//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa  (Read 81765 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #15 on: 16 September 2010, 09:03:14 PM »
upaya kausalya =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #16 on: 17 September 2010, 01:07:51 AM »
Ralat mengenai status 8 orang bhikkhu tersebut.

Di sana tidak dikatakan bahwa 8 orang tersebut adalah arahat. Apakah Ncek Morph menyadari atau tidak telah menambahkan subjektifitas opininya saya tidak tahu, tetapi yang jelas dari yang saya baca dikatakan adalah demikian:
Quote
The Mahavamsa states (25:104) that the arahants (i.e. the "worthy of reverence", people who have reached the stage before nirvana) in Piyangudipa, knowing Dutthagamani's remorse, sent a group of eight holy monks to comfort him;

Mahavamsa menyatakan (25:104) bahwa para arahant (yaitu "yang patut dihormati", orang-orang yang telah sampai pada tahapan di hadapan Nirvana) di Piyangudipa, mengetahui penyesalan Dutthagamani, mengirimkan sebuah kelompok 8 orang bhikkhu suci untuk menenangkannya;


Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini. Soal apa yang dikatakan mereka, ada perspektif lain yang dapat ditawarkan. Misalnya pada bagian footnote dikatakan:
Quote

Schmithausen has pointed out that it is possible that this adjustment of precepts for violence could have been influenced by certain Mahayana thoughts developed two centuries, earlier, where the transgression of the precepts including the killing of living beings is allowed in certain exceptional circumstances (see Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).

Schmithausen telah menunjukkan bahwa kemungkinan penyesuaian sila kekejaman ini telah dipengaruhi oleh pemikiran2 Mahayana tertentu yang berkembang dua abad sebelumnya, di mana pelanggaran sila termasuk pembunuhan makhluk hidup dibenarkan dalam keadaan pengecualian tertentu (lihat Lambert Schmithausen, "Aspects of the Buddhist Attitude towards War", in Violence Defined: Violence, Non-violence and the Rationalization of Violence in South Asian Cultural History, Jan E.M. Houben and Karel R. van Kooij eds, Leiden, Brill, 1999, pp.57-58).

Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense. Apalagi setelah menang Raja Dutthagamani tidak melakukan penyerbuan ke India atau menyiksa dan membalas dendam terhadap suku Tamil yang tinggal di Sri Lanka. Ini terlihat dari:
Quote
He honours the fallen foe and immediately stops his campaign, as he had achieved its purpose, waging a purely defensive war. He does not cross over to India to chastize the Tamils and refrains from wrecking vengeance on Tamils who were living in Sri Lanka, side by side with Sinhalese as its inhabitants.

Dia menghormati lawan yang tewas dan segera menghentikan kampanyenya, sebagaimana dia telah mencapai tujuannya, menjalankan sebuah perang yang murni defensif. Dia tidak menyeberang ke India untuk menyiksa para Tamil dan menahan dari membalas dendam pada Tamil yang tinggal di Sri Lanka, berdampingan dengan Sinhalese sebagai penduduk aslinya.


Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."

Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.

Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.

Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.

Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.

Be happy,
_/\_
appamadena sampadetha

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #17 on: 17 September 2010, 04:01:58 AM »
Mohon klarifikasi apakah serangkaian keajaiban di atas "utusan 8 arahat, turun dari alam brahma terlahir menjadi manusia, bumi bergoncang, para brahma bersorak, raja naga dst" itu terdapat dalam cerita Raja Dutthagamani juga?
pesan itu saya tujukan secara umum, pada kitab atau buku apapun yang kita baca.
teliti saja lah...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #18 on: 17 September 2010, 04:16:08 AM »
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.

Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.

Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.

menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.

bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #19 on: 17 September 2010, 04:34:48 AM »
Yang dikirimkan adalah 8 bhikkhu suci tetapi di sana tidak dikatakan seberapa sucinya kah 8 bhikkhu ini.
kelompok arahat mengutus 8 orang dari mereka. arahat juga bukan?
apapun tingkat mereka, tidak suci pun, bukan bhikkhu pun, tidak menjustify kutipan di atas.

