//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: "bibit kebuddhaan" ini apa maksudnya? Kok seperti pandangan "atta/atman" yah?!  (Read 7895 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Maaf, pak moderator, aku co-pas aja dari bagian vegetarian biar tidak OOT, dan mungkin juga jd lebih bisa fokus.

Kainyn-Kutho « Reply #47 on: Yesterday at 05:22:07 PM »

"bibit kebuddhaan" ini apa maksudnya? Kok seperti pandangan "atta/atman" yah?!
Berputar2 di dalam samsara, tetapi tetap ada dalam mahluk  ;D

Edward « Reply #48 on: Today at 12:06:17 AM »

Silahkan teman2 yag lebih kompeten memberi penjelasan...

Bukan maksud seperti ada roh dalam diri, tp lebih k pemahaman klo semua makhluk itu isa menjadi buddha.... Itu doank yg gw ngarti >,<

willibordus « Reply #49 on: Today at 08:05:20 AM »

Bibibt keBuddhaan?

pemahaman saya sih, ambil namanya saja, yakni: BIBIT.
artinya kalo bibit duren disiram, dipupuk dan kena cahaya matahari maka pohon duren akan tumbuh.

BIBIT KEBUDDHAAN artinya: setiap orang kalau mendapat ajaran yg tepat, latihan yg tepat dan kondisi yg tepat, maka akan bisa menjadi Buddha. Bibitnya sudah ada pada kita semua, tinggal bagaimana cara memolesnya.

::

Kainyn-Kutho « Reply #50 on: Today at 08:26:37 AM »

willibordus,

Ya, kalo pemahaman seperti itu, menurut saya lebih mirip pada konsep "atta". Sudah ada "atta Buddha" di dalam diri, tinggal bagaimana kita mengasahnya saja. Jika dikatakan setiap mahluk ada "bibit (= atta) Buddha" terlepas dari kondisi Nama dan Rupa, maka seperti paham "tanpa perbuatan" yang menyebutkan "atta tidak dipengaruhi oleh perbuatan baik dan buruk". Kemudian jika semua "bibit (=atta) Buddha" ini tinggal dikembangkan, maka juga mirip dengan ajaran "penyucian melalui samsara" di mana ada "atta" yang akhirnya akan menjadi 'bebas' jika prosesnya dalam samsara sudah cukup. Kemudian bagaimana kisahnya tiba2 ada 'bibit kebudhaan' dalam setiap mahluk? Grin

Ini hanya pendapat pribadi saja, karena saya tidak setuju penggunaan istilah yang 'membingungkan' itu.



Buat Moderator, kalo udah OOT, boleh dipindah. Thanx!

willibordus « Reply #51 on: Today at 08:50:04 AM »

Betul juga Bro Kainyn

Kalau dipikir2 kalimat 'Bibit Kebuddhaan' bisa saja menimbulkan salah paham bahwa seakan2 ada benih/cikal bakal Buddha dalam diri kita. Sehingga malah mengkondisikan timbulnya paham 'jiwa yg kekal / atta'.

Yah, sebenarnya tetua2 dulu hanya berusaha menjelaskan fenomena alami kehidupan kedalam kata2, berusaha merumuskan suatu konsep. Mungkin pemilihan kata2 yg kurang pas / sulit menemukan kalimat yg tepat untuk menjelaskan ajaran2 ini.

Sebenarnya 'benih kebuddhaan' tepatnya ditulis bagaimana ya?
Apakah mungkin: "setiap gabungan nama dan rupa sebenarnya berpotensi merealisasi nibbana"
atau "setiap citta sebenarnya bisa merealisasi nibbana"

::

Kainyn-Kutho « Reply #52 on: Today at 09:07:42 AM »

willibordus,

Ya, saya setuju, memang mungkin sebetulnya hanya masalah kata2 saja. Mungkin juga itu sering dipakai supaya kita lebih mengasihi mahluk lain yang pada hakekatnya sama dengan kita. Kalau saya memilih untuk tidak memakai istilah itu. Bagaimanapun mahluk itu, apakah ada atau tidak ada 'bibit Buddha'-nya, harus kita kasihi juga.

