“(1) Demikianlah, Bàhiya, engkau harus melatih dirimu: dalam melihat objek-objek terlihat (semua objek terlihat), menyadari bahwa melihat adalah hanya melihat; dalam mendengarkan suara, menyadari bahwa mendengar adalah hanya mendengar; demikian pula dalam mencium bau-bauan, mengecap dan menyentuh objek-objek sentuhan, menyadari bahwa mencium, mengecap, menyentuh adalah hanya mencium, mengecap dan menyentuh; dan dalam menyadari objek-objek pikiran, yaitu pikiran dan gagasan, menyadari bahwa itu hanyalah menyadari.”
“(2) Bàhiya, jika engkau mampu tetap menyadari dalam melihat, mendengar, mengalami, dan mengenali (empat kelompok) objek-indria, engkau akan menjadi seorang yang tidak berhubungan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, atau objek pikiran yang dikenali. Dengan kata lain, engkau akan menjadi seorang yang tidak serakah, tidak membenci, dan tidak bodoh.”
“(3) Bàhiya, terhadap objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, objek-objek pikiran yang dikenali, engkau tidak boleh berhubungan dengannya melalui keserakahan, kebencian atau kebodohan, yaitu, jika engkau ingin menjadi seorang yang tidak memliki keserakahan, kebencian dan kebodohan, maka, Bàhiya, engkau harus menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, didengar, dialami atau dikenali. Engkau tidak boleh menganggap ‘Ini milikku’ (karena keserakahan), tidak memiliki konsep ‘aku’ (karena keangkuhan), tidak mempertahankan gagasan atau konsep ‘diriku’ (karena pandangan salah).”
“(4) Bàhiya, jika engkau sungguh ingin menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, suara yang didengar, objek-objek nyata yang dialami, objek-pikiran yang dikenali, maka Bàhiya, (dengan tidak adanya keserakahan, keangkuhan dan pandangan salah dalam dirimu) engkau tidak akan terlahir kembali di alam manusia, juga tidak akan terlahir kembali di empat alam lainnya (yaitu, alam dewa, Niraya, binatang, dan hantu kelaparan atau peta). Selain kehidupan yang sekarang (di alam manusia) dan empat alam kelahiran kembali lainnya, tidak ada alam lainnya bagimu. Tidak-munculnya batin-dan-jasmani baru adalah akhir dari kotoran yang merupakan dukkha dan akhir dari kelahiran kembali yang merupakan dukkha.”Demikianlah Buddha membabarkan Dhamma yang memuncak pada Pelenyapan tertinggi atau Nibbàna di mana tidak ada lagi unsur-unsur kehidupan (khandha) tersisa.
(Bàhiya Dàrucãriya adalah seseorang yang lebih tepat diberikan penjelasan singkat (saÿkhittaruci-puggala). Karena itu Buddha menjelaskan enam objek indria tanpa menyebutkan seluruh enam itu secara terperinci, tetapi menggabungkan bau, rasa dan objek sentuhan sebagai ‘objek-objek nyata.’ Demikianlah objek-objek indria itu dikelompokkan dalam empat kelompok: apa yang dilihat (diññha), apa yang didengar (suta), apa yang dialami (mutta), dan apa yang disadari (vi¤¤àta).
(1) Sehubungan dengan empat langkah penjelasan di atas (1) dalam nasihat Buddha agar menyadari melihat sebagai hanya melihat, mendengar sebagai hanya mendengar, mengalami sebagai hanya mengalami, mengenali sebagai hanya mengenali saat berhubungan dengan empat kelompok objek-objek indria masing-masing yang merupakan fenomena berkondisi, mengandung arti bahwa kesadaran-mata muncul dalam melihat objek-objek terlihat, kesadaran-telinga muncul dalam mendengar suara, kesadaran-hidung muncul dalam mencium bau, kesadaran-lidah muncul dalam mengecap rasa, dan kesadaran-pikiran muncul dalam mengenali objek-pikiran, hanya ada kesadaran dan tidak ada keserakahan, kebencian, dan kebodohan di sana. (Pembaca harus memelajari sifat dari proses lima pintu-indria dan proses pintu-pikiran.)
(Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah dan kesadaran-badan, lima jenis kesadaran ini disebut lima jenis kesadaran-indria.) Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki impuls momen-pikiran yang mengikuti lima-pintu indria dan proses-pintu-pikiran yang muncul seketika saat munculnya lima jenis kesadaran-indria itu, dalam setiap tahapnya tidak ada keserakahan, kebencian atau kebodohan, namun hanya kesadaran-indria saja. Karena menilai objek-objek indria tersebut secara alami akan menimbulkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
(Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki impuls momen-pikiran karena Beliau ingin Bàhiya memahami konsep keliru seperti, “Ini kekal,” “Ini bahagia,” atau “Ini memiliki inti,” yang cenderung merasuki (pikiran yang tidak terjaga) sehubungan dengan empat kelompok objek-indria tersebut. Hanya jika seseorang menganggapnya sebagai tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, maka tidak akan muncul anggapan keliru sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti; hanya akan muncul Pandangan Cerah di mana impuls baik mengikuti (proses-pikiran netral pada tahap kesadaran-indria). Buddha memperingati Bàhiya agar menjaga dari pikiran salah akan fenomena berkondisi yang mewakili empat kelompok objek-indria sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti dan memandangnya sebagaimana adanya, yaitu, tidak kekal, menyedihkan, buruk, dan tanpa-diri, dan dengan demikian melatih Pandangan Cerah agar impuls baik mengikuti (kesadaran indria).
