Kelima, Beliau adalah Arahat karena Beliau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat apapun, sekalipun di tempat yang rahasia ( raha ), tidak seperti mereka yang menyatakan diri mereka suci, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan jahat di tempat-tempat rahasia karena takut akan diketahui. Karena itu Beliau disebut “Araham” denga pengertian “A-raha”, bebas dari perbuatan jahat di tempat rahasia.
Jadi, seorang “Arahat”, Beliau yang jauh (araka) dari kejahatan, yang telah menghancurkan musuh-musuh yang berupa kejahatan (ari-hat), yang tidak melakukan kejahatan-kejahatan, sekalipun di tempat rahasia ( a-raha ). Oleh karena itu Beliau adalah : ARAHAM.
b). Sammasambuddho
Sammasambuddho adalah seorang yang telah mencapai pencerahan-sempurna disertai “Ke-Mahatahu-an” ( Sabbannuta ) atas usaha sendiri dan mengajarkan orang lain untuk merealisasi keadaan yang sama, yang pada waktu itu tidak ada lagi Dhamma di bumi.
c). Vijjacaranasampano
Ia telah sempurna ( Sampanno ) dalam pengetahuan luar biasa ( Vijja ) dan laku-lampah ( Carano ). Dalam Ambatha Sutta, Majjhima NikayaI.100, Vijja merupakan :
- Pandangan-terang ( Vipassana-nana )
- Memiliki berbagai kesaktian ( Iddhi-viddhi ) ; seperti menggandakan dirinya dari satu menjadi banyak, kemudian kembali dari banyak menjadi satu, kemampuan berjalan diatas air, kemampuan melayang di udara, kemampuan mendatangkan hujan di tempat yang gersang, kemampuan menyelam dalam bumi, kemampuan berdiam dalam bongkahan batu, kemampuan melunakkan bebatuan, mendatangkan angin, menciptakan sinar , melihat tembus ruang-waktu, menciptakan sesuatu ( seperti ketika Sang Buddha menciptakan perempuan cantik didepan Ratu Khema istri Raja Bimbisara dihadapan para Bhikkhu yang sedang diberi ceramah Dhamma oleh Sang Buddha ) , dan yang terutama, memiliki “Keajaiban-Ganda” ( Yamaka-Patihariya ) , yaitu menciptakan fenomena kembar ( pori-pori tubuh bagian atas menyemburkan api, pori-pori tubuh bagian bawah mennyemburkan air, dan begitu juga sebaliknya ), serta lain-lain kesaktian
- Telinga Dewa ( Dibba-sota )
- Membaca pikiran orang lain ( Cetopariya-nana )
- Mengetahui kehidupan-kehidupan yang lampau ( PUbbenivasanussati-nana )
- Mata-Dewa ( Dibbacakkhu )
- Melenyapkan semua kekotoran batin ( Asavakhaya-nana )
Kedelapan (
pengetahuan luar biasa Sang Buddha tersebut diatas disebut “Vijja”, dengan pengertian menghancurkan (Vidavidarane ; memecahkan) existensi fenomenal, atau mengalami ( Veda-vide-vida ) “Nibbana”.
“Carana” terdiri atas lima-belas (15) unsure :
1. Kesempurnaan Sila ( Sila-Sampada )
2. Pengendalian Indria ( Indria Samvara )
3. Makan secukupnya ( Bhojanamattannuta )
4. Waspada dan menjaga diri dalam tiga waktu ( Jaganiyanuyoga )
5. Keyakinan ( Saddha )
6. Malu melakukan perbuatan jahat ( Hiri )
7. Takut akibat-akibat perbuatan jahat ( Ottapa )
8. Berpengetahuan luas ( Bahusacca )
9. Semangat ( Viriya )
10. Sadar ( Sati )
11. Bijaksana ( Panna )
12. Jhana pertama ( Pathama Jhana )
13. Jhana kedua ( Dutiya Jhana )
14. Jhana ketiga ( Tatiya Jhana )
15. Jhana keempat ( Catuttha Jhana )
Dengan lima belas unsure-unsur tersebut, seseorang dapat merealisasi Nibbana. Oleh karena itu unsure-unsur itu disebut “laku-lampah”. Di dalam Majjhima Nikaya (I.355) dijelaskan secara terinci sebagai jalan untuk merealisasi Nibbana. Diresapi oleh pengetahuan dan laku lampah yang demikian, maka Sang Buddha dikatakan sebagai “Vijja-carana-sampanno”.
