//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: MA 98 Kotbah tentang Penegakan Perhatian  (Read 4521 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
MA 98 Kotbah tentang Penegakan Perhatian
« on: 21 January 2018, 09:34:39 AM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama (MA) kotbah 98 yang merupakan padanan Satipatthana Sutta (MN 10):

Madhyamāgama 98
Kotbah tentang Penegakan Perhatian

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha berdiam di antara penduduk Kuru di Kammasādhamma, sebuah kota negeri Kuru. Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat ‘satu jalan’ (ekāyana-magga) yang memurnikan makhluk-makhluk, mengatasi dukacita dan kekhawatiran, melenyapkan penderitaan dan kesedihan, meninggalkan tangisan dan ratapan, dan mencapai Dharma sejati – yaitu empat penegakan perhatian.

“Para Tathāgata masa lampau, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, semuanya telah menghancurkan lima rintangan, kekotoran-kekotoran pikiran dan yang melemahkan kebijaksanaan, mengembangkan pikiran [mereka] [dan] berdiam sepenuhnya dalam empat penegakan perhatian, telah melatih tujuh faktor pencerahan, dan telah mencapai pencerahan sempurna yang tiada bandingnya. Para Tathāgata masa yang akan datang, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, semuanya akan menghancurkan lima rintangan, kekotoran-kekotoran pikiran dan yang melemahkan kebijaksanaan, akan mengembangkan pikiran [mereka] [dan] berdiam sepenuhnya dalam empat penegakan perhatian, akan melatih tujuh faktor pencerahan, dan akan mencapai pencerahan sempurna yang tiada bandingnya. Sekarang Aku, Sang Tathāgata masa sekarang, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, juga telah menghancurkan lima rintangan, kekotoran-kekotoran pikiran dan yang melemahkan kebijaksanaan, telah mengembangkan pikiran[-Ku] [dan] berdiam sepenuhnya dalam empat penegakan perhatian, telah melatih tujuh faktor pencerahan, dan telah mencapai pencerahan sempurna yang tiada bandingnya. Apakah empat itu? Penegakan perhatian yang adalah perenungan jasmani sebagai jasmani; demikian juga penegakan perhatian yang adalah perenungan perasaan ... pikiran ... dan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran.

[I. Perenungan Jasmani]

[1. Postur Tubuh]

