//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?  (Read 131518 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #60 on: 31 August 2010, 01:03:38 AM »
maksudnya segala sesuatu ada batasnya??
appamadena sampadetha

Offline Aime

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #61 on: 31 August 2010, 01:10:42 AM »
sebab akibat...
batas alam semesta ada dimana?
pernahkah dibahas dalam ajaran Buddha sebelumna?
hope we can face anything

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #62 on: 31 August 2010, 01:48:48 AM »
sebab akibat...
batas alam semesta ada dimana?
pernahkah dibahas dalam ajaran Buddha sebelumna?

"Apakah alam semesta terbatas atau tidak terbatas?" adalah pertanyaan spekulatif yang tidak pernah dijawab oleh Sang Buddha

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #63 on: 31 August 2010, 01:49:14 AM »
Alam semesta terbatas atau tanpa batas adalah jenis pandangan spekulatif. Apa hubungannya batas alam semesta dengan sebab-akibat?
appamadena sampadetha

Offline Aime

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #64 on: 31 August 2010, 02:17:39 AM »
memangnya tidak ada hubungannya ya?
hope we can face anything

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #65 on: 31 August 2010, 08:20:36 AM »
memangnya tidak ada hubungannya ya?

Menurut Sis Aime sendiri, apa hubungannya?

Offline Aime

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #66 on: 31 August 2010, 11:24:38 AM »
bukankah kehidupan merupakan akibat dari sebab sebelumnya,,,?
untuk membayar karma di masa lalu... anggap saja masa lalu dari asalusul alam semesta yg tidak kita ketahui itulah penyebab dari munculnya kehidupan...
Misal: alam semesta kita yg terbatas----> A
Di luar A...ada suatu sistem lain yang lebih besar,,, yang oleh karena suatu sebab... maka akibatnya adalah kehidupan di A....

Buddha bilang...banyaknya daun dalam hutan, tidak mungkin kita genggam smua... mungkin untuk hal ini Buddha tidak membabarkan ke manusia....
tapi... ak penasaran....
hope we can face anything

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #67 on: 31 August 2010, 11:29:28 AM »
bukankah kehidupan merupakan akibat dari sebab sebelumnya,,,?
untuk membayar karma di masa lalu... anggap saja masa lalu dari asalusul alam semesta yg tidak kita ketahui itulah penyebab dari munculnya kehidupan...
Misal: alam semesta kita yg terbatas----> A
Di luar A...ada suatu sistem lain yang lebih besar,,, yang oleh karena suatu sebab... maka akibatnya adalah kehidupan di A....

Buddha bilang...banyaknya daun dalam hutan, tidak mungkin kita genggam smua... mungkin untuk hal ini Buddha tidak membabarkan ke manusia....
tapi... ak penasaran....

untuk menjawab pertanyaan ini Sang Buddha memberikan perumpamaan:

"......
........
Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya. Orang itu berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang mulia atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja.’ Dan ia mengatakan: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau coklat atau keemasan; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa; … hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku adalah sebuah busur panjang atau busur silang; … hingga aku mengetahui apakah tali busur yang melukaiku terbuat dari serat atau buluh atau urat atau rami atau kulit kayu; … hingga aku mengetahui dari bulu apakah tangkai anak panah yang melukaiku itu dipasangkan – apakah dari burung nasar atau burung bangau atau burung elang atau burung merak atau burung jangkung; … hingga aku mengetahui dengan urat jenis apakah tangkai anak panah itu diikat – apakah urat sapi atau kerbau atau rusa atau monyet; … hingga aku mengetahui jenis mata anak panah apakah yang melukaiku – apakah berpaku atau berpisau atau melengkung atau berduri atau bergigi-anak-sapi atau berbentuk-tombak.’
.....
....
....."

Offline Aime

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #68 on: 31 August 2010, 12:33:22 PM »
memang harus ehipassiko rasanya....
hope we can face anything

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #69 on: 31 August 2010, 03:53:42 PM »
kalau materi pembentuk membutuhkan pengendali.... maka keberadaan pengendali tersebutlah yg bisa dikatakan "yang transenden"...sudah ada, tidak dilahirkan...tidak diciptakan.... sudah ada dg sendirinya.... lantas dimanakah sebab akibat yg memunculkan "yang transenden"?
mungkin saja ada sebuah kecelakaan di alam sana yg kita blm pernah mengetahuinya, shingga bertebaran segala macam materi pembentuk yang sangat luas (seluas jagad raya, yang sampe dikatakan tak terhingga)
bukankah segala sesuatu ada batasnya?

Menurut saya, materi pembentuk tidak  membutuhkan pengendali. Sesuatu dikatakan membutuhkan pengendali ketika ia dikhawatirkan menyimpang dari ketentuan, jalur, sistem yang sebenarnya yang sudah ada. Materi pembentuk atau secara luas yaitu alam semesta tidak membutuhkan pengendali karena ia tidak akan menyimpang dari ketentuan, jalur, sistem, dan karena apa yang terjadi padanya adalah sudah karakternya. Jadi, tidak ada pengendali yang disebut dengan “yang transenden”.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Aime

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 25
  • Reputasi: 0
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #70 on: 31 August 2010, 08:10:20 PM »
Quote
Menurut saya, materi pembentuk tidak  membutuhkan pengendali. Sesuatu dikatakan membutuhkan pengendali ketika ia dikhawatirkan menyimpang dari ketentuan, jalur, sistem yang sebenarnya yang sudah ada. Materi pembentuk atau secara luas yaitu alam semesta tidak membutuhkan pengendali karena ia tidak akan menyimpang dari ketentuan, jalur, sistem, dan karena apa yang terjadi padanya adalah sudah karakternya. Jadi, tidak ada pengendali yang disebut dengan “yang transenden”.

sebenarnya ak tadi cuma berdiskusi dengan yang memberi perumpamaan tepung dan roti....
bukan pernyataan...melainkan bisa dibilang pertanyaan,,...

hope we can face anything

Offline yanfei

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 430
  • Reputasi: 12
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #71 on: 31 August 2010, 08:38:56 PM »
Tuhan, Bagaimana Ini?

“Tuhan, bagaimana ini, sudah dua hari toko tidak ada pembeli sama sekali, hari ini cuma dapat 7.000 rupiah, mana cukup untuk menutup biaya-biaya....”

oleh :
YASANANDA YUDHA WIBISONO

Sumber : Dawai edisi 46


SUATU SIANG BEBERAPA BULAN yang lalu, setelah puja bhakti dan latihan meditasi, saya berbincang-bincang dengan seorang bapak yang cukup rajin hadir pada sesi latihan meditasi bersama. Bapak tersebut mengaku sering mendengar suara-suara saat meditasi rutin di rumah, dan hal ini dianggapnya mengganggu. Setelah menjawab bagaimana bersikap atas kondisi tersebut, saya bertanya apa tujuannya berlatih meditasi, sebab terkadang halangan meditasi bisa muncul disebabkan adanya konsep-konsep salah yang dipercaya oleh seseorang.

Ternyata bapak ini ingin bias melihat apa karma lampaunya yang menyebabkan ia saat ini mengalami banyak penderitaan hidup. Saat ditanya apa penderitaannya, bapak ini bercerita bahwa dia dulunya aktivis di agama tetangga selama 25 tahun dan sudah direkomendasikan menjadi pendeta. Tetapi bukannya menjadi pendeta dia malah pindah agama, karena waktu akan menikah (dijodohkan orang tuanya), pendeta di sana tidak mau menikahkan bapak ini karena ia bersikukuh tidak mau dibaptis sebagai syarat untuk pernikahan. Bapak tersebut beranggapan pembaptisan bukan jaminan orang akan taat & rajin berdoa. Pernikahan akhirnya dilakukan di salah satu kelenteng di Surabaya yang bersedia membantunya. Persoalan muncul waktu mengetahui istrinya bukan istri yang sesuai dengan harapannya, lalu sejak kematian ayahnya, ia berselisih paham dengan saudara-saudara dan ibunya mengenai harta warisan.

Dari bincang-bincang itulah saya kemudian tahu bahwa bapak ini ternyata merasa bisa bercakap-cakap dengan Tuhan secara pribadi dan sewaktu pindah agama pun ia juga merasa bisa bercakap-cakap dengan patung Dewi Kwan Im atau dewa-dewa lainnya Seminggu kemudian saya menanyakan perkembangan latihan meditasinya, dan diskusi tersebut akhirnya berkembang menjadi pembahasan mengenai cara bapak tersebut mengatasi masalahnya. Di situlah saya ketahui ternyata permasalahan dengan istri dan keluarganya berakar dari permasalahan ekonomi. Bapak ini terhimpit masalah ekonomi. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi dengan istri dan keluarganya juga berakar dari masalah ekonomi.

Cara bapak ini cukup unik, dia terus meminta dan meminta kalau perlu ngomel pada Tuhan. ialah satu doa yang dia ceritakan saat itu adalah “Tuhan, bagaimana ini, sudah dua hari toko tidak ada pembeli sama sekali, hari ini cuma dapat Rp. 7.000, mana cukup untuk menutup biaya-biaya. Saya tidak minta jadi konglomerat, asal cukup saja dan ada kelebihan sedikit”. Waktu dia merasa jengkel dengan istrinya dia juga berdoa, “Tuhan, kenapa waktu saya batal jadi pendeta, kamu tidak paksa saya untuk berangkat, kenapa harus ketemu istri seperti ini”. Bapak itu juga bercerita bahwa meskipun seminggu sepi, pada akhir minggu ada orderan cukup besar sehingga bisa cukup untuk menutup kebutuhan bulan itu, tapi ia berterima kasih secukupnya dan tetap menuntut Tuhan memberinya lebih dari itu.

Cerita di atas hanyalah salah satu cerita klasik yang sering kita temui sehari-hari. Menggambarkan CARA sebagian orang untuk bertahan dalam derasnya arus KEHIDUPAN yang penuh ketidakpastian ini.

Di mana kata KEHIDUPAN sendiri sering dipakai orang untuk menggambarkan serangkaian kejadian yang kita alami dari saat kita bangun di pagi hari sampai kita tidur di malam hari, dari saat kita lahir sampai saat kita mati.

Kejadian-kejadian tersebut sangat bervariasi meliputi kejadian-kejadian yang kita anggap menyenangkan, netral sampai yang paling tidak menyenangkan bahkan yang paling menakutkan.
Dari jaman dahulu kala manusia sudah membuat penjelasan-penjelasan atas kejadian yang mereka alami sesuai dengan level pengetahuan mereka. Bila ada gunung berapi meletus dan menumpahkan lahar serta debu awan panas, hal tersebut membuat mereka menderita dan ketakutan, mereka mengalami luka-luka, kehilangan sanak keluarga dan tempat tinggal. Mereka tidak kuasa melawan kekuatan tersebut maka mereka melakukan kompromi atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. Informasi-informasi mereka kumpulkan dan dianalisa. Informasi tersebut bisa dari mimpi, penampakan hal tertentu yang tidak lazim (misal awan bergambar manusia atau binatang), rumor (misalnya ada warga yang memotong pohon di puncak gunung tersebut) dan sebagainya. Dari situ muncul konsep yang berkembang menjadi kepercayaan lokal penduduk setempat.

Pemujaan terhadap kekuatan gunung berapi yang dianggap hidup dilakukan dengan cara-cara yang mereka anggap bisa menyenangkan kekuatan tersebut. Konsep menyenangkan ini memakai standar apa yang mereka anggap menyenangkan. Misalnya mempersembahkan buah-buahan dan binatang bahkan gadis-gadis dan laki-laki muda. Bila letusan gunung berapi itu belum reda, maka mereka bisa berasumsi bahwa jumlah dan kualitas persembahan belum mencukupi, maka mereka akan menambah persembahan tersebut.

Dan apabila selesai melakukan persembahan kedua kebetulan letusan mereda maka mereka mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa kekuatan tersebut sudah bisa dipuaskan dengan cara itu. Hal ini akhirnya menjadi kepercayaan pemujaan terhadap gunung berapi atau kekuatan yang ada di puncak gunung berapi. Kepercayaan ini akhirnya diturunkan dari generasi ke generasi. Yang tidak mereka sadari adalah bahwa meskipun tidak diberi persembahan apapun letusan gunung berapi pasti akan reda juga (anicca).

bersambung.......

Offline yanfei

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 430
  • Reputasi: 12
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #72 on: 31 August 2010, 08:39:29 PM »
lanjutan......

Seperti pada kasus letusan Gunung Merapi baru-baru ini, setelah “puas” meletus juga akan reda dengan sendirinya.

Kekuatan rasa takut danketidaktahuan ini menyebabkanbermunculannya paham DINAMISME & ANIMISME di seluruh dunia, mereka memuja gunung, pohon, batu, api, binatang dan lain-lain.
Mereka selalu mengaitkan apa yang terjadi pada mereka dengan hal-hal tersebut.

Pada perkembangannya seiring dengan berkembangnya kebudayaan & peradaban di daerah masing-masing, banyak paham-paham ini bertransformasi menjadi paham POLITHEISME (pemujaan pada banyak Tuhan/Dewa Penguasa), salah satu yang terkenal adalah pemujaan pada dewa-dewa Yunani Kuno (Zeus, Hera, dll).

Di sini Tuhan Penguasa digambarkan bersifat seperti manusia tapi memiliki kekuatan yang besar, tidak jarang suka semena-mena dan kejam, sehingga dipuja untuk mendapatkan perlindungan sekaligus ditakuti hukumannya apabila gagal dipuaskan. Pada waktu yang hampir bersamaan ada suatu paham kepercayaan yang tumbuh berkembang di daerah Timur Tengah dan sekitarnya. Di mana paham ini juga memuja satu kekuatan abstrak tunggal di luar manusia yang akhirnya mulai menggeser paham POLITHEISME menjadi paham MONOTHEISME. Tuhan yang abstrak tersebut (wujudnya tidak pernah tampak) digambarkan memiliki sifat-sifat manusia yang serba Maha, pada masa-masa awalnya diceritakan sebagai sosok yang pilih kasih dan mudah murka.

Namun seiring dengan munculnya tokoh-tokoh spiritual baru, sosok Tuhan mulai digambarkan sebagai sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Sang Buddha sendiri dalam Brahmajala Sutta menjelaskan bahwa banyak paham kepercayaan yang berkembang di India saat itu munculnya dari ketidaktahuan pendiri paham itu sendiri. Dalam suatu kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia, salah seorang bhikkhu kita ditanya apakah agama Buddha mengakui adanya Tuhan. Bhikkhu tersebut menjawab tidak mengakui Tuhan kalau Tuhan itu suatu makhluk. Paus sempat bingung, mungkin juga kebanyakan orang yang belum mengenal betul agama Buddha akan mengalami kebingungan seperti beliau. agama buddha tidak mengenal tuhan?

Pernah dalam suatu pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, bhikkhu kita ditanya oleh salah seorang tokoh agama sebagai berikut : “Bapak Bhikkhu yang terhormat, saya telah membaca banyak kitab suci agama Buddha tetapi saya tidak bisa menemukan kata-kata Tuhan di manapun juga. Apakah agama Buddha tidak ber-Tuhan?” Bhikkhu kita tersebut lalu menjawab dengan enteng “Lho, bukankah di kitab-kitab suci Bapak-Bapak sekalian juga tidak ada kata-kata Tuhan?” Jawaban tersebut tentunya menimbulkan reaksi keras dari para tokoh agama yang hadir di situ, salah satunya bahkan berinisiatif menunjukkan betapa banyaknya tulisan Tuhan di kitab sucinya. Bhikkhu tersebut lalu berkata : “ Itu kan kitab suci yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, kalau dalam kitab suci yang asli kan tidak ada kata Tuhan”. Mereka terdiam dan berpikir. Akhirnya mereka mengakui bahwa apa yang diucapkan bhikkhu tersebut mengandung kebenaran. Kitab suci Nasrani dalam bahasa aslinya Ibrani menyebut Tuhan sebagai Yahwe, sedangkan di Al Quran menyebut Tuhan dengan Allah, di Hindu dengan Sang Trimurti Brahma Siwa Wisnu (mohon maaf bila ada kesalahan istilah dan ejaan).

Sedangkan kata Tuhan sendiri berasal dari bahasa kawi, dari kata 'TUAN' yang artinya 'yang disembah'. Bhikkhu tersebut kemudian bertanya kepada para tokoh agama tersebut “atas dasar apa kata Yahwe, Allah, Sang Trimurti lalu diterjemahkan menjadi kata Tuhan, apakah sosok Tuhannya sama?” Kata water, banyu, sui bisa diterjemahkan menjadi kata air dalam Bahasa Indonesia karena mengacu pada benda yang sama. Lalu apakah Tuhan dari agama-agama tersebut mengacu pada Sesuatu yang sama? Para tokoh agama tersebut akhirnya sepakat mengakui bahwa secara umum kelihatannya sama tetapi sebenarnya memiliki banyak perbedaan konsep yang cukup signifikan. Sangat diragukan mengacu pada Tuhan yang sama, kalau toh mau dianggap sama itupun hanya berupa anggapan belaka, bukan suatu kebenaran. Oleh karena itu wajar dan sah saja bila konsep Tuhan di dalam agama Buddha berbeda dengan konsep Tuhan di agama-agama lain. Bhikkhu tersebut juga menjelaskan bahwa konsep Tuhan dalam agama Buddha jarang sekali diterjemahkan menjadi kata Tuhan karena menghindari pemahaman yang bias. NIBBANA sebagai konsep Ketuhanan dalam agama Buddha lebih sering ditulis dalam bahasa aslinya untuk menghindari salah persepsi. nibbana konsep ketuhanan yme dalam agama buddha.

Para tokoh nasional kita di masa lampau kelihatannya sudah memikirkan baik-baik segala konsekuensi yang ada pada saat menyusun Pancasila Dasar Negara kita. Mungkin karena itulah sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan YME dan bukannya Tuhan Yang Maha Esa. Kalau Tuhan Yang Maha Esa bisa diartikan satu sosok Tuhan tunggal yang tidak ada duanya di mana kita harus mengakui adanya satu sosok tunggal itu dan bukan yang lain. Hal itu tidak mungkin karena tiap agama masing-masing memiliki Konsep Tuhan yang tidak persis sama satu dengan lainnya. Ketuhanan YME lebih bisa merangkul semua pihak karena semua agama pasti memiliki Konsep Tuhan Yang Tunggal meskipun Konsep Tuhan masing-masing tidak persis sama.

Ketuhanan YME mengisyaratkan kehidupan bernegara dan berbangsa (dalam hal ini beragama) harus berlandaskan pada pengakuan akan adanya konsep Tuhan yang tidak mendua atau banyak tetapi benar-benar tunggal (Maha Esa).

Nibbana adalah sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak diciptakan, yang mutlak (asankhata/bukan perpaduan/tunggal/esa), Nibbana bukan tempat (surga) atau makhluk adikodrati. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menjelaskan Nibbana, tetapi Nibbana bisa dialami/ direalisasikan oleh siapa saja yang mau melatih dirinya sesuai Dhamma Sang Guru Agung Buddha Gotama.

N i b b a n a m erupakan tujuan tertinggi dari umat Buddha, tujuan hidup, kondisi keabadian tanpa kelahiran, tanpa kematian dan tanpa penderitaan. Nibbana (yang mutlak/ tunggal/esa/asankhata) merupakan konsep Ketuhanan YME dalam Agama Buddha.

Sering kita ditanya mengapa Nibbana tidak bisa dijelaskan kata-kata. Jawabannya cukup sederhana, karena banyak hal yang kita jumpai di dunia ini, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebagai contoh adalah warna. Misalkan kita memegang kain warna kuning tertentu, maka sulit bagi kita untuk menjelaskan secara tepat seberapa kuning warna kain itu pada teman kita lewat pesawat telepon. Kita harus menunjukkan sendiri kain itu baru tidak diperlukan penjelasan lewat kata-kata lagi. Yang lebih mustahil bila kita harus menjelaskan warna itu pada orang buta sejak lahir. Biar kita tempelkan ke pipi orang itu, kita suruh dia cium baunya tetap tidak akan berhasil. Satu-satunya jalan adalah mengobati mata orang tersebut sampai sembuh, baru orang itu mengerti warna kain tanpa perlu dijelaskan lagi.

Demikian pula dengan Nibbana, sudah begitu banyak Siswa Mulia Sang Buddha yang merealisasikan Nibbana, namun sebagaimanapun jelasnya Nibbana bagi Mereka, tetap tidak akan bisa dijelaskan pada kita-kita yang belum mencapainya. Kita tetap seperti orang buta tadi. Satusatunya jalan adalah membuka mata batin kita dengan latihan sungguh-sungguh sesuai petunjuk Mereka yang telah pernah mencapainya, baru Nibbana akan menjadi jelas buat kita. Kalau kita terus berusaha membayangkan Nibbana bahkan terus bertanya-bertanya maka kita akan jadi seperti orang buta yang terus bertanya-tanya mengenai warna kain dengan cara disentuh, dicium dan sebagainya. Hal itu akan sia-sia. nibbana bukan maha dewa pengatur kehidupan Cerita ini kisah nyata. Beberapa tahun yang lalu, pada suatu malam selesai dari kebaktian di tempat ibadahnya, seorang pengabar agama yang taat di agama tetangga pulang ke rumahnya di daerah Surabaya Barat dengan mengendarai sepeda motor. Di tengah perjalanan dia dihadang perampok yang hendak merampas sepeda motornya. Karena mungkin sedikit melawan akhirnya selain sepeda motornya dirampas, ia juga dianiaya dan ditinggal sendirian di jalan sepi tersebut dengan kondisi terluka parah.

Offline yanfei

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 430
  • Reputasi: 12
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #73 on: 31 August 2010, 08:40:55 PM »
Dengan sisa tenaga yang ada ia berusaha untuk meminta bantuan dari kendaraan yang lewat namun tidak ada satupun yang berani berhenti untuk menolong karena takut dengan penampilannya yang luka parah. Akhirnya ia terus berjalan dan merangkak sampai ke lokasi perumahannya lalu ditolong
satpam perumahan yang mengenalinya. Dari cerita di atas orang tidak akan berhenti berpikir kenapa ia mengalami kejadian yang mengerikan tersebut. Apa penyebabnya. Bagaimana orang yang sudah begitu taat sembahyang dan baru saja keluar dari pelayanan di tempat ibadahnya bisa menerima musibah seperti itu. Orang akhirnya muncul dengan berbagai jawaban yang selalu dikaitkan dengan keberadaan sosok maha dewa pengatur kehidupan. Di mana jawaban tersebut sering menggambarkan keterlibatan langsung maha dewa atas nasib manusia.

Penjelasan-penjelasan itu pada awalnya memang bisa menghibur, memberikan ketabahan dan harapan bagi manusia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan dalam hidupnya. Tetapi karena Tuhan dilibatkan dalam penjelasan tersebut dan digambarkan sebagai makhluk maha dewa, akhirnya menyebabkan gambaran Tuhan jadi tidak sempurna dan membingungkan.

Jawaban yang paling sering dipakai orang adalah bahwa hal itu merupakan COBAAN dari Tuhan untuk melihat apakah pengikutnya itu benar-benar setia padanya. Apabila kita menggambarkan ada sosok Tuhan dalam bentuk maha dewa sedang mencoba manusia yang sudah begitu taat kepadanya dengan cara seperti itu, kita tentunya boleh merasa ngeri dengan sosok Tuhan seperti itu. Dan tentunya sosok tersebut tidak bisa disebut bersifat maha pengasih dan penyayang. Apabila seorang ibu mencoba membuat roti kukus yang enak, maka disitu ada resiko roti kukus itu tidak “mengembang” atau sering dikatakan orang rotinya “bantat”. Ibu itu tidak tahu hasil akhirnya karena itu ia harus mencoba. Konsep cobaan sebagai jawaban atas kejadian di atas sulit diterima kecuali Tuhan maha dewa memang sedang coba-coba dan tidak tahu bagaimana hasil percobaannya itu.

Berarti maha dewa tersebut tidak maha tahu. Tetapi kalau betul-betul maha tahu, tentunya maha dewa itu sudah tahu bagaimana hasilnya, lalu apa fungsinya mencoba. Apabila sudah tahu hasilnya tetapi tetap diberi cobaan yang mengerikan, hal ini tentunya mirip dengan sifat manusia yang iseng dan kejam (baca tsunami).Yang menjadi pertanyaan apakah Tuhan bisa digambarkan seperti itu? Menurut saya hal ini karena manusia sendiri yang menggambarkan Tuhan sebagai sosok makhluk maha dewa sehingga menimbulkan banyak kerancuan dan bukan gambaran Tuhan yang sesungguhnya. Jawaban lain yang sering dipakai adalah bahwa kejadian yang terjadi sudah merupakan RENCANA Tuhan.

Apabila kita telaah penjelasan ini tentunya timbul suatu pengertian bahwa kejadian yang terjadi pada teman kita tersebut sudah direncanakan sebelumnya bahkan mungkin pada saat ia belum lahir di mana perampok tersebut juga merupakan bagian dari rencana tersebut.

Misalkan ada suatu pentas sandiwara di mana ada seorang yang baik hati dirampok oleh perampok, maka aktor perampok harus betul-betul menjalankan perannya dengan baik agar sandiwara itu bagus jadinya. Apabila dalam skenarionya (rencana) dia harus merampok lalu dia malah menolong orang tentunya hal itu akan menyebabkan sutradara marah. Dia sudah merusak jalan cerita dan melawan perintah. Tetapi bila dia betul-betul berperan sebagai perampok yang bengis maka seharusnya akan mendapatkan pujian dari sang sutradara, harusnya dia dapat piala Oscar.

Bila kita kembali pada cerita di atas maka seharusnya perampok sepeda motor tadi masuk surga karena sudah menjalankan perintah sesuai rencana-“Nya”. Tetapi yang terjadi biasanya perampok itu dikatakan akan masuk neraka karena kejahatannya.

Konsep bahwa semua kejadian sudah direncanakan Tuhan sulit bisa diterima. Apabila semua sudah direncanakan berarti sejak awal diciptakan manusia sudah ditentukan mana yang akan masuk neraka dan mana yang akan masuk surga. Lalu di mana letak keadilannya dan lagi pula apa fungsinya menciptakan manusia dengan rencana seperti itu. Atau konsep ini murni bikinan manusia sehingga akhirnya menyebabkan gambaran Tuhan jadi seperti itu.

Sering kali ada orang yang menjelaskan bahwa kejadian itu untuk mengingatkan manusia bahwa Tuhan maha dewa memiliki kekuasaan penuh atas nasib manusia. Apabila hal itu yang terjadi maka berarti maha dewa tersebut bukan maha pencipta karena sudah menciptakan manusia yang tidak sempurna sehingga perlu terus-terusan diingatkan. Apalagi teman kita itu tadi kerjaannya tiap saat melayani Tuhan kenapa ia yang harus diingatkan dan bukannya yang lain. Terkadang orang menyalahkan iblis yang diceritakan merupakan ciptaan Tuhan maha dewa sebagai biang keladi atas segala penderitaan dan musibah yang terjadi.

Jika Tuhan maha dewa merupakan makhluk yang maha tahu, maha kuasa dan maha pengasih tentunya tidak perlu menciptakan iblis dan kalau toh sudah terlanjur diciptakan harusnya dikendalikan supaya tidak menciptakan penderitaan. Kecuali memang iblis sengaja diciptakan dan dibiarkan supaya menggoda manusia, sehingga manusia yang punya pilihan bebas bisa punya alternatif pilihan mau masuk surga atau neraka. Bila memiliki sifat maha tahu tentunya sudah bisa diketahui manusia mana yang bakal tahan godaan lalu masuk surga dan mana yang tidak tahan lalu masuk neraka. Tetapi bila Tuhan maha dewa tidak tahu mana yang akan dipilih manusia, maka sebagai perwujudan rasa cinta kasih, seharusnya tidak menciptakan iblis penggoda karena besar kemungkinan manusia akan tergoda lalu masuk neraka. Saat kita mengingat kejadian tsunami yang menghancurkan jutaan hidup manusia dengan cara yang sangat mengerikan, belum lagi penderitaan dan trauma berkepanjangan bagi yang masih hidup, tentunya kita juga boleh bertanya-tanya mengapa hal tersebut terjadi. Pada waktu itu tidak ada satu tokoh agamapun bisa membahas mengapa hal itu terjadi.

Apakah ada Tuhan maha dewa yang sedang murka pada jutaan orang-orang tidak berdosa itu? Sebesar apa kesalahan mereka sehingga patut menerima hukuman seperti itu. Saat itu para tokoh agama hanya menjelaskan betapa kecil kita dibanding kekuasaan Tuhan sehingga kita tidak seharusnya menjadi sombong dan belajar rendah hati, serta mengembangkan kepedulian kita pada korban bencana tersebut.

Penjelasan tokoh agama itu memang benar dan sudah seharusnya kita berpikir seperti itu tetapi dibalik penjelasan itu akan tetap tersimpan tanda tanya besar kenapa Tuhan maha dewa tega melakukan hal tersebut. Apabila manusia dilarang untuk mempertanyakan segala rencana Tuhan maha dewa, maka manusia seharusnya tidak diciptakan dengan akal budi yang sedemikian rupa sehingga mampu berpikir logis dan mempertanyakan 'policy' Tuhan maha dewa.

Dalam kitab Jataka VI: 208 tercatat :

Dengan mata, seseorang dapat melihat pemandangan memilukan, Mengapa “maha dewa” itu tidak menciptakan secara baik? Bila kekuatannya dikatakan tak terbatas,
Mengapa tangannya begitu jarang memberkati, Mengapa dia tidak menganugerahi kebahagiaan saja? Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidaktahuan merajalela?

Mengapa kepalsuan menang, sebaliknya kebenaran dan keadilan gagal Saya menganggap, pandangan tentang “ maha dewa” adalah Ketidakadilan yang membuat dunia yang diatur keliru.
Tujuan dari pembahasan di atas murni untuk melakukan koreksi atas konsep keliru yang masih sering dimiliki umat Buddha yaitu yang menggambarkan Tuhan sebagai maha dewa yang mengatur nasib manusia.

Sangat tidak tepat menggambarkan kesucian dengan cara seperti itu. Karena itu kita TIDAK pernah menggambarkan Tuhan sebagai maha dewa pencipta, penguasa, pemberi berkah, penghukum dsb. Tuhan adalah Mutlak, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata tetapi bisa direalisasikan dalam mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupannya saat ini dan tidak harus menunggu kematian datang. Tuhan adalah kebahagiaan tertinggi Nibbana. Nibbana adalah Tuhan dalam agama Buddha. Jawaban-jawaban yang menggambarkan keterlibatan maha dewa atas nasib manusia tersebut di atas memang tidak bisa diterima dengan logika. Tetapi buat sebagian orang bisa menjadi hiburan dan harapan untuk bertahan atas penderitaan hidup yang sedang mereka alami terutama bagi yang mau percaya penuh atas konsep-konsep tersebut. Lalu bagaimana penjelasan Dhamma atas kejadian-kejadian yang dialami manusia dalam kehidupannya sehari-hari?

hukum alam semesta (niyama dhamma) sebagai penjelasan atas kejadiankejadian yang terjadi di alam semesta ini Dahulu kala orang mengira hujan dan petir adalah kerjaan para dewa-dewi yang ada di atas kahyangan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka diketahui bagaimana terjadinya hujan dan siklusnya. Ilmu pengetahuan mulai menguak tabir kegelapan dan mulai menjelaskan bagaimana alam bekerja dengan hukum-hukumnya. Newton, Einstein dan masih banyak ilmuwan lainnya mulai mempelajari sebagian dari hukum-hukum yang bekerja di alam semesta ini. Listrik bisa menyalakan lampu dan peralatan lainnya adalah salah satu temuan penting hukum alam di abad modern ini.

Hukum alam semesta adalah hukum yang mengatur segala gejala, proses, aktivitas, sebab akibat batin dan jasmani (fisik) yang ada di alam semesta itu sendiri. Hukum ini tidak bisa diraba, dilihat, didengar, dan dicium keberadaannya, namun bisa diketahui dan dipelajari cara kerjanya dari gejala-gejala yang muncul secara fisik maupun batin.

bersambung........

Offline yanfei

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 430
  • Reputasi: 12
Re: Membuktikan bahwa Tuhan itu tak ada?
« Reply #74 on: 31 August 2010, 08:42:10 PM »
Hukum ini terdiri atas :

1. Utu Niyama yaitu hukum tertib “physical organic” yang mengatur mengatur musim, iklim, cuaca, radiasi panas dingin, timbulnya gunung berapi, dll. Semua aspek fisika dari alam diatur oleh hukum ini.
2. Bija Niyama yaitu hukum yang mengatur tumbuh-tumbuhan
3. Citta Niyama yaitu hukum yang mengatur fenomena dan kekuatan pikiran
4. Kamma Niyama yaitu hukum yang mengatur sebab akibat perbuatan (karma).
5. Dhamma Niyama yaitu hukum yang mengatur segala sesuatu di luar 4 hukum di atas. Misalnya hukum gravitasi dll.

Hukum alam semesta ini ada sejak saat tanpa awal dan tidak ada akhirnya, kekal abadi. Bukan diciptakan oleh makhluk adikodrati tertentu. Bila orang berargumen bahwa hukum ini pasti ada yang menciptakan (konsep penciptaan) maka logikanya si pencipta hukum ini harusnya ada juga yang menciptakan, dan yang menciptakan si pencipta hukum ini pasti juga ada yang menciptakan, sehingga tidak akan ada habisnya. Terkadang ada orang yang bersikeras bahwa si pencipta tidak ada yang menciptakan, dengan pernyataan ini maka orang tersebut sebenarnya sudah mengakui bahwa tidak semuanya muncul karena penciptaan. Dengan demikian jika dikatakan bahwa hukum alam semesta ini sudah ada sejak saat tanpa awal dan bukan ciptaan makhluk pencipta maka hal tersebut tentunya sudah konsisten dengan pernyataan orang tersebut.

Ilmuwan terkenal Stephen Hawking yang dianggap sebagai Einstein kedua telah menemukan rumusan dengan didukung fakta-fakta bahwa alam semesta muncul karena sebab-sebab tertentu yang murni berdasarkan hukum-hukum alam semesta.

Kemunculan inipun merupakan suatu proses yang sangat panjang dan bukan diciptakan makhluk adikodrati dari tidak ada menjadi ada seperti sulap dalam beberapa hari (baca teori Big Bang & Black Hole). Temuan Stephen Hawking ini selaras dengan apa yang telah disampaikan Sang Buddha 2500 tahun yang lalu dalam salah satu sutta Tripitaka mengenai proses kemunculan alam semesta ini (baca Digha Nikaya III: 84 & Majjhima Nikaya III: 120).

Jika orang berusaha menjelaskan kejadian-kejadian yang dialami di kehidupannya sehari-hari, maka secara langsung maupun tidak langsung orang tersebut PASTI sedang menjelaskan bekerjanya suatu hukum alam tertentu.

Ada satu kisah hidup seorang mahasiswa PTS di Surabaya sewaktu dia masih kecil. Pada suatu waktu ia melihat ayahnya memberi uang pada salah seorang preman di kampungnya. Dia sangat tidak suka pada preman-preman itu karena sering mengganggunya sewaktu dia pulang jalan kaki dari sekolahnya. Iapun lalu menegur ayahnya untuk apa memberi bantuan pada preman-preman seperti itu. Sang ayah yang dulunya ternyata pernah jadi preman tersebut hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia masih kecil belum tahu apa-apa. Beberapa waktu kemudian terjadi kebakaran di gudang toko mereka. Pada saat panik-paniknya menyelamatkan harta benda yang ada, anak kecil ini melihat suatu kejadian yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Di depan toko mereka berdiri berjajar para preman kampung yang dibencinya tersebut.
Sambil membawa parang mereka berteriakteriak mengancam masa yang sudah bergerombol mau menjarah toko mereka. Harta mereka akhirnya selamat dari penjarahan berkat jasa para preman tersebut.

Saat kejadian tersebut terjadi kita bisa lihat bahwa beberapa hukum alam telah bekerja sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah. Utu Niyama, hukum pengatur temperatur bekerja karena adanya kondisi-kondisi pendukung seperti korsleting listrik yang menyebabkan panas tinggi dan munculnya api. Cuaca yang panas dan kering mendukung menjalarnya api. Di sini Utu Niyama bekerja secara obyektif tidak pilih-pilih sesuai dengan munculnya kondisi-kondisi pendukung. Dan bila kondisi-kondisi pendukung munculnya api telah lenyap, lenyap pula api tersebut.

Kamma Niyama salah satunya bisa dilihat dengan matangnya kondisi-kondisi yang menyebabkan hilangnya harta benda karena kebakaran serta terselamatkannya harta mereka dari penjarahan. Citta Niyama juga muncul dalam bentuk aktivitas pikiran yang kacau, sedih, marah dsb. Bahkan proses munculnya pemikiran di batin anak tersebut dan bagaimana itu tinggal di ingatannya dalam waktu yang cukup lama.

Dari cerita di atas kita bisa melihat keberadaan hukum-hukum alam semesta bekerja sesuai dengan ada tidaknya kondisi-kondisi pendukung yang muncul. Jika ada yang mencoba untuk menjelaskan bahwa kejadian di atas merupakan kerjaan maha dewa maka sebenarnya orang tersebut sedang “me-makhluk-kan” hukum alam semesta.

Hukum alam semesta bersifat sangat universal. Hukum ini tidak pandang bulu, selama kondisi-kondisinya tepat maka hukum ini akan bekerja. Contohnya api. Api muncul diatur oleh hukum alam karena ada kondisi yang mendukungnya. Api akan membakar apa saja yang bisa dibakarnya.
Apabila ada anak kecil yang tidak tahu bahwa api itu panas membakar, lalu anak tersebut memasukkan tangannya ke dalam bara api maka tangannya pasti akan terbakar. Orang yang tahu bahwa api bisa membakar juga akan terbakar bila tangannya masuk ke dalam bara api. Orang yang tidak percaya bahwa api bisa membakar juga akan terbakar, orang yang percaya juga akan terbakar. Orang yang memuja api tiap hari, menjadi pengikut setia api juga akan terbakar kalau tangannya dimasukkan api. Tidak ada dispensasi untuk pemuja api, juga tidak ada bonus kebakaran bagi yang tidak percaya dan membenci api.

Tahu atau tidak tahu, dipuja atau dibenci, dipercaya atau tidak dipercaya oleh siapa pun, kapan pun, di manapun selama ada kondisi pendukung yang tepat maka api akan membakar tanpa pandang bulu. manusia sering melihat sifat hukum alam semesta sebagai sifat tuhan maha dewa Sering kita dengar di lingkungan kita orang mengatakan Tuhan Maha Adil berdasarkan pengamatannya pada kehidupan manusia. Sebenarnya orang tersebut sedang menggambarkan sifat Hukum Karma yang adil. Hukum Karma akan mengatur bahwa perbuatan baik akan berbuah menjadi kebahagiaan, sedangkan perbuatan buruk akan membuahkan penderitaan pada pelakunya. Tidak ada dispensasi untuk umat Buddha yang percaya Hukum Karma, juga tidak ada bonus buah karma buruk buat mereka yang tidak percaya Hukum Karma. Mereka yang tidak tahu kalau ada Hukum Karma juga akan mendapat perlakuan yang sama. Selama perbuatan dengan niat baik dilakukan maka pelaku perbuatan akan menuai kebahagiaan.

Begitu pula sebaliknya. Umat agama apapun, tua muda, miskin kaya, status sosial tinggi rendah, suku apapun tidak berbeda di “mata” Hukum Karma. Dalam suatu ceramah di televisi, seorang tokoh agama menceritakan ada tujuh orang murid yang masing-masing diberi seekor kelinci oleh gurunya untuk diuji. Mereka disuruh untuk membunuh kelinci tersebut di tempat yang tidak ada siapapun bisa melihat perbuatan mereka. Pada waktu yang telah ditentukan kemudian ketujuh murid ini kembali. Lalu satu persatu menceritakan bagaimana mereka telah berhasil membunuh kelinci di tempat yang sangat terpencil di mana tidak ada siapapun melihat mereka, di gua, di dalam sumur, di semak belukar, di jurang dsb. Hanya ada satu murid yang kembali dengan kelinci yang tetap hidup. Sewaktu ditanya murid ini menjawab bahwa ia tidak bisa menemukan satu tempat pun di mana Tuhan tidak melihatnya (Tuhan Maha Tahu). Murid inipun akhirnya lulus ujian. Pada waktu kita hendak melakukan perbuatan baik atau buruk di tempat yang paling tersembunyi dan tidak ada makhluk apapun yang melihat perbuatan kita, masih ada satu makhluk yang pasti akan melihat perbuatan kita. Makhluk itu adalah diri kita sendiri. Karma adalah niat (bibit) di pikiran kita, jadi biarpun tidak ada makhluk apapun yang tahu perbuatan kita, namun pikiran kita telah merekam kejadian tersebut. Pada saat bibit ini memiliki kondisi yang tepat untuk berbuah maka kita akan menerima buah dari perbuatan kita. Semua ini diatur oleh Hukum Karma yang meliputi segenap alam semesta ini. Pada saat karma akan berbuah karena matangnya kondisi-kondisi pendukungnya maka tidak ada satu makhluk pun yang bisa menghindar darinya. Tidak juga para dewa dan brahma. Hukum Karma berkuasa penuh. Orang sering melihat bahwa biar presiden, raja, orang sekuat dan sekaya apapun apabila waktunya tiba, bisa mengalami kejatuhan yang menyakitkan dalam bentuk kehilangan kekuasaan, sakit dan mati. Pada saat tsunami terjadi tidak ada satu orang pun, negara dengan senjatanya yang canggih bisa meredam kekuatan alam ini. Hukum Karma dan hukum alam semesta lainnya bekerja sesuai dengan kondisinya. Mereka yang meninggal dan yang masih hidup sedang menuai karma buruknya secara kolektif tanpa bisa ditawar.

Bukan karena Hukum Karma ini sedang murka tetapi karena perbuatan-perbuatan mereka di masa lampau mendapatkan kondisi yang tepat untuk berbuah bersama-sama. Jadi kematian ini jika bukan karena tsunami tentunya karena kejadian yang lain. Ada juga yang karma buruknya berbuah dalam bentuk berpisah dengan orang yang mereka cintai tetapi tidak sampai terbunuh. Jika ada orang yang menjelaskan kejadian ini sebagai gambaran kekuasaan Tuhan (Maha Kuasa), sebenarnya dia sedang menceritakan bekerjanya kekuatan Hukum Karma dan hukum alam lainnya.

Hukum Karma mengatur kelahiran seseorang dan makhluk hidup lainnya sesuai karmanya masing-masing. Alam semesta terbentuk melalui proses yang sangat panjang diatur oleh hukum alam. Jika ada yang menjelaskan kemunculan makhluk hidup serta alam di sekitarnya adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta maka sebenarnya orang tersebut sedang menceritakan hasil dari proses-proses pembentukan batin dan fisik alamiah oleh hukum-hukum alam semesta. Tidak ada satu tempat pun di alam semesta ini di mana kita tidak melihat hasil dari pembentukan yang nantinya akan hancur lagi (anicca), beberapa menyebutnya kita bisa melihat Tuhan ada di mana-mana melalui ciptaan-Nya. sembahyang dan doa, perlukah? Dalam suatu kesempatan ada seorang umat yang sedang belajar Dhamma bertanya mengenai perlu tidaknya dia melanjutkan kebiasaannya menghormat kepada dewa-dewa di klenteng. Pertanyaan itu ia ajukan karena meskipun telah belajar Dhamma dia masih merasakan adanya kebutuhan untuk mohon perlindungan dan pertolongan para dewa dalam mengatasi problem hidupnya. Yang jadi masalah umat ini juga mengerti kalau kehidupannya sangat tergantung dari karma yang telah dilakukannya. Tetapi berhubung mengerti tidak sama dengan mampu menghayati dan melaksanakan-nya maka timbullah konflik itu di dalam pikirannya.
Dalam Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha memang mengajarkan Bhikkhu Ananda untuk bernaung pada diri sendiri dan tidak menjadikan orang lain pernaungan, untuk bernaung pada Dhamma dan tidak bernaung pada yang lain, dengan cara mengembangkan Meditasi Pandangan Terang. Di lain sisi ketika berada di Pataliputta, Sang Buddha mengutarakan bahwa di mana pun seorang bijak tinggal hendaknya ia mempersembahkan dana makanan bagi orang-orang suci dan kemudian membagi jasa persembahan pada para dewa yang berada di tempat itu. Karena dengan dihormati maka para dewa akan menghormati, dengan dijunjung maka para dewa akan menjunjung balik. Para dewa akan mencintainya laksana seorang ibu mencintai putranya sendiri, dan seseorang yang dicintai para dewa akan senantiasa terberkahi.

Dalam Vimanavatthu II: 5, salah satu sutta dalam Tripitaka diceritakan ada seorang umat awam yang tekun melaksanakan moralitas dan kedermawanan sangat dicintai para dewa sehingga memiliki nama harum dan sering mendapat bantuan dari para dewa pada saat mengalami kesulitan. Dan setelah kematiannya ia terlahir lagi di alam surga yang penuh kebahagiaan dengan umur yang panjang. Di dalam Vimanavatthu juga diceritakan bahwa para dewa-dewi bisa terlahir di alam surga karena keyakinan yang kuat pada Tri Ratna, memiliki moralitas, dermawan dan punya kebijaksanaan. Dari kutipan-kutipan tersebut kita bisa lihat bahwa Sang Buddha selalu menganjurkan para siswanya untuk senantiasa mengembangkan keyakinan pada Tri Ratna, melatih moralitas, kedermawanan, serta pengembangan batin (bhavana). Setelah menjadikan diri sendiri sebagai perlindungan dengan latihan-latihan tersebut di atas maka hendaknya membagi jasa-jasa perbuatan baik tersebut kepada para dewa (dalam konteks lain juga dilimpahkan pada sanak keluarga yang telah meninggal dan makhluk halus di alam penderitaan). Dengan demikian bisa mendatangkan kegembiraan bagi para dewa dan semua makhluk. Pada akhirnya hal tersebut akan mengondisikan berbuahnya karma baik melalui berkah dan perlindungan para dewa pada saat yang diperlukan. Kita bisa lihat tidak ada satu statemen pun yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh menghormati dan menghargai para dewa.

Apalagi mengembangkan kesombongan dan memandang rendah para dewa. Itu merupakan pemahaman yang tidak benar dan tidak lengkap. Para dewa patut kita hormati dan sanjung karena tidak ada satu pun dewa yang terlahir di alam surga karena melakukan perbuatan jahat. Semuanya lahir di sana karena dorongan perbuatan bajik. Karena itu hendaknya kita menjadikan perbuatan baik itu sebagai inspirasi supaya kita bisa melakukan kebajikan yang sama. Sebagai perbandingan apabila kita bertemu dengan orang yang bajik apakah itu seorang Bhikkhu maupun umat awam, sudah sepantasnya kita juga menghormati serta memberikan penghargaan yang pantas serta mau mencontoh kebajikan mereka. Dalam kasus umat yang bingung tersebut, hendaknya dipahami bahwa menghormati kebajikan apalagi terinspirasi pada kebajikan yang telah dilakukan dewa tertentu adalah suatu perbuatan yang baik. Hal ini boleh terus dilakukan. Tetapi juga harus dipahami bahwa kita tidak boleh jadi tergantung dan melekat pada para dewa. Terus meminta berkah dan perlindungan para dewa tapi tidak pernah berbuat kebajikan adalah perbuatan yang sia-sia belaka, meskipun terkadang menimbulkan sedikit hiburan berupa harapan bagi si pemohon.

Misalkan ada kasus di mana ada karma baik berbuah melalui permohonan kepada dewa maka berkah yang akan diberikan para dewa kepada kita adalah berkah duniawi.

Sama dengan bila kita memperoleh harta, kekuasaan, nama baik, keuntungan, kelancaran dan kesehatan melalui usaha sendiri. Kasus ini jarang terjadi. Dalam 100 kali permohonan, kalau ada satu yang terkabulkan, itu saja sudah luar biasa (boleh lakukan survei). Yang sering terjadi adalah pada saat memohon tidak langsung terkabul, lalu seiring berlalunya waktu kondisi-kondisi di luar orang tersebut berubah. Terkadang berubah buruk, terkadang berubah baik. Bila kondisi berubah menjadi lebih baik, maka hal ini dianggap permohonan terkabul. Padahal kalau saja kita mau mengembangkan kesabaran, kita bisa amati bahwa tidak ada penderitaan yang tidak berlalu. Kalau bukan kondisi luar yang berubah, kondisi persepsi kita yang berubah. Orang boleh saja memiliki harta yang melimpah, kekuasaan, ketenaran, dan kesehatan yang baik, tetapi belum tentu dia bahagia. Kebahagiaan akan diraih bila seseorang mulai mengurangi kemelekatan terhadap kondisi-kondisi duniawi tersebut. Oleh karena itu apabila orang ingin mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, hal itu hanya bisa didapatkan melalui usaha mengembangkan batin menuju pada lenyapnya kemelekatan. Tidak ada dewa dan mahadewa mana pun bisa membuat pikiran kita bebas dari kemelekatan, bebas dari penderitaan. Hanya diri sendiri yang mampu membebaskan kita dari penderitaan. Jadi pada saat penderitaan muncul pada suatu kenyataan hidup yang sedang terjadi tidak sesuai keinginan kita. Kita harus segera menyadari, menyelidiki dengan cermat apa sebenarnya keinginan-keinginan tersebut dan apa kenyataan yang terjadi. Apabila kemelekatan pada keinginan tersebut lenyap, maka lenyap pula 'rasa' penderitaan itu.

Mengembangkan pikiran-pikiran yang positif atas kenyataan hidup yang sudah terjadi akan membantu penerimaan kita atas kenyataan tersebut. Apabila seseorang tetap tidak bisa menerima kenyataan itu karena batinnya belum cukup terlatih, maka memohon bantuan para dewa bisa juga memberi hiburan pengharapan asalkan dibarengi dengan banyak berbuat kebajikan. Pada saatnya nanti, bila terus melatih diri, batin akan jadi lebih mudah melepaskan keinginan-keinginan yang menyebabkan penderitaan.

Di saat seseorang terus maju di dalam kebajikan dan kebijaksanaan maka dia akan menjadi orang yang terus maju dalam ketenangan dan kebahagiaan. Bahkan pada saat karma buruk berbuah bertubi-tubi orang tersebut justru makin bertambah bajik dan bijak. Karena kebahagiaan bukan berasal dari pemberian orang, dewa, maha dewa manapun. Kebahagiaan munculnya dari dalam, dari cara berpikir dan pemahaman yang benar akan hidup dan kehidupan.

Semoga pembahasan di atas bisa menambah keyakinan kita dalam melatih diri. Semoga kita semua maju dalam Dhamma. Semoga kita memperoleh kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga semua makhluk berbahagia.

diambil dari Dawai edisi 46

 

anything