22 Alagaddūpama Sutta
Perumpamaan Ular
(SITUASI)
[130] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
2. Pada saat itu suatu pandangan salah telah muncul dalam diri seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha, seorang mantan pemburu nasar, sebagai berikut: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”
3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan bertanya kepadanya: “Teman Ariṭṭha, benarkah bahwa suatu pandangan salah telah muncul dalam dirimu?”
“Demikianlah, teman-teman. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”
Kemudian para bhikkhu ini, berniat untuk melepaskannya dari pandangan salah itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Ariṭṭha, jangan berkata demikian. Jangan salah memahami Sang Bhagavā; tidaklah baik engkau salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti itu. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”
Namun walaupun ditekan, dipertanyakan, dan didebat oleh mereka dengan cara ini, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, masih tetap bersikeras melekati pandangan salah itu dan mempertahankannya.
4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya [131] dari pandangan salah itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, dari pandangan salah ini, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”
5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – [132] “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Ariṭṭha.”
“Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Ariṭṭha, benarkah bahwa pandangan salah berikut ini telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.’?”
“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”
6. “Orang sesat, dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya? Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api menyala … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”
7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Ariṭṭha ini, mantan pemburu nasar, telah menyalakan bahkan sepercikan kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”
“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”
Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”
8. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, [133] apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Ariṭṭha ini, si mantan pemburu nasar, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”
“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan … bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”
“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan … betapa besarnya bahaya di dalamnya. Tetapi Bhikkhu Ariṭṭha ini, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, salah memahami kita dengan dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.
9. “Para bhikkhu, bahwa seseorang dapat menekuni kenikmatan indria tanpa keinginan indria, tanpa persepsi keinginan indria, tanpa pikiran keinginan indria – itu adalah tidak mungkin.
(PERUMPAMAAN ULAR)
10. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang sesat mempelajari Dhamma – khotbah, syair, penjelasan, bait-bait, ungkapan kegembiraan, sabda-sabda, kisah-kisah kelahiran, keajaiban-keajaiban, dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan – tetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Tanpa memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka tidak memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Sebaliknya mereka mempelajari Dhamma hanya demi untuk mengkritik orang lain dan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka tidak mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara keliru dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama. Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.
“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkap gulungannya atau ekornya, ular itu akan berbalik dan menggigit tangannya atau lengannya atau anggota tubuh lainnya. [134] dan karena itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Mengapakah? Karena ia menangkap ular itu dengan cara yang salah. Demikian pula, di sini beberapa orang sesat mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.
11. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma – khotbah, syair … jawaban-jawaban atas pertanyaan – dan setelah mempelajari Dhamma, mereka memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Dengan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Mereka bukan mempelajari Dhamma demi untuk mengkritik orang lain dan bukan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara benar dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.
“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkapnya dengan benar menggunakan tongkat penjepit, dan setelah itu, mencengkeramnya tepat di lehernya. Kemudian walaupun ular itu akan membelit tangannya atau lengannya atau bagian tubuh lainnya, tetapi ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan yang mematikan karena belitan itu. Mengapakah? Karena cengkeramannya yang benar pada ular itu. Demikian pula, di sini beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara benar pada ajaran-ajaran itu.
12. “Oleh karena itu, para bhikkhu, ketika kalian memahami makna dari pernyataanKu, ingatlah itu; dan ketika kalian tidak memahami makna dari pernyataanKu, maka bertanyalah kepadaKu atau kepada para bhikkhu yang bijaksana.
(PERUMPAMAAN RAKIT)
13. “Para bhikkhu, Aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, misalkan seseorang dalam suatu perjalanannya menjumpai hamparan air yang luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. [135] Kemudian ia berpikir: ‘Hamparan air ini sungguh luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Bagaimana jika aku mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang.’ Dan kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, ia dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Kemudian, ketika ia telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berusaha dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku mengangkatnya di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Dengan melakukan hal itu, apakah orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu? Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu. Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.
14. “Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian bahkan harus meninggalkan ajaran-ajaran, apalagi hal-hal yang berlawanan dengan ajaran.
(SUDUT PANDANG BAGI PANDANGAN-PANDANGAN)
15. “Para bhikkhu, terdapat enam sudut pandang bagi pandangan-pandangan ini. Apakah enam ini? seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Dan sudut pandang ini bagi pandangan ini: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; [136] aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’
16. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan sudut pandang ini bagi pandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
17. “Karena ia beranggapan demikian, maka ia tidak terganggu dengan apa yang tidak ada.”
(GANGGUAN)
18. Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”
“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”
19. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”
“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang tidak berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana ketidak-munculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”
20. “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”
“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya.’ Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala sudut pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan keinginan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia [137] berpikir sebagai berikut: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”