Selain itu ada fakta lain dalam footnote bahwa dalam narasi Tamil yang meng-highlight bahwa Raja Elara lah yang menantang duel. Jika benar demikian, maka ini akan masuk akal bahwa tindakan Raja Dutthagamani adalah sebuah tindakan self-defense.
lah wong yang disesalkan dan dihibur oleh para arahat itu tewasnya korban2 kafir yang gak seiman kok... yang diitung cuman satu setengah nyawa, sisanya gak dianggep. korbannya bukan cuman elara yang kalah duel.

Jika kita mengingat asas praduga tak bersalah dan berusaha netral serta tidak gegabah menilai.. Maka, bahkan tindakan para bhikkhu menenangkan Raja masih dapat dibenarkan mengingat sebuah penyesalan bagaimanapun mendalamnya tidak akan dapat mengembalikan nyawa-nyawa yang telah hilang dalam perang. Sedangkan pikiran yang penuh penyesalan hanya akan menambah kualitas perbuatan buruk yang telah dilakukan dan semakin mengondisikan kelahiran kembali di alam rendah, plus menghalangi sang Raja dari melihat hal-hal positif yang ada dan mengembangkan. Jika kita mengingat analogi dari Sang Buddha kembali, maka pembunuhan oleh Raja seperti menumpahkan 1 kilo garam dalam seember air. Yang perlu dilakukan oleh Raja hanyalah menambah volume dan memperbesar wadah air itu sebagaimana diingatkan oleh para bhikkhu "Tetapi untuk Anda, Anda akan membawa kemuliaan ajaran Sang Buddha dengan banyak cara; oleh karena itu, buanglah penyesalan dalam hati Anda."

Meski ucapan mereka harus diakui sedikit berlebihan dalam poin tertentu tetapi dapat dilihat sebagai sebuah skillful means dalam menenangkan batin sang Raja yang dapat ditolerir. Terlebih lagi sang Raja setelah mendapat nasehat demikian pun tidak lantas menjadi fanatik dan memberantas para Tamil yang berbeda keyakinan atau pun melakukan penyerbuan ke India. Karena itu ada kemungkinan para bhikkhu tersebut telah mempertimbangkan masak-masak bahwa yang ditenangkan oleh mereka adalah Raja yang bijaksana.

Selain itu tidak lepas pula dari kemungkinan bahwa penulis Mahavamsa telah menambahkan subjektifitas pemikiran dan perasaannya untuk mendramatisir cerita tersebut.

Mungkin yang tidak dapat dibenarkan adalah dengan gegabah menyatakan status para bhikkhu adalah suci. Selain itu pula fakta bahwa para bhikkhu menyertai Raja dalam perang, yang notabene merupakan Pacittiya dalam Vinaya.

Apa pun itu, Mahavamsa merupakan karya belakangan yang nyata-nyata bukan langsung berasal dari Buddha sehingga Mahavamsa bukanlah sebuah acuan mutlak dan wajib dalam standar Theravada karena itu tidak dapat dikatakan bahwa kekerasan mendapat tempat dan justifikasi dalam Theravada pada khususnya atau sejarah Buddhisme pada umumnya.
tidak gegabah? sedikit berlebihan?
mmm... membaca tulisan di atas saya jadi inget anggota dpr hehehehe... joke.

tampaknya kacamata dan perspektif kita berbeda di sini.
bagi saya jelas kutipan di atas merupakan politisasi agama untuk membenarkan peperangan.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #20 on: 17 September 2010, 07:20:19 AM »
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.

Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.

Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.

menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.

bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?


Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (infidel) menurut saya berbeda dengan "the unbelievers". The unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (miccha ditthi).

Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.

Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.

Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "un-believers"

Selain itu kata-kata "not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).

Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap ( to be esteemed) tidak lebih (not more) daripada binatang (than beasts)"

Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
 
_/\_
 
« Last Edit: 17 September 2010, 07:26:02 AM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #21 on: 17 September 2010, 07:41:00 AM »
yang perlu digarisbawahi adalah, buddha dengan jelas menentang kekerasan dan peperangan, apabila ada sesuatu yang mengaitkan ajaran buddha dengan peperangan adalah hal yang aneh, yang patut disalahkan adalah individunya bukan ajarannya, bedakan dengan ajaran lain yang pemimpinnya lah yang mengajarkan kekerasan.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #22 on: 17 September 2010, 07:42:59 AM »
Bro Morpheus yang baik, menurut yang saya baca tidak seburuk itu, kalau tidak salah dikatakan bahwa para Arahat bermaksud berkata bahwa yang dibunuh oleh raja Duthagamini tidak bermoral dan jahat, sehingga nilainya sebanding dengan binatang.

Memang dalam ajaran Sang Buddha seseorang dinilai berdasarkan moralitasnya, perbuatan yang dilakukan terhadap orang bermoralitas rendah berbuah lebih kecil/ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang moralitasnya tinggi, oleh karena itu membunuh penjahat tak bermoral akibatnya lebih ringan dibandingkan dengan membunuh orang yang bermoral.

Para Arahat menghibur raja Duthagamini sesudah perang usai. Tetapi para Arahat tidak mendorong/mendukung/menganjurkan peperangan tersebut.
om fabian, kita berbeda persepsi di sini. quotation di atas bisa anda baca lagi untuk menguatkan memori, tak ada yang saya kurangi atau tambahi.

menurut saya, kata2 tersebut mendukung peperangan dan pembunuhan kafir yg dikatakan layaknya binatang.
bukan kata2 yg keluar dari orang yang pantas untuk dihormati, apalagi arahat.

bayangkan kalo kata2 itu dipercayai oleh pembacanya, umat buddha yang lugu, sehingga mereka menganggap nyawa orang2 yang gak seiman itu gak perlu dihargai, layaknya binatang... mungkinkah ini yang terjadi akhir2 ini di srilanka?


Bro Morpheus yang baik, bila anda mengikuti sejarah perang Srilangka anda akan mengerti bahwa perang di Srilanka adalah bagai buah simalakama. Saya ingat Sebelum Tamil Eelam dibasmi tuntas, pernah Tamil Eelam terkepung di Semenanjung Jaffna dalam keadaan terjepit dan hanya tinggal dihancurkan, tapi tentara Srilangka memberi pengampunan membebaskan kepungan.

Sesudah itu Tamil Eelam tidak menghentikan perlawanan dengan pengampunan nyawa mereka dan terus melakukan terror. Sehingga pasukan Srilangka sekali lagi harus angkat senjata berperang melawan mereka. Pada saat-saat terakhir menjelang kehancuran mereka, pasukan Tamil Eelam menyandera ratusan ribu rakyat sipil sebagai tameng mereka (human shield).

Saya bukan mau membenarkan penumpasan Tamil Eelam, tapi kalau perang tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka akan jauh lebih banyak lagi korban yang berjatuhan.

Etnis Tamil dan Sinhala memang sudah bermusuhan selama lebih dari seribu tahun sebelum jaman raja Duthagamini.
 
_/\_
« Last Edit: 17 September 2010, 07:44:51 AM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #23 on: 17 September 2010, 08:13:54 AM »
yah, tamil elam yang mempopulerkan gerakan bunuh diri, melatih para teroris di berbagai tempat, bahkan ada kaitannya dengan tragedi wtc yang mengakibatkan war on terror yang berkepanjangan...
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #24 on: 17 September 2010, 08:57:56 AM »
Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (infidel) menurut saya berbeda dengan "the unbelievers". The unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (miccha ditthi).

Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.

Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.

Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "un-believers"

Selain itu kata-kata "not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).

Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap ( to be esteemed) tidak lebih (not more) daripada binatang (than beasts)"

Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
saya setuju dengan pengertian anda.
pemakaian "kafir" dan "layaknya binatang" untuk menggampangkan pembaca mengerti saja.
"layaknya binatang" vs "dianggap tidak lebih daripada binatang" tidak mengubah maknanya kan?
ini hal yang remeh. silakan pakai terjemahan yang anda suka.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #25 on: 17 September 2010, 09:08:09 AM »
Bro Morpheus yang baik, bila anda mengikuti sejarah perang Srilangka anda akan mengerti bahwa perang di Srilanka adalah bagai buah simalakama. Saya ingat Sebelum Tamil Eelam dibasmi tuntas, pernah Tamil Eelam terkepung di Semenanjung Jaffna dalam keadaan terjepit dan hanya tinggal dihancurkan, tapi tentara Srilangka memberi pengampunan membebaskan kepungan.

Sesudah itu Tamil Eelam tidak menghentikan perlawanan dengan pengampunan nyawa mereka dan terus melakukan terror. Sehingga pasukan Srilangka sekali lagi harus angkat senjata berperang melawan mereka. Pada saat-saat terakhir menjelang kehancuran mereka, pasukan Tamil Eelam menyandera ratusan ribu rakyat sipil sebagai tameng mereka (human shield).

Saya bukan mau membenarkan penumpasan Tamil Eelam, tapi kalau perang tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka akan jauh lebih banyak lagi korban yang berjatuhan.

Etnis Tamil dan Sinhala memang sudah bermusuhan selama lebih dari seribu tahun sebelum jaman raja Duthagamini.
yah, tamil elam yang mempopulerkan gerakan bunuh diri, melatih para teroris di berbagai tempat, bahkan ada kaitannya dengan tragedi wtc yang mengakibatkan war on terror yang berkepanjangan...
sebuah kitab yg dipercayai dan ditinggikan oleh umat telah menuliskan pernyataan yang mengandung kekerasan kepada orang yang tidak seagama, sangatlah berbahaya... ini bisa kita lihat di agama2 lain dan bukan tidak mungkin sekelumit bab ini menanamkan pemikiran bahwa kekerasan pada umat tidak seagama sebagai hal yang wajar dan dibenarkan...

setuju dengan anda berdua bahwa masalah peperangan ini rumit, namun pembantaian manusia tetaplah salah.

saya teringat cerita ajahm brahm mengenai cara pemerintah thai memerangi komunis di masa silam. di saat komunis sudah terjepit dan tidak bisa bergerak lagi, pemerintah menawarkan pengampunan tidak bersyarat. mereka yang ingin berhenti perang, bisa meletakkan senjata, keluar dari medan perang, tidak dicatat, benar2 diampuni dan kembali membaur ke masyarakat dan bersama2 membangun thailand. perang ini selesai dengan sedikit sekali korban...

menurut saya, cara ini lebih buddhistik...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #26 on: 17 September 2010, 12:45:44 PM »
Bro Morpheus yang baik, penerjemahan the unbelievers sebagai kafir memperlihatkan seolah-olah ajaran Buddhis cara berpikirnya sama dengan agama berdasarkan akar budaya timur tengah. Kata kafir (infidel) menurut saya berbeda dengan "the unbelievers". The unbelievers secara harfiah berarti orang-orang yang tak memiliki keyakinan disebabkan pandangan salah (miccha ditthi).

Sedangkan kafir berarti tidak memiliki keyakinan, atau bahkan menentang keberadaan Tuhan yang memang pantas dibunuh.

Saya rasa tak ada umat Buddha yang telah mengenal Dhamma menganggap mahluk hidup apapun juga pantas untuk dibunuh.

