Buddha Gotama sampai sekarang masih guru terbaik dan terhebat di alam ini, tiada mahluk lain yang bisa mengalahkannya.
Omong2, kamu pernah bertemu dengan beliau?
Guru yang baik adalah guru yang dapat menunjukan "jalan" pada kondisi kebahagiaan tertinggi (sejati).
tidak usah bertemu, memang ajaran THE BEST kok ! :jempol:
dan sudah banyak muridnya yang terbukti berhasil menjadi Arahant, baik bimbingan langsung Beliau atau murid2 lainnya yang tidak dibawah bimbingan Beliau.
apakah bro sobat ragu terhadap ajaran Beliau ? ^-^
Bagaimana kamu bisa mengatakan ajaran beliau adalah yang THE BEST?sudah dijelaskan
Kok kamu bisa mengatakan banyak muridnya yang menjadi Arhat, buktinya apa?1. buktinya sudah ada di kitab suci TIPITAKA kanon pali
Dengan apa kamu dapat membuktikan seseorang telah mencapai Arhat atau tidak?karena sudah banyak tertera di Sutta2
Kalau menurutmu aku sedang meragukan "ajaran Beliau", apakah kamu sendiri sedang mempercayai "ajaran Beliau"?
Kalau menurutmu kamu (ataupun) aku sedang mempercayai "ajaran Beliau", apakah dengan demikian kamu (ataupun aku) telah menjadi murid Buddha yang baik?saya tidak tahu anda mempercayai ajaran Buddha atau tidak ! hanyalah anda yang tahu
sudah dijelaskan
1. buktinya sudah ada di kitab suci TIPITAKA kanon pali1. Apa bukti yang tertera itu benar?
2. dan pernah ketemu beberapa Bhikkhu Thailand . Menurut keyakinan rakyat Thailand, bahwa Bhikkhu tsb sudah mencapai pencerahan.
3. saya sendiri lagi praktek ajaran Buddha Dhamma, dengan status umat awam karena sudah banyak tertera di Sutta2
saya sendiri tidak bisa membuktikan
karena tidak bisa membuktikan bukan berarti tidak boleh meyakini mas Sobat
Apakah mas Sobat meyakini adanya Arahat ?Apakah Arahat itu harus diyakini keberadaannya?
Dutiyampi, apakah mas Sobat ragu terhadap ajaran Buddha Gotama
( tolong dijawab )
pengalaman saya, seseorang 'hanya' mempercayai ajaran Buddha tapi tidak pernah praktek ajaran Beliau, tidak banyak 'membantu'.
nonton.com (http://nonton.com)jangan-ribut.com (http://jangan-ribut.com)
Di mana?Jawaban 1 & 3, Ya mas sobat
1. Apa bukti yang tertera itu benar?
3. Apakah praktikmu sudah dapat membuktikkan semua ajaran Sang Buddha?
2. Apa yang diyakini oleh orang banyak selalu benar?Tidak selalu mas sobat
Jadi memang kamu tidak pernah bisa membuktikan? Karena masih meyakini saja?
Apakah Arahat itu harus diyakini keberadaannya?
Saya tidak pernah tahu apakah saya meragukan atau mempercayai ajaran Sang Buddha Gotama, bahkan saya tidak pernah peduli apakah Buddha Gotama itu, Guru THE BEST atau Guru jelek, tokoh nyata atau sekadar tokoh dongeng: Yang pasti saya mempraktikkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari2 saya. Bahkan kalau seandainya ada bukti sangat ilmiah yang menyatakan bahwa Buddha Gotama itu tidak pernah ada atau sebenarnya bukan orang suci, saya tidak akan peduli: Praktik Buddhadharma saya tidak akan terpengaruh.Maaf mas sobat
Menurutmu ini disebut apa? ragu atau yakin?
Lebih penting mana bagimu, mempercayai Sang Buddha sebagai guru THE BEST (dan ajarannya), atau mempraktekkan Buddhadharma?
Apakah kamu akan meninggalkan praktik Buddhadharma kalau suatu saat ditemukan bukti ilmiah sangat kuat bahwa Buddha Gotama itu tidak pernah ada dan hanya tokoh dongeng?
Apakah kamu akan meninggalkan praktik Buddhadharma kalau suatu saat ditemukan bukti ilmiah sangat kuat bahwa Buddha Gotama itu tidak pernah ada dan hanya tokoh dongeng?
Apakah kamu akan meninggalkan praktik Buddhadharma kalau suatu saat ditemukan bukti ilmiah sangat kuat bahwa terdapat kata-kata yang disebut sebagai ucapan Sang Buddha dalam Tipitaka ternyata keliru? Sehingga dengan demikian Ajaran Buddha tidak sempurna lagi?
Jawaban 1 & 3, Ya mas sobat
Kalau anda tidak yakin itu urusan mas
Tidak selalu mas sobat
Tapi saya percaya keyakinan mereka lebih bagus dari mas Sobat
Dutiyampi apakah kamu yakin adanya Arahat ?
Maaf mas sobat
Saya tidak bisa bahas dengan orang yang menjawab dengan memutar2 kata, jawab : ya dan tidak !
Penting atau tidak penting ! Kalau tidak punya Saddha gimana mau praktek mas Sobat !
Maaf, Karena saya tidak tahu praktek Buddha Dhamma kamu model apa, dan patokannya apa ?
Banyak yang mengaku belajar buda dama tetapi …. ?
jangan2 ….. !
Maaf mas sobat, Saya kira anda banyak mengkhayal dan kebanyakan baca buku silat kopingho
Tatiyampi apakah anda meragukan ajaran Buddha ?
1. apakah master LSY adalah guru yg baik ?
2. bisakah juga cocokan inti2 posting disini sehingga master LSY mendptkan nilai berapa ya ?
3. bagaimana mengenai 3a. double standard, dan 3b. menilai guru lain. Pernahkah master LSY melakukannya ?
note : bisa tolong copy jawaban (yg serius) disini juga ? (thx sebelumnya) ^:)^
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17326.msg278124#msg278124
(http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17326.msg278124#msg278124)
_/\_ :P
Buddha Gotama sampai sekarang masih guru terbaik dan terhebat di alam ini, tiada mahluk lain yang bisa mengalahkannya.
1.tidak usah bertemu, memang ajaran THE BEST kok ! :jempol:
dan sudah banyak muridnya yang terbukti berhasil menjadi Arahant, baik bimbingan langsung Beliau atau murid2 lainnya yang tidak dibawah bimbingan Beliau.
2. apakah bro sobat ragu terhadap ajaran Beliau ? ^-^
memang benar ! yaitu Buddha Gotama
tapi sayanknya kita semua masih belum mau praktek dengan serius. ;D
Pendapatku, bro Johan3000 jangan buang2 waktu dan tenaga untuk sekadar menilai LSY. Saya pikir, bro Johan3000 sudah punya jawabannya sendiri. Itu saja cukup.
Dari mana anda tau?
Tidak mau berpraktek tetapi mengambil kesimpulan the Best kepercayaan dari mana yah?
Darimana anda tau?
Nada ini terkesan akrab sekali. Saya akan catat ini untuk diskusi kita di lain kesempatan.
Kaya org K fanatik, bener bro? ^-^
_/\_
The Siddha Wanderer
Tanya:maaf nyela, pandangan benarnya yang seperti apa? dan pandangan benarnya menurut siapa?
Bagaimana caranya agar seorang praktisi awam bisa mengenali guru yang salah?
Shih Fu:
Yang terpenting dalam mengenali guru adalah adanya kemampuan untuk menentukan apakah mereka memiliki pandangan yang benar tentang Buddhadharma. Kalau pandangan mereka benar, walaupun ada kelemahan dalam perilaku mereka, mereka tidak boleh dianggap sebagai guru yang salah. Sebaliknya, kalau sang guru tidak memiliki pandangan yang benar, mereka tidak bisa dianggap sebagai guru yang benar atau sejati.
Tentu saja, di sini dipakai asumsi bahwa orang yang menilai ini telah memahami Dharma dengan benar, Tanpa mengerti Dharma, seorang praktisi tidak akan mungkin bisa menentukan apakah seorang guru itu benar atau salah.
Ada beberaoa kriteria dasar yang dapat dipakai dalam memilih seorang guru. Pertama, pertimbangkan sebab dan kondisi mereka. Artinya, tindakan mereka harus didasarkan kepada kesunyataan; harusnya tidak ada kemelekatan dalam tindakan mereka. Kedua, pertimbangkan sebab musabab atau karma mereka. Makna kesunyataan yang menyertai tindakan para guru yang sejati (sebab dan akibat) haruslah selaras dengan karma mereka (sebab dan akibat). Begitulah tindakan mereka harus diiringi oleh rasa tanggungjawab. Mereka harus, pada setiap, saat sadar penuh akan akibat tindakan mereka. Makanya, ada hubungan yang erat antara tanggungjawab dan ketidakmelekatan.tahu dari mana mereka tidak mempunyai kemelekatan? apa seperti biksu yang menggendong wanita? biksu yang membunuh kucing? biksu yang main gitar? biksu yang mengkoleksi foto cewe? biksu yang main FB?
Inilah pertanda seorang guru yang sejati; mereka memiliki pandangan yang benar tentang Dharma, tindakan mereka tidak memperlihatkan kemelekatan dan mereka bertanggungjawab penuh.
Ch'an Master Sheng-yen.
Kebijakan Zen: Pengetahuan dan Tindakan.
tahu dari mana mereka tidak mempunyai kemelekatan? apa seperti biksu yang menggendong wanita? biksu yang membunuh kucing? biksu yang main gitar? biksu yang mengkoleksi foto cewe? biksu yang main FB?
Tanya:
Bagaimana caranya agar seorang praktisi awam bisa mengenali guru yang salah?
Shih Fu:
Yang terpenting dalam mengenali guru adalah adanya kemampuan untuk menentukan apakah mereka memiliki pandangan yang benar tentang Buddhadharma. Kalau pandangan mereka benar, walaupun ada kelemahan dalam perilaku mereka, mereka tidak boleh dianggap sebagai guru yang salah. Sebaliknya, kalau sang guru tidak memiliki pandangan yang benar, mereka tidak bisa dianggap sebagai guru yang benar atau sejati.
Tentu saja, di sini dipakai asumsi bahwa orang yang menilai ini telah memahami Dharma dengan benar, Tanpa mengerti Dharma, seorang praktisi tidak akan mungkin bisa menentukan apakah seorang guru itu benar atau salah.
Saya tidak pernah tahu apakah saya meragukan atau mempercayai ajaran Sang Buddha Gotama, bahkan saya tidak pernah peduli apakah Buddha Gotama itu, Guru THE BEST atau Guru jelek, tokoh nyata atau sekadar tokoh dongeng: Yang pasti saya mempraktikkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari2 saya. Bahkan kalau seandainya ada bukti sangat ilmiah yang menyatakan bahwa Buddha Gotama itu tidak pernah ada atau sebenarnya bukan orang suci, saya tidak akan peduli: Praktik Buddhadharma saya tidak akan terpengaruh.
1. Darimana anda tau?
2. Bisa anda buktikan gak? Jika belum bisa seharusnya anda meragukan sampai anda membuktikan sendiri kebenarannya.
Fanatisme berasal dari keyakinan buta
bukannya kayak Buddhis fanatik ? ^-^
maaf nyela, pandangan benarnya yang seperti apa? dan pandangan benarnya menurut siapa?
tahu dari mana mereka tidak mempunyai kemelekatan? apa seperti biksu yang menggendong wanita? biksu yang membunuh kucing? biksu yang main gitar? biksu yang mengkoleksi foto cewe? biksu yang main FB
yang ini mah BODHISATVA tingkat 9,
biksu guru demikian memang tidak boleh di cela, tidak boleh dikatai, tidak boleh di pergunjingkan, biar saja apa adanya.
karena Bodhisatva memang lagi melatih diri dan mengumpulkan 'kebajikan' utk meraih pencerahan tingkat 10.
Dan jika ada umat mengatai perbuatan biksu/guru berarti umat itu tidak memahami ajaran tsb dan ilmu masih rendah (setingkat SD), dan guru/biksu tsb memang sedang praktek Upaya Kausalya (titik) :)) :))
mungkin hal demikian tidak bisa kita diskusikan terlalujauh, karena kalau mau tahu lebih jelas engkau harus tanya pada Master Sheng-yen sendiri. Tapi sayang beliau sudah meninggal. Jadi kalau mau tahu lebih banyak, saya sarankan baca buku2 beliau, mungkin ada jawabannya di sana. Tulisan ini saya posting dengan tujuan agar teman-teman yang menghormati Master Sheng-yen untuk mempelajari lagi kata-kata dari beliau, bukan untuk memancing pedebatan intelektual.ya soal kemelekatan dalam maha memang standar ganda.
Mohon maaf sekali kalau saya tidak bisa meladeni pertanyaan bro ryu karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan saya. Trims.
saya memahami bahwa kita memiliki keyakinan berbeda dalam hal ini.
dalam Theravada, prasyarat untuk praktik buddhadhamma adalah Tisarana, yaitu menerima Buddha, Dhamma, Sangha sebagai perlindungan.
Berlindung pada Buddha bermakna, menerima Sang Buddha bahwa Sang Buddha adalah seorang yg tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, guru para dewa dan manusia, dst, dst.
Jadi Tisarana ini menuntut saddha yg diarahkan pada bukan hanya sekedar keberadaan sosok Sang Buddha, tetapi juga termasuk atribut-atribut Sang Buddha spt di atas.
Apakah metode Tisarana ini tidak berlaku dalam Mahayana? kalau boleh tau, apa makna Trisarana dalam Mahayana?
ya soal kemelekatan dalam maha memang standar ganda.
Dalam Mahayana juga terdapat Trisarana, yang rumusannya sama dengan yang ada di Theravada. Dalam hal ini saya juga sudah menerima transmisi Trisarana, dan sampai hari ini kalau ada waktu luang saya selalu megulang Trisarana secara mandiri. Jadi kalau soal keraguan akan "iman" saya, seperti yang didesakkan terus oleh Bro Adi Lim, sebenarnya tidak diperlukan.
Yang saya ajak untuk direnungkan bersama adalah, soal makna Trisarana itu sendiri.
Ketika Bro Adi Lim, berkata bahwa Buddha Gotama adalah Guru yang THE BEST, sebenarnya apakah yang dimaksud? Apakah ini adalah bentuk keyakinannya akan Sang Buddha dan ajaran-Nya atau semata pemujaan akan suatu figur semata dengan memberinya label "keyakinan akan Tisarana"?
Keyakinan akan Trisarana, sebagaimana yang saya pahami dalam Mahayana (maaf kalau tidak sama dengan di Theravada), adalah suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, yang berarti mengabdikan selalu upaya kita, segenap tubuh dan batin kita, untuk mempraktik Buddhdharma guna mencapai pelepasan tertinggi. "Berlindung" dalam hal ini adalah melepaskan keangkuhan ego.
