Belajar dari Tumbuhan Padi Buddha sering mengingatkan siswa-siswanya supaya tidak cepat puas dengan kemajuan batin yang telah dicapai. Kita harus bersikap seperti padi, makin matang dan berisi semakin merunduk.
Menjalani hidup dengan arif mencakup perilaku yang ramah dan lemah-lembut. Dengan kearifan, engkau dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang lurus dan yang menyimpang; tetapi tanpa welas-asih, engkau tidak akan mengalami hidup yang indah dan menyenangkan.
Tujuan utama kita adalah mencapai keadaan tanpa-aku. Jika engkau dapat mengendalikan batinmu sendiri dan menghargai orang lain, maka mereka akan menerima dan menghargaimu.
Hanya mereka yang menghargai diri sendiri, memiliki keberanian untuk melenyapkan egonya.
Dalam usaha untuk menghapus keakuan, kita harus menggunakan mata dan telinga orang lain sebagai ukuran. Lebih dari sekedar tidak menyakiti, belajarlah untuk membuat hati dan pikiran mereka berbahagia.
Jika engkau dapat membiarkan sebutir pasir menyakiti jari-jari kakimu dan sebutir kerikil menusuk hatimu, maka tak perlu diragukan lagi engkau tidak akan mudah jatuh oleh kejadian yang tidak menyenangkan.
Banyak orang yang tidak dapat menundukkan kepala mereka, didorong oleh rasa bangga-diri melihat prestasi yang dibuat di masa lalu.
Melihat kekerdilan diri adalah kearifan, merasa diri penting adalah keterikatan.
Orang sering dihinggapi rasa khawatir karena keterikatan mereka pada ego. Mereka menaruh ego sebagai titik pusat dalam pola pikir mereka, dan memberinya prioritas utama. Hal ini bukan hanya membuat mereka menderita, tetapi membawa serta orang-orang di sekitar mereka masuk ke dalam penderitaan. Hanya dengan melupakan ego, kita dapat memperoleh tubuh dan pikiran yang sehat, serta bisa memandang hidup ini dengan lebih bahagia.
Melakukan sembah-sujud adalah salah satu disiplin-diri. Ia akan mengurangi keterikatan pada “aku”, melemahkan tiga racun – keserakahan, kebencian, dan kebodohan, dan menghapus keangkuhan.
Cinta memang mengandung suatu kekuatan, tapi ia tidak cukup denga dirinya sendiri. Engkau harus pula memiliki kesabaran, sehingga tidak menyakiti orang lain.
Dalam pergaulan, perhatikanlah suara dan tingkah-lakumu. Kata-kata yang tepat, tekanan, dan sikap – pelajarilah semua itu dengan tekun dan sabar.
Satu hal yang paling mendasar bagi siswa yang berlatih adalah kesabaran dan hati yang bersih, karena bekal suatu latihan adalah diri sendiri.
Tidak punya uang, orang menderita. Punya uang, orang masih juga merasa susah. Terlalu sibuk atau bosan karena tidak ada yang dapat dikerjakan, sama membuat orang menderita. Siapakah yang tidak menderita di dunia ini? Tapi semua itu lebih disebabkan oleh tiadanya kesabaran. Penderitaan akan terasa lebih berat bagi mereka yang tidak dapat menghadapi masa-masa sulit dengan sabar.
Untuk dapat hidup dengan nyaman di dunia ini, milikilah kesabaran dan pengendalian diri.
Menahan penderitaan bukanlah cara terbaik. Apabila engkau telah memiliki kesabaran sedemikan hingga batinmu dapat menerima selaksa beban tanpa mengeluh, kita akan merasakan bahwa penderitaan itu adalah hal yang biasa.
Pertahankanlah integritas dan ketulusan hatimu dalam setiap tindakan. Kembangkanlah pengertian dan sikap lemah-lembut kepada sesamamu. Tunjukkanlah batin yang toleran dan mencerminkan pencerahan spiritual, dalam perilakumu.
Orang bijaksana memiliki batin yang teguh dan lemah lembut sekaligus. Keteguhannya terlihat dalam kelembutannya, dan di dalam keteguhan itu tercakup kelembutan. Kelembutannya menentramkan, sementara keteguhannya menguatkan.
Buddha bersabda kepada Rahula, putera Pangeran yang menanyakan warisannya, “Akan kuberikan segala milikku untukmu. Jika semua harta milik kerajaan dapat hancur dan rusak, maka Dharma yang akan kuberikan kepadamu, yaitu welas-asih dan kesabaran – kearifan yang lahir dari pencerahan – merupakan berkah dan kekayaan yang abadi.”
Jika setiap orang dapat berlaku sabar dan penuh welas-asih kepada sesamanya, maka seluruh dunia akan diliputi cahaya “kasih universal” yang hangat dan penuh berkah.
Berpaculah dengan waktu dalam “berbuat baik”. Berpaculah dengan diri sendiri, karena persaingan dengan orang lain akan cepat berbuah menjadi ajang saling menyakiti, yang dipenuhi hawa permusuhan.
Persaingan merupakan ladang subur bagi kejahatan. Dimana ada persaingan, di sana ada perbedaan antara sebelum dan sesudah, atas dan bawah, menang dan kalah. Maka ketenangan batin akan sukar dicapai.
Tanpa batin yang hening dan tenang, engkau tidak akan melihat kebenaran dengan jernih.
Berlatihlah agar batinmu tidak terlalu terikat dan membeda-bedakan. Jika engkau menarik batas yang jelas antara “milikmu” dan “milikku”, dan mulai mengejar apa yang kau sukai dengan penuh nafsu dan rasa cemburu, maka kemampuanmu untuk memahami orang lain akan berkurang. Dan benturan pun terjadi di mana-mana.
Sering orang berkata, “Berjuanglah agar dapat bertahan hidup.’ Pada kenyataannya, mereka yang memiliki kemampuan untuk itu sering pula membahayakan hidup orang lain.
Latihlah batinmu dengan baik, bukan untuk mencari kemasyhuran. Apa yang engkau peroleh dari dunia hanyalah perbandingan-perbandingan yang semu, sedangkan yang akan kau peroleh dari latihan dan mawas-diri adalah sesuatu yang nyata.
Banyak orang membandingkan dirinya dengan orang lain, dan terbelenggu oleh keinginan untuk mencapai kemasyuhran dan kekayaan. Berhentilah membanding-bandingkan, mulailah melepaskan diri dari belenggu keinginanmu.
Kata “harmoni” akan membawa sukses di dalam usaha apapun.
