Kemusnahan Umat Buddha, Kebangkitan Umat BhikkhuCase: Ashin Jinarakkhita (vs LuangTa Maha Bua)
by Wirajhana Eka on Friday, December 30, 2011 at 12:07pm Mungkin sudah terlalu sering anda mendengar/membaca bahwa ajaran sang Buddha akan lenyap dari muka bumi.
Kalimat itu tidaklah benar!
Yang benar adalah SadDhamma (Dhamma sejati) bertahan hingga 500 tahun[1] saja setelah wafatnya sang Buddha. Batasan usia Dhamma sejati, disampaikan sang Buddha ketika berada di Vesali, pada tahun ke-5 keBuddhaannya.
So, Apa sih Dhamma sejati itu?
Bagaiman
a Dhamma sejati itu dapat berumur hingga 500 tahun sejak parinib
bananya beliau?
Jika Dhamma sejati telah lenyap, maka mengapa hingga sekarang ajaran Buddha masih ada?
Untuk memahami ini,
Maka perlu kita ketahui peristiwa yang terjadi di kota Veranja pada tahun ke-12 masa keBuddhaan Beliau. Ketika itu, YM Sariputta bertanya pada sang Buddha, "Pada Masa Buddha siapakah kehidupan suci bertahan lama dan masa Buddha siapakah tidak bertahan lama?”. Sang Buddha memberikan jawaban sebagai berikut:
1. Pada masa Buddha Vipassī, Sikhī and Vessabhū tidak membabarkan khotbah Dhamma secara terperinci, peraturan latihan bagi para siswa (vinaya) tidak dipermaklumkan dan kumpulan peraturan tidak dirumuskan (Pàtimokkha, inti peraturan). Setelah Para Buddha, generasi para siswanya parini
bban
na, ajaran itu lenyap dengan cepat.
2. Pada masa Buddha Kakusandha, Konāgamana and Kassapa membabarkan khotbah Mereka secara terperinci, menetapkan Vinaya dan Pàtimokkha. Setelah Mereka dan para siswa langsung Parinibanna, generasi-generasi berikutnya menjaga ajaran itu hingga bertahan.
Ketika mendengar itu, YM Sariputta kemudian memohon kepada sang Buddha agar berkenan menetapkan vinaya dan patimokkha. Sang Buddha berkata padanya bahwa itu belumlah saatnya karena puluhan ribu anggota sangha (kelompok para Bhikk
hu) yang ada saat itu, 500nya saja sudah mencapai sotapanna [Tingkat kesucian ke-1] dan kelak ketika jumlah anggota sangha semakin membesar maka akan terjadi kecenderungan berpikir, berucap dan berbuat yang mengakibatkan menjauh dari jalan kesucian, di saat itulah vinaya dan patimokkha baru dapat ditetapkan[2]. [Tentang apa itu sangha dan kegunaannya bagi pelestarian Dhamma sejati, silakan baca
di sini]
Patimokkha pertama yang ditetapkan sang Buddha merujuk pada kasus yang dilakukan oleh Suddina.
Pentahbisan Suddina menjadi Bhikkhu terjadi di setelah berakhirnya masa vassa ke-12 Sang Buddha di kota Veranja. Ketika itu Sang Buddha berada di Vesali. Setelah ditahbis
hkan, Sudinna menetap di Vajji selama 8 tahun[2]. Pada tahun itu, Vajji mengalami paceklik besar sehingga sulit bagi bhikkhu untuk berpindapat
ta (mengumpulkan dàna makanan dengan mangkuk di tangan mereka). Oleh karena kejadian itu, Suddina bermaksud untuk menggantungkan hidup pada sanak keluarganya yang hidup makmur di Vesali. Alasan pembenaran untuk keputusannya itu adalah seperti ini, "Karena aku mereka dapat mempersembahkan dàna dan melakukan kebajikan. Dan para bhikkhu akan memperoleh keuntungan secara materi, dan aku tidak akan dipersulit dalam hal makanan”.
