//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: comotan dari blog tetangga  (Read 206968 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #525 on: 19 August 2009, 02:48:51 PM »
Baiklah kalau begitu, bukan kah berarti referensi/sumber pengalaman seseorang bisa dijadikan referensi/sumber sepanjang itu selaras dengan Dhamm(paramatha Dhamma) bukan yg relatif...sebagaimana Sang Buddha membimbing, mengajar sebagaimana pengalaman Beliau.....?

Bagaimana dengan pernyataan bro bahwa pengalaman pribadi seseorang tidak bisa dijadikan referensi? Apakah hal ini bersifat khusus atau general? mungkin perbedaan ini bisa membantu bro kainyn melihat konteksnya..


Ini salah satu contoh beda konteks yang fatal.

-Mengenai Buddha adalah pengalaman pribadi dijadikan referensi ajaran bagi murid-murid yang mengikuti ajaran guru tersebut.
-Mengenai debat Pak Hudoyo & perkedel, pengalaman pribadi seorang bhikkhu (yang rasanya tidak diakui Pak Hudoyo sebagai guru) untuk diterima kebenarannya oleh dua pihak.

Yang pertama adalah jika 2 orang murid berselisih paham tentang maksud guru, maka nasihat guru bisa dijadikan acuan.
Yang ke dua adalah seperti orang Buddha dan orang Kr1sten berdebat, lalu salah satu pihak mencari pembenaran lewat pemuka agamanya sendiri.






Orang kr****n dan buddhist berdebat memang dari dua referensi tetapi tetaplah 1 referensi kebenaran yg benar yaitu kebenaran paramatha Dhamma. Dan orang yg mengalami paramatha Dhamma lah yg benar. Jadi referensi itu tetap ada yaitu paramatha Dhamma.

Atau analogi yang lain api dibilang air lalu yg satu lagi bilang api  adalah api. referensi tentang api mana yg lebih tepat?


Demikian debat Hudoyo dengan perkedel. Hudoyo tidak mau mengambil referensi si bhikkhu itu hak dia, tetapi referensi kebenaran itu tetap ada, karena apa yg dialami bhikkhu itu sesuai dengan Dhamma. Jadi jangan salahkan belalai gajah jika orang buta salah mempersepsikan belalai gajah itu ketika memegangnya.

Perkedel sendiri telah mengatakan Hudoyo hanya tau merasakan asava, kalau si bhikkhu lebih dari itu bisa melihat. Sama hal nya orang yg belajar jurus tai chi 8 jurus dengan 26 jurus...

sama halnya orang yg tau hanya teori dan orang yg tau teori dan praktek .
 

Orang tidak mau menggunakan referensi adalah pilihan tetapi makna referensi yg mengacu pada kebenaran adalah hal lainnya..

Jadi pilihan dan referensi yg mengacu pada kenyataan jangan dicampur adukan, dan inilah yg terjadi.
« Last Edit: 19 August 2009, 03:22:42 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #526 on: 19 August 2009, 04:31:03 PM »
Orang kr****n dan buddhist berdebat memang dari dua referensi tetapi tetaplah 1 referensi kebenaran yg benar yaitu kebenaran paramatha Dhamma. Dan orang yg mengalami paramatha Dhamma lah yg benar. Jadi referensi itu tetap ada yaitu paramatha Dhamma.

Atau analogi yang lain api dibilang air lalu yg satu lagi bilang api  adalah api. referensi tentang api mana yg lebih tepat?


Demikian debat Hudoyo dengan perkedel. Hudoyo tidak mau mengambil referensi si bhikkhu itu hak dia, tetapi referensi kebenaran itu tetap ada, karena apa yg dialami bhikkhu itu sesuai dengan Dhamma. Jadi jangan salahkan belalai gajah jika orang buta salah mempersepsikan belalai gajah itu ketika memegangnya.

Perkedel sendiri telah mengatakan Hudoyo hanya tau merasakan asava, kalau si bhikkhu lebih dari itu bisa melihat. Sama hal nya orang yg belajar jurus tai chi 8 jurus dengan 26 jurus...

sama halnya orang yg tau hanya teori dan orang yg tau teori dan praktek .
 

Orang tidak mau menggunakan referensi adalah pilihan tetapi makna referensi yg mengacu pada kebenaran adalah hal lainnya..

Jadi pilihan dan referensi yg mengacu pada kenyataan jangan dicampur adukan, dan inilah yg terjadi.

Bro bond tidak menangkap maksud saya.
Dalam debat ini, karena Tipitaka sudah ditafsirkan oleh 2 pihak yang berbeda, maka sebetulnya sudah bukan 1 referensi lagi. Tulisannya satu, namun maknanya tidak. Bagi bro bond salah satu mengatakan api adalah api dan satu lagi mengatakan air adalah api, dengan kata lain, satu pihak lebih benar, lebih asli dan mendekati paramatha dhamma. Dari sudut pandang saya, dua-duanya sama benarnya dan sama salahnya, dan masing-masing memiliki referensi dan tafsiran sendiri.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #527 on: 19 August 2009, 04:37:23 PM »
Quote
HUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."