“Apakah penegakan perhatian yang adalah perenungan jasmani sebagai jasmani? Seorang bhikkhu, ketika berjalan, memahami: ‘[Aku sedang] berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘[Aku sedang] berdiri’; ketika duduk, ia memahami: ‘[Aku sedang] duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘[Aku sedang] berbaring’; ketika tertidur, ia memahami: ‘[Aku sedang] tertidur’; ketika terjaga, ia memahami: ‘[Aku sedang] terjaga’; ketika sedang tertidur [dan] terjaga, ia memahami: ‘[Aku sedang] tertidur [dan] terjaga.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan (ñāṇa), penglihatan (dassana), dan kebijaksanan (vijjā). Ini adalah apa yang disebut dengan ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[2. Kewaspadaan Penuh]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan tubuh sebagai tubuh [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu mengetahui dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan keluar dan masuk, mengamati dengan baik dan menganalisis; ia mengetahui dengan penuh kewaspadaan ketika membengkokkan dan merentangkan [lengannya], menundukkan dan mengangkat [kepalanya], perilakunya yang tenang dan hening, dengan benar mengenakan jubah saṅghāṭi-nya dan jubah [lainnya] [dan membawa] mangkuknya, berjalan, berdiri, duduk, berbaring, tertidur, terjaga, berbicara dan berdiam diri. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[3. Melenyapkan Pikiran Tidak Bermanfaat]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Ketika pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu memotong dan melenyapkan[nya] dengan memperhatikan objek pikiran yang bermanfaat. Seperti halnya seorang tukang kayu atau murid tukang kayu memegang seutas benang yang diberi tinta dan menggunakannya pada kayu, kemudian membelah kayu itu dengan sebuah kapak tajam untuk meluruskannya, demikian juga ketika pkiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat, seorang bhikkhu memotong dan melenyapkan[nya] dengan memperhatikan objek pikiran yang bermanfaat. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu, dengan mengertakkan giginya dan menekankan lidahnya ke langit-langit mulut, mengendalikan pikiran dengan pikiran, memotong dan melenyapkan [pikiran lainnya]. Seperti halnya dua orang yang kuat menangkap seorang yang lemah, mencengkeramnya secara acak pada bagian mana pun [dari tubuhnya] dan memukulinya sekehendak hatinya, demikian juga seorang bhikkhu, dengan mengertakkan giginya dan menekankan lidahnya ke langit-langit mulut, mengendalikan pikiran dengan pikiran, memotong dan melenyapkan [pikiran lainnya]. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[4. Perhatian pada Pernapasan]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu, ketika memperhatikan napas masuk, memahami: ‘[Aku sedang] memperhatikan napas masuk’; ketika memperhatikan napas keluar, ia memahami: ‘[Aku sedang] memperhatikan napas keluar.’ Menarik napas panjang, ia memahami: ‘[Aku sedang] menarik napas panjang’; menghembuskan napas panjang, ia memahami: ‘[Aku sedang] menghembuskan napas panjang.’ Menarik napas pendek, ia memahami: ‘[Aku sedang] menarik napas pendek’; menghembuskan napas pendek, ia memahami: ‘[Aku sedang] menghembuskan napas pendek.’ Ia berlatih menarik napas [dengan mengalami] keseluruhan tubuh; ia berlatih menghembuskan napas [dengan mengalami] keseluruhan tubuh. Ia berlatih menarik napas dengan menghentikan bentukan jasmani; ia berlatih menghembuskan napas dengan menghentikan bentukan ucapan. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[5. Jhāna-Jhāna]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu membuat sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi tubuhnya; tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan. Seperti halnya seorang petugas pemandian mengisi sebuah penampungan dengan bubuk mandi, dan mencampurkan [bubuk mandi dan] air menjadi sebuah gumpalan, dengan membuat air membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi [gumpalan itu] dengan tidak ada bagian yang tidak diliputi; demikian juga seorang bhikkhu membuat sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi tubuhnya; tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu membuat sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi tubuhnya; tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi. Seperti halnya sebuah mata air di pegunungan, bersih dan tidak berlumpur, penuh dan meluap, dan tidak ada kesempatan bagi air dari keempat arah memasuki [mata air itu], dan dari dasar mata air, air memancar ke atas secara spontan dan membanjiri, membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi pegunungan dengan tidak ada bagian yang tidak diliputi; demikian juga seorang bhikkhu membuat sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi tubuhnya; tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu membuat kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi tubuhnya; tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita. Seperti halnya seroja biru, merah dan putih lahir dan tumbuh dalam air, muncul dalam air, demikian juga akar, batang, bunga dan daunnya semuanya dibasahi, dilembabkan, diliputi dan diisi [oleh air] dengan tidak ada bagian yang tidak diliputi; demikian juga seorang bhikkhu membuat kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita membasahi, melembabkan, meliputi dan mengisi tubuhnya; tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu bertekad meliputi tubuhnya dengan pikiran yang murni dan cerah, dengan mencapai dan berdiam [di dalamnya]; tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Sepertinya hal seseorang ditutupi oleh kain [berukuran] tujuh hasta atau kain [berukuran] delapan hasta, [sehingga] tidak ada bagian tubuhnya yang tidak ditutupi; demikian juga bagi seorang bhikkhu tidak ada tubuhnya yang tidak diliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[6. Persepsi Cahaya]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu, dengan memperhatikan persepsi cahaya, dengan baik menggenggam, dengan baik memegang dan dengan baik mengingat kembali apa yang ia perhatikan. Seperti sebelumnya, demikian juga setelahnya; seperti setelahnya, demikian juga sebelumnya; seperti pada siang hari, demikian juga pada malam hari; seperti pada malam hari, demikian juga pada siang hari; seperti di bawah, demikian juga di atas; seperti di atas, demikian juga di bawah. Demikianlah dengan tidak menyimpang (aviparyasta), pikiran[nya] bebas dari gangguan. Ia mengembangkan pikiran yang cerah, dan pada akhirnya pikirannya tidak tertutupi oleh kegelapan. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[7. Objek Peninjauan-Kembali]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu dengan baik menggenggam objek peninjauan-kembali (paccavekkhaṇā­-nimitta) dan dengan baik mengingat kembali apa yang ia perhatikan. Seperti halnya seseorang duduk merenungkan orang [lain] yang sedang berbaring, atau berbaring merenungkan orang [lain] yang sedang duduk; demikian juga seorang bhikkhu dengan baik menggenggam objek peninjauan-kembali dan dengan baik mengingat kembali apa yang ia perhatikan. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[8. Bagian-Bagian Tubuh]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu, bagaimana pun tubuhnya diposisikan sebagaimana ia sukai atau tidak, melihat [tubuhnya] dari kepala sampai kaki [sebagai] penuh dengan berbagai jenis ketidakmurnian: ‘Dalam tubuhku ini terdapat rambut kepala, rambut badan, kuku, gigi, kulit tipis yang kasar [dan] halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar, usus halus, limpa, perut, gumpalan kotoran, otak, akar otak, air mata, keringat, ingus, ludah, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, dan air kencing. Seperti halnya sebuah wadah yang diisi dengan beberapa biji-bijian, dan seseorang dengan mata [yang tidak cacat] dapat melihat semuanya dengan jelas, yaitu ‘padi, biji gandum, dan biji lobak dan moster’; demikian juga seorang bhikkhu bagaimana pun tubuhnya diposisikan sebagaimana ia sukai atau tidak, melihat [tubuhnya] dari kepala sampai kaki [sebagai] penuh dengan berbagai jenis ketidakmurnian: ‘Dalam tubuhku ini terdapat rambut kepala, rambut badan, kuku, gigi, kulit tipis yang kasar [dan] halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar, usus halus, limpa, perut, gumpalan kotoran, otak, akar otak, air mata, keringat, ingus, ludah, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, dan air kencing. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