Sedangkan, mengartikan keyakinan akan Trisarana sebagai pemujaan/pengidolaan akan suatu figur adalah sama sekali adalah hal yang berbeda. Hal ini hanya melahirkan rasa kepemilikan akan figur tersebut, seperti konsep Guru-KU, Dharma-KU, Sangha-KU yang TERBAIK, yang secara tersirat di dalam DIRI munculkah peng-AKU-an Trisarana sebagai keyakinan dirinya.
Ketika seseorang mengatakan bahwa Guru-KU adalah yang THE BEST, maka sebenarnya di dalam dirinya secara diam-diam tersirat bahwa AKU adalah yang THE BEST. Karena yang THE BEST adalah adalah Guru-KU, sedangkan Guru-MU adalah sebaliknya: THE WORST. Karena itu kemudian dalam pikirannya ia berkata "Kalau kamu tidak mau mengikuti Guru-KU dan keyakinan-KU akan Guru-KU, maka kamu sebenarnya adalah bodoh. Betapa beruntungnya diri-KU karena telah mendapatkan Guru-KU yang THE BEST dan betapa sialnya kamu yang tidak mau meng-AKU-i Guru-KU sebagai yang THE BEST." Sebenarnya, seakan-akan ia memuja Guru-nya, namun orang ini sebenarnya hanya sedang memuja Ego-nya: karena yang dipuja adalah "Guru-KU, bukan Guru-MU," "Dharma-KU, bukan Dharma-MU, Sangha-KU, bukan Sangha-MU"
Jika Trisarana dianut dengan cara demikian, maka seseorang akan sulit "berlindung", yaitu melepaskan egonya untuk berserah diri kepada praktik Buddhadharma. Daripada mengenali Budhadharma melalui praktik, ia hanya semakin menyimpang pada pemujaan buta akan ego-nya sendiri dan kemudian berpuas diri.
Saya dalam hal ini, hanya berharap Bro Adi Lim bukanlah yang demikian. Karena itulah saya bebincang-bincang dengannya sejenak untuk lebih mengenali motif dibalik kata-katanya.
dengan definisi Trisarana spt itu, bagaimana mungkin seorang yg sudah menerima Trisarana masih mempertanyakan eksistensi Sang Buddha?
Apakah saya menanyakan eksistensi Sang Buddha? Pada bagian mana ya? Mohon diperhatikan, semua kata saya dibuka dengan: "seandainya..." Dan ini adalah cara saya berkomunikasi dengan Bro Adi Lim.
Lagipula, ketika saya menerima Trisarana, sebenarnya saya telah menerima bahwa Hakikat Kebuddhaan ada di dalam diri saya dan di dalam setiap makhluk hidup secara natural. Dikarenakan Citta adalah Buddha, Buddha adalah Citta. Menolak adanya Hakikat Kebuddhaan dalam diri saya dan dalam setiap makhluk hidup adalah kemunduran dalam praktik: mengabaikan Citta. Bagaimana mungkin saya bisa menolak Buddha ?
maaf, makanya saya menambahkan pertanyaan alternatif untuk menghindari kesalahpahaman,
mungkinkah seseorang yg telah menerima Trisarana tidak peduli terhadap eksistensi Sang Buddha? mungkinkah seseorang mempraktikkan buddhadharma seandainya sosok Sang Buddha hanyalah dongeng?
pertanyaan ini terkait dengan statement anda "bahkan saya tidak pernah peduli apakah Buddha Gotama itu, Guru THE BEST atau Guru jelek, tokoh nyata atau sekadar tokoh dongeng"
[at] sobat
Biarkan segala sesuatu berjalan apa adanya
Sadari saja dalam diri anda,
Pikiran dengan sendirinya berhenti
Tidak punya kesempatan
Tidak ada Diri yang muncul
Tidak ada yg tidak terpuaskan
Tidak ada penderitaan
Segala sesuatu memang berjalan sesuai apa adanya,
Segala sesuatu memang tidak memuaskan kita
jangan sampai anda terprovokasi
Jika anda bisa seperti itu dan tetap seperti itu, maka ada Kebenaran
Untuk menjawab ini, izinkan saya menggunakan bantuan perumpamaan yang sebagian memang sudah terdengar klise:
Seandainya sebatang anak panah beracun menancap pada kaki seseorang, namun orang tersebut tidak menyadarinya. Kemudian, seorang pengelana memberitahukan pada orang tersebut, lantas ketika orang tersebut mulai melihat adanya anak panah tersebut dan sesaat itu juga rasa sakitnya mulai terasa.
Apakah yang seharusnya dilakukan orang tersebut? Segera mencabut anak panah tersebut sebelum racunnya menjalar atau mempertanyakan asal-usul pengelana tersebut dulu, baru bersedia mencari ke arah tempat yang ditunjuk oleh si pengelana dan mencabut anak panah beracunnya.
Orang yang bijak akan segera mencabut anak panah beracun itu, tanpa peduli siapa sebenarnya si pengelana yang memperingatkannya. Sedangkan orang yang diliputi kesangsian dan ketidaktahuan, akan mempersoalkan siapa sih pengelana daripada segera mencari dan mencabut panah beracun yang menempel di tubuhnya, lantas berkata, "aku tidak akan percaya kalau ada panah beracun di tubuhku, kalau tidak terbukti bahwa pengelana ini adalah orang yang suci dan mahatahu."
Praktik Buddhadharma seperti mencabut anak panah beracun. Rasa sakit dari anak panah sebenarnya adalah nyata, namun karena tidak tahu, maka kita mengabaikannya. Si pengelana hanya menunjukkan tempatnya agar kita mengenalinya dan segera mencabutnya. Penderitaan di dalam samsara adalah nyata, Sang Buddha hanya memperlihatkan hal tersebut kepada kita, selebihnya kita yang memutuskan untuk lepas darinya atau tidak.
Dikarenakan Sang Buddha adalah yang memberikan petunjuk, maka sebenarnya yang penting adalah yang ditunjuk oleh Beliau sebagai penunjuknya. Panah itu memang sudah menancap pada tubuh orang itu, sedangkan si pengelana hanya menunjukkan adanya panah tersebut. Begitu juga kita pada dasarnya memang hidup dalam Samsara, sedangkan Sang Buddha hanya memperlihatkannya. Ada atau tidak adanya si pengelana tidak mengubah fakta bahwa panah itu telah tertancap dalam tubuh orang tersebut. Ada atau tidak adanya Sang Buddha Gotama, tidak mengubah fakta bahwa manusia telah hidup dalam Samsara.
Oleh karena itu, ketika Sang Buddha menunjukkan ke kita akar penderitaan makhluk hidup di keenam lapisan alam kehidupan, maka seharusnya kita segera menyadarinya. Karena penderitaan itu nyata dan ada, maka sebenarnya dapat yang dapat merasakannya adalah diri kita sendiri. Kemauan kita untuk menyadari adanya penderitaan itu tidak ada hubungannya dengan siapa sebenarnya Sang Buddha itu. Apakah ia tokoh dongeng, tokoh sejarah, fiksi, atau nyata, semuanya itu tidak penting, karena siapapun sebenarnya Sang Buddha itu, semua penderitaan yag dialami kta sebagai makhluk hidup adalah nyata.
Maka berangkat dari kesadaran akan penderitaan itulah, kita melaksanakan praktik Buddhadharma; bukan berangkat dari pengetahuan kita megenai siapa Sang Buddha. Kita mempraktikkan Buddhadharma bukan karena kita menyadari corak kehidupan yang diliputi oleh ketidakpuasan, berubah-ubah, dan tidak berinti, seperti halnya orang yang mencabut anak panah beracun karena menyadari bahaya dari anak panah tersebut.
Inilah maksud saya. Semoga tidak menimbulkan kesalahpahaman lagi.
analogi ini tidak tepat untuk kasus yg dongeng itu, Sang Buddha bukan seorang yg menunjukkan bahwa kaki anda tertancap anak panah. tidak perlu orang memberitahu anda bahwa kaki anda tertancap anak panah, mustahil kaki tertancap anak panah dan anda tidak mengetahuinya. jadi pertanyaan saya di atas masih blm terjawab, yaitu "mungkinkah seseorang yg telah menerima Trisarana tidak peduli terhadap eksistensi Sang Buddha? mungkinkah seseorang mempraktikkan buddhadharma seandainya sosok Sang Buddha hanyalah dongeng?"
atau mungkinkah anda mempraktikkan ilmu2 sihir Harry Potter setelah membaca/menonton kisahnya?
Jika samsara adalah nyata, maka kalau ada yang menunjukkan pada saya bahwa samsara itu ada dan saya melihatnya ada, maka tidak penting yang menunjukkan itu siapa. Saya tidak peduli. Yang penting adalah lepas dari samsara, bukan berputar2 dengan bertanya siapa yang menunjukkan.
Seandainya Buddha adalah dongeng pun, samsara yang nyata kurasakan bukanlah dongeng. Jadi kalaupun ada yang mengatakan Buddha adalah dongeng, maka tidak ada artinya karena aku merasakan samsara ada.
Kalau soal Harry Potter, coba jelaskan lebih jauh lagi maksudmu. Aku belum melihat ada kaiatnnya dengan pembahasan kita.
baiklah, coba kita samakan persepsi dulu.
ketika anda mengatakan bahwa "Tisarana adalah suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Buddha", bagaimanakah anda menyerahkan diri anda pada sosok dongeng, sosok yg tidak ada?
Buddha dalam Trisarana bukan soal figur historis. Berserah total kepada Sang Buddha adalah berserah total pada Kebijaksanaan dan Cinta kasih, potensi pencerahan yang ada dalam di dalam setiap makhluk hidup.
Jika kita menafsirkan "Buddha" dalam Trisarana semata-mata sebagai sosok manusia/pribadi/person Buddha Gotama, maka kita akan terjebak dalam pengidolaan figur.
berlindung pada Buddha menurut pemahaman saya atas ajaran Theravada adalah berlindung pada Sang Buddha dengan kualitas2nya spt yg didefinisikan dalam Buddhanussati. misalnya "Yang mencapai penerangan sempurna", "yang sempurna pengetahuan dan perilaku", dst. saya masih tidak bisa mengerti tentang bagaimana seseorang bisa menyerah secara TOTAL pada kualitas2 tidak nyata dari seorang yg juga tidak nyata. bagaimana menurut Mahayana?
Dengan merelakan atau melepasan apa yang dimiliki selama ini (kualitas-kualitas yang dipenuhi oleh lobha, moha, dan dosa), maka kita mulai menyerahkan diri kepada kualitas Kebuddhaan tersebut.
Kualitas itu sendiri adalah nyata sebagai potensi dalam setiap makhluk hidup, meski belum tentu (bukan "Tidak ada") ada figur historis dibaliknya.
belum tentu artinya berlaku sama baik untuk kasus "ada" maupun "tidak ada", nah bagaimana jika "tidak ada"?
Saya tidak mau berspekulasi :) Daripada menghabiskan waktu untuk berspekulasi, lebih baik mempraktikkan Buddhadharma.
"Seandainya Buddha adalah dongeng pun, samsara yang nyata kurasakan bukanlah dongeng."
tapi anda sendiri pun berandai2, maka apa salahnya kita lanjutkan sedikit dengan "seandainya tidak ada"?
kau merasa dirimu sebagai "Buddhis fanatik"?
Buddha dalam Trisarana bukan soal figur historis. Berserah total kepada Sang Buddha adalah berserah total pada Kebijaksanaan dan Cinta kasih, potensi pencerahan yang ada dalam di dalam setiap makhluk hidup.
Jika kita menafsirkan "Buddha" dalam Trisarana semata-mata sebagai sosok manusia/pribadi/person Buddha Gotama, maka kita akan terjebak dalam pengidolaan figur.
Dalam Mahayana juga terdapat Trisarana, yang rumusannya sama dengan yang ada di Theravada. Dalam hal ini saya juga sudah menerima transmisi Trisarana, dan sampai hari ini kalau ada waktu luang saya selalu megulang Trisarana secara mandiri. Jadi kalau soal keraguan akan "iman" saya, seperti yang didesakkan terus oleh Bro Adi Lim, sebenarnya tidak diperlukan.
Yang saya ajak untuk direnungkan bersama adalah, soal makna Trisarana itu sendiri.
Ketika Bro Adi Lim, berkata bahwa Buddha Gotama adalah Guru yang THE BEST, sebenarnya apakah yang dimaksud? Apakah ini adalah bentuk keyakinannya akan Sang Buddha dan ajaran-Nya atau semata pemujaan akan suatu figur semata dengan memberinya label "keyakinan akan Tisarana"?Menurut saya, ini tergantung pribadi masing-masing, karena kalau tidak salah murid Buddha ( YM Ananda ) atau umat awam ( Anathapindika ) pernah bertanya kepada Buddha soal ini, dan Buddha menjawab didalam salah satu suttanya ,"Benar, bahwa apabila seseorang hanya dengan menyakini Buddha Dhamma Sangha ( Buddha saja juga bisa ), maka pada kelahiran selanjutnya di akan lahir di alam yang lebih berbahagia " ( walau pun tujuan umat Buddha adalah mengakhiri dukkha (nibbana), tapi kita kesampingkan yang ini dlu ).
Keyakinan akan Trisarana, sebagaimana yang saya pahami dalam Mahayana (maaf kalau tidak sama dengan di Theravada), adalah suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, yang berarti mengabdikan selalu upaya kita, segenap tubuh dan batin kita, untuk mempraktik Buddhdharma guna mencapai pelepasan tertinggi. "Berlindung" dalam hal ini adalah melepaskan keangkuhan ego.
Sedangkan, mengartikan keyakinan akan Trisarana sebagai pemujaan/pengidolaan akan suatu figur adalah sama sekali adalah hal yang berbeda. Hal ini hanya melahirkan rasa kepemilikan akan figur tersebut, seperti konsep Guru-KU, Dharma-KU, Sangha-KU yang TERBAIK, yang secara tersirat di dalam DIRI munculkah peng-AKU-an Trisarana sebagai keyakinan dirinya.
Ketika seseorang mengatakan bahwa Guru-KU adalah yang THE BEST, maka sebenarnya di dalam dirinya secara diam-diam tersirat bahwa AKU adalah yang THE BEST. Karena yang THE BEST adalah adalah Guru-KU, sedangkan Guru-MU adalah sebaliknya: THE WORST. Karena itu kemudian dalam pikirannya ia berkata "Kalau kamu tidak mau mengikuti Guru-KU dan keyakinan-KU akan Guru-KU, maka kamu sebenarnya adalah bodoh. Betapa beruntungnya diri-KU karena telah mendapatkan Guru-KU yang THE BEST dan betapa sialnya kamu yang tidak mau meng-AKU-i Guru-KU sebagai yang THE BEST." Sebenarnya, seakan-akan ia memuja Guru-nya, namun orang ini sebenarnya hanya sedang memuja Ego-nya: karena yang dipuja adalah "Guru-KU, bukan Guru-MU," "Dharma-KU, bukan Dharma-MU, Sangha-KU, bukan Sangha-MU"
Jika Trisarana dianut dengan cara demikian, maka seseorang akan sulit "berlindung", yaitu melepaskan egonya untuk berserah diri kepada praktik Buddhadharma. Daripada mengenali Budhadharma melalui praktik, ia hanya semakin menyimpang pada pemujaan buta akan ego-nya sendiri dan kemudian berpuas diri.
Saya dalam hal ini, hanya berharap Bro Adi Lim bukanlah yang demikian. Karena itulah saya bebincang-bincang dengannya sejenak untuk lebih mengenali motif dibalik kata-katanya.
memang Buddha Gotama adalah guru THE BEST, toh guru idola mas Sobat alm. Sheng Yen aja praktek ajaran Beliau (Buddhadharma) dan termasuk anda sendiri .
atau mas Sobat latihan ajaran 'buda' lainnya ?.
- Untuk point 1, saya bingung dengan pernyataan yang berstandart ganda dari Saudara Sobat, itu seperti pertanyaan dari petapa aliran sesat yang bisa di baca dalam Tipitaka keluaran DC, atau dalam beberapa sutta ( dimana petapa tersebut menjawab pertanyaan umatnya dengan kata , " Antara Ya atau Tidak " )
Saudara Sobat sendiri tidak tahu mengenai kondisi batinnya, apakah dia meyakini Tiratana dan berlindung dalam Tisarana, bahkan dia menyatakan tidak peduli tentang hal tersebut,Berlindung pada Triratna bukan soal peraya atau tidak percaya… Kalau kamu meafsirkannya demikian kamu tidak ubahnya dengan umat agama K yang meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna tidak sama dengan cara Umat K meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna adalah penyerahan total pada hakikat Kebuddhaan dan praktik Buddhadharma, bukan pemujaan pada satu sosok figur.
lha...sedangkan Buddha menekankan dalam Dhammanussati untuk MENYELIDIKI...So...????Bddhanusat adalah praktik Buddhadharma juga, so?
Orang yang bahkan tidak tahu mengenai dirinya sendiri, bagaimana sih caranya dia melakukan praktik BuddhaDhamma ?Ini kesimpulan dari mana? Coba kasih alur logika yang lebih sistematis.
Ibarat seseorang memakan sepiring masakan dari Chief Handal, orang tersebut memakan masakan tersebut karena percaya dari historynya Chief Handal tersebut ( biografi ) dan setelah percaya dengan "kemampuan" Chief tersebut baru memesan makanan, dan setelah dimakan(diselidiki/ehipasiko) ternyata terbukti "enak" maka dari kepercayaan tersebutlah timbul "keyakinan"..
Nah, kalau saudara sobat sendiri gimana ya ?karena dalam point 2 s/d 6, seakan-akan yang saya lihat Saudara Sobat membombandir soal praktik BuddhaDhamma, lha, dari point 1 Saudara bilang "tidak peduli", point selanjutnya Saudara malah membombandir praktik Buddha seakan-akan praktik tersebut adalah pasti benar, nah darimana saudara memiliki "keyakinan" tersebut ?
Jangan-jangan itu hanya seperti yang Saudara katakan, "pengindolaan", kalau bro Adi disebut "pengindolaan terhadap sosok figur Buddha", kalau anda bisa tidak disebut sebagai "pengindolaan terhadap ajaran Buddha" ?
Ternyata bro Riky Dave ini pengacaranya Adi Lim. Toh :)) Atau pakai kata2-nya Bro Indra "klonengan"
hati2, banyak penonton. atau apakah anda lebih suka agar bro Riky tdk meng-counter anda? adalah wajar jika seorang member memberikan suatu pernyataan, dan member lain mempertanyakan pernyataan itu.
- Untuk point 1, saya bingung dengan pernyataan yang berstandart ganda dari Saudara Sobat, itu seperti pertanyaan dari petapa aliran sesat yang bisa di baca dalam Tipitaka keluaran DC, atau dalam beberapa sutta ( dimana petapa tersebut menjawab pertanyaan umatnya dengan kata , " Antara Ya atau Tidak " )
Saudara Sobat sendiri tidak tahu mengenai kondisi batinnya, apakah dia meyakini Tiratana dan berlindung dalam Tisarana, bahkan dia menyatakan tidak peduli tentang hal tersebut,Berlindung pada Triratna bukan soal peraya atau tidak percaya… Kalau kamu meafsirkannya demikian kamu tidak ubahnya dengan umat agama K yang meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna tidak sama dengan cara Umat K meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna adalah penyerahan total pada hakikat Kebuddhaan dan praktik Buddhadharma, bukan pemujaan pada satu sosok figur.
lha...sedangkan Buddha menekankan dalam Dhammanussati untuk MENYELIDIKI...So...????Bddhanusat adalah praktik Buddhadharma juga, so?
Orang yang bahkan tidak tahu mengenai dirinya sendiri, bagaimana sih caranya dia melakukan praktik BuddhaDhamma ?Ini kesimpulan dari mana? Coba kasih alur logika yang lebih sistematis.
Ibarat seseorang memakan sepiring masakan dari Chief Handal, orang tersebut memakan masakan tersebut karena percaya dari historynya Chief Handal tersebut ( biografi ) dan setelah percaya dengan "kemampuan" Chief tersebut baru memesan makanan, dan setelah dimakan(diselidiki/ehipasiko) ternyata terbukti "enak" maka dari kepercayaan tersebutlah timbul "keyakinan"..
Nah, kalau saudara sobat sendiri gimana ya ?karena dalam point 2 s/d 6, seakan-akan yang saya lihat Saudara Sobat membombandir soal praktik BuddhaDhamma, lha, dari point 1 Saudara bilang "tidak peduli", point selanjutnya Saudara malah membombandir praktik Buddha seakan-akan praktik tersebut adalah pasti benar, nah darimana saudara memiliki "keyakinan" tersebut ?
Jangan-jangan itu hanya seperti yang Saudara katakan, "pengindolaan", kalau bro Adi disebut "pengindolaan terhadap sosok figur Buddha", kalau anda bisa tidak disebut sebagai "pengindolaan terhadap ajaran Buddha" ?
1. Untuk mengingatkan diri bahwa setiap makhuk sudah memiliki potensi hakikat Kebuddhaan di dalam dirinya sejak semula.
2. Mendorong diri terus agar tidak lupa mempraktikkan Buddhadharma.
Bisa jadi praktiknya lebih baik. Kalau pun seandainya yang fanatik itu rajin berpraktik, tapi fanatisme itu akan menghalangi dirinya untuk maju lebih jauh dalam praktik. Jika ia melepaskan fanatisme itu, maka praktiknya akan mengalami lebih banyak lagi kemajuan.
Kalau hanya dari pernyataan luar yang tampak, memang kita tidak bisa membedakan mana yang menyatakannya dengan pemujaan/pengidolaan dan mana yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur yang sebesar-besarnya terhadap Sang Buddha. Keduanya, bisa jadi tamak sama dari luar, namun motifnya berbeda. Yang pertama dipenuhi oleh Ego Kepemilikan atas Sang Buddha, yang satunya disertai dengan rasa penuh terimakasih atas jasa-jasa Sang Buddha. Rasa terimakasih yang diucapkan setulus-tulusnya pada orang lain (bukan sekadar formalitas), akan membantu kita dalam mengurangi ego kita yang besar.
Oleh karena itu, soal pernyataan sdr. Adi Lim, saya hanya ingin tahu, mana yang menjadi landasan motifnya. Maka saya mengajukan beberapa pertanyaan padanya.
Pengidolaan disertai dengan hasrat akan rasa kepemilikian atas obyek idolanya (Guru-KU, Dharma-KU, Sagha-KU). Rasa bersyukur dan terimakasih yang tulus dan ikhlas, apalagi disertai dengan persembahan, adalah betuk pelepasan.
Coba jelaskan lagi maksud bagian ini.
Rasa bersyukur yang tinggi atas jasa-jasa Sang Buddha.Nah, dalam kasus tersebut Saudara bisa mengatakan itu dikarenakan "rasa syukur yang tinggi atas jasa-jasa Sang Buddha", maka bisakah bila saya mengatakan " Buddha is the best ", Saudara juga mengatakan bahwa saya juga turut bersyukur mengingat "jasa-jasa Buddha" dan merenungkan segala kebenaran dan kesempurnaan Sang Tercerahkan/Yang Tersadarkan ?Atau malah Saudara hendak mengatakan saya "mengindolakan" Buddha dengan mengatakna Buddha is the best ?
1. Apakah Sang Buddha pernah minta diakui sebagai guru? Toh, beliau pernah mengatakan bahwa siapapun boleh datang belajar dengan-Nya, kalau tidak mendapatkan faedah apa2, boleh pergi meninggalkan-Nya. Ini bukan sikap sombong seseorang yang gila hormat.kalau tidak salah disini ada Dhammapadda, coba di buka dan baca, karena saya membaca dalam Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya, disebutkan seperti itu...Dan seperti permintaan saya sebelumnya coba kita "cabut" dulu semua label "arahat" dan "buddha", kalau saya mencabutnya seperti yang telah saya jelaskan pada quote sebelumnya, saya akan melihatnya dalam 2 point, dan dalam point pertama ini, tampak luar Buddha terlihat seakan hendak mengatakan " SAYA GURUMU, KAMU MURIDKU, SAYA LEBIH TINGGI, KAMU LEBIH RENDAH " >> nah jelas ini asumsi saya, kacamata umat awam, karena saya makhluk biasa yang belum tercerahkan dan tidak memiliki kemampuan apapun..Sama seperti kasus Saudara melihat pernyataan Saudara Adi yang mengatakan "buddha is the best", langsung muncul "ego" anda yang masih awam mengatakan saudara adi mengindolakan Buddha, dst dstnya...
2. Pertapa tersebut pasti memiliki kebijaksanaan (prajna) yang memungkinkan ia mencapai suatu tingkat pencerahan tertentu dari hanya dengan mendengar. Kemudian, ketika ia mendengar ajaran Sang Buddha, maka ia bisa langsung melihat apa yang dikatakan oleh Sang Buddha adalah benar. Seperti orang yang matanya bersih ditunjukkan sesuatu yang sebelumnya ia abaikan oleh seseorang yang matanya lebih jernih, lantas berkata, "benar sekali apa yang kamu tunjukkan, sebelumnya saya tidak melihanya." Hal ini dikarenakan praktik-praktik yang dijalani olehnya pada sebelumnya, sehingga ketika pada waktunya telah matang ia bertemu dengan Sang Buddha dan menikmati hasil dari praktiknya. Ini bukan pengakuan buta atas kata-kata Sang Buddha.
Saya hanya meniru cara-cara Anda :)
Darimana anda tau?
Saya sudah menjelaskan soal ini saat Bro Indra bertanya, silahkan baca kembali perumpamaan tentang anak panah beracun dan pengelana. Tidak ada soal “antara ya dan tidak”.
Berlindung pada Triratna bukan soal peraya atau tidak percaya… Kalau kamu meafsirkannya demikian kamu tidak ubahnya dengan umat agama K yang meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna tidak sama dengan cara Umat K meyakini Trinitas. Berlindung pada Triratna adalah penyerahan total pada hakikat Kebuddhaan dan praktik Buddhadharma, bukan pemujaan pada satu sosok figur.
Bddhanusat adalah praktik Buddhadharma juga, so?Jika Buddhanussati sendiri merupakan praktik BuddhaDhamma, bisakah seseorang yang merenungkan kualiatas Buddha disebut sebagai "fanatisme"(mengindolakan figur Buddha) menurut Saudara ?
Ini kesimpulan dari mana? Coba kasih alur logika yang lebih sistematis.Coba baca komentar saya diatas...thanks
Tampak peduli latar belakang Chef tersebut kita bisa memutuskan makanan itu enak atau tidak. Cicipi langsung saja makanannya. Dengan mencicipi langsung makanannya, kita bisa menilai rasa makanan itu secara obyektif. Justru sernkali orang yang tahu tentang latar belakang chef yang memasak makanaan tersebut akan menjadi bias penilaiannya, karena dipengaruhi oleh pengetahuan akan lata belakang chef-nya.
saya hanya bertanya pada Bro Ai Lim, apakah ia akan tetap mempraktikkan Buddhadharma (sebagaimana yang ia yakini), seadainya suatu saat ia menemuka bukti2 tersebut. Ini sama sekali tidak terkait dengan praktikku pribadi.
Saya tidak mengidolakan ajaran siapapun. Saya melihat sendiri apa yang dikatakan oleh Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari saya sendir. Ajaran Buddha menunjukkan sesuatu, dan saya melihat kemudian menekannya sendiri. Maka saya mempraktikkannya karena merasakan faedahnya. Tidak ada pemujaan apapn di sini.
Buddha Gotama sampai sekarang masih guru terbaik dan terhebat di alam ini, tiada mahluk lain yang bisa mengalahkannya.
Saya tidak pernah tahu apakah saya meragukan atau mempercayai ajaran Sang Buddha Gotama, bahkan saya tidak pernah peduli apakah Buddha Gotama itu, Guru THE BEST atau Guru jelek, tokoh nyata atau sekadar tokoh dongeng: Yang pasti saya mempraktikkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari2 saya. Bahkan kalau seandainya ada bukti sangat ilmiah yang menyatakan bahwa Buddha Gotama itu tidak pernah ada atau sebenarnya bukan orang suci, saya tidak akan peduli: Praktik Buddhadharma saya tidak akan terpengaruh.
Sama seperti bro Indra, saya juga kurang paham mengenai perumpaan tersebut dengan pertanyaan yang diajukan, bisakah Saudara Sobat memberikan analogi/perumpanaan lainnya sebagai bahan diskusi agar menjadi lebih jelas ? Terima Kasih.. :-)
Saya enggan membicarakan soal agama lain dalam diskusi ini, karena saat ini yang kita bahas adalah "ajaran Buddha" sendiri bukan ajaran yang lain, terlebih lagi pengikut fanatik juga belum tertentu terlahir di alam menderita seterusnya dan seterusnya, bisa saja dia terlahir di alam yang lebih berbahagia ( karena seperti yang kita ketahui, penentu kelahiran selanjutnya adalah KAMMA, dalam hal ini bisa saja pengikut tersebut "rajin" berbuat baik ).
Menurut saya malah sebaliknya, bahwa berlindung kepada Tiratana berdasarkan "percaya/yakin" atau "tidak percaya/tidak yakin", secara pribadi saja, tentu saya sebagai umat biasa berlindung kepada sesuatu yang benar-benar bisa melindungi saya, tidak mungkin pula saya berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindungi saya ( dalam hal ini sesuatu yang tidak nyata, dongeng, dll ) .Saya umpamkan saja, misalkan saya tersesat didalam hutan, kemudian muncul 2 orang, orang pertama merupakan orang asing( yang saya tidak kenal siapa, asal usulnya dst dstnya ), lalu orang kedua merupakan ibu saya ( yang secara jelas saya tahu siapa dia ), tentu saja ketika saya dihadapkan oleh pilihan untuk mengikuti siapa agar dapat keluar dari hutan tersebut, saya memilih berlindung dengan ibu saya ( berdasarkan kepercayaan saya bahwa ibu saya bisa melindungi saya, berdasarkan bahwa saya tahu dia adalah ibu saya!saya tahu siapa dia !yang memberikan saya kasih sayang, cinta kasih ! )..
Sama pula halnya dengan berlindung kepada sesuatu, sangatlah mustahil seseorang berlindung kepada sesuatu yang tidak bisa melindunginya ( kepada sesuatu yang tidak nyata/tidak ada ) karena sesuatu itu tidak ada/nyata, bagaimana dia bisa melindungi ?
Saya sudah ingat siapa Raja yang membunuh ayahnya, yakni Raja Ajasatu, ketika Raja Ajassatu mendengarkan Dhamma dari Buddha, dia merasa bahagia ( walau tidak dapat mencapai tingkat kesucian apapun ), tetapi kala itu muncul didalam hatinya bahwa Buddha bisa melindunginya, maka dia menyatakan perlindungan kepada seseorang yang diyakininya bisa melindunginya..Dalam kasus Ajassatu, bisakah Saudara sobat katakan dia sebagai Raja yang "mengindolakan" Buddha atau malah sebaliknya bahwa Raja Ajassatu memiliki "keyakinan/kepercayaan" terhadap Buddha Dhamma dan Sangha ?
Lantas yang menjadi pertanyaan saya adalah beberapa komentar yang ditulis oleh Saudara Sobat, bahwa Saudara sobat tidak peduli Buddha nyata atau tidak nyata, jika begitu bagaimana Saudara bisa meluangkan waktu melafalkan Tisarana yang notabene tidak saudara peduli itu nyata atau tidak nyata ?Lantas bagaimana Saudara bisa mempraktekkan dan mengatakan praktek yang anda lakukan adalah "penyerahan secara total" terhadap sesuatu yang Saudara tidak peduli ada atau tidak ada ?
Jika Buddhanussati sendiri merupakan praktik BuddhaDhamma, bisakah seseorang yang merenungkan kualiatas Buddha disebut sebagai "fanatisme"(mengindolakan figur Buddha) menurut Saudara ?
Coba baca komentar saya diatas...thanks
Menurut saya tulisan anda "terlihat bijak tetapi sesungguhnya sangat tidak bijak", mengapa saya mengatakan demikian ?Mari kita logikan, ketika saya memasuki sebuah restoran atau cafe, saya terlebih dahulu menanyakan ke teman saya, "Pernah makan di cafe A ?bagaimana rasa di cafe A ? " >>> setelah mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati saya, maka saya pergi ke cafe A untuk langsung ehipassiko, dari saya baru muncullah kepercayaan ( dari diri saya sendiri sebagai pemakan ), sesungguhnya cafe A lezat atau tidak lezat >> kesimpulan ini tidak bisa dianggap kebenaran mutlak.
Sama halnya ketika Buddha mencapai pencerahannya pertama kali, sesudah bangun dari pencerahannya Buddha menuju untuk bertemu 5 Petapa, kala itu Buddha bertemu seorang petapa yang menyapanya, petapa bertanya, " Siapakah Anda ?Siapakah Guru Anda ? dstnya ( cerita selengkapnya baca sendiri ), kemudian Buddha menjawab, " Saya adalah Buddha ( Yang tercerahkan
), Saya tidak ada guru, dan tidak seorang pun yang bisa menandingi saya dstnya..." >> kala itu si petapa tidak merespon, menurut saya sebabnya dia "tidak percaya kepada Buddha", karena Buddha hanya menyatakan dia tercerahkan ( disana tidak ada penjelasan Dhamma apapun ), sangat wajar bila petapa yang tidak mengenal siapa Buddha, tidak mungkin menyatakan perlindungan terhadap seseorang yang tidak dia kenal, dan hanya mengaku dia sebagai Buddha..
sama halnya ketika kita bertemu seseorang yang mengaku dirinya "Buddha atau Arahat", apakah anda langsung percaya "dia" adalah Arahat atau Buddha ?Menurut saya tentu tidak !kecuali setelah anda mengetahui asal usulnya, mengikutinya selama beberapa tahun, melihat tingkah lakunya, melihat pembabaran Dhammanya !baru anda percaya !
Sama halnya ketika tersiar kabar bahwa telah muncul seorang SamsamBuddha orang TIDAK LANGSUNG PERCAYA atau seperti kata anda langsung mencicipi makanannya, orang melihat dulu, menyelidiki dulu baru memakan ( lihat perenungan Dhammanussati, lihat Kalama Sutta, lihat Udumbara Sutta )
Kalau begitu saya yang akan bertanya kepada Saudara Sobat, apakah Saudara sobat akan terpengaruh jika seandainya sosok Buddha itu hanya dongeng ? Mohon dijawab..thanks
Nah, apakah dengan mengatakan "Buddha is the best" termasuk kategori "pengindolaan" atau "pemujaan" ?kemudian, apakah anda mempercayai/menyakinan ajaran Buddha dan Buddha itu sendiri ?Mhon di jawab...thanks
pemujaan pribadi/fanatisme tidak berhubungan dengan apakah tokoh yg dipuja adalah nyata atau dongeng. sewaktu saya masih kecil, sangat kecil, saya sangat memuja dan mengidolakan SUPERMAN (bukan SUPARMAN), dan BATMAN, dan SPIDERMAN; kakak2 saya berulang2 mengatakan bahwa tokoh2 idola saya itu hanya dongeng, tapi saya tetap ngotot. jadi apakah sosok tokoh adalah nyata atau dongeng, pemujaan/pengidolaan atau fanatisme tetap saja bisa terjadi.
Tapi seandainya pun fanatisme itu memang disebabkan oleh pemujaan pada pribadi, saya jadi melihat bahwa fanatisme itu ternyata bukanlah suatu hal yg buruk.
dalam dua kasus (Adi Lim vs Sobat-dharma) saya melihat bahwa versi Bro Adi masih lebih baik di mata saya, karena setidaknya Bro Adi fanatik dengan berdasarkan pada sosok yg ia yakini nyata. sebaliknya Bro Sobat juga fanatik (dalam makna spt kisah masa kecil saya) tapi berdasarkan pada sosok yg tidak diyakini eksistensinya (merujuk pada "tidak peduli nyata atau dongeng")..
Bisa memang. Karena itu saya mengatakan FIGUR itu tidak penting, apakah itu Nyata ataupun Tidak Nyata. Yang penting adalah realitas yang ditunjukkan oleh figur itu. Contoh: Spiderman memang bisa jadi tidak nyata. Tapi ketika ia mengajarkan kepada kita:"With great power comes great responsibility." 'Ajaran' itu dapat berfaedah dalam hidup kita, karena setiap kita memiliki kekuasaan/kekuatan yang lebih besar, sebenarnya tanggungjawab kita makin besar pula: setidaknya pengalaman hidup yang kualami demikian adanya. Walaupun yang mengajarkan kepada kita mengenai nilai hanyalah tokoh fiksi, tapi nilai-nilai itu tetap bermanfaat untuk merefleksikan hidup kita. Jadi, nyata ataupun tidak nyata tokoh yang menyampaikan nilai itu tidaklah penting, yang penting adalah nilai itu sendiri.
Baik dan buruk sesuatu itu relatif. Tergantung bagaimana hal tersebut berdampak dalam hidup seseorang.
.
saya tidak keberatan kalau hanya dibilang "fanatik", entah dengan Bro adi (kalau tak salahkan menolak disebut fanatik :) )
Tetapi sekali lagi saya tidak mengidolakan sosok apapun (nyata ataupun tidak nyata)<; Kata "Tidak peduli dengan nyata atau dongeng" berarti saya sama sekali tidak peduli dengan suatu figur atau sosok dalam bentuk apapun (nyata ataupun tidak), tapi reaitas yang ditunjukkan oleh figur itu. Mohon jangan ditafsirkan bahwa saya sedang meyakini suatu figur yang tidak jelas.
mas sobat, ternyata Buddha Gotama LUAR BIASA. !Kamu yang paling tahu kan pikiranmu sendiri
Pernyataan diatas, apakah idola, fanatik, atau ideal?
Kembali lagi pertanyaan awal mas sobat belum jawab nih
Apakah mas sobat meragukan para Arahat?
Bro sobat, mari kita langsung to-the-point,
jika anda mengabaikan sosok yg mengajarkan, yg penting adalah ajarannya, menurut pemahaman saya, itu adalah wujud "berlindung pada Dhamma" bagi anda, tetapi bagaimankah praktik "berlindung pada Buddha" bagi anda?
Buddha, Dharma, dan Sangha adalah tunggal!
Kamu yang paling tahu kan pikiranmu sendiri
:)) Walaupun sudah dijawab sepanjang itu belum bisa menyimpulkan? :))
Menurutmu bagaimana loh?
semakin mengerti, walau sutra palsu, yang penting isinya, tokoh buda amitaba, kwan im, tidak perduli asli atau palsu yang terpenting ajarannya, ucapan benar artinya sudah tidak diperlukan dalam buda darma, kebohongan sudah tidak artinya, yang terpenting adalah isinya yang mengandung buda darma.
tambahan, juga kalau nibbana itu bohong pun maka tetap akan menjalani buda darma.
mantap deh ajaran buda baru.
saya bahkan belum bisa mempercayai kedua orang tua saya sekarang adalah orang tua kandung saya karena memang saya belum pernah TEST DNA untuk membukti-kannya...
Seandai-nya sudah di tEST DNA, saya masih belum bisa percaya kalau hasil test-nya tidak di-manipulasi... wkwkwkwkw...
Ketika seseorang menggunakan jarinya menunjuk ke bulan, maka seharusnya yang kita perhatikan adalah bulan, bukan orang atau jarinya. Orang yang menunjuk dan telunjuk yang digunakan untuk menunjuk adalah alat belaka, sedangkan intisarinya adalah bulan tersebut yang ditunjuk.
Buddha dan ajaran-Nya adalah orang dan jari yang menunjuk, sedangkan praktik adalah bulannya.
Semoga paham. Mohon maaf, kalau Anda tidak paham lagi, saya tidak bisa membantuk lagi. Terimakasih.
Tapi cara memuja/mengidolakan Triratna sebagai figur, telah menjadikannya tidak berbeda dengan agama lain itu memperlakukan Tuhannya.Itu urusan agama lain, bukan urusan kita, buat apa pula kita bahas agama yang lain ?Kemudian siapa yang mengindolakan Tiratana ?
Maksudmu Triratna jadi kayak jimat gitu. Boleh juga :) Kalau kamu mau menghayati demikian, ya boleh juga. Kalau dianalogikan dengan perlindungan dari sesuatu, inilah pemahaman saya: dengan menyerahkan diri secara total pada praktik Buddhadharma (mengembangkan sila, samadhi, dan prajna), maka saya melindungi diri dari perilaku buruk yang berasal dari lobha, moha, dan dosa. Saya berlindung bukan pada figur tertentu, tetapi berlindung pada praktik Buddhadharma (sila, samadhi, prajna), di mana saya berserah diri secara total.
Saya tidak terlalu ingat cerita itu. Silahkan ceritakan dulu lebih lengkap.Silakan di search di google...thanks
Karena saya tidak berserah pada Buddha dalam bentuk figur historis (yang bisa nyata atau tidak nyata), tapi berserah diri secara total pada Buddha sebagai hakikat kebuddhaan (kualitas Kebuddhaan) di dalam diri setiap makhluk, yang berarti itu adalah berserah secara total pada kebijaksanaan dan cinta kasih. Kebijaksanaan dan cinta kasih tidak perlu dibuktikan sebagai nyata atau tidak nyata, karena ia ada dalam praktik nyata sehari-hari.
Tidak.
Justru karena sudah membaca, tapi tidak melihat koherensi maknanya, maka saya meminta Anda untuk menjabarkannya dengan lebih logis dan sistematis.
Saya tidak sedang berusaha menjadi "bijak", hanya menyampaikan apa adanya pandangan saya, karena itu bisa jadi buat Anda terdengar "tidak bijak." Kembali ke contoh yang Anda buat:
Ketika Anda mencoba langsung ke cafe, memang Anda sedang berehipassiko. Ketika itu dilaksanakan, referensi dari teman Anda hanyalah tinggal jadi pengetahuan yang akan terbukti atau tidak terbukti kebenarannya tatkala kita benar-benar langsung mencoba hidangan di cafe tersebut. Jika kita tetap bisa imparsial, tidak bias, dan obyektif, maka kita dapat menilai dengan tepat apa rasa makanan tersebut menurut pengalaman kita sendiri tanpa diinterupsi oleh ingatan akan penilaian dari teman kita. Jika itu yang terjadi, maka ini namanya ehispassiko: karena disertai dengan kesadaran jernih tanpa penilaian yang bias.
Akan tetapi, apa jadinya kalau ternyata penilaian teman Anda tersebut kemudian mempengaruhi secara total komentar Anda akan makanan di cafe tersebut? "karena saya sangat percaya dan yakin dengan teman saya, pasti apa yang dikatakan oleh teman saya pasti selalu benar." Kemudian tatkala kita mencoba makanan di cafe yang direferensikan tersebut, persepsi kita tentang makanan lantas dipaksakan oleh asumsi tersebut, maka dalam pikiran muncul asumsi: "Temanku berkata makanan di cafe ini enak, karena temanku tidak mungkin salah, maka makan di cafe ini pasti enak, tidak mungkin tidak enak." Hal demikian hanya membuat kita semakin jauh dari pengalaman asli (orisinil) kita sendiri, karena semua penilaian atas pengalaman kita kemudian direpresi oleh keinginan kita mempertahankan keyakinan akan kebenaran figur teman kita. Ini bukan lagi ehipassiko, tapi kepercayaan buta yang muncul dari sikap favoritisme atas teman yang kita yakini (positif di mata kita).
Dari mana ketidakpercayaan itu muncul, justru dari adanya asumsi yang telah diyakininya dalam kepalanya. Kalau si petapa adalah orang yang tanpa tendensi, obyektif, imparsial, tanpa bias, maka ia akan menyelidiki lebih jauh lagi siapa Sang Buddha. Namun, dikarenakan si petapa penuh asumsi di kepalanya, 'Tidak mungkin ada yang demikian, karena dalam pengetahuan saya tidak mungkin demikian", yang diyakini sebagai benar demikian, maka ia tidak tertarik lagi mencari tahu.
Dalam kasus kalau kepercayaannya pada figur memang demikian, tapi saya lebih mementingkan praktik (demikian saya berkomitmen pada diri saya) daripada berspekulasi apakah guru saya adalah Arahat atau bukan, cerah atau tidak.Praktiknya Anda dapatkan darimana ?Apakah sama seperti asumsi Anda, Anda langsung makan sebuah makanan tanpa menyelidikinya, seperti itu kah Anda ?dan Anda tetap "ngotot" dengan tindakan Anda tersebut, sehingga saya memberi asumsi anda ibarat seseorang yang "mengindolakan ajaran Buddha tanpa peduli dengan eksistensi Buddha atau Ajaran itu sendiri"..
ya, yang diselidiki adalah makanannya, bukan siapa si pembuat makanan, bukan pula ingatan kita akan referensi teman kita akan makanan tersebut.
Sudah dijawab di atas kan. Tidak akan terpengaruh.
Wah, pertanyaan yang ini agak membingungkan. Mohon diperjelas.
nah, mohon anda menggunakan bahasa awam kepada saya, kenapa perlu Tisarana, kenapa tidak cukup dengan Ekasarana jika Buddha, Dharma, dan Sangha adalah tunggal?
dari apa yang saya pahami dari ajaran Theravada, Buddha memiliki kualitas2 spt yg didefinisikan dalam Buddhanussati, Dhamma juga memiliki kualitasnya sendiri spt dalam Dhammanussati, demikian pula halnya dengan Sangha. kenapa yg tunggal bisa memiliki definisi dan kualitas yg berbeda2?
itulah kenapa kita perlu menjawab dengan to-the-point, bukan dengan cara berputar2, karena bukannya memberikan penjelasan pada penanya, malah tambah membingungkan penanya
semakin mengerti, walau sutra palsu, yang penting isinya, tokoh buda amitaba, kwan im, tidak perduli asli atau palsu yang terpenting ajarannya, ucapan benar artinya sudah tidak diperlukan dalam buda darma, kebohongan sudah tidak artinya, yang terpenting adalah isinya yang mengandung buda darma.
tambahan, juga kalau nibbana itu bohong pun maka tetap akan menjalani buda darma.
mantap deh ajaran buda baru.
Buddha adalah simbol dari kesempurnaan Panna: Pengetahuan yang sempurna dengan kehidupan suci yang sempurna.
Dhamma adalah simbol dari metode praktik dan Samadhi: "Mengundang Untuk Dibuktikan, Menuntun Kedalam Batin yang dapat dapat Diselami Oleh Para Bijaksana Dalam Batin Masing-Masing"
Sangha yang bertindak baik lurus, patut, benar dan lurus adalah representasi dari penegakkan Sila.
Jadi berlindung kepada Buddha, Dhamma, & Sangha adalah berserah total kepada sila, samadhi, dan panna. Ketiganya adalah tunggal. Namun, jika dijabarkan sebagai satu urutan praktik, maka dalam Theravada umumya adalah dimulai dari sila, baru diikuti oleh samadhi, dan seterusnya panna.
Namun pada hakikatanya, di dalam sila terdapat panna dan samadhi, begitu juga di dalam samadhi terdapt sila dan panna, dan di dalam panna berarti terdapat sila dan samadhi.
Sama halnya juga di dalam Sangha, terdapat Dharma dan Buddha, di dalam Dharma terdapat Sangha dan Buddha, dan di dalam Buddha terdapat Sangha dan Dharma.
Apakah anda paham?
Kalau tidak akan saya jabarkan nanti begitu ada kesempatan yang lebih lowong. Trims.
itulah kenapa kita perlu menjawab dengan to-the-point, bukan dengan cara berputar2, karena bukannya memberikan penjelasan pada penanya, malah tambah membingungkan penanya
Saudara Sobat ketika pada zaman Buddha, orang melihat pertama kali adalah "figur" Buddha, jadi saya menganggap perumpaaan anda tidak tepat dan tidak ada kolerasinya dengan pertanyaan yang di ajukan...Kalau anda memang tidak ada perumpaan yang lebih mengena lagi, maka anggap saja pertanyaan ini tidak mampu dijawab oleh anda dan tidak mampu dimengerti oleh saya.Terima kasih.
Itu urusan agama lain, bukan urusan kita, buat apa pula kita bahas agama yang lain ?Kemudian siapa yang mengindolakan Tiratana ?Ini ukan soal urusan siapa, tapi siapa yang telah memperlakuan triratna seperti "tuhan baru". Tanya saja siapa ke forum ini, semoga ada yang mau mengaku :))
Saya merasa tidak ada kalimat saya yang mengandung/mengatakan bahwa menggangap Tiratana sebagai "jimat", saya juga kurang paham apa arti luas dari kata "jimat" menurut Anda sendiri, bisa dijelaskan apa maksud Anda mengatakan hal tersebut terhadap pernyataan saya tentang "perlindungan" ?Kalau disebut jimat kenapa? Jimat kan fungsinya untuk melindungi?
Kemudian sekali lagi dan telah berkali - kali Anda hanya berputar-putar saja,Dan terimakasih, Anda sudah bersedia untuk berputar2 bersama saya. Anda berputar2 saya berputar2 juga. Apa salahnya?
Anda mengatakan Anda menjalankan praktik BuddhaDhamma, saya to the point saja, "darimana anda belajar praktik BuddhaDhamma" ? "Apakah kalau Buddha tidak nyata, Anda tetap menjalani praktik BuddhaDhamma ?" "Percayakah anda kepada Buddha yang mengajarkan praktik BuddhaDhamma ?" Mohon dijawab.thanksNah, Anda terus memasakan lari ke figur. "Buddha" yang Anda maksud itu Buddha yang mana? Apakah Siddharta Gotama sebagai figur pribadi?
Silakan di search di google...thanksWah... Tidak mau repot ya :)
Adalah sangat aneh pernyataan Anda, Anda tidak membuktikannya sebagai nyata atau tidak nyata, tetapi anda mempraktikannya, jadi apa yang Anda praktikkan ? Anda tidak memiliki Saddha ya ?Saddha saya ada pada praktik, dan saddha adalah bagian dari praktik saya, sedangkan praktik saya adalah saddha.
Saya tidak menasumsikan Buddha sebagai sesosok figur, yang menasumsikan dan mengatakannya sebagai sesosok figur kan Anda...Thanks.Oh gitu, ya sudah kal gitu.
Jadi, tentunya kalimat "Buddha is the best" tidak memiliki masalah lagi bagi anda bukan ? :-)Bukan kalimatnya, tapi motif di balik ketika kalimat itu diucapkan.
Nah, sekarang di baca lagi, semoga dapat dimengerti yah... :-)Capek mengetik ya bro? :)
Bias tidak bias, itu menurut Anda bukan ?banyak kasus dimana umat berkeyakinan bergaul dengan umat yang tidak berkeyakinan, setelah dijelaskan kualiatas2 Buddha Dhamma dan Sangha, mereka menjadi tertarik untuk mengundang Buddha, setelah Buddha datang dan membabarkan Dhamma, mereka turut menjadi berkeyakinan terhadap Tiratana, jadi menurut anda itu "dinterupsi" oleh penilaian pihak lain tidak ?Nah, mana tahu. Setelah mengundang lalu Sag Buddha datang dan berbicara, barusan jelas apakah penilaiannya tehadap Sang Buddha nanti dikarenakan bias atau tidak. Kalauia mengatakan: " Sang Buddha hebat karena temanku mengatakannya hebat," itu bias. Tai kalau ia dapat melihat secara obyektif apa yang dikatakan oleh Sang Buddha tanpa dipengaruhi penilaiannya pada refernsi temannya, ya itu baru tidak bias.
Nah, coba dibaca komentar anda sebelumnya, "Apakah kita masih perlu langsung memakan sebuah makan tanpa menyelidikinya dulu, seperti anjuran anda sebelumnya ?"Menyelidiki di sini, maksudnya "tanya teman". Tolong lhat konteks kalimat dan diskusi ketika itu.
Praktiknya Anda dapatkan darimana ?Apakah sama seperti asumsi Anda, Anda langsung makan sebuah makanan tanpa menyelidikinya, seperti itu kah Anda ?dan Anda tetap "ngotot" dengan tindakan Anda tersebut, sehingga saya memberi asumsi anda ibarat seseorang yang "mengindolakan ajaran Buddha tanpa peduli dengan eksistensi Buddha atau Ajaran itu sendiri"..Ya, kala itu asumsi Anda. Apa boleh buat. Itukan asumsi Anda.
Sangat penting untuk mempercayai/mengetahui bahwa para Arahat masih nyata dan ada, dengan kepercayaan seperti itulah orang akan mempraktikan Ajaran Buddha dan melatih diri untuk mencapai kesucian yang sama, tidak seperti anda yang menjalankan sebuah praktik tanpa kepedulian terhadap eksistensi Buddha atau Arahat, dan menurut saya itu sangat aneh dan tidak wajar..
Nah, oleh sebab itu, ingatlah jangan memakan langsung makanan direstoran tanpa menyelidikinya terlebih dahulu ya bro Sobat.. :-), sama juga seperti ajaran Buddha, jangan langsung menelan bulat-bulat tanpa ehipassiko terlebih dahulu, sama seperti Anda yang menjalankan praktik BuddhaDhamma tanpa peduli dengan eksistensi Buddha.Semoga dapat dimengerti yach...Thanks
Menurut saya pertanyaanya cukup jelas, saya ulangi sekali lagi ya...
1.) Apakah dengan mengatakan "Buddha is the best" termasuk kategori "pengindolaan" atau "pemujaan" ?
2.) Apakah anda mempercayai/menyakinan ajaran Buddha dan Buddha itu sendiri ?
Kamu yang paling tahu kan pikiranmu sendiri
:)) Walaupun sudah dijawab sepanjang itu belum bisa menyimpulkan? :))
Menurutmu bagaimana loh?
Yakin sekaligus tidak yakin. Aku justru balik bertanya padamu, kalau Arahat ternyata tidak ada, apakah kamu akan meninggalkan praktik Buddhadharma. Jawabku adalah, Bahkan kalau seandainya ada yang mampu membuktikan Arahat tidak ada sekalipun, aku tetap akan mempraktikkan Buddhadharma. Bagaimana dengan kamu?
Sudah kujelaskan posisiku, silahkan menilai sendiri...
:) )
kenapa tdk cukup dgn ekasarana?Supaya jelas, ada tiga aspek penting (dari satu hal) yang harus diperhatikan untuk seorang praktisi: sila, samadhi, panna. Kalau ketiganya dijadikan satu, itu adalah Hakikat Kebuddhaan di dalam setiap makhluk hidup (Bodhictta).
dan anda mengatakan "praktik theravada" sehubungan dgn tiga latihan, sila samadhi panna, apakah praktik ini tdk ada dlm mahayana?Ada. Tapi saya menggunakan kata Theravada, karena sedang bicara dengan sahabat2 dari Theravada.
bold : ini loh jawaban Mas Sobat tentang keberadaan Arahat didunia ini
kesimpulannya apa ya ?
bisa dijelaskan lebih mendetail
mengapa yakin ? dan mengapa tidak yakin ?
please !
saya kira itu 'senjata nya' karena memang kondisi yang ada demikian.
Supaya jelas, ada tiga aspek penting (dari satu hal) yang harus diperhatikan untuk seorang praktisi: sila, samadhi, panna. Kalau ketiganya dijadikan satu, itu adalah Hakikat Kebuddhaan di dalam setiap makhluk hidup (Bodhictta).
Ini tampaknya jadi integorasi. Semaki miripsaja dengan orang2 dari K. Bro Gandalf, Anda sungguh benar :)
tidak heran, sutra2 mahayana membengkak menjadi sangat banyak ;D
jadi Bro Gandalf berdiri di belakang layar sebagai supporter bagi anda? bukankah Bro Gandalf juga member di sini dan bisa posting sendiri, kenapa harus titip postingan ya?
Yakin sekaligus tidak yakin. Aku justru balik bertanya padamu, kalau Arahat ternyata tidak ada, apakah kamu akan meninggalkan praktik Buddhadharma. Jawabku adalah, Bahkan kalau seandainya ada yang mampu membuktikan Arahat tidak ada sekalipun, aku tetap akan mempraktikkan Buddhadharma. Bagaimana dengan kamu?
Tidak tahu
Tampaknya contoh seperti apapun akan Anda bantah. Jadi aku pikr percuma menjelaskan pada Anda.Kalau memang ada korelasi, mengapa saya harus bertanya lagi ? Justru karena saya tidak mengerti baru saya bertanya, hanya ada 2 kemungkinan, kemungkinan pertama saya tidak sanggup mengerti, atau kemungkinan kedua anda tidak sanggup memberikan penjelasan/penjelasan anda mengada-ada..Jadi saya tidak tahu kemungkinan mana yang tepat/benar, biarkan orang lain yang menilainya.. :)
Anehnya Anda menyinggung soal mampu atau tidak mampu dalam diskusi ini: tampaknya diskusi ini hanya soal uji kemampuan bagi Anda? Kalau itu maksud Anda berdiskusi dengan saya: aku ngaku kalah saja deh... dan Anda pemenangnya :)) Selesai nggak :))
Ini ukan soal urusan siapa, tapi siapa yang telah memperlakuan triratna seperti "tuhan baru". Tanya saja siapa ke forum ini, semoga ada yang mau mengaku :))Nah, apakah anda sendiri merasa tidak memperlakukan "ajaran Buddha" sebagai "tuhan baru" ?
Kalau disebut jimat kenapa? Jimat kan fungsinya untuk melindungi?Melindungi dalam arti apa ? :) , jadi Anda sekarang beralih lagi bahwa jimat itu berfungsi melindungi ?Apakah sutra anda telah melindungi anda sehingga anda menjadi tidak peduli Buddha itu nyata atau tidak nyata, yakin dan tidak yakin dengan adanya Arahatta ?Sampai-sampai ngotot dengan "jalan yang anda tempuh yang anda sebut sebagai praktik BuddhaDhamma?"
Dan terimakasih, Anda sudah bersedia untuk berputar2 bersama saya. Anda berputar2 saya berputar2 juga. Apa salahnya?Maka Sang Buddha berkata kepada Angulimala, " Saya telah lama berhenti, kamulah yang masih berlari." , jadi bro sobat tidak capek ni lari-lari ? :)
Nah, Anda terus memasakan lari ke figur. "Buddha" yang Anda maksud itu Buddha yang mana? Apakah Siddharta Gotama sebagai figur pribadi?Saya tidak memaksakan figur apapun koq, yang memberi contoh soal figur kan itu Anda, bukan saya, yang berasumsi soal figur itu juga Anda bukan saya..bagi saya "Buddha = Buddha"...
Saddha saya ada pada praktik, dan saddha adalah bagian dari praktik saya, sedangkan praktik saya adalah saddha.Saddha adalah bagian dari praktik anda, sebelum muncul saddha anda, apakah anda langsung praktik ?Sebelum tahu sesuatu beracun atau tidak beracun, langsung anda makan ?wah...anda tipe pemberani yang bodoh kalau begitu ( kata dalam novel fiksi Harry Potter, berati anda Grifindor...pemberani tapi bodoh???)
Oh gitu, ya sudah kal gitu.
Bukan kalimatnya, tapi motif di balik ketika kalimat itu diucapkan.Dan setelah itu?Apakah motifnya menurut Anda ?Masih bermasalah atau mengarah ke asumsi pertama anda bahwa bro Adi "mengindolakan Buddha" ? ya atau tidak, dan tolong dijelaskan secara gamblang.. :)
Nah, mana tahu. Setelah mengundang lalu Sag Buddha datang dan berbicara, barusan jelas apakah penilaiannya tehadap Sang Buddha nanti dikarenakan bias atau tidak. Kalauia mengatakan: " Sang Buddha hebat karena temanku mengatakannya hebat," itu bias. Tai kalau ia dapat melihat secara obyektif apa yang dikatakan oleh Sang Buddha tanpa dipengaruhi penilaiannya pada refernsi temannya, ya itu baru tidak bias.
Menyelidiki di sini, maksudnya "tanya teman". Tolong lhat konteks kalimat dan diskusi ketika itu.Sama saja, tolong diperhatikan kata-kata didalam diskusi...Menyelidiki dengan bertanya dengan teman, bukan dengan anjuran anda yang "makan dlu(tidak peduli beracun atau tidak beracun), baru diselidiki ( kalau belum mati )..." :)
Ya, kala itu asumsi Anda. Apa boleh buat. Itukan asumsi Anda.Kalau itu menurut Anda sebagai asumsi saya, coba anda jelaskan asumsi anda, dan dijawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan asumsi Anda.. :)
Oh gitu... Jadi "memercayai" dan "mengetahui" itu hal yang sama ya? Jadi ketika Anda percaya bahwa Arahat ada, saat itu jga Anda "mengetahui" Arahat itu ada. Sungguh keercayaan yang luar biasa, dapat menjadikan kepercayaan sebagai pengetahuan.Jadi, kesimpulannya anda tidak mempercayai bahwa Buddha/Arahat itu nyata ? (sekali lagi mohon dijawab secara langsung )..
Nah, kalau "menyelidiki" yang dimaksud di sini "harus tanya teman dulu" ya memang tidak perlu. Kalau menyeldiki dengan indera kita ya sudah otomatis terjadi tatkala makanan ada di depan mata, tanpa bisa ditolak.
Tapi, bagaimana pun Bo Riky Dave sangat bijaksana loh :) Anda menang kok, saya mengaku kalah saja :)
Ini tampaknya jadi integorasi. Semaki miripsaja dengan orang2 dari K. Bro Gandalf, Anda sungguh benar :)
saya tidak terbiasa dgn jawaban ambigu, jadi sebenarnya tiga atau satu? jika satu, bukankah cukup hanya berlindung pada Buddha, atau hanya pada Dhamma, atau hanya pada Sangha, saja? apakah demikian pemahaman mahayana? karena dalam Theravada, kami dituntut untuk berlindung pada ketiga itu, bukan salah satu saja.
jadi Bro Gandalf berdiri di belakang layar sebagai supporter bagi anda? bukankah Bro Gandalf juga member di sini dan bisa posting sendiri, kenapa harus titip postingan ya?
jawaban mas sobat tentang keberadaan Arahat,
demikian yang kutahu, kesimpulannya apa ?
Kalau memang ada korelasi, mengapa saya harus bertanya lagi ? Justru karena saya tidak mengerti baru saya bertanya, hanya ada 2 kemungkinan, kemungkinan pertama saya tidak sanggup mengerti, atau kemungkinan kedua anda tidak sanggup memberikan penjelasan/penjelasan anda mengada-ada..Jadi saya tidak tahu kemungkinan mana yang tepat/benar, biarkan orang lain yang menilainya.. :)
Seperti komentar saya diatas...Nah, anda melihatnya dari sisi yang negatif, jadi ya terserah Anda, toh pikiran anda adalah pikiran Anda... :)Betul, ini cuma pikiran saya.
Nah, apakah anda sendiri merasa tidak memperlakukan "ajaran Buddha" sebagai "tuhan baru" ?Tidak. Anda?
Melindungi dalam arti apa ? :) , jadi Anda sekarang beralih lagi bahwa jimat itu berfungsi melindungi ?Melindungi dari hal yang jahat kan? Jimat kan berfungsi melindungi dari hal yang buruk. Dalam praktik Buddhadharma, hal yang buruk tersebut adalah lobha, moha dan dosa.
Apakah sutra anda telah melindungi anda sehingga anda menjadi tidak peduli Buddha itu nyata atau tidak nyata, yakin dan tidak yakin dengan adanya Arahatta ?Sampai-sampai ngotot dengan "jalan yang anda tempuh yang anda sebut sebagai praktik BuddhaDhamma?"Menurut saya jalan yang saya tempuh adalah Buddhadharma, kalau menurut tidak ya sudah. Dari awal kan saya tidak memaksa orang lain untuk mengakuinya. Coba telusuri lagi postingan saya.
Maka Sang Buddha berkata kepada Angulimala, " Saya telah lama berhenti, kamulah yang masih berlari." , jadi bro sobat tidak capek ni lari-lari ? :)Kalau sudah berhenti, kok masih mengetik Bro :)
Saya tidak memaksakan figur apapun koq, yang memberi contoh soal figur kan itu Anda, bukan saya, yang berasumsi soal figur itu juga Anda bukan saya..bagi saya "Buddha = Buddha"...Oh gitu.... Ingat dalam kitab suci agama K, Tuhan berkata "Aku adalah Aku." Tuhan=Tuhan, jangan samakan Tuhan dengan apapun. Lantas Anda sekarang berkata Buddha=Buddha. Oh.... Betapa miripnya.
Saddha adalah bagian dari praktik anda, sebelum muncul saddha anda, apakah anda langsung praktik ?Begitu saddha muncul ya berarti saya sudah menjalani praktik Buddhadharma, begitu juga ketika praktik Buddhadharma dijalankan saddha sudah muncul.
Sebelum tahu sesuatu beracun atau tidak beracun, langsung anda makan ?wah...anda tipe pemberani yang bodoh kalau begitu ( kata dalam novel fiksi Harry Potter, berati anda Grifindor...pemberani tapi bodoh???)Saya memang bodoh. Itu sudah kuakui dari awal.
Dan setelah itu?
Apakah motifnya menurut Anda ?Masih bermasalah atau mengarah ke asumsi pertama anda bahwa bro Adi "mengindolakan Buddha" ? ya atau tidak, dan tolong dijelaskan secara gamblang.. :)
tai juga kalau orang yang percaya referensi temannya dan bisa dipengaruhi seperti contoh anda sebelumnya, kalau tidak enak ya tidak enak, bagaimana mungkin bisa dipengaruhi menjadi enak ?itu mah namanya "g****k"..jadi "refernsi" itu menurut saya sama sekali tidak ada masalahnya, dan malah "referensi" itu sangat dibutuhkan untuk diselidiki kemudian dibuktikan, tidak seperti anjuran Anda yang mengimbau orang "makan" dulu baru "selidiki" >>> apakah cara anda mempelajari sutra Mahayana seperti begitu ? Telan dulu bulat-bulat semua sutranya baru selidiki ?Ini mah baru namanya kepercayaan membabi buta bagi saya... :)
Sama saja, tolong diperhatikan kata-kata didalam diskusi...Menyelidiki dengan bertanya dengan teman, bukan dengan anjuran anda yang "makan dlu(tidak peduli beracun atau tidak beracun), baru diselidiki ( kalau belum mati )..." :)Wah saya orang yang terlalu bodoh untuk memahami kata-kata Anda. Mohon maaf, kalau saya "tidak sanggup/tidak mampu" memahaminya.
Kalau itu menurut Anda sebagai asumsi saya, coba anda jelaskan asumsi anda, dan dijawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan asumsi Anda.. :)
Jadi, kesimpulannya anda tidak mempercayai bahwa Buddha/Arahat itu nyata ? (sekali lagi mohon dijawab secara langsung )..Ya, ampyunnnn :)) :)) :)) :)) :))
Oh 1 hal lagi, kalau anda suka membaca sutta-sutta, disana anda bakal melihat banyak para naga, para deva, para manusia yang percaya akan Buddha ( walau belum bertemu Buddha ) dan selalu menanti-nantikan Buddha, apakah menurut anda itu salah ? :)Tidak.
Wah-wah, kalau anda tersesat di hutan bersama seorang "pemandu handal", kemudian anda lapar, dan kala itu disana adalah buah yang mengiurkan ( yang tampak tidak beracun), langsung anda ehipassiko ?tidak perlu tanya dulu kepada pemandu handalnya ?
Persis seperti kisah Jataka...Si dungu yang sombong.. :)
Apakah praktik Sutra Mahayana masih mengajarkan "menang dan kalah" ? Sangat berbeda dengan sutta yang saya pelajari yang mengajarkan untuk meninggalkan "kedua sifat yang bercorak anicca" tersebut...Wah, mulai membanding-bandingkan. Aku sudah capek dengan diskusi komparasi Mahayana dan Theravada. Kalau yang ini aku tidak terlibat.
Wajar saja bro Adi, Mahayana kan selalu mengajarkan "standar ganda" dan memanganggap orang lain sebagai "fanatisme" tanpa menyelidiki diri sendiri...
terima kasih saudara Sobat, semoga praktik BuddhaDhamma anda membuat anda melihat kebenaran jangan sampai tersesat seperti YM Bahiya Sutta... :-)
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta...
Oh, gitu. Semua tulisan saya dianggap ambigu Percuma dong, kalau menjawab, semuanya jadi ambigu lagi. Kalau sudah demikian, enaknya pilih diam aja deh... Ambigu atau tidak, silahkan pembaca lain yang menilai.
terima kasih saudara Sobat, semoga praktik BuddhaDhamma anda membuat anda melihat kebenaran jangan sampai tersesat seperti YM Bahiya Sutta... :-)
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta...
sesat apa-nya ?
mohon diperjelas...
Karena yang bisa palsu atau tidak itu cuma doktrin, sedangkan Buddhadharma mengajarkan langsung melihat pada realitas tunggal yang tanpa sifat palsu ataupun sejati. Doktrin hanya alat bantu untuk menunjuk pada realitas, tapi bukan realitas itu sendiri.kalau boleh tahu budadarma yang di maksud yang seperti apa? apa sutra sutra dalam mahayana termasuk budadarma atau tidak, dan kalau sutra palsu termasuk ke yang mana?
sesat apa-nya ?IMO maksudnya sebelum petapa Bahiya berpandangan salah menggangap sendiri adalah orang suci, sesudah dapat Dhammadesana dari Buddha Gotama, beliau baru menjadi Arahat dan tidak lama kemudian Parinibbana diseruduk oleh Banteng. _/\_
mohon diperjelas...
jawaban ambigu yg saya maksudkan adalah jawaban tidak tegas antara tiga dan satu, bisakah anda menjawab dengan tegas "tiga" dengan penjelasan, atau "satu" juga dengan penjelasan, tidak dua2nya sekaligus. karena tiga tentu bukan satu, sebaliknya satu juga bukan tiga.
"Tiga adalah satu" ini bagi orang awam spt saya sungguh membingungkan.
mas sobat, saya tegaskan lagi, saya tidak punya motif lain, selain mengatakan sebenar-benarnya bahwa Buddha Gotama, BEST TEACHER, karena demikian adanya.
cuma sayangnya mas sobat seperti kebakaran jenggot (istilah awam), sehabis saya mengatakan demikian, dan bertanya saya kembali ? serta dengan meminta pendapat saya, apakah Buddha Gotama benar atau tidak benar ada, atau tokoh fiksi dst....
kemudian mas sobat juga meragukan keberadaan dan pencapaian para Arahat, dengan menjawab 'yakin dan tidak yakin'.
sepertinya anda bukan praktek BuddhaDharma tapi budadama,
jadi mas sobat memang harus hati2 dengan guru2 anda yang tidak bisa menjelaskan dengan baik dan benar kepada anda mengenai Buddha Dhamma :)
Andaikan anggapan mas sobat benar, menganggap saya meng idola kan Buddha Gotama dan para pencapaian para Siswa-i Beliau, apakah dilarang ?, apakah salah ?
bagaimana ? ;D
Kan sudah kujelaskan maksud "tiga adalah satu."
Namun pada hakikatanya, di dalam sila terdapat panna dan samadhi, begitu juga di dalam samadhi terdapt sila dan panna, dan di dalam panna berarti terdapat sila dan samadhi.
Sama halnya juga di dalam Sangha, terdapat Dharma dan Buddha, di dalam Dharma terdapat Sangha dan Buddha, dan di dalam Buddha terdapat Sangha dan Dharma.
kalau boleh tahu budadarma yang di maksud yang seperti apa?Buddharma yang mengajarkan berpraktik dengan menjalankan sila, samadhi dan prajna.
apa sutra sutra dalam mahayana termasuk budadarma atau tidak, dan kalau sutra palsu termasuk ke yang mana?Tergantung sutra mana yang kamu maksudkan.
pengetahuan setidaknya berasal dari doktrin terlebih dahulu, apabila doktrin dari pertama salah apakah bisa menjadi benar?Pengetahuan bisa juga dari pengalaman realitas. Doktrin diuji oleh pengalaman realitas. Salah benarnya sebuah doktrin akan terbukti jika di dalam praktik tidak sesuai.
dan dalam post pertama yang di katakan oleh master sheng yen, gurunya mengatakan begini dan berbuat begitu bukanlah guru yang baik, sekarang guru yang "tidak nyata" yang malah tidak berbuat sama sekali hanya mengatakan harus begini, berjanji begitu, berikrar begini............ bijimana tuh?Karena guru yang "tidak nyata" (kalau seandainya demikian), sudah pasti lepas dari tanggungjawab berbuat begini atau begitu. Semuanya bisa dikarang sesuai dengan prinsip yang seharusnya. Sedangkan guru yang nyata, atau guru yang kita kenal dan temui sehari-hari, selalu dibebani oleh penilaian orang lain pada perbuatannya, dan karena ia adalah manusia biasa, mungkin saja ia melakukan kesalahan.
karena dalam penjelasan anda sebelumnya saya tetap tidak menangkap adanya makna bahwa tiga adalah satu, melainkan tiga tetap tiga.
tolong ditunjukkan, mana yg "satu" itu?
Praktik
dalam forum diskusi wajar saja seseorang mengemukakan pendapatnya, walaupun itu subjektif dan pribadi, namun hendaknya pendapat tersebut disertai alasan dan sebuah argumen.
tidak cerdas kalo sebuah pendapat nongol di forum diskusi, "pacarku paling huebat sejagad, karena begitulah adanya". mbok ya disertai alasan kalo pacarnya itu kulitnya halus bikin laler kepleset, test iqnya 140 point, punya tutur bahasa + kepribadian putri keraton, sertifikat menjahit level advance dan masak manca negara level 8. gitu...
Berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha, darimanakah penjelasannya sehingga tiba2 menjadi "praktik"? apakah menggunakan ilmu sihir di sini? jelaskanlah tanpa bermain2 kata2, bagaimana kita ber"praktik" Buddha, bagaimana ber"praktik" Dhamma, dan bagaimana ber"praktik" Sangha . yg saya maksudkan adalah bagaimana tiga bisa menjadi satu? bukan dalam hal jumlah kata, tapi lebih pada maknanya.
Kalau tidak ada praktik tidak ada Buddha, kalau tidak ada praktik tidak Dharma, kalau tidak ada praktik tidak Sangha. Buddha lahir karena praktik, Dharma ada karena praktik, Sangha terbentuk karena praktik.
benarkah demikian? ambil bagian Dharma? misalnya bagian 4KM, dan tilakkhana, baik ada praktik ataupun tidak ada praktik 4KM dan tilakkhana tetap ada kok, siapa bilang tidak ada? pada masa kegelapan (dimana tidak ada kemunculan Buddha), apakah 4KM dan tilakkhana tidak berlaku? makanya saya bilang tidak perlu bermain kata2, bahkan tidak perlu membuat rhyme dalam suatu pernyataan agar tampak indah. jelaskan saja dengan kalimat2 yg mudah dimengerti, dan bersabarlah dalam menjelaskan pada saya, karena saya sungguh ingin mengetahui tentang 3 in 1 ini.
:) Sebab Dharma kalau tidak dipraktikkan sama dengan omong kosong. Tanpa praktik, 4KM dan tilakkhana hanya kata-kata kosong. Inilah maksudnya tanpa praktik tidak ada Dharma. Dan pengetahuan mengenai 4KM dan tilakkhana didapatkan oleh Sang Buddha dari praktik-Nya. Inilah maksudnya Dharma ada karena praktik.
jadi anda mengatakan bahwa tanpa praktik maka tidak ada yg namanya dukkha, tidak ada sumber dukkha, tidak ada lenyapnya dukkha, dst? tanpa praktikk maka tidak ada anicca, tidak ada anatta? demikiankah yg anda maksudkan ya? [pertanyaan ini dapat dijawab dengan ya atau tidak]
Buddharma yang mengajarkan berpraktik dengan menjalankan sila, samadhi dan prajna.hmmm, kalau yang mengajarkannya tidak menjalankan sila, samadhi, prajna dia hanya doktrin doang tanpa praktek, maka itu tetap budadrama atau bukan?
Tergantung sutra mana yang kamu maksudkan.semisal sutra bakti, itu budadarma bukan?
Pengetahuan bisa juga dari pengalaman realitas. Doktrin diuji oleh pengalaman realitas. Salah benarnya sebuah doktrin akan terbukti jika di dalam praktik tidak sesuai.bagaimana kalau doktrin itu tidak bisa dibuktikan?
Karena guru yang "tidak nyata" (kalau seandainya demikian), sudah pasti lepas dari tanggungjawab berbuat begini atau begitu. Semuanya bisa dikarang sesuai dengan prinsip yang seharusnya. Sedangkan guru yang nyata, atau guru yang kita kenal dan temui sehari-hari, selalu dibebani oleh penilaian orang lain pada perbuatannya, dan karena ia adalah manusia biasa, mungkin saja ia melakukan kesalahan.tetap ada tanggung jawabnya, apalagi dengan penyebar yang merasa itu guru benar2 ada, dari semula berbohong, dan terus kebawah berbohong, akan menjadi tanggung jawab bersama, yang belajar akan mengajar dan menjadi guru pembohong.
Tidak. Pengetahuan tentang Tilakkhana didapatkan oleh Sang Buddha dari praktik-Nya, karena itu dikatakan "Dharma ada karena praktik". Tanpa praktik, maka pengetahuan tentang Tilakkhana, hanya jadi kata-kata dan konsep, bukan pengetahuan sejati: Karena itu dikataka "Tidak ada Dharma tanpa Praktik." Dari praktiklah kita kemudian mengenali Tilakkhana, melihatnya dan mengetahuinya berdasarkan pengalaman kita sendiri, seperti halnya sang Buddha mengenalinya dari praktik-Nya.
Therefore, Ananda, be islands unto yourselves, refuges unto yourselves, seeking no external refuge; with the Dhamma as your island, the Dhamma as your refuge, seeking no other refuge.http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/dn/dn.16.1-6.vaji.html
...http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/refuge.html
To take refuge in the Buddha means, not taking refuge in him as a person, but taking refuge in the fact of his Awakening: placing trust in the belief that he did awaken to the truth, that he did so by developing qualities that we too can develop, and that the truths to which he awoke provide the best perspective for the conduct of our life.
...
...http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/lee/triplegem.html
Another comparison: The sages of the past used the term 'Buddha-ratana,' comparing the Buddha to a jewel. Now, there are three sorts of jewels: artificial gems; gemstones, such as rubies or sapphires; and diamonds, which are held to be the highest. The aspects of the Buddha might be compared to these three sorts of jewels. To place confidence in the external aspect — the body of the Buddha or images made to represent him — is like dressing up with artificial gems. To show respect for the practices followed by the Buddha by giving rise to them within ourselves is like dressing up with rubies and sapphires. To reach the quality of deathlessness is like dressing in diamonds from head to toe.
...
mengenai berlindung kepada figur dan makna berlindung untuk praktik, sepertinya theravada juga sependapat kok:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/dn/dn.16.1-6.vaji.html
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/refuge.html
http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/lee/triplegem.html
jadi yah pola berpikirnya sejalan aja...
sebenarnya saya juga memahami hal ini memang sejalan antara theravada dan mahayana (bahkan dengan pengetahuan mahayana saya yg sangat minim), tapi entah kenapa Bro Sobat sangat enggan mengakui kalau mahayana juga berlindung pada Buddha (dengan kualitas-kualitas yg melekat pada figur Sang Buddha itu)saya ngeliat yg anda berdua omongin itu sama aja. bahasa dan terminologi yg bikin gak nyambung...
hmmm, kalau yang mengajarkannya tidak menjalankan sila, samadhi, prajna dia hanya doktrin doang tanpa praktek, maka itu tetap budadrama atau bukan?
semisal sutra bakti, itu budadarma bukan?Pesan singkat bahwa kita harus bersyukur dan berterimakasih secara tulus dan sepenuh hati kepada orang yang berjasa kepada kita dalam "sutra palsu" tersebut selaras dengan Buddhadharma. Karena kalau hati kita selalu dipenuhi oleh rasa syukur dan terimakasih, maka akan mencegah kita dari keangkuhan egosentrik.
bagaimana kalau doktrin itu tidak bisa dibuktikan?tetap ada tanggung jawabnya, apalagi dengan penyebar yang merasa itu guru benar2 ada, dari semula berbohong, dan terus kebawah berbohong, akan menjadi tanggung jawab bersama, yang belajar akan mengajar dan menjadi guru pembohong.
kenapa berbelok ke pengetahuan? saya tidak mengatakan tentang pengetahuan tentang tilakkhana, yg saya tanyakan apakah jika tidak ada praktik maka tidak ada anicca, anatta itu? ayolah jawaban ini hanya YES/NO, setelah itu baru boleh dijelaskan jika saya meminta penjelasan
saya ngeliat yg anda berdua omongin itu sama aja. bahasa dan terminologi yg bikin gak nyambung...
sebenarnya saya juga memahami hal ini memang sejalan antara theravada dan mahayana (bahkan dengan pengetahuan mahayana saya yg sangat minim), tapi entah kenapa Bro Sobat sangat enggan mengakui kalau mahayana juga berlindung pada Buddha (dengan kualitas-kualitas yg melekat pada figur Sang Buddha itu)
Meskipun seandainya tilakkhana ada secara obyektif, tanpa ada yang megetahuinya dan menjadikannya pengetahuan sebenarnya maka tidak akan ada yang mengenalinya. Dengan jalan praktik-lah sang Buddha mengenali Tilakkhana dan kemudian disadurkan ke dalam pengetahuan yang bisa dipahami manusia.
Kalau soal Ya?tidak. Kan sudah kujawab "Tidak". Bro Indra, mau konfirmasi pemahaman saya atau sekadar mau mendesakkan pemahaman Bro Indra pada saya?
“O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL.”
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]
Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL.”
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]
“O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN.”
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]
Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN.”
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]
“O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL.”
[sabbe dhammā anattā"ti]
Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL.”
[sabbe dhammā anattā"ti]
Saya konsisten pada pandangan bahwa berlindung pada kualitas Sang Buddha, bukan berlindung pada figur: To take refuge in the Buddha means, not taking refuge in him as a person, but taking refuge in the fact of his Awakening
Kalau doktrin yang diajarkan selaras dengan sila, samadhi dan prajna, maka kalau kita mempraktikkannya, maka itu tetap jadi Buddhadharma.dan acuan sila samadhi prajna nya dari mana? secara kalau doktrinnya bohong, sesuai dengan sila tidak berbohong tidak?
Pesan singkat bahwa kita harus bersyukur dan berterimakasih secara tulus dan sepenuh hati kepada orang yang berjasa kepada kita dalam "sutra palsu" tersebut selaras dengan Buddhadharma. Karena kalau hati kita selalu dipenuhi oleh rasa syukur dan terimakasih, maka akan mencegah kita dari keangkuhan egosentrik.jadi pesan untuk menyebarkan sutra berbohong merupakan selaras dengan budadarma gitu ya?
Guru yang dimaksud oleh Master Sheng-yen adalah guru nyata yang kita temui orangnya langsung dalam kehidupan kita, bukan sekadar kita baca dari buku atau dengar dari orang lain. Jadi sudah pasti adalah figur nyata.ya setidaknya tetap harus di runut dari atasnya juga, kalau dari pertama gurunya sudah menceritakan kebohongan maka kebawahnya pun akan menceritakan kebohongan juga.
Kalau guru yang tidak nyata, misalnya hanya merupakan tokoh simbolisasi belaka, penciptaannya tidak bisa disamakan dengan berbohong. Ibaratnya sama dengan mengarang tokoh fiksi dana suatu novel. Pengarang itu tidak berbohong, ia hanya mengimajinasikan tokoh tersebut berdasarkan kombinasi antara bayangan di kepalanya dan berbagai hal (bisa nilai, prinsip atau apapun) yang ia kenal atau temukan dalam dunia nyata. Tokoh itu memang tidak nyata, dan hanya merupakan kulit pembalut bagi kualitas-kualitas positif yang hendak digambarkan atau disampaikan melaluinya. Jadi meski tokoh yang fiktif sekalipun sebenarnya di dalamnya terdapat nilai2 dan ajaran yang bisa jadi bisa fit-in dengan realitas.apa dalam budadarma ada term & condition, mana nyata mana tidak nyata?
Sepakat, saya juga melihat hal yang sama.
Wakakaka.... bagi agama K, mr. Y adalah THE BEST, bagi agama I, mr. M adalah THE BEST dan bagi agama Buddha, Shakyamuni adalah THE BEST. Tapi alasan mengapa mereka THE BEST inilah yang harus tepat. Kalau saya sih, saya mengatakan Buddha Gautama adalah THE BEST karena ajaran Dharma beliau banyak yang bsia dibuktikan dalam berbagai bidang kehidupan, dan Dharma yang disebutkan dibabarkan oleh beliau mengubah hidup saya ketika saya aplikasikan, mengubah hidup orang-orang yang ada di dekat saya, merubah pola pandang saya (welas asih, kelogisan, dsb), semuanya ke arah yang lebih baik.ya pastinya masing2 mempunyai alasan sendiri, bahkan ada orang yang tidak memilih semua guru tapi bisa juga kelakuannya lebih baik dari yang mempunyai guru diatas.
Itulah mengapa saya menganggap Buddha sebagai THE BEST bagi diriku, tapi bukan berarti bagi orang lain. Mereka punya kecenderungan karma sendiri untuk menganggap guru lain sebagai THE BEST-nya mereka.
Kalau THE BEST alasannya hanya karena Buddha tertera di Tripitaka, hanya karena di Tripitaka tertulis ada Arhat dsb lantas percaya maka "THE BEST" ini sangat prematur. Siapapun juga bisa mengklaim seperti itu. Orang K bisa bilang eh guru gua THE BEST soalnya ngajarin ini itu, dan sering sekali saya jumpai demikian..... dan... saya akan selalu mengatakan: " leh di agama gua ya ada juga yg kaya guru lo ajarin". Nah lho? Sapa yang THE BEST?betul
Masalah Buddha benar-benar membabarkan Dharma atau tidak, dan apakah Beliau benar-benar atau tidak, semuanya dapat melihat penemuan para sejarawan bahwa memang kok Buddha BENAR-BENAR ada. Yang ngmg Buddha tokoh fiksi itu bener-bener orang aneh. Beliau nyata bukan khayalan. Lagian saya ya EMOH kalau Buddha seandainya para sejarawan bilang kalau beliau itu tokoh fiksi (mislanya saya kan gak mungkin mengikut agama yang katanya didirikan DORAEMON atau SINCHAN - tokoh fiksi), tapi nyatanya beliau adalah tokoh historikal.yang jadi masalah dalam perbincangan disini fiksi atau tidak tokoh buda ini tetap akan menjalankan budadarma.
Klaim THE BEST adalah ketika seseorang benar-benar berlindung pada kualitas Buddha Dharma dan Sangha, dan mampu menerapkan kelogisan, kebijaksanaan dan kewelasasihan pada masyarakat. Ini adalah dasar yang paten untuk mengatakan agama A. B, C adalah THE BEST. Berlindung seperti ini bukan berlindung pada Buddha secara sosok "person", tetapi berlindung pada potensi Buddha secara yang di dalam diri, yang kualitas-kualitasnya atau "personality" disebutkan dalam Buddhanusmrti, dsb yang akhirnya berujung pada aplikasi nyata dari ajaran Sang Buddha.makna berlindung dalam pandangan saya adalah melihat ada kualitas seorang guru yang benar2 melakukan apa yang dikatakan, berhasil dalam apa yang di katakan, benar2 apa yang dikatakan. kalau semisalnya tokoh itu khayalan rasanya sudah lain persoalan.
Jadi sih ya saya cenderung setuju dengan bro. morph karena dari awal sampai akhir yang dibicarakan benernya maunya sama, cuma bahasanya kaga nyambung...hahahajadi artinya sejarah budis tidak bisa dibuktikan kebenarannya?
Yang pasti kita tidak boleh terlalu melekat dengan namanya history (sejarah) sepihak yang sampai sekarang kaga bisa dibuktikan. Misal apakah Sutra Mahayana ataukah Kanon Pali yang bohong. Na ini gak akan ada yang bisa buktikan semuanya hanya hipotesis. Mislanya deh dari kacamata orang Mahasanghika fanatik, kanon Pali itu isinya pada BOHONG, dengan seenak udel mengurang-ngurangi sabda Sang Buddha. Dari kacamata orang Theravada fanatik, isi kitab Mahasanghika itu juga BOHONG karena nambah-nambahi sabda Buddha. Tapi mereka yang sadar, tahu bahwa semuanya itu tidak ada bukti yang jelas, meyakini Buddha Dharma karena aplikasinya dalam kehidupan NYATA, baik dalam pandangan maupun perilaku, tidak peduli pandangan aliran apa.
_/\__/\_
The Siddha Wanderer
Wakakaka.... bagi agama K, mr. Y adalah THE BEST, bagi agama I, mr. M adalah THE BEST dan bagi agama Buddha, Shakyamuni adalah THE BEST. Tapi alasan mengapa mereka THE BEST inilah yang harus tepat. Kalau saya sih, saya mengatakan Buddha Gautama adalah THE BEST karena ajaran Dharma beliau banyak yang bsia dibuktikan dalam berbagai bidang kehidupan, dan Dharma yang disebutkan dibabarkan oleh beliau mengubah hidup saya ketika saya aplikasikan, mengubah hidup orang-orang yang ada di dekat saya, merubah pola pandang saya (welas asih, kelogisan, dsb), semuanya ke arah yang lebih baik.
Itulah mengapa saya menganggap Buddha sebagai THE BEST bagi diriku, tapi bukan berarti bagi orang lain. Mereka punya kecenderungan karma sendiri untuk menganggap guru lain sebagai THE BEST-nya mereka.
Kalau THE BEST alasannya hanya karena Buddha tertera di Tripitaka, hanya karena di Tripitaka tertulis ada Arhat dsb lantas percaya maka "THE BEST" ini sangat prematur. Siapapun juga bisa mengklaim seperti itu. Orang K bisa bilang eh guru gua THE BEST soalnya ngajarin ini itu, dan sering sekali saya jumpai demikian..... dan... saya akan selalu mengatakan: " leh di agama gua ya ada juga yg kaya guru lo ajarin". Nah lho? Sapa yang THE BEST?
Masalah Buddha benar-benar membabarkan Dharma atau tidak, dan apakah Beliau benar-benar atau tidak, semuanya dapat melihat penemuan para sejarawan bahwa memang kok Buddha BENAR-BENAR ada. Yang ngmg Buddha tokoh fiksi itu bener-bener orang aneh. Beliau nyata bukan khayalan. Lagian saya ya EMOH kalau Buddha seandainya para sejarawan bilang kalau beliau itu tokoh fiksi (mislanya saya kan gak mungkin mengikut agama yang katanya didirikan DORAEMON atau SINCHAN - tokoh fiksi), tapi nyatanya beliau adalah tokoh historikal.
Klaim THE BEST adalah ketika seseorang benar-benar berlindung pada kualitas Buddha Dharma dan Sangha, dan mampu menerapkan kelogisan, kebijaksanaan dan kewelasasihan pada masyarakat. Ini adalah dasar yang paten untuk mengatakan agama A. B, C adalah THE BEST. Berlindung seperti ini bukan berlindung pada Buddha secara sosok "person", tetapi berlindung pada potensi Buddha secara yang di dalam diri, yang kualitas-kualitasnya atau "personality" disebutkan dalam Buddhanusmrti, dsb yang akhirnya berujung pada aplikasi nyata dari ajaran Sang Buddha.
Jadi sih ya saya cenderung setuju dengan bro. morph karena dari awal sampai akhir yang dibicarakan benernya maunya sama, cuma bahasanya kaga nyambung...hahaha
Yang pasti kita tidak boleh terlalu melekat dengan namanya history (sejarah) sepihak yang sampai sekarang kaga bisa dibuktikan. Misal apakah Sutra Mahayana ataukah Kanon Pali yang bohong. Na ini gak akan ada yang bisa buktikan semuanya hanya hipotesis. Mislanya deh dari kacamata orang Mahasanghika fanatik, kanon Pali itu isinya pada BOHONG, dengan seenak udel mengurang-ngurangi sabda Sang Buddha. Dari kacamata orang Theravada fanatik, isi kitab Mahasanghika itu juga BOHONG karena nambah-nambahi sabda Buddha. Tapi mereka yang sadar, tahu bahwa semuanya itu tidak ada bukti yang jelas, meyakini Buddha Dharma karena aplikasinya dalam kehidupan NYATA, baik dalam pandangan maupun perilaku, tidak peduli pandangan aliran apa.
_/\_
The Siddha Wanderer
thanks atas konfirmasinya,
coba perhatikan kutipan berikut ini
bahkan tanpa adanya Buddha pun ketiga hukum itu (Anicca, Dukkha, Anatta) tetap berlaku, jadi darimana datangnya pemahaman anda bahwa tanpa pengetahuan itu maka tidak ada Anicca, Dukkha, Anatta?
nah ini hal yg baru anda ungkapkan sekarang, setelah sejak kemarin2 saya mempertanyakan makna "berlindung kepada Buddha" yg anda jawab dengan gaya bahasa berputar.
ya pastinya masing2 mempunyai alasan sendiri, bahkan ada orang yang tidak memilih semua guru tapi bisa juga kelakuannya lebih baik dari yang mempunyai guru diatas.
yang jadi masalah dalam perbincangan disini fiksi atau tidak tokoh buda ini tetap akan menjalankan budadarma.
makna berlindung dalam pandangan saya adalah melihat ada kualitas seorang guru yang benar2 melakukan apa yang dikatakan, berhasil dalam apa yang di katakan, benar2 apa yang dikatakan. kalau semisalnya tokoh itu khayalan rasanya sudah lain persoalan.
jadi artinya sejarah budis tidak bisa dibuktikan kebenarannya?
Rasanya ada salah paham. Maksudku Tidak adalah bukan "tidak ada." Tapi "tidak demikian": alias Tilakkhana tetap ada, tapi "pengetahuan tentang Tilakkhana yang tidak ada kalau Buddha tidak ada." Kalau tidak ada Buddha yang memperkenalkan pengetahuan tentang pengetahuan Tilakkhana, maka meski secara objektif ada, tapi tidak dikenal kta sebagai manusia. Mohon pahami dulu maksud kata-kata ku, sebelum memaksakan pemahaman bro Indra ke dalamnya.
dan acuan sila samadhi prajna nya dari mana? secara kalau doktrinnya bohong, sesuai dengan sila tidak berbohong tidak?Sila, samadhi dan prajna berangkat dari praktik. Bukan soal doktrin.
jadi pesan untuk menyebarkan sutra berbohong merupakan selaras dengan budadarma gitu ya?Yang saya maksudkan pesan untuk "bersyukur dan berterimakasih secara tulus pada orang tua" adalah selaras dengan Buddhadharma. Kalau menyebarkan "sutra palsu", apakah perbuatan itu selara pada Buddhadharma atau tidak, maka perhatikan dulu pesan dari sutra yang disebarkan. Jangan hanya dilihat dari palsu atau tidaknya. Bahkan booklet, artikel, buku yang ditulis seseorang di masa sekarang saja, yang jelas-jelas bukan berasal dari zaman Sang Buddha, atau ajaran dari kitab suci agama lain, sebagian bisa bisa dinilai sebagai selaras dengan Buddhadharma, mengapa sebuat teks yang yang dianggap "sutra" (mesti diragukan nilai kesejarahannya) tidak bisa selaras dengan Buddhadharma? Nilai palsu atau tidaknya suatu teks adalah soal nilai historitas yang seharusnya jadi urusan para pengkaji teks kuno dan sejarahwan, bukan urusan praktisi Buddhdharma.
ya setidaknya tetap harus di runut dari atasnya juga, kalau dari pertama gurunya sudah menceritakan kebohongan maka kebawahnya pun akan menceritakan kebohongan juga.
Sila tidak berbohong menjadi tidak ada artinya.
apa dalam budadarma ada term & condition, mana nyata mana tidak nyata?Term&Conditionnya adalah praktik yang selaras dengan sila, samadhi dan prajna.
ketika suatu umat "percaya" ini buda, ini nibbana, ini surga, ini ajaran buda, ini ajaran sesat, ini ajaran benar sejauh mana sila samadi prajna berlaku, secara sila samadi prajna itu sendiri dari ajaran itu sendiri, bagaimana cara pengujian budadarmanyasila, samadhi, prajna bukan soal "ajaran" (kalau yang kaumaksud adalah "doktrin"). Semuanya hanya soal praktik dan realitas.
Apakah anda meragukan Buddha Gotama The Best Teacher ?
memang berkelit itu gampang
Maskudmu Master Sheng-yen berbohong? yang mana?
Tidak.
_/\_
The Siddha Wanderer
setelah saya baca, sepertinya bro ryu tidak mengatakan master Sheng-yen berbohong ! ???
dan hanya mas sobat yang memulai nama 'master Sheng-yen'. :)
inilah jawaban yang baik, ya atau tidak
ada beberapa orang kalau ditanya !, jawabannya suka berputar dengan segudang teori, jawaban apa juga tidak jelas.
_/\_
GRP sent
Kalau gitu, yang kamu maksudkan pasti bukan saya, karena saya tidak bicara teori, melainkan cuma praktik, praktik dan praktik :)) :)) :))
Buddha Sakyamuni (Gautama) berdasarkan penemuan arkeologi adalah nyata pernah hidup... Buddha-buddha lain ?
Dari kemarin saya sudah mengatakan demikian
Sila, samadhi dan prajna berangkat dari praktik. Bukan soal doktrin.dari mana anda tau ini sila, ini samadi, ini prajna? secara anda tidak perduli yang mengajarkan ada atau tidak, tkoh hayalan atau bukan. anda tau dari mana sila samadi prajna itu nyata bukan hayalan?
Yang saya maksudkan pesan untuk "bersyukur dan berterimakasih secara tulus pada orang tua" adalah selaras dengan Buddhadharma. Kalau menyebarkan "sutra palsu", apakah perbuatan itu selara pada Buddhadharma atau tidak, maka perhatikan dulu pesan dari sutra yang disebarkan. Jangan hanya dilihat dari palsu atau tidaknya. Bahkan booklet, artikel, buku yang ditulis seseorang di masa sekarang saja, yang jelas-jelas bukan berasal dari zaman Sang Buddha, atau ajaran dari kitab suci agama lain, sebagian bisa bisa dinilai sebagai selaras dengan Buddhadharma, mengapa sebuat teks yang yang dianggap "sutra" (mesti diragukan nilai kesejarahannya) tidak bisa selaras dengan Buddhadharma? Nilai palsu atau tidaknya suatu teks adalah soal nilai historitas yang seharusnya jadi urusan para pengkaji teks kuno dan sejarahwan, bukan urusan praktisi Buddhdharma.selaras dengan budadarma yang mana? budadarma yang anda maksud yang mana?
Maskudmu Master Sheng-yen berbohong? yang mana?maksud saya adalah, apabila dari atasnya misalnya gurudari guru master mengajarkan kebohongan apakah master menjadi mengajar kebenaran? (dalam konteks misalnya buda itu tokoh hayalan)
Term&Conditionnya adalah praktik yang selaras dengan sila, samadhi dan prajna.apakah tiga itu harus berbarengan atau sendiri2?
sila, samadhi, prajna bukan soal "ajaran" (kalau yang kaumaksud adalah "doktrin"). Semuanya hanya soal praktik dan realitas.
Saya tidak mampu mengerti kalimat anda ini. Maksudnya apa? Buda menjalankan budadarma? Ha?maksudnya adalah, kalau tokoh buda ini khayalan, apakah budadarma menjadi berlaku?
Bisa. Tapi sulit untuk membuktikan bahwa memang bener-bener sesungguhnya tepat seperti itu tanpa kesalahan sedikit pun 100% benar. Karena media komunikasi zaman dulu tidak secanggih sekarang.ya, untuk memperkuat saddha rasanya juga diperlukan sedikit pengetahuan sejarah apakah benar tokoh ini ada atau hanya hayalan.
_/\_
The Siddha Wanderer
cap demikian "berkelit", "tidak sanggup", "ambigu", dan segudang lagi tampaknya terus melengkapi gelar untuk saya di dalam diskusi ini. Terimakasih atas segudang label2 tersebut. Meski demikian, daripada menganugeahi saya dengan label2, bukankah lebih baik membaca posting saya lebih hati2 agar menghindari salah paham :)
Kalau tidak ada praktik tidak ada Buddha, kalau tidak ada praktik tidak ada Dharma, kalau tidak ada praktik tidak ada Sangha. Buddha lahir karena praktik, Dharma ada karena praktik, Sangha terbentuk karena praktik.
ini yang tertulis di postingan anda...
dan dalam tulisan itu anda menulis tidak ada buddha/dhamma/sangha kalau tidak ada praktek, bukannya tidak ada AJARAN buddha/dhamma/sangha kalau tidak ada praktek...
sepertinya memang kesalahan terletak pada anda, sehingga menimbulkan makna ambigu...
sepertinya saya belum dapat jawaban dari mas sobat juga,
Apakah anda meragukan Buddha Gotama The Best Teacher ?
tolong jangan ada jawaban yang bersifat 'keluyuran' misalnya praktek, praktek, praktek ...
mohon di-quote-kan lagi, soalnya saya tidak berhasil menemukan jawaban anda yg spt ini kemarin. thanks
Pernyataan yang kamu kutip itu hanya pembukaanya, kalau penjelasannya yang memang kumaksud adalah ajaran.setidaknya tolong ditulis dengan sejelas2nya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam pembicaraan...
setidaknya tolong ditulis dengan sejelas2nya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam pembicaraan...
Kalau tidak mau praktik, memangnya kamu mau apa?
setidaknya tolong ditulis dengan sejelas2nya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam pembicaraan...
[sd] tidak sanggup,=)) =)) =))
[sd] dari pada spekulasi, lebih baik praktik, praktik ........
memang label ini (ambigu, berkelit, tidak sanggup) patutlah engkau sandang.
karena menjawab ya atau tidak, harus berputar2 dan bertanya kembali !
karena kenyataan demikian
[sd] tidak sanggup,
[sd] dari pada spekulasi, lebih baik praktik, praktik ........
=)) =)) =))
gpp...
cuma gambar doank kok ketawa...
kayak gini... ;D ;D ;D
oh...
berarti harus praktik ya...