Sebenarnya, klarifikasi Pak Hudoyo di atas ini pun kurang bisa dipertanggungjawabkan…

Di dalam vipassana, tidak tepat menyatakan bahwa JMB8 adalah tidak relevan. Namun yang sebenarnya, vipassana adalah salah satu poin di dalam JMB8.

Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.

Adalah kesalahan fatal untuk mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai Pembebasan, karena justru vipassana itu sendiri merupakan salah satu ruas jalan yang bisa mengantar kita pada Pembebasan.

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #528 on: 19 August 2009, 04:39:20 PM »
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literatur
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan

namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna

Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya

Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
di sini terlihat kontras dua macam paradigma:

* paradigma yg mengakumulasi, mengumpulkan, berusaha mencapai, berjuang
di paradigma ini berpendapat ada sesuatu yg harus dikumpulkan, dicapai, tingkat demi tingkat untuk menuju pencerahan terakhir.

* paradigma melepas
paradigma ini tidak memperdulikan apa yg harus dicapai, apa tingkat2 kesucian yg musti dilewati. hanya mengamati dan membiarkannya berhenti sendiri (let it go). tidak ada yg dikumpulkan, tidak ada yg diakumulasi.

yg mana yg cocok untuk anda? ya buktikan sendiri dalam praktek...
kalo diperdebatkan tidak ada habis2nya, sampai anda mengalami sendiri...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #529 on: 19 August 2009, 04:52:01 PM »
Quote
HUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."

Sebenarnya, klarifikasi Pak Hudoyo di atas ini pun kurang bisa dipertanggungjawabkan…

Di dalam vipassana, tidak tepat menyatakan bahwa JMB8 adalah tidak relevan. Namun yang sebenarnya, vipassana adalah salah satu poin di dalam JMB8.

Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.

Adalah kesalahan fatal untuk mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai Pembebasan, karena justru vipassana itu sendiri merupakan salah satu ruas jalan yang bisa mengantar kita pada Pembebasan.


sependapat ;D
i'm just a mammal with troubled soul



Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #530 on: 19 August 2009, 04:57:09 PM »
dan ternyata jelas bhw PH salah kaprah dimana ternyata dia menyamakan CITTA/Pikiran/Kesadaran/Vinnana dengan BATIN/NAMA
Padahal sesungguhnya Citta yang dalam hal Khandha disebut Vinnana, adalah merupakan salah satu dari 4 unsur pembentuk Batin/Nama
di sini anda merasa semuanya harus sesuai standard abhidhamma anda. padahal pak hudoyo jelas2 bilang terminologi yg dia pake ini bukan barang baru, bukan bikinan sekadar buat beda. terminologi citta seperti ini udah lazim dipake oleh bhikkhu2 lain:
Quote
Oh, sampai sekarang saya tetap berpegang 'citta' = 'batin'. :) :)

Anda, sebagai "pakar" Abhidhamma, tentu mengikuti pengertian 'citta' sebagai 'bagian dari NAMA' --yang terdiri dari 'citta', 'cetasika' & 'nibbana', kalau tidak salah. Saya sudah lama meninggalkan ajaran Abhidhamma (yang dulu pernah saya hafalkan), karena saya anggap bukan berasal dari Sang Buddha.

Di sini saya menggunakan pengertian 'citta' dari Sutta Pitaka, yang mempunyai pengertian jauh lebih luas daripada 'citta' yang ada di Abhidhamma. Di dalam Sutta Pitaka, 'citta' dimaknai tumpang tindih (overlapping) dengan 'nama', yang berarti 'keadaan batin' secara keseluruhan.

Di dalam Sutta Pitaka, 'citta', 'mano' & 'vinnana' sering digunakan secara tumpang tindih. 'Citta' mengacu pada 'mindset' atau 'keadaan batin' seseorang. 'Citta' digunakan untuk mengacu pada kualitas batin secara keseluruhan. 'Citta' bukanlah suatu entitas atau suatu proses; mungkin itulah alasan mengapa 'citta' bukan termasuk salah satu 'khandha', dan tidak termasuk rumusan paticca-samuppada.

Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.

Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.

'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).

Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.

Mencapai 'citta' yang murni sama artinya dengan mencapai pencerahan yang membebaskan. Ini menunjukkan bahwa keadaan batin orang yang bebas tidak memantulkan kegelapan atau kekotoran. Oleh karena hal-hal itu mewakili keterbelengguan, ketiadaannya digambarkan sebagai kebebasan.
[Diringkas dari: Wikipedia]

Dari uraian panjang lebar tentang pemakaian kata 'citta' di dalam Sutta Pitaka ini, tidak salahlah kalau saya menerjemahkan 'citta' dengan 'batin'. Pengertian ini jauh lebih luas daripada pengertian 'citta' di dalam Abhidhamma.

