Anda tidak paham maksud saya dan mengartikan posting saya terlalu harafiah. Apa yang saya sampaikan itu berbeda sekali dengan apa yang Anda ungkapkan di sini.
Ungkapan Anda: “apa butuh menjadi seorang buddha baru bijaksana?
untuk menguasai 1+1 = 2,tidak butuh menjadi sammasambuddha bukan.. ^^
apa 1+1=2 anda ragukan hasilnya,karena anda bukan seorang buddha?” Pertanyaan saya:
1.Kebijaksanaan macam apa dulu? Kebijaksanaan tertinggi (prajna) jelas hanya seorang Buddha yang sanggup merealisasinya. Ingat banyak orang merasa dirinya bijaksana. Tetapi sekali lagi kebijaksanaan macam apa yang Anda maksud? Kalau kebijaksanaan Buddha jelas hanya seorang samyaksambuddha yang sanggup merealisasinya.
2. Ungkapan Anda mengenai 1+1 dan keharusan menjadi samasambuddha adalah sesuatu yang aneh dan tidak nyambung. Saya giliran bertanya pada Anda: “Apakah pengetahuan bahwa 1+1 = 2 itu adalah Kebijaksanaan Buddha?” Kalau bukan jangan gunakan sebagai analogi di sini.
Kebijaksanaan Buddha ya Kebijaksanaan Buddha.
Analogi Anda tentang garam dan anak SD tidak tepat. Yang benar adalah: Anda tidak akan pernah tahu apakah garam itu asin sebelum mengecap keasinan tersebut. Lagipula “asin” adalah sekedar istilah. Orang Inggris mengatakannya “salty.” Orang Jerman menyebutnya “saelzig.” Bagi orang Inggris garam jelas tidak asin tapi “salty.” Tetapi istilah “salty” sendiri apakah dapat menggambarkan rasa “garam.”
Mengenai metta dan pikiran. Tentu saja bagi makhluk yang belum tercerahi metta timbul dari pikiran. Saya tidak pernah mengatakan bahwa “metta” tidak berasal dari “ketiadaan” sama sekali. Buddha tidak masuk ke dalam nihilisme. Buddha itu tetap “ada.” Kalian boleh menyebutnya “Pikiran Tertinggi” atau apa saja. Saya tidak mempermasalahkan sebutan. Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan apa yang kita pikirkan sebagai “keberadaan.” Itulah sebabnya Kebuddhaan merupakan “sesuatu yang tak terkatakan.” Dengan demikian, Mahayana menurut saya bukanlah eternalisme, meskipun aliran non Mahayana menuduhnya demikian. Saya tidak peduli tuduhan apapun terhadap Mahayana. Pandangan saya tak akan berubah sama sekali.
Amiduofo,
saudara tan yang bijak,
jawabannya adalah ya, 1+1 = 2 adalah kebijaksanaan seorang buddha.
memang nya kebijaksanaan apa yang anda harapkan dari seorang buddha dari 1+1 sama dengan berapa?
aduh, apa anda mau tunggu menjadi buddha dulu baru meyakinkan diri anda bahwa garam itu rasanya asin?
astaga saudara Tan, walau orang inggris bahkan indo sekalipun "bahagia" mereka katakan "happy"
apa beda rasa bahagia orang inggris dan rasa bahagia orang indonesia?
kalau inggris bilang "suffering" dan indo bilang "penderitaan" apa berbeda?
jelas berbeda secara kata-kata, tetapi "rasa" itu
sama.orang inggris bilang "air" adalah "water" apa berbeda ?
sudah dikatakan kata nya memang berbeda "A I R" dan " W A T E R" tetapi maksud dari penujukan objek "air" adalah sama...
coba saja tanyakan karateristik dari air pada orang inggris...sama tidak dengan indonesia...^^
Anda salah mengerti. Asin dan manis hanyalah nama. Sebagai contoh kita mengacungkan jempol artinya “bagus.” Tetapi orang India mengacungkan jempol artinya “kotor.” Mana yang benar mana yang salah? Karena itu jangan biarkan kata-kata menipu kita. Orang yang sudah mengecap rasa garam, dia sudah tahu “kedemikianan” (tathata) garam itu. Mau disebut “asin,” “manis,” “salty,” atau “saelzig” ya sami mawon.
