//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - markosprawira

Pages: 1 ... 406 407 408 409 410 411 412 [413] 414 415 416 417 418 419 420
6181
Buddhisme untuk Pemula / Re: Apakah di Buddhim ada Doa kepada Mr. X
« on: 22 August 2007, 12:09:17 PM »
 [at] 7th : yup betul banget......

dah jelas beda sudut pandang khan???  ;)

6182
Buddhisme untuk Pemula / Re: Adakah Neraka pada Buddhism ?
« on: 22 August 2007, 11:24:00 AM »
waduh.. .cape bacanya deh....... :o

6183
Buddhisme untuk Pemula / Re: ANTARA KEBAHAGIAAN DAN PERBUATAN BAIK.
« on: 22 August 2007, 10:27:50 AM »
Sang Arahat

"Para bhikkhu, bhikkhu ini disebut orang yang tangkainya terangkat, yang
paritnya terisi, yang tiangnya tercabut, yang tidak berpalang, orang mulia
yang panjinya turun, yang bebannya turun, yang tidak terbelenggu.

"Dan bagaimana seorang bhikkhu yang tangkainya terangkat? Di sini bhikkhu
tersebut telah meninggalkan ketidaktahuan, telah memotongnya di akarnya,
membuatnya laksana tunggul palem, membuatnya tiada, sehingga tidak bakal
terkena kemunculan. Demikianlah seorang bhikkhu yang tangkainya terangkat.

"Dan bagaimana seorang bhikkhu yang paritnya terisi? Di sini bhikkhu
tersebut telah meninggalkan daur kelahiran yang melanjutkan keberadaan,
telah memotongnya di akarnya ... sehingga tidak bakal terkena kemunculan.
Demikianlah seorang bhikkhu yang paritnya terisi.

"Dan bagaimana seorang bhikkhu yang tiangnya tercabut? Di sini bhikkhu
tersebut telah meninggalkan pengidaman, telah memotongnya di akarnya ...
sehingga tidak bakal terkena kemunculan. Demikianlah seorang bhikkhu yang
tiangnya tercabut.

"Dan bagaimana seorang bhikkhu yang tidak berpalang? Di sini bhikkhu
tersebut telah meninggalkan lima belenggu pertama, telah memotongnya di
akarnya ... sehingga tidak bakal terkena kemunculan. Demikianlah seorang
bhikkhu yang tidak berpalang.

"Dan bagaimana seorang bhikkhu mulia yang panjinya turun, yang bebannya
turun, yang tidak terbelenggu? Di sini bhikkhu tersebut telah meninggalkan
kecongkakan 'aku ada,' telah memotongnya di akarnya ... sehingga tidak bakal
terkena kemunculan. Demikianlah seorang bhikkhu mulia yang panjinya turun,
yang bebannya turun, yang tidak terbelenggu.

"Para bhikkhu, tatkala para dewa beserta Indra, Brahma dan Pajapati mencari
bhikkhu yang hatinya terbebas demikian, mereka tidak temukan: 'Kesadaran
dari orang yang telah pergi demikian didukung oleh ini.' Mengapa demikian?
Orang yang telah pergi demikian, kukatakan, tidak terlacak kini di sini.

Penghujatan terhadap Sang Tathagata

"Berkata demikian, para bhikkhu, menyatakan demikian, aku telah dihujat
dengan tanpa dasar, sia-sia, keliru, dan salah oleh beberapa pertapa dan
brahmana: 'Pertapa Gotama itu menyesatkan; ia mengajarkan pemusnahan,
pembinasaan, & peniadaan makhluk yang ada.' Karena aku tidak, karena aku
tidak mengatakannya, maka aku telah dihujat dengan tanpa dasar, sia-sia,
keliru, dan salah oleh beberapa pertapa dan brahmana: 'Pertapa Gotama itu
menyesatkan; ia mengajarkan pemusnahan, pembinasaan, & peniadaan makhluk
yang ada.'

"Para bhikkhu, baik dahulu dan sekarang apa yang aku ajarkan adalah
penderitaan dan penghentian penderitaan. Jika orang-orang lain lantas
menghina, mencerca, mencaci, & melecehkan Sang Tathagata, Sang Tathagata
tidak merasa terusik, jengkel, atau kesal di hati karenanya. Dan jika
orang-orang lain lantas menghargai, menghormati, menjunjung, & memuja Sang
Tathagata, Sang Tathagata tidak merasa gembira, senang, atau girang di hati
karenanya. Jika orang-orang lain lantas menghargai, menghormati, menjunjung,
& memuja Sang Tathagata, Sang Tathagata berpikir demikian karenanya: 'Mereka
melakukan perbuatan seperti itu untuk apa yang sebelumnya telah dimengerti
sepenuhnya.'

"Oleh sebab itu, para bhikkhu, jika orang-orang lain menghina, mencerca,
mencaci, & melecehkan kalian, kalian hendaknya tidak merasa terusik,
jengkel, atau kesal di hati karenanya. Dan jika orang-orang lain menghargai,
menghormati, menjunjung, & memuja kalian, kalian hendaknya tidak merasa
gembira, senang, atau girang di hati karenanya. Bila orang-orang lain
menghargai, menghormati, menjunjung, & memuja kalian, kalian hendaknya
berpikir demikian karenanya: 'Mereka melakukan perbuatan seperti itu untuk
apa yang sebelumnya telah dimengerti sepenuhnya.'

Bukan Milik Kalian

"Oleh sebab itu, para bhikkhu, apa pun yang bukan milik kalian, lepaskanlah;
tatkala kalian telah melepaskannya, itu akan menimbulkan kesejahteraan dan
kebahagiaan jangka panjang kalian. Apakah yang bukan milik kalian? Bentuk
bukan milik kalian, lepaskanlah; tatkala kalian telah melepaskannya, itu
akan menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kalian.
Perasaan bukan milik kalian, lepaskanlah; tatkala kalian telah
melepaskannya, itu akan menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan jangka
panjang kalian. Pencerapan bukan milik kalian, lepaskanlah; tatkala kalian
telah melepaskannya, itu akan menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan
jangka panjang kalian. Pengondisi-pengondisi bukan milik kalian,
lepaskanlah; tatkala kalian telah melepaskannya, itu akan menimbulkan
kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kalian. Kesadaran bukan milik
kalian, lepaskanlah; tatkala kalian telah melepaskannya, itu akan
menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kalian.

"Para bhikkhu, bagaimana kalian pikir? Jika orang-orang mengambil
rerumputan, ranting-ranting, dahan-dahan, dan dedaunan dalam Hutan Jeta ini,
atau membakarnya, atau melakukan apa yang mereka sukai terhadapnya, akankah
kalian berpikir: 'Orang-orang mengambil kami atau membakar kami atau
melakukan apa yang mereka sukai terhadap kami'?"

"Tidak, bhante."

"Mengapa begitu?"

"Oleh karena itu bukan diri kami maupun apa yang dipunyai diri kami."

"Begitu pula, para bhikkhu, apa pun yang bukan milik kalian, lepaskanlah;
tatkala kalian telah melepaskannya, itu akan menimbulkan kesejahteraan dan
kebahagiaan jangka panjang kalian. Bentuk bukan milik kalian ... Perasaan
bukan milik kalian ... Pencerapan bukan milik kalian ...
Pengondisi-pengondisi bukan milik kalian ... Kesadaran bukan milik kalian,
lepaskanlah; tatkala kalian telah melepaskannya, itu akan menimbulkan
kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kalian.