[9. Unsur-Unsur]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu merenungkan unsur-unsur jasmani, [dengan berpikir:] ‘Dalam tubuhku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.’ Seperti halnya seorang tukang daging, setelah membunuh seekor sapi dan menguliti kulitnya, membentangkan[nya] di atas tanah dan membagi[nya] ke dalam enam bagian; demikian juga seorang bhikkhu merenungkan unsur-unsur jasmani, [dengan berpikir:] ‘Dalam tubuhku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
« Last Edit: 21 January 2018, 12:38:14 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: MA 98 Kotbah tentang Penegakan Perhatian
« Reply #1 on: 21 January 2018, 09:39:21 AM »
[10. Perenungan Tanah Perkuburan]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seorang bhikkhu melihat bahwa mayat yang selama satu atau dua hari, atau bahkan selama enam atau tujuh hari, telah dipatuk oleh burung gagak dan elang, dimakan oleh anjing hutan dan serigala, terbakar oleh api, atau dikuburkan di bawah tanah, atau telah sepenuhnya membusuk dan terurai; setelah melihatnya, ia membandingkan dirinya sendiri dengan mayat itu demikian: ‘Tubuhku ini juga akan menjadi seperti itu, dan dengan sama memiliki sifat itu, akhirnya tidak dapat lolos darinya.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seolah-olah seorang bhikkhu itu sendiri melihat di tanah perkuburan sesosok kerangka yang membiru, membusuk, setengah termakan dengan tulang-belulang [terbaring] di atas tanah; setelah melihatnya, ia membandingkan dirinya sendiri dengan kerangka itu demikian: ‘Tubuhku ini juga akan menjadi seperti itu, dan dengan sama memiliki sifat itu, akhirnya tidak dapat lolos darinya.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seolah-olah seorang bhikkhu itu sendiri melihat di tanah perkuburan [sesosok kerangka] tanpa kulit, daging dan darah, yang terangkai hanya oleh urat-urat; setelah melihatnya, ia membandingkan dirinya sendiri dengan kerangka itu demikian: ‘Tubuhku ini juga akan menjadi seperti itu, dan dengan sama memiliki sifat itu, akhirnya tidak dapat lolos darinya.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seolah-olah seorang bhikkkhu itu sendiri melihat di tanah perkuburan tulang-belulang yang tercerai-berai berhamburan di segala arah – tulang kaki, tulang kering, tulang paha, tulang panggul, tulang punggung, tulang bahu, tulang leher, dan tengkorak di tempat-tempat yang berbeda; setelah melihatnya, ia membandingkan dirinya sendiri dengan kerangka itu demikian: ‘Tubuhku ini juga akan menjadi seperti itu, dan dengan sama memiliki sifat itu, akhirnya tidak dapat lolos darinya.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani [sebagai berikut:] Seolah-olah seorang bhikkhu itu sendiri melihat di tanah perkuburan tulang-belulang yang seputih kulit kerang, atau sebiru warna burung merpati, atau merah seakan-akan berlumuran darah, terurai dan terhancurkan menjadi debu; setelah melihatnya, ia membandingkan dirinya sendiri dengan kerangka itu demikian: ‘Tubuhku ini juga akan menjadi seperti itu, dan dengan sama memiliki sifat itu, akhirnya tidak dapat lolos darinya.’ Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan jasmani internal sebagai jasmani, merenungkan jasmani eksternal sebagai jasmani, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan jasmani, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

“Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni demikian merenungkan jasmani sebagai jasmani sedikit demi sedikit, ini disebut ‘penegakan perhatian yang adalah perenungan jasmani sebagai jasmani.’

[II. Perenungan Perasaan]

“Apakah penegakan perhatian yang adalah perenungan perasaan sebagai perasaan? Seorang bhikkhu, ketika merasakan perasaan menyenangkan, memahami bahwa ia merasakan perasaan menyenangkan. Ketika merasakan perasaan menyakitkan, ia memahami bahwa ia merasakan perasaan menyakitkan. Ketika merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami bahwa ia merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Ketika merasakan [perasaan] jasmani yang menyenangkan ... [perasaan] jasmani yang menyakitkan ... [perasaan] jasmani yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ... [perasaan] batin yang menyenangkan ... [perasaan] batin yang menyakitkan ... [perasaan] batin yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ... [perasaan] duniawi yang menyenangkan ... [perasaan] duniawi yang menyakitkan ... [perasaan] duniawi yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ... [perasaan] non-duniawi yang menyenangkan ... [perasaan] non-duniawi yang menyakitkan ... [perasaan] non-duniawi yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan ... [perasaan] menyenangkan [dengan] nafsu ... [perasaan] menyakitkan [dengan] nafsu ... [perasaan] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan [dengan] nafsu ... [perasaan] menyenangkan tanpa nafsu ... [perasaan] menyakitkan tanpa nafsu ... [perasaan] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan tanpa nafsu, ia memahami bahwa ia merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan tanpa nafsu. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan perasaan internal sebagai perasaan, merenungkan perasaan eksternal sebagai perasaan, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan perasaan, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan perasaan sebagai perasaan.’ Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni demikian merenungkan perasaan sebagai perasaan sedikit demi sedikit, ini disebut ‘penegakan perhatian yang adalah perenungan perasaan sebagai perasaan.’