Para bhikkhu hutan di Thailand Utara, mereka sering menggunakan kata 'citta' untuk mengacu pada 'batin' secara keseluruhan (bukan 'citta' dari Abhidhamma, yang bersifat sangat teknis, berbeda dengan cetasika, dengan nibbana dsb). Ini dapat dilihat dalam khotbah-khotbah Ajahn Mahabuwa, Ajahn Man dsb. Sering kali mereka menggambarkan 'citta' yang "murni", "cemerlang" dan "abadi", sehingga Ajahn Mahabuwa, misalnya, sering dikritik mengajarkan 'eternalisme'. Padahal yang beliau ajarkan adalah pengalaman meditasi, yang sudah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam Udana 8.3."

perlu dicatat juga terminologi "thought" itu sangat sering dan lazim dipake buku2 panduan meditasi, baik itu dari theravada ataupun zen.

dear bro morpheus,

Cukup prihatin melihat pernyataan seolah markos SELALU berbicara sesuai abhidhamma  ;D

Disini saja sudah membedakan bahwa ini abhidhamma, itu sutta, dsbnya.... .seolah Tipitaka adalah bagian yg terpisah2

Jika memang demikian, saya rasa diskusi ini sudah tidak perlu dilanjutkan krn jelas bhw anda sudah tidak "netral" lagi dan hanya melihat dari pernyataan pihak PH saja

namun jika anda berkenan untuk melihat kenyataannya, mari kita lihat Khandha Vagga dari Samyutta Nikaya dimana salah satunya adalah Bhara Sutta :

Quote
The Blessed One said, "And which is the burden? 'The five clinging-aggregates,' it should be said. Which five? Form as a clinging-aggregate, feeling as a clinging-aggregate, perception as a clinging-aggregate, fabrications as a clinging-aggregate, consciousness as a clinging-aggregate. This, monks, is called the burden.

SUTTA diatas (sutta loh, bukan abhidhamma) dengan jelas dan gamblang menyatakan bhw mahluk hidup itu terdiri dari panca khandha yaitu :
1. Rupa Khandha - form
2. Viññana Khandha - consciousness
3. Sañña Khandha - perception
4. Sankhära Khandha - fabrication
5. Vedanä Khandha - feeling

dan kelima khandha itulah yg disebut Dukkha (burden)

Lanjut ke Samyutta Nikaya XXII.23 : Pariñña Sutta

Quote
At Savatthi. "Monks, I will teach you the phenomena to be comprehended, as well as comprehension. Listen & pay close attention. I will speak."
"As you say, lord," the monks responded.

The Blessed One said, "And which are the phenomena to be comprehended? Form is a phenomenon to be comprehended. Feeling ... Perception ... Fabrications ... Consciousness is a phenomenon to be comprehended. These are called phenomena to be comprehended.

"And which is comprehension? Any ending of passion, ending of aversion, ending of delusion. [1] This is called comprehension."

Disini jelas yg dimaksud dengan berakhirnya dukkha adalah saat memahami/mengerti mengenai esensi dari panca khandha itu (paramattha dhamma), bukan dari TERHENTINYA Pikiran

Disini kembali saya nyatakan bhw sesungguhnya Tipitaka adalah SATU kesatuan yg utuh, yg tidak saling bertentangan isinya

Jika mau melihat lebih lengkap mengenai Khandha Vagga, silahkan lihat ke http://140.116.94.15/biochem/lsn/AccessToInsight/html/canon/sutta/samyutta/index.html#Khandha

Disini jelas bhw Sutta pun merujuk Citta qq Vinnana sebagai salah satu bagian dari 4 khandha pembentuk Rupa/batin

Nah selanjutnya terserah anda deh karena saat pemahaman mengenai panca khandha sudah keliru maka akan dicari pembenaran seperti menyamakan Citta = Batin/Rupa

Bahkan di salah satu sutta yg diberikan PH diatas yaitu S.III.152 atau Nava Sutta, dengan jelas disebutkan bhw untuk menghentikan kemelekatan, seyogayanya melakukan PENGEMBANGAN, bukan PENGHENTIAN:

Quote
"Suppose a hen has eight, ten, or twelve eggs that she covers rightly, warms rightly, & incubates rightly: Even though this wish may not occur to her — 'O that my chicks might break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely!' — still it is possible that the chicks will break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely. Why is that? Because the hen has covered them, warmed them, & incubated them rightly. In the same way, even though this wish may not occur to a monk who dwells devoting himself to development — 'O that my mind might be released from effluents through lack of clinging!' — still his mind is released from the effluents through lack of clinging. Why is that? From developing, it should be said. Developing what? The four frames of reference, the four right exertions, the four bases of power, the five faculties, the five strengths, the seven factors for Awakening, the noble eightfold path.


Pls be fair utk melihat  _/\_

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #531 on: 19 August 2009, 04:57:55 PM »
Orang kr****n dan buddhist berdebat memang dari dua referensi tetapi tetaplah 1 referensi kebenaran yg benar yaitu kebenaran paramatha Dhamma. Dan orang yg mengalami paramatha Dhamma lah yg benar. Jadi referensi itu tetap ada yaitu paramatha Dhamma.

Atau analogi yang lain api dibilang air lalu yg satu lagi bilang api  adalah api. referensi tentang api mana yg lebih tepat?


Demikian debat Hudoyo dengan perkedel. Hudoyo tidak mau mengambil referensi si bhikkhu itu hak dia, tetapi referensi kebenaran itu tetap ada, karena apa yg dialami bhikkhu itu sesuai dengan Dhamma. Jadi jangan salahkan belalai gajah jika orang buta salah mempersepsikan belalai gajah itu ketika memegangnya.

Perkedel sendiri telah mengatakan Hudoyo hanya tau merasakan asava, kalau si bhikkhu lebih dari itu bisa melihat. Sama hal nya orang yg belajar jurus tai chi 8 jurus dengan 26 jurus...

sama halnya orang yg tau hanya teori dan orang yg tau teori dan praktek .
 

Orang tidak mau menggunakan referensi adalah pilihan tetapi makna referensi yg mengacu pada kebenaran adalah hal lainnya..

Jadi pilihan dan referensi yg mengacu pada kenyataan jangan dicampur adukan, dan inilah yg terjadi.

Bro bond tidak menangkap maksud saya.
Dalam debat ini, karena Tipitaka sudah ditafsirkan oleh 2 pihak yang berbeda, maka sebetulnya sudah bukan 1 referensi lagi. Tulisannya satu, namun maknanya tidak. Bagi bro bond salah satu mengatakan api adalah api dan satu lagi mengatakan air adalah api, dengan kata lain, satu pihak lebih benar, lebih asli dan mendekati paramatha dhamma. Dari sudut pandang saya, dua-duanya sama benarnya dan sama salahnya, dan masing-masing memiliki referensi dan tafsiran sendiri.


kalau begitu dapatkah Anda memberikan cara yg terbaik untuk melihat kebenaran paramatha Dhamma itu?
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #532 on: 19 August 2009, 05:02:34 PM »
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literatur
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan

namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna

Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya

Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
di sini terlihat kontras dua macam paradigma:

* paradigma yg mengakumulasi, mengumpulkan, berusaha mencapai, berjuang
di paradigma ini berpendapat ada sesuatu yg harus dikumpulkan, dicapai, tingkat demi tingkat untuk menuju pencerahan terakhir.

* paradigma melepas
paradigma ini tidak memperdulikan apa yg harus dicapai, apa tingkat2 kesucian yg musti dilewati. hanya mengamati dan membiarkannya berhenti sendiri (let it go). tidak ada yg dikumpulkan, tidak ada yg diakumulasi.

yg mana yg cocok untuk anda? ya buktikan sendiri dalam praktek...
kalo diperdebatkan tidak ada habis2nya, sampai anda mengalami sendiri...

Gini deh bro...... mari kita lihat salah satu sutta yg diberikan oleh PH sendiri yaitu S.III.152 atau Nava Sutta yaitu :

Quote
"Suppose a hen has eight, ten, or twelve eggs that she covers rightly, warms rightly, & incubates rightly: Even though this wish may not occur to her — 'O that my chicks might break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely!' — still it is possible that the chicks will break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely. Why is that? Because the hen has covered them, warmed them, & incubated them rightly. In the same way, even though this wish may not occur to a monk who dwells devoting himself to development — 'O that my mind might be released from effluents through lack of clinging!' — still his mind is released from the effluents through lack of clinging. Why is that? From developing, it should be said.

Developing what? The four frames of reference, the four right exertions, the four bases of power, the five faculties, the five strengths, the seven factors for Awakening, the noble eightfold path.


Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Moha

nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali...... misal thought dalam buku Bhikkhu Bodhi sedikit menyamakan dengan right intention, namun dengan catatan :
Quote
The second factor of the path is called in Pali samma sankappa, which we will translate as "right intention."

The term is sometimes translated as "right thought," a rendering that can be accepted if we add the proviso that in the present context the word "thought" refers specifically to the purposive or conative aspect of mental activity, the cognitive aspect being covered by the first factor, right view. It would be artificial, however, to insist too strongly on the division between these two functions. From the Buddhist perspective, the cognitive and purposive sides of the mind do not remain isolated in separate compartments but intertwine and interact in close correlation. Emotional predilections influence views, and views determine predilections. Thus a penetrating view of the nature of existence, gained through deep reflection and validated through investigation, brings with it a restructuring of values which sets the mind moving towards goals commensurate with the new vision. The application of mind needed to achieve those goals is what is meant by right intention.

Diatas kita bisa lihat penggunaan thought dan mind yg berganti2

Demikianlah sulitnya jika membaca hanya teks inggris karena maknanya jadi sering rancu, akan lebih baik jika kembali pada teks Pali, demikianlah praktek dari Suttamaya Panna.....

Senang jika bisa saling diskusi bro  _/\_
« Last Edit: 19 August 2009, 05:06:40 PM by markosprawira »

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #533 on: 19 August 2009, 05:24:51 PM »
Orang kr****n dan buddhist berdebat memang dari dua referensi tetapi tetaplah 1 referensi kebenaran yg benar yaitu kebenaran paramatha Dhamma. Dan orang yg mengalami paramatha Dhamma lah yg benar. Jadi referensi itu tetap ada yaitu paramatha Dhamma.