(Dengan menunjukkan pandangan benar dalam memandang empat jenis objek indria yang merupakan fenomena berkondisi, sebagai tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, Buddha (dalam 1 di atas) mengajarkan enam tingkat rendah dari Kesucian dan sepuluh tingkat Pandangan Cerah kepada Bàhiya Dàrucãriya.)
Dalam (2), “Bàhiya, jika engkau dapat tetap waspada dalam melihat, mendengar, mengalami dan menyadari empat kelompok objek-indria yang merupakan fenomena berkondisi melalui sepuluh tahap Pandangan Cerah dan mencapai Pengetahuan Jalan, maka engkau telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan; engkau bukanlah seorang yang serakah, yang membenci, atau yang bodoh; dengan kata lain, engkau akan bebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Ini menunjukkan Empat Magga.) (Dalam (3): para Ariya saat mencapai Ariya-Phala bebas total dari pengaruh keserakahan, keangkuhan, dan pandangan salah, sehingga mereka tidak pernah menganggap segala fenomena berkondisi yang disajikan oleh empat kelompok objek-indria sebagai ‘aku’, ‘milikku’ atau ‘diriku’. Ini menunjukkan Ariya-Phala.)
(Dalam (4): Seorang Arahanta setelah saat kesadaran-kematian lenyap tidak terlahir kembali apakah di alam manusia ini atau di empat alam lainnya. Ini adalah pelenyapan total dari kelompok-kelompok batin dan jasmani, dan disebut Nibbàna tanpa meninggalkan sisa dari kelompok-kelompok kehidupan. Langkah ini menunjukkan Nibbàna tertinggi, Pelenyapan tanpa sisa.)
Bàhiya Dàrucãriya bahkan selagi mendengarkan khotbah Buddha, menyucikan empat jenis moralitas kebhikkhuan, dan menyucikan batinnya melalui konsentrasi, dan mengembangkan Pandangan Cerah yang dilakukan dalam waktu yang singkat itu hingga ia mencapai Arahatta-Phala lengkap dengan empat Pengetahuan Analitis (Pañisambhidà ¥àõa). Ia mampu menghancurkan semua àsava, kotoran moral, karena ia adalah individu yang berjenis sangat langka (karena jasa masa lampaunya) yang ditakdirkan untuk mencapai Pencerahan dalam waktu singkat, karena telah memiliki pengetahuan yang dibawa sejak lahir.
Setelah mencapai Arahatta-Phala, Yang Mulia Bàhiya Dàrucãriya, melihat dirinya sendiri dengan Pengetahuan Peninjauan (Paccavekkhaõà ¥àõa) yang terdiri dari sembilan belas faktor, merasa perlu, seperti biasanya seorang Arahanta, untuk menjadi bhikkhu dan memohon Buddha untuk menahbiskannya. Buddha bertanya, “Apakah engkau memiliki mangkuk dan jubah bhikkhu?” “Belum, Yang Mulia,” ia menjawab. “Kalau begitu,” Buddha berkata, “Pergilah cari dulu.” Setelah berkata demikian, Buddha melanjutkan menerima dàna makanan di Kota Sàvatthã.
(Bàhiya telah menjadi seorang bhikkhu pada masa ajaran Buddha Kassapa. Ia tetap menjadi bhikkhu dan berusaha mencapai Pencerahan selama dua puluh ribu tahun. Pada masa itu, jika ia menerima kebutuhan bhikkhu, ia berpikir bahwa perolehan itu ia dapatkan berkat jasa masa lampaunya sendiri dan tidak membaginya dengan bhikkhu lainnya. Karena kurangnya kedermawanan dalam memberikan jubah atau mangkuk kepada bhikkhu lainnya, ia kekurangan jasa yang dapat mendukungnya agar dapat dipanggil oleh Buddha, “Datanglah, Bhikkhu.” Ada guru-guru lain yang dengan berbeda menjelaskan tentang mengapa Buddha tidak memanggil Bàhiya dengan kata-kata “Datanglah, Bhikkhu.” Menurut mereka Bàhiya terlahir sebagai seorang perampok pada masa tidak ada Buddha yang muncul di dunia. Ia merampok seorang Pacceka Buddha, mengambil jubah dan mangkuknya dan membunuhnya dengan busur dan panahnya. Buddha mengetahui bahwa karena perbuatan jahat itu, Bàhiya Dàrucãriya tidak akan dapat memperoleh jubah dan mangkuk yang diciptakan melalui pikiran (Bahkan jika Buddha memanggilnya, “Datanglah, Bhikkhu”) (Komentar Udàna). Namun, akibat yang ditimbulkan dari perbuatan jahat ini lebih sesuai jika dihubungkan dengan kenyataan nasib Bàhiya yang tidak memiliki pakaian yang pantas selain serat-serat kayu.)
Kematian Tragis Bàhiya
Bàhiya meninggalkan Buddha dan berkeliling kota mencari mangkuk makan dan potongan kain untuk dijadikan jubah, sewaktu melakukan hal itu, ia ditanduk oleh seekor sapi yang baru melahirkan anak.
(Dalam salah satu kehidupan masa lampaunya, empat putra orang kaya menyewa seorang pelacur dan menikmatinya di suatu taman. Setelah selesai salah satu dari mereka mengusulkan untuk merampok perhiasan dan seribu keping perak milik pelacur itu. Ketiga temannya setuju. Mereka menyerang gadis itu dengan brutal. Gadis itu marah dengan pikiran, “Orang-orang jahat dan tidak tahu malu ini memanfaatkan diriku dengan penuh nafsu dan sekarang berusaha membunuhku karena serakah. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun terhadap mereka. Aku putus asa. Biarkan mereka membunuhku kali ini. Semoga aku terlahir menjadi raksasa pada masa depan dan mampu membunuh orang-orang ini berkali-kali!” Ia meninggal dunia dengan menyimpan dendam itu.