Maksudnya : "...yang bisa membuat diri sendiri (seseorang) merealisasi Pembebasan adalah diri sendiri (orang itu) pula."
Analoginya -> yang bisa membuat diri sendiri kenyang adalah diri sendiri pula.
Analoginya membingungkan bro. Kalau tidak makan apa bisa membuat seseorang menjadi kenyang? Saya sebagai pemula, mohon tuntunannya.
Saya melihat kalimat yang diucapkan bodhisatva itu hanya sebatas kalimat motivasi yang mendorong saya untuk mengembangkan kebajikan; tidak egois. Namun jika ditinjau dari pernyataan logika, maka kalimat itu agak pincang.
Seseorang tidak akan termotivasi oleh suatu kata-kata apabila ia tidak meyakini kebenaran kata-kata tersebut. Logis kan?
Bro, jadi menurut Anda kejadian yang menimpa Petapa Sidharta itu tidak logis? Apa maksud Anda hukum alam memberi pengecualian agar mangkok itu mengalir melawan arus? Saya melihat kisah itu bisa saja terjadi, dan itu bukanlah suatu kejadian yang tidak bisa dijelaskan secara logika atau ilmu eksak. Bagi saya, akal sehat dan pemikiran logis merupakan filter awal untuk memilah suatu hal. Setelah itu, untuk pembuktian tentu saja saya harus mempraktikkannya.
Saya kan bilang “kalau”. Sebaliknya saya justru berpandangan bahwa logika lah yang terlalu sempit untuk memahami segala sesuatu. Jika kita menggunakan semata-mata logika dan akal sehat sebagai ukuran segala sesuatu, maka kita terjebak membenarkan pikiran ego belaka. Logika dan akal sehat pada dasarnya adalah keyakinan akan suatu standar kebenaran yang digunakan untukmengevaluasi segala sesuatu. Sebagai sebuah “standar” ia harus diyakini dulu sebagai kebenaran.
Oleh karena itu, logika tidak lain hanya klaim akan kebenaran yang disahkan atas pengakuan atas keunggulan rasio dan meremehkan aspek-aspek lain dalam manuisia seperti emosi dan tubuh. Bahkan dalam dunia filsafat barat saja, sudah sangat sering logika dan akal sehat dikritisi keabsahannya sebagai suatu standar kebenaran.
Okey, kita kemudian merasa ada, “hey tunggu, kalau logika salah, ada saringan lapis kedua yaitu empirisme atau pembuktian.” Pandangan ini tentu saja terkesan memasang sikap berhati-hati dan seolah-olah menerapkan sikap kritis pada logika itu sendiri. Namun di sisi lain, akibat penggunaan logika dan akal sehat sebagai saringan tingkat pertama telah menyebabkan “kebenaran” kemungkinan-kemungkinan di luar logika dipersempit. Dalam hal ini sifat logika dan akal sehat adalah membatasi mana yang benar dan mana yang salah, akibat batas ini adalah kemungkinan hanya dibatasi sejauh logika membenarkannya. Dengan demikian akhirnya seseorang akhirnya diperbudak oleh logikanya sendiri.
Menurut saya, frase "di sini" adalah menunjukkan lokasi. Saya kurang mengerti dengan penjelasan ini; mengapa frase "di sini" dapat merujuk pada "keberadaan" -yang merupakan aktivitas-.
Ada kesalahpahaman seolah ketika seseorang menyebut tentang tempat, ia semata-mata hanya merujuk pada makna tempat secara harafiah. Padahal makna “tempat” secara harafiah sebenarnya hanya dalam kamus bahasa belaka yang seolah waktu dan tempat adalah makna yang berdiri sendiri-sendiri. Pada pengalaman eksistensial empirik sehari-hari, tempat dan waktu tidak terpisah. Mengapa? Misalnya ketika kita menyebut suatu tempat, misalnya “Jakarta." Pada pengalaman empiriknya Jakarta yang disebut adalah Jakarta yang hanya bermakna suatu titik atau tempat di peta ataupun konsep tentang jakarta sebagai sebuah kota yang terletak di wilayah lebih luas tidak benar-benar eksis, tapi yang benar-benar dialami adalah Jakarta saat ini sebagaimana di alami oleh saya pada waktu dan ruang yang spesifik “di sini”. Sehingga walaupun ada orang lain yang juga berada di Jakarta apa yang dialaminya sebagai “di sini” berbeda dengan yang saya alami. Jadi “Jakarta” sebagai pengalaman empirik tidaklah mungkin adalah suatu esensi yang terpisah antara tempat dan waktu, karena dalam pengalaman “di sini”, tempat dan waktu itu menyatu. Jakarta sebagai hanya tempat hanya ada dalah konsep di pikiran, hanya jakarta yang riil dialami sebagai ruang dan waktu merupakan Jakarta yang "nyata" dialami.
Nah, setelah kita memahami bawa pengalaman “di sini” tidak mungkin dipahami sebagai ruang dan waktu dalam makna abstrak yang eksklusif satu sama lain sebagaimana dalam kamus bahasa, kia memasuki pemahaman lebih jauh yaitu: bahwa pengalaman empirik akan ruang dan waktu selalu melibatkan kesadaran subjek akan kehadirannya. Ketika kita menyebut “di sini”, kita selalu mengandaikan di mana subjek berada, atau lebih spesifiknya di mana tubuhnya berada dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Atau lebih tepatnya keberadaan ruang dan waktu yang sebagaimana dialami subjek hanya mungkin dapat dirasakan oleh subjek dan di mana tubuhnya hadir. Begitu juga kehadiran subjek hanya mungkin hadir jika ada ruang dan tempat yang dirasakan terpisah olehnya. Singkatnya objek ada karena subjek, dan subjek ada karena objek.
Dari sini, saya coba kembali ke kata saya: “Nirvana ada di sini.” Maka kata ini tidak hanya menunjuk pada “tempat” belaka. Sebagaimana penjelasan panjang lebar saya di atas, “di sini” berarti juga melibatkan ruang dan waktu serta bagaimana subjek mengalaminya, dan bagaimana subjek dan objek adalah esensi yang saling mengadakansatu sama lain. Oleh karena itu, realisasi nirvana bisa terbantu jika kita menggali bagaimana relasi antara subjek dan objek dengan membangun kesadaran yang menembus realitas subjek fan objek. Singkatnya “sunyata” ada di dalam pengalaman akan subjek dan objek.
Kalau Anda tidak tahu, kenapa Anda mengiyakan pertanyaan saya mengenai; "apakah semua makhluk akan merealisasi Nirvana, sehingga samsara kosong dari para makhluk", ...
Maksudnya?
Saya tidak tahu. Saya bukanlah ahli sensus, Arhat, ataupun Samyaksambuddha...
Namun yang saya tahu, orang bijak itu selalu mempertimbangkan suatu hal berdasarkan prioritas dan faedahnya.
Dengan standar apa? standar siapa?