Setelah di Vesali, keluarganya berusaha membujuknya dengan harta agar Ia kembali kepada kehidupan umat awam. Namun Ia
tidak bergeming. Tidak mempan dengan dengan cara itu, Sang Ibu kemudian memintanya agar dapat memberikan keturunan sebagai pewaris harta keluarga agar kelak tidak direnggut oleh kaum licchavi. Permohonan sang ibu dikabulkannya dan Ia kemudian melakukan hubungan seksual dengan istrinya yg dulu. Atas kejadian itulah, kemudian Sang Buddha menetapkan aturan untuk pertama kalinya bahwa Barang siapa yang melakukan percabulan maka ia sudah kalah (parajika), tidak lagi dalam persekutuan (sangha)[2]
Setelah itu, hingga parinibannanya Sang Buddha, terdapat 227 Kasus (Bhikkhu) dan 311 kasus (Bhikkhuni) yang kemudian ditetapkan sebagai aturan mendisiplinkan [Vinaya dan Patimokkha].
Terdapat pertanyaan menarik dari YM Maha Kassapa kepada Sang Buddha, "Apa alasan dan bergantung pada kondisi apa ketika sebelumnya sedikit aturan, banyak bhikkhu yang memperoleh pencerahan namun sekarang2 ini, lebih banyak aturan yg ditetapkan namun lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pencerahan sempurna?"
Sang Buddha menjawab bahwa ketika mahluk2 menurun jumlahnya, Dhamma sejati juga akan berkurang, aturan ditetapkan semakin banyak, semakin sedikit bhikkhu yang mencapai pencerahan namun itu tidak membuat Dhamma sejati lenyap hingga kemudian dhamma tiruan bermunculan di dunia. Ketika Dhamma tiruan bermunculan di dunia maka dhamma sejati akan lenyap..adalah orang yang kosong melompong spiritualitasnya (mogha purisa) yang bermunculan di sini yang menyebabkan Dhamma sejati melenyap. Terdapat 5 faktor yang menyebabkan menurunnya Dhamma sejati, yaitu Bhikkhu, Bhikkhuni dan umat awam bersikap tidak hormat dan melawan pada: Guru, dhamma, sangha, pelatihan dan meditasi [Saddhamma Patirūpaka Sutta
SN 16.13]
Di menjelang Parinib
bannanya,
bertempat di RajaGaha, Sang Buddha menyampaikan 7 faktor kemajuan bukan kemunduran (Aparihāniyā dhammā), yaitu selama para Bhikkhu:
1. sering mengadakan pertemuan-pertemuan rutin,
2. bertemu dalam damai, berpisah dalam damai, dan melakukan tugas-tugas mereka dalam damai,
3. tidak menetapkan apa yang belum ditetapkan sebelumnya, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan,
melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan,
4. menghormati para senior yang lebih dulu ditahbiskan, ayah dan pemimpin dari Sangha,
5. tidak menjadi mangsa dari keinginan yang muncul dalam diri mereka dan mengarah menuju kelahiran kembali,
6. setia menjalani kehidupan dalam kesunyian hutan dan
7. menjaga perhatian mereka masing-masing
kemudian, ketika berada di Bhojanegara, Sang Buddha menyampaikan kreteria/standar (Maha Padesa) untuk menilai klaim suatu dhamma dan dibandingkan dengan Dhamma sejati:
1. Buddha. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan di bandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari, Jika kata-katanya, dibandingkan terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, maka kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini,” dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.” Ini adalah kriteria pertama.
2. Sangha. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat komunitas para bhikkhu dengan bhikkhu-bhikhu senior dan guru-guru terkemuka. Aku telah mendengar dan menerima ini dari komunitas tersebut,” maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke dua.’
3. Para Bhikkhu Senior. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat banyak bhikkhu senior yang terpelajar, pewaris tradisi, yang mengetahui Dhamma, disiplin, peraturan-peraturan ...” (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke tiga.’
4. Seorang Bhikkhu Senior. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat seorang bhikkhu senior yang terpelajar ... aku telah mendengar dan menerima ini dari bhikkhu senior tersebut ...” (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke empat.'
[MahaParinibanna sutta
(DN 16) dan Maha Padesa Sutta]
Kemudian, di 3 (tiga) bulan setelah wafatnya beliau, 84.000 pokok Dhamma ajaran beliau di
[ ]ulang kembali oleh 500 Arahat yang dipimpin oleh YM Maha Kassapa.