Jadi penerjemahan kafir saya kira tak tepat untuk menerjemahkan kata "un-believers"

Selain itu kata-kata "not more to be esteemed than beasts" tidak tepat diterjemahkan dengan kata "tidak perlu dihargai, layaknya binatang", karena bila diterjemahkan demikian terjadi pemelintiran arti, seolah-olah umat Buddha tak menghargai mahluk lain, yang tentu saja bertentangan dengan sifat luhur Brahmavihara (Metta, Karuna, Mudita Bhavana).

Menurut saya para Arahat mengaitkan perbuatan raja Duthagamini dengan Vipaka, karena disebutkan raja takut tidak bisa masuk sorga, sehingga para Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa kamma vipakanya sebanding dengan membunuh binatang.
Terjemahan lebih tepat pernyataan bhikkhu tersebut adalah demikian "dianggap ( to be esteemed) tidak lebih (not more) daripada binatang (than beasts)"

Bedakan dengan terjemahan "tak perlu dihargai".
saya setuju dengan pengertian anda.
pemakaian "kafir" dan "layaknya binatang" untuk menggampangkan pembaca mengerti saja.
"layaknya binatang" vs "dianggap tidak lebih daripada binatang" tidak mengubah maknanya kan?
ini hal yang remeh. silakan pakai terjemahan yang anda suka.


Bro Morpheus yang baik, justru disitulah letaknya, penerjemahan yang tidak akurat bisa mengubah arti, sehingga nampak melebih-lebihkan (exaggeration).

"Layaknya binatang" kedengarannya seperti menganjurkan perlakuan, sedangkan "dianggap tidak lebih dari binatang" hanya mengesankan penilaian... jadi maknanya berbeda....

 _/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #27 on: 17 September 2010, 01:00:24 PM »
Bro Morpheus yang baik, bila anda mengikuti sejarah perang Srilangka anda akan mengerti bahwa perang di Srilanka adalah bagai buah simalakama. Saya ingat Sebelum Tamil Eelam dibasmi tuntas, pernah Tamil Eelam terkepung di Semenanjung Jaffna dalam keadaan terjepit dan hanya tinggal dihancurkan, tapi tentara Srilangka memberi pengampunan membebaskan kepungan.

Sesudah itu Tamil Eelam tidak menghentikan perlawanan dengan pengampunan nyawa mereka dan terus melakukan terror. Sehingga pasukan Srilangka sekali lagi harus angkat senjata berperang melawan mereka. Pada saat-saat terakhir menjelang kehancuran mereka, pasukan Tamil Eelam menyandera ratusan ribu rakyat sipil sebagai tameng mereka (human shield).

Saya bukan mau membenarkan penumpasan Tamil Eelam, tapi kalau perang tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka akan jauh lebih banyak lagi korban yang berjatuhan.

Etnis Tamil dan Sinhala memang sudah bermusuhan selama lebih dari seribu tahun sebelum jaman raja Duthagamini.
yah, tamil elam yang mempopulerkan gerakan bunuh diri, melatih para teroris di berbagai tempat, bahkan ada kaitannya dengan tragedi wtc yang mengakibatkan war on terror yang berkepanjangan...
sebuah kitab yg dipercayai dan ditinggikan oleh umat telah menuliskan pernyataan yang mengandung kekerasan kepada orang yang tidak seagama, sangatlah berbahaya... ini bisa kita lihat di agama2 lain dan bukan tidak mungkin sekelumit bab ini menanamkan pemikiran bahwa kekerasan pada umat tidak seagama sebagai hal yang wajar dan dibenarkan...

setuju dengan anda berdua bahwa masalah peperangan ini rumit, namun pembantaian manusia tetaplah salah.

saya teringat cerita ajahm brahm mengenai cara pemerintah thai memerangi komunis di masa silam. di saat komunis sudah terjepit dan tidak bisa bergerak lagi, pemerintah menawarkan pengampunan tidak bersyarat. mereka yang ingin berhenti perang, bisa meletakkan senjata, keluar dari medan perang, tidak dicatat, benar2 diampuni dan kembali membaur ke masyarakat dan bersama2 membangun thailand. perang ini selesai dengan sedikit sekali korban...

menurut saya, cara ini lebih buddhistik...