Atau analogi yang lain api dibilang air lalu yg satu lagi bilang api  adalah api. referensi tentang api mana yg lebih tepat?


Demikian debat Hudoyo dengan perkedel. Hudoyo tidak mau mengambil referensi si bhikkhu itu hak dia, tetapi referensi kebenaran itu tetap ada, karena apa yg dialami bhikkhu itu sesuai dengan Dhamma. Jadi jangan salahkan belalai gajah jika orang buta salah mempersepsikan belalai gajah itu ketika memegangnya.

Perkedel sendiri telah mengatakan Hudoyo hanya tau merasakan asava, kalau si bhikkhu lebih dari itu bisa melihat. Sama hal nya orang yg belajar jurus tai chi 8 jurus dengan 26 jurus...

sama halnya orang yg tau hanya teori dan orang yg tau teori dan praktek .
 

Orang tidak mau menggunakan referensi adalah pilihan tetapi makna referensi yg mengacu pada kebenaran adalah hal lainnya..

Jadi pilihan dan referensi yg mengacu pada kenyataan jangan dicampur adukan, dan inilah yg terjadi.

Bro bond tidak menangkap maksud saya.
Dalam debat ini, karena Tipitaka sudah ditafsirkan oleh 2 pihak yang berbeda, maka sebetulnya sudah bukan 1 referensi lagi. Tulisannya satu, namun maknanya tidak. Bagi bro bond salah satu mengatakan api adalah api dan satu lagi mengatakan air adalah api, dengan kata lain, satu pihak lebih benar, lebih asli dan mendekati paramatha dhamma. Dari sudut pandang saya, dua-duanya sama benarnya dan sama salahnya, dan masing-masing memiliki referensi dan tafsiran sendiri.


kalau begitu dapatkah Anda memberikan cara yg terbaik untuk melihat kebenaran paramatha Dhamma itu?

Padahal udah jelas, pihak yg satu omong soal JMB-8 aja mencla mencle, loncat sana, loncat sini....

Jadi untuk omongan yg udah jelas2 ada tertulis aja, dia masih bilang bhw pihak lain itu yang salah paham...

bingung.... bingung............

kasus ky gini mirip kaya yg pernah aye alami dulu : begitu ngeliat ada yg "tertindas", muncul "rasa keadilan" dan dilekati sehingga membuat jadi buta, tuli.
Yg penting selesaikan misi yaitu menyelamatkan yg tertindas, padahal bisa aja yg tertindas itu yg ngaco..... mirip ky org nyebrang sembarangan, lalu ketabrak. Yg salah adalah yg naek mobil

bingung..... bingung.........

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #534 on: 19 August 2009, 05:26:24 PM »
Quote from: Kainyn_Kutho
Kalau pendapat saya, seorang Sotapanna sudah tidak memandang adanya "aku" dan sebagainya, namun "akibat lampau" dari "kebodohan bathin" masih ada, tidak serta-merta berhenti langsung. Ibaratnya air dalam panci dipanaskan, setelah api dimatikan, air tidak langsung "dingin". Apakah api masih ada? Tidak. Apakah akibat dari api masih ada? Ya, ada.

Kalau pada kasus panci, akibat dari api (mis: panas) bisa lenyap perlahan-lahan secara alami. Alias tanpa perlu diusahakan pun, otomatis panas akan lenyap sendiri.

Nah, kalau pada kasus Sotapanna, akibat lampau dari kebodohan batin tidak bisa lenyap secara alami. Alias diperlukan usaha (latihan) untuk memusnahkan semua kebodohan batin dan kilesa.

Bagaimana pendapat Anda?


Quote from: Kainyn_Kutho
Diskusi dhamma, bukanlah sebuah pembicaraan dogma yang sederhana. Seperti saya katakan, tergantung konteks, kemampuan bicara dan kemampuan lawan bicara, maka sebuah statement bisa berubah. Suatu ketika seorang upasaka mengatakan bahwa Buddha menjelaskan perasaan terbagi dua dan seorang bhikkhu mengatakan Buddha menjelaskan perasaan terbagi tiga. Mereka saling berdebat dengan keras kepala. Akhirnya kejadian itu disampaikan oleh Ananda ke Buddha yang mengatakan bahwa kedua orang itu benar, namun mereka tidak mengerti konteks yang dibawakan.

Saya rasa mau "wujud final MMD", "MMD beta version" atau "MMD versi 2.0" adalah hal yang wajar. Pandangan saya terhadap ajaran Buddha pun senantiasa mengalami proses perubahan sesuai bertambahnya pengalaman.

Mengenai kasus “jumlah perasaan”, itu masih relevan jika suatu ketika Sang Buddha menyatakan perasaan memang terbagi dua, tiga, empat, dsb. Karena konsep dari sebuah perasaan itu nilainya relatif.