[III. Perenungan Pikiran]

“Apakah penegakan perhatian yang adalah perenungan pikiran sebagai pikiran? Seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu; ia memahami sebagaimana adanya pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu ... dengan kebencian ... tanpa kebencian ... dengan delusi ... tanpa delusi ... dengan kekotoran ... tanpa kekotoran ... mengerut ... kacau ... rendah ... luhur ... hina ... agung ... terlatih ... tidak terlatih ... terkonsentrasi ... tidak terkonsentrasi ...; memiliki pikiran yang tidak terbebaskan, ia memahami pikiran yang tidak terbebaskan sebagaimana adanya; memiliki pikiran yang terbebaskan, ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan pikiran internal sebagai pikiran, merenungkan pikiran eksternal sebagai pikiran, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan pikiran, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan pikiran sebagai pikiran.’ Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni demikian merenungkan pikiran sebagai pikiran sedikit demi sedikit, ini disebut ‘penegakan perhatian yang adalah perenungan pikiran sebagai pikiran.’

[IV. Perenungan Objek-Objek Pikiran]

[1. Enam Landasan Indera]

“Apakah penegakan perhatian yang adalah perenungan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran? Dengan mata dan bentuk sebagai kondisi, muncul belenggu internal. Ketika belenggu-belenggu benar-benar muncul secara internal, seorang bhikkhu memahami ini sebagaimana adanya: ‘belenggu-belenggu muncul secara internal’; ketika belenggu-belenggu benar-benar tidak muncul secara internal, ia memahami ini sebagaimana adanya: ‘belenggu-belenggu tidak muncul secara internal’; jika muncul belenggu-belenggu internal yang belum muncul, ia memahami ini sebagaimana adanya; jika belenggu-belenggu internal yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali, ia memahami ini sebagaimana adanya. Demikian juga telinga ... hidung ... lidah ... badan ... Dengan pikiran dan objek-objek pikiran sebagai kondisi, muncul belenggu-belenggu internal. Ketika belenggu-belenggu benar-benar muncul secara internal, seorang bhikkhu memahami ini sebagaimana adanya: ‘belenggu-belenggu muncul secara internal’; ketika belenggu-belenggu benar-benar tidak muncul secara internal, ia memahami ini sebagaimana adanya: ‘belenggu-belenggu tidak muncul secara internal’; jika muncul belenggu-belenggu internal yang belum muncul, ia memahami ini sebagaimana adanya; jika belenggu-belenggu internal yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali, ia memahami ini sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran internal sebagai objek-objek pikiran, merenungkan objek-objek pikiran eksternal sebagai objek-objek pikiran, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan objek-objek pikiran, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran,’ yaitu enam landasan indera internal.

[2. Lima Rintangan]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran [sebagai berikut:] Ketika nafsu benar-benar muncul secara internal, seorang bhikkhu memahami ini sebagaimana adanya: ‘nafsu muncul’; ketika nafsu benar-benar tidak muncul secara internal, ia memahami ini sebagaimana adanya: ‘nafsu tidak muncul’; jika muncul nafsu yang belum muncul, ia memahami ini sebagaimana adanya; jika nafsu yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali, ia memahami ini sebagaimana adanya. Demikian juga permusuhan ... kemalasan ... kegelisahan dan penyesalan ...  Ketika keragu-raguan benar-benar muncul secara internal, seorang bhikkhu memahami ini sebagaimana adanya: ‘keragu-raguan muncul’; ketika keragu-raguan benar-benar tidak muncul secara internal, ia memahami ini sebagaimana adanya: ‘keragu-raguan tidak muncul’; jika muncul keragu-raguan yang belum muncul, ia memahami ini sebagaimana adanya; jika keragu-raguan yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali, ia memahami ini sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran internal sebagai objek-objek pikiran, merenungkan objek-objek pikiran eksternal sebagai objek-objek pikiran, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan objek-objek pikiran, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran,’ yaitu lima rintangan.