Bro Morpheus yang baik, mudah-mudahan bro bukan maksudkan mahavamsa, karena mahavamsa & dipavamsa setahu saya bukan termasuk commentary, oleh karena itu tidak ditinggikan.

Saya juga setuju sekali dengan cara yang dilakukan oleh pemerintah Thailand, tetapi di Srilangka cara-cara seperti yang dilakukan pemerintah Thailand telah diterapkan beberapa kali, tetapi pemberontak Tamil Eelam kembali berkumpul dan bergerilya men-terror rakyat di pedesaan utara Srilangka. Oleh karena itu nampaknya penumpasan adalah jalan terakhir yang ditempuh pemerintah Srilangka.

 _/\_

Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #28 on: 17 September 2010, 01:01:14 PM »
Quote
"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
   and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
   The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
   himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
   rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
   wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
   therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
   exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)


wah!!!

Di sini disebutkan satu setengah manusia. Satu adalah Buddhis (telah mengambil 3 perlindungan). Satu lagi adalah yang menjalankan 5 sila, tetapi dianggap hanya bernilai setengah. Setahu saya, Buddha mengatakan orang dinilai hanya dari 2 hal: Sila & Kebijaksanaan, bukannya agamanya. Jadi ini sudah jelas tidak sesuai dengan Ajaran Buddha.

Karena manusia dinilai dari sila dan kebijaksanaan, maka memang benar tanpa sila dan kebijaksanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan kadang binatang bisa lebih baik dalam hal sila. Tapi yang sangat menyesatkan di sini adalah menyamakan antara "unbelievers" dengan "men of evil". Seseorang bisa saja tidak percaya, tetapi bukan berarti ia seorang yang melakukan kejahatan.

BTW, kalau tidak salah mahavamsa tidak termasuk Kanon Pali, bukan?

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Kekerasan dan justifikasinya di Mahavamsa
« Reply #29 on: 17 September 2010, 01:06:04 PM »
Quote
"From this deed arises no hindrance in thy way to heaven. Only one
   and a half human beings have been slain here by thee, O lord of men.
   The one had come unto the (three) refuges, the other had taken on
   himself the five precepts. Unbelievers and men of evil life were the
   rest, not more to be esteemed than beasts. But as for thee, thou
   wilt bring glory to the doctrine of the Buddha in manifold ways;
   therefore cast away care from thy heart, O ruler of men!" Thus
   exhorted by them the great king took comfort. (Mahavamsa 25:109-112)


wah!!!

Di sini disebutkan satu setengah manusia. Satu adalah Buddhis (telah mengambil 3 perlindungan). Satu lagi adalah yang menjalankan 5 sila, tetapi dianggap hanya bernilai setengah. Setahu saya, Buddha mengatakan orang dinilai hanya dari 2 hal: Sila & Kebijaksanaan, bukannya agamanya. Jadi ini sudah jelas tidak sesuai dengan Ajaran Buddha.

Karena manusia dinilai dari sila dan kebijaksanaan, maka memang benar tanpa sila dan kebijaksanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan kadang binatang bisa lebih baik dalam hal sila. Tapi yang sangat menyesatkan di sini adalah menyamakan antara "unbelievers" dengan "men of evil". Seseorang bisa saja tidak percaya, tetapi bukan berarti ia seorang yang melakukan kejahatan.

BTW, kalau tidak salah mahavamsa tidak termasuk Kanon Pali, bukan?

Bukan bro, bahkan commentarypun bukan, hanya buku referensi biasa yang menceritakan perkembangan agama Buddha di Srilangka.
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

 

anything