setiap citta/mahluk sebenarnya bisa merealisasi nibbana
-> Kalo ini saya setuju, supaya memberikan pengertian bahwa kita bisa sehingga membangkitkan semangat dalam berusaha  ;D


karuna_murti « Reply #53 on: Today at 09:21:46 AM »


quote: setiap citta/mahluk sebenarnya bisa merealisasi nibbana
paling nggak di kehidupan ini ada yang tidak bisa...
mungkin di kehidupan berikutnya

Kainyn-Kutho « Reply #54 on: Today at 10:06:46 AM »

karuna_murti,

Masalah 'bisa' ini memang blom ngomong2 "kapan" dan "jenis pencapaian"-nya, tetapi emang hanya untuk menghapus pandangan bahwa mereka yang bisa jadi Arahat itu adalah mahluk2 khusus/terpilih/istimewa.

Mangkok « Reply #55 on: Today at 10:11:36 AM »

Istilah benih kebuddhaan klo boleh saya sarankan adalah potensi kebuddhaan. Istilah sanskritnya sendiri klo ga salah tathagatha garbha. Konsep ini mungkin lebih banyak dibahas di mahayana. Hal ini berkaitan terutama dengan kesunyataan batin kita. Secara sederhana, kita katakan bahwa batin kita saat ini terhalang (seperti langit yang tertutup awan), namun halangan ini bukan bagian dari batin kita, dan oleh karenanya dapat dihilangkan. Penghalangnya klo di mahayana (Tibetan) ada 2, yaitu penghalang yang berupa kilesa dan penghalang kemahatahuan. Pada saat kedua penghalang itu dihilangkan, di mahayana (Tibetan), dikatakan kita mencapai Kebuddhaan. Karena batin semua makhluk sifatnya sama, maka semua makhluk punya potensi ini.


Terima kasih   :|

Kainyn-Kutho « Reply #56 on: Today at 10:23:03 AM »

Mangkok,

Ya, saya mengerti. Berarti tetap saja "ada Atta yang dihalangi". Seperti saya katakan bahwa itu seperti pandangan Atta di mana Atta seperti mutiara yang bersih, berkilau sempurna, tertutup oleh debu, kotoran dan lumpur. Tapi karena menurut anda itu adalah pandangan dari aliran tertentu, maka saya tidak akan bahas lebih jauh. Thanx buat infonya!   :)

Mangkok « Reply #57 on: Today at 11:09:33 AM »

Kainyn_Kutho,

Pertama2 terima kasih telah memberikan analisa yang bagus sekali. Klo menurut saya sih kita tidak bisa bahas hanya dari satu sisi saja. Contoh dalam kasus ini, di sana dikatakan kesunyataan batin. Artinya di sini kita juga perlu mengetahui batin kita itu seperti apa. Salah satunya, misalnya kita perlu tahu bahwa batin/persepsi kita tidak muncul begitu aja. Batin/persepsi kita muncul karena ada sebab dan kondisi. Karena tidak bisa muncul dari dirinya sendiri, maka kita sebut batin adalah sunya. Dari batin dan faktor mental kita juga tahu, bahwa untuk munculnya satu persepsi diperlukan batin utama/kesadaran utama dan faktor mental. Batin utama kita sifatnya adalah jernih dan mengetahui. Sedangkan faktor mental yang menemani ada berbagai macam, ada yang bajik, ada yang non bajik, dan ada yang netral. Nah, klo kita mengaitkan dengan dengan anatta, ini juga perlu pembahasan tersendiri. Kita tentu saja juga perlu tahu apa yang dimaksud anatta dalam Buddhisme. Dan sekedar gambaran, dari k-4 falsafah/filosofis utama Buddhis, penjelasan tentang tidak adanya sang "aku" ini tidak semua sama. Satu hal lain yang perlu diketahui tentang sunyata adalah bahwa sunyata bukan berarti kosong sama sekali, namun lebih ke arti bahwa segala sesuatu tidak bisa berdiri sendiri/muncul dari dirinya sendiri. Simplenya, karena sunyatalah produk bisa muncul, dan karena produk tidak bisa muncul dari dirinya sendirilah maka produk adalah sunya. Di luar semua itu, istilah apapun yang digunakan, menurutku yang penting adalah pemahaman tentang istilah yang bersangkutan. Sekedar info, istilah Buddhis dalam bahasa Inggris pun belum tentu seragam, demikian juga dalam bahasa Indonesia, jadi daripada kita terjebak dengan istilah, jauh lebih baik kita memahami esensinya.