Itulah yang kemudian dikenal sebagai Dhamma dan Vinaya sebagai kelengkapan dari Dhamma sejati agar kehidupan kesucian ke-1 s.d ke-4 (arahat) menjadi memungkinkan hingga 500 tahun dari setelah parinib
ban
nanya sang Buddha. [Detail lanjutan ttg Dhamma Sejati berunsur 8, tingkat kesucian dan juga konsili ke-1 s.d ke-4, lihat
di sini]
Demikianlah upaya yang dilakukan agar Dhamma sejati berusia hingga 500 tahun lamanya.
Ajaran Buddha menyatakan bahwa segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal dan tidak memuaskan dan itu berlaku pada segala hal baik itu Alam, Mahluk dan Ajaran sehingga semua hal tersebut hanya merupakan fenomena ato perubahan yang tidak berinti/berlandaskan. Untuk memperjelas, saya sampaikan contoh lain misalnya tentang semesta:
Semesta ini telah berulang kali ada, mengembang, menyusut dan hancur. Permulaan 1 Kappa semesta ini dibagi dalam 4 periode. Di periode ke-1, tidak ada apapun. Di periode ke-2 dan ke-3, Mahluk2 dari alam Abhassara muncul kembali di alam bawahnya yaitu alam Brahma dan yang pertama muncul dinamakan maha brahma. Setelah itu alam2 di bawahnya terbentuk dengan ditandai kemunculan mahluk di alam tersebut. Ketika mahluk pertama muncul di neraka maka mulailah periode balik ato penghancuran yang bertahap menghancurkan juga alam-alam berikutnya hingga ke alam Brahma dan di Periode ke-4 kembali tidak ada apapun.
Setelah 7x pengulangan maka yang ke-8, bukan cuma alam Brahma saja yang hancur namun juga alam yang di atasnya, yaitu alam Abhassara. Setelah 7x pengulangan hancurnya alam Abhasara, maka yang ke-8, bukan saja alam brahma dan alam Abhasara yang hancur, namun juga alam di atasnya yaitu alam Śubhakṛtsna. Setelah 7x pengulangan hancurnya alam Śubhakṛtsna, maka yang ke-8, bukan saja alam brahma, alam Abhasara dan alam Śubhakṛtsna yang hancur namun juga alam di atasnya yaitu alam Bṛhatphala. Itulah batasan tertinggi dari alam Rupa yang hancur. Demikianlah putaran bagai lingkaran itu terjadi berulang-ulang. Jika kita melihat lingkaran, maka menentukan titik awalnya adalah tidak relevan dan/atau tidaklah dapat ditentukan kecuali melalui suatu konsensus/kesepakatan tertentu.
Nah, siklus lingkaran: ada-mengembang-menyusut-hancur yang berulangkali itu terjadi pula pada Dhamma sejati.
Rupanya, Komunitas buddhis di awal milenium pertama abad ini tersadar bahwa kisaran waktu 500 tahun sudah terlewatkan maka marak bermunculan tradisi-tradisi baru untuk memperpanjang sendiri batasan umur Dhamma sejati tersebut[3][4]:
1. Di peride SETELAH 500 tahun Parinibanyanya Sang Buddha ["paścimāyāṁ pańacaśatyām", Sūtra Intan, dan Sūtra
Teratai]
2. 700 tahun [Sūtra Mahāparinirvāṇa dan Sūtra 7 mimpi Ananda (Taisho 49, no. 2034, p. 116, c4)]
3. 1000 tahun [Bhadrakalpika Sūtra dan komentar dari Prajńāpāramitā Sūtra, dibagi per 500 tahun]
4. 1500 tahun [Candragarbha Sūtra, Mahāsaṃnipata Sūtra, Karunapundarīka Sutra, Mahāmāyā Sūtra]
5. Setelah 2500 tahun yang dibagi per 500 tahun. [Mahāsaṃnipata Sūtra, dalam Abhidharma Mahāvibhāṣa Śāstra:
dibagi per 500 tahun setelah parinibanna Sang Buddha terakhir 3500 tahun.]
