu mana pun yang penuh perhatian, pada saat menyelidiki dengan kebijaksanaan atas makna dari khotbah Dhamma ini, akan merasa puas dan berkeyakinan dalam batin. Yang Mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #39 on: 15 August 2010, 01:22:01 AM »
4. “Teman, Aku menyatakan dan menyatakan [ajaran-Ku]


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #40 on: 15 August 2010, 11:26:16 AM »
4. “Teman, Aku menyatakan dan menyatakan [ajaran-Ku]


koreksi: 4. "Teman, Aku menegaskan dan menyatakan [ajaran] ..."
seharusnya

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #41 on: 15 August 2010, 09:14:29 PM »
20  Vitakkasaṇṭhāna Sutta
Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” [119] mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang mengejar pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memerhatikan lima gambaran. [ ]Apakah lima ini?

3. (i) “Di sini, Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memerhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus memerhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat. [ ]Ketika ia memerhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu terampil atau muridnya dapat menghancurkan, menghilangkan, dan mencabut pasak besar dengan menggunakan pasak kecil, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memerhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat … pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

4. (ii) “Jika, sewaktu ia sedang memerhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran-pikiran ini tidak bermanfaat, tercela, berakibat pada penderitaan’. [ ]Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuan, muda, belia, dan menyukai hiasan, akan ketakutan, malu, dan jijik jika mayat seekor ular atau seekor anjing atau manusia [120] digantungkan di lehernya, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memeriksa pikiran-pikiran ini … pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

5. (iii) “Jika, sewaktu ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memerhatikannya. [ ]Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memerhatikannya, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang dengan mata yang baik, yang tidak ingin melihat bentuk-bentuk yang ada dalam jarak pandangannya akan menutup matanya atau menatap ke arah lain, demikian pula … Ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memerhatikannya … pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

6. (iv) “Jika, sewaktu ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memerhatikannya, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut. [ ]Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang yang berjalan cepat akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan cepat? Bagaimana jika aku berjalan lambat’? dan ia akan berjalan lambat; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan lambat? Bagaimana jika aku berdiri’? dan ia akan berdiri; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan berdiri? Bagaimana jika aku duduk’? dan ia akan duduk; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku duduk? Bagaimana jika aku berbaring’? dan ia akan berbaring. Dengan melakukan hal tersebut ia akan menggantikan setiap postur kasar dengan yang lebih halus. Demikian pula … Ketika seorang bhikkhu mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

7. (v) “Jika, sewaktu ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka dengan menggertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.  [121] Ketika, dengan menggertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang kuat yang menangkap seorang yang lebih lemah di kepala atau bahu dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula … ketika, dengan menggertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran … pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

8. “Para bhikkhu, [ ]ketika seorang bhikkhu sedang memerhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, kemudian ketika ia memerhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda, dan dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut … Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran tersebut dan tidak memerhatikannya … Ketika, dengan menggertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan [122] menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini dapat disebut seorang guru dalam perjalanan pikiran. Ia akan memikirkan pikiran apapun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak akan memikirkan pikiran apa pun yang tidak ingin ia pikirkan. Ia telah mematahkan keinginan, membuang belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia mengakhiri penderitaan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #42 on: 15 August 2010, 10:26:44 PM »
19  Dvedhāvitakka Sutta
Dua Jenis Pikiran

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku membagi pikiran-pikiranKu dalam dua kelompok’.  Kemudian Aku mengelompokkan ke satu sisi pikiran-pikiran keinginan indria, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran kekejaman, dan Aku mengelompokkan ke sisi yang lain pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, pikiran-pikiran tanpa niat buruk, dan pikiran-pikiran tanpa-kekejaman.

3. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, [115] suatu pikiran keinginan indria muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran keinginan indria ini telah muncul dalam diriKu. Ini mengarah pada penderitaanKu, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna’. Ketika Aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanKu’, maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika Aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain’, maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika Aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan keduanya’, maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika Aku merenungkan: ‘pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna’, maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu. Kapanpun pikiran keinginan indria muncul dalam diriKu, Aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

4-5. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran berniat buruk muncul dalam diriKu ... suatu pikiran kekejaman muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran kekejaman ini telah muncul dalam diriKu. Ini mengarah pada penderitaanKu, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna’. Ketika Aku merenungkan … maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu. Kapanpun pikiran kekejaman muncul dalam diriKu, Aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

6. “Para bhikkhu, apa pun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran keinginan indria, maka ia telah meninggalkan pikiran pelepasan keduniawian dan mengembangkan pikiran keinginan indria, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran keinginan indria. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran berniat buruk … pikiran kekejaman, maka ia telah meninggalkan pikiran tanpa-kekejaman dan mengembangkan pikiran kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada kekejaman.