Sori, OOT, mungkin perlu dipindah klo mau dibahas lebih lanjut.


Terima kasih  :|

Kaynin-Kutho « Reply #58 on: Today at 11:51:04 AM »

Mangkok,

Ini beneran bisa OOT jauh nih  Grin

Quote: Batin utama kita sifatnya adalah jernih dan mengetahui.
Berarti batin sebagai "atta" yang sifatnya jernih dan mengetahui 'kan?!  Grin Saya lebih cenderung pada Avijja sebagai penopang Sankhara yang merupakan penopang dari kesadaran, yang merupakan penopang dari bathin dan jasmani. Jikapun ada Bathin dan jasmani tanpa 'kebodohan', itu hanyalah 'sisa' dari bathin dan jasmani 'dengan kebodohan', bukanlah 'inti sejati'.

Quote: karena sunyatalah produk bisa muncul
Berarti sunyata adalah sebab dari produk? Saya lebih cenderung pada 'sunyata' bukanlah sebab, bukan juga akibat.


Quote: karena produk tidak bisa muncul dari dirinya sendirilah maka produk adalah sunya
Kalo yang ini, saya setuju   :)
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Kainyn

Pertama-tama, saya ingin sampaikan dulu ya, saya masih belajar, jadi tanggapan yang bisa saya sampaikan hanyalah sebatas pemahaman yang saya dapat dari buku maupun ceramah2. Jadi, mari kita analisa bersama2.

Quote: Berarti batin sebagai "atta" yang sifatnya jernih dan mengetahui 'kan?!   ;D
Tentang sifat batin utama yaitu jernih, ini sederhananya mungkin kita bisa mengambil analogi misal air, sifat dari air adalah basah (benar ga ya  ;D) atau sifat dari api adalah panas. Namun, hal ini janganlah membuat kita lupa dengan fakta bahwa batin dalam Buddhis adalah fenomena impermanen (fenomena yang berubah dari saat ke saat). Batin, misal kesadaran utama kita, dari saat ke saat berubah, kesadaran sekarang membutuhkan kesadaran sebelumnya, makanya dikatakan skanda kesadaran, yang secara harafiah berarti kumpulan dari kesadaran. Jadi, tidak ada sesuatu yang bisa kita tunjuk sebagai "atta" di sana. (Kita perlu sepakat dulu bahwa yang disebut "atta" di sini adalah sesuata yang berdiri sendiri, yang kemunculannya tidak bergantung pada apapun)

Kemudian, fungsi dari batin utama, yaitu mengetahui. Batin utama ini hanya mengetahui secara kasar, untuk detilnya butuh pembantu yang disebut faktor mental. Jadi, batin utama saja sendiri tidak bisa berfungsi, kita tidak bisa mempersepsi apapun dengan jelas tanpa adanya faktor mental (minimal adalah faktor mental yang disebut faktor mental yang selalu hadir). Contoh, klo kita melihat bunga, kita butuh kesadaran indra penglihatan, namum kesadaran indra penglihatan sendiri tidak bisa melihat objek bunga dengan jelas, dia butuh minimal faktor mental yg selalu hadir. Dalam falsafah Sautrantika (yang lebih sering dipake dalam membahas batin dan faktor mental dalam Tibetan, falsafah lain mungkin ada perbedaan sedikit dalam pengelompokan maupun jumlah) ada 5 faktor mental selalu hadir yaitu perasaan (feeling), kontak (contact), niat/kehendak (intention), identifikasi (identification), dan perhatian (attention). Jd, untuk satu persepsi ini saja butuh minimal 5 faktor mental dan 1kesadaran utama. Namun bila kita mulai menilai bunga cantik misalnya, ini sendiri sudah melibatkan lagi kesadaran mental+5 faktor mental selalu hadir, jadi minimal sudah 12 unsur mental yang terlibat.

Satu hal lagi yang perlu diketahui adalah bahwa penggelompokan faktor mental dalam masing2 falsafah belum tentu sama, dan belum tentu semua tercakup. Falsafah sautrantika yang dijelaskan dalam teks Arya Asanga (Abhidharmasamuccaya) mengelompokkan jumlah faktor mental dalam 6 kelompok dengan total 51 faktor mental (dikatakan mencakup semua faktor mental yang penting, meskipun tidak mencakup semua faktor mental). Dalam teks Arya Vasubhandu (Abhidharmakosa) klo ga salah jumlah faktor mentalnya ada 56. Dan aku baca di teks Abhidharma di forum ini faktor mental ada 52. Dan pengelompokan sendiri juga belum tentu sama. Jadi, itulah kenapa saya sempat mengatakan sangat penting kita memahami apa penjelasan di belakangnya. Kita tidak bisa mengatakan mana yang benar dan mana yang salah, kapasitas belumlah cukup (minimal kapasitas saya, ga tahu yang lain ya)

Quote: Saya lebih cenderung pada Avijja sebagai penopang Sankhara yang merupakan penopang dari kesadaran, yang merupakan penopang dari bathin dan jasmani. Jikapun ada Bathin dan jasmani tanpa 'kebodohan', itu hanyalah 'sisa' dari bathin dan jasmani 'dengan kebodohan', bukanlah 'inti sejati'.

Avijja dalam pengelompokan faktor mental termasuk di kelompok faktor mental pengganggu utama (Kilesa utama), dalam sistem Sautrantika, faktor mental dibagi 6kelompok, yaitu kelompok faktor mental selalu hadir (ada 5), faktor mental objek ditentukan (ada 5: aspirasi (aspiration), kekokohan batin (determination), ingatan (memory), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (wisdom)), faktor mental bajik (ada 11), faktor mental pengganggu utama (ada 6), faktor mental pengganggu sekunder (ada 20), dan faktor mental dapat berubah (ada 4).

Avijja ini seperti faktor mental lain, tidak selalu muncul bersama kesadaran utama kita, namun bukan berarti kita sudah bebas darinya. Pada saat dia muncul dia akan mewarnai batin utama kita dan kelima faktor mental selalu hadir yang tadinya netral menjadi tidak bajik. Meskipun avijja tidak selalu hadir bersamaan dengan kesadaran utama, kita perlu tahu bahwa avijjalah akar dari semua kilesa, karena avijjalah kilesa2 lain kemudian muncul. Nah, perlu diketahui sekali lagi bahwa kesadaran utama kita kadang disertai faktor mental bajik, kadang non bajik (kilesa), kadang faktor mental netral, jadi secara spesifik, kita katakan kilesa bukanlah bagian dari batin kita, mereka tidaklah selalu integral/menyatu dengan batin utama kita, makanya dianalogikan batin utama kita seolah2 langit yang  tertutup awan. Faktor mentallah yang memberi warna apa batin kita. Tanpa faktor mental, kesadaran utama kita tidak akan mempersepsi objek dengan jelas.

Nah, klo menyebut adanya "atta (sesuatu yang disebut "inti" yang kemunculannya tidak bergantung pada yang lain)", maka yang manakah? Batin kita sendiri berubah dari saat ke saat, bergantung pada berbagai sebab dan kondisi. Misal kita ambil kesadaran sekarang. Kesadaran/batin sekarang tidak bisa muncul begitu aja di dahului oleh kesadaran/batin sebelumnya. Misal contoh kasus melihat bunga cantik, kesadaran mental menilai cantik perlu didahului kesadaran indra penglihatan tentang bunga itu sendiri. Kesadaran indra penglihatan sendiri pasti didahului juga oleh kesadaran yang sebelumnya juga (apakah kesadaran indra penglihatan, kesadaran indra penciuman, kesadaran mental atau kesadaran indra lainnya, harus lihat kasus). Demikian seterusnya sehingga batin kita menjadi satu kesinambungan mental yang berubah dari kesadaran satu ke kesadaran lainnya.
Jadi, di manakah "atta"nya bersembunyi?