Dalam Dhamma Ini

"Para bhikkhu, Dhamma ini dinyatakan dengan baik olehku demikian jelas,
terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang dinyatakan dengan
baik olehku demikian jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, tiada
perputaran demi pengejawantahan bagi para bhikkhu yang arahat dengan
noda-noda berakhir, yang telah mencapai pemenuhan, melaksanakan tugas,
menurunkan beban, meraih tujuan sejati, sepenuhnya memutuskan belenggu
keberadaan, dan terbebas melalui gnosis yang benar.

"Para bhikkhu, Dhamma ini dinyatakan dengan baik olehku demikian jelas,
terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang dinyatakan dengan
baik olehku demikian jelas ... bebas dari tambalan, bagi para bhikkhu yang
telah melepaskan lima belenggu pertama, mereka semua akan muncul seketika
[di Kediaman Suci], dan di sana Padam sepenuhnya, takkan kembali dari alam
itu.

"Para bhikkhu, Dhamma ini dinyatakan dengan baik olehku demikian jelas,
terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang dinyatakan dengan
baik olehku demikian jelas ... bebas dari tambalan, bagi para bhikkhu yang
telah melepaskan tiga belenggu, serta meredakan nafsu, kebencian, & waham,
mereka semua para pengembali-sekali, yang kembali sekali lagi ke dunia ini
untuk mengakhiri penderitaan.

"Para bhikkhu, Dhamma ini dinyatakan dengan baik olehku demikian jelas,
terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang dinyatakan dengan
baik olehku demikian jelas ... bebas dari tambalan, bagi para bhikkhu yang
melepaskan tiga belenggu, mereka semua para pemasuk-arus, takkan terkena
alam sengsara, terjamin, dan menuju Swabangun.

"Para bhikkhu, Dhamma ini dinyatakan dengan baik olehku demikian jelas,
terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang dinyatakan dengan
baik olehku demikian jelas ... bebas dari tambalan, bagi para bhikkhu yang
merupakan pengikut-Dhamma atau pengikut-keyakinan, mereka semua menuju
Swabangun.

"Para bhikkhu, Dhamma ini dinyatakan dengan baik olehku demikian jelas,
terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang dinyatakan dengan
baik olehku demikian jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, bagi
yang punya sekadar keyakinan kepadaku, sekadar kasih kepadaku, mereka semua
menuju surga."

Inilah yang Sang Bhagava katakan. Merasa puas, para bhikkhu bergembira atas
kata-kata Sang Bhagava.

6184
Buddhisme untuk Pemula / Re: ANTARA KEBAHAGIAAN DAN PERBUATAN BAIK.
« on: 22 August 2007, 10:27:04 AM »
Sudut Pandang

"Para bhikkhu, terdapat enam sudut pandang ini. Enam yang mana? Di sini,
para bhikkhu, seorang biasa yang tidak menyimak -- yang tidak menghargai
para mulia serta tidak pandai dan berdisiplin dalam Dhamma mulia, yang tidak
menghargai insan-insan sejati serta tidak pandai dan berdisiplin dalam
Dhamma insan sejati -- menganggap bentuk sebagai, 'Ini milikku, ini adalah
aku, ini diriku.' Ia menganggap perasaan sebagai, 'Ini milikku, ini adalah
aku, ini diriku.' Ia menganggap pencerapan sebagai, 'Ini milikku, ini adalah
aku, ini diriku.' Ia menganggap pengondisi-pengondisi sebagai, 'Ini milikku,
ini adalah aku, ini diriku.' Ia menganggap apa yang dilihat, didengar,
dirasa, dikenali, ditemukan, dicari, dinilai dalam benak sebagai, 'Ini
milikku, ini adalah aku, ini diriku.' Beserta sudut pandang ini, 'Diri ini
dunia ini; sesudah kematian aku akan kekal, menetap, abadi, tidak terkena
perubahan; aku akan bertahan sepanjang keabadian' -- ini pun ia
menganggapnya sebagai, 'Ini milikku, ini adalah aku, ini diriku.'

"Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang menyimak -- yang menghargai para
mulia serta pandai dan berdisiplin dalam Dhamma mulia, yang menghargai
insan-insan sejati serta pandai dan berdisiplin dalam Dhamma insan sejati --
menganggap bentuk sebagai, 'Ini bukan milikku, ini bukanlah aku, ini bukan
diriku.' Ia menganggap perasaan sebagai, 'Ini bukan milikku, ini bukanlah
aku, ini bukan diriku.' Ia menganggap pencerapan sebagai, 'Ini bukan
milikku, ini bukanlah aku, ini bukan diriku.' Ia menganggap
pengondisi-pengondisi sebagai, 'Ini bukan milikku, ini bukanlah aku, ini
bukan diriku.' Ia menganggap apa yang dilihat, didengar, dirasa, dikenali,
ditemukan, dicari, dinilai dalam benak sebagai, 'Ini bukan milikku, ini
bukanlah aku, ini bukan diriku.' Beserta sudut pandang ini, 'Diri ini dunia
ini; sesudah kematian aku akan kekal, menetap, abadi, tidak terkena
perubahan; aku akan bertahan sepanjang keabadian' -- ini pun ia
menganggapnya sebagai, 'Ini bukan milikku, ini bukanlah aku, ini bukan
diriku.'

"Oleh karena ia menganggapnya demikian, ia tidak gundah tentang apa yang
tidak ada."

Kegundahan

Tatkala ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu bertanya kepada Sang
Bhagava: "Bhante, bisakah terdapat kegundahan tentang apa yang tidak ada di
luar?"

"Bisa, bhikkhu," Sang Bhagava berkata. "Di sini, bhikkhu, seseorang berpikir
demikian: 'Aduh, aku punya itu! Aduh, aku tidak punya itu lagi! Aduh, semoga
aku punya itu! Aduh, aku tidak dapat itu!' Lantas ia bersedih, berduka, dan
meratap, ia menangis memukuli dadanya dan menjadi putus asa. Inilah
bagaimana terdapat kegundahan tentang apa yang tidak ada di luar."

"Bhante, bisakah tidak terdapat kegundahan tentang apa yang tidak ada di
luar?"

"Bisa, bhikkhu," Sang Bhagava berkata. "Di sini, bhikkhu, seseorang tidak
berpikir demikian: 'Aduh, aku punya itu! Aduh, aku tidak punya itu lagi!
Aduh, semoga aku punya itu! Aduh, aku tidak dapat itu!' Lantas ia tidak
bersedih, berduka, dan meratap, ia tidak menangis memukuli dadanya dan
menjadi putus asa. Inilah bagaimana tidak terdapat kegundahan tentang apa
yang tidak ada di luar."

"Bhante, bisakah terdapat kegundahan tentang apa yang tidak ada di dalam?"

