Gini loh dasar pemikiran saya begini. Bagi seorang yang mencapai tahap kesucian misalnya sotapanna saja pasti mempunyai prinsip demikian "Dari pada saya harus melakukan pelanggaran sila (membunuh), saya lebih rela kehilangan nyawa dibunuh."
Nyawa aja udah rela dilepaskan, apalagi cuman melepaskan profesi dokter.
Nah kalo bagi umat awam yg berprofesi dokter yah harus tahu konsekuensinya, ada karma baik dan buruk yang diperbuat pada kasus diatas.
Mungkin saja seorang dokter begitu mencapai sotapanna akan langsung berhenti berprofesi sebagai dokter agar tidak terjebak dalam dilema seperti itu. . . . . . ini hanya opini saya pribadi saja.
Sebenarnya jika kita mengikuti alur pembahasan di thread ini, TS (Bro wang ai lie) hendak membahas perihal
"kebijaksanaan duniawi dan kebijaksanaan adi-duniawi". Jadi jika membahas mengenai "kebijaksanaan", tolak ukurnya
tidak melulu soal Sotapanna, Sakadagami, Anagami, Arahat, Sang Buddha, dsb.
Kebijaksanaan bukanlah hal monopoli milik mereka. Kita non-Ariya juga bisa bijaksana. Saya dapat bijaksana. Kamu juga dapat bijaksana. Bahkan kita semua bisa saja lebih bijaksana daripada Arahat di dalam bidang-bidang tertentu!
Seperti yang saya singgung di postingan sebelumnya, kira-kira ada 2 kasus
partial-birth abortion dalam sehari di AS dan Kanada. Dalam kasus ini, dokter kandungan dihadapkan pada opsi untuk mengaborsi bayi demi (kadang) menyelamatkan sang ibu. Ini adalah konsekuensi dari seorang dokter. Untuk hal inilah dokter diajari mengenai teknik operasi, praktik membedah, kode etik, dll. Jika bukan dokter kandungan yang melakukannya, lalu siapa lagi?
Dalam kasus PBA ini, memilih untuk menyelamatkan salah satu (sang ibu atau bayi) adalah pilihan yang tidak sederhana. Namun
keputusan yang tepat merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak melulu soal
"tidak mau melanggar sila". Kita adalah manusia, yang mengenal pengecualian; bukan robot yang selalu terpaku pada "YA" atau "TIDAK" sesuai program.