Tentang tubuh kita, tubuh kita hanyalah terdiri dari gabungan2 elemen2 dasar yaitu tanah/padat, air/cair, api/panas, dan udara/gerak. Elemen2 inilah yang menjadi dasar terbentuknya berbagai bagian dari tubuh kita. Makanya disebut skanda rupa, kumpulan rupa/fisik. Apa beda fisik dan mental? Fisik sifatnya menempati ruang, mental sifatnya tidak menempati ruang.

Quote: Berarti sunyata adalah sebab dari produk? Saya lebih cenderung pada 'sunyata' bukanlah sebab, bukan juga akibat.
Ungkapan ini harus dipahami bahwa, klo misalnya tidak ada sunyata, maka akan ada kosekuensi yaitu:
Sesuatu bisa muncul dari dirinya sendiri, tidak bergantung pada yang lain, dia tidak bisa hancur, tidak bisa berubah. Bila demikian berarti bahwa sesuatu hal lain ga mungkin muncul karena tidak mungkin ada perubahan. Ambil contoh kasus misal avijja. Klo batin kita bukan sunyata, berarti pada saat ada avijja, maka avijja tidak akan pernah hilang dari batin kita (tolong ingat lagi batin dan faktor mental juga). Avijja akan selamanya menjadi bagian dari batin kita, artinya tidak akan ada pencerahan karena batin kita akan menjadi kaku, keras, tidak bisa berubah.
Namun, kenyataannya bukan begitu, justru karena batin kita sunyalah maka kita bisa mencapai pencerahan.

Tanpa adanya sunyata bagaimana mungkin ada kemunculan? Bagaimana mungkin sesuatu hal baru muncul dari sesuatu  hal yang kaku, tidak bisa berubah, yang kemunculannya tidak bergantung pada lain? Klo tidak ada sunyata, maka perubahan tidaklah memungkinkan karena segala sesuatu akan selamanya begitu.

Tentang pernyataan bahwa sunyata bukanlah sebab dan akibat, saya hanya ingin mengomentari bahwa sangat jelas bukan karena sunyata trus kita semua lantas otomatis bisa mencapai pencerahan, kita tetap harus berlatih dulu sampai benar2 bisa mencapai pencerahan, tidak mungkin kilesa kita tidak muncul lagi tanpa ada latihan sebelumnya. Jadi, jelas, sunyata bukanlah penyebab utama bagi pencerahan. Namun, karena kesunyataan batinlah kita bisa mencapai pencerahan, karena kesunyataan batin, kita punya modal untuk mencapai pembebasan.

Satu hal yang sangat penting diingat di Buddhis adalah kita harus menghindari pandangan ekstrim nihilisme maupun pandangan ekstrim keabadian. Klo kita tidak memahami sunyata dengan benar, bisa2 kita terjebak ke dalam pandangan nihilisme. Sebaliknya juga, klo kita tidak memahami kesalingtergantungan dengan benar, kita bisa saja terjebak dalam pandangan keabadian. Justru, dengan pemahaman tentang sunyata dan pemahaman tentang  kesalingbergantunganlah kedua pandangan salah ini bisa kita atasi.


Terima kasih  :|

Catatan: masalah "atta" sendiri ada berbagai penjelasan dalam falsafah Buddhis. Dalam pandangan/falsafah madyamika prasangika (dikatakan sebagai falsafal yang tertinggi), ada 4 hal yang harus dimeditasikan dalam menentukan tidak adanya "atta": memastikan objek yang harus disangkal ("atta" yang mana yang kita maksud, jadi kita tidak misalnya cari sapi, padahal yang dimaksud kuda), luasnya/jaraknya (kemungkinan "atta" ada di mana klo dia ada), tidak adanya sifat kesatuan yang sejati (bagaimana "atta" tidak ditemukan dalam skanda), tidak adanya sifat jamak yang sejati (bagaiman "atta" tidak mungkin juga di luar skanda)
« Last Edit: 17 May 2008, 11:56:19 PM by Mangkok »
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Mangkok,

Wah, sudah bikin baru di 'diskusi umum' yah?!  :)

Pertama-tama, saya masih kurang tahu definisi 'sunyata' itu apa. Jadi bisa dijelaskan?