Kenyataan tidak bisa diubah oleh teori, demikian kata Anda. Kalo gitu mari kita kembali ke topik kita tentang masalah Kebuddhaan. Kita anggap Buddha sebagai suatu “kenyataan.” Nah masalahnya, apakah kita semua sudah menjadi Buddha? Kalau belum. Janganlah kalian bilang TAHU kenyataan itu. Sudahkah kalian memasuki parinirvana? Kalau belum jangan bilang itu sebagai “kenyataan.” Kita semua ini cuma “kutu-kutu buku” atau “kutu-kutu teori.”
Amiduofo,
yang salah mengerti itu saya atau anda?
kalau asin dan manis adalah nama saja menurut anda...
jadi asin = manis? ^^
kita mengatakan asin itu merujuk pada sebuah penamaan....(samuthi)
guna untuk menamakan/ me-label sesuatu. agar tidak terjadi kesalahpahaman....
kita ini pakai bahasa indonesia loh.^^
masalah kebijaksanaan seorang buddha, nah. saya tanyakan pada anda....
apakah buddha merasakan "rasa" garam itu berbeda dengan apa yang saya rasakan?
seseorang menjadi buddha, dikarenakan sudah berlatih dan memakai pengalaman-nya sebagai kebijaksanaan....
jadi ketika saya memakan garam dan merasakan "asin" pada garam, apakah perlu saya meragukan rasa yang saya dapatkan dari garam? >>> iinilah point utamanya.
sudah saya nyatakan disini,
saya sudah merealisasikan pengalaman dimana
"sebuah kesadaran ada,karena ada objek"
tidak mungkin ada kesadaran tanpa objek.......
apakah perlu saya menunggu buddha metteya untuk tahu jawaban beliau?
sama seperti saya sudah makan garam, apa perlu saya ragukan rasa garam itu asin?
justru karena demikian makanya saya mengatakan, anda keliru jika mengatakan bahwa metta itu bisa dipancarkan tanpa pikiran.
seperti anda mengatakan bahwa rasa garam itu manis pada saya.
-------------------------------------
Sebelumnya saya minta izin OOT dulu. Perkataan Anda sungguh lucu dan membuat saya geli. Tapi cukup menghibur juga. Anda mengatakan “Saudara Tan yang bijak…. Adalah pemahaman yang BODOH dan KELIRU.” Lucu sekali, Anda mengatakan saya bijak.. tapi bilang pandangan saya bodoh dan keliru. Hahahahahaaha…. :p
Oke kembali ke laptop. Anda salah. Saya tidak takut mengatakan “ada.” Saya tidak takut dikatakan “eternalis.” Memang apakah untungnya bagi saya dikatakan “eternalis” atau “tidak eternalis”? Uang saya tidak tambah sama sekali hahahahaha ) (becanda).
Jadi baiklah untuk menyingkat waktu. Saya katakan Buddha itu tetap “ada.” Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan konsep “keberadaan” yang ada di benak kita. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Buddha itu di luar ada dan tiada. Saya kira ini cukup jelas.
Ungkapan Anda: “oh satu lagi, kata "ru lai" itu merujuk pada "yang akan datang" alias "ru lai fo" yang tidak lain "buddha metteya"
apa buddha metteya = buddha gotama?”
Hahahaaha Anda salah besar!!! Rulai itu bahasa Mandarin bagi Tathagata. Dalam Sutra Saddharmapundarika ada disebutkan Duobao Rulai yang dalam bahasa Sansekerta disebut Prabutaratna Tathatagata. Rulai itu salah satu gelar Buddha. Ungkapan bahwa Rulai mengacu pada Maitreya saja jelas ngawur. Sutra lain ada menyebutkan Miaoshi shen Rulai (Buddha Tubuh Elok). Nah sekarang Anda simpulkan sendiri apakah Rulai = Maitreya.
well bagus lah untuk tawa anda, tawa itu ibadah. ^^ semoga anda berbahagia.
]
dan memang saya salah disitu, setelah saya check pada translator ternyata artinya merujuk pada Tathagata.
kalau begitu ilmu bahasa mandarin saya butuh di tingkatkan. ^^
salam metta.