//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - markosprawira

Pages: 1 ... 408 409 410 411 412 413 414 [415] 416 417 418 419 420
6211
Diskusi Umum / Re: Cloning!
« on: 20 August 2007, 01:32:14 PM »
Ya tujuan misalnya untuk mengetes penyakit, nah di pakai percobaan tuh, kan yang di rugikan si kloningan itu,  kloningan itu khan jg hsl dr tumibal lhr, apa ada free will jg dia.

sebenarnya seinget sy sih, cloning itu ditujukan untuk mengatasi keterbatas penyediaan makanan, juga untuk mencari plasma nutfah yang udah punah supaya bisa tetap lestari......

setiap kamma, pasti ada free will dan juga "kecocokan"...... sama kaya anda mo nyebrang di jalan raya yang ramai.... itu khan free will dan juga kecocokan dengan semuanya (pengemudi mobil2, lampu jalanan bahkan sampai sinar matahari  ;D)

simpel banget kok........

6212
Diskusi Umum / Re: Cloning!
« on: 20 August 2007, 01:13:25 PM »
hm... kalo masih bentuk sel kan dia belom jadi makhluk hidup... kalo akhirnya sudah lahir, mati, ato prematur, ya sama aja ma bayi cacat, prematur, mati...

apakah sel = janin???

selama sudah ada pertemuan sel telur dan sperma dan menjadi janin, dia sudah menjadi mahluk hidup...... sudah punya kesadaran sendiri

hanya saja, selama 9 bln 10 hari makanannya disuplai dari ibunya dan bisa mendapatkan pengaruh langsung dari getaran2 pikiran dan perasaan yang dialami oleh ibunya

6213
Sutta Vinaya / Kisah Deva Ankura
« on: 20 August 2007, 12:52:47 PM »
Syair 356, 357, 358, dan 359
XXIV. (12) Kisah Deva Ankura

Sang Buddha mengunjungi alam dewa Tavatimsa untuk membabarkan Abhidhamma kepada Dewa Santusita, yang sebelumnya adalah ibu kandung Beliau. Selama masa itu, terdapat dewa yang bernama Indaka di alam dewa Tavatimsa. Indaka, dalam kehidupannya yang lampau adalah seorang pria, yang telah mempersembahkan sedikit dana makanan pada Anuruddha Thera. Karena perbuatan baik ini dilakukan kepada seorang Thera dalam masa keberadaan ajaran Buddha, maka ia mendapat pahala berlipat ganda. Kemudian, setelah kematian, ia dilahirkan kembali dalam alam Tavatimsa dan menikmati kemewahan alam dewa.

Pada saat itu, terdapat dewa lain yang bernama Ankura di alam dewa Tavatimsa yang telah banyak memberikan dana; jauh lebih banyak daripada apa yang telah Indaka berikan. Tetapi dana itu dilakukan di luar masa keberadaan ajaran Buddha. Sehingga meskipun dananya besar dan banyak, ia menikmati pahala
kehidupan dewa dalam ukuran yang lebih kecil daripada Indaka, yang telah mempersembahkan sangat sedikit dana.

Ketika Sang Buddha berada di Tavatimsa, Ankura bertanya kepada Beliau alasan ketidaksesuaian perolehan pahala itu. Kepadanya Sang Buddha menjawab, "O dewa! Ketika memberikan dana kamu seharusnya memilih kepada siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya menanam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menebarkan bibitmu di tanah yang tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 356 sampai dengan 359 berikut ini :

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; nafsu indria merupakan
bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka
yang telah bebas dari nafsu indria akan menghasilkan pahala yang besar.

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; kebencian merupakan
bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka
yang telah bebas dari kebencian akan menghasilkan pahala yang besar.

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; ketidaktahuan merupakkan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidaktahuan akan menghasilkan pahala yang besar.

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; iri hati merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari iri hati akan menghasilkan pahala yang besar.

6214
Sutta Vinaya / Kisah Aputtaka, Orang Kaya Yang Tidak Memiliki Anak
« on: 20 August 2007, 12:46:06 PM »
Syair 355
XXIV. (11) Kisah Orang Kaya Yang Tidak Memiliki Anak

Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris, sehingga ia harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Raja berkata perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir. Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai ujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para
pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.

Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat
jarang suaminya memberi izin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkuk makanannya. Mengetahui bahwa istrinya
telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik." Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.

Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.

Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh
keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia. Tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.

Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridnya. Sesungguhnya ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 355 berikut :

Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi tidak menghancurkan mereka
yang mencari 'Pantai Seberang' (nibbana). Karena nafsu keinginan mendapatkan
kekayaan, orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri, dan juga akan
menghancurkan orang lain.

6215
Sutta Vinaya / Kisah Gadis Penenun
« on: 20 August 2007, 12:32:39 PM »
Syair 174
XIII. (7) Kisah Gadis Penenun

Pada akhir upacara pemberian dana makanan di Alavi, Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan dari kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha). Pada hari itu Sang Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini :

"Hidup-Ku adalah tidak pasti; bagi-Ku, hanya kematianlah satu-satunya yang pasti. Aku pasti mati; hidup-Ku berakhir dengan kematian. Hidup tidaklah pasti; kematian adalah pasti."

Sang Buddha juga menasehati orang-orang yang mendengarkan Beliau agar selalu sadar dan berusaha untuk memahami kesunyataan tentang kelompok kehidupan (Khandha). Beliau juga berkata, "Seperti seseorang yang bersenjatakan tongkat atau tombak telah bersiap untuk bertemu dengan musuh (misal seekor
ular berbisa), demikian pula halnya seseorang yang selalu sadar terhadap kematian akan menghadapi kematian dengan penuh kesadaran.Kemudian ia akan meninggalkan dunia ini untuk mencapai tujuan kebahagiaan (sugati)."