Saya memang tidak masalah dengan penjelasan Mangkok di atas mengenai unsur2 mahluk, yang juga mirip dengan yang saya percaya. Yang menjadi perhatian saya adalah penggunaan kata "Bibit Buddha" tersebut, yang kemudian dikaitkan dengan 'sunyata'. Karena saya blom tau definisi sunyata menurut Mangkok, maka saya blom bisa komentar.




Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Kaynin,

Ya, takut mengganggu diskusi yang di sana, jadi dipindah aja  ;D

Sunyata ya, hehe, pertanyaan yang berat :)). Kudu buku contekan dulu nih  :-[ biar ga salah.

Untuk sementara, aku ambil dari glossary Alexander Berzin dulu:

Voidness: An absence of an impossible way of existing. The impossible way of existing has never existed at all. Translators often render the term as "emptiness."     (Sankrit: shunyata)

(http://www.berzinarchives.com/web/en/about/glossary/glossary.html )

Dari kutipan lain tentang penjelasan singkat oleh HH Dalai Lama tentang The Three Principal Aspects of the Path (by Tsongkhapa)
...

(11) Appearances are nonfallacious dependent arisings
And voidness is parted from any assertions
   (of impossible ways of existing).
So long as you have these two understandings
   appearing to you separately,
You still have not realized the Able Ones’ intention.

When we understand voidness, we see there is nothing at which we can point a finger and say this is this object. All things are unfindable on ultimate analysis. Yet, on the other hand, we see that things are mere appearances. To think that these two are completely separate unrelated insights – things being unfindable on the one hand and yet only appearances on the other – is not Buddha’s intention concerning voidness and the two truths.

(12) But when, not in alternation, but all together at once,
Your certitude from the mere sight
   of nonfallacious dependent arising
Causes all your ways of taking objects
   (as inherently existent) to fall apart,
You have completed discerning the correct view.

What we need, then, is to see that because things dependently arise – because appearances depend on causes and circumstances to arise – they are devoid of inherent existence; they are devoid of independent existence. The fact that they can arise dependently on causes and circumstances is simply because they are devoid of existing independently. Thus, the stronger our understanding and conviction is that things dependently arise, that things depend on cause and effect, the stronger our understanding and conviction will be that things are devoid of independent, inherent existence; and vice versa. To understand these two simultaneously in conjunction like this means we have completed the correct analysis of voidness.

....

http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/sutra/level2_lamrim/overview/specific_texts/three_principal_aspects_path/short_commentary_three_principles_path.html?query=three+principal

Saya akan mencoba memberikan yang saya pahami sampai sekarang. Pertama2, sunyata adalah berkaitan dengan cara eksistensi dari suatu fenomena. Kenyataan bahwa suatu fenomena tidak bisa eksis dari dirinya sendiri, tidak bisa muncul dari dirinya sendiri, itulah yang disebut sunyata.

Ada salah buku (Penjelasan The Principal Teachings on Buddhis, hal 128, isinya juga komentar oleh Pabongkha Rinpoche tentang Tiga Prinsip Sang Jalan yang disusun oleh Jey Tsongkhapa ) yang mengatakan bahwa sunyata adalah fakta bahwa tidak ada yang bisa eksis dari dirinya sendiri (emptiness: the fact that nothing exists naturally, naturally di sini harus kita pahami tidak bisa eksis dari dirinya sendiri).

Apa bedanya sunyata dengan anatta? Sebenarnya kedua hal ini membahas hal yang kurang lebih sama, cuma dari sudut pandang yang lain. Klo sunyata mengatakan bahwa eksistensi dari suatu fenomena yang muncul/eksis dari dirinya sendiri tidak ada, maka anatta mengatakan bahwa fenomena (di sini berarti sang 'aku', perlu diingat 'aku' di sini tidak hanya 'aku' dalam diri kita, tetapi juga aku dlm semua fenomena) yang dianggap muncul/eksis dari dirinya sendiri itu tidak ada. Jadi, secara simple sunyata menekankan cara munculnya tidak ada, sedangkan anatta menekankan 'aku' yang muncul dengan cara demikian (muncul dari dirinya sendiri) tidak ada. Jadi, mungkin ada yang lebih bisa paham dengan sunyata, sedangkan ada juga yang mungkin lebih bisa paham dengan anatta, tergantung kecenderungan masing2. (Ini pemahaman yang saya dapat ketika mengikuti salah satu teaching dari seorang Rinpoche (Gomang Khensur Rinpoche) beberapa waktu lalu, jadi tolong dianalisa lagi sendiri).

Hal lain yang perlu ditekankan sebagaimana dikatakan dalam Tiga Prinsip Sang Jalan-nya Jey Tsongkhapa adalah bahwa mereka yang msh melihat pemahaman sunyata dan pemahaman tentang kesalingtergantungan  sebagai dua hal yang terpisah, mereka belum merealisasikan pikiran Sang Buddha.
Namun bila saat kita memahami kedua pemahaman tersebut adalah saling menguatkan maka itulah yang dinamakan pandangan benar. Dan seperti dikutip sebelumnya, pemahaman kedua hal ini (sunyata dan kesalingtergantungan) akan menghancurkan kedua pandangan salah ekstrim (nihilisme dan kekekalan/keabadian). Ini dijelaskan dalam bait berikut (dari web yang sama):

(13) Further, when you know how appearance
   eliminates the extreme of existence
And voidness eliminates the extreme of nonexistence,
And how voidness dawns as cause and effect,
You will never be stolen away
   by views that grasp for extremes.


Moga-moga bisa lebih menjelaskan ya.

Terima kasih  :|

NB: Mohon renungkan dengan hati2 kedua hal di atas. Aku sih benar2 merasakan begitu halus dan luar biasanya ajaran Buddha, tidak mudah diselami, tapi benar2 sangat indah.
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Mangkok,

OK, thanx buat penjelasannya. Kira-kira saya 'tangkap' maksudnya.

Secara umum juga saya setuju dengan konsep sunyata. Nah, kembali lagi, yang mana yang namanya 'bibit Buddha'?

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Mangkok,

OK, thanx buat penjelasannya. Kira-kira saya 'tangkap' maksudnya.

Secara umum juga saya setuju dengan konsep sunyata. Nah, kembali lagi, yang mana yang namanya 'bibit Buddha'?

wah. diskusinya dalem. gw ikut nimbrung ya.. istilah bibit buddha itu kalo gak salah Sang Buddha mengatakan bahwa semua makhluk memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi Buddha ya.? eh maap kalo salah

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
SandalJepit,

Ya, kalo begitu saya akan kembali tanya lagi. Setiap orang bisa menjadi dokter. Lalu apakah semuanya calon dokter?
Dulu Saddha_vinita05 pernah menyinggung 'calon suami/istri'. Apakah kalo orang menempuh jalan selibat (jadi Bhikkhu/Romo Kath0lik) tetap bisa dikatakan 'calon suami'?

Kalo dibilang dalam satu waktu semua orang memiliki 'kesempatan yang sama menjadi Buddha', saya rasa tidak. Kembali lagi saya akan pertanyakan mengapa pada zaman Buddha Gotama hanya sedikit* orang yang mencapai kesucian?

Saya berikan kisah lagi,
Dulu Buddha Gotama (karena penampilannya memang luar biasa), pernah diminta mengawini anak perempuan dari sebuah pasangan Brahmana. Kemudian milihat 'kemampuan' dari pasangan Brahmana tersebut, Buddha mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik dengan "kotoran, kencing dan nanah yang dibungkus kulit yang berkeringat". Pasangan Brahmana itu menjadi Anagami, namun anaknya itu dendam dan selalu memusuhi Buddha & muridnya, yang akhirnya membakar Samavati dengan 500 pembantunya.

Dari kisah ini, saya tidak melihat adanya "bibit Buddha" ataupun "kesempatan yang sama" untuk mencapai kesucian pada setiap orang dalam satu waktu.



*Sedikit maksudnya dibanding dengan yang tidak.

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Mesti jelas dulu, dan dibedakan pengertian Bibit Kebuddhaan itu menurut sutric path, atau lower tantric path ataukah higher tantric path. Beda2 itu.