"Bisa, bhikkhu," Sang Bhagava berkata. "Di sini, bhikkhu, seseorang
mempunyai pandangan: 'Diri ini dunia ini; sesudah kematian aku akan kekal,
menetap, abadi, tidak terkena perubahan; aku akan bertahan sepanjang
keabadian.' Ia mendengar seorang Tathagata atau siswanya mengajarkan Dhamma
demi lenyapnya semua sudut pandang, keputusan, ketergilaan, penganutan, dan
kecenderungan terpendam, demi heningnya semua pengondisi, demi lepasnya
semua kelekatan, demi berakhirnya pengidaman, demi nirnafsu, demi
penghentian, demi Kepadaman (Nibbana). Ia berpikir demikian: 'Aku akan
musnah! Aku akan binasa! Aku akan tidak ada lagi!' Lantas ia bersedih,
berduka, dan meratap, ia menangis memukuli dadanya dan menjadi putus asa.
Inilah bagaimana terdapat kegundahan tentang apa yang tidak ada di dalam."

"Bhante, bisakah tidak terdapat kegundahan tentang apa yang tidak ada di
dalam?"

"Bisa, bhikkhu," Sang Bhagava berkata. "Di sini, bhikkhu, seseorang tidak
mempunyai pandangan: 'Diri ini dunia ini ... aku akan bertahan sepanjang
keabadian.' Ia mendengar seorang Tathagata atau siswanya mengajarkan Dhamma
demi lenyapnya semua sudut pandang, keputusan, ketergilaan, penganutan, dan
kecenderungan terpendam, demi heningnya semua pengondisi, demi lepasnya
semua kelekatan, demi berakhirnya pengidaman, demi nirnafsu, demi
penghentian, demi Kepadaman (Nibbana). Ia tidak berpikir demikian: 'Aku akan
musnah! Aku akan binasa! Aku akan tidak ada lagi!' Lantas ia tidak bersedih,
berduka, dan meratap, ia tidak menangis memukuli dadanya dan menjadi putus
asa. Inilah bagaimana tidak terdapat kegundahan tentang apa yang tidak ada
di dalam."

Tidak Kekal dan Bukan Diri

"Para bhikkhu, kalian boleh saja memiliki suatu milik yang kekal, menetap,
abadi, tidak terkena perubahan, dan yang bisa bertahan sepanjang keabadian.
Namun apakah kalian melihat suatu milik yang seperti itu?"

"Tidak, bhante."

"Bagus, para bhikkhu. Aku pun sama tidak melihat suatu milik yang kekal,
menetap, abadi, tidak terkena perubahan, dan yang bisa bertahan sepanjang
keabadian.

"Para bhikkhu, kalian boleh saja melekat pada suatu konsep diri yang tidak
menimbulkan kesedihan, ratapan, penderitaan, kemurungan, dan keputusasaan
bagi orang yang melekat padanya. Namun apakah kalian melihat suatu konsep
diri yang seperti itu?"

"Tidak, bhante."

"Bagus, para bhikkhu. Aku pun sama tidak melihat suatu konsep diri yang
tidak menimbulkan kesedihan, ratapan, penderitaan, kemurungan, dan
keputusasaan bagi orang yang melekat padanya.

"Para bhikkhu, kalian boleh saja mendukung suatu pandangan yang tidak
menimbulkan kesedihan, ratapan, penderitaan, kemurungan, dan keputusasaan
bagi orang yang mendukungnya. Namun apakah kalian melihat suatu pandangan
yang seperti itu?"

"Tidak, bhante."

"Bagus, para bhikkhu. Aku pun sama tidak melihat suatu pandangan yang tidak
menimbulkan kesedihan, ratapan, penderitaan, kemurungan, dan keputusasaan
bagi orang yang mendukungnya.

"Para bhikkhu, dengan adanya diri, akankah apa yang dipunyai diriku itu ada?

"Ya, bhante."

"Atau, dengan adanya apa yang dipunyai diri, akankah diriku itu ada?

"Ya, bhante."

"Para bhikkhu, oleh karena diri dan apa yang dipunyai diri tidak diterima
sebagai kebenaran dan berdasar, maka sudut pandang ini: 'Diri ini dunia ini;
sesudah kematian aku akan kekal, menetap, abadi, tidak terkena perubahan;
aku akan bertahan sepanjang keabadian' -- tidakkah ini sebuah ajaran yang
sungguh sangat dungu?"

"Tidak bisa lain, bhante. Itu sebuah ajaran yang sungguh sangat dungu."

"Para bhikkhu, bagaimana kalian pikir? Bentuk itu kekal atau tidak kekal?"

"Tidak kekal, bhante."

"Apa yang tidak kekal itu menderita atau membahagiakan?"

"Menderita, bhante."

"Apa yang tidak kekal, menderita, dan terkena perubahan itu pantaskah untuk
dianggap sebagai: "Ini milikku, ini adalah aku, ini diriku?"

"Tidak, bhante."

"Para bhikkhu, bagaimana kalian pikir? Perasaan itu ... pencerapan itu ...
pengondisi-pengondisi itu ... kesadaran itu kekal atau tidak kekal?"

"Tidak kekal, bhante."

"Apa yang tidak kekal itu menderita atau membahagiakan?"

"Menderita, bhante."

"Apa yang tidak kekal, menderita, dan terkena perubahan itu pantaskah untuk
dianggap sebagai: 'Ini milikku, ini adalah aku, ini diriku'?"

"Tidak, bhante."

"Oleh karena itu, para bhikkhu, jenis bentuk apa pun, entah itu lampau,
mendatang, atau sekarang, di dalam atau di luar, kasar atau halus, hina atau
agung, jauh atau dekat, semua bentuk hendaknya dilihat sebagaimana adanya
dengan kearifan yang benar: 'Ini bukan milikku, ini bukanlah aku, ini bukan
diriku.' Jenis perasaan apa pun, entah itu ... jenis pencerapan apa pun,
entah itu ... jenis pengondisi-pengondisi apa pun, entah itu ... jenis
kesadaran apa pun, entah itu lampau, mendatang, atau sekarang, di dalam atau
di luar, kasar atau halus, hina atau agung, jauh atau dekat, semua kesadaran
hendaknya dilihat sebagaimana adanya dengan kearifan yang benar: 'Ini bukan
milikku, ini bukanlah aku, ini bukan diriku.'

"Melihat demikian, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang menyimak menjadi
tidak terpikat dengan bentuk, tidak terpikat dengan perasaan, tidak terpikat
dengan pencerapan, tidak terpikat dengan pengondisi-pengondisi, tidak
terpikat dengan kesadaran.

"Tidak terpikat, ia menjadi tidak bernafsu. Tidak bernafsu, ia menjadi
terbebas. Tatkala ia terbebas, pengetahuan datang: 'Terbebas.' Ia memahami:
'Kelahiran berakhir, kehidupan suci terpenuhi, tugas terlaksana, tiada lagi
demi dunia ini.'

6185
Buddhisme untuk Pemula / Re: ANTARA KEBAHAGIAAN DAN PERBUATAN BAIK.
« on: 22 August 2007, 10:26:34 AM »
Tamsil Ular

"Di sini, para bhikkhu, beberapa orang sesat mempelajari Dhamma --
khotbah-khotbah, bait-bait, risalat-risalat, syair-syair, sabda-sabda,
pepatah-pepatah, cerita-cerita kelahiran, mukjizat-mukjizat, dan tanya-jawab
-- namun setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa makna dari
ajaran-ajaran itu dengan kearifan. Tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran
itu dengan kearifan, mereka tidak menerima renungan darinya. Alih-alih
mereka mempelajari Dhamma hanya untuk mengecam orang lain dan untuk
memenangkan perdebatan, serta mereka tidak mengalami kebaikan sebagai tujuan
mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, dengan keliru ditangkap oleh mereka,
menghantarkan celaka dan penderitaan jangka panjang mereka. Mengapa begitu?
Karena keliru menangkap ajaran-ajaran itu.