Banyak orang yang tidak memperhatikan penjelasan di atas dengan serius, tetapi seorang gadis penenun muda berusia enam belas tahun mengerti makna penjelasan tersebut. Setelah memberikan khotbah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.

Selang tiga tahun kemudian, ketika Sang Buddha melihat dunia kehidupan, Beliau melihat penenun muda, dan mengetahui bahwa sudah saatnya bagi gadis itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sehingga Sang Buddha datang ke negara Alavi untuk menjelaskan Dhamma untuk kedua kalinya. Ketika sang gadis mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba beserta lima ratus bhikkhu, dia ingin pergi dan mendengarkan khotbah yang akan diberikan oleh Sang Buddha. Tetapi, ayahnya juga meminta kepadanya untuk menggulung beberapa gulungan benang yang dibutuhkan dengan segera, sehingga dia dengan cepat menggulung
beberapa gulungan dan membawanya kepada ayahnya. Dalam perjalanan menuju ke tempat ayahnya berada, dia berhenti untuk sementara di samping orang-orang yang telah tiba untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha.

Ketika itu Sang Buddha mengetahui bahwa gadis penenun muda akan datang untuk mendengarkan khotbah-Nya; Beliau juga mengetahui bahwa sang gadis akan meninggal pada saat dia pergi ke tempat penenunan. Oleh karena itu, sangatlah penting baginya untuk mendengarkan Dhamma dalam perjalanan menuju ke tempat penenunan dan bukan pada saat dia kembali. Jadi, ketika gadis penenun muda itu muncul dalam kumpulan orang-orang, Sang Buddha melihatnya. Ketika dia melihat Sang Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan penuh hormat mendekati Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha memberikan empat pertanyaan kepadanya dan dia menjawab semua pertanyaan tersebut. Pertanyaan dan jawaban diberikan seperti di bawah ini :

Pertanyaan 1, Dari mana asalmu ?

Jawaban 1, Saya tidak tahu.

Pertanyaan 2, Ke mana kamu akan pergi ?

Jawaban 2, Saya tidak tahu.

Pertanyaan 3, Tidakkah kau tahu ?

Jawaban 3, Ya, saya tahu.

Pertanyaan 4, Tahukah kamu ?

Jawaban 4, Saya tidak tahu, Bhante.

Mendengar jawaban itu, orang-orang berpikir bahwa gadis penenun muda sangat tidak hormat. Kemudian, Sang Buddha meminta untuk menjelaskan apa maksud jawabannya, dan diapun menjelaskan.

"Bhante! Engkau tahu bahwa saya datang dari rumah saya; saya mengartikan pertanyaan pertama anda, anda bermaksud untuk menanyakan dari kehidupan yang lampau manakah saya datang. Karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."

Maksud pertanyaan kedua, pada kehidupan yang akan datang manakah akan saya tempuh setelah ini; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."

Maksud pertanyaan ketiga, apakah saya tidak tahu bahwa suatu hari saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Ya, saya tahu."

Maksud pertanyaan terakhir apakah saya tahu kapan saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."

Sang Buddha sangat puas dengan penjelasannya dan berkata kepada orang-orang hadir, "Banyak dari kalian yang mungkin tidak mengerti dengan jelas maksud dari jawaban yang diberikan oleh gadis penenun muda. Mereka yang bodoh berada dalam kegelapan, seperti orang buta."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 174 berikut :

Dunia ini terselubung kegelapan, dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas. Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang dapat melepaskan diri; demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke alam surga.

Gadis penenun muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat penenunan. Ketika dia sampai di sana, ayahnya tertidur di atas kursi peralatan tenun. Saat ayahnya terbangun dengan tiba-tiba, dia dengan tidak sengaja menarik gulungan dan ujung gulungan menusuk tepat di dada sang gadis. Gadis penenun muda meninggal dunia di tempat itu juga, dan ayahnya sangat sedih. Dengan berlinangan air mata ayah gadis itu pergi menghadap Sang Buddha dan memohon agar Sang Buddha menerimanya sebagai bhikkhu. Kemudian, ia menjadi seorang bhikkhu, dan tidak lama setelah itu mencapai tingkat kesucian arahat.

6216
Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula.

Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut putih. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan menjawab dengan cepat dan tajam :

"Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil,"

dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut :

"Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, walau sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut :

Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata :
"Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat."
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes, demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.

(Dhammapada, Bab IX, Kejahatan, syair 121)

6217
Buddhisme untuk Pemula / Re: Adakah Neraka pada Buddhism ?
« on: 10 August 2007, 06:40:02 PM »
alam dengan siksaan penderitaan...
bukan disiksa sesuatu...
lagian ga dijabarin cara nyiksanya dan oleh siapa/apa... thats better... daripada ada, detil lagi, kaya boongan aja. mank udah pernah ke neraka...?   :whistle:

ga tau deh kalo ada...
gw pan juga baru belajar... n kebetulan baru baca yang alam kehidupan ini...

mangkenye, nah kalo ada tukang siksa, berarti bisa terlahir jadi tukang siksa juga donk?  ;D
muak tuh tiap ari nyiksa liat orang menderita...

buddhism itu logis khan????  ;D

6218
Buddhisme untuk Pemula / DHAMMADHIPATEYYA
« on: 10 August 2007, 06:10:44 PM »
by Selamat Rodjali


DHAMMADHIPATEYYA

Sumbangsih Buddha Dhamma Bagi 'Trend' Demokratisasi

Pada Akhir Milenium Kedua

Pendahuluan

Di Indonesia, saat ini sedang dijangkiti oleh 'trend' (kecenderungan)
demokratisasi. Semua pihak, baik pemerintah, maupun rakyat; baik orang
partai politik maupun orang yang 'independent' cenderung mengharapkan
tercapainya demokratisasi yang optimum di Indonesia. Mereka saling
menganggap dirinya bertindak mengarah ke demokratisasi. Bahkan dua kelompok
yang berseteru / berlawanan sekalipun saling menganggap tindakannya mengarah
atau sesuai dengan tujuan demokratisasi. Klaim anggapan tersebut makin
membingungkan masyarakat. Apa sesungguhnya ciri / sifat manusia yang cocok
dengan prinsip demokrasi. Apa landasan moral demokratisasi itu sendiri.

Tulisan ini ditujukan bukan untuk memberikan definisi demokrasi yang harus
diterima secara umum, namun lebih bersifat memberikan informasi
prinsip-prinsip landasan moral bagi pemimpin dan rakyat yang mendambakan
demokratisasi.

Supremasi Dhamma (Dhammadhipateyya) di atas supremasi pribadi
(attadhipateyya) dan kelompok sosial duniawi (lokadhipateyya)

Di dalam berkiprah mengarungi hidupnya, manusia selalu memiliki ambisi dan
hasrat besar ataupun kecil. Untuk memenuhi ambisinya, manusia berpegang atau
berpijak pada prinsip-prinsip tertentu, yang di dalam Buddha Dhamma dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:

1. Attadhipateyya, di mana manusia berkiprah memenuhi tujuannya
dengan menjunjung tinggi kepentingan pribadi (atta).

2. Lokadhipateyya, di mana manusia berkiprah memenuhi tujuannya dengan
menjunjung tinggi kepentingan duniawi kelompok atau daerahnya.

3. Dhammadhipateyya, di mana manusia berkiprah memenuhi tujuannya
dengan menjunjung tinggi Dhamma yang mulia, sehingga meningkatkan kualitas
kehidupannya.

Ambisi pribadi merupakan sebuah kondisi alami, dan kebanyakan orang mencari
kekuasaan, posisi dan kesuksesan di atas yang lainnya dan takut kehilangan
keuntungan. Dorongan ini merupakan kekotoran yang di dalam Buddha Dhamma
kita sebut kekotoran batin. Sepanjang masyarakat masih belum terdidik, masih
belum berkembang, sepanjang itu mereka belum dapat hidup dengan bijaksana.
Perbuatan mereka akan didorong oleh hasrat-hasrat tersebut.

Namun demikian, di dalam komunitas, dorongan demikian, apabila tidak
dikotori atau tidak terkontrol dengan baik, sangat mudah menjadi penyebab
konflik dan perpecahan. Mereka merupakan rintangan penting untuk
perkembangan sosial dan kedamaian.

Di dalam sistem otokrasi, setiap orang bersandar pada kekuatan otokrat.
Mereka harus mendengarkan dan mempercayai yang dikatakan otokrat itu.
Mereka hidup dan bekerja bersama secara harmonis dan dinaungi oleh
hukum-hukum menakutkan dan merupakan sasaran bagi kekuatan yang dimiliki
oleh otokrat. Namun demikian, kita telah melihat bahwa ketergantungan kepada
figur kekuasaan atas dasar ketakutan bukanlah merupakan sebuah kebiasaan
yang diharapkan.

Apabila rakyat tidak tunduk kepada kekuatan figur orang tertentu, rakyat
sering kali menyerahkannya kepada sebuah kekuatan 'super adikodrati'. Dengan
kekuatan super adikodrati sebagai otoritas absolut, terdapat sebuah dasar
umum bagi semua anggota masyarakat itu untuk dapat bersandar. Namun
demikian, ini juga masih bukan sebuah metode baku yang memuaskan bagi
masyarakat yang mengharapkan demokrasi, karena hal ini sesungguhnya
merupakan sebuah otokrasi dalam bentuk lain. - Hal ini diselimuti ketakutan,
dan dengan demikian tidak memungkinkan bagi perkembangan potensi personal
secara penuh. Ini juga belum terbebas dari kemungkinan perpecahan - banyak
kepercayaan atas kekuatan super adikodrati membawa ke banyak perpecahan.

Masyarakat di negara yang memiliki rasa nasionalisme kuat dibakar oleh
sebuah dorongan kuat untuk membuat negara mereka menjadi sebuah kekuatan
yang besar, dan setiap orang menyerahkan diri untuk kepentingan kebaikan
negara. Walaupun mungkin terdapat konflik dan tekanan pada tingkatan
pribadi, kapanpun sebuah masalah nasional muncul, semuanya melupakan hasrat
pribadi dan konflik kepentingan dan secara harmonis memberikan diri mereka
kepada negara. Namun demikian, metode ini tidak berada dalam jalur yang
sesuai dengan makna sesungguhnya dari demokrasi dan metode ini memiliki
kelemahannya sendiri. Metode ini mengarah ke fanatisme dan tidak toleran.
Rasa tertarik akan keberuntungan hanya bagi ras atau kebangsaan seseorang
dan seseorang dapat dengan mudah dibujuk untuk mengeksploitasi yang lainnya.

Dasar umum perhatian lainnya adalah berpijak kepada suatu idealisme, yang
mungkin adil sekuat nasionalisme. Masyarakat dapat dengan mudah bersandar
pada idealisme atau pandangan-pandangan politik yang kuat, dan
kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki ideologi politik yang mirip
dengan mudah dapat dimobilisasi untuk merealisasi niatnya. Ini bukan hanya
sebuah harmoni yang in-tolerant, namun juga mengarah ke semacam kekuatan
yang sangat ekstrim. Masyarakat dengan idealisme politik yang kuat (mirip
fanatisme keagamaan) sangatlah puas di dalam tingkah lakunya, namun hanya
untuk kepuasan kemelekatannya dan idealismenya. Sepanjang idealisme mereka
dipandang valid mereka mendapat kepuasan yang ekstrim, menyapu bersih segala
sesuatu atau setiap orang agar berdiri di jalan mereka, namun sepanjang
kecenderungan orang-orang itu melemah, mereka akan kembali ke aslinya, tidak
mendapatkan hasil apapun di dalam perkembangan pribadinya. Kepuasan politik
tidak membawa ke perkembangan pribadi karena kecemburuan itu tidak muncul
dari kebijaksanaan; kepuasannya tidak muncul dari pengertian batiniah murni
dari dalam dirinya, namun merupakan idealisme eksternal. Oleh karena itu hal
ini bukanlah cara berpikir bijaksana.

Bila mereka tidak dimotivasi oleh pandangan di atas dicap sebagai
individualis. Walaupun, satu saat bahkan mereka diinspirasikan untuk
memperoleh keuntungan pribadi bagi kebaikan komunitas, seperti ketika
peperangan. Ketika negara mereka diagresi pihak lain, masyarakat dapat
dengan mudah dimobilisasi bersama. Namun 'pengorbanannya' hanya untuk
interest pribadi/golongan, dan segera setelah agresi selesai, mereka akan
menjadi individualis.

Menghadapi ini semua, apakah posisi sebuah masyarakat yang demokrasi itu?
Telah dikatakan bahwa masyarakat yang bekerja bersama untuk membentuk sebuah
demokrasi seyogyanya dimotivasi oleh kebijaksanaan. Tujuannya adalah untuk
menciptakan sebuah masyarakat yang memiliki manfaat optimum bagi keduanya,
bagi individu di dalamnya maupun secara bersama, dan tujuan ini direalisasi
dengan cermat di dalam memandang dan mencerap sesuatu yang didasarkan pada
kebenaran, manfaat dan kebajikan.

Masyarakat yang dimotivasi oleh hasrat bagi kebenaran, kebajikan dan manfaat
akan mencoba untuk mencari faktor-faktor yang paling efektif digunakan untuk
memecahkan permasalahan kehidupan. Mereka akan berkorban waktu dan tenaga
dan akan terbuka bagi informasi dari semua sisi, sepanjang itu mengarah ke
sebuah pengertian kebenaran. Mereka akan mengabaikan emosi pribadinya.
Hasrat untuk kebenaran inilah yang memotivasi tindakan mereka, dan terhadap
kebenaran inilah mereka ingin menyandarkan diri mereka.

Oleh karena itu, di dalam sebuah masyarakat demokrasi, masyarakat akan
mendapat keuntungan bersama bagi kebenaran, kebajikan, alasan dan manfaat,
karena kondisi ini yang nyata mendukung pemecahan masalah.

Kebenaran, kebajikan, alasan, manfaat dan pemecahan masalah, semuanya dapat
dideskripsikan di dalam satu istilah Buddhist, yaitu "Dhamma." Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa di dalam sebuah masyarakat demokrasi,
masyarakat akan memperoleh keuntungan satu sama lain berdasarkan
penghormatan terhadap Dhamma, dan Dhamma dipegang di atas setiap individu
atau kepentingan pribadi dan golongan.

Masyarakat yang memegang, menghormati dan bersandar pada Dhamma di dalam
Buddha Dhamma disebut "Dhammadhipateyya." Mereka "dikendalikan oleh atau
berpedoman kepada Dhamma." Di dalam sebuah demokrasi yang sukses, semua
orang seyogyanya adalah Dhammadhipateyya, semua seyogyanya memegang
supremasi Dhamma.

Dengan menjunjung tinggi Dhamma, dengan cara mengatasi kesombongan (mana),
kemelekatan (tanha) dan pandangan keliru (ditthi), orang-orang akan dapat
memerintah dirinya sendiri dengan benar. Apabila mereka memiliki kemampuan
ini, demokrasi menjadi kenyataan yang dapat dilihat untuk dipraktikkan.
Orang-orang yang dapat memerintah dirinya sendiri adalah mereka yang
menjunjung tinggi Dhamma. Oleh karena itu demokrasi adalah pemerintahan oleh
orang-orang yang (sebagian besar) Dhammadhipateyya, yang tidak membiarkan
kemelekatan, kesombongan dan pandangan keliru mengatasi Dhamma dan
beroperasi.

Abraham Lincoln menyatakan ungkapan "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan bagi rakyat." Gagasan ini secara luas dipegang sebagai sebuah definisi
baku kata demokrasi. Namun demikian, nampaknya Lincoln tidak bermaksud bahwa
demokrasi semata pemerintahan oleh rakyat. Hal penting dari pernyataannya
adalah hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Apabila kita terlibat
dengan demokrasi, maka kita seyogyanya juga memandang rakyat. Apabila
demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, maka kualitas demokrasi
ditentukan oleh kualitas rakyatnya. Apakah monarki itu baik atau buruk
tergantung dari kualitas kepala monarki itu. Demikian pula, kualitas sebuah
pemerintahan demokratis, di mana rakyat merupakan administratornya, maka
tergantung dari kualitas rakyatnya.

Jenis monarki terbesar adalah monarki universal. Di dalam ajaran Buddha
disebutkan bahwa kepala monarki universal harus memiliki kualitas menjadi
Dhammadhipateyya, ia menjunjung tinggi Dhamma. Seorang kepala monarki yang
tidak menjunjung tinggi Dhamma hanya akan tertarik pada kesenangan dan
kegembiraannya sendiri. Ia akan mengikuti 'mood'nya dan memerintah sesuai
dengan nafsunya, memperlakukan kekuasaannya untuk menekan rakyat. Seorang
kepala monarki yang berpegang teguh kepada Dhamma (Dhammadhipateyya) akan
menggunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk menciptakan manfaat bagi rakyat
di monarkinya dan rakyatnya akan hidup bahagia.

Di dalam sebuah monarki, kekuasaan tertinggi berada di tangan kepala
monarki. Inilah mengapa pemerintahan yang baik tergantung sangat banyak
kepada pribadi kepala monarki yang menjunjung tinggi Dhamma
(Dhammadhipateyya). Di dalam pemerintahan demokrasi, kekuasaan terletak di
tangan rakyat, dan juga tanggung jawab bagi kualitas pemerintahan menjadi
tanggung jawab rakyatnya. Dengan kata lain, di mana pun kekuasaan itu
berada, di situlah seyogyanya ada Dhammadhipateyya.

Apabila rakyat tidak menjunjung tinggi Dhamma, apabila mereka tidak
menggunakan kebijaksanaan tetapi hanya mengikuti nafsu dan pilihannya,
mereka tidak akan dapat memerintah dirinya sendiri dan demokrasi tidak akan
bekerja. Rakyat itu sendirilah yang akan menderita eksploitasi dan tekanan.
Akhirnya mereka akan mengundang seorang diktator untuk mengambil alih
pemerintahan itu dan mengontrolnya.

Agar demokrasi bekerja, rakyat seyogyanya terdidik, dan terlatih untuk
menjadi Dhammadhipateyya, menjunjung tinggi Dhamma. Apabila mereka memiliki
kualitas ini, dapat diekspresikan melalui kendaraan sistem demokrasi.

Karena sistem demokrasi rakyat yang sesungguhnya seyobyanya diperintah oleh
Dhamma, maka wakil terpilihnya juga seyogyanya menjunjung tinggi Dhamma.
Mereka harus mengerti bahwa demokrasi tidak hanya berarti mengikuti
keinginan massa atau membodohi mereka dengan mengambil suaranya. Rakyat
adalah pemegang kekuasaan di dalam demokrasi, walaupun mereka semua harus
tunduk pada hukum di tanah airnya. Sebagai pemegang kekuasaan (melalui
suaranya) kita seyogyanya hati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perangkap
para politisi yang menginginkan suara kita. Kita seyogyanya menjunjung
tinggi Dhamma, dan menghormati para politisi yang mendekati menjunjung
tinggi Dhamma, walaupun mereka mungkin sewaktu-waktu mencegah kita dari
pemuasan nafsu kita.

Menciptakan demokrasi merupakan sebuah tugas berat yang memerlukan daya
upaya kuat, yang berhubungan dengan penggunaan kebijaksanaan. Daya upaya
kuat tidak berarti menjadi ekstrim atau fanatik. Di dalam menghadapi
masalah, kita harus dapat memandang masalah dengan bijaksana dan
terkoordinasi untuk mengatasi penyebabnya dan dengan demikian dapat
memperoleh pemecahan yang realistis.

Kemampuan menyelidiki dengan cara ini bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan
semalam; dibutuhkan waktu lama dan pendidikan yang persisten. Perencanaan
jangka panjang membutuhkan konsistensi dan intelegensia tinggi. Demokrasi
bukanlah komoditi instan yang bisa langsung dipasang (plug and play. Tanpa
pengertian yang cukup atas cara untuk mengembangkan sebuah demokrasi, kita
mungkin akhirnya memboroskan semua tenaga mencari awal jalan dan tidak
pernah mendapatkannya. Permintaan untuk demokrasi seyogyanya didasarkan atas
kesadaran akan bentuk dan inti sarinya. Kebanyakan, permintaan untuk
reformasi demokrasi yang kita dengar akhir-akhir ini adalah untuk bentuk
demokrasi bukan inti sarinya. Permintaan akan demokrasi merupakan efek
permintaan bagi pengembangan, dan hal itu harus dimulai dari diri kita
sendiri. Kita harus dapat memandang diri kita dan melihat apakah ada
demokrasi di dalam batin kita, apakah kita termasuk Dhammadhipateyya. Setiap
orang yang akan memerintah negaranya pertama-tama seyogyanya mengetahui
bagaimana memerintah dirinya. Apabila tiap anggota individu masyarakat tidak
dapat memerintah dirinya sendiri dengan menjunjung tinggi Dhamma, mereka
tidak akan mampu memerintah yang lain atau memerintah negaranya.

6219
Buddhisme untuk Pemula / Re: T i r a t a n a
« on: 10 August 2007, 04:48:37 PM »
 [at] morpheus : sebenarnya banyak kok kisah2 sammuti sangha.... pernah ada cerita dimana ada 2 bhikkhu yang nge-gang terus ribut satu dengan yang laen.... Buddha sudah berusaha memberi nasehat2, namun mereka tetap ribut terus

akhirnya Buddha keluar dari Vihara tersebut dan diam di hutan selama 3 bulan....

ada juga kisah dimana mereka nilep dana......

jadi benernya dari dulu udah banyak bhikkhu2 yang tidak terpuji......

sebenarnya itu sesuatu yang biasa lah bro.... itu kenapa buddhist diharap untuk tidak terpaku pada label "bhikkhu" karena itu sebenarnya adalah kemelekatan....

misal kaya waktu kasus Ferry... org2 pada mencemooh bilang bhikkhu Ferry ngebunuh tuh... yah gw sih cm bilang bahwa Rinpoche tuh beda ama bhikkhu... bahwa rinpoche hanya gelar

dan misal bhikkhu pun yang membunuh, so what??? apa karena 1 bhikkhu membunuh, lalu dibilang buddhism itu jelek???  ;D

sama aja kaya bilang : karena pisau dipake untuk membunuh, lalu orang harus menjauhi pisau ???
..... atau karena TV banyak menyiarkan kekerasan dan seksualitas, lalu TV dilarang kaya di Afganishtan waktu jaman Taliban???  ;D

moga bisa memperjelas yah, bro..........

6220
Buddhisme untuk Pemula / Re: Keinginan untuk melenyapkan penderitaan
« on: 10 August 2007, 04:30:04 PM »
Penyebab penderitaan adalah Keinginan = Tanha

Namun keinginan untuk melenyapkan penderitaan, bukan Tanha melainkan Viriya.....

Cirinya gampang aja kok... Viriya ini akan bersekutu dengan Alobha, Adosa dan Amoha....

Bukannya penyebab penderitaan adalah avidja? Avidja = kebodohan batin. Jika avidjanya hilang, apakah keinginan sendiri itu hilang? Apakah seorang Buddha tidak akan merasakan sesuatu lagi? Patticca Sammupadda lho. :)

dear bro....

justru jika anda melihat ke paticca sammupada, akan bisa melihat bahwa setelah ada kontak, maka timbul keinginan.. .setelah keinginan, muncul perasaan/vedana..... dst.....

avijja dalam hal ini betul jika dilihat sebagai landasan awal berputarnya paticca samuppada...

nah pernahkah tahu bagaimana memulai untuk memutus rantai paticca samuppada???  ^-^

nanti disitu anda akan tahu kenapa Tanha disebut sebagai penyebab penderitaan.....

6221
Buddhisme untuk Pemula / Re: Adakah Neraka pada Buddhism ?
« on: 10 August 2007, 04:15:22 PM »
 [at] 7th : soal neraka, bukannya elu udah jawab sendiri sebelumnya???

Quote
Niraya merupakan tempat siksaan yang tidak terbayangkan... Sama sekali tidak ada kebahagiaan (sukkha) disini, yang ada hanya penderitaan (dukkha). Jika melakukan perbuatan yang sangat merugikan seperti membunuh, maka pikiran akan terkondisi negatif, jika meninggal dalam kondisi pikiran seperti ini, maka seseorang itu sudah pasti akan terlahir di alam dengan siksaan hebat ini, dalam waktu yang sangat lama. Harus diketahui bahwa tidak ada 'sosok' yang mengadili/memberikan hukuman neraka disini, ini juga murni merupakan hasil dari hukum sebab akibat... (sumber : the 31 planes of existence)

kalo beneran ada tukang siksanya, kasian bener mereka itu......  ;D

6222
Buddhisme untuk Pemula / Re: Keinginan untuk melenyapkan penderitaan
« on: 10 August 2007, 02:20:07 PM »
Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Mulia (Four Noble Truths / Cattāri ariyasaccāni / Catvāri āryasatyāni),

Dikatakan bahwa penyebab penderitaan adalah keinginan.
Bagaimana dengan keinginan untuk melenyapkan penderitaan?
Apakah keinginan seperti ini juga merupakan penyebab penderitaan?

Marilah berdiskusi...


Penyebab penderitaan adalah Keinginan = Tanha

Namun keinginan untuk melenyapkan penderitaan, bukan Tanha melainkan Viriya.....

Cirinya gampang aja kok... Viriya ini akan bersekutu dengan Alobha, Adosa dan Amoha....

6223
Buddhisme untuk Pemula / TUBUH INI PABRIK KIMIA
« on: 10 August 2007, 01:43:46 PM »
by Selamat Rodjali



Makin canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah kita rasakan dampaknya. Dampak positif tak perlu dipungkiri lagi. Segi kesehatan tidak terkecuali. Banyak alat dan obat-obatan digunakan untuk mengobati penyakit yang gejalanya dapat diamati pada tubuh pasien. Dunia modern yang serba cepat secara tak disadari telah mengubah sebagian besar pola hidup, kepribadian dan cara berpikir orang-orang yang terlibat di dalamnya. Akibatnya banyak pula ragam penyakit yang muncul. Beberapa dapat disembuhkan dengan alat dan obat mutahir, di pihak lain banyak pula penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan alat dan obat mutahir, walaupun saat diobati mungkin sembuh sejenak. Dunia komersialisasi telah merasuk ke dalam
kedokteran dan rumah-rumah sakit, dan mereka secara sadar telah mengabaikan sisi potensi pasien dengan memanfaatkan ke-awam-an pasien akan potensi dirinya, sehingga pasien tergantung pada alat, obat dan dokter itu dan uang terus mengalir dari kantong pasien ke kantong 'penyembuh sementara'.

Bagaimanakah potensi pasien sesungguhnya bila ditinjau secara psikologi?

Tubuh manusia, sesungguhnya memiliki banyak pusat yang dapat membuat berbagai zat yang dapat digunakan untuk kesehatan manusia itu. Semua pabrik yang tersebar di seluruh tubuh manusia bekerja selaras secara otomatis. Pabrik kimia atau obat di seluruh dunia ini tidak dapat menandingi pabrik-pabrik kimia di dalam tubuh manusia. Pabrik-pabrik ini akan bekerja secara teratur apabila manusia tersebut hidupnya teratur. Pabrik-pabrik kimia di dalam tubuh manusia dapat bekerja dengan adanya bahan baku makanan dari luar dan bahan-bahan sumber daya yang telah ada di dalam tubuh manusia itu. Melalui makanan, minuman yang bereaksi di dalam tubuh manusia, bahan baku itu akhirnya sampai ke pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh tubuh manusia. apabila tubuh manusia terkontaminasi suatu kuman, maka tubuh secara langsung menggiatkan pabrik zat anti bodi, sehingga kuman tersebut dapat segera dihadang dan dihancurkan. Orang sakit yang beristirahat dengan makan, minum, buang air kecil dan buang air besar, serta tidur dengan sempurna akan mengalami kesembuhan yang lebih cepat. Dengan beristirahat, tenaga yang tidak terpakai tersebut digunakan untuk menggiatkan pusat-pusat pabrik kimia yang memproduksi zat-zat yang mempertahankan tubuh kita.

Lalu, apakah yang menggerakkan pabrik-pabrik itu sehingga berjalan otomatis?
Menurut psikologi Buddhist, pabrik-pabrik yang tersebar di seluruh tubuh kita berproses digerakkan oleh empat kekuatan kondisi, yaitu:

1. perbuatan

2. pikiran

3. makanan

4. temperatur/kelembaban/udara

Makanan, temperatur/kelembaban/udara merupakan kondisi luar (bahan luar) yang mudah dimanipulasi dan diatur pemakaiannya, tetapi motor utama yang sesungguhnya adalah perbuatan dan pikiran, karena tanpa perbuatan dan pikiran ini, tubuh manusia sama saja dengan sebatang kayu. Keteraturan melakukan sesuatu dan berpikir dikombinasikan dengan keteraturan penggunaan bahan makanan serta pengaturan temperatur, kelembaban, udara yang tepat akan membuat pabrik-pabrik kita ini berfungsi dengan prima, teratur dan selaras dan dapat memproduksi zat-zat penjaga kesehatan, anti bodi, zat penyembuh dalam jumlah yang optimum dan kontinyu dengan perbandingan yang seimbang sehingga tidak mungkin terjadi kesembuhan pada satu bagian sedangkan bagian tubuh lain sakit.

Dulu semua orang setuju bahwa 'kolesterol darah yang tinggi' harus diobati dengan obat anti kolesterol. Kemudian dunia ilmiah kedokteran menyatakan 'tidak usah diobati', bahkan obat anti kolesterol itu berbahaya bagi sel-sel hati. Perubahan pendapat sekali lagi terjadi bahwa khasiat buruk obat 'anti kolesterol' tidak sejahat itu. Contoh fakta-fakta yang dapat dimengerti, sedikit mengungkapkan segi komersial yang mungkin terselip di dalam permasalahan sekitar 'kolesterol' dan obat 'anti kolesterol'. Ternyata uang telah membengkokkan yang lurus. Kasus-kasus juga terjadi pada aplikasi 'traksi' bagi para 'penderita sakit kepala atau sakit pinggang.' Mengenai traksi ini, manfaatnya dinyatakan memang ada, tetapi penggunaan yang 'asal saja', yang  erarti 'secaratepat atau tidak tepat', sudah menjuruskan traksi itu ke arah komersialisasi. Dengan traksi, lubang antara ruas tulang belakang bagian leher dapat direnggangkan 2 sampai 4 mm. Pelonggaran selama traksi dilakukan memberi kesempatan bagi darah untuk dapat mengalir lagi secara deras ke daerah yang bersangkutan. Karena itu sembab bisa hilang, juga berkas saraf yang letaknya disudutkan oleh penyempitan dapat mengambil posisi yang lebih menguntungkan. Namun traksi juga bisa menyebabkan herniasi.

Traksi hanya dibutuhkan apabila memang terdapat tanda-tanda bahwa suatu berkas saraf leher atau pinggang terjepit atau terdesak, dengan dua tanda penting, yaitu:

1. Saraf terjepit, teregang, terdesak atau tertekan harus menimbulkan 3 gejala, yaitu perasaan kesemutan, perasaan baal dan nyeri pada lengan (untuk sakit leher) atau pada tungkai (untuk sakit pinggang).

2. Foto sinar tembus tulang belakang harus menggambarkan keadaan yang sesuai dengan kawasan nyeri, kesemutan, baal bahkan perasaan seperti terkena kontak listrik yang terasa di lengan atau tungkai.

Bila kedua hal ini tidak kompatibel, maka kesimpulan bahwa saraf terjepit adalah 'ngawur.'

Sakit yang bukan akibat saraf terjepit, teregang, terdesak ini, sesungguhnya dapat disembuhkan oleh pabrik-pabrik kimia yang tersebar di seluruh tubuh. Pasien harus melatih perbuatan, pikiran dan mengatur makanan, suhu/kelembaban tubuh dan lingkungannya dengan teratur dan tepat sehingga proses kesembuhan dapat berjalan lancar. Mengatur makanan dan kondisi lingkungan mungkin saja masih dapat dilakukan sendiri, tapi bagi orang-orang tertentu, proses perbuatan dan pikiran tidak mudah mengaturnya. Mungkin bagi orang ini diperlukan orang 'khusus' yang mengerti aksi-reaksi perbuatan dan pikiran terhadap jasmani. Proses aksi-reaksi perbuatan dan pikiran terhadap jasmani ini memerlukan pembahasan yang cukup panjang. Tetapi yang paling penting bagi kita, janganlah cepat memutuskan untuk operasi jasmani dan sebagainya tanpa mengetahui sebab penyakit yang pasti, karena potensi pabrik-pabrik kimia di dalam tubuh kita memegang peranan yang sangat penting bagi kesembuhan penyakit.

Catatan: Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk menolak kecanggihan obat-obatan, alat dan ilmu bedah mutahir, tetapi penulis bermaksud memberikan semacam 'warning' bahwa janganlah kita terlalu cepat mengambil keputusan sebelum melihat penyebab yang pasti dan kemampuan potensi diri sendiri dalam proses kesembuhan penyakit. Penulis menyadari bahwa teknologi mutahir sangat banyak manfaatnya, tetapi juga tak dapat dipungkiri bahwa teknologi mutahir belum tentu dapat menyembuhkan segala macam penyakit, salah satunya penyakit dalam kaitannya dengan kondisi mental pasien (penyakit psikosomatis atau psikogenik). Sebagai pasien kita harus waspada terhadap segi komersialisasi di bidang kesehatan.

6224
Sutta Vinaya / Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri Kaum Vajji
« on: 10 August 2007, 11:37:04 AM »
Syair 302
XXI. (6) Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri Kaum Vajji

Pada malam bulan purnama di bulan Kattika, penduduk Vesali merayakan festival perbintangan (nakkhatta) secara besar-besaran. Seluruh kota bersinar, dan ada banyak hiburan, dengan nyanyian, tarian, dll. Ketika itu ada seorang bhikkhu yang sedang melihat ke arah kota, sambil berdiri sendiri di vihara. Bhikkhu itu merasa kesepian dan tidak puas dengan keadaannya.

Perlahan, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak ada seorang pun yang keadaannya lebih buruk dariku." Saat itu juga, makhluk halus penjaga hutan menghampirinya dan berkata, "Makhluk-makhluk di alam neraka (niraya) iri hati terhadap keadaan makhluk-makhluk di alam dewa; demikian pula orang-orang iri hati dengan keadaan mereka yang hidup sendiri di dalam hutan." Mendengar kata-kata ini, bhikkhu tersebut menyadari kebenaran kata-kata itu dan ia menyesal bahwa ia telah berpikir sedemikian sempit terhadap keadaan seorang bhikkhu.

Pagi-pagi buta pada keesokan harinya, bhikkhu tersebut pergi menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian itu. Dalam jawaban Beliau, Sang Buddha menceritakan kepadanya tentang betapa sulitnya kehidupan semua makhluk.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 302 berikut :

Sungguh sukar untuk menempuh kehidupan tanpa rumah (Pabbajja); sungguh sukar untuk bergembira dalam menempuh kehidupan tanpa rumah. Kehidupan rumah tangga adalah sukar dan menyakitkan. Tinggal bersama mereka yang tidak sesuai sungguh menyakitkan. Hidup mengembara dalam proses tumimbal lahir (Samsara) juga menyakitkan. Karena itu janganlah menjadi pengembara (dalam samsara), atau menjadi pengejar penderitaan.

Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma berakhir.

6225
Theravada / Re: Abhidhamma Pernahkah di Sabdakan Oleh Sang Buddha?
« on: 09 August 2007, 12:09:46 PM »
Salam metta,

Akhir akhir ini, sungguh banyak cobaan yang terjadi dalam hidup saya, banyak membaca forum buddhist, banyak belajar, ternyata tidak memberikan solusi. Terus terang saya masih sangat baru dalam agama Buddha. Semakin banyak forum dan milist yang saya baca, semakin membuat saya binggung. Di setiap forum dan milist saya pasti menemukan adanya pertengkaran dan saling mencaci maki. Bingung juga, sampai akhirnya someday malah akunya sendiri yang marah marah baca forum tersebut. Akhirnya aku membaca suatu artikel yang berjudul karunacitta, even gak  ngerti tentang karunacitta, aku baca dan kemudian bertanya pada orang yang mengerti. Step by step, my life is changing.

Pelajari teori, kemudian disaring dulu, apakah benar teori tersebut, pikirkan dengan logika, analisa masalah, terapkan dalam kehidupan. Itulah yang terjadi pada hidupku kemudian. Perlahan hidupku penuh dengan perubahan. Mulai mengerti bagaimana menjalani hidup, latihanlah yang membuat semua menjadi nyata. Pemahaman inilah yang harus digunakan dalam kehidupan sehari hari. Walaupun saya masih belom mempelajari abhidhamma secara seksama, namun mulai merasakan perubahan dari mempelajari abhidhamma, nyata langsung dalam kehidupan. First of all, belajar karunacitta, mempraktekkan karunacitta, mengessensi kegunaan karunacitta. Dasar inilah yang menimbulkan pemahaman dan  pembelajaran selanjutnya. Jadi menurut saya pembelajaran itu perlu, kalau nggak ada teori darimana bisa dapat praktek. Kalo menilai teori tidak baik, berarti kita harus pelajari dulu dong teorinya.

Anumodana...., salam metta

dear sis Susi,

sangat senang mendengar bagaimana hidup anda menjadi lebih "terang"

memang demikianlah sebenarnya abhidhamma.... harus dan wajib diterapkan dalam kehidupan sehari2....

itu knp dalam bbrp kesempatan, saya seringkali bilang bahwa abhidhamma = vipassana dalam kehidupan sehari2

Pages: 1 ... 408 409 410 411 412 413 414 [415] 416 417 418 419 420
anything