6. 5000 tahun [dengan tabel waktu dalam: Komentar Buddhagosa pada Aṅguttara Nikāya, juga di Maitreya
Sūtra(sumber tibet)]
7. 5104 tahun [Kalacakra tantra, tibetan]
8. ≥ 10.000 tahun [translasi dari Samantapasadika ch. 18 merubah dari 5000 menjadi 10.000 dengan perincian
1000 tahun Saddharma, 5000 tahun mirip dhamma dan terus hingga batas 10.000 tahun juga di Ju She Lun Bao,
ch.29 Shu ; juga ada yg menyatakan 11.500 tahun (Taisho no.1933, 46.786c4-6); kemudian 12000 tahun (Taisho
T42, no. 1824,.p. 18, b2-5, T47, no. 1960, p. 48, c7-8 dan T35, no. 1709,p. 520, c10)], dll
Semakin lengkaplah terjadi! Dengan kemunculan Dhamma tiruan [baik dari kalangan dalam maupun luar ajaran Buddha sendiri].
Perlahan tapi pasti, Umat Buddhapun berubah menjadi umat Bhikkhu!
Jika anda google, di banyak link, akan anda temukan banyak ulasan dan klaim alasan mengapa SadDhamma belum lenyap dan bahwa masih terdapat banyak orang yang mencapai tingkat kesucian tertentu di setelah kurun waktu 500 tahun Parinib
ba
nnanya sang Buddha dan bahkan hingga jaman sekarang!
Demikianlah sabda dari banyak klaim yg beredar tersebut.
Namun rupanya mereka lupa bahwa di literatur awal sendiri terdapat satu kisah yg menegaskan bahwa mencapai tingkat kesucian adalah tidaklah mudah, yaitu merujuk pada kisah Raja Pukkusàti/Pushracarin, penguasa Negeri Gandhara, dengan ibu kotanya Takkasilà [sekarang di Pakistan, 35 km, barat laut Rawalpindi]. Ia menerima hadiah kain emas yang berisi tulisan mengenai ajaran Buddhisme yang dikirim Raja Bimbisàra, Penguasa negeri Mag
had
ha [wilayah tengah - Majjhima Desa]. Raja Pukkusati kemudian membacanya hingga ia menjadi mengenal Dhamma dan mempraktek
kan yang tertulis, yang salah satunya adalah meditasi dan memperoleh hasil berupa jhana Rupavacara.
Hanya itulah yang dicapainya dan Iapun tidak mendapatkan pencapaian tingkat kesucian manapun.
Baru setelah Ia bertemu dengan sang Buddha, yang memberikan penjelasan dan pengertian lanjutan yang disesuaikan dengan karakter sang raja, Pukkusati akhirnya mencapai tingkat kesucian ke-3, yaitu Anagami. [detail tentang ini silakan baca
di sini]
Nah anda bayangkan saja, seorang yang mempunyai parami [kumpulan kebajikan yang sangat besar] seperti raja Pukkusati saja, ketika membaca, Ia hanya sampai di mengenal Dhamma dan jhana hasil meditasi. Tanpa mendapat bimbingan lanjutan dari seorang Arahat, maka pencapaian tingkat kesucian tidaklah Ia peroleh.
Sekarang, anda akan semakin jelas bahwa klaim-klaim tersebut dan juga segala manipulasi itu menjadi sangat mengada-ada, bukan?!
Disamping itu,
Di (Ahitāya) Thera Sutta, sang Buddha juga menyatakan bahwa Bhikkhu (ato guru) yang mempunyai pandangan salah dan visi menyimpang, setelah membuat pengikutnya berpaling dari Dhamma sejati, dia menenggelamkan mereka dalam Dhamma yang palsu.
Sehingga tidaklah mengherankan jika di setelah 500 tahun setelah parinibanna Sang Buddha, ada orang yg ngaku2 [atau diakui] arahat dan masih saja di percaya!
Yang lebih gila lagi adalah SETELAH 2500 tahun..eh koq ada juga yang gak TAHU MALU menyematkan label ARAHAT pada orang2 jaman sekarang
[Bersambung]