"Andaikan ada orang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, &
menyelusur mencari seekor ular. Ia melihat seekor ular besar dan menangkap
gelungan atau ekornya. Ular itu akan berbalik kepadanya dan menggigit
tangannya atau lengannya atau salah satu anggota badannya, dan oleh sebab
itu ia akan tiba pada kematian atau penderitaan lirmati. Mengapa begitu?
Karena keliru menangkap ular itu. Demikian pula, di sini beberapa orang
sesat mempelajari Dhamma ... Mengapa begitu? Karena keliru menangkap
ajaran-ajaran itu.

"Di sini, para bhikkhu, beberapa putra suku mempelajari Dhamma --
khotbah-khotbah ... tanya-jawab -- dan setelah mempelajari Dhamma, mereka
memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kearifan. Memeriksa makna dari
ajaran-ajaran itu dengan kearifan, mereka menerima renungan darinya. Mereka
tidak mempelajari Dhamma untuk mengecam orang lain dan untuk memenangkan
perdebatan, serta mereka mengalami kebaikan sebagai tujuan mempelajari
Dhamma. Ajaran-ajaran itu, dengan benar ditangkap oleh mereka, menghantarkan
kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang mereka. Mengapa begitu? Karena
benar menangkap ajaran-ajaran itu.

"Andaikan ada orang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, &
menyelusur mencari seekor ular. Ia melihat seekor ular besar dan menjepitnya
dengan tongkat bercagak, dan setelah itu, dengan benar menangkapnya di
leher. Kendati ular itu akan membelitkan gelungan di tangannya atau
lengannya atau salah satu anggota badannya, tetap ia tidak akan tiba pada
kematian atau penderitaan lirmati. Mengapa begitu? Karena benar menangkap
ular itu. Demikian pula, di sini beberapa putra suku mempelajari Dhamma ...
Mengapa begitu? Karena benar menangkap ajaran-ajaran itu.

"Oleh karena itu, para bhikkhu, tatkala kalian memahami makna dari
pembicaraan ini, ingatlah itu baik-baik; dan tatkala kalian tidak memahami
makna dari pembicaraan ini, maka hendaknya tanyakan kepadaku tentang itu
atau para bhikkhu yang arif.

Tamsil Rakit

"Para bhikkhu, aku akan ajarkan Dhamma yang seumpama rakit, untuk tujuan
menyeberang, bukan untuk tujuan mencengkeram. Dengarkan dan perhatikan
baik-baik, aku akan bicara."

"Baiklah, bhante," para bhikkhu menjawab.

Sang Bhagava berkata begini: "Para bhikkhu, andaikan ada orang yang dalam
menempuh suatu perjalanan melihat sebuah permukaan air yang sangat luas,
yang pantai sininya menakutkan dan berbahaya, serta pantai seberangnya aman
dan bebas dari bahaya, namun tiada kapal atau jembatan yang menuju pantai
seberang. Lalu ia berpikir: "Ada permukaan air yang sangat luas ini, yang
pantai sininya menakutkan dan berbahaya, serta pantai seberangnya aman dan
bebas dari bahaya, namun tiada kapal atau jembatan yang menuju pantai
seberang. Bagaimana bila aku mengumpulkan rerumputan, ranting-ranting,
dahan-dahan, dan dedaunan serta mengikatnya bersama-sama menjadi sebuah
rakit, dan didukung oleh rakit serta membuat upaya dengan tangan dan kakiku,
aku menyeberang dengan selamat ke pantai seberang?' Kemudian orang itu
mengumpulkan rerumputan, ranting-ranting, dahan-dahan, dan dedaunan serta
mengikatnya bersama-sama menjadi sebuah rakit, dan didukung oleh rakit serta
membuat upaya dengan tangan dan kakinya, ia menyeberang dengan selamat ke
pantai seberang. Lalu, tatkala ia telah menyeberang dan tiba di pantai
seberang, ia mungkin berpikir demikian: 'Rakit ini telah sangat berjasa
bagiku, oleh karena didukung olehnya dan membuat upaya dengan tangan dan
kakiku, aku bisa menyeberang dengan selamat ke pantai seberang. Bagaimana
bila aku menjunjungnya di kepalaku atau menggotongnya di bahuku, dan lantas
pergi ke mana pun aku suka?' Nah, para bhikkhu, bagaimana kalian pikir?
Dengan melakukannya, apakah orang tersebut melakukan apa yang semestinya
dilakukan terhadap rakit itu?"

"Tidak, bhante."

"Dengan melakukan apakah orang tersebut akan melakukan apa yang semestinya
dilakukan terhadap rakit itu? Di sini, para bhikkhu, tatkala orang tersebut
telah menyeberang dan tiba di pantai seberang, ia mungkin berpikir demikian:
'Rakit ini telah sangat berjasa bagiku, oleh karena didukung olehnya dan
membuat upaya dengan tangan dan kakiku, aku bisa menyeberang dengan selamat
ke pantai seberang. Bagaimana bila aku menyeretnya ke tanah kering atau
menaruhnya terapung di air, dan lantas pergi ke mana pun aku suka?' Nah,
para bhikkhu, dengan melakukan hal ini orang tersebut akan melakukan apa
yang semestinya dilakukan terhadap rakit itu. Demikianlah aku telah ajarkan
Dhamma yang seumpama rakit, untuk tujuan menyeberang, bukan untuk tujuan
mencengkeram.

"Para bhikkhu, tatkala kalian memahami Dhamma yang diajarkan seumpama rakit,
kalian hendaknya bahkan melepaskan Dhamma, apalagi yang bukan Dhamma.


6186
Buddhisme untuk Pemula / ANTARA KEBAHAGIAAN DAN PERBUATAN BAIK.
« on: 22 August 2007, 10:26:02 AM »
By Surya M Setiadi

Apakah dalam kehidupan yang semakin modern dan penuh tekanan sebagaimana
yang kita hadapi setiap hari, berbuat baik kepada yang lain masih relevan
untuk kita lakukan ?

Diantara kita - banyak yang berlatar belakang kepercayaan yang berbeda.
Apakah berbuat baik itu sesuai dengan setiap jenis kepercayaan kita yang
bervariasi tersebut ?

Apakah benar - para bijaksana bilang - berbuat baik akan membawa kebahagiaan
?

Selayaknya Anda jangan percaya begitu saja, sebelum mengadakan penalaran
secara logis, apakah memang berbuat baik itu benar akan membawa kebahagiaan.

Penalaran yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Seandainya Anda mempercayai bahwa ada alam kehidupan yang lebih
bahagia daripada kehidupan di alam manusia ini, maka adalah logis dan pasti
- bahwa perbuatan baik Anda akan membawa Anda ke alam lain yang lebih
bahagia tersebut - di masa kehidupan Anda yang akan datang.

2. Seandainya Anda tidak mempercayai adanya alam kehidupan yang lebih
berbahagia dibanding alam manusia ini, maka adalah logis dan pasti bahwa
perbuatan baik Anda akan membawa Anda ke dalam perasaan hati yang lebih
damai dan bahagia dikehidupan Anda pada alam manusia sekarang ini.

3. Seandainya Anda mempercayai adanya hukum sebab-akibat, maka adalah
logis dan pasti bahwa : akibat dari perbuatan baik yang Anda lakukan, akan
membawa kepada Anda, sebab yang baik pula.

4. Seandainyapun Anda tidak mempercayai adanya hukum sebab-akibat -
dimana terjadinya suatu kejadian tertentu disebabkan oleh kondisi yang
terjadi sebelumnya - maka Anda pasti tidak akan menyesal di kemudian hari,
atas perbuatan baik yang Anda lakukan..

Jadi, takkan lari kebahagiaan akan mengikuti setiap perbuatan baik.

Semoga berguna.

SM.

yad : "PENGARUH BERBUAT BAIK PADA KONDISI KITA PADA SAAT INI".

Majjhima Nikaya 22
Alagaddupama Sutta
Tamsil Ular

_____

DEMIKIAN TELAH KUDENGAR. Satu ketika Sang Bhagava tengah bersemayam di
Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Adapun pada ketika itu sebuah
pandangan buruk telah timbul pada bhikkhu bernama Arittha, mantan pembunuh
nasar, demikian: "Sebagaimana aku memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang
Bhagava, hal-hal yang dinyatakan hambatan-hambatan oleh Sang Bhagava tidak
dapat menghambat orang yang memperturutinya."

Beberapa bhikkhu, setelah mendengar tentang ini, pergi ke bhikkhu Arittha
dan menanyainya: "Sobat Arittha, apakah benar bahwa sebuah pandangan buruk
seperti itu telah timbul pada dirimu?"

"Demikianlah, sobat-sobat. Sebagaimana aku memahami Dhamma yang diajarkan
oleh Sang Bhagava, hal-hal yang dinyatakan hambatan-hambatan oleh Sang
Bhagava tidak dapat menghambat orang yang memperturutinya."

Kemudian para bhikkhu ini, bermaksud melepaskannya dari pandangan buruk itu,
menekan & mempersoalkan & mempertanyakannya demikian: "Sobat Arittha,
janganlah berkata demikian. Janganlah menghujat Sang Bhagava; tidaklah baik
menghujat Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak akan berkata demikian. Oleh
karena dalam berbagai wejangan Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana
hal-hal yang menghambat merupakan hambatan-hambatan, dan bagaimana itu dapat
menghambat orang yang memperturutinya. Sang Bhagava telah menyatakan
bagaimana nafsu inderawi memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan,
banyak keputusasaan, dan betapa besar kerugiannya. Dengan tamsil jerangkong
... dengan tamsil sepotong daging ... dengan tamsil obor rumput ... dengan
tamsil periuk bara ... dengan tamsil mimpi ... dengan tamsil barang pinjaman
... dengan tamsil pohon bergelimang buah ... dengan tamsil rumah jagal ...
dengan tamsil pancang pedang ... dengan tamsil kepala ular, Sang Bhagava
telah menyatakan bagaimana nafsu inderawi memberikan sedikit kepuasan,
banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar kerugiannya.

Namun kendati telah ditekan & dipersoalkan & dipertanyakan oleh para bhikkhu
demikian, bhikkhu Arittha, mantan pembunuh nasar, terus bersikukuh menganut
pandangan buruk itu dan tetap pada pendiriannya.

Oleh karena para bhikkhu tidak dapat melepaskannya dari pandangan buruk itu,
mereka pergi kepada Sang Bhagava, dan setelah bersujud kepada beliau, mereka
duduk di satu sisi dan melaporkan apa yang telah terjadi, menambahi:
"Bhante, oleh karena kami tidak dapat melepaskan bhikkhu Arittha, mantan
pembunuh nasar, dari pandangan buruk ini, kami telah melaporkan hal ini
kepada Sang Bhagava."

Kemudian Sang Bhagava mengamanatkan seorang bhikkhu tertentu demikian: "Mari
engkau, bhikkhu, beritahu bhikkhu Arittha, mantan pembunuh nasar, atas
namaku bahwa sang guru memanggilnya." Menjawab, "Baiklah, bhante," ia pergi
kepada bhikkhu Arittha dan memberitahukannya: "Sang Guru memanggilmu, sobat
Arittha."

Setelah menjawab, "Baiklah, sobat," ia pergi kepada Sang Bhagava, dan
setelah bersujud kepada beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagava kemudian
menanyainya: "Arittha, apakah benar bahwa pandangan buruk seperti ini telah
timbul pada dirimu: 'Sebagaimana aku memahami Dhamma yang diajarkan oleh
Sang Bhagava, hal-hal yang dinyatakan hambatan-hambatan oleh Sang Bhagava
tidak dapat menghambat orang yang memperturutinya'?"

"Memang demikian, bhante. Sebagaimana aku memahami Dhamma yang diajarkan
oleh Sang Bhagava, hal-hal yang dinyatakan hambatan-hambatan oleh Sang
Bhagava tidak dapat menghambat orang yang memperturutinya."

"Orang sesat, kepada siapa engkau pernah tahu aku mengajarkan Dhamma seperti
itu? Orang sesat, dalam berbagai wejangan bukankah aku telah menyatakan
bagaimana hal-hal yang menghambat merupakan hambatan-hambatan, dan bagaimana
itu dapat menghambat orang yang memperturutinya. Aku telah menyatakan
bagaimana nafsu inderawi memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan,
banyak keputusasaan, dan betapa besar kerugiannya. Dengan tamsil jerangkong
... dengan tamsil sepotong daging ... dengan tamsil obor rumput ... dengan
tamsil periuk bara ... dengan tamsil mimpi ... dengan tamsil barang pinjaman
... dengan tamsil pohon bergelimang buah ... dengan tamsil rumah jagal ...
dengan tamsil pancang pedang ... dengan tamsil kepala ular, aku telah
menyatakan bagaimana nafsu inderawi memberikan sedikit kepuasan, banyak
penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar kerugiannya. Namun
engkau, orang sesat, telah menghujat kami dengan penangkapanmu yang keliru,
dan melukai dirimu sendiri serta menimbun banyak kejahatan; sebab, ini akan
menimbulkan celaka dan penderitaan jangka panjangmu."

Kemudian Sang Bhagava mengamanatkan para bhikkhu demikian: "Para bhikkhu,
bagaimana kalian pikir? Apakah bhikkhu Arittha, mantan pembunuh nasar, ini
telah menyalakan bahkan secercah kearifan dalam Dhamma-Vinaya ini?"

"Bagaimana ia bisa, bhante? Tidak, bhante."

Tatkala itu dikatakan, bhikkhu Arittha, mantan pembunuh nasar, duduk
membungkam, cemas, dengan bahu lunglai dan kepala tertunduk, muram, dan
tanpa tanggapan. Lalu, mengetahui ini, Sang Bhagava berkata kepadanya:
"Orang sesat, engkau akan dikenali oleh pandangan burukmu sendiri. Aku akan
menanyai para bhikkhu mengenai ini."

Lantas Sang Bhagava mengamanatkan para bhikkhu demikian: "Para bhikkhu,
apakah kalian memahami Dhamma yang diajarkan olehku sebagaimana bhikkhu
Arittha, mantan pembunuh nasar, ini pahami tatkala ia menghujat kita dengan
penangkapannya yang keliru, dan melukai dirinya sendiri serta menimbun
banyak kejahatan?"

"Tidak, bhante. Oleh karena dalam berbagai wejangan Sang Bhagava telah
menyatakan bagaimana hal-hal yang menghambat merupakan hambatan-hambatan,
dan bagaimana itu dapat menghambat orang yang memperturutinya. Sang Bhagava
telah menyatakan bagaimana nafsu inderawi memberikan sedikit kepuasan,
banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar kerugiannya.
Dengan tamsil jerangkong ... dengan tamsil kepala ular, Sang Bhagava telah
menyatakan .... betapa besar kerugiannya."

"Bagus, para bhikkhu. Baguslah bahwa kalian memahami Dhamma yang aku ajarkan
demikian. Oleh karena dalam banyak wejangan aku telah menyatakan bagaimana
hal-hal yang menghambat merupakan hambatan-hambatan, dan bagaimana itu dapat
menghambat orang yang memperturutinya. Aku telah menyatakan bagaimana nafsu
inderawi memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, banyak
keputusasaan, dan betapa besar kerugiannya. Dengan tamsil jerangkong ...
dengan tamsil kepala ular, aku telah menyatakan ... betapa besar
kerugiannya. Namun bhikkhu Arittha, mantan pembunuh nasar, ini menghujat
kita dengan penangkapannya yang keliru, dan melukai dirinya sendiri serta
menimbun banyak kejahatan; sebab, ini akan menimbulkan celaka dan
penderitaan jangka panjang orang sesat ini."

"Sesungguhnya, para bhikkhu, bahwa orang dapat memperturuti nafsu inderawi
tanpa disertai nafsu inderawi, tanpa disertai pencerapan nafsu inderawi,
tanpa disertai pikiran nafsu inderawi -- itu adalah mustahil.

6187
Buddhisme untuk Pemula / Masihkah Anda Punya Waktu?
« on: 22 August 2007, 10:17:04 AM »
Jadikanlah harimu produktif, apakah sedikit ataukah banyak. Karena setiap
siang dan malam yang berlalu, kehidupanmu berkurang sebanyak itu.

(Theragāthā, 451)



pernahkah kita berpikir atau merenungkan tentang apa yang sudah kita lakukan dalam jangka waktu satu hari? Berapa banyak kebajikan yang sudah kita lakukan dalam satu hari dan berapa banyak pula kejahatan yang sudah kita kurangi? Banyak orang tenggelam dalam berbagai aktivitas dan melupakan hal yang sebenarnya paling pokok. Mereka lupa bahwa perenungan semacam itu sangat baik untuk mengetahui sejauh mana usaha perbaikan dirinya. Sebagai manusia beragama, apalagi beragama Buddha, tentunya kita sudah sering diperingatkan akan pentingnya perbaikan diri. Dengan adanya perbaikan diri maka cita-cita untuk menjadi orang baik akan menjadi kenyataan,



kebanyakan orang tidak bisa mengatur waktu dengan baik, akibatnya aktivitas mereka menjadi berantakan. Terkadang ada hal-hal yang seharusnya dikerjakan tetapi tidak bisa dikerjakan karena tidak pandai mengatur waktu. Kalau sudah seperti itu, kehidupan mereka menjadi semrawut dan kacau. Waktu terus berlalu dan kita tidak bisa mengembalikan waktu yang sudah berlalu. Setiap hari adalah awal kehidupan, setiap waktu adalah saat terbaik untuk mawas diri (Dharma Master Cheng Yen). Waktu sangatlah berharga, untuk itu kita
harus pandai-pandai mengatur waktu, jika tidak, kehidupan kita akan menjadi sia-sia.



Pernah suatu ketika ada orang berbicara kepada saya. Orang tersebut berkata, “ketika saya masih bujangan, saya aktif dalam kegiatan keagamaan. Namun setelah saya berumah tangga, saya sangat jarang melakukan aktivitas keagamaan. Saya tidak punya waktu.” Sebagian besar orang merasa tidak mempunyai waktu, sebagian lagi beralasan terlalu banyak kesibukan. Apakah kehidupan kita harus sesibuk itu dan tidak bisa menyempatkan waktu satu menit untuk hening sejenak? Persoalan yang sebenarnya bukan soal waktu
tetapi kemauan dan tanggung jawab dari orang tersebut.



Sejenak kita menengok sejarah Sang Buddha. Sang Buddha adalah seorang guru yang pandai mengatur waktu. Waktu demi waktu dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan pribadi Beliau, para bhikkhu, upasaka-upasika, dan juga kepentingan makhluk lain. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Jika kita
melihat keseharian Sang Buddha, Beliau memberikan contoh dan menunjukkan kepada kita semua bahwa waktu itu sangat berharga. Jangan sia-siakan kehidupan kita untuk hal yang tidak bermanfaat.



Pesan Sang Buddha menjelang parinibbāna patut menjadi perenungan bagi kita semua. Beliau mengajak kita semua untuk selalu berjuang dengan sungguh-sungguh karena kehidupan ini tidak kekal. Kita tidak bisa memastikan kehidupan kita akan bertahan berapa lama. Yang pasti kehidupan ini akan berujung pada kematian. Jika kita terus saja beralasan tidak punya waktu dan terlalu banyak kesibukan, maka kita akan kehilangan banyak kesempatan untuk memperbaiki diri. Berusahalah untuk menghargai waktu, karena waktu memang sangat berharga.



Apa yang harus dilakukan dengan waktu? Waktu kita sehari semalam 24 jam. Waktu yang cukup panjang. Selama 24 jam tentunya kita punya aktivitas. Dari aktivitas kerja, olahraga, jalan-jalan hingga kita punya waktu untuk tidur. Dari sekian banyak waktu bisakah kita menyisihkan untuk kepentingan batin kita? kepentingan batin sering kali terlantar dan tersisih untuk aktivitas lainnya. Padahal batin kita sangat penting, karena dengan batin yang terus diolah akan menyebabkan hidup kita menjadi lebih baik. oleh karena itu,
selama 24 jam itu kita harus bisa membagi waktu dengan baik.



Dengan menghargai waktu, kita mempunyai kesempatan untuk menjadi orang yang baik dan sukses. Dengan waktu yang diatur sedemikian rupa, kita dapat bekerja secara maksimal dan waktu kita tidak terbuang sia-sia. Kita memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Kesempatan untuk menjadi orang sukses dan orang yang berkualitas ada di tangan kita. semuanya berpeluang pada setiap individu. Individu yang bisa mengatur waktu dan memaksimalkan aktivitasnya memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi
orang yang sukses dan berkualitas.



Hargailah waktu jika anda ingin menjadi lebih baik. manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya jika anda ingin menjadi orang sukses dan berkualitas. Jika gagal menghargai waktu, maka kehidupan kita akan menjadi sia-sia. Mereka yang sukses secara duniawi maupun sukses secara batin adalah orang-orang yang bisa mengatur dengan baik. hari-hari mereka diisi dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat. Ingat! Siang dan malam yang terus berlalu, kehidupan kita berkurang sebanyak itu. Oleh karena itu lakukanlah hal yang produktif dalam kehidupan ini.



Oleh : Bhikkhu Abhayanando (6 Agustus 2006)

6188
Buddhisme untuk Pemula / KEBUTUHAN PRIMER
« on: 22 August 2007, 10:08:22 AM »
Sebagai pengantar, marilah para pembaca menyimak sebuah kisah nyata yang tertulis di dalam kitab suci Tipitaka. Cerita tersebut terjadi pada jaman kehidupan Buddha Gotama. Cerita ini mengindikasikan banyak hal tentang prasyarat di dalam menghayati Buddha Dhamma, yang memungkinkan pembaca dapat memecahkannya sendiri. Demikian cerita tersebut:

Satu pagi ketika Buddha Gotama berdiam di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, Beliau dapat mengetahui melalui kekuatan batinnya bahwa indera spiritual seorang petani miskin tertentu yang hidup di dekat kota Alavi telah cukup masak untuk mengerti ajaran-Nya, dan ia telah masak untuk merealisasi kesunyataan. Kesempatan tersebut merupakan satu hal yang tepat untuk memberikan ajaran kepadanya. Oleh karena itu, kemudian, pagi hari itu Sang Buddha pergi berjalan kaki ke Alavi, sejauh kurang lebih 30 Yojana (lebih kurang 48 km). Penduduk Alavi memperlakukan Buddha dengan penuh hormat dan menyambut kedatangan Beliau dengan hangat. Serta-merta sebuah tempat disediakan bagi siapa saja yang akan berkumpul bersama dan mendengarkan khotbah. Namun demikian, karena tujuan Buddha mengunjungi Alavi
adalah untuk mengkondisikan seorang petani miskin tersebut, sebelum mulai berkhotbah, Beliau menunggu kedatangan petani tersebut.

Petani miskin tersebut mendengar berita baru tentang kedatangan Buddha, dan karena ia telah tertarik akan ajaran Buddha, untuk beberapa saat ia ingin pergi dan mendengarkan khotbah tersebut. Namun apa yang terjadi bahwa sapi-sapinya telah 'lenyap.' Ia bertanya-tanya (dalam hati) apakah pertama-tama ia harus pergi dan mendengarkan khotbah Buddha dan mencari sapinya kemudian, ataukah pertama-tama mencari sapinya, kemudian pergi mengunjungi dan mendengarkan khotbah Buddha. Ia akhirnya merencanakan untuk
pertama-tama mencari sapinya dan dengan segera berangkat ke dalam hutan untuk mencari sapinya itu.

Kemudian petani miskin itu menemukan sapinya dan membawanya pulang ke tempat ternaknya, namun dengan berjalannya waktu tersebut apa hendak dikata, ia sangat lelah. Petani itu berpikir, "waktu
berlangsung terus, apabila saya pertama-tama pulang ke rumah tentu akan menyita banyak waktu. Saya harus pergi langsung ke kota untuk mendengarkan khotbah Buddha." Setelah menetapkan pikirannya, petani miskin itu mulai berjalan menuju Alavi. Sewaktu ia tiba di tempat yang disediakan untuk khotbah itu, ia kehabisan tenaga dan sangat lapar.

Ketika Buddha melihat kondisi petani tersebut, Beliau meminta para tetua kota itu untuk menyediakan makanan kepada lelaki miskin itu. Ketika petani tersebut telah makan dengan cukup kenyang dan segar kembali, Buddha mulai mengajar dan ketika mendengarkan khotbah, petani itu merealisasi tingkat
kesucian pertama 'yang memasuki arus' (Sotapanna). Buddha telah memenuhi maksudnya dalam mengadakan perjalanan ke Alavi.

Setelah khotbah selesai Buddha mengucapkan selamat jalan kepada orang-orang Alavi dan pergi kembali ke Vihara Jetavana.

Selama dalam perjalanan kembali, para bhikkhu yang menyertai Buddha mulai berdiskusi dengan kritis tentang kejadian hari itu. "Apakah semua itu? Pada hari ini Sang Bhagava tidak seperti biasanya. Saya heran mengapa sebelum memberikan khotbah, Beliau meminta mereka untuk menyediakan makanan kepada
petani seperti itu." Buddha, mengetahui subjek diskusi para bhikkhu itu memutar badan ke arah mereka lalu memulai untuk memberitahukan alasannya, dan pada satu titik di dalam penjelasan tersebut Buddha menyatakan, "pada saat orang-orang diliputi dan di dalam kesakitan fisik yang membuatnya menderita, mereka tidak dapat mengerti Dhamma." Kemudian Buddha menyatakan bahwa kelaparan adalah penderitaan yang paling menyakitkan dari semua bentuk kesakitan, dan merupakan fenomena berkondisi yang melengkapi dasar penderitaan kemelekatan yang mendasar. Hanya ketika seseorang mengerti kebenaran ini ia akan merealisasi kebahagian sejati, Nibbana.

Semua titik penting dari kondisi pemahaman Buddha Dhamma nampak dalam cerita ini. Seseorang harus memiliki simpanan jasa kebajikan untuk bertemu dengan seorang guru dan mendengarkan Dhamma yang bermanfaat. Namun di kala tepat untuk berbuah, diperlukan kondisi khusus yang patut kita renungkan, yaitu
pemenuhan kebutuhan primer yang mengkondisikan ketenangan batin. Sungguh kecil peluang berkonsentrasi untuk mendengarkan Dhamma hingga mengerti apalagi merealisasi Nibbana apabila orang tersebut sedang diliputi kegelisahan batin (dalam contoh ini: karena sapinya sebagai sumber penghidupan lenyap). Demikian pula, seseorang yang sedang diliputi kelaparan dan kondisi tubuh yang sangat lelah, dibutuhkan upaya yang sangat berat dan sungguh sulit untuk berkonsentrasi apalagi memahami sepenuhnya Buddha Dhamma. Sang Buddha telah sepenuhnya menyadari hal ini. Walaupun petani dalam cerita tadi memiliki potensi untuk mencapai kesucian karena kekuatan pemupukan kamma-nya, namun kekuatan tersebut juga harus
dikondisikan oleh faktor lain yang sedang dihadapinya saat itu serta upaya dan pengarahan diri yang benar.

Pernahkah terpikirkan oleh kita semua, sampai seberapa jauh 'tah' kita telah menyediakan kondisi pemenuhan kebutuhan primer kepada diri kita sendiri, atau kepada mereka yang kita harapkan menjadi umat Buddha yang baik, kepada mereka yang berhasrat mendengarkan Dhamma, kepada mereka yang sedang berpraktik Dhamma dengan baik dan tekun. Bahkan, terhadap para bhikkhu pun, saat ini, cukup banyak umat Buddha yang tanpa sadar telah menyediakan kondisi yang kurang tepat untuk pengembangan batin mereka dengan
menjerumuskan para bhikkhu ke dalam kancah acara yang padat dan melelahkan, dan lupa akan disiplin makan seperti yang digariskan di dalam vinaya.

Untuk kebahagiaan bersama, bila umat Buddha semua secara bersama-sama menghayati berbagai kondisi bagi suksesnya pemahaman dan perealisasian Buddha Dhamma, tentu perealisasian kebahagiaan sejati bukanlah utopia.

Semoga tulisan singkat di atas dapat menjadi inspirasi positif bagi para pembaca. Semoga berbahagia.

Pertanyaan menyangkut isi tulisan dalam leaflet ini agar dialamatkan kepada Pannakatha, melalui Sdr. Selamat Rodjali, Jl. City No. 9A Bogor 16123.

Leaflet no. II-7 ini didistribusikan atas dana dari:

* Bapak L. Willy Prang (Bali)

* Swati L. Sotiniwati (Bogor)

* Dhita Medhavi (Bogor)

* Nanapalo (Bogor)

* Ibu Mahayani (Bali)

* Ny. Kwee Hian Tjie (Bogor)

Semoga kusala kamma ini menjadi salah satu faktor pendorong terealisasinya Kebahagiaan Sejati.

DHAMMA STUDY GROUP BOGOR

6189
Diskusi Umum / Re: Apakah manfaat gelang dan blazzing??
« on: 21 August 2007, 06:10:58 PM »
jangan cuma minta berkah doang. Jalanin ajaran sang Buddha.

boleh dijelaskan bagian mana dri gelang dan pemercikan tirta yang bertentangan dengan buddha dhamma????

6190
Buddhisme untuk Pemula / Re: Mencari Dan Membina Pasangan Hidup
« on: 21 August 2007, 06:04:54 PM »
 [at] 7th : soalnya keliatan dari tulisan elu.......  ;D

eniwei, semuanya juga masih latihan bro.....

6191
Buddhisme untuk Pemula / Re: ANDA "MENCURI" TIAP HARI?
« on: 21 August 2007, 05:49:35 PM »
1. Ga salah yang nomor 1? Itu bentuk pernyataan atau pertanyaan? Kalo saya tidak tahu api itu panas, apakah jika tangan saya diletakkan di lilin tidak akan terbakar?

Dengan yang ini :

1. jika tidak tahu itu hasil pencurian, berarti pembeli tidak menerima kamma buruk dalam bentuk apapun..... sama saja kaya membunuh dengan "tidak sengaja"... alias tidak ada niat untuk membeli barang hasil pencurian

ok.....

gini loh bro..... sebagaimana sabda Buddha "Cetana/keinginan itulah yang dikatakan Kamma"......

dan juga berkaitan dengan syarat2 sila mengenai pencurian/mengambil brg yg tidak diberikan dimana salah satu syaratnya adalah "adanya niat untuk mengambil"

bahkan pada hukum formal/hukum negara aja, ada perkecualian jika anda melakukan pembunuhan/pencurian (baca: membeli brg hasil pencurian) yaitu jika anda tidak sengaja... jadi anda tidak sengaja membunuh atau anda tidak tahu bahwa anda membeli barang hasil pencurian......

saya mengerti apa yang anda maksud... cuma kekna analogi itu ga nyambung dengan kasus yang sedang didiskusikan disini....

semoga ini bisa memperjelas yah......

6192
Sutta Vinaya / Kisah Uggasena
« on: 21 August 2007, 05:25:14 PM »
Syair 348

XXIV. (6) Kisah Uggasena

Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana Raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.

Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat maka ia benar-benar tidak berguna bagi rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.

Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini : "O kamu, putera seorang lelaki yang
menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!" Uggasena mendengar lagu itu. Ia mengetahui bahwa istrinya menujukan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.

Suatu ketika, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Pada hari ketujuh, sebatang galah yang panjang digunakan dan Uggasena berdiri di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu. Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Kemudian Sang Buddha memasuki kota Rajagaha, berusaha agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa
sangat tidak puas dan tertekan.

Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 348 berikut:

Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun yang sekarang
(kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan) dan capailah 'Pantai
Seberang' (nibbana). Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu,
maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.

6193
Buddhisme untuk Pemula / Re: ANDA "MENCURI" TIAP HARI?
« on: 21 August 2007, 05:18:07 PM »
yah kita kan memakan hasil dari pembunuhan...
ini juga memakai hasil dari pencurian...

seandainya tidak ada yang bunuh, bisa makan daging ga?
seandainya ga da yang bajak, bisa make bajakan ga?

menurut aku sih beda.
setelah sesosok mahkluk dibunuh dan kehilangan nyawanya, saat itu tubuhnya sdh tdk memiliki syarat lagi untuk dilakukan pembunuhan ke2.
beda dgn pencurian, suatu barang bisa dicuri berulang kali.

setuju ama pembunuhan..... makan daging hasil pembunuhan tidak sama dengan membunuh itu sendiri.

namun pada pencurian..... ada 2 kemungkinan:
1. jika tidak tahu itu hasil pencurian, berarti pembeli tidak menerima kamma buruk dalam bentuk apapun..... sama saja kaya membunuh dengan "tidak sengaja"... alias tidak ada niat untuk membeli barang hasil pencurian
2. sudah tahu itu hasil pencurian, tapi masih tetap dibeli berarti pembeli dipastikan akan menerima kamma buruk, minimal setidaknya kualitas batinnya akan menurun karena sebenarnya pada waktu transaksi, faktor batinnya adalah lobha.....
1. Ga salah yang nomor 1? Itu bentuk pernyataan atau pertanyaan? Kalo saya tidak tahu api itu panas, apakah jika tangan saya diletakkan di lilin tidak akan terbakar?
2. Apa artinya lobha?
Jika saya ingin 1 rumah apakah saya termasuk lobha?
Jika saya ingin 1 rumah setelah memiliki 1 rumah, apakah termasuk lobha?

dear bro arasmas,
1. boleh tau masalah terbakar ini berkaitan dengan pernyataan saya yang mana yah???
2. mengenai lobha : sebenarnya ini sudah dibahas mengenai Viriya+faktor2 batin lainnya yang disertai lobha,dosa dan moha dan viriya+faktor2 batin lainnya yang disertai alobha,adosa dan amoha
http://www.dhammacitta.org/forum/index.php/topic,360.30.html

singkatnya : keinginan itu bisa berbeda-beda, bisa kusala namun bisa juga akusala....... tergantung faktor apa yang becampur di dalamnya, ok???

6194
Buddhisme untuk Pemula / Re: Mencari Dan Membina Pasangan Hidup
« on: 21 August 2007, 05:05:25 PM »
 [at] 7th : aaah... masa sih????  :-?

wkt umur belasan smp sktr 25an sih, mang masih nyari fisik...

begitu lewat masanya, dan sadar akan pentingnya 4 sama diatas itu...... jadi nyari2 aktivis deh  _/\_

eniwei, moga2 no hurt feeling yah... ini cuma omong2 becanda loh.....  ^:)^

6195
Buddhisme untuk Pemula / Re: Adakah Neraka pada Buddhism ?
« on: 21 August 2007, 04:52:45 PM »
persamaannya bisa dibaca di :
http://www.dhammacitta.org/forum/index.php/topic,178.0.html

jadi kalo yang laen beda, yah jangan heran  ;D

Pages: 1 ... 406 407 408 409 410 411 412 [413] 414 415 416 417 418 419 420