Setahu saya Prasangika Madhyamaka tidak berbicara tentang Buddha Nature. Hanya yogacara yg mulai bicara ttg itu, dan pandangan tiap aliran pun beda, tiap filsuf beda.
Hati2, tiap filosofi mempunyai pandangan tersendiri ttg Buddha Nature. Selamat datang di rimba belantara filosofi buddhism.  ;D
« Last Edit: 23 May 2008, 12:55:07 PM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Suchamda,

Hm... jadi emang ada macam2 paham & pandangan yah? Kalo saya sih tidak paham hal2 yang filosofis dengan istilah2 esoterik, jadi mungkin emang sebaiknya tidak saya bahas yah?!  ;D



Mangkok,

Karena saya tidak (mungkin) belajar semua filosofi dari berbagai macam aliran, jadi sebaiknya tidak dibahas lebih lanjut deh. Apalagi kalo nantinya terkesan menentang pengertian dari aliran tertentu, padahal saya sendiri belum belajar aliran itu. Tapi, anyway, thanx buat penjelasan detail tentang 'sunyata'-nya!

Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Kaynin,

Thanks juga sudah membantu dengan analisanya yang sangat bagus  :| dan mohon maaf klo ada yang salah atau tidak berkenan  _/\_

Ya, mungkin ga perlu diperpanjang dulu, klo bahas filisofis Buddhis aku juga belum tahu banyak.
Anyw, sedikit lagi pendapatku ttg calon misal dokter, atau apa saja. Aku pribadi sih berpendapat semua orang bisa, asalkan berusaha mengatasi halangan2 eksternal maupun internal, tetapi terutama halangan internal, misal merasa tidak mampu, tidak mau berusaha, cepat menyerah, dll. Tentu saja mereka harus belajar, menemukan cara/jalan yang benar, dll. Waktunya juga berbeda2, ada yang cepat, ada yang  sedang, ada yang mungkin sangat lama (bahkan berkehidupan2 klo misal dalam hal mencapai kebuddhaan, Sang Buddha sendiri butuh tiga maha kalpa menurut mahayana).  Makanya saya bilang modal/potensi semua orang sudah ada, cuma ada yang sudah memanfaatkan, ada yang masih punya banyak kendala, dan bahkan ada yang tidak tertarik untuk menggunakan modal/potensi itu entah karena alasan apapun. Modal atau potensi yang berupa kesunyataan batin inilah yang disebut tathagatha garbha/buddha nature. Sebenarnya ada satu jenis lagi yang dibahas, tapi saya ga masukkan karena tidak semua orang mungkin tertarik membahasnya (klo ada yang tertarik mungkin bisa juga lihat link di bawah). Jadi, terima kasih sekali lagi.  _/\_

Suchamda,

Saya tidak tahu persis juga buddha nature dibahas di falsafah mana, saya hanya tahu falsafah mahayana (yang berarti yogacara/cittamatra dan madhyamaka) mengenal istilah ini. Nah, setelah saya search di web alexander berzin, ternyata istilah ini juga dibahas di madhyamaka, baik svatrantika maupun prasangika. Jadi bukan hanya di yogacara (yogacara teks maupun logika keduanya juga membahas istilah ini).
Klo tertarik, ini linknya:

http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/sutra/level4_deepening_understanding_path/buddha_nature/buddha_nature_according.html?query=buddha+nature


Terima kasih  :|
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Mangkok,

Saya setuju bahwa memang 'bisa saja' orang mencapai ke-Buddha-an. Namun 'potensi' tersebut tidak bisa dipukul rata sama di semua mahluk, apalagi dalam lingkup waktu tertentu (misalnya sekarang, saat ini). Kalo dari tradisi Theravada, yang dibilang 'bisa' itu kalo emang sudah ada kemampuan dan kepastian akan hal itu. Jadi untuk calon dokter adalah yang minimal sudah tamat SMU dan lulus tes untuk kuliah di fakultas kedokteran; tidak dipukul rata dari anak SD sampai profesor adalah calon dokter, walaupun tidak mengecilkan kemungkinan bahwa anak SD tersebut pada saatnya nanti bisa saja jadi calon dokter.

OK deh, nanti kalo info lagi, tolong di-share! Thanx!  _/\_

Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Thanks juga  :|

 _/\_
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -