//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!  (Read 76884 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #45 on: 16 June 2010, 12:54:08 AM »
Kalo pikiran & aku berhenti ..... avijja lenyap (menurut versi mmd)
gimana caranya pikiran bisa berhenti ??

pikiran berhenti = aku lenyap  ::) ??? >>>> LDM-pun lenyap  ::)
jadi siapakah "Aku"  :hammer:
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Reenzia

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.199
  • Reputasi: 50
  • Gender: Female
  • The Wisdom ~
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #46 on: 16 June 2010, 06:05:00 AM »
HH sering mengutip pernyataan R. Descartes (mungkin dirasa sesuai dengan pemikiran beliau):

       "Cogito ergo sum."
                    v
"Aku berpikir, maka aku ada." >>>  atta  >>> pikiran dilekati sebagai aku
                    ^
                    X
                    v
    "Pikiran, bukan aku."          >>> anatta >>> pikiran adalah pikiran, bukan aku

melekat pada pikiran?
tidak berpikir berarti tidak melekat pada apapun...
let's to be idiot ;D
wehehee....

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #47 on: 16 June 2010, 07:22:45 AM »
HUDOYO
Moha adalah ketidaktahuan bahwa aku adalah SUMBER dari lobha (keinginan) dan dosa (ketidaksenangan). Lebih jauh lagi, moha adalah ketidaktahuan bahwa aku ADALAH lobha dan dosa itu sendiri.
Jadi masalahnya bukan terletak pada MELEKATNYA aku, melainkan terletak pada AKU itu sendiri. Masalahnya bukan bagaimana menghilangkan kelekatan, tapi bagaimana aku ini bisa lenyap.

Demikianlah, aku tidak mungkin melenyapkan kelekatan dan penolakan, yang adalah dirinya sendiri! Agar kelekatan lenyap, aku harus berakhir.
Saya setuju dengan pendapat Pak Hudoyo di atas. Memang Moha tersebut yang membentuk persepsi "diri/atta/aku/ego". Dengan adanya persepsi "diri/atta/aku/ego" maka timbullah baik/jahat, timbullah yang harus dikembangkan, yang harus dihancurkan. Timbullah kemelekatan, timbullah kebencian.

Menurut Bro ryu, mananya yang keliru?

yg keliru adalah yg di bold biru (no-joking)
sy hanya mengutip perkataan2 dari pa Hudoyo. (no-joking)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #48 on: 16 June 2010, 07:37:43 AM »
Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
Ajaran Buddha Universal (MMD)
Mohon di-sharing.
Pembahasan ini nanti menjurus ke topik tentang dualisme lagi (seperti pembahasan JMB8 - Satipatthana kemaren) ;D
Apa yang ingin Anda hubung2kan antara dualisme dengan LDM, sis ?

Tadi saya baca tentang “LDM tidak bermasalah”, jadi saya teringat tentang pembahasan kemaren:

1. dualisme: kembangkan yang baik, padamkan yang buruk
2. “melampaui dualisme”, tentang tidak ada baik/buruk.

Tapi setelah saya baca notes di link facebook yang diberikan bro Ryu, sy gak mau terlalu banyak komentar. Karena pemahaman saya masih dangkal tentang Vipassana dan bahkan saya belum bisa merumuskan apapun yang berasal dari pemahaman saya sendiri.

Notes tersebut adalah rumusan dari pemahaman beliau. Menurut saya, pemahaman seseorang adalah bersifat personal (hanya dia yang paling tau). Apalagi notes itu sangat singkat. Selain itu, pemahaman  yang dituangkan dalam bentuk kata-kata, mungkin bisa mendistorsi makna sebenarnya. Atau mungkin bisa disalahartikan oleh orang lain. Jadi saya belum bisa komentar tentang notes tersebut.

Tp ada penyataan di sana kira2 berbunyi (KALAU BELUM DIEDIT) :
"Semoga dibaca oleh smua umat buddha yg masih berkutat dgn LDM tnpa sadar itu bersumber dari 'aku'".
Jadi tersirat seakan2 ini benar. Yang lain tidak benar.
memang dibenarkan, LDM itu bukan masalah bagi MMD.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #49 on: 16 June 2010, 08:28:08 AM »
yang satu nyari sendiri mana yang kotor yang kelihataan dan tidak kelihataan terus belajar bagaimana yah cara membersihkan terbaik atau menghilangkan kekotoran batin ini pake soda kue kah pake amonia kah pake jeruk nipis kah pake cuka kah pake soda api kah dll. (kalau ini misalnya eh ternyata wangi daun jeruk purut bisa mengusir serangga tertentu( misalnya semut) bisa di cobakah di tempat beras untuk menghilangkan kutu?)

yang biasa tuh kan tinggal ngikutin ajaran sang Buddha nih sini kotor gini ini loh cara bersihin nya nih tips dan trik membersihkan nya.( misalnya supaya beras di tempat beras tidak berkutu tebar daun jeruk purut yang di remas remas supaya tidak berkutu)
Sekadar info, Bodhisatta juga berkali-kali menjadi bhikkhu pada masa Buddha-Buddha sebelumnya. Jadi kalau dibilang "karena cari sendiri, maka lebih lama" saya pikir kurang tepat.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #50 on: 16 June 2010, 08:30:21 AM »
Baiklah mungkin bro Kainyn belum begitu mengerti persoalan-persoalan seperti ini. Jadi akan saya jelaskan.

Lobha, dosa dan moha adalah fenomena batin yang muncul dan lenyap kembali disebabkan oleh kemelekatan pada hal-hal tertentu.
Alobha, adosa dan amoha merupakan sifat tidak terlalu melekat pada hal-hal tertentu kebalikan dari lobha, dosa dan moha.

Pada seseorang yang LDM nya masih tebal disebut sesuai dengan salah satu sifat yang dominan lobha atau dosa atau moha.

Bila LDMnya tidak terlalu tebal maka disebut alobha, adosa atau amoha tergantung sifat mana yang lebih dominan.

Selama alobha, adosa dan amoha masih berkondisi maka tentu saja masih timbul dan lenyap kembali, masih bersifat tidak memuaskan.

Dalam segala keadaan LDM selalu "tanpa aku". 

Semoga penjelasan saya dapat memuaskan bro Kainyn.
 
_/\_


.
Betul, saya belum mengerti hal ini dari sudut pandang Bro fabian. Terima kasih atas kesediaannya menjelaskan. Sejauh ini, saya juga sependapat.

 _/\_

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #51 on: 16 June 2010, 08:31:25 AM »
Quote
Yang ditekankan Pak Hudoyo dalam MMD adalah "menghentikan aku". Pak Hudoyo juga mengatakan bahwa "aku adalah penderitaan", yang jika di-Buddhis-kan maka "aku adalah dukkha".

Quote
Betul. Apa yang orang awam sebut sebagai "aku" adalah Panca Khanda dalam terminologi Buddhisme. Buddha mengatakan khanda inilah penderitaan. Sejauh ini, saya rasa tetap sesuai.

sankhittena pancupadanak-khandha dukkha artinya secara singkat, gugusan lima unsur(pancakhanda) penyebab kemelekatan adalah dukkha

pancakhanda adalah dukkha
pancakhanda penyebab kemelekatan adalah dukkha

apakah sama ?
jawaban saya : tidak sama.
kam sia

Jadi kalau menurut Bro Sukuhong, "aku" pada istilah awam, mengacu pada apa? Sesuatu di luar panca khanda?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #52 on: 16 June 2010, 09:00:21 AM »
Istilah "aku" yang ditekankan dalam MMD adalah "aku sebagai pikiran yang belum berhenti". Dalam MMD, yang disebut penderitaan adalah "pikiran yang belum berhenti". MMD tidak pernah membahas fisik jasmani adalah penderitaan. Jadi secara tersirat, MMD menyatakan bahwa catukkhandha adalah penderitaan.
Secara tersirat memang begitu. Bukankah sering sekali saya bilang saya tidak setuju cara Pak Hudoyo menjelaskan walaupun saya setuju "makna" yang disampaikan?



Quote
Ini namanya spekulasi. Dalam metode pengajaran MMD, Pak Hudoyo sebisa mungkin melepaskan konsep-konsep dan istilah-istilah yang ada dalam Buddhisme. Pak Hudoyo bahkan tidak pernah mengklaim bahwa pikiran yang hendak dihentikan dalam MMD adalah "mannati". Maka, jika kita berusaha menduga-duga tentang pikiran apa yang hendak dihentikan dalam MMD; itu artinya mem-Buddhis-kan MMD. Sama seperti analogi bila saya menuangkan paradigma bahwa hidup di jalan Allah sama dengan menjalani Pancasila.
Bro Upasaka tidak pernah bahas hal demikian dengan Pak Hudoyo? Saya bahkan tahu istilah Pali "manna'ti" itu dari Pak Hudoyo lho.
Mengenai aplikasi metoda sebenar-benarnya dalam MMD, tentu saya tidak tahu karena tidak pernah ikut. Jadi no comment.


Quote
Dan di dalam MMD, dikatakan bahwa pikiran memang bisa dihentikan (tidak ada proses pikiran, mungkin maksudnya tanpa konsepsi, tanpa perasaan; intinya tanpa lobha dan dosa). Namun di sisi lain, Jiddu Khrisnamurti menantang pada para praktisi untuk bisa menjalankan pikiran hanya ketika dibutuhkan; dan hal ini diseutujui oleh Pak Hudoyo. Singkatnya, di dalam konsep MMD, pikiran memang bisa berhenti total; kemudian bisa dijalankan lagi. Jadi tidak sama dengan makhluk asannatta (sekadar info, makhluk asannata pun makhluk yang hidup tanpa persepsi; bukan makhluk hidup dengan pikiran yang berhenti).
Seingat saya dalam satu bahasan, Pak Hudoyo mengatakan pikiran yang terus-menerus membentuk konsep itu yang diberhentikan. Itu bisa terjadi dalam mengerjakan kegiatan sehari-hari yang tidak memerlukan proses intelektual. Ketika memerlukan proses tersebut, maka kemudian bergerak lagi. Jadi bukan pula seperti yang dikatakan Bro Upasaka.


Quote
Iya, saya sudah tahu itu. Saya pun sebenarnya tidak memprotes postingan Anda. Saya hanya menjelaskan bahwa dalam hal ini, MMD memiliki fondasi pandangan yang berbeda dengan Buddhisme Theravada.
Kalau ini saya juga no comment. Sesama "Buddhist Theravada", sesama guru meditasi pun banyak memiliki pandangan saling berbeda. Buat saya, selama orang memiliki niat mulia berusaha melepaskan diri dari dukkha, apa pun metode-nya, seberapa pun kekurangannya, bagaimana pun pandangan salahnya, saya tetap menghargainya sebagai siswa Buddha.



Quote
Saya sudah tahu Anda tidak memiliki kepentingan atau agenda apapun mengenai hal ini. Saya pun tidak memiliki kepentingan atau agenda apapun untuk meng-counter Anda. Saya perlu menjelaskan ini supaya jangan ada salah paham. :)
OK :)


Quote
Ada beberapa hal di MMD yang koheren dengan Buddhisme Theravada. Tetapi dalam hal ini, yakni pembahasan "Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!" serta turunan pernyataan-pernyataan Pak Hudoyo berikutnya; saya harus mengatakan bahwa itu berbeda dengan pandangan Buddhisme Theravada. Kalau Anda tidak percaya, tanyakanlah pada Pak Hudoyo apakah pernyataan-pernyataannya itu semua sesuai dengan Pali Kanon atau tidak.
Ada persamaan, ada perbedaan.
Itu adalah pengalaman mereka pribadi yang mungkin tadinya terjebak pada konsep "LDM" lalu mendapat kemajuan lewat menyadari ke-aku-an. Saya pikir  itu mungkin dan memang valid bagi diri mereka sendiri.
Jika ada pula orang yang tadinya melekat pada konsep "aku" lalu mendapat kemajuan lewat metode "LDM", maka menurut saya lagi-lagi itu juga mungkin dan valid bagi dirinya sendiri.
Karena itu yang saya tidak cocok adalah cara penyampaiannya saja yang seolah-olah metode lain terjebak berputar-putar, sedangkan metode sendiri membebaskan. Padahal sebetulnya tanpa benar-benar menyadari hakikatnya sendiri, apakah menganut metode "LDM" atau "aku", tetap saja berputar-putar. Yang satu menghancurkan LDM satu dengan mengembangkan LDM lain; satunya lagi meruntuhkan si aku dengan membangun aku yang tanpa aku. Apakah salah satunya lebih baik? Bagi saya tidak sama sekali.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #53 on: 16 June 2010, 09:01:57 AM »
HUDOYO
Moha adalah ketidaktahuan bahwa aku adalah SUMBER dari lobha (keinginan) dan dosa (ketidaksenangan). Lebih jauh lagi, moha adalah ketidaktahuan bahwa aku ADALAH lobha dan dosa itu sendiri.
Jadi masalahnya bukan terletak pada MELEKATNYA aku, melainkan terletak pada AKU itu sendiri. Masalahnya bukan bagaimana menghilangkan kelekatan, tapi bagaimana aku ini bisa lenyap.

Demikianlah, aku tidak mungkin melenyapkan kelekatan dan penolakan, yang adalah dirinya sendiri! Agar kelekatan lenyap, aku harus berakhir.
Saya setuju dengan pendapat Pak Hudoyo di atas. Memang Moha tersebut yang membentuk persepsi "diri/atta/aku/ego". Dengan adanya persepsi "diri/atta/aku/ego" maka timbullah baik/jahat, timbullah yang harus dikembangkan, yang harus dihancurkan. Timbullah kemelekatan, timbullah kebencian.

Menurut Bro ryu, mananya yang keliru?

yg keliru adalah yg di bold biru (no-joking)
Jadi itu kutipan dari mana, Bro tesla?

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #54 on: 16 June 2010, 09:47:51 AM »
HUDOYO
Moha adalah ketidaktahuan bahwa aku adalah SUMBER dari lobha (keinginan) dan dosa (ketidaksenangan). Lebih jauh lagi, moha adalah ketidaktahuan bahwa aku ADALAH lobha dan dosa itu sendiri.
Jadi masalahnya bukan terletak pada MELEKATNYA aku, melainkan terletak pada AKU itu sendiri. Masalahnya bukan bagaimana menghilangkan kelekatan, tapi bagaimana aku ini bisa lenyap.

Demikianlah, aku tidak mungkin melenyapkan kelekatan dan penolakan, yang adalah dirinya sendiri! Agar kelekatan lenyap, aku harus berakhir.
Saya setuju dengan pendapat Pak Hudoyo di atas. Memang Moha tersebut yang membentuk persepsi "diri/atta/aku/ego". Dengan adanya persepsi "diri/atta/aku/ego" maka timbullah baik/jahat, timbullah yang harus dikembangkan, yang harus dihancurkan. Timbullah kemelekatan, timbullah kebencian.

Menurut Bro ryu, mananya yang keliru?
saya tidak setuju dengan yang di bold, coba baca sakka panha sutta di digha nikaya, Buddha mengatakan ada hal2 yang patut di kejar dan ada hal yang harus di hindari untuk mencapai tujuan.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #55 on: 16 June 2010, 10:13:59 AM »
Saya setuju dengan pendapat Pak Hudoyo di atas. Memang Moha tersebut yang membentuk persepsi "diri/atta/aku/ego". Dengan adanya persepsi "diri/atta/aku/ego" maka timbullah baik/jahat, timbullah yang harus dikembangkan, yang harus dihancurkan. Timbullah kemelekatan, timbullah kebencian.

Menurut Bro ryu, mananya yang keliru?
saya tidak setuju dengan yang di bold, coba baca sakka panha sutta di digha nikaya, Buddha mengatakan ada hal2 yang patut di kejar dan ada hal yang harus di hindari untuk mencapai tujuan.

Bro ryu, bagi seorang yang sudah tidak memiliki lagi moha/atta/diri/ego/apa pun istilahnya, tidak ada lagi yang (perlu) dikembangkan/dihancurkan. Itulah sebabnya mereka disebut asekkha puggala (makhluk yang tidak berlatih). 

Penjelasan singkat dari saya begini:
1. Tidak lagi dikekang kebodohan bathin (=Arahat), tidak ada lagi yang perlu dikembangkan/dihancurkan.
2. Masih dikekang kebodohan bathin (belum Arahat):
 a. Dalam vipassana, mengarahkan kesadaran melihat apa adanya, tidak ada yang dikembangkan/dihancurkan.
 b. Di luar vipassana, karena masih dikekang kebodohan bathin, masih terbelenggu kelahiran, tentu ada yang dikembangkan/dihancurkan agar terlahir tidak di alam menderita, misalnya.



Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #56 on: 16 June 2010, 10:17:50 AM »
Quote from: Kainyn_Kutho
Secara tersirat memang begitu. Bukankah sering sekali saya bilang saya tidak setuju cara Pak Hudoyo menjelaskan walaupun saya setuju "makna" yang disampaikan?

Anda memang sering sekali mengatakan tidak setuju dengan cara Pak Hudoyo menjelaskan suatu hal. Saya pikir Anda juga setuju kalau apa yang Pak Hudoyo jelaskan ini tidak sesuai dengan Buddhisme Theravada.


Quote from: Kainyn_Kutho
Bro Upasaka tidak pernah bahas hal demikian dengan Pak Hudoyo? Saya bahkan tahu istilah Pali "manna'ti" itu dari Pak Hudoyo lho.
Mengenai aplikasi metoda sebenar-benarnya dalam MMD, tentu saya tidak tahu karena tidak pernah ikut. Jadi no comment.

Oh, begitu. Terimakasih atas koreksinya.

Bisakah Bro Kainyn memberi referensi Sutta atau komentar mengenai penjelasan "mannati" dalam Buddhisme Theravada? Saya ingin mendalaminya dahulu sebelum berkomentar lebih jauh.


Quote from: Kainyn_Kutho
Seingat saya dalam satu bahasan, Pak Hudoyo mengatakan pikiran yang terus-menerus membentuk konsep itu yang diberhentikan. Itu bisa terjadi dalam mengerjakan kegiatan sehari-hari yang tidak memerlukan proses intelektual. Ketika memerlukan proses tersebut, maka kemudian bergerak lagi. Jadi bukan pula seperti yang dikatakan Bro Upasaka.

Kalau untuk hal ini, kita perlu referensi jelas mengenai definisi "pikiran berhenti" di MMD. Kalau saya tidak punya referensinya, jadi sebatas intepretasi dari apa yang pernah saya baca. Dan saya sendiri sudah lupa di mana referensi yang pernah saya baca itu. Jadi kalau kita belum punya referensi faktual mengenai "pikiran berhenti" di MMD, kita sulit melanjutkan pembahasan yang satu ini.


Quote from: Kainyn_Kutho
Kalau ini saya juga no comment. Sesama "Buddhist Theravada", sesama guru meditasi pun banyak memiliki pandangan saling berbeda. Buat saya, selama orang memiliki niat mulia berusaha melepaskan diri dari dukkha, apa pun metode-nya, seberapa pun kekurangannya, bagaimana pun pandangan salahnya, saya tetap menghargainya sebagai siswa Buddha.

Pandangan antar sesama "Buddhist Theravada" maupun antar guru meditasi mungkin saling berbeda. Namun fondasinya tetap Buddhisme Theravada. Sedangkan MMD yang diajarkan Pak Hudoyo adalah metode yang berbasis pandangan Khrisnamurti, kemudian dikembangkan dengan intepretasi pribadi seorang Bapak Hudoyo Hupudio, dan menggunakan beberapa penggalan metode meditasi Buddhisme Theravada yang disadur ulang oleh Bapak Hudoyo sendiri dengan berbagai cara.

Buat saya, selama orang memiliki niat untuk melepaskan diri dari dukkha, apapun metodenya, seberapa pun kekurangannya, bagaimanapun pandangan salahnya, saya menghargainya sebagai "bhikkhu". Tetapi saya tidak menganggap semua orang yang memiliki niat untuk melepaskan diri dari dukkha adalah siswa Sang Buddha. Mengapa? Sebab saya pikir Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana, Nigantha Nataputta, Sanjaya Vellathaputta, para petapa Jainisme, pemeluk Agama Hindu, serta Jiddu Khrisnamurti; bukanlah siswa Sang Buddha meskipun mereka memiliki niat untuk lepas dari dukkha.


Quote from: Kainyn_Kutho
Ada persamaan, ada perbedaan.
Itu adalah pengalaman mereka pribadi yang mungkin tadinya terjebak pada konsep "LDM" lalu mendapat kemajuan lewat menyadari ke-aku-an. Saya pikir  itu mungkin dan memang valid bagi diri mereka sendiri.
Jika ada pula orang yang tadinya melekat pada konsep "aku" lalu mendapat kemajuan lewat metode "LDM", maka menurut saya lagi-lagi itu juga mungkin dan valid bagi dirinya sendiri.
Karena itu yang saya tidak cocok adalah cara penyampaiannya saja yang seolah-olah metode lain terjebak berputar-putar, sedangkan metode sendiri membebaskan. Padahal sebetulnya tanpa benar-benar menyadari hakikatnya sendiri, apakah menganut metode "LDM" atau "aku", tetap saja berputar-putar. Yang satu menghancurkan LDM satu dengan mengembangkan LDM lain; satunya lagi meruntuhkan si aku dengan membangun aku yang tanpa aku. Apakah salah satunya lebih baik? Bagi saya tidak sama sekali.


Tentu semua hal jika dibandingkan masing-masing memiliki persamaan dan perbedaannya. Karena itu kita tidak bisa melihat secara garis besar, tapi kita harus melihat dan membandingkannya dari skala yang paling fundamental.

Penjelasan Sang Buddha bahwa akar kejahatan adalah LDM itu bukan keliru. Jika ada siswa yang malah jadi melekat untuk mengikis LDM, itu adalah kesalahan pandangannya. Penjelasan Pak Hudoyo bahwa akar kejahatan adalah "aku" itu tidak masalah, asalkan jangan dinyatakan bahwa inilah makna sesungguhnya di Buddhisme (Theravada). Maksudnya, kalau Pak Hudoyo mau membuat term baru, silakan saja. Tetapi jangan mengklaim seolah-olah inilah makna di Buddhisme sesungguhnya, dan LDM itu buatan oknum Buddhisme.

Kembali ke masalah "akar kejahatan adalah aku", penjelasan itu pun sebenarnya keliru dalam pandangan Buddhisme. Bagaimana mungkin di satu sisi Buddhisme mengusung doktrin anatta, namun di sisi lain mengusung bahwa ada "aku". Ujung-ujungnya pasti kontradiktif. Kecuali Pak Hudoyo menghapus doktrin anatta dalam pengajarannya agar tidak berbau kontradiksi. Tetapi dengan mengambil langkah ini, justru muncullah bau kontroversi. Dengan kata lain, Pak Hudoyo barusan membongkar-pasang Buddhisme untuk kemudian mempopulerkan ajarannya sendiri yang diklaim sebagai Ajaran Buddhisme Universal yang sesungguhnya.

Bila ada orang yang mendapat manfaat dengan penjelasan "aku adalah akar kejahatan" setelah sekian lama tersesat karena LDM, maka itu baik. Tapi saya ragu dia bisa menembus Dhamma. Perlu diingat, setiap kemajuan (progesivitas) tidak selalu maju ke arah keberhasilan. Sebab ada kalanya jalan di depan pun ujungnya adalah "gang buntu".

Mungkin ini sudah terlalu panjang... Sebagai sedikit renungan, Sang Buddha selalu mengajarkan "ada dukkha". Andaikan saja ada orang begitu melekat dengan "ada dukkha" ini, kemudian dia pun menjadi terobsesi untuk menggenggam pandangan "hidup ini dukkha" setiap saat. Kemudian suatu hari, saya menjadi seorang penceramah dan mengajarkan ajaran baru yang saya namakan Buddhisme Universal Versi 2.2. Saya mengajarkan bahwa "ada kebahagiaan yang tertunda". Lalu orang tersebut tersadarkan dan akhirnya cocok dengan pandangan saya, sehingga dia menggenggam bahwa "hidup ini adalah kebahagiaan yang tertunda" setiap saat. Menurut Anda, apakah "kemajuan" yang dia dapatkan akan membawanya lebih dekat pada perealisasian akhir?

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #57 on: 16 June 2010, 10:20:57 AM »
Saya setuju dengan pendapat Pak Hudoyo di atas. Memang Moha tersebut yang membentuk persepsi "diri/atta/aku/ego". Dengan adanya persepsi "diri/atta/aku/ego" maka timbullah baik/jahat, timbullah yang harus dikembangkan, yang harus dihancurkan. Timbullah kemelekatan, timbullah kebencian.

Menurut Bro ryu, mananya yang keliru?
saya tidak setuju dengan yang di bold, coba baca sakka panha sutta di digha nikaya, Buddha mengatakan ada hal2 yang patut di kejar dan ada hal yang harus di hindari untuk mencapai tujuan.

Bro ryu, bagi seorang yang sudah tidak memiliki lagi moha/atta/diri/ego/apa pun istilahnya, tidak ada lagi yang (perlu) dikembangkan/dihancurkan. Itulah sebabnya mereka disebut asekkha puggala (makhluk yang tidak berlatih). 

Penjelasan singkat dari saya begini:
1. Tidak lagi dikekang kebodohan bathin (=Arahat), tidak ada lagi yang perlu dikembangkan/dihancurkan.
2. Masih dikekang kebodohan bathin (belum Arahat):
 a. Dalam vipassana, mengarahkan kesadaran melihat apa adanya, tidak ada yang dikembangkan/dihancurkan.
 b. Di luar vipassana, karena masih dikekang kebodohan bathin, masih terbelenggu kelahiran, tentu ada yang dikembangkan/dihancurkan agar terlahir tidak di alam menderita, misalnya.

Kata mengikis atau menghancurkan LDM (hal-hal buruk) itu kesannya negatif sekali yah... Sebenarnya yang diajarkan Sang Buddha adalah "melepas". Melepas apakah itu? Melepaskan LDM (hal-hal buruk) itulah yang dimaksud. Ketika LDM dilepaskan, saat itu juga a-LDM yang dikembangkan. Satu dayung, dua pulau terlampaui. Hanya sesederhana itu.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #58 on: 16 June 2010, 10:36:52 AM »
Kata mengikis atau menghancurkan LDM (hal-hal buruk) itu kesannya negatif sekali yah... Sebenarnya yang diajarkan Sang Buddha adalah "melepas". Melepas apakah itu? Melepaskan LDM (hal-hal buruk) itulah yang dimaksud. Ketika LDM dilepaskan, saat itu juga a-LDM yang dikembangkan. Satu dayung, dua pulau terlampaui. Hanya sesederhana itu.
Bro Upasaka, saya mau tanya pendapatnya. Apakah Buddha mengajarkan Satipatthana: a. Ketika hal kusala muncul, kenali sebagai kusala; ketika hal akusala muncul, kenali sebagai akusala; ataukah b. ketika kusala muncul, kembangkan; ketika hal akusala muncul, lepaskan.


Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!
« Reply #59 on: 16 June 2010, 10:44:40 AM »
Bro Upasaka, saya mau tanya pendapatnya. Apakah Buddha mengajarkan Satipatthana: a. Ketika hal kusala muncul, kenali sebagai kusala; ketika hal akusala muncul, kenali sebagai akusala; ataukah b. ketika kusala muncul, kembangkan; ketika hal akusala muncul, lepaskan.
Ketika Sang Buddha mengajarkan Satipatthana, Sang Buddha mengajarkan untuk melihat bagimana fenomena di pancakkhandha ini timbul, berlangsung dan tenggelam kembali.

 

anything