//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dhammapada Atthakatha  (Read 143603 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #90 on: 04 December 2008, 01:16:02 AM »
Syair 111 (VIII:10. Kisah Khanu-Kondanna)

Setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha, Kondanna pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi dan di sana Kondanna mencapai tingkat kesucian arahat. Dalam perjalanan pulang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Kondanna sangat lelah dan berhenti di perjalanan. Kondanna duduk di atas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam jhana. Pada saat itu lima ratus orang perampok setelah merampok sebuah desa besar datang ke tempat Kondanna berada. Mereka mengira bhikkhu itu bagaikan tunggul pohon sehingga mereka menaruh tumpukan barang rampokan di sekitar tubuh beliau. Ketika hari mulai siang mereka menyadari bahwa apa yang mereka kira sebagai tunggul pohon pada kenyataannya adalah makhluk hidup. Kemudian mereka berpikir bahwa makhluk itu merupakan raksasa sehingga mereka lari dengan ketakutan.

Kondanna menyatakan kepada mereka bahwa ia hanya seorang bhikkhu, bukan raksasa, dan berkata kepada mereka agar jangan takut. Perampok-perampok tersebut terpesona oleh kata-katanya dan memohon maaf atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Tak lama kemudian, semua perampok memohon kepada Kondanna agar berkenan menerima mereka dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondanna dikenal dengan nama ‘Khanu Kondanna?(Kondanna tunggul pohon).

Kondanna beserta bhikkhu-bhikkhu baru menemui Sang Buddha dan menyampaikan kepada Beliau apa yang telah terjadi. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Hidup seratus tahun dengan ketidaktahuan, melakukan hal-hal yang bodoh, adalah tidak bermanfaat; sekarang kamu telah melihat kebenaran dan telah menjadi bijaksana, kehidupanmu sehari sebagai orang yang bijaksana, sangat bermanfaat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 111 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #91 on: 04 December 2008, 01:22:01 AM »
Syair 112 (VIII:11. Kisah Sappadasa Thera)

Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya.

Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya ke mana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukannya.

Ia menjawab,"Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang." Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat dengan menaruh pisau di tenggorokannya untuk membunuh dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian singkat ?" Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan latihan meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #92 on: 04 December 2008, 01:28:45 AM »
Syair 113 (VIII:12. Kisah Patacara Theri)

Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama ia hamil dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai untuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai bersama kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari.

Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakut-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan kedua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan airmata dan meratap dengan keras, "Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa !" Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan ia hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan, "Jangan biarkan wanita gila itu masuk." Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Buddha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.

Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra." Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci ‘Anamatagga Sutta? yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasi nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangnya air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasa-Nya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, "Patacara, kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak tidak-kekal, tidak memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 113 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #93 on: 04 December 2008, 01:32:26 AM »
Syair 114 (VIII:13. Kisah Kisagotami Theri)

Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Anak tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan dan Kisagotami merasa sangat sedih.

Dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang-orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya,

"Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadaNya !"

Kisagotami kemudian pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya. Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia di dadanya, Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada.

Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian ia menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang yang meninggal dunia daripada yang hidup. Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya.

Ia meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ia tidak dapat menemukan rumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata,

"Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya."

Mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tak lama kemudian, Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia.

Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan oyek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk merealisasi nibbana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 114 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat ‘keadaan tanpa kematian’ (nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat ‘keadaan tanpa kematian’.

Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #94 on: 04 December 2008, 01:35:50 AM »
Syair 115 (VIII:14. Kisah Bahuputtika Theri)

Suatu saat di Savatthi, tinggallah pasangan suami istri yang memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan. Kemudian sang ayah meninggal dunia dan sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi sedikitpun kepada anak-anaknya. Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya, "Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami ? Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda ? Tidak dapatkah kita mengurus ibu kita ?" Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya.

Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal bersama anak laki-laki tertua, tetapi mantunya menuntut dan berkata, "Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi kita dua bagian dari kekayaan !" dan juga hal-hal lain. Lalu ia pergi menetap di anak laki-laki kedua. Hal yang sama juga terjadi. Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak laki-laki lainnya, dari satu anak perempuan ke anak perempuan lainnya, tetapi satupun tidak ada yang mau menerimanya untuk waktu yang lama dan tidak memberikan penghormatan kepadanya.

Wanita tua tersebut merasa sakit hati terhadap perlakuan anak-anaknya. Ia meninggalkan keluarganya dan menjadi bhikkhuni. Karena ia dulu ibu dari banyak anak maka ia dikenal dengan nama Bahuputtika. Bahuputtika menyadari bahwa ia menjadi bhikkhuni pada usia tua dan oleh karena itu ia seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu. Ia hendak menggunakan sisa hidupnya dengan sepenuhnya, sehingga sepanjang malam ia meditasi sesuai dengan Dhamma yang telah diajarkan Sang Buddha.

Sang Buddha memperhatikan diri wanita tua itu dari Vihara Jetavana. Melalui kemampuan batin luar biasa Beliau, dengan cahaya yang cemerlang, Beliau terlihat duduk di depan wanita itu. Kemudian Sang Buddha berkata,"Kehidupan seseorang yang tidak pernah mempraktekkan Dhamma ajaran Sang Buddha adalah tidak berguna, meskipun seseorang hidup seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 115 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat melihat keluhuran Dhamma (Dhammamuttamam), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keluhuran Dhamma.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #95 on: 05 December 2008, 01:10:25 AM »
Bab IX-PAPA VAGGA (Kejahatan)

Syair 116 (IX:1. Kisah Culekasataka)

Di Savatthi berdiam sepasang suami isteri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari maka si suami pergi pada malam hari.

Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.

Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga brahmana berkata pada dirinya sendiri, "Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha."

Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, "Saya menang ! Saya menang ! Saya menang !"

Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada di antara para pendengar khotbah. Mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan.

Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.

Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong lagi.

Jadi dia memberikan kepada Sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipatduakan hadiahnya.

Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.

Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana.

Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di rumah brahmana.

Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayanan wanita, empat orang pelayanan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.

Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada Sang Buddha, "Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat ?"

Sang Buddha menjawab, "Jika Brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama, dia akan diberi hadiah enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir, dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang.

Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut :

Bergegaslah berbuat kebajikan dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan; barangsiapa lamban berbuat bajik, maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #96 on: 05 December 2008, 01:12:52 AM »
Syair 117 (IX:2. Kisah Seyyasaka Thera)

Ketika itu ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan phala. Pada saat itu juga, Sang Buddha menetapkan peraturan larangan menikmati kesenangan seksual bagi para bhikkhu, peraturan Sanghadisesa. Pelanggaran (apatti) peraturan itu menyebabkan hukuman dan diskors oleh Sangha. Kemudian Sang Buddha menambahkan, "Jenis pelanggaran ini dapat mengakibatkan hasil perbuatan jahat di dunia ini maupun di masa mendatang."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 117 berikut :

Apabila seseorang berbuat jahat, hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu, dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu; sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #97 on: 05 December 2008, 01:16:56 AM »
Syair 118 (IX:3. Kisah Lajadevadhita)

Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti.

Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. Laja berarti jagung.

Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa baik kepada thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi air dalam kolam mandi, dan melakukan jasa-jasa lainnya.

Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah dewi wanita. Kemudian thera memberi tahu dewi wanita tersebut untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.

Mendengar hal itu Lajadevadhita sangat sedih, menangis dan memohon kepada thera, "Tolong jangan hancurkan kekayaan dan harta benda saya."

Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada dewi wanita tersebut, "Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 118 berikut :

Apabila seseorang berbuat bajik, hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu, sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.

Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #98 on: 05 December 2008, 01:21:19 AM »
Syair 119-120 (IX:4. Kisah Anathapindika)

Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha.

Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.

Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.

Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata, "Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali."

Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Diapun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.

Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, "Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang yang belum dikembalikan kepada Anathapindika; delapan belas crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang) Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya."

Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.

Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum. Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha.

Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, "Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya; tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut :

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.


Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #99 on: 05 December 2008, 01:24:06 AM »
Syair 121 (IX:5. Kisah Bhikkhu Yang Ceroboh)

Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula. Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut putih. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan menjawab dengan cepat dan tajam :

"Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil," dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut :

"Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, walau sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut :

Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata : "Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat." Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes, demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #100 on: 05 December 2008, 01:28:29 AM »
Syair 122 (IX:6. Kisah Bilalapadaka)

Suatu waktu, seseorang yang berasal dari Savatthi, setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, sangat terkesan dan memutuskan untuk menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Isi khotbah itu adalah memberi dana tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri tetapi hendaknya juga menghimbau orang lain untuk melakukannya. Dengan melakukan hal tersebut seseorang akan memperoleh banyak pahala dan memperoleh banyak pengikut pada kehidupan yang akan datang.

Oleh karena itu orang tersebut mengundang Sang Buddha beserta seluruh bhikkhu yang berdiam di Vihara Jetavana untuk menerima dana makanan keesokan harinya.

Kemudian orang itu pergi ke rumah-rumah tetangganya, dan memberitahu bahwa dana makanan (pindapatta) akan dilakukan keesokan hari kepada Sang Buddha beserta para bhikkhu. Oleh karena itu siapa yang akan turut berperan serta tergantung kepada masing-masing orang.

Seorang kaya yang bernama Bilalapadaka melihat laki-laki tersebut pergi berkeliling dari rumah ke rumah. Ia tidak setuju atas kelakuannya itu dan juga merasa tidak senang. Ia menggerutu, "O, orang malang ! Kenapa dia tidak mengundang beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri memberi dana, daripada pergi berkeliling membujuk orang lain ?"

Lalu dia meminta laki-laki itu untuk membawa mangkoknya dan dia memasukkan ke dalam mangkok tersebut sedikit nasi, hanya sedikit mentega, sedikit air dan tebu. Barang tersebut dibawa secara terpisah dan tidak dicampur dengan yang diberikan orang-orang lain.

Orang kaya tersebut tidak mengerti kenapa barang-barangnya diperlakukan secara terpisah. Ia mengira laki-laki tersebut akan memberitahu orang lain bahwa orang kaya seperti dirinya memberi sumbangan hanya sedikit dan membuatnya malu. Oleh karena itu orang kaya Bilalapadaka mengutus pelayannya untuk menyelidiki.

Penganjur berdana itu meletakkan makanan yang sedikit pemberian orang kaya tersebut ke dalam mangkuk-mangkuk nasi, kari, dan daging manis agar orang kaya tersebut mendapat banyak pahala. Pelayan orang kaya melaporkan apa yang telah dilihatnya. Tetapi majikannya, Bilalapadaka, tidak mengerti artinya dan tidak yakin maksud penganjur tersebut. Walau demikian, keesokan harinya dia pergi ke tempat di mana dana makanan dilakukan. Pada saat yang sama, dia membawa sebilah pisau yang akan dipergunakan untuk membunuh penganjur, apabila penganjur berdana itu mengumumkan di depan umum betapa sedikit yang diberikan oleh orang kaya seperti dirinya.

Tetapi penganjur berdana ini berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, dana makanan ini merupakan gabungan dari semua, walaupun ada yang memberi banyak ataupun sedikit tidaklah dihitung. Tiap orang dari kami memberi dengan keyakinan dan kerendahan hati. Jadi semoga kami semua memperoleh pahala yang sama."

Ketika mendengar kalimat tersebut, Bilalapadaka menyadari bahwa dia telah berpikiran keliru terhadap laki-laki itu. Ia merenungkan jika dia tidak mengakui kekeliruannya itu dan memohon penganjur berdana itu untuk memaafkannya, maka dia bisa terlahir kembali di salah satu dari empat alam kehidupan rendah (apaya).