Tapi untuk kasus “nihilisme” atau “tidak nihilisme”, itu tidak relevan. Karena konsep dari sebuah nihilisme itu sudah memenuhi kriteria yang jelas, bukan mengambang sehingga kadang bisa disebut nihilisme atau tidak nihilisme. Jika suatu ketika seseorang mengatakan ini adalah “nihilisme”, tapi di lain waktu mengatakan ini adalah “tidak nihilisme”, dan di lain waktu kemudian ia mengatakan ini adalah “nihilisme”, maka hanya ada enam kemungkinan, yaitu:

- orang itu plin-plan
- orang itu terus mengalami transformasi konsep pandangan
- orang itu berbicara asal
- orang itu mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan
- orang itu kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa
- orang itu menganggap “nihilisme” dan “tidak nihilisme” adalah sama


Quote from: Kainyn_Kutho
Seperti saya katakan, namanya kepercayaan itu semua adalah subjektif. Tipitaka adalah demikian adanya, namun ketika dibaca satu orang, maka timbul satu pengertian. Dibaca orang lain, timbul pengertian lain. Yang objektif hanyalah tulisan. Ketika tulisan dipersepsi dan diproses pikiran, semua menjadi subjektif. Oleh karena itu saya katakan semua hanyalah kecocokan. Jika seseorang memandangnya demikian, maka pikiran "saya yang benar", "Buddhisme adalah aku, milikku", "aliran lain sesat" dan lain-lain tidak akan ada. Ia mengetahui semua itu hanyalah  objek yang diproses khanda, dan khanda berubah, tidak kekal, dan rapuh.

Saya memegang kepercayaan demikian sebagai ajaran Buddha, yang barang tentu tidak sejalan dengan orang lain, terutama yang menggenggam kepercayaan bahwa dirinya telah memiliki satu kebenaran. Kembali lagi pada kecocokan. Apakah saya sesat dan subjektif? Tidak masalah, semua adalah persepsi.

Saya sependapat dengan Anda. Ajaran Buddha Gotama saja juga bisa diklaim sebagai ajaran sesat oleh orang lain.

Karena itu saya melihat diskusi ini adalah ajang untuk berargumentasi, mana yang lebih bisa diterima dan dilihat secara objektif.
« Last Edit: 19 August 2009, 05:28:00 PM by upasaka »

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #535 on: 19 August 2009, 10:23:52 PM »
Pls be fair utk melihat  _/\_
maksud anda fair itu setuju dengan pendapat anda dan nggak fair itu tidak setuju dengan pendapat anda?

saya cuman menggarisbawahi terminologi pikiran = thought itu sama sekali gak salah dan juga bukan barang baru.
silakan definisikan menurut anda dan biarkan pembaca yg menilai sendiri, gak perlu bilang "gak fair".
sepertinya seolah2 hanya boleh ada satu interpretasi, satu penafsiran, satu standard, satu kitab, satu macam praktek.
saya pikir ini awal dari sebuah intoleransi, yg satu mengkafirkan yg lain.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #536 on: 19 August 2009, 10:59:20 PM »
ampun, om markos, kok sampe dibawa balik ke thought lagi sih?

di post yg atas, saya hanya menyimpulkan ada dua macam paradigma yg sangat kontras dalam mempelajari / praktek buddha dhamma: paradigma yg mengakumulasi dan paradigma yg melepas. saya mengajak kita merenung dan mencoba kedua macam paradigma ini dalam praktek masing2 untuk menilainya sendiri...

tapi saya juga ikuti deh arah pembicaraan thought ini di bawah.
Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Moha

nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali......
saya gak perlu nyari2 referensi sutta2 lah. mari lihat ke dalam seperti saran ajahn chah berikut:
Quote
One day, a famous woman lecturer on Buddhist metaphysics came to see Achaan Chah. This woman gave periodic teachings in Bangkok on the abhidharma and complex Buddhist psychology. In talking to Achaan Chah, she detailed how important it was for people to understand Buddhist psychology and how much her students benefited from their study with her. She asked him whether he agreed with the importance of such understanding.

"Yes, very important", he agreed.

Delighted, she further questioned whether he had his own students learn abhidharma.

"Oh, yes, of course."

And where, she asked, did he recommend they start, which books and studies were best?

"Only here," he said, pointing to his heart, "only here."

mari kita melihat ke dalam.
gini om markos, thought itu adalah sesuatu yg real yg anda lihat dalam meditasi.
cukup mengamati beberapa menit saja terlihat jelas ada "celoteh" yg bernyanyi di dalam kepala kita. celoteh ini kadang2 berasosiasi dengan masa lampau, kadang2 memprojeksikan masa depan. real kan? beneran ada kan?

apakah ini praktik buddhism?
ya jelas. semua guru meditasi buddhis mengenalinya. baca aja bukunya bhante gunaratana, bukunya ajahn brahm, atau master sheng yen atau yg lain2.

apakah celoteh ini bisa reda?
kayaknya jelas bisa.
mungkin anda pernah merasakan sendiri, saat thought anda agak reda, rasanya damai, semua indah, tidak ada ganjalan.

apakah celoteh ini bisa berhenti, berada hanya di saat ini (present) secara total?
mmmm.... ini sebaiknya dijawab dan dibuktikan oleh praktik masing2.

apakah kedamaian itu muncul dengan mengusir ldm, mengakumulasikan ketenangan, berusaha mencapai tingkat2 meditasi, memerangi kemelekatan, mendevelop mind (seperti kata anda)?
sama kayak di atas. silakan jawab dalam praktik masing2. cobalah paradigma akumulasi dan paradigma melepas / berhenti.

maaf kalo saya tidak mengutip apapun, tidak refer ke teori apapun dan ini mungkin mengecewakan anda...
kalo ini tidak bisa dimengerti ataupun dikaitkan dengan teori2, saya hanya bisa menulis sampai di sini saja.

ps: walaupun saya memakai istilah "celoteh", ini tidak selalu mengacu pada sesuatu yg terdengar
« Last Edit: 19 August 2009, 11:03:13 PM by morpheus »
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline hendrako

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.244
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #537 on: 19 August 2009, 11:14:53 PM »
ampun, om markos, kok sampe dibawa balik ke thought lagi sih?

di post yg atas, saya hanya menyimpulkan ada dua macam paradigma yg sangat kontras dalam mempelajari / praktek buddha dhamma: paradigma yg mengakumulasi dan paradigma yg melepas. saya mengajak kita merenung dan mencoba kedua macam paradigma ini dalam praktek masing2 untuk menilainya sendiri...

tapi saya juga ikuti deh arah pembicaraan thought ini di bawah.
Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Moha

nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali......
saya gak perlu nyari2 referensi sutta2 lah. mari lihat ke dalam seperti saran ajahn chah berikut:
Quote
One day, a famous woman lecturer on Buddhist metaphysics came to see Achaan Chah. This woman gave periodic teachings in Bangkok on the abhidharma and complex Buddhist psychology. In talking to Achaan Chah, she detailed how important it was for people to understand Buddhist psychology and how much her students benefited from their study with her. She asked him whether he agreed with the importance of such understanding.

"Yes, very important", he agreed.

Delighted, she further questioned whether he had his own students learn abhidharma.

"Oh, yes, of course."

And where, she asked, did he recommend they start, which books and studies were best?

"Only here," he said, pointing to his heart, "only here."

mari kita melihat ke dalam.
gini om markos, thought itu adalah sesuatu yg real yg anda lihat dalam meditasi.
cukup mengamati beberapa menit saja terlihat jelas ada "celoteh" yg bernyanyi di dalam kepala kita. celoteh ini kadang2 berasosiasi dengan masa lampau, kadang2 memprojeksikan masa depan. real kan? beneran ada kan?

apakah ini praktik buddhism?
ya jelas. semua guru meditasi buddhis mengenalinya. baca aja bukunya bhante gunaratana, bukunya ajahn brahm, atau master sheng yen atau yg lain2.

apakah celoteh ini bisa reda?
kayaknya jelas bisa.
mungkin anda pernah merasakan sendiri, saat thought anda agak reda, rasanya damai, semua indah, tidak ada ganjalan.

apakah celoteh ini bisa berhenti, berada hanya di saat ini (present) secara total?
mmmm.... ini sebaiknya dijawab dan dibuktikan oleh praktik masing2.

apakah kedamaian itu muncul dengan mengusir ldm, mengakumulasikan ketenangan, berusaha mencapai tingkat2 meditasi, memerangi kemelekatan, mendevelop mind (seperti kata anda)?
sama kayak di atas. silakan jawab dalam praktik masing2. cobalah paradigma akumulasi dan paradigma melepas / berhenti.

maaf kalo saya tidak mengutip apapun, tidak refer ke teori apapun dan ini mungkin mengecewakan anda...
kalo ini tidak bisa dimengerti ataupun dikaitkan dengan teori2, saya hanya bisa menulis sampai di sini saja.

ps: walaupun saya memakai istilah "celoteh", ini tidak selalu mengacu pada sesuatu yg terdengar


 :yes:
yaa... gitu deh

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #538 on: 20 August 2009, 09:18:15 AM »
Quote
kasus ky gini mirip kaya yg pernah aye alami dulu : begitu ngeliat ada yg "tertindas", muncul "rasa keadilan" dan dilekati sehingga membuat jadi buta, tuli.
Yg penting selesaikan misi yaitu menyelamatkan yg tertindas, padahal bisa aja yg tertindas itu yg ngaco..... mirip ky org nyebrang sembarangan, lalu ketabrak. Yg salah adalah yg naek mobil

bingung..... bingung.........
;D ;D ;D ;D  sering terjadi yg begini..
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: comotan dari blog tetangga
« Reply #539 on: 20 August 2009, 09:35:53 AM »
ampun, om markos, kok sampe dibawa balik ke thought lagi sih?

di post yg atas, saya hanya menyimpulkan ada dua macam paradigma yg sangat kontras dalam mempelajari / praktek buddha dhamma: paradigma yg mengakumulasi dan paradigma yg melepas. saya mengajak kita merenung dan mencoba kedua macam paradigma ini dalam praktek masing2 untuk menilainya sendiri...

tapi saya juga ikuti deh arah pembicaraan thought ini di bawah.
Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Moha

nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali......
saya gak perlu nyari2 referensi sutta2 lah. mari lihat ke dalam seperti saran ajahn chah berikut:
Quote
One day, a famous woman lecturer on Buddhist metaphysics came to see Achaan Chah. This woman gave periodic teachings in Bangkok on the abhidharma and complex Buddhist psychology. In talking to Achaan Chah, she detailed how important it was for people to understand Buddhist psychology and how much her students benefited from their study with her. She asked him whether he agreed with the importance of such understanding.