7. “Bagaikan pada bulan terakhir musim hujan, pada musim gugur, ketika panen berlimpah, seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya dengan secara terus-menerus menepuk dan menyodok sapi-sapinya dan dengan tongkat mengawasi dan mengekang sapi-sapi itu. Mengapakah? Karena ia melihat bahwa ia akan dicambuk, dikurung, dihukum, atau disalahkan [jika ia membiarkan sapi-sapi itu berkeliaran ke dalam wilayah panen]. Demikian pula Aku melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat dan berkah pelepasan keduniawian, aspek pemurnian dalam kondisi-kondisi bermanfaat. [116]

8. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran pelepasan keduniawian muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran pelepasan keduniawian ini telah muncul dalam diriKu. Ini tidak mengarah pada penderitaanKu, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju Nibbāna.’ Jika Aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, Aku tidak melihat apa pun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan Aku dapat melelahkan tubuhKu, dan jika tubuhKu lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi’. Maka Aku mengukuhkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengkonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranKu tidak terganggu.

9-10. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran tanpa niat buruk muncul dalam diriKu ...  pikiran tanpa-kekejaman muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran tanpa-kekejaman ini telah muncul dalam diriKu. Ini tidak mengarah pada penderitaanKu, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju Nibbāna’. Jika Aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, Aku tidak melihat apa pun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan Aku dapat melelahkan tubuhKu, dan jika tubuhKu lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi’. Maka Aku mengukuhkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengkonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranKu tidak terganggu.

11. “Para bhikkhu, apa pun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, maka ia telah meninggalkan pikiran keinginan indria dan mengembangkan pikiran pelepasan keduniawian, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran pelepasan keduniawian. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran tanpa niat buruk … pikiran tanpa-kekejaman, maka ia telah meninggalkan pikiran kekejaman dan mengembangkan pikiran tanpa-kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada tanpa-kekejaman.

12. “Bagaikan pada bulan terakhir musim panas, ketika semua hasil panen telah dibawa ke dalam desa-desa, [117] seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya sambil duduk di bawah sebatang pohon atau di ruang terbuka, karena ia hanya perlu memerhatikan bahwa sapi-sapinya ada di sana; demikian pula, ada keperluan bagiKu untuk hanya memerhatikan bahwa kondisi-kondisi itu ada di sana.

13.  “Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa henti menjadi kokoh, tubuhKu tenang dan tidak terganggu, pikiranKu terkonsentrasi dan terpusat.

14-23. “Dengan cukup terasing dari keinginan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama (seperti Sutta 4, §§23-32) … Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun’.

24. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang Kucapai pada jaga ketiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh.

25. “Misalkan, Para bhikkhu, bahwa di dalam sebuah hutan terdapat rawa-rawa yang luas di dekat sekumpulan rusa yang menetap di sana. Kemudian seseorang datang menginginkan kehancuran, bahaya, dan belenggu bagi rusa-rusa itu, dan ia menutup jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu, dan ia membuka jalan palsu, dan ia meletakkan umpan dan memasang benda-benda tiruan sehingga kumpulan rusa itu akan mengalami bencana, malapetaka, dan kehancuran. Tetapi seorang lainnya datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan bagi rusa-rusa itu, dan ia membuka kembali jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu, dan ia menutup jalan palsu, dan ia membuang umpan dan menghancurkan benda-benda tiruan, sehingga kumpulan rusa itu dapat berkembang, bertambah dan berlimpah.

26. “Para bhikkhu, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. [118] Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Rawa-rawa yang luas’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. ‘Sekumpulan rusa’ adalah sebutan bagi makhluk-makhluk. ‘Seseorang yang datang menginginkan kehancuran, bahaya, dan belenggu’ adalah sebutan bagi Māra si Jahat. ‘Jalan Palsu’ adalah sebutan bagi jalan palsu berunsur delapan, yaitu: pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. ‘Umpan’ adalah sebutan bagi kenikmatan dan nafsu. ‘Benda-benda tiruan’ adalah sebutan bagi kebodohan. ‘Seorang lainnya yang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. ‘Jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu’ adalah sebutan bagi Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

“Demikianlah, Para bhikkhu, jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan telah dibuka kembali olehKu, jalan palsu telah ditutup, umpan telah dibuang, benda-benda tiruan telah dihancurkan.

27. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswaNya demi belas kasih seorang guru yang menginginkan kesejahteraan dan memiliki belas kasih terhadap mereka, telah Kulakukan untuk kalian, Para bhikkhu. Terdapat bawah pohon-pohon ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Para bhikkhu, jangan menunda atau kalian akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepada kalian.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


kami ????
NOW

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #43 on: 16 August 2010, 12:41:57 AM »
Tambahan dari 19  Dvedhāvitakka Sutta

2. “Para bhikkhu, sebelum pencerahan-Ku,
‘Bagaimana jika Aku membagi pikiran-pikiran-Ku dalam dua kelompok’. [ ]Kemudian Aku mengelompokkan ke satu

3. keinginan indria muncul dalam diri-Ku.
alam diri-Ku. Ini mengarah pada penderitaan-Ku,
penderitaan-Ku’, maka pikiran itu mereda dari dalam diri-Ku,
itu mereda dari dalam diri-Ku, ketika Aku
dalam diri-Ku, ketika Aku merenungkan
mereda dari dalam diri-Ku. Kapanpun
dalam diri-Ku, Aku meninggalkannya,

4-5. dalam diri-Ku ... suatu
dalam diri-Ku. Aku memahaminya
muncul dalam diri-Ku. Ini mengarah
pada penderitaan-Ku, pada penderitaan
mereda dari dalam diri-Ku. Kapanpun
muncul dalam diri-Ku, Aku meninggalkannya

8. dalam diri-Ku. Aku memahaminya
muncul dalam diri-Ku. Ini tidak mengarah pada penderitaan-Ku,
melelahkan tubuh-Ku, dan jika tubuh-Ku lelah
Maka Aku mengukuhkan pikiran-Ku secara internal
Agar pikiran-Ku tidak terganggu.

9-10. muncul dalam diri-Ku ...  pikiran tanpa-kekejaman muncul dalam diri-Ku. Aku 
telah muncul dalam diri-Ku. Ini
pada penderitaan-Ku, atau pada penderitaan
melelahkan tubuh-Ku, dan jika tubuh-Ku lelah,
Aku mengukuhkan pikiran-Ku secara internal
Agar pikiran-Ku tidak terganggu.

12. ada keperluan bagi-Ku untuk

13. muncul dalam diri-Ku dan perhatian tanpa henti menjadi kukuh, tubuh-Ku tenang dan tidak terganggu, pikiran-Ku terkonsentrasi dan terpusat.

14-23. menjadi kondisi makhluk apa pun’.

26.telah dibuka kembali oleh-Ku, jalan

27. untuk para siswa-Nya demi belas kasih
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #44 on: 16 August 2010, 01:48:07 AM »
Tambahan dari 19  Dvedhāvitakka Sutta

2. “Para bhikkhu, sebelum pencerahan-Ku,
‘Bagaimana jika Aku membagi pikiran-pikiran-Ku dalam dua kelompok’. [ ]Kemudian Aku mengelompokkan ke satu

3. keinginan indria muncul dalam diri-Ku.
alam diri-Ku. Ini mengarah pada penderitaan-Ku,
penderitaan-Ku’, maka pikiran itu mereda dari dalam diri-Ku,
itu mereda dari dalam diri-Ku, ketika Aku
dalam diri-Ku, ketika Aku merenungkan
mereda dari dalam diri-Ku. Kapanpun
dalam diri-Ku, Aku meninggalkannya,

4-5. dalam diri-Ku ... suatu
dalam diri-Ku. Aku memahaminya
muncul dalam diri-Ku. Ini mengarah
pada penderitaan-Ku, pada penderitaan
mereda dari dalam diri-Ku. Kapanpun
muncul dalam diri-Ku, Aku meninggalkannya

8. dalam diri-Ku. Aku memahaminya
muncul dalam diri-Ku. Ini tidak mengarah pada penderitaan-Ku,
melelahkan tubuh-Ku, dan jika tubuh-Ku lelah
Maka Aku mengukuhkan pikiran-Ku secara internal
Agar pikiran-Ku tidak terganggu.

9-10. muncul dalam diri-Ku ...  pikiran tanpa-kekejaman muncul dalam diri-Ku. Aku 
telah muncul dalam diri-Ku. Ini
pada penderitaan-Ku, atau pada penderitaan
melelahkan tubuh-Ku, dan jika tubuh-Ku lelah,
Aku mengukuhkan pikiran-Ku secara internal
Agar pikiran-Ku tidak terganggu.

12. ada keperluan bagi-Ku untuk

13. muncul dalam diri-Ku dan perhatian tanpa henti menjadi kukuh, tubuh-Ku tenang dan tidak terganggu, pikiran-Ku terkonsentrasi dan terpusat.

14-23. menjadi kondisi makhluk apa pun’.

26.telah dibuka kembali oleh-Ku, jalan

27. untuk para siswa-Nya demi belas kasih
terjemahan yg aneh
Samma Vayama

 

anything