Lalu dia berkata, "Temanku, saya telah melakukan kesalahan besar terhadapmu dengan berpikir keliru tentang kamu, maafkanlah saya."

Sang Buddha mendengar orang kaya tersebut meminta maaf, dan dari penyelidikannya Beliau mengetahui alasannya. Lalu Sang Buddha berkata, "PengikutKu, kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan baik walau sekecil apapun; perbuatan baik yang kecil akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 122 berikut :

Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil, dengan berkata : "Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat." Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #101 on: 05 December 2008, 01:31:40 AM »
Syair 123 (IX:7. Kisah Mahadhana)

Mahadhana adalah seorang pedagang kaya dari Savatthi. Pada suatu kesempatan, lima ratus perampok telah merencanakan untuk merampoknya, tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk merampoknya.

Pada saat lain para perampok itu mendengar bahwa pedagang Mahadhana akan segera bepergian dengan lima ratus kereta penuh dengan barang-barang berharga. Pedagang Mahadhana juga mengajak bhikkhu-bhikkhu yang akan bepergian pada tujuan yang sama untuk pergi bersama dengannya. Dan dia berjanji untuk memperhatikan kebutuhan bhikkhu-bhikkhu selama dalam perjalanan. Lalu ke lima ratus bhikkhu pergi bersama dengannya.

Perampok-perampok memperoleh berita perjalanan mereka dan pergi mendahului di depan untuk menunggu rombongan pedagang. Tetapi pedagang itu berhenti di pinggir hutan tempat perampok-perampok itu sedang menunggu. Rombongan akan melanjutkan perjalanannya setelah bermalam beberapa hari.

Perampok-perampok memperoleh berita keberangkatan mendatang, dan membuat persiapan untuk merampok rombongan tersebut. Pedagang juga mendengar kabar gerakan penjahat-penjahat tersebut dan memutuskan untuk kembali ke rumah.

Penjahat-penjahat sekarang mendengar bahwa pedagang tersebut akan pulang ke rumah, lalu mereka menunggu di jalan yang menuju rumah. Beberapa orang desa mengirim berita kepada pedagang mengenai gerakan para penjahat, dan akhirnya pedagang memutuskan untuk tinggal di desa untuk beberapa waktu.

Ketika pedagang memberitahu keputusannya kepada para bhikkhu, bhikkhu-bhikkhu itu sendiri pulang kembali ke Savatthi. Sesampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau perihal tertundanya perjalanan mereka. Kepada mereka, Sang Buddha berkata,

" Para bhikkhu, Mahadhana menghindar dari perjalanan yang dikepung oleh para penjahat. Seseorang yang tidak ingin meninggal dunia menghindar dari racun. Para bhikkhu bijaksana, yang menyadari bahwa tiga tingkat alam kehidupan serupa dengan perjalanan yang dikepung dengan bahaya, hendaknya berusaha keras menghindar dari berbuat jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 123 berikut :

Bagaikan seorang saudagar yang dengan sedikit pengawal membawa banyak harta menghindari jalan yang berbahaya; demikian pula orang yang mencintai hidup hendaknya menghindari racun dan hal-hal yang jahat.

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #102 on: 05 December 2008, 01:38:57 AM »
Syair 124 (IX:8. Kisah Kukkutamitta)

Di Rajagaha terdapat seorang putri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian sotapatti pada usia yang masih muda. Suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu datang ke kota dengan kereta untuk menjual daging rusa. Melihat Kukkutamitta, si pemburu itu, wanita kaya yang masih muda ini jatuh hati seketika.

Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkimpoiannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.

Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.

Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.

Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.

Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.

Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.

Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan panah mereka membidik pada Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, "Jangan membunuh ayahku."

Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir, "Ini pastilah ayah mertua saya," dan anak-anaknya berpikir, "Ini pastilah kakek kami," dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.

Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, "Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya."

Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya telah melembut dan mereka tergerak menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.

Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamitta dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.

Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengambilkan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak-anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu ?"

Terhadap pertanyaan itu Sang Buddha menjawab, " Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambil barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan yang tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Juga karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 124 berikut :

Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.

























  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #103 on: 05 December 2008, 01:43:31 AM »
Syair 125 (IX:9. Kisah Koka Si Pemburu)

Suatu pagi saat Koka pergi berburu dengan anjing-anjing pemburunya, dia melihat seorang bhikkhu memasuki kota untuk berpindapatta. Pemburu mengira bahwa hal itu merupakan pertanda buruk dan menggerutu pada dirinya sendiri, "Sejak saya melihat pemandangan ini, saya mengira saya tidak akan mendapatkan hasil buruan apapun hari ini," dan dia melanjutkan perjalanannya. Seperti dugaannya, dia tidak memperoleh apapun.

Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing pemburunya ke arah bhikkhu tersebut. Dengan cepat bhikkhu itu memanjat sebuah pohon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu pergi ke bawah pohon dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan ujung anak panahnya.

Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.

Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mengguling-gulingkannya dengan penuh kemarahan.

Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.

Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan bahwa si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya ?

Kemudian bhikku itu menghadap Sang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata, "Anak-Ku, pastikan dan janganlah ragu-ragu bahwa kamu tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu. Pelaksanaan moral (sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 125 berikut :

Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah, maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu, bagaikan debu yang dilempar melawan angin.

Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Dhammapada Atthakatha
« Reply #104 on: 05 December 2008, 01:50:53 AM »
Syair 126 (IX:10. Kisah Tissa Thera)

Ada seorang penggosok permata dan istrinya tinggal di Savatthi. Di sana juga berdiam seorang Thera yang telah mencapai tingkat kesucian arahat. Setiap hari pasangan ini memberi dana makanan kepada thera itu.

Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir ruby, yang meminta untuk dipotong, dan diasah sampai mengkilap. Si penggosok permata tersebut mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk mencuci tangannya.

Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri ruby dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk serta menelannya di hadapan sang thera.

Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya dia menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya kepada istri dan anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Kemudian dia bertanya kepada sang thera dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak mengambilnya, tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali sang thera di dalam rumah itu. Penggosok permata berkesimpulan pastilah sang thera yang telah mengambil ruby yang berharga tersebut. Lalu dia memberi tahu istrinya bahwa dia harus menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.

Tetapi istrinya menjawab, "Thera ini telah menjadi pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apapun, janganlah menuduh thera itu. Lebih baik kita menerima hukuman dari raja daripada menuduh orang suci."

Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya. Dia mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah mengalir dari kepala, telinga, dan hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.

Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si penggosok permata yang pada saat itu sangat marah, menyepak burung dengan seluruh kekuatannya, sehingga burung itu mati seketika.

Kemudian thera itu berkata,"Lihatlah, apakah burung itu mati atau tidak ?"

Penggosok permata menjawab, "Kamu juga seharusnya mati seperti burung itu."

Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati, dia menjawab dengan pelan, "Muridku, burung itulah yang menelan ruby tersebut."

Mendengar itu, penggosok permata membelah badan burung tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya. Kemudian penggosok permata menyadari bahwa dia telah bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada sang thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan di muka pintu rumahnya.

Thera itu menjawab, "Muridku, ini bukanlah kesalahanmu dan juga bukan kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa yang telah kita perbuat dalam kehidupan lampau. Ini hanyalah hutang kita dalam proses kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena saya memasuki rumah. Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun, saya hanya akan berdiri di muka pintu."

Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal dunia akibat luka-lukanya.

Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya kepada Sang Budha di mana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali ?

Sang Buddha menjawab, "Burung itu terlahir kembali sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir kembali di alam neraka (Niraya); istri penggosok permata terlahir kembali di salah satu alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada kehidupannya saat ini, merealisasi ‘Kebebasan Akhir?(parinibbana)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 126 berikut :

Sebagian orang terlahir melalui kandungan; pelaku kejahatan terlahir di alam neraka; orang yang berkelakuan baik pergi ke surga; dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai nibbana.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

 

anything