"Yes, very important", he agreed.

Delighted, she further questioned whether he had his own students learn abhidharma.

"Oh, yes, of course."

And where, she asked, did he recommend they start, which books and studies were best?

"Only here," he said, pointing to his heart, "only here."

mari kita melihat ke dalam.
gini om markos, thought itu adalah sesuatu yg real yg anda lihat dalam meditasi.
cukup mengamati beberapa menit saja terlihat jelas ada "celoteh" yg bernyanyi di dalam kepala kita. celoteh ini kadang2 berasosiasi dengan masa lampau, kadang2 memprojeksikan masa depan. real kan? beneran ada kan?

apakah ini praktik buddhism?
ya jelas. semua guru meditasi buddhis mengenalinya. baca aja bukunya bhante gunaratana, bukunya ajahn brahm, atau master sheng yen atau yg lain2.

apakah celoteh ini bisa reda?
kayaknya jelas bisa.
mungkin anda pernah merasakan sendiri, saat thought anda agak reda, rasanya damai, semua indah, tidak ada ganjalan.

apakah celoteh ini bisa berhenti, berada hanya di saat ini (present) secara total?
mmmm.... ini sebaiknya dijawab dan dibuktikan oleh praktik masing2.

apakah kedamaian itu muncul dengan mengusir ldm, mengakumulasikan ketenangan, berusaha mencapai tingkat2 meditasi, memerangi kemelekatan, mendevelop mind (seperti kata anda)?
sama kayak di atas. silakan jawab dalam praktik masing2. cobalah paradigma akumulasi dan paradigma melepas / berhenti.

maaf kalo saya tidak mengutip apapun, tidak refer ke teori apapun dan ini mungkin mengecewakan anda...
kalo ini tidak bisa dimengerti ataupun dikaitkan dengan teori2, saya hanya bisa menulis sampai di sini saja.

ps: walaupun saya memakai istilah "celoteh", ini tidak selalu mengacu pada sesuatu yg terdengar


dear bro morph,

tolong jgn dibalik seolah saya yg memaksakan harus sesuai teori, dan menisbikan praktek....

saya justru hanya merespons komentar anda yaitu :

Quote
di sini anda merasa semuanya harus sesuai standard abhidhamma anda. padahal pak hudoyo jelas2 bilang terminologi yg dia pake ini bukan barang baru, bukan bikinan sekadar buat beda. terminologi citta seperti ini udah lazim dipake oleh bhikkhu2 lain:

yang merujuk ke :

Quote
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.

Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.

'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).

Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.

Karena anda mengutip berbagai sutta diatas, saya coba mencari dan hasilnya saya quote dibawah yaitu

Quote
Gini deh bro...... mari kita lihat salah satu sutta yg diberikan oleh PH sendiri yaitu S.III.152 atau Nava Sutta yaitu :



Quote
"Suppose a hen has eight, ten, or twelve eggs that she covers rightly, warms rightly, & incubates rightly: Even though this wish may not occur to her — 'O that my chicks might break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely!' — still it is possible that the chicks will break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely. Why is that? Because the hen has covered them, warmed them, & incubated them rightly. In the same way, even though this wish may not occur to a monk who dwells devoting himself to development — 'O that my mind might be released from effluents through lack of clinging!' — still his mind is released from the effluents through lack of clinging. Why is that? From developing, it should be said.

Developing what? The four frames of reference, the four right exertions, the four bases of power, the five faculties, the five strengths, the seven factors for Awakening, the noble eightfold path.



Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Moha

nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali...... misal thought dalam buku Bhikkhu Bodhi sedikit menyamakan dengan right intention, namun dengan catatan :

Jadi bingung.......... diatas anda menyetujui rujukan citta dari berbagai sutta, namun saat ditunjukkan isi dari salah satu sutta yang anda rujuk, anda bilang tidak refer ke teori apapun

itu yg saya sebut : pls be fair lah.......... bukan harus setuju dengan saya, justru bagaimana anda bisa konsisten, kalau merujuk citta dari berbagai sutta, mari kita lihat isi dari sutta itu
Dan ternyata setelah dilihat, hasilnya justru MENGEMBANGKAN PIKIRAN, yang notabene malah bertentangan dengan konsep TERHENTINYA PIKIRAN

nah apakah anda bisa dan mau fair dalam melihat ini?  ;)

Jika anda berkenan, mari kita buka kembali ke sutta2 yang anda rujuk dan mari kita lihat teks aslinya, bukan hanya berdasar rujukan dari perorangan saja, fair enough?  _/\_

Satu hal yg kembali harus saya angkat, isi Tipitaka TIDAK MUNGKIN saling bertentangan, simple kok  ;D