Kainyn
Pertama-tama, saya ingin sampaikan dulu ya, saya masih belajar, jadi tanggapan yang bisa saya sampaikan hanyalah sebatas pemahaman yang saya dapat dari buku maupun ceramah2. Jadi, mari kita analisa bersama2.
Quote:
Berarti batin sebagai "atta" yang sifatnya jernih dan mengetahui 'kan?! Tentang sifat batin utama yaitu
jernih, ini sederhananya mungkin kita bisa mengambil analogi misal air, sifat dari air adalah basah (benar ga ya
) atau sifat dari api adalah panas. Namun, hal ini janganlah membuat kita lupa dengan fakta bahwa batin dalam Buddhis adalah fenomena impermanen (fenomena yang berubah dari saat ke saat). Batin, misal kesadaran utama kita, dari saat ke saat berubah, kesadaran sekarang membutuhkan kesadaran sebelumnya, makanya dikatakan skanda kesadaran, yang secara harafiah berarti kumpulan dari kesadaran. Jadi, tidak ada sesuatu yang bisa kita tunjuk sebagai "atta" di sana. (Kita perlu sepakat dulu bahwa yang disebut "atta" di sini adalah sesuata yang berdiri sendiri, yang kemunculannya tidak bergantung pada apapun)
Kemudian, fungsi dari batin utama, yaitu mengetahui. Batin utama ini hanya mengetahui secara kasar, untuk detilnya butuh pembantu yang disebut faktor mental. Jadi, batin utama saja sendiri tidak bisa berfungsi, kita tidak bisa mempersepsi apapun dengan jelas tanpa adanya faktor mental (minimal adalah faktor mental yang disebut faktor mental yang selalu hadir). Contoh, klo kita melihat bunga, kita butuh kesadaran indra penglihatan, namum kesadaran indra penglihatan sendiri tidak bisa melihat objek bunga dengan jelas, dia butuh minimal faktor mental yg selalu hadir. Dalam falsafah Sautrantika (yang lebih sering dipake dalam membahas batin dan faktor mental dalam Tibetan, falsafah lain mungkin ada perbedaan sedikit dalam pengelompokan maupun jumlah) ada 5 faktor mental selalu hadir yaitu perasaan (
feeling), kontak (
contact), niat/kehendak (
intention), identifikasi (
identification), dan perhatian (
attention). Jd, untuk satu persepsi ini saja butuh minimal 5 faktor mental dan 1kesadaran utama. Namun bila kita mulai menilai bunga cantik misalnya, ini sendiri sudah melibatkan lagi kesadaran mental+5 faktor mental selalu hadir, jadi minimal sudah 12 unsur mental yang terlibat.
Satu hal lagi yang perlu diketahui adalah bahwa penggelompokan faktor mental dalam masing2 falsafah belum tentu sama, dan belum tentu semua tercakup. Falsafah sautrantika yang dijelaskan dalam teks Arya Asanga (
Abhidharmasamuccaya) mengelompokkan jumlah faktor mental dalam 6 kelompok dengan total 51 faktor mental (dikatakan mencakup semua faktor mental yang penting, meskipun tidak mencakup semua faktor mental). Dalam teks Arya Vasubhandu (
Abhidharmakosa) klo ga salah jumlah faktor mentalnya ada 56. Dan aku baca di teks Abhidharma di forum ini faktor mental ada 52. Dan pengelompokan sendiri juga belum tentu sama. Jadi, itulah kenapa saya sempat mengatakan sangat penting kita memahami apa penjelasan di belakangnya. Kita tidak bisa mengatakan mana yang benar dan mana yang salah, kapasitas belumlah cukup (minimal kapasitas saya, ga tahu yang lain ya)
Quote:
Saya lebih cenderung pada Avijja sebagai penopang Sankhara yang merupakan penopang dari kesadaran, yang merupakan penopang dari bathin dan jasmani. Jikapun ada Bathin dan jasmani tanpa 'kebodohan', itu hanyalah 'sisa' dari bathin dan jasmani 'dengan kebodohan', bukanlah 'inti sejati'.Avijja dalam pengelompokan faktor mental termasuk di kelompok faktor mental pengganggu utama (Kilesa utama), dalam sistem Sautrantika, faktor mental dibagi 6kelompok, yaitu kelompok faktor mental selalu hadir (ada 5), faktor mental objek ditentukan (ada 5: aspirasi (
aspiration), kekokohan batin (
determination), ingatan (
memory), konsentrasi (
samadhi), dan kebijaksanaan (
wisdom)), faktor mental bajik (ada 11), faktor mental pengganggu utama (ada 6), faktor mental pengganggu sekunder (ada 20), dan faktor mental dapat berubah (ada 4).
Avijja ini seperti faktor mental lain, tidak selalu muncul bersama kesadaran utama kita, namun bukan berarti kita sudah bebas darinya. Pada saat dia muncul dia akan mewarnai batin utama kita dan kelima faktor mental selalu hadir yang tadinya netral menjadi tidak bajik. Meskipun avijja tidak selalu hadir bersamaan dengan kesadaran utama, kita perlu tahu bahwa avijjalah akar dari semua kilesa, karena avijjalah kilesa2 lain kemudian muncul. Nah, perlu diketahui sekali lagi bahwa kesadaran utama kita kadang disertai faktor mental bajik, kadang non bajik (kilesa), kadang faktor mental netral, jadi secara spesifik, kita katakan kilesa bukanlah bagian dari batin kita, mereka tidaklah selalu integral/menyatu dengan batin utama kita, makanya dianalogikan batin utama kita seolah2 langit yang tertutup awan. Faktor mentallah yang memberi warna apa batin kita. Tanpa faktor mental, kesadaran utama kita tidak akan mempersepsi objek dengan jelas.
Nah, klo menyebut adanya "atta (sesuatu yang disebut "inti" yang kemunculannya tidak bergantung pada yang lain)", maka yang manakah? Batin kita sendiri berubah dari saat ke saat, bergantung pada berbagai sebab dan kondisi. Misal kita ambil kesadaran sekarang. Kesadaran/batin sekarang tidak bisa muncul begitu aja di dahului oleh kesadaran/batin sebelumnya. Misal contoh kasus melihat bunga cantik, kesadaran mental menilai cantik perlu didahului kesadaran indra penglihatan tentang bunga itu sendiri. Kesadaran indra penglihatan sendiri pasti didahului juga oleh kesadaran yang sebelumnya juga (apakah kesadaran indra penglihatan, kesadaran indra penciuman, kesadaran mental atau kesadaran indra lainnya, harus lihat kasus). Demikian seterusnya sehingga batin kita menjadi satu kesinambungan mental yang berubah dari kesadaran satu ke kesadaran lainnya.
Jadi, di manakah "atta"nya bersembunyi?
Tentang tubuh kita, tubuh kita hanyalah terdiri dari gabungan2 elemen2 dasar yaitu tanah/padat, air/cair, api/panas, dan udara/gerak. Elemen2 inilah yang menjadi dasar terbentuknya berbagai bagian dari tubuh kita. Makanya disebut skanda rupa, kumpulan rupa/fisik. Apa beda fisik dan mental? Fisik sifatnya menempati ruang, mental sifatnya tidak menempati ruang.
Quote: Berarti sunyata adalah sebab dari produk? Saya lebih cenderung pada 'sunyata' bukanlah sebab, bukan juga akibat.
Ungkapan ini harus dipahami bahwa, klo misalnya tidak ada sunyata, maka akan ada kosekuensi yaitu:
Sesuatu bisa muncul dari dirinya sendiri, tidak bergantung pada yang lain, dia tidak bisa hancur, tidak bisa berubah. Bila demikian berarti bahwa sesuatu hal lain ga mungkin muncul karena tidak mungkin ada perubahan. Ambil contoh kasus misal avijja. Klo batin kita bukan sunyata, berarti pada saat ada avijja, maka avijja tidak akan pernah hilang dari batin kita (tolong ingat lagi batin dan faktor mental juga). Avijja akan selamanya menjadi bagian dari batin kita, artinya tidak akan ada pencerahan karena batin kita akan menjadi
kaku, keras, tidak bisa berubah.Namun, kenyataannya bukan begitu, justru karena batin kita sunyalah maka kita bisa mencapai pencerahan.
Tanpa adanya sunyata bagaimana mungkin ada kemunculan? Bagaimana mungkin sesuatu hal baru muncul dari sesuatu hal yang kaku, tidak bisa berubah, yang kemunculannya tidak bergantung pada lain? Klo tidak ada sunyata, maka perubahan tidaklah memungkinkan karena segala sesuatu akan selamanya begitu.
Tentang pernyataan bahwa sunyata bukanlah sebab dan akibat, saya hanya ingin mengomentari bahwa sangat jelas bukan karena sunyata trus kita semua lantas otomatis bisa mencapai pencerahan, kita tetap harus berlatih dulu sampai benar2 bisa mencapai pencerahan, tidak mungkin kilesa kita tidak muncul lagi tanpa ada latihan sebelumnya. Jadi, jelas, sunyata bukanlah penyebab utama bagi pencerahan. Namun, karena kesunyataan batinlah kita bisa mencapai pencerahan, karena kesunyataan batin, kita punya
modal untuk mencapai pembebasan.
Satu hal yang sangat penting diingat di Buddhis adalah kita harus menghindari pandangan ekstrim nihilisme maupun pandangan ekstrim keabadian. Klo kita tidak memahami sunyata dengan benar, bisa2 kita terjebak ke dalam pandangan nihilisme. Sebaliknya juga, klo kita tidak memahami kesalingtergantungan dengan benar, kita bisa saja terjebak dalam pandangan keabadian. Justru, dengan pemahaman tentang sunyata dan pemahaman tentang kesalingbergantunganlah kedua pandangan salah ini bisa kita atasi.
Terima kasih
Catatan: masalah "atta" sendiri ada berbagai penjelasan dalam falsafah Buddhis. Dalam pandangan/falsafah madyamika prasangika (dikatakan sebagai falsafal yang tertinggi), ada 4 hal yang harus dimeditasikan dalam menentukan tidak adanya "atta": memastikan objek yang harus disangkal ("atta" yang mana yang kita maksud, jadi kita tidak misalnya cari sapi, padahal yang dimaksud kuda), luasnya/jaraknya (kemungkinan "atta" ada di mana klo dia ada), tidak adanya sifat kesatuan yang sejati (bagaimana "atta" tidak ditemukan dalam skanda), tidak adanya sifat jamak yang sejati (bagaiman "atta" tidak mungkin juga di luar skanda)