Ralat mengenai status 8 orang bhikkhu tersebut.
Di sana tidak dikatakan bahwa 8 orang tersebut adalah arahat. Apakah Ncek Morph menyadari atau tidak telah menambahkan subjektifitas opininya saya tidak tahu, tetapi yang jelas dari yang saya baca dikatakan adalah demikian:
The Mahavamsa states (25:104) that the arahants (i.e. the "worthy of reverence", people who have reached the stage before nirvana) in Piyangudipa, knowing Dutthagamani's remorse, sent a group of eight holy monks to comfort him;
Mahavamsa menyatakan (25:104) bahwa para arahant (yaitu "yang patut dihormati", orang-orang yang telah sampai pada tahapan di hadapan Nirvana) di Piyangudipa, mengetahui penyesalan Dutthagamani, mengirimkan sebuah kelompok 8 orang bhikkhu suci untuk menenangkannya;
Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini. Soal apa yang dikatakan mereka, ada perspektif lain yang dapat ditawarkan. Misalnya pada bagian footnote dikatakan:
Schmithausen has pointed out that it is possible that this adjustment of precepts for violence could have been influenced by certain Mahayana thoughts developed two centuries, earlier, where the transgression of the precepts including the killing of living beings is allowed in certain exceptional circumstances (see Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).
Schmithausen telah menunjukkan bahwa kemungkinan penyesuaian sila kekejaman ini telah dipengaruhi oleh pemikiran2 Mahayana tertentu yang berkembang dua abad sebelumnya, di mana pelanggaran sila termasuk pembunuhan makhluk hidup dibenarkan dalam keadaan pengecualian tertentu (lihat Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).
Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense. Apalagi setelah menang Raja Dutthagamani tidak melakukan penyerbuan ke India atau menyiksa dan membalas dendam terhadap suku Tamil yang tinggal di Sri Lanka. Ini terlihat dari:
He honours the fallen foe and immediately stops his campaign, as he had achieved its purpose, waging a purely defensive war. He does not cross over to India to chastize the Tamils and refrains from wrecking vengeance on Tamils who were living in Sri Lanka, side by side with Sinhalese as its inhabitants.
Dia menghormati lawan yang tewas dan segera menghentikan kampanyenya, sebagaimana dia telah mencapai tujuannya, menjalankan sebuah perang yang murni defensif. Dia tidak menyeberang ke India untuk menyiksa para Tamil dan menahan dari membalas dendam pada Tamil yang tinggal di Sri Lanka, berdampingan dengan Sinhalese sebagai penduduk aslinya.
Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."
Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.
Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.
Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.
Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
Be happy,