Ini masalah sosiologi anak.
Banyak orang tua mengira, mendidik anak dengan niat baik saja sudah cukup. Anak melakukan kesalahan kerap dibentak, dimarahi atau disakitii (secara mental walaupun fisik).
Orang tua mengira, cara dan metode tidaklah penting, yang penting niat saya baik: Mendidik anak.
Apakah hal di atas benar?
Tak jarang, bila saja mau jujur, terkadang di antara kita ada yang berpendapat orang tua kita kurang bijaksana, salah di sisi ini dan keliru disana, serta yang lainnya.
Tidak jarang juga, karena salah didik atau metodenya yang keliru, anak jadi terjebak dalam pergaulan salah dan tidak mendengar apa kata orang tuanya.
Ini yang sering kita hadapi. Benar?
Karena itu, bila cara dan kecakapan dalam melakukan sesuatu tidak penting, yang penting niat, maka lihatlah banyak hasil yang tidak optimal yang bisa kita amati.
Niat baik, ditambah pengetahuan (kebijaksanaan) dalam melakukan, adalah yang terbaik.
Dijamin hasilnya jauh lebih baik dari sekedar berniat baik.
Salam.
Dari contoh yg anda berikan diatas, bisa saya simpulkan terjadi miskomunikasi disini.
Kembali ke penjelasan awal saya, bahwa konsep Kamma-Vipaka kelihatan mudah, namun sungguh sulit dalam perenungan mana yg kamma dan mana yg vipaka. Hingga di diskusi ini terjadi juga
kebingungan menentukan antara tindakan dan niat yg mendahuluinya.Rekan Sunya memberi contoh sbb:
1. ingin anak menjadi berbakti: niat baik
2. dengan cara marah2 dan maen pukul: perbuatan salah
Jadi dengan korelasi ini, disimpulkan bahwa: Niat baik, kamma jelek.
Ini yg saya jelaskan diawal, bahwa kita seringkali tergoda untuk menghubungkan kamma-vipaka ala kita (dalam kasus ini cetana-kamma ala kita)..
Padahal, kedua hal diatas tidak dapat dikatakan cetana dan kamma yg sama. Kedua contoh yg diambil rekan Sunya tsb seharusnya adalah sbb:
1. ingin anak menjadi berbakti: adalah TUJUAN baik
2. dengan cara marah2 dan maen pukul: adalah CARA salah
Jadi
sebenarnya bukan Niat Baik diikuti oleh Kamma Buruk, melainkan Tujuan yg baik diikuti oleh cara yg salah.
Godaan mis-korelasi ini sering sekali terjadi, Kita cenderung menghubung2kan hal yg general. Seyogyanya pengamatan harus dilatih
moment-per-moment. Dalam bbrp kasus, intisari Ajaran Abhidhamma dapat membantu menginspirasi kita untuk mengubah konsep berpikir kita dari yg selama ini '
justifikasi-general' menjadi 'pengamatan moment-per-moment'. Krn menurut teori Abhidhamma 1 jentikan kita terdapat moment pikiran sekian trilyun detik (termasuk didalamnya cetana-kamma yg sangat banyak), teori ini mungkin ya-mungkin tidak, dan mungkin hanya dpt terbukti bagi yg memasuki jhana ke sekian, namun setidaknya bagi kita dpt menginspirasi usaha pengamatan batin kita menjadi lebih detil.
Kembali ke contoh diatas, mana cetana-kamma yg sesungguhnya (atau tepatnya, yg lebih detil-lah):
1. ingin anak menjadi berbakti: TUJUAN BAIK(Harapan yg baik) 1.1 Jika kita MELEKATI harapan anda ini, dan kenyataannya anak anda menjadi tidak berbakti nanti, anda akan sangat menderita
1.2 sangat banyak faktor yg menentukan apakah HARAPAN kita ini bisa terealiasai atau tidak, Mis: kemampuan kita mendidik, kondisi lingkungan, keuangan, makanan, keluarga, sekolah, dstnya... semua saling mengkondisikan (meski pengkondisi dominan adalah "cara kita mendidik")
dan point ke 2 berikut adalah kondisi yg sama sekali berbeda dengan kondisi pertama diatas
2. Kita memukul anak2.1 NIAT untuk memukul objek: NIAT jelek
2.2 terjadi pemukulan objek: KAMMA jelek
Dapat dilihat, KAMMA JELEK Selalu sama dengan NIATnya..
Jadi yg benar adalah:
Kegiatan memukul anak, niatnya memang untuk "memukul anak"bukan oleh ingin anak menjadi berbakti,
krn keinginan ini sesungguhnya adalah harapan, bukan cetana::