[3. Tujuh Faktor Pencerahan]

“Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran [sebagai berikut:] Ketika faktor pencerahan perhatian benar-benar muncul secara internal, seorang bhikkhu memahami ini sebagaimana adanya: ‘faktor pencerahan perhatian muncul’; ketika faktor pencerahan perhatian benar-benar tidak muncul secara internal, ia memahami ini sebagaimana adanya: ‘faktor pencerahan perhatian tidak muncul’; jika muncul faktor pencerahan perhatian yang belum muncul, ia memahami ini sebagaimana adanya; jika faktor pencerahan perhatian yang telah muncul bertahan, tidak terlupakan, tidak merosot, dan berkembang lebih jauh dan meningkat, maka ia memahami ini sebagaimana adanya. Demikian juga [faktor pencerahan] penyelidikan fenomena ... semangat ... sukacita ... ketenangan ... konsentrasi ... Ketika faktor pencerahan keseimbangan benar-benar muncul secara internal, seorang bhikkhu memahami ini sebagaimana adanya: ‘faktor pencerahan keseimbangan muncul’; ketika faktor pencerahan keseimbangan benar-benar tidak muncul secara internal, ia memahami ini sebagaimana adanya: ‘faktor pencerahan keseimbangan tidak muncul’; jika muncul faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul, ia memahami ini sebagaimana adanya; jika faktor pencerahan keseimbangan yang telah muncul bertahan, tidak terlupakan, tidak merosot, dan berkembang lebih jauh dan meningkat, maka ia memahami ini sebagaimana adanya. Demikianlah seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran internal sebagai objek-objek pikiran, merenungkan objek-objek pikiran eksternal sebagai objek-objek pikiran, dan mengembangkan perhatian sehubungan dengan objek-objek pikiran, dengan memiliki pengetahuan, penglihatan, dan kebijaksanaan. Ini adalah apa yang disebut ‘seorang bhikkhu merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran,’ yaitu tujuh faktor pencerahan.

“Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni demikian merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sedikit demi sedikit, ini disebut ‘penegakan perhatian yang adalah perenungan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran.’

[Penutup]

“Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni mengembangkan pikiran[nya] [dan] berdiam sepenuhnya dalam empat penegakan perhatian selama tujuh tahun, ia pasti akan mencapai [salah satu dari] dua buah: mencapai pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika terdapat sisa [kemelekatan], mencapai yang-tidak-kembali.

“Jangankan tujuh tahun ... enam ... lima ... empat ... tiga ... dua ... satu tahun, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni mengembangkan pikiran[nya] [dan] berdiam sepenuhnya dalam empat penegakan perhatian selama tujuh bulan, ia pasti akan mencapai [salah satu dari] dua buah: mencapai pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika terdapat sisa [kemelekatan], mencapai yang-tidak-kembali.

“Jangankan tujuh bulan ... enam ... lima ... empat ... tiga ... dua ... satu bulan, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni mengembangkan pikiran[nya] [dan] berdiam sepenuhnya dalam empat penegakan perhatian selama tujuh hari dan tujuh malam, ia pasti akan mencapai [salah satu dari] dua buah: mencapai pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika terdapat sisa [kemelekatan], mencapai yang-tidak-kembali.

“Jangankan tujuh hari dan tujuh malam ... enam ... lima ... empat ... tiga ... dua ... Jangankan satu hari dan satu malam, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni mengembangkan pikiran[nya] [dan] berdiam sepenuhnya dalam empat penegakan perhatian sedikit demi sedikit selama waktu yang singkat, [setelah] berlatih demikian pada pagi hari, ia pasti akan mencapai kemajuan pada malam harinya, [atau setelah] berlatih demikian pada malam hari, ia pasti akan mencapai kemajuan pada pagi hari [berikutnya].”

Demikianlah Sang Buddha mengucapkan [kotbah ini]. Para bhikkhu, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Sumber: Terjemahan bahasa Inggris MA 98 dalam Mindfulness in Early Buddhism oleh Tse-fu Kuang
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything