//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - purnama

Pages: 1 2 [3] 4 5 6
31
Sutra Mahayana / (Sukhavativyuha Sutra)
« on: 28 March 2009, 10:04:18 AM »
Sabda Hyang Buddha tentang Amitabha Sutra
(Sukhavativyuha Sutra)

        Demikianlah yang kudengar: Suatu ketika Hyang Bhagava berdiam di Sravasti, di hutan Jeta, dalam taman Anathapindaka, bersama-sama dengan kumpulan para Maha Bhiksu yang berjumlah 1250 orang, semuanya adalah para Arhat. (Ayat 1)
        Yang dikenal dan mempunyai pengetahuan; Sesepuh Sariputra, Maha Maudgalyayana (Maugalana), Mahakasyapa, Mahakatyayana, Mahakausthila, Revata, Suddhipanthaka, Nanda, Ananda, Rahula, Gavanpati, Pindolabharadvaja, Kalodayin, Mahakaphina, Vakkula, Aniruddha, demikianlah para siswa-siswa agung lainnya. (Ayat 2)
        Juga dihadiri para Bodhisattva Mahasattva; Pangeran Dharma Mansjusri, Ajita Bodhisattva, Gandhastin Bodhisattva, Nityodyukta Bodhisattva, dan para Maha Bodhisattva mulia lainnya, bersama-sama Dewa Sakra, Para Pemimpin besar Dewa Langit, serta Para Dewa yang tak terhitung banyaknya. (Ayat 3)
        Pada saat itu Hyang Bhagava bersabda kepada sesepuh Sariputra, "Dari sini melewati sepuluh trilyun (koti) negeri Buddha, menuju Barat terdapat sebuah alam yang disebut Surga Sukhavati. Di alam tersebut ada seorang Buddha, bergelar Amitabha, kini sedang membabarkan Dharma." (Ayat 4)
        Sariputra, apa sebabnya alam tersebut dinamakan Surga Sukhavati ? Para makhluk di alam tersebut tiada penderitaan, yang ada hanya merasakan berbagai kegembiraan dan kebahagiaan, oleh karena itulah alam tersebut dinamakan Surga Sukhavati. (Ayat 5)
        Lagi pula Sariputra, alam Surga Sukhavati dikelilingi oleh tujuh tingkat pagar, tujuh lapis jaring dan tujuh baris pepohonan, semuanya dikelilingi oleh empat kelompok mustika, oleh karena itulah alam tersebut dinamakan Surga Sukhavati. (Ayat 6)
        Dan Sariputra, di alam Surga Sukhavati terdapat kolam yang terbuat dari 7 kelompok mustika, yang berisi air delapan pahala kebajikan. Dasar kolamnya ditaburi butiran pasir emas murni, ke empat sisinya terdapat tangga, yang terbuat dari kombinasi emas, perak, lazuardi (vaidurya), kristal (sphatika).(Ayat 7)
        Di atasnya terdapat bangunan bertingkat yang terhias megah dengan emas, perak, lazuardi (vaidurya), kristal (sphatika), musaragalva, rohita-mukta (mutiara merah), asmag arbha (koral). (Ayat 8)
       Bunga-bunga teratai di dalam kolam sebesar roda kereta yang warna hijau bersinar hijau, yang warna kuning bersinar kuning, yang warna merah bersinar merah, yang warna putih bersinar putih, sungguh halus, indah, harum dan suci (ajaib).
        Sariputra, alam Surga Sukhavati mencapai tingkat pahala dan kebajikan yang demikian sempurna, megah dan agung. (Ayat 9)
        Dan Sariputra, di alam Buddha ini senantiasa bergema irama musik surgawi yang merdu, lantainya terbuat dari emas. Siang dan malam selama 6 periode waktu selalu turun hujan bunga-bunga mandarawa surgawi. (Ayat 10)
        Pada pagi hari para makhluk di alam tersebut masing-masing memberi persembahan jubah, dan berbagai bunga-bunga indah kepada sepuluh trilyun Buddha di berbagai penjuru dengan penuh ketulusan. (Ayat 11)
        Saat waktu makan tiba, mereka kembali ke negeri asal untuk makan dan menjalankan pembinaan diri, mendalami Sutra.
        Sariputra, alam Surga Sukhavati mencapai tingkat pahala dan kebajikan yang demikian sempurna, megah dan agung. (Ayat 12)
        Lagi pula Sariputra, di alam tersebut terdapat burung-burung yang langka, indah dan beraneka warna, bangau putih, merak, nuri, sari, kalavinka, dan burung berkepala dua. Burung-burung ini sepanjang 6 periode waktu siang dan malam bernyanyi dengan suara yang merdu dan serasi (harmonis). (Ayat 13)
        Suara tersebut mengumandangkan 5 akar kebajikan, yang dapat menghasilkan 5 kekuatan sradha (panca bala), tujuh kesadaran agung dan 8 ruas jalan utama/ suci, Dharma-Dharma yang sedemikian adanya. Para makhluk di alam tersebut setelah mendengar suara merdu ini, semuanya segera ingat kepada Buddha, ingat kepada Dharma, dan ingat kepada Sangha. (Ayat 14)
        Oh, Sariputra, jangan mengira bahwa burung-burung tersebut terlahir akibat dari perbuatan karma buruk mereka. Mengapa dikatakan demikian? Di negeri Buddha ini tidak ada tiga alam sengsara. Sariputra, dalam negeri Buddha tersebut bahkan tidak dikenal nama alam sengsara, terlebih lagi bentuk nyatanya. Burung-burung tersebut diwujudkan oleh Amitabha Buddha (Oh Mee Toh Fo) dengan tujuan agar Dharma dapat dikumandangkan secara luas. (Ayat 15)
        Sariputra, di negeri Buddha ini angin sepoi-sepoi bertiup pada deretan pohon mustika dan jaring berhias permata, menimbulkan suara merdu, lembut dan ajaib, bagaikan ratusan ribu jenis alat musik yang dimainkan bersama. Semua yang mendengar suara ini dengan sendirinya dalam jiwa ingat kepada Buddha, ingat kepada Dharma dan ingat kepada Sangha. (Ayat 16)
       Sariputra, alam negeri Buddha ini (Surga Sukhavati) mencapai tingkat pahala dan kebajikan yang demikian sempurna, megah dan agung. (Ayat 17)

32
Namo Buddhaya.


Tadi Pagi saya mendapatkan pesan Sms dari seorang kawan dan email tadi pagi.
Saya ingin mengucapkan Sabbe Sankara annicca Kepada Ibu Listiyowati ibunda Bhante Utammo Mahatera, Meninggal Hari Rabu, 18 maret 2009,PKl 19.45. Jenasah Di RdHusada Ruang E. Kremasi Minggu Tanggal 22 Maret 2009.

Semoga Semua Mahluk Berbahagia.

Terima Kasih
Purnama

33
 [ Minggu, 08 Maret 2009 ]
Tiongkok Kuat Karena Tao
SEMARANG-Aliran atau agama Tao saat ini sudah berusia 5.000 tahun. Aliran yang lahir di Tiongkok sejak 2697 Sebelum Masehi ini, menurut banyak kalangan, membuat bangsa Tiongkok kini menjadi bangsa yang besar dan kuat. Salah satu sebab karena berkembangnya Tao.

Pernyataan ini diungkap guru besar ilmu filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta Prof Dr Damardjati Supadjar dalam acara bedah buku perkembangan Tao di Jalan Pandanaran 38 Semarang, Jumat (6/3) malam lalu.

Selain Damardjati, tampil sebagai pembicara Taoist Ardian Changianto yang juga pakar budaya Tionghoa serta Daniel Dharmawan, praktisi psikologi filsafat spiritual.

Peserta bedah buku berasal dari berbagai kalangan, termasuk Taoist dari beberapa negara. Acara yang merupakan salah satu rangkaian even Toist Day 2009 ini juga dihadiri oleh Master Lee Zhi Wang, guru dan tokoh Tao dari Singapura.

Damardjati mengatakan, besarnya bangsa Tiongkok ini juga diakui oleh Islam. "Nabi kami Nabi Muhammad SAW bahkan memberikan petunjuk yakni tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Ini menandakan bahwa Tiongkok adalah besar dan kuat, sehingga kita layak belajar segalanya dari sana," ujar Damardjati.

Setelah ditelaah, lanjut Damadjati, ternyata ada aliran yang berusia sangat tua dan berkembang pesat penyebarannya ke seluruh dunia-- termasuk di Indonesia. Yakni Tao. Diyakini Tao inilah yang sarat dengan pesan-pesan moral untuk mengajak kebaikan ini menjadi cikal bakal besarnya negeri Tiongkok.

Pembicara lain Taoist Ardian Changianto memaparkan, selama 5.000 tahun, Tao mengalami perkembangan luar biasa. Sehingga timbul berbagai aliran. "Uniknya, meski ada berbagai aliran namun tidak ada perpecahan. Yang ada justru aliran demi aliran Tao ini saling mengisi. Ini yang membuat Tao terus berkembang pesat sekarang ini," katanya.

Sementara Daniel Dharmawan mengatakan, dalam Taoisme ada lima unsur penting. Kelimanya unsur kultural (sejarah, budaya dsb), religius (ritual, doktrin, dan kepercayaan), serta filosofi dan motivasi. "Namun intinya Tao sangat mengedepankan saling menghormati dan menghargai sesama," jelasnya.

Terpisah, Ketua Panitia Taoist Day 2009 Tjeng Santoso mengatakan, dalam bedah buku tersebut dikupas sejarah dan perkembangan Tao selama 5.000 tahun. Buku yang dibedah adalah buku Tao yang kali pertama ditulis dalam bahasa Indonesia. Buku yang ditulis oleh Master Wang Xing Yang ini aslinya adalah 1.600 halaman. Namun dapat dirangkum menjadi 400 halaman dan diterbitkan dalam 3 bahasa (Tionghoa, Inggris dan Indonesia) dan disebarkan di Taiwan, Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Thailand.

"Ini buku rangkuman dari 4 buku tentang pengenalan Tao yang sudah berusia 5.000 tahun. Jadi masih banyak kekurangan dari buku ini dan mesti diperbaiki," kata Santoso.

Tadi malam, adalah acara puncak Taoist Day 2009, yakni upacara Li Dou atau tolak balak di Jalan Pandanaran 38. Acara ini diikuti ratusan orang berbagai kalangan, dipimpin oleh Master Lee Zhi Wang.

Sementara hari ini pukul 10.00 akan berlangsung upacara minta rezeki (Qi Fu), serta pameran yang menampilkan cerita-cerita Dewa Tao, seluk beluk agama Tao dan perayaan-perayaan dalam agama Tao. Setelah Semarang, Taoist Day 2009 akan berlanjut di Singapura 9-12 Maret 2009. (smu/isk)

34
http://groups.yahoo.com/group/tionghoa-net/message/69645

Terima kasih atas komentar dan pandangannya terhadap saya yang telah
dipaparkan melalui millis ini.

Saya tentu dapat memahami mengapa hal seperti itu dapat terjadi. Dalam
pandangan saya, perjalanan seseorang untuk menjadi pemimpin bangsa,
memang akan banyak luka liku nya. Sebagai calon pemimpin tentu dirinya
perlu memiliki kapasitas dan kompetensi yang mumpuni. Diri nya tentu perlu
memahami benar apa sesungguhnya yang sekarang ini sedang menjadi
dambaan rakyat. Bahkan diri nya pun tentu perlu memiliki "jurus" ampuh nya
guna mencari terobosan dalam memberi solusi terbaik demi bangsa dan
negara.

Saya selaku anak bangsa memang memiliki semangat guna membangun bangsa
dan negara, agar kita selaku bangsa, dapat dihormati oleh bangsa-bangsa
lain di muka bumi ini. Saya ingin kewibawaan bangsa kita tetap
terpelihara dan terjaga dengan baik. Saya ingin memberi bukti dan bukan
sekedar janji, bahwa dengan SDA dan SDM yang dimiliki, mestinya kita mampu
mewujudkannya, asalkan kita tidak "salah urus" dalam mengelola jalannya
Pemerintahan.

Inilah secara singkat tentang semangat yang melekat dalam pikiran saya.

Saudari Ulysee yang saya banggakan,

Saya juga sadar, bahwa sebagai manusia biasa dan bukan superman, tentu
banyak kelemahan dan kekurangan nya. Saya pahami betul hal yang
demikian. Oleh karena itu, sengaja saya membuka ruang khusus di internet
melalui facebook Prabowo Subianto (Fb PS)  agar kita dapat lebih akrab dalam
mempererat tali silaturahim diantara sesama anak bangsa.
 
Melalui Fb PS  itulah kita dapat berbagi pikir dan bersambung rasa dg cara
berpikir
positip dan berhati positip, sehingga kita tidak terjebak dalam gosip
dan isu yang terkadang tidak sama deng an apa yang sebenar nya terjadi.
Saya percaya bahwa Saudari Ulysee tergolong ke dalam sesama anak bangsa
yang mampu berpikir obyektif dan berani menyuarakan kebenaran apa
adanya. Termasuk dalam menilai peristiwa Mei 98 yang lalu.
 
Dalam kesempatan  ini ingin saya tegaskan bahwa peristiwa Mei 98 sebenar nya
merupakan  "sisi kelam" saya yang acapkali menjadi sasaran tembak dari  mereka
yang
tidak senang terhadap gaya dan cara saya dalam memimpin. Menurut saya
hal semacam itu wajar- wajar saja terjadi. Ada yang pro namun ada juga
yang kontra. Hanya kalau saja kita telurusi jauh ke belakang,
sebetulnya sudah ada langkah-langkah hukum yang diambil Pemerintah untuk
mencari
kejelasan terhadap peristiwa Mei 98 itu. Sesuai dengan proses hukum
yang berlaku, maka kita dapat mengetahui bagaimana sebetulnya peristiwa
itu terjadi. Secara kronologis tentu kita dapat membacanya.

Soal partai Gerindra, saya percaya sambutan rakyat terhadap kehadiran
partai ini cukup baik. Mereka merasakan benar bahwa dalam menatap masa
depan yang dewasa ini sarat dengan aura perubahan, rakyat menuntut hadir
nya sebuah partai politik baru yang benar-benar  ingin memberi "nilai
politik" dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di
negeri ini. Itulah salah satu pertimbangannya, mengapa visi, misi, strategi
dan manifesto partai, selalu diberi bobot yang serius terhadap peran
dan fungsi partai dalam melakukan pendidikan politik untuk rakyat.

Gerindra tentu ingin tampil lain dengan partai-partai yang selama ini
sudah malang melintang dalam panggung politik nasional. Artinya, walau
Gerindra baru berusia 1 tahun, saya berkeyakinan bahwa dalam Pemilu
Kegislatif 09
nanti, rakyat tentu akan mencontreng partai mana yang paling layak untuk
diberi amanah menggelindingkan jalannya roda pemerintahan.
Mudah-mudahan dengan menjalankan kehidupan berpolitik yang santun,
penuh kearifan, memelihara kehormatan dan tanggungjawab, maka "lubang"
yang Saudari Ulysee cari akan ketemu dengan sendiri nya dan tidak perlu
dicari lagi.

Dalam rangka lebih mengakrabkan dan memahami bagaimana pikiran dan
pandangan saya dalam membangun bangsa tercinta, saya undang Saudari Ulysee dan
member milis  kita ini,   untuk ikut meramaikan Fb PS yang sifat nya sangat
terbuka untuk siapa  saja, khususnya mereka yang ingin bercitra akan masa depan
serta
tergugah nurani nya untuk selalu konsisten menegakkan kejayaan NKRI dan
kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.

Salam Indonesia Raya,
http://tinyurl.com/prabowo

Powered by Telkomsel BlackBerry




[Non-text portions of this message have been removed]


35
Judul Asli : Bhagavad Gita; The Song Of God
Grace books. United kingdom

Penerjemah : Saut Pasaribu
Edisi  cetakan 1, agustus 2004

Penerbit Orchid

" Ketika Keraguan menghantuiku, Ketika kekecewaan Menatap Tajam kearahku, Dan tak Kulihat sebilah cahaya harapanpun, diatas cakrawala, Aku buka Bhagavad - Gita Dan mencari Satu ayat untuk menghiburku :, dan aku segera tersenyum ditenggah2 kesedihan yang meliputiku. Barangsiapa merenungkan Gita akan mendapatkan keriangan Segar dan makna baru Darinya Setiap hari" - Mohandas K. GAndhi

Catatan dari saya

Ketika saya membaca buku ini terkesan pertama kali adalah dalam benak saya, apa itu gita, Setelah saya baca telusuri dalam bukunya, terjadi pergolakan jiwa, dan pikiran, dalam buku ini, menceritakan bagaimana kita memerangi pikiran Batin kotor kita dalam diri sendiri, Saya merenung dan menemukan sebuah jawaban Gita hampir sama seperti dharma dimana mengakhiri semua penderitaan sendiri, menambah kebijaksaan dalam diri saya mencoba memahami pemikiran beliau.

beberapa kutipan dari Mahatma gandhi yang patut menjadi perenungan kita, dan kita bahas apa yang menjadi pemikiran beliau untuk menambah wawasan kebijakan diri
Dalam Pembahasan kita mari belajar apa yang menjadi perenungan kita dalam sebuah tulisan di buat oleh mahatma gandhi. Mari kita belajar dari Beliau.
 _/\_

Terima kasih
===========================================================
Kata Pengatar dari mahatma Gandhi sendiri

Aku menulis Gita di kosani, almora pada 24 juni 1929, Setelah menunggu 2 tahun. Akhirnya diterbitkan dalam berbagai bahasa, ada permintaan bagi sejumlah orang untuk aku menulis dalam bahasa inggris, saya menyelesaikan terjemahan pengatar di penjara Yeravda. sejak Pembebasankum buku buku yang ditulis saya telah sampai ketangan para sahabat dan para pembaca, orang 2 yang tidak berniat pada kitab kehidupanm akan memaafkan pelangaran kolom2 ini. Bagi orang2 yang berminat pada puisi dan menjadi sebagai penuntun dalam kehidupan, semoga usahaku berhasil dapat membantu.

Terjemahan ini tampak dikolom Young india, 6-8-1931, dari buku ini digandakan. Sebgainya maka aku menulis my exprements with truth,digarap berkat kebaikan para rekan kerja seperti Swami annad dan orang2 lain.  " kami akan dpt menghargai pengertian anda atas pesan gita, hanya ketika kami dapat menelaah terjemahan seluruh teks yang anda buat, bersama penambahan catatan2 yang anda anggap perlu. Saya menggap dari pihak sendiri, tidaklah tepat untuk menyimpulkan Ahimsa dan sebagainya dari syair syair yang menyimpang ", demikianlah ucapan dari Swami annad kepada saya, Selama hari2 tidak bekerja sama.  Saya merasa kekuatan dalam komentar ini. Oleh karena itu Selama saya dipenjara mempelajari gita dengan lebih penuh.

Saya pelajari karya termasyur Lokamaya, ia dengan berbaik hati memberiku teks asli yang ku butuhkan, saya berusaha memahami selama penahanan saya, jika tidak membaca teks asli maka belumlah lengkap mengetahuinya.

Perkenalan Pertamaku dengan gita mulai pada 1888-89 dengan sajak terjemahan sir Edwin Arnold yang dikenal song celestial,  Setelah membaca timbul hasrat mengebu untuk menulis Lantas mengapa saya berani Menyajikan terjemahanku kepada publik ?.

Sudah  menjadi iktiar ku, dan juga beberapa rekan untuk mempratekan ajaran gita sebagaimana kami ketahui, Bagi kami Gita adalah buku sumber acuan rohani. Saya menyadari bahwa kita gagal berbuat senantiasa selaras secara sempurna dlm ajaran itu. Meskipun demikian, kegagalan2 itu Tanpaknya kita melihat sinar2 harapan. Dan dicoba dijalankan oleh berkas kecil ini dalam tingkah laku sehari hari.

=======================
Catatan dari saya pribadi ambil hikmah beberapa penggalan kalimat yang di tulis oleh beliau untuk kita renungi dalam Dhamma kita. Tulisan ini masih berlanjut, selamat berdiskusi dari penggalan kalimat seorang Mahatma gandhi untuk menambah wawasan kita.



36
Kafe Jongkok / Jangan heran kenapa Indonesia susah maju
« on: 20 February 2009, 11:06:06 AM »

2. Pak ... Memangnya dulu makan pake' kaki ya ... ? Trus yang kidal gimana dong ... ?


3. Nah yang ini nulis" LEGISLATIF" dan "KARENA" aja salah. Gimana dong.
Dengan menatap foto saya, saya jadi keinget belum rapiin kumis. How about that, sir? Lagian mukanya putih banget! Pasti pake Tje Fuk... atau bedak Kelly


4. Nah ini, udah almarhum masih aja ditaro di spanduk. Terus mukanya
diputihin pula lagi jadi mirip hantu jepang yang mukanya rata. Lokasinya
bikin serem, ada batang pohon pisang segala. Mau bikin film baru yang
judulnya HANTU CALEG? Call Raam Punjabi, QUICK!




5. Yang ini nyatut foto Obama. Gak malu ya... disama-samain lagi. Terus
namanya GATOT ADI WIBOWO tapi panggilannya BAMBANG???? Wah bener-bener
mendekati ya. Kita lihat evolusinya : GATOT!!! TOT!! TOTB!!! OTB!!! OTB!!! OTBA!!!
OBA!!!! OBAM!!! OBAMA!!! BAM!!! BAM!!! BAMBANG!!! BAMBANG!!! see? Mendekati kan?


6. Nah yang ini gak mau kalah sama Gatot alias Bambang alias Obama's long
lost brother. Dia nyatut foto Beckham. Lebih besar fotonya si Beckham pula
dari fotonya. Gak pede ya mas? Dituntut ntar lho mas...


7. Ini lagi. Belum apa-apa udah bawa-bawa GOLOK???
Wahahahaahhaha...KACAAAAAU!!!!!


8. Wahahahahahahahahaa..... NIH.... CALEG NARSIS





11. Jangan salah.. yang disebelah kiri dan kanan itu bukan foto ayah dan
ibu saya. Tapi foto saya juga. Yang satu pake kopiah...yang satu pake
jilbab. OKE KAAAAN?????


12. CALEG : Saya paling suka lagu-lagu thrash metal seperti Napalm Death,
Black Sabbath, Danzig, Prong. Bisa dibuat karakter saya seperti mereka?

Percetakan : Bisa pak!



13. Tampaknya ada rebut-rebutan Beckham nih antara mas Yudha dan mas yang
mirip Nintendo Wii character dari partai Golkar ini.

14. Ada Berita ....

Perkenalkan : CALEG/HAJI/SARJANA EKONOMI TERMUDA DI INDONESIA!!!!!!

BEAT THAT, LIM DING...whatever your name is ....


15. Yang ini... anak jualan bapaknya ... ?


16. Yang ini.... bapak jualan anaknya

17. BREAKING NEWS!!!!! AHMAD DHANI JADI CALEG!!!!!!
MANA NIH INFOTAINMENT KOK GAK NGELIPUT???



Oooh well... selamat menyambut pesta demokrasi you guys...

Akhir kata, saya hanya ingin mengucapkan

SALAM METAAAAAAAAAAAAAAL!!!!!!!!!!!!
HUAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHHA
 


37
Kaki Lima / Pameran Sejarah Buat Mayor Tjong A Fie (pendiri kota medan)
« on: 12 February 2009, 09:58:46 AM »
Historical Exhibition Buat Mayor Tjong A Fie

 

Ada satu lintasan peristiwa tempo dulu ketika Medan berkembang sebagai kota urban seperti sekarang ini yang hendaknya jangan dilupakan begitu saja oleh generasi muda. Yakni mengenai tokoh pembauran dan seorang dermawan yang tiada taranya Tjong A Fie.

 

Walaupun sudah genap 88 tahun Tjong A Fie meninggal namun kejeniusan beliau dalam membangun kota Medan dengan memadukan kekuatan politik dan ekonomi tidak akan lekang oleh ingatan kolektif masyarakat yang mencatat besarnya kontribusi yang telah diberikan Tjong A Fie dalam pembangunan di daerah Sumatera Timur.

 

Tepat 4 Februari 1921 Tjong A Fie meninggal dunia akibat apopleksia atau pendarahan otak. Namun sebagian sumber menyebutkan resesi perekonomian sehabis perang dunia I yang menyebabkannya, karena ia harus memikirkan 10.000 karyawan yang berada diberbagai perusahaan yang dia miliki seperti perkebunan, perhotelan, bank, pertambangan, pabrik minyak sawit dan perusahaan kereta api. Pada saat itu hampir semua bahan komoditi ekspor andalannya pada anjlok di pasar dunia.

 

Seluruh kota Medan gempar dan turut berkabung, ribuan orang pelayat datang berduyun-duyun bukan saja dari kota Medan tetapi dari berbagai kota di Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaysia, Singapura dan Pulau Jawa. Upacara berlangsung satu bulan lebih dengan kemegahan dan penuh kebesaran sesuai dengan tradisi dan kedudukannya pada masa itu sebagai seorang pemimpin yang dihormati dan dicintai. 28 Maret 1921 Alm. Tjong A Fie diantar ke tempat peristirahatan terakhir di kompleks pemakaman keluarga di Pulau Brayan yang jauhnya10 Km dari kediaman di Kesawan. Lautan manusia mengatarkan kepergiannya. Sangkin ramainya masyarakat yang menyatakan belasungkawa sampai-sampai iringan pengantar yang terdahulu sudah sampai di Pulau Brayan, buntutnya masih berada di Kesawan.

 

Rumah Tjong A Fie yang terletak di jalan Jendral A. Yani No. 105 sampai sekarang tetap dengan bentuk Tempoe Doeloe dan dalam kondisi baik. Untuk mengenang Alm. Tjong A Fie pihak keluarga dan The Tjong A Fie Memorial Institute bekerjasama dengan Pemerintah Tk.I dan Tk. II telah mempersiapkan penyelenggaraan Historical Exhibition yang bertemakan PERANAN TJONG A FIE DALAM PEMBANGUNAN DI SUMATERA dan mengajak masyarakat untuk menyaksikan pameran tersebut dalam waktu dekat ini. Bentuk pameran yang telah dipersiapkan diantaranya adalah pembukaan Tjong A Fie Mansion kepada publik, pameran photo-photo sejarah sejarah perjalanan Tjong A Fie dan keluarga, museum dan gallery Tjong A Fie, pameran masakan kuliner peranakan, serta bazaar.


Office Contac : 061-4531049

38
Kutipan dari buku:
Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni?
Judul asli: Eastern and Western Cultural Values
Penulis: To Thi Anh (Budayawan asal Vietnam)
Penerjemah: John Yap Pareira
Penerbit: PT Gramedia, 1984

Halaman 5:

TIGA aliran kebudayaan Timur yakni Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme telah
mempengaruhi seluruh Asia lebih dari 2.000 tahun. Ketiganya mengilhami sistem
pendidikan, seni, sastra, perundang-undangan, organisasi sosial, dan dalam
tingkat yang lebih dalam, membentuk "ketaksadaran kolektif" yang mendasari hidup
yang sadar rakyat Asia.

Saya melihat Konfusianisme sebagai suatu humanisme, tujuannya adalah
kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya.
Pusatnya adalah manusia dan alamnya.

Taoisme terarah pada kenyataan-kenyataan di luar duniawi; temanya yang utama
adalah keselarasan manusia dengan Tao dan realisasi dari suatu model kosmis yang
nampak dalam semua benda.

Budhisme merupakan suatu jawaban terhadap persoalan penderitaan manusia. Ia
menunjukkan langkah menuju keselamatan; setiap manusia diundang untuk mengikuti
jejak langkah itu agar mencapai Kesadaran, yang pertama kali dialami Budha.

Timur dan Barat (2): Konfusianisme

Halaman 6:

Tiga baris kalimat pembukaan dari buku Chung Yung (Jalan Tengah) menunjukkan
pedoman pikiran Konfusius dalam usahanya mencari realisasi tujuan hidup manusia:

Apa yang diberikan oleh langit adalah yang kita sebut kodrat manusia. Memenuhi
hukum dari kodrat manusia itulah yang kita sebut hukum moral. Memelihara hukum
moral itulah yang kita sebut pembudayaan.

Bagi Konfusius, hukum kodrat manusia tidak terpisah dari alam semesta yang lain:
"peraturan moral membentuk sistem yang sama dengan aturan pergantian musim-musim
yang saling menunjang serta matahari dan bulan yang muncul seiring pergantian
siang dan malam".

Manusia adalah bagian konstitutif dari alam semesta. Manusia harus berhubungan
secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya. Ini diharapkan dari
dia, agar tercapai kepenuhan "langit dan bumi". "Jika inti diri kita yang benar
dan harmoni diwujudkan, alam semesta akan menjadi suatu keseluruhan yang terpadu
dan segala sesuatu akan bertumbuh semarak dan berkembang".

Halaman 7:

Seorang Kiun Tse dikenal dari kesadarannya akan "jalan langit" dan dari
pelaksanaan beberapa kebajikan. Kebajikan pertama adalah jen. Marilah kita
berbicara mengenai hakikat jen yang merupakan titik sentral ajaran
Konfusianisme. Huruf China untuk jen 仁 dibentuk dari tanda kata untuk manusia
人 dan tanda kata untuk dua 二. Jen berarti hubungan antara manusia dan
manusia berdasarkan kemanusiaan yang sama. Jen biasa diterjemahkan dengan:
kemanusiaan yang sempurna, kemurahan hati, kemanusiaan yang benar, kehendak
baik, manusia yang mempunyai hati, empati, hubungan antarmanusia. Semua kata ini
coba mengungkapkan kemanusiaan dalam kepenuhan dan keagungannya.
Apakah ada peraturan, tanya Tse-Kong, yang dapat membimbing tindakan manusia
selama hidupnya?

Cinta, jawab Konfusius, jangan berbuat kepada orang lain apa yang dia tak suka
orang lain berbuat terhadap dirinya.


Halaman 8:

Huston Smith menunjukkan bahwa jen adalah kata kunci untuk Konfusianisme:

Jen serentak mengandung rasa perikemanusiaan terhadap orang lain dan penghargaan
terhadap diri sendiri, suatu yang harus ada dalam kelayakan martabat hidup
manusia di mana saja ia berada. Kelapangan hati seperti ini tidak mengenal
batas-batas negara, karena seorang manusia jen tahu bahwa "dalam batas empat
samudra semua orang bersaudara".

Pada dasarnya, Konfusianisme adalah suatu sikap humanistis yang mengesampingkan
segala metafisika dan mistisisme yang tak berguna, menaruh perhatian yang
sungguh dalam hubungan hakiki antara manusia, dan tidak dalam dunia roh atau
dalam keabadian. Ajaran paling kuat dari humanisme ini ialah: "ukuran manusia
adalah manusia", suatu ajaran yang memungkinkan siapa saja untuk mulai di mana
saja menjadi seorang pengikut Konfusianisme, dengan hanya mengikuti instink yang
tertinggi dari kodrat kemanusiaannya sendiri, dan tidak mencari kesempurnaan
dalam suatu ideal ilahi.

Dalam kenyataan humanisme ini cukup sederhana, sebagaimana ia berasal dari
pikiran sehat: kau berada di sini, siapa pun engkau, bukalah matamu, lihat di
mana kau berada, dengan siapa, dan bawalah dirimu sebaik mungkin, sesuai dengan
situasimu yang aktual. Berada dalam dunia, entah suka atau tidak, manusia
merupakan pusat dari hubungan-hubungan yang fundamental. Menjadi manusia berarti
menyadari bahwa dia selalu berhubungan dengan yang lain, dan berpikir dan
bertindak agar hubungan itu selalu harmonis, dengan segala implikasinya.


39
Kafe Jongkok / PUISI Semua Tentang Cinta ( Mari kita Bergombal Ria)
« on: 09 February 2009, 04:39:37 PM »
Menyambut Valentine Day dah mau dekat nih,
Saya ada Ide Gila,
Kita bikin Puisi Cinta. Yang Paling Gombal adalah juaranya
Jadi ada juara Gobal di DC  :))
Jangan malu malu yah
Atau malu - maluin =))

Saya mulai Duluan nih

Oh Cantik Seberapa pun Cinta ku pada mu.
Seberapa Tinggi Gunung, akan ku daki
Seberapa dalamnya laut Samudera, Akan ku selami
Cinta mu Padamu Kan ku balas untukmu.

40
Penulis: Rm DanarDono
Pengamat Kebudayaan jawa

Pesarean Gunung Kawi

Hampir setiap kali penyelenggaraan diklat mata pelajaran sosiologi
dan antropologi di PPPPTK PKn dan IPS Malang, Gunung Kawi selalu
menjadi tempat bagi para peserta diklat untuk mengadakan Praktik
Penelitian Lapangan (PPL). Tujuannya adalah menggali data dan
keterangan tentang sebuah fenomena dan fakta sosial, sekaligus mitos
bahwa Gunung Kawi merupakan tempat untuk mencari kekayaan dalam
dimensi spiritual.

Gunung Kawi terletak pada ketinggian 2.860 meter dari permukaan laut,
terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tepatnya di Kecamatan
Wonosari, sekitar 40 km sebelah barat Kota Malang. Dulu daerah ini
disebut Ngajum. Namanya berubah menjadi Wonosari karena di tempat ini
terdapat obyek wisata spiritual. Wono diartikan sebagai hutan,
sedangkan Sari berarti inti. Namun bagi warga setempat, Wonosari
dimaksudkan sebagai pusat atau tempat yang mendatangkan rezeki.
Kecamatan Wonosari memiliki luas hampir 67 kilometer persegi, dengan
jumlah penduduk 43 ribu jiwa. Tempat ini berkembang menjadi daerah
tujuan wisata ziarah sejak tahun 1980-an.

Sebenarnya bukanlah Gunung Kawi-nya yang membuat tempat ini terkenal,
tetapi adanya sebuah kompleks pemakaman di lereng selatan yang
dikeramatkan, yaitu makam Eyang Kyai Zakaria alias Eyang Jugo, dan
Raden Mas Imam Sujono, alias Eyang Sujo. Penduduk setempat menyebut
area pemakaman tersebut dengan nama "Pesarean Gunung Kawi". Pesarean
yang terletak di ketinggian sekitar 800 m ini walaupun berada di
lereng gunung, namun mudah dijangkau, karena selain jalannya bagus,
banyak angkutan umum yang menuju ke sana. Dari terminal Desa
Wonosari, perjalanan diteruskan dengan berjalan mendaki menyusuri
jalan bertangga semen yang berjarak kira-kira 750 m. Sepanjang
perjalanan mendaki ini dapat dijumpai restoran, hotel, kios souvenir
dan lapak-lapak yang menjual perlengkapan ritual. Setelah melewati
beberapa gerbang, di ujung jalan didapati sebuah gapura, pintu masuk
makam keramat. Makam yang menjadi pusat dari kompleks Pesarean Gunung
Kawi. Makam yang menjadi magnet untuk menarik puluhan ribu orang
datang setiap tahunnya.


Mitos Pesugihan

Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan
(pesugihan). Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa
kepasrahan dan pengharapan yang tinggi maka akan terkabul
permintaanya, terutama menyangkut tentang kekayaan.

Mitos ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah
merasakan "berkah" berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan
rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol belaka.

<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->Mitos
dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai cerita bohong, kepalsuan,
dan hal-hal yang berbau dongeng (tahayul). Dalam bahasa Inggris, myth
yang mengadopsi bahasa Latin mythus berarti penuturan khayali belaka.
Antropolog memandang mitos sebagai sesuatu yang diperlukan manusia
untuk menjelaskan alam lingkungan di sekitarnya, dan juga sejarah
masa lampaunya. Dalam hal ini, mitos dianggap sebagai semacam
pelukisan atas kenyataan dalam bentuk yang disederhanakan sehingga
dipahami oleh awam (Ruslani, 2006: 5). Namun mitos, bagi kalangan
penganut strukturalisme-fungsional juga dianggap penting karena
berfungsi sebagai penyedia rasa makna hidup yang membuat orang yang
bersangkutan tidak menjadi sia-sia hidupnya. Perasaan bahwa hidup ini
berguna dan bertujuan lebih tinggi daripada pengalaman keseharian
merupakan unsur penting dalam kebahagiaan.

Biasanya lonjakan masyarakat yang melakukan ritual terjadi pada hari
Jumat Legi ( hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro
(memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan
meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam,
berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.

Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu
yang tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa
di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus
suci lahir dan batin sebelum berdoa.

Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat
tempat-tempat lain yang dikunjungi karena 'dikeramatkan' dan
dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan,
antara lain:

1. Rumah Padepokan Eyang Sujo

Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang
Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai
peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah
bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak
pusaka semasa perang Diponegoro.

2. Guci Kuno

Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu
guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan.
Masyarakat sering menyebutnya dengan nama 'janjam'. Mungkin ingin
menganalogkan dengan air zamzam dari Padang Arafah yang memiliki
aneka khasiat. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri
pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini
akan membikin seseorang menjadi awet muda.

3. Pohon Dewandaru

Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan
keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran.
Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa
disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo
menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Untuk
mendapat 'simbol perantara kekayaan', para peziarah menunggu dahan,
buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka
langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun
itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan
kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan
berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan
datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.

Pejuang Diponegoro

Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo, yang dimakamkan
dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut
Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo
atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran
Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh
siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian
diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke
wilayah Gunung Kawi ini.

Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat
senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan
bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah
agama islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan
cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan
lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka
sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak
masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke
padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.

Setelah Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo
tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap
tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke
makam mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam
meninggalnya Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo
setiap tanggal 1 bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan
perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini
biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para
keturunan Eyang Sujo.

Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya
membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun
para peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji,
semakin banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam
keramat, para peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka
berjalan dengan lutut.

Hingga dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh
berbagai kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja
berasal dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang
berdekatan dengan lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru
tanah air. Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa
sosok kedua tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.

Namun di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini
pun sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan
leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah
kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.


Ritual dalam Komodifikasi Budaya

Pada setiap malam Satu Suro (Muharram), area Pesarean Gunung Kawi
dikunjungi oleh ribuan orang peziarah dari berbagai kota dan daerah
telah berdatangan sejak sore hari. Mereka memenuhi penginapan-
penginapan yang memang banyak terdapat di daerah sekitar pesarean
(makam). Sambil beristirahat, mereka menunggu saat datangnya tengah
malam di mana berbagai upacara ritual akan diselenggarakan. Para
pedagang bunga, kemenyan, lilin, hio (dupa) dan perlengkapan sesaji
lainnya sibuk melayani para peziarah. Sementara itu beberapa ibu-ibu
menggoreng ratusan ekor ayam utuh yang dipesan para peziarah untuk
upacara sesaji malam harinya.

Seiring dengan itu pada keesokan harinya diadakan kirab sesaji dan
pembakaran patung simbol sangkala (Bathara Kala). Bencana yang terus
menerus melanda bumi Indonesia membuat masyarakat prihatin. Sikap
prihatin inipun diungkapkan dalam prosesi kirab sesaji di pesarean
Eyang Jugo dan Eyang Sujo melalui upacara pembakaran patung sangkala
atau ogoh-ogoh. Patung sangkala atau ogoh-ogoh, dikenal sebagai
simbol keangkaramurkaan dan malapetaka. Dengan dibakarnya patung ini,
diharapkan sifat keangkaramurkaan dan malapetaka bisa lenyap dari
bumi pertiwi. Prosesi kirab ini diikuti oleh seluruh elemen
masyarakat Wonosari, diawali dengan kirab sesaji dari lapangan desa
setempat kemudian diarak berjalan menuju ke pesarean. Di akhir
prosesi, patung sangkala dibakar oleh Kepala Desa Wonosari, sementara
pengusung patung, yang memakai pakaian serba hitam, menari-nari
layaknya kesetanan.

Melihat potret suasana tersebut, Pesarean Gunung Kawi lebih mirip
pasar raya dari pada sebuah kompleks pemakaman. Pertunjukan wayang
kulit, musik dangdut, serta barongsai pun ikut meramaikan suasana.
Kesan seram, angker, dan tempat mencari kekayaan yang seperti yang
dibayangkan, pada saat itu seolah tenggelam oleh hingar-bingar para
pengunjung.

Ketika zaman berubah, motif spiritual juga terus bergeser. Dengan
dalih estetika, nampaknya pihak pemerintah daerah setempat merasa
perubahan `tampilan' upacara ritual sudah merupakan kebutuhan. Dengan
diciptakannya upacara ritual yang semakin meriah. Banyak yang
bernilai jual di sana-sini. Fungsi latennya sudah bisa ditebak, yaitu
agar upacara ritual bisa lebih enak ditonton, berselera pasar, dan
selanjutnya bisa mendongkrak pendapatan daerah (marketable). Tak
peduli apakah kreasi ini meninggalkan sisi nilai-nilai ritual atau
mengabaikan makna bagi komunitas pemiliknya. Kondisi semacam ini
menurut Theodore Adorno dan Horkheimer bisa disebut sebagai
komodifikasi budaya (Agger, 2006: 179). Kedua tokoh aliran sosiologi
kritis asal Jerman ini melihat bahwa budaya di era kapital serta
industrialisasi ini telah menjelma sebagai sebuah komoditas. Artinya,
suatu fenomena budaya akan diproduksi terus menerus dan dimodifikasi
untuk memperoleh keuntungan.

Etnis Tionghoa dan Pesan Multikultural

Dengan berjalannya waktu, sekarang boleh dibilang lebih banyak
masyarakat Tionghoa yang datang berziarah daripada masyarakat Jawa
sendiri. Bahkan dalam hari-hari tertentu, seperti hari raya Imlek dan
Tahun Baru Islam, jumlah masyarakat Tionghoa yang datang berziarah
jauh lebih banyak daripada masyarakat Jawa sendiri.

Keikutsertaan warga Tionghoa dalam lingkungan perziarahan di Pesarean
Gunung Kawi sebenarnya dimulai dari seorang yang bernama Tan Kie Lam.
Pada waktu itu ia sempat diobati dan disembuhkan oleh Eyang Sujo
berkat air guci wasiat peninggalan Eyang Jugo. Kemudian, Tan Kie Lam
pun ikut berguru di padepokan gunung kawi dan tinggal di sana.
Sebagai seorang Tionghoa, ia mungkin merasa kurang pas dengan ikut
cara ritual masyarakat Jawa. Akhirnya, ia mendirikan
sebuah "kelenteng kecil"-nya sendiri untuk bersembahyang dan untuk
menghormati kedua almarhum gurunya.

Tetapi yang membuat Pesarean Gunung Kawi ini terkenal adalah seorang
Tionghoa yang kemudian menjadi pediri perusahaan rokok Bentoel -
sebuah perusahaan rokok besar yang pernah berdiri di Malang. Konon,
sang pendiri PT. Bentoel ini, ketika itu datang untuk berguru olah-
kanuragan di padepokan Gunung Kawi. Tetapi oleh sang juru kunci niat
itu ditolak dengan alasan bahwa ia tidak pantas menjadi seorang
pendekar, tetapi lebih cocok menjadi pedagang saja. Sang juru kunci
lantas menyarankan ia pulang saja, sambil membekalinya dua batang
bentoel (umbi-umbian).

<!--[if gte vml 1]><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->Sesampai
di rumah, ia berpikir bahwa oleh-oleh dua batang bentoel ini pasti
punya arti. Akhirnya, ia menggunakan Cap Bentoel sebagai merk
usahanya. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, perusahan rokok Cap
Bentoel maju pesat. Dan sebagai tanda terima kasih dan baktinya
terhadap Eyang Jugo dan Eyang Sudjo, ia membagun jalan dan prasarana-
prasarana di kompleks Pesarean Gunung Kawi tersebut.

Rupanya, kabar hubungan antara kesuksesan Rokok Bentoel dan pesarean
Gunung Kawi dengan cepat menyebar luas di kalangan masyarakat
Tionghoa. Akibatnya banyak masyarakat Tionghoa berbondong-bondong
datang ke sana. Selain mengikuti upacara ritual standar Islam-Kejawen
yang dilakukan oleh para juru kunci makam, para peziarah Tionghoa
juga melakukan ritual tionghoanya. Segera saja klenteng kecil buatan
Tan Kie Lam dirasa tak bisa lagi menampung membanjirnya kaum Tionghoa
yang ingin bersembahyang. Untuk itu dibangunlah tiga buah kelenteng
kecil yang letaknya lebih dekat lagi dengan makam. Di ketiga
kelenteng ini diisi oleh Dewa Bumi Ti Kong, Dewi Kwan Im, dan
kelenteng khusus untuk Ciam-si (ramalan). Sering terlihat lilin-lilin
merah besar yang tingginya 2m atau lebih berjejalan memenuhi
kelenteng ini. Di atas sampul plastik lilin-lilin tersebut biasanya
tertulis permohonan dari perusahaan atau keluarga tertentu. Sedangkan
di areal pesarean dibangun sebuah masjid yang cukup megah, yang
menurut petugas pemandu merupakan sumbangan seorang konglomerat di
Indonesia.

Memang, kecuali dalam pendopo makam, di hampir semua tempat di
kompleks makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, seperti
Padepokan Eyang Iman Sujono, bekas rumah tinggal Tan Kie Lam, dan
pemandian Sumber Manggis, semuanya juga diletakkan altar ritulal khas
Tionghoa. Bahkan kedua Eyang mendapat julukan dalam bahasa Tionghoa.
Eyang Djego disebut Taw Low She atau Guru Besar Pertama, sedangkan
Djie Low She atau Guru Besar Kedua adalah sebutan untuk Eyang Iman
Sujo.

Hasil akhirnya, sekarang kompleks pesarean Gunung Kawi menjadi tempat
percampuran budaya dan ritual khas Jawa dan Tionghoa. Bagi mereka
yang pertama kali datang ke gunung kawi pastilah akan mengkerutkan
dahi melihat apa yang terjadi di sini.

Adalah menjadi pemandangan rutin di kelenteng Gunung Kawi bila
melihat seorang Jawa bersarung dan bertopi haji dengan khitmatnya
bersoja dengan hio di tangan, sementara di sampingnya seorang ibu
berkerudung sedang dengan penuh konsentrasi mengocok bambu ramalan
(ciam-si). Dan kalau diperhatikan, ternyata para `petugas kelenteng'
gunung Kawi ini pun ternyata kebanyakan adalah warga Jawa.

Pada setiap upacara perayaan ritual, setelah lepas malam, para
peziarah Jawa dan Tionghoa larut dalam kegiatannya. Mereka berjalan
berlawanan arah jarum jam mengelilingi pendopo sebanyak tujuh kali,
dengan setiap saat berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan
dan barat, sambil menghormat ke dalam makam.

Sementara itu, di dalam pendopo makam dipenuhi para peziarah Jawa dan
Tionghoa yang memiliki niatan khusus. Sambil membawa bunga dan
kemenyan, mereka dengan sabar menunggu giliran didoakan di depan
nisan oleh para asisten juru kunci. Setelah doa dalam bahasa Jawa dan
Arab digumamkan, biasanya para peziarah akan mendapat "bunga layon"
(bunga layu) yang sudah ditaburkan dari makam. Khabarnya bunga
tersebut memiliki khasiat pembawa rezeki dan pengobatan. Uniknya,
banyak peziarah yang menempatkan bunga tersebut di kantong merah dan
kuning yang bergambar lambang Pakua dan bertuliskan huruf Tionghoa.
Yang merah cocok untuk ditempatkan di tempat usaha, sedangkan yang
kuning di bawa pulang untuk digantung di dalam rumah.

Berbaurnya unsur budaya dalam sebuah ritual antara budaya Jawa dan
Tionghoa ini terlihat mencolok lagi pada peringatan Malam Satu Suro
lalu. Dalam kompleks pemakaman tersebut, tempat pertunjukan wayang
kulit dengan lakon tertentu sering dipesan oleh warga Tionghoa
sebagai hajat nadarnya. Sedangkan pada acara yang sama beberapa warga
masyarakat Jawa berpartisipasi memberikan angpau atau malah menjadi
bagian dari penari barongsai yang sedang beraksi.

Dalam kacamata budaya, ada hal yang menarik dalam fenomena ini.
Mayoritas pelaku ritual adalah penduduk asli yang berpakaian adat
Jawa Timuran sambil membawa tandu-tandu berisisi aneka sesembahan,
namun di tengah iring-iringan warga Jawa dan Tionghoa yang juga
diiringi tarian Jawa ini menyelip juga barongsai, tarian singa khas
Tionghoa. Entah apakah peristiwa semacam ini pernah terlintas di
benak oleh Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujo semasa hidupnya. Tapi yang
jelas, upacara semacam ini dapat menjadi pemersatu antaretnis yang
membawa pesan multikultural, yakni kerukunan dan perdamaian.

Referensi

Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Ruslani, 2005. Tabir Mistik Ilmu Ghaib dan Perdukunan. Yogyakarta:
Tinta.

Tjiau, Sen dan Winuranto Adhi. Gunung Kawi: dari Burung sampai Turki,
Akhirnya Bentoel. Majalah Trust. www.majalahtrust.com. 23 April 2007

Hadinoto, RM Danardono. Gunung Kawi. www.mediaindonesia.com. 20
Oktober 2004

Baehaqi, Ahmad. Mencari Berkah ke Gunung Kawi. www.news [at] ....
13 September 2006

Soeryowidagdo. 1989. Pesarean Gunung Kawi. Malang: Yayasan Ngesti
Gondo.


*)Susvi Tantoro, S.Sos.

Teknisi pada Labdik Sosiologi

41
Namo Budaya;

Terima kasih Kepada Teman Teman Dharmajala atas Bantuan kalian dan juga kungjugan kalian ke Gathering Budaya tionghoa Tanggal 1 febuari 2009.

Saya selaku Ketua Panitia, Banyak mengucapkan Banyak Terima kasih. Walau saya sendiri masih belum sempat berkunjung ke menara Patra 2.

Terima kasih atas dukungan dan antisipasi kalian selama acara berlangsung.

Untuk teman teman terutama Mbak kita yang cantik Juwita terima kasih telah membawa teman - temannya untuk bantu.

Ketua Panitia Gathering Budaya Tionghoa

Purnama

42
http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10009
Selasa, 27 Januari 2009
Imlek, Peringatan Budaya
REFLEKSI

IMLEK merupakan perayaan budaya sebuah komunitas masyarakat. Ia bukan perayaan keagamaan. Sehingga, tak haram bagi warga Tionghoa yang beragama Islam untuk turut merayakan Imlek. Etnis ini dalam kenyataannya, merupakan bagian dari warga negara Indonesia.

Demikianlah, Imlek setiap tahun diperingati sejak pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid, 2001. Dalam pelbagai kesempatan, Gus Dur mengaku memiliki aliran darah Cina dalam tubuhnya. Darah Cina itu mengalir dari Putri Campa yang menjadi selir Raja Majapahit Brawijaya V yang silsilahnya sampai pada dirinya. Putri Campa lahir di Tiongkok, lalu dibawa ke Indonesia. Dari perkawinannya dengan Brawijaya V, Putri Campa ini mempunyai dua orang putra: Tan Eng Hian yang mendirikan kerajaan Demak dan akhirnya berganti nama jadi Raden Patah dan Tan A Hok, yang akhirnya menjadi seorang Jenderal.

Namun, bukan karena alasan itu Gus Dur mengizinkan perayaan Imlek secara luas ketika menjabat presiden, melainkan demi menjaga pluralitas Indonesia. Lagi pula, budaya Cina sudah banyak mewarnai budaya-budaya di Tanah Air, salah satunya budaya Betawi dan masyarakat Minangkabau. Sedangkan budaya Betawi merupakan campur aduk antara Arab, Melayu, dan Tionghoa.
Kita menyambut baik tumbuh dan berkembangnya kebudayaan China di Indonesia sejak diizinkannya perayaan Imlek secara luas pada masa pemerintahannya. Kenyataannya, di negeri ini terdapat beragam suku bangsa, etnis dan budaya dan agama.

Memang, sejarah Imlek bagi kaum Tionghoa belum seberapa banyak diketahui. Dalam sebuah catatan, dari kitab-kitab tua berbahasa Mandarin, disebutkan, perayaan tahun baru Imlek bukanlah tradisi sekarang, tetapi sudah diwariskan ratusan tahun lalu. Dan perayaan itu awalnya dimulai dari daratan Tiongkok, seperti yang ditulis Dr Kai Kuok Liang, dalam bukunya, Festival Tradisi Budaya Tionghoa. Memang banyak versi yang menceritakan awal tradisi perayaan tahun baru Imlek, sesuai dengan daerah asalnya, namun yang lebih populer yakni dimulai pada masa Kaisar Chin Che Huang (246-210 BC).

Tahun baru Imlek dirayakan di daratan Tiongkok sudah sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan ada versi lain yang menyebutkan sebelum Kaisar Chin Che Huang pun sudah dirayakan, hanya masih belum merata di masyarakat, antara lain pada masa Huang Ti Yu (2698 BC). Hanya pada masa Kaisar Chin Che Huang, sudah merata di masyarakat Tiongkok, dengan semangat persatuan dan kesatuan.

Dan pada masa revolusi Xin-Hai, tanggal 10 Oktober 1911 yang dicetuskan oleh Dr Sun Yat Sen, yang terkenal dengan ideologinya San Min Cu I (three principles of the people) yang mengubah perayaan tahun baru imlek menjadi Festival Musim Semi (Kuo Chun Ciek). Bahkan, festival ini resmi ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari besar nasional, yang akan dirayakan setiap tahun. Dan tahun baru imlek dirayakan secara resmi mengikuti tahun baru masehi.

Walaupun sudah diubah namanya sejak tahun 1911, lantaran perayaan tahun baru Imlek sudah memasyarakat, sudah membudaya ribuan tahun di masyarakat, yang dirayakan turun temurun, sehingga perayaan tahun baru Imlek tetap dilangsungkan. Sementara perayaan tahun baru masehi, tidak semeriah tahun baru Imlek pada saat itu. Dan sampai sekarang pun, perayaan tahun baru Imlek tersebut masih meriah dilaksanakan, termasuk di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Itulah kenyataan masyarakat kita, yang majemuk dan multikultural. Demikianlah, kita dititahkan untuk saling mengenal. []
 
http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10008
Selasa, 27 Januari 2009
Imlek 2560, Tahun Kerja Keras dan Panas
Kerbau Api Masa Kemenangan Petani
Tahun 2009 diprediksi sebagai tahun penuh intrik politik. Di tahun ini pula dua agenda nasional bakal digelar. Pemilu legislatif dan Pilpres, agenda lima tahunan yang musti diikuti rakyat.

Bersamaan itu pula sesuai hong sui tahun ini, memiliki sio Kerbau Api. Sesuai sifat hewan Kerbau Api, diprediksi ahli jiamsi (ramalan) dari Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, sebagai tahun penuh kerja keras. Karena sifatnya api yang panas, diprediksi tahun ini bakal berjalan panas. Entah karena intrik politik, atau panas karena global warming (pemanasan global).

“Sesuai sifat Kerbau Api, tahun ini dituntut kerja keras namun harus tetap hati-hati, karena sifat api yang panas,” kata ahli Jiamsi Klenteng Kwan Sing Bio, Ko Jiang, kepada wartawan di Klenteng Kwan Sing Bio, kemarin siang.
Ditinjau dari sisi ekonomi, kerbau merupakan hewan pekerja keras. Hewan ini juga berada di wilayah pedesaan, sehingga terkait dengan nasib kaum pedesaan. Yakni kalangan petani. Oleh karena itu, tahun ini merupakan tahun kejayaan dari masyarakat petani.

Kendati begitu, sifat kerbau harus diikuti dengan kerja keras. Jika menginginkan sukses secara ekonomi, di tahun bersio Kerbau Api ini masyarakat musti kerja keras dengan penuh kehati-hatian.

“Tahun ini sebenarnya tahun gemah ripah loh jinawi (sejahtera), untuk masyarakat kecil,” ungkap Go Tjong Ping, Ketua TITD Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, di tempat sama.

Tahun Kerbau Api ini sifatnya panas. Sifat kerbau api yang panas juga harus diikuti dengan kerja keras, apalagi kerbau termasuk hewan pekerja keras. Untuk mencapai sukses di tahun ini umat manusia dituntut untuk bekerja keras. Dengan kerja keras yang sifatnya serupa dengan sifat-sifat hewan kerbau, diprediksi bakal membawa kesuksesan.

Kendati begitu, kerja keras yang dilakukan tak akan membawa hasil jika tidak diiringi dengan sifat kehati-hatian. Ini untuk mengiringi sifat dari api yang panas.

Oleh karena itu, umat Klenteng Kwan Sing Bio kemarin malam, menggelar sembahyang kedamaian. Ritual di klenteng yang menghadap langsung ke laut utara ini, diharapkan bias menciptakan kedamaian selama berada di tahun Kerbau Api.

“Kami berharap doa kedamaian ini bisa membantu kedamaian, Pemilu dan Pilpres di tahun Kerbau Api nanti berjalan lancar penuh kedamaian,” ungkap Go Tjong Ping yang dipercaya umat memimpin sembahyang Imlek tersbeut.

Wakil Ketua DPRD Tuban dari PDIP yang baru dibebaskan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus kerusuhan paska Pilkada Tuban 2006 lalu itu, menambahkan pihaknya berharap masyarakat tetap bekerja keras dalam menyambut tahun Kerbau Api. Dia tetap berpesan agar kedamaian tetap melingkupi tanah air, sekalipun bakal ada agenda Pemilu dan Pilpres bertepatan di tahun Kerbau Api. (*)
 
http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10023
Selasa, 27 Januari 2009
Barongsai, Opera Lilin dan Pengemis
Hari Raya Imlek sepertinya tak bisa lepas dari seni Barongsai, Leang Leong serta Opera Lilin. Namun di tengah susana hingar bingar dan kekhusyukan persembahyangan, ada tangan-tangan tengadah yang berharap kejatuhan angpao.

——————————————————————

Pertunjukan seni asal negeri Tirai Bambu yang keberadannya sudah tak asing lagi bagi penduduk Jatim, yakni Barongsai dan Leang-leong, menjadi pertunjukan pamungkas dalam parade acara yang digelar tujuan Wisata Jatim Park di Kota Batu yang digelar sejak libur Imlek, kemarin. Ragam acara dalam rangka memperingati tahun baru imlek 2.560, membuat Jatim Park dibanjiri pengunjung. Kemarin, tak kurang 10 ribu orang memenuhi tempat wisata favorit keluarga Jawa Timur ini. Hingga kemarin sore, diperkirakan 7.000 orang masih memadati jatim park.

Menurut Titik, Humas Jatim Park, hiburan menyambut libur Imlek ini memang beragam. Mulai dari tari tradisional hingga musik modern. Semisal Rock Band Classic dan Rock n Roses, tampil di hari Sabtu. Smemtara hari berikutnya, menampilkan Kids Rock Band dan Opera Balada Kera menghiasi amphytheater vulcano. Sedangkan Puncak acaranya yakni Senin, digelar Barongsai dan Leang-leong.

Para pemainnya menghibur para pengunjung dengan berkeliling beberapa wahana, sembari mengambil amplop angpao yang sebelumnya sudah diisi dengan uang dari para pengunjung. Sementara, perayaan tahun baru Imlek, Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Hwie Ing Kiong di Jalan Cokroaminoto, Kota Madiun, diserbu para pengemis yang ingin mendapatkan “angpao”.

Suyati (49), pengemis asal Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, mengaku sudah sejak pagi dirinya beserta delapan orang pengemis lainnya mendekati kelenteng untuk mememperoleh uang dari jemaat yang melakukan persembahyangan merayakan Imlek.

Dia mengatakan, banyaknya pemberi angpao pada hari imlek, membuatnya rela meninggalkan keluarga di rumah untuk menjadi pengemis. “Lumayan rezeki sekali setahun. Makanya saya rela jauh-jauh datang kemari, bahkan saya akan bermalam di sekitar klenteng, agar besok pagi bisa dapat tempat di depan untuk berebut angpao,” terang ibu lima anak ini.

Meski harus bersaing dengan pengemis lainnya, saat perayaan imlek tahun-tahun lalu, Suyati bisa mengumpulkan uang antara Rp50 ribu hingga Rp80 ribu. Jumlah tersebut dirasa cukup banyak dibanding harus menjadi buruh tani ladang tebu di desanya yang merupakan pekerjaannya dahulu, yakni sebesar Rp25 ribu/perhari.

Rencananya, uang hasil mengemis tersebut, akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. “Sebentar lagi anak saya harus kembali ke sekolah setelah liburan ini berakhir. Dari hasil mengemis ini saya rasa dapat sedikit membantu anak saya untuk membeli keperluan sekolah,” imbuh dia sembari berharap agar anaknya kelak tidak bernasib seperti dirinya. (han,ag)

43
Dituliskan kembali oleh Chan CT

Politik Pemerintah Indonesia dan Etnik Tionghoa

Beberapa Perkembangan Terkini

 

(Eddie Lembong)

 

 

 

Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas politik pemerintah Indonesia terhadap etnik Tionghoa terutama dalam hubungannya dengan keadaan dan perkembangan mutakhir. Tetapi sebagaimana ditunjuk oleh Wang Gungwu dalam salah satu bukunya, “Tidaklah mungkin memahami apa yang dipandang baru tanpa merujuk pada masa lalu.”[1] Karena itu sebelum membicarakan berbagai politik pemerintah, lebih dulu akan saya paparkan latar belakang sejarahnya.

 

 

Asal Mula Ketegangan Etnik
Sebelum dan Masa Penjajahan
 

Orang-orang Tionghoa datang ke berbagai tempat di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya, jauh sebelum kehadiran kekuatan Barat. Sebagian di antara mereka terdiri dari pemeluk agama Islam. Jumlah mereka meningkat selama abad ke-15, secara kebetulan bersamaan dengan tujuh kali pelayaran muhibah (1405-1432) Laksamana Cheng Ho. Kelompok orang Tionghoa yang bergama Islam tersebut dengan mudah berasimilasi dengan penduduk Indonesia setempat tanpa timbul persoalan berarti.[2]

Sekalipun demikian posisi orang-orang Tionghoa mulai berubah setelah datangnya orang-orang Barat, terutama setelah orang Belanda membangun kekuasaan kolonial mereka. Pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Hindia Belanda (nama Indonesia di masa penjajahan Belanda) setidaknya ke dalam tiga kelompok rasial: Eropa (terutama Belanda), Timur asing (terutama Tionghoa) dan penduduk pribumi. Ketiga kelompok ini memainkan peran ekonomi yang berbeda-beda. Orang Belanda bergerak dalam bisnis perdagangan besar, orang-orang Tionghoa dalam perdagangan perantara antara penghasil dan pembeli, sedang kaum pribumi sebagai petani dan pedagang kecil asongan.[3]

Dari kenyataan tersebut maka Belanda telah menerapkan politik Divide et Impera alias politik pecah belah dan menguasai, politik untuk mendukung kekuasaan penjajahan. Mereka takut jika terdapat persatuan antar-ras yang berbeda itu yakni antara kelompok Tionghoa dengan kaum pribumi, hal itu dapat mengancam bahkan dapat mengakhiri kekuasaan kolonial.

Terpisahnya golongan ras yakni kelompok etnik Tionghoa di negara jajahan Indonesia merupakan suatu kenyataaan kehidupan.[4] Sementara itu kelompok Tionghoa sendiri setidaknya terbagi dalam golongan singkek atau totok dan peranakan (lahir di Indonesia dengan darah campuran). Kebangkitan nasionalisme Tiongkok pada permulaan abad ke-20 memberikan dampaknya terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia dengan orientasi baru dalam memandang Tiongkok. Sekolah-sekolah modern Tionghoa mulai didirikan, banyak anak-anak Tionghoa mulai mempelajari bahasa dan budaya Tionghoa. Gerakan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sering dikenal sebagai gerakan Pan-Tionghoa, cepat berkembang.[5] Penguasa Belanda berusaha menekan “nasionalisme Tionghoa perantauan” ini dengan mengeluarkan peraturan kewarganegaraan Belanda serta mendirikan sekolah-sekolah Belanda dan pribumi bagi anak-anak Tionghoa.[6] Secara politik dan budaya kaum etnik Tionghoa terbelah.

Selama pendudukan tentara Jepang di Indonesia (1942-1945), penguasa Jepang menerapkan politik baru yang memperlakukan seluruh penduduk tanpa dibagi-bagi, hal ini berpengaruh juga terhadap kelompok etnik Tionghoa. Sekolah-sekolah Belanda tidak diizinkan lagi, semua anak Tionghoa dipaksa mempelajari bahasa Jepang dan Tionghoa.[7] Dengan demikian anak-anak kaum peranakan Tionghoa berada dalam proses “menjadi Tionghoa kembali” (resinicization).

Dalam bulan Agustus 1945 Jepang menyerah. Belanda datang dengan tujuan memulihkan kembali kekuasaan mereka di seluruh bekas Hindia Belanda. Kaum nasionalis menolak menerima mereka. Ketika terjadi bentrokan antara pribumi Indonesia dengan Belanda, golongan etnik Tionghoa terjepit di tengah. Di masa penjajahan, etnik Tionghoa berangsur-angsur berkembang menjadi minoritas pedagang yang bertempat di antara Belanda dan penduduk pribumi. Mereka sering dianggap oleh penduduk pribumi sebagai “binatang ekonomi” dan secara politik dianggap lebih dekat pada Belanda daripada kaum pribumi.

Selama revolusi bersenjata (1945-1950), pihak penguasa Belanda dengan sengaja menciptakan kesan bahwa orang Tionghoa berada di pihak mereka serta menentang kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian hal itu menimbulkan kebencian di antara kaum pribumi terhadap etnik Tionghoa. Serangkaian insiden anti-Cina meletus. Dalam kenyataannya situasi jauh lebih rumit, etnik Tionghoa bukanlah komunitas yang homogin, demikian halnya dengan masyarakat pribumi yang multi aspek.

 

 

Indonesia Merdeka
Politik Pemerintah dan Kekerasan Anti-Tionghoa
 

Masa Presiden Sukarno (1950-1965), Politik Diskriminasi Awal
Kalaulah etnik Tionghoa itu sebelum masa kemerdekaan bersifat heterogin, sesudah kemerdekaan mereka terbagi sama secara kultural dan ekonomi. Sekalipun demikian dalam ekonomi secara umum minoritas Tionghoa nampak tetap kuat, kalau tidak malah lebih kuat. Karena Republik muda itu dengan perlahan memusatkan diri pada pembangunan bangsa, tidak ada kejelasan tentang politik terhadap golongan Tionghoa. Di satu pihak pemerintah baru berkehendak memasukkan etnik Tionghoa juga ke dalam proses pembangunan bangsa. Akan tetapi di pihak lain, pemerintah menerapkan perlakukan diskriminatif, terutama di bidang ekonomi menghadapi minoritas etnik Tionghoa.

Terdapat dua peraturan pemerintah yang sangat jelas memberikan dampak pada politik ekonomi Indonesia. Salah satunya apa yang disebut sebagai Sistim Benteng yang diperkenalkan pada permulaan 1950-an yang melarang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan bisnis impor dan ekspor. Hal ini menyebabkan apa yang disebut dengan sistim Ali Baba, yakni orang-orang Tionghoa yang dilarang tersebut menggunakan orang pribumi untuk dipasang namanya di depan alias “kompanyon tidur’ yang tidak kerja apa-apa. Yang kedua berbentuk PP No.10 tahun 1959 yang melarang orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa melakukan perdagangan eceran di daerah pedesaan. Peraturan ini telah menyebabkan eksodusnya orang-orang Tionghoa dari pedalaman negeri ini, membuat ekonomi Indonesia kacau. Dua macam tindakan tersebut tidak membuat kekuatan ekonomi etnik Tionghoa menjadi lemah.[8]

Banyak pemimpin pribumi yang cemburu terhadap status ekonomi etnik Tionghoa juga melakukan kampanye perlawanan. Gerakan penentangan yang paling menonjol dipimpin oleh Assaat, salah seorang pemimpin Republik yang kemudian meloncat ke dalam bisnis.[9] Persoalan menjadi lebih rumit karena bergolaknya Perang Dingin antara kubu Barat berhadapan dengan kubu Komunis yang saling menjatuhkan. Golongan etnik Tionghoa sering digambarkan dengan tuduhan sebagai “kaki tangan” Tiongkok Komunis. Sesungguhnyalah banyak kekerasan anti-Cina termasuk sejumlah kerusuhan dalam periode ini dipicu oleh politik, hal itu merupakan juga manifestasi dari rasa tidak puas terhadap kelompok minoritas tersebut.

 

Masa Suharto (1966-1998)

Pada 1966 Jenderal Suharto menjadi penguasa baru Indonesia yang memerintah negeri ini selama 32 tahun. Sukarno yang anti-kolonialis itu kemudian dijatuhkan oleh kaum militer Indonesia yang pro-Barat. PKI juga disapu bersih dari percaturan kekuasaan politik Indonesia.

Politik Suharto terhadap etnik Tionghoa mengandung dua dimensi: budaya dan ekonomi. Dalam bidang budaya ia memperkenalkan politik asimilasi total dengan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa, yakni sekolah, organisasi dan media Tionghoa. Dalam bidang ekonomi penguasa baru ini memberikan kesempatan kepada etnik Tionghoa. Hal ini berhubungan dengan strategi besarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya. Dengan begitu ia membuka pintu Indonesia serta menerapkan politik pro-bisnis. Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa jelas sangat bermanfaat dalam bidang ekonomi, maka ia menggiringnya ke arah itu, sedang secara politik mereka dicurigai. Sementara di bidang ekonomi etnik Tionghoa dapat menikmati kebebasan, tetapi di bidang politik mereka didiskriminasikan. Akibat yang tidak direncanakan dari politik ini ialah meningkatnya kekuatan ekonomi etnik Tionghoa. Pada saat yang sama secara politik mereka menjadi sangat rentan terhadap serangan, keamanan mereka berada di tangan penguasa pribumi. Sejumlah peristiwa anti-Cina setiap kali terjadi, umumnya dalam skala kecil.

Krisis ekonomi pada 1997 menyebabkan timbulnya kerusuhan tahun berikutnya. Kerusuhan dalam skala besar – beberapa di antaranya direkayasa dengan sengaja – kekerasan anti-Cina meledak di Jakarta, Sala dan beberapa kota besar Indonesia lainnya.[10] Kerusuhan bulan Mei 1998 ini berbeda dari peristiwa kekerasan sebelumnya, bukan saja berupa penjarahan, pembunuhan dan pembakaran harta benda, tetapi juga terjadinya perkosaan sistimatik terhadap kaum perempuan Tionghoa. Kekerasan itu punya motif politik, dalam beberapa hal berhubungan dengan persaingan kekuasaan. Hal ini telah meninggalkan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia.

Setelah kerusuhan Mei 1998, situasi begitu porak poranda, akhirnya Suharto dipaksa turun panggung dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Habibie yang memimpin pemerintahan pertama setelah lengsernya Suharto.

 

Era Reformasi:

Perubahan Politik dan Kemajuan Posisi Etnik Tionghoa (1998-kini)

Masa setelah era Suharto terjadi bersamaan dengan perubahan dunia internasional. Terjadi globalisasi dan demokratisasi yang berdampak terhadap Indonesia dan banyak bagian dunia lainnya. Citra negeri Tiongkok juga telah berubah, negara itu tidak lagi dipandang sebagai pengekspor “revolusi”, tetapi mereka dipandang sebagai negara yang menghendaki situasi status quo.

Perlu dicatat bahwa Perang Dingin telah berakhir pada 1989/1990, ideologi Komunisme tidak lagi menjadi masalah dalam hubungan Indonesia-Tiongkok. Bahkan selama bagian terakhir kekuasaan Suharto, hubungan Indonesia-Tiongkok mengalami kemajuan, tetapi kejatuhan Suharto memicu kecepatan proses hubungan baik.

Bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi tidak saja punya pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga punya dampak ke seluruh dunia. Kekuatan ekonomi Tiongkok tidak lagi dapat diremehkan, “kekuatan perangkat lunak” (soft power) mereka disambut baik secara luas.

Di Indonesia telah terjadi demokratisasi. Terdapat juga kemajuan fundamental secara bertahap dalam bidang hukum dan status politik etnik Tionghoa. Kemajuan ini sebagai dampak dari perubahan situasi Indonesia maupun internasional yang terjadi sebelumnya. Pemerintah baru menyadari bahwa guna meningkatkan kondisi ekonomi Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa sangat menentukan. Pemerintah Indonesia pasca Suharto telah menerapkan berbagai tindakan yang memberikan juga peluang bagi kaum etnik Tionghoa. Ada manfaatnya untuk meninjau langkah-langkah politik tersebut.

 

Masa Presiden Habibie
Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 yang mencabut penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi. Selama kekuasaan Suharto kedua istilah ini dengan bebasnya digunakan oleh media massa untuk merujuk berturut-turut pada orang “Indonesia asli” dan “Indonesia keturunan Cina”, pada saat itu berbagai peraturan pemerintah bagi keuntungan golongan pertama.

 

Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1999 melalui pemilihan umum. Selama pemerintahannya, Gus Dur mengeluarkan Peraturan Presiden No.6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden No.14/1967 yang jahat itu yang dikeluarkan pemerintahan Suharto. Inpres itu melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Dengan pencabutan larangan tersebut maka terbuka jalan bagi etnik Tionghoa untuk menghidupkan budaya tradisional mereka.

Dalam tahun 2000, Gus Dur juga mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sukarela. Selama kekuasaan Suharto, tahun baru itu tidak dirayakan, etnik Tionghoa dilarang merayakannya secara terbuka. Toko-toko milik etnik Tionghoa dilarang tutup dalam Tahun Baru Imlek.

 

Masa Presiden Megawati
Gus Dur tidak sampai menyelesaikan masa kepresidenannya dan digantikan oleh wakilnya, Megawati Sukarnoputri. Megawati memaklumkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional, berlaku mulai 2 Februari 2003. Hal ini tidak berubah sampai pergantian presiden berikutnya.

 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Pada 2004, SBY dipilih sebagai presiden baru. Selama pemerintahannya telah dikeluarkan dua undang-undang penting, UU No.12/2006 tentang kewarganegaraan Indonesia dan UU No.23/2006 tentang pendaftaran penduduk. Dr Frans Hendra Winarta telah membahas kedua undang-undang ini secara mendalam (dalam buku yang memuat artikel ini). Sekalipun demikian saya hendak menyampaikannya secara singkat bahwa undang-undang kewarganegaraan baru ini telah menyerap prinsip-prinsip demokrasi. Sedang undang-undang tentang kependudukan dengan menggunakan konsep dasar nasional dan bukan etnik dalam pendaftaran penduduk Indonesia.

Perkembangan selama Masa Reformasi sangat memberikan harapan. Berbagai peraturan pemerintah dalam hubungannya dengan masalah etnik Tionghoa menggunakan pendekatan demokratis dan multikultural, dengan sudut pandang guna lebih memakmurkan Indonesia. Saya pribadi percaya multikulturalisme akan bermanfaat bagi Indonesia melalui peneyerbukan silang budaya.

Sebenarnyalah budaya Tionghoa di Indonesia mulai hidup kembali dalam masa pasca Suharto yang dibuktikan dengan pemulihan kembali tiga pilar budaya Tionghoa. Mari kita tengok secara singkat tiga pilar itu.

 

 

Pemulihan Kembali Tiga Pilar Budaya Tionghoa
 

Media
Era Reformasi telah membawa permulaan baru bagi media Tionghoa. Telah muncul kembali tidak kurang dari delapan koran berbahasa Tionghoa seperti Guoji Ribao, Shang Bao dsb. Tetapi hampir separonya telah tutup karena kurangnya iklan dan pembaca. Untuk gambaran rinci tentang media Tionghoa, lihat bahasan Dr Aimee Dawis dalam buku yang memuat artikel ini. Perlu dicatat juga telah dihidupkannya kembali radio dalam bahasa Tionghoa serta siaran televisi dalam bahasa Mandarin seperti Metro Xinwen di Jakarta.
 

Pendidikan Tionghoa
Sekolah Tionghoa seperti sebelum Orde Baru tidaklah dihidupkan kembali, akan tetapi telah dibuka sekolah-sekolah dengan dwi-bahasa dan tri-bahasa. Pelajaran bahasa Mandarin diizinkan di berbagai sekolah, memberikan kesan akan kebangkitan kembali budaya Tionghoa. Untuk bahasan rinci tentang pendidikan Tionghoa, baca tulisan Aimee Dawis.

 

Organisasi Etnik Tionghoa[11]

Komunitas Tionghoa telah juga memanfaatkan iklim demokrasi dengan membentuk partai politik etnik Tionghoa seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) dan Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI), meskipun dewasa ini tidak aktif.

Nampaknya orang Indonesia suku Tionghoa lebih memilih bergabung dengan partai-partai yang didominasi suku pribumi daripada memilih partai suku Tionghoa. Di pihak lain mereka lebih suka bergabung dengan organisasi sosial dan budaya Tionghoa. Sementara orang mengatakan setidaknya terdapat 400 organisasi semacam itu, termasuk yang didasarkan pada provinsi atau wilayah (baik di Tiongkok maupun di Indonesia), atau berdasar klan/keluarga/marga, agama Tionghoa, hobi dan alumni. Sekalipun demikian sebagian besar organisasi itu bersifat lokal, kecuali dua yang bersifat nasional yakni Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), belakangan dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa.

 

Organisasi Bisnis

Sesudah kejatuhan Suharto, kalangan bisnis Tionghoa juga membentuk organisasinya sendiri. Setidaknya terdapat empat organisasi bisnis, baik yang didominasi  oleh etnik Tionghoa, atau adanya partisipasi kuat dari kalangan suku Tionghoa: (1) Lembaga Kerjasama Ekonomi Sosial & Budaya Indonesia-China (LIC); (2) Kadin Indonesia Komite Tiongkok (KIKT); (3) Persatuan Pengusaha Indonesia-Tionghoa (PERPIT); dan (4) Indonesia-China Business Council (ICBC).

Munculnya organisasi-organisasi bisnis ini bertepatan waktunya dengan berakhirnya Perang Dingin dan merebaknya globalisasi. Baik situasi dalam negeri maupun iklim internasional memungkinkan perkembangan semacam itu. Berbeda dengan masa Suharto yang sering menganggap pembangunan hubungan ekonomi dan investasi ke Tiongkok sebagai bertentangan dengan kepentingan Jakarta, kini melakukan bisnis dengan Tiongkok dipandang sebagai bermanfaat bagi kedua pihak. Organisasi-organisasi bisnis tersebut jelas memberikan sumbangannya dalam percepatan perkembangan hubungan ekonomi antara Indonesia dengan Tiongkok.

 

Catatan Kesimpulan

Terlihat jelas bahwa politik pemerintah Indonesia terhadap etnik Tonghoa banyak mengalami perubahan sejak tercapainya kemerdekaan. Di waktu lampau banyak undang-undang dan peraturan yang tidak menguntungkan etnik Tionghoa. Tetapi sejak jatuhnya Suharto dalam masa reformasi telah banyak membawakan perubahan - politik, budaya dan hukum – yang bermanfaat bagi suku Tionghoa.

Orang-orang suku Tionghoa tidak lagi dipaksa melakukan asimilasi, mereka tetap boleh memelihara budaya dan identitas etnik, tetapi diharapkan berintegrasi dalam masyarakat Indonesia yang lebih besar. Iklim yang lebih maju ini akan berlanjut menjadi dorongan bagi suku Tionghoa untuk bekerja bagi Indonesia yang lebih baik.

 



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Wang Gungwu, China and the Chinese Overseas, Singapore, Times Academic Press, 1991:vii.

[2] Chen Dasheng (Tan Ta Sen), “Zheng He, Dongnanya De Huijiao Yu ‘San Bo Long Ji Jing Li Wen Biannianshi’” (Cheng Ho, Kaum Muslim Asia Tenggara, dan ‘Catatan Perjalanan Melayu, Semarang dan Cirebon’), dalam Zheng He yu Dongnanya (Cheng Ho dan Asia Tenggara), editor Liao Jianyu (Leo Suryadinata), Singapore International Zheng He Society, 2005:52-83; Sumanto Al Qartuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XVI,Yogyakarta, Inspeal Ahimsakarya Press, 2003.

[3] WF Wertheim, “Social Change in Java, 1900-1930”, dalam East-West Parallels, The Hague, W Van Hoeve Ltd, 1964:211-237.

[4] Lea A Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916, Glencoe, Free Press, 1960:13-16.

[5] Idem:54-113.

[6] William Skinner, “Java’s Chinese Minority: Continuity and Change”, Journal of Asian Studies 20, No.3, 1961:353-362.

[7] Li Quanshou (Lie Tjwan Sioe), “Yindunixia Huaqiao Jiaoyu Shi” (Sejarah Pendidikan Tionghoa Perantauan di Indonesia), Nanyang Xuebao 15, No.1-2, 1959.

[8] Uraian ringkas kedua peraturan ini, lihat Leo Suryadinata, Indigenous Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study of Perceptions and Policies, Kualalumpur dan London, Heinemann Asia, 1978:129-153.

[9] Lihat Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study of perceptions and Policies, Kualalumpur, Singapore dan London, Heinemann Asia, 1978:25-28.

[10] Banyak penerbitan seputar kekerasan anti-Cina Mei 1998, seperti Jemma Purdy, Anti-Chinese Violence in Indonesia 1996-1999, National University Press of Singapore, 2006; Kerusuhan Mei 1998, Data dan Analisa: Mengangkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Jakarta, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, 2007.

[11] Uraian singkat tentang organisasi etnik Tionghoa sesudah kejatuhan Suharto, lihat Leo Suryadinata, “Resurgence of Ethnic Chinese Identity in Post-Suharto’s Indonesia: Some Reflections”, Asian Culture 31, Juni 2007.

 

Penerjemah: Harsutejo

Dari Leo Suryadinata (ed), Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Chinese Heritage Centre & Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2008 (?).



44
Sumber : www.jindeyuan.org
http://jindeyuan.org/
Sumber : Rinto Jiang dan Perfect Harmony.
Editing : Purnama

Sembayang ini dimulai pada tanggal 1 - 15 bulan pertama kalender tionghoa. (atau sebelum Festival Cap Go Me. Maksud sembayang ciong adalah untuk menghindar hal hal buruk ( yang tidak disebabkan bukan karena karma atau dosa )yang akan terjadi dalam 1 tahun di tahun tersebut terhitung dari tanggalan tionghoa tanggal 1 bulan 1 sampai dengan 30 bulan 12. Dengan diakhiri sembayang terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa di Hari Tung Che, atau Tang Chue.

Pengertian Tai shui

Tai Sui Ye sebenarnya adalah sebuah konteks tentang ruang (arah) dan waktu yang dihitung berdasarkan Tian Gan Di Zhi. Pada tahun2 yang berbeda, konteks arah dan waktu tersebut berubah, istilahnya arah dan waktu yang "berkuasa" pada setiap tahunnya berubah. Arah dan waktu ini mempengaruhi Qi yang dipercaya kuat pengaruhnya terhadap permasalahan di alam ini, termasuklah di dalamnya manusia (nasib).

Tiap orang yang lahir pada waktu tertentu membawa unsur2 dan elemen2 yang terdiri dari 5 elemen, 10 batang langit, 12 cabang bumi dan 24 jieqi. Untuk Tai Sui ini, yang diperhatikan cuma 10 batang langit dan 12 cabang bumi dari waktu kelahirannya doang. Dalam tahun2 tertentu karena qi yang "berkuasa" berbeda, maka nasib manusia juga akan berbeda menurut unsur2 kelahiran yang dibawanya. Bila kebetulan unsur yang dbawa bertubrukan dengan qi yang "berkuasa" pada tahun itu, keadaan inilah yang kita sebut sebagai "Fan Tai Sui" sekilas dapat saya terjemahkan sebagai "Berlawanan dengan Tai Sui".

Anggap saja, Tai Sui itu merupakan suatu arus air, setiap manusia digambarkan sebagai kapal2 yang berlayar di atasnya. Setiap tahunnya, arus air tersebut berubah2 sesuai faktor alam yang mempengaruhinya. Tentu saja arus air ini juga mempengaruhi gerak kapal yang berlayar tadi. Ada yang arahnya berlawanan dengan arus air mungkin akan mengalami kesulitan berlayar maju, bagi kapal yang arahnya sama, tentu saja gerak maju ke depan itu sangat termudahkan. Yang berlawanan dengan arus tadi dapat kita padankan dengan keadaan "Fan Tai Sui".

Untuk memudahkan, keadaan Qi setiap tahunnya ini kemudian di"manusia"kan (didewakan) oleh orang2 Tao yang berkembang di Tiongkok pada zaman Han. Setiap tahunnya, Qi yang "berkuasa" dilambangkan sebagai seorang Dewa Tai Sui (Jenderal Tai Sui) yang kita kenal dengan Tai Sui Ye. Jumlah keseluruhannya adalah 60 jenderal dengan nama berbeda yang berkuasa setiap tahunnya sesuai nama tahun yang berbeda menurut Tian Gan Di Zhi. Tahun ayam ini, yang berkuasa adalah Jenderal Jiang Chong.

Jenderal Tai Sui ini ibaratnya adalah sebuah jabatan Perdana Menteri di kerajaan langit. Merupakan jabatan yang paling berkuasa dalam tahun itu dan cuma di bawah daripada kekuasaan Kaisar Langit, Yu Huang Da Di. Lalu, setiap tahunnya, kursi jabatan ini bergiliran diduduki oleh jenderal yang berbeda yang jumlahnya 60 orang.

Dewa Penjaga tai sui

Seng Hong Ya (城隍爺) adalah penguasa di alam baka namun kekuasaanya juga
termasuk di dunia fana. Beliau juga dipuja sebagai contoh pejabat tinggi
yang jujur dan ideal. Sehingga bila berselisih mereka akan pergi ke
Seng Hong Bio (Kelenteng Seng Hong) untuk saling bersumpah.
Pada peringatan hari ulang tahunnya diadakan upacara gotong Toapekong
dengan thema Seng Hong Ya menginspeksi rakyatnya.
Seng Hong Ya termasuk Dewata pelindung dari segala macam yang tidak baik.
Para pemujanya datang untuk memperoleh perlindungan dan di akhir tahun
melakukan Wan Hok kepadanya.

Thay Swee Ya (太歲爺) adalah salah satu dari Dewata2 Bintang.
Masing2 Dewata Bintang menguasai nasib seseorang dalam setahun.
Menurut perhitungan Thian Kan (Pilar Langit) dan Tee Ci (Cabang Bumi),
Bintang Thay Swee muncul pada 60 tahun dari satu periode perhitungan a
strologi Tiongkok. Dalam kata lain ada 60 Bintang Thay Swee.
Di kuil Pek In Koan di Beijing terdapat altar yang menghormati ke-60
Dewa Bintang tersebut.

Menurut perhitungan tersebut, bila Shio seseorang sama dengan
lambang (shio) pada tahun berjalan, maka kondisi semacam ini
dinamakan Ciong Thay Swee (kurang harmonis). Ia harus lebih banyak
melakukan sembahyang kepada Thay Swee Ya supaya terhindar dari hal2
yang merugikannya.

Kong Tek Cun Ong (廣澤尊王) adalah Dewata Pelindung dari berbagai malapetaka
air, api, perampokan dan lain2. Penampilan Beliau adalah dengan satu kaki
bersilah dan yang satunya terjuntai ke bawah memakai baju kebesaran Raja
Muda.

Kong Tek Cun Ong hidup di Dinasti Song (abad IX) sezaman dengan Ma Co Po.
Beliau dipuja ber-sama2 dengan Seng Ma dan biasa dipanggil Po An Kong Tek
Cun Ong, sebuah gelar yang dianugerahkan Kaisar Kong Si dari Dinasti Ching.
Kelenteng Hong San Sie di Si San adalah tempat dimana Beliau mencapai
kesempurnaanya duduk bertapa di atas sebuah batu bundar.

Tabel “Fan Tai Sui”Tiap Shio Setiap Tahun

Tahun ( Shio:)   : Shio Tikus
Bahaya alam     : Shio Tikus
Bahaya Hukum   : Shio Kuda
Bahaya Ciong   : Shio Kelinci
Bahaya Luka   : Shio Tikus Ayam
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Kerbau
Bahaya Alam     : Shio kerbau
Bahaya Hukum   : Shio Kambing
Bahaya Ciong   : Shio Naga
Bahaya Luka   : Shio Anjing
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Macan
Bahaya Alam     : Shio Macan
Bahaya Hukum   : Shio Monyet
Bahaya Ciong   : Shio Ular
Bahaya Luka   : Shio Babi
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Kelinci
Bahaya Alam     : Shio kelinci
Bahaya Hukum   : Shio Ayam
Bahaya Ciong   : Shio Kuda
Bahaya Luka   : Shio Tikus
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Naga
Bahaya Alam     : Shio Naga
Bahaya Hukum   : Shio Anjing
Bahaya Ciong   : Shio Kambing
Bahaya Luka   : Shio Kerbau
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Ular
Bahaya Alam     : Shio Ular
Bahaya Hukum   : Shio Babi
Bahaya Ciong   : Shio Monyet
Bahaya Luka   : Shio Harimau
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Kuda
Bahaya Alam     : Shio Kuda
Bahaya Hukum   : Shio Tikus
Bahaya Ciong   : Shio Ayam
Bahaya Luka   : Shio Kelinci
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Kambing
Bahaya Alam     : Shio Kambing
Bahaya Hukum   : Shio Kerbau
Bahaya Ciong   : Shio Anjing
Bahaya Luka   : Shio Naga
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Monyet
Bahaya Alam     : Shio Monyet
Bahaya Hukum   : Shio Harimau
Bahaya Ciong   : Shio Babi
Bahaya Luka   : Shio Ular
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Ayam
Bahaya alam     : Shio Ayam
Bahaya Hukum   : Shio Kelinci
Bahaya Ciong   : Shio Tikus
Bahaya Luka   : Shio Kuda
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Anjing
Bahaya Alam     : Shio Anjing
Bahaya Hukum   : Shio Naga
Bahaya Ciong   : Shio Kerbau
Bahaya Luka   : Shio Kambing
   
Tahun ( Shio:)   : Shio Babi
Bahaya Alam     : Shio Babi
Bahaya Hukum   : Shio Ular
Bahaya Ciong   : Shio Harimau
Bahaya Luka   : Shio Monyet


       ------------------------------------------------------------ ---         ------------------------------------------------------------ -------------
Sembayang macan putih

Pengertian
Untuk menjaga keselamatan jiwa dan rohani. biasanya orang yang
mengalami ciong ini utnuk menghidari hal - hal yang bisa mencelakakan
dirinya apakah kecelakaan lalu lintas,perkara pengadilan dsbnya
Mengenai hal ilmiah saya kurang tahu mungkin ada yang mengerti
saya mengerti hanya sepintas


Dewa Penjaga Pai hu (macan Putih)

Pe Hou Ciang Kun (白虎將軍) adalah salah satu Dewata Bintang yang berwujud
harimau putih. Ada lagi Dewata Bintang yang berwujud Anjing Langit
(Thian Kauw), Naga Hijau (Cheng Liong), namun mereka dipuja di atas tanah
bukan di atas altar. Nasib jelek selalu ingin dihindarkan oleh manusia,
oleh karenanya mereka memuja Dewata Bintang agar terlepas dari nasib jelek.
Beliau adalah salah satu Dewata Pelindung yang paling dihormati oleh
rakyat.
         ------------------------------------------------------------         ------------------------------------------------------------ ----------------------------


Sembayang ciong Thian Kou

Pengertian
Sembayang ini biasanya untuk menjaga keselamatan agar tidak mengalami kejahatan kriminalitas atau karir dapat gunjingan, untuk menjaga diri dari bentuk gangguan secara fisik.

Dewa penjaga Thian Kou

Li Bing, seorang Gubernur dari propinsi Xi Chuan, yang hidup di zaman
dinasti Qin.

Pada masa itu, Sungai Min (Min Jiang, salah satu cabang Sungai Yang Zi
yang bermata air di wilayah Xi Chuan), seringkali mengakibatkan banjir
di wilayah Guan Kou (dekat Cheng Du). Sebagai gubernur yang peka akan
penderitaan rakyat, Li Bing mengajak putranya Li Er Lang, meninjau
daerah bencana dan memikirkan penanggulangannya.

Li Bing bertekad mengakhiri semua ini, dan berusaha menyadarkan rakyat
bahwa bencana dapat dihindarkan asal mereka mau bergotong-royong
memperbaiki aliran sungai. Usaha ini tentu saja ditentang para dukun
yang melihat bahwa mereka akan rugi apabila rakyat tidak percaya lagi
kepada mereka.

Untuk menghadapi mereka, Li Bing mengatakan bahwa putrinya bersedia menjadi pengantin Raja Naga untuk tahun itu. Ia minta sang dukun memimpin upacara. Sebelumnya, Li Bing memerintahkan Er Lang untuk menangkap seekor ular air yang besar, dimasukkan ke dalam karung dan disembunyikan di dasar sungai.

Pada saat diadakan upacara mengantar pengantin di tepi sungai, Li Bing mengatakan kepada dukun kepala bahwa ia ingin sang Raja Naga menampakkan diri agar rakyat bisa melihat wajahnya. Sang dukun marah dan mengeluarkan ancaman. Tapi Li Bing yang bertekad mengakhiri praktek yang kejam ini berkeras agar sang dukun menampilkan wujud Raja Naga. Karena keadaan yang telah memungkinkan untuk bertindak, Li Bing memerintahkan putranya Li Er Lang agar terjun ke sungai dan memaksa sang Raja Naga keluar. Setelah menyelam sejenak Er Lang muncul kembali sambil menyeret bangkai ular air itu ke tepi sungai. Penduduk menjadi gempar. Li Bing mengatakan bahwa sang Raja Naga yang jahat sudah dibunuh. Rakyat tak perlu khawatir akan gangguan lagi dan tak usah mengorbankan anak gadisnya setiap tahun.

Setelah itu, Li Bing mengajak rakyat untuk mengendalikan Sungai Min. Usaha ini akhirnya berhasil dan rakyat daerah itu terbebas dari bencana banjir. Untuk memperingati jasa-jasa Li Bing dan Er Lang, di tempat itu kemudian didirikan kelenteng peringatan.

Er Lang Shen banyak dipuja di propinsi Xi Chuan. Beberapa kelenteng besar yang didirikan khusus untuknya terdapat di Guan Xian dengan nama Guan Kou Miao; di Cheng Du, Bao Ning, Ya An dan beberapa tempat lainnya dengan nama Er Lang Miao (Kelenteng Er Lang). Selain Xi Chuan, propinsi Hu Nan juga memiliki beberapa Er Lang Miao yang cukup kuno.

Er Lang Shen ditampilkan sebagai seorang pemuda tampan bermata tiga, memakai pakaian keemasan, membawa tombak bermata tiga, diikuti seekor Anjing Langit (Thian Kou 天狗), kadang-kadang ditambah dengan seekor elang. Beliau dianggap sebagai Malaikat Pelindung Kota-Kota di tepi sungai. Namun sering juga ditampilkan bersama Tai Shang Lao Jun sebagai pengawal.
         ------------------------------------------------------------         ------------------------------------------------------------ --------------


Sembayang lima setan

Pengertian

Biasanya untuk menjaga diri dari gangguan hawa kesehatan. atau mudah terserah penyakit. biasanya ganguan lima setan berpengaruh kepada kesehatan. Dan gangguan dari mahluk halus

Dewa penjaga lima setan


« Ngo Houw Ciang Kun
Ciong Hud Sin Ling »
Tay Ya El Ya (Ngo Kuei)

Penjelasan yang lebih rinci mengenai Dewa Ngo Kuei (五鬼) akan menyusul. Secara singkatnya seperti Dewa Thay Swee Ya, Pe Hou Ciang Kun dan Thian Kou, Dewa Ngo Kuei adalah Dewa Pelindung melindungi umatnya dari masalah yang tidak baik.

45
Barongsai adalah tarian tradisional Tiongkok dengan mengunakan sarung yang menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi. Dan tebagi ata dua bagian tarian dari utara dan dari selatan. Yang terkenal adalah bagian selatan dan paling populer di dunia. Bagian selatan terdiri dari 3 bagian utama warna yang mengambil cerita dari kisah tiga negara. Barongsai kuning emas respresentasi Liu Bei, Barongsai merah yang paling banyak digunakan reprensentasi Guan Yu. Dan Terakhir barongsai hitam representasi Zhang fei. Selain itu juga ada bagian barongsai yang menjadi subbagian diambil dari 3 jendral milik liu bei. seperti barongsai hijau representasi Zhou yun, barongsai kuning representasi Huang zhong, barongsai putih representasi Ma Chao.

Sejarah
Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda

Barongsai di Indonesia
Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan[3].

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika jaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda non tionghoa Indonesia yang ikut serta
Barongsai di Indonesia mengalami masa jaya pada masa perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tionghoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki perkumpulan barongsai.

Perkembangan barongsai sempat terhenti pada 1965 setelah meletusnya G -30- S/PKI. Pemerintah memang sudah membatasi peribadatan dan kebudayaan Tionghoa sejak tahun 1960-an dengan alasan menghambat asimilasi.

Perubahan situasi politik membangkitkan kembali seni barongsai dan berbagai kebudayaan Tionghoa lainnya. Sejumlah perkumpulan barongsai pun kembali bermunculan. Sekarang, tak hanya kaum Tionghoa yang memainkan barongsai, tapi juga kaum pribumi.

Di Kota Bandung, kebudayaan Tionghoa berkembang seiring keberadaan perkumpulan Hoo Hap. Pada masa Orde Baru, di mana pertunjukan kesenian Tionghoa dilarang dipentaskan di tempat terbuka, perkumpulan ini masih menggelarnya untuk kalangan intern.

"Pada zaman Orde Baru, saya tidak sepenuhnya vakum. Kami masih melakukan pertunjukkan liong dan barongsai, tapi di ruangan tertutup dan hanya untuk kalangan intern saja," ujar mantan anggota Hoo Hap, Eric Mintardja (62).

Eric mempelajari seni tari liong dan barongsai sejak kecil dari kakek dan orang tuanya. Saat itu, keluarga mereka tergabung dalam perkumpulan Hoo Hap.

Meskipun masih bisa beratraksi secara sembunyi-sembunyi, tetap saja larangan itu membekukan atraksi kesenian mereka sehingga pada tahun 1980, kelompok Hoo Hap di Bandung ini bubar. Para anggota Hoo Hap akhirnya berpencar dan kemudian mendirikan perkumpulan seni Tionghoa lain.

Setelah iklim politik berubah, kesenian Tionghoa termasuk seni tari liong dan barong tak hanya dipertunjukkan di muka umum, tapi juga menjadi ekstrakurikuler di sekolah dan kampus. Di Kelurahan Cibadak Kecamatan Astanaanyar, kesenian ini bahkan menjadi wadah aktivitas warga setempat.

Angling Dharma merupakan salah satu perkumpulan seni tari liong dan barongsai di Kota Bandung yang sebagian besar dari 90 anggotanya saat itu merupakan warga non-Tionghoa. Perkumpulan ini dibentuk pada Maret 2003 atas prakarsa Ketua RW 03, Ny. Yuyu (56) dan sang pelatih Eric Mintarja.

"Pada awalnya, Angling Dharma ini dibentuk untuk mengurangi dampak negatif dari pemuda pengangguran dan sebagai upaya pembauran. Pada akhirnya menjadi wadah untuk melatih fisik, mental dan keorganisasian para pemuda," ujar Eric.

Tak mudah untuk menjadikan perkumpulan tersebut eksis di dunia kesenian Tionghoa. Minimnya sarana dan prasarana serta para peserta yang sudah lebih dulu mengakrabi minuman keras sempat menjadi kendala.

Ratih (22), salah seorang anggota, masih ingat latihan tari liong pertama yang diikutinya. Saat itu, mereka hanya menggunakan kain spanduk sebagai kostum penampilan ular mereka. "Waktu akhirnya kita bisa pakai liong betulan, rasanya bangga sekali," tuturnya.

Perlengkapan seni tari liong dan barongsai termasuk alat-alat musik bernilai puluhan juta rupiah itu mereka peroleh dari Vihara Dharma Ramsi. Berbekal peralatan itulah, perkumpulan seni tari liong dan barongsai Angling Dharma melakukan pentas di berbagai kesempatan.

Sebagai praktisi kesenian Tionghoa yang sudah berkiprah selama puluhan tahun, Eric mengaku pernah bermimpi membawa tim yang diasuhnya ke pentas internasional. "Tapi isu SARA masih kuat. Jadi tetap saja sulit," ujarnya.

Kevakuman selama belasan tahun, menurutnya, berimbas hingga saat ini. Masyarakat yang belum paham masih menganggap seni tari liong dan barongsai tak hanya sekadar seni. Atraksi tarian singa dan ular itu masih dianggap sebagai pertunjukan pengusir setan atau lebih jauh lagi sebagai pintu masuk ajaran tertentu.

Kondisi tersebut menjadikan Eric semakin pesimistis. Kini, ia hanya berharap kesenian Tionghoa yang sangat dicintainya itu tidak punah. Ia berharap semakin banyak pihak yang melihat seni liong dan barongsai semata-mata sebagai seni.

"Saya justru amat berharap seni tarian singa dan liong ini bisa digabungkan dengan kesenian sunda. Bisa saja kan bagian kepalanya diganti dengan lambang Siliwangi, musiknya juga digabungkan antara tambur dan suling sunda," tuturnya. (Wilda/"PR")***

Pages: 1 2 [3] 4 5 6
anything