Lebih lanjut, kesempurnaan Pengetahuan membawa Sang Buddha kepada “Ke-Mahatahu-an” ( Sabbannuta-nana ) dan kesempurnaan laku-lampah kepada Maha-Karuna.
Dengan Vijja-sampanno, Ia mampu untuk mengerti keadaan dari semua makhluk. Kasih-sayang-NYa yang besar mendorong-Nya untuk memajukan mereka kedalam jalan yang berfaedah. Oleh sebab itu pengikut-pengikut Sang Buddha terbimbing dengan benar, tidak tersesat seperti siswa-siswa dari petapa-petapa / suciwan-suciwan lainnya, karena kurangnya pengetahuan (Vijja) dan laku-lampah (Carana) mereka.
d). Sugato
Setelah melalui jalan yang benar, Bhagava merealisasi Nibbana, karena itu Beliau disebut “SUGATA”, yang secara harafiah berarti “Yang-Telah-Merealisasi”. Ia telah pergi dengan bahagia sepanjang jalan itu, yaitu Jalan Mulia ( Ariya Magga ). Tanpa ragu-ragu Beliau telah melaluinya ke tempat yang aman. Jadi ia telah sampai dengan sempurna “pada tempat yang benar, keadaan tanpa kematian, “Amata” / “Amerta”.
e).Lokavidu
Sang Bhagava mengetahui alam semesta dalam semua segi, maka ia disebut “Pengenal Alam Semesta “ (Lokavidu) . Loka berarti alam-semesta. Alam semesta ini dikelompokkan menjadi :
a. Alam Benda ( Sankhara Loka )
b. Alam Makhluk Hidup ( Satta Loka )
c. Alam Tempat ( Okasa Loka )
Sang Bhagava mengetahui semua alam tersebut dengan segala isinya seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, manussa, deva, dan brahma, dengan segala kecenderungan, perbuatan dan kehendak mereka.
f). Anuttaropurisadhammasarati
Tidak ada makhluk lain di ala mini yang lebih suci darpiada Sang Buddha. Karena itu Sang Buddha diberi gelar “Tidak-ada-bandingnya” ( Anuttaro ). Beliau menuntukn (Sarathi) makhluk yang harus dijinakkan ( purisadhamma ) melatih mereka ( vinati ) dan menundukkan ( dameti ) seperti kusir ( sarata ) melatih kuda.
Disini “purisadhamma” berarti mereka ( manusia atau bukan ) yang belum dilatih dan yang pantas dilatih.
Ia juga mendidik mereka yang telah mendapat latihan, menerangkan pada mereka tentang Samadhi dan pencapaian-pencapaian lainnya, menganjurkan mereka menempuh jalan untuk kemajuan, menuntun mereka mencapai Arahat.
Oleh sebab itu Bhagava disebut “Kusir-yang-tidak-ada-bandingnya” atau “Pemimpin-mereka-yang-menuntun” ( Anuttaro Purisadhamma Sarati ).
g).Satta Devamanussanam
Beliau melatih makhluk-makhluk sesuai dengan watak mereka, melihat apa yang baik bagi mereka di dalam kehidupan ini dan akan datang.
Sebagai seorang Guru ( Sattha ), beliau bagaikan pemimpin kafilah ( Sattha vaha ), yang memimpin kafilah menyeberangi padang pasir, melalui sarang-sarang penyamun, melalui hutan-hutan yang didiami binatang-binatang liar, melalui daerah yang tidak berair membawa mereka ke tempat yang aman.
Demikian pula Bhagava membawa makhluk-makhluk ( dewa maupun manusia ) menyeberangi padang pasir samsara, melewati kelahiran, usia tua, kelapukan dan kematian. Serta membawa mereka dengan selamat ke Nibbana. Oleh sebab itu Beliau adalah Guru para Deva dan Manussa.
h).Buddho
Buddha adalah seseorang yang telah merealisasi “Pencerahan-Sempurna”. Sebutan bagi mereka yang telah menyadari kebebasan-Nya ( dari samsara ). Ia telah bangun dan membangunkan orang lain. Ia telah mencapai Pencerahan-Sempurna di bawah pohon Bodhi disertai “Ke-Mahatahu-an” (Sabbannuta-nana ). Jadi, Ia adalah BUDDHA, mencapai pencerahan-sempurna atas usahanya sendiri dan menjadikan orang lain merealisasi juga Pencerahan-Sempurna.
i). Bhagava
“Bhagava” adalah sebutan untuk menghormati dan memuji mereka yang paling mulia diantara semua makhluk, yang paling tinggi dalam kesucian.
Bhagava bukanlah suatu nama yang diberikan oleh orang tua atau keluarga tetapi diberikan pada BUDDHA, mereka yang telah mencapai Pencerahan-Sempurna, dengan “Ke-Mahatahu-an” di bawah pohon Bodhi. Bhagava menunjukkan telah berhasil dalam merealisasi sifat-sifat di atas makhluk biasa.
Kemudian, selain hal-hal yang sudah disebutkan diatas, Seorang Samma-Sambuddha memiliki beberapa “ciri-ciri” yang lainnya, yaitu :
I. Dasabalabana (10 Kemampuan Pandangan Terang) :
1. Pandangan Terang tentang kemungkinan-kemungkinan dan ketidakmungkinan (thanathananana).
2. Pandangan Terang tentang akibat-akibat karma (vipakanana).
3. Pandangan Terang tentang praktik-praktik yang membawa pada bermacam-macam alam kehidupan (sabbatthagaminipatipadanana).
4. Pandangan Terang tentang susunan unsur-unsur kehidupan (banadhatunana).
5. Pandangan Terang tentang perbedaan kecenderungan-kecenderungan (nana-dhimuttikanana).
6. Pandangan Terang tentang perkembangan kemampuan-kemampuan makhluk (indriyaparopariyattinana).
7. Pandangan Terang tentang pencapaian Jhana dan kemundurannya karena ke-kotoran-kekotoran batin (jhanasankilesadinana).
8. Pandangan Terang tentang kelahiran-kelahiran sebelumnya (pubbenivasanus-satinana).
9. Pandangan Terang tentang kelahiran dan kematian makhluk-makhluk berda-sarkan perbedaan karma mereka (cutupapatanana).
10. Pandangan Terang yang menghancurkan kekotoran-kekotoran batin untuk se-ketika dan untuk selama-lamanya (asavakkhayanana).
II. Seorang Samma-Sambuddha memiliki 32 Tanda Istimewa Manusia Agung (Maha Purisa Lakkhana) sebagai berikut :
1. Telapak kaki rata (suppatitthita-pado).
2. Di telapak kaki terdapat lingkaran dengan seribu ruji, dengan bentuk lingkar dan pusat sempurna.
3. Bentuk tumit bagus (ayatapanhi).
4. Jari – jari panjang (dighanguli).
5. Tangan dan kaki : lembut dan halus (mudu-taluna).
6. Tangan dan kaki bagaikan jala (jala-hattha-pado).
7. Tulang pergelangan kaki seperti kulit kerang (ussankha-pado).
8. Kaki bagaikan kaki kijang (enijanghi).
9. Bila berdiri tanpa membungkukkan badan, dengan kedua tangan-Nya dapat menyentuh atau menggosok kedua lutut-Nya.
10. Alat kelamin terbungkus oleh selaput (kosohita-vatthaguyho).
11. Warna kulit bagaikan perunggu berwarna emas.
12. Kulit sangat licin sehingga tidak debu yang dapat melekat di tubuh-Nya.
13. Pada setiap pori-pori di kulit-Nya tumbuh sehelai bulu.
14. Rambut berwarna biru kehitan-hitaman tumbuh keriting ke atas berbentuk ling-karan kecil dengan arah berputar ke kanan.
15. Potongan tubuh yang agung (brahmujju-gatta).
16. Tujuh otot yang kuat (sattusado).
17. Dada bagaikan dada singa (sihapubbaddha-kayo).
18. Di kedua bahu tidak ada lekukan.
19. Potongan tubuh bagaikan pohon nigrodha (beringin). Tinggi tubuh-Nya sama dengan rentangan kedua tangan-Nya, begitu pula sebaliknya.
20. Bahu yang sama lebar (sama-vattakkhandho).
21. Indera perasa sangat peka (rasaggasaggi).
22. Rahang bagaikan rahang singa (sihabanu).
23. Gigi : empat puluh buah.
24. Gigi yang sama (sama-danto).
25. Gigi yang tetap (avivara-danto).
26. Gigi putih bersih.
27. Lidah panjang (pahuta-jivha).
28. Suara bagaikan suara brahma yang seperti suara burung karavika.
29. Mata biru.
30. Bulu mata bagaikan mata sapi (gopakhumo).
31. Di antara alis mata tumbuh (sehelai) rambut halus, putih bagaikan kapas yang halus.
32. Kepala bagaikan kepala berserban (unhisasiso).
III. Seorang Samma-Sambuddha mencapai dan membabarkan pengetahuan yang tidak pernah didengar sebelumnya ( berarti, sebelum munculnya seorang Buddha, ajaran tersebut belum pernah diajarkan siapapun ; ORIGINAL ).
Dalam Dhammacakkappavattana Sutta, pada saat membabarkan Empat Kebenaran Mulia ( Cattari Ariya-Saccani ), masing-masing dinyatakan sebagai berikut :
“Inilah Kebenaran Mulia tentang Dukkha. Demikianlah, o para bhikkhu, me-ngenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah saya dengar (pubbe ananussutesu) menjadi terang dan jelas ; timbullah pandangan, timbullah pe-ngetahuan, timbullah kebijaksanaan, timbullah penembusan, timbullah cahaya, … “.
IV. Semua Samma-Sambuddha mengajarkan Dhamma yang sama. Oleh sebab itu, maka sebelum ajaran seorang Samma-Sambuddha lenyap dari muka bumi ( dilupakan oleh semua manusia ), tidak akan mungkin muncul Sammasambuddha baru.
Saya rasa, Romo Hudoyo patut memperhatikan hal-hal tersebut diatas sebelum mengambil kesimpulan bahwa seseorang, dalam hal ini J.Krishnamurti, adalah seorang “BUDDHA”.
7. PENOLAKAN ROMO HUDOYO [ dengan halus ] AKAN AJARAN “ANATTA”
Secara halus, Romo Hudoyo menolak doktrin “Anatta” yang merupakan cirri-khas Buddha-Dhamma. Sebab ada “Atta” yang selalu muncul sebagai pikiran, keinginan, harapan, ketidaksenangan, dan lain sebagainya. Menurut Romo Hudoyo, Anatta tidak bisa dialami saat meditasi. Anatta hanyalah konsep belaka, begitu menurut Romo Hudoyo. Dan Romo Hudoyo sendiri menegaskan, disitulah ( penolakan Anatta ) perbedaan “ajaran” Romo Hudoyo dengan Ti-Lakkhana dalam ajaran Sang Buddha Gotama.
Itulah sebabnya dalam retret MMD saya tidak pernah mengajarkan ‘anatta’ lagi … Saya mengajarkan karakteristik yang dalam agama Buddha disebut ‘anicca’ & ‘dukkha’ … lalu ‘atta’ yang selalu muncul sebagai pikiran, keinginan, harapan, ketidaksenangan dsb. … ‘Atta’ ini yang melekat kepada segala sesuatu yang ‘anicca’ sehingga terjadilah ‘dukkha’. … (Sudah tentu saya tidak menggunakan kata-kata Pali itu kalau pesertanya non-Buddhis.) …
Saya tidak pernah lagi mengajarkan tilakkhana sebagai kombinasi ‘anicca, dukkha, anatta’ … alih-alih, saya mengajarkan ‘anicca, dukkha, atta’ karena hanya inilah yang bisa kita alami dalam meditasi. …
‘Anatta’ tidak bisa kita alami dalam meditasi, ‘anatta’ cuma konsep dari ingatan/pikiran yang mencampuri meditasi sehingga orang tidak melihat ‘anicca, dukkha & atta’ seperti apa adanya. … Selanjutnya, ‘anicca, dukkha & atta’ itu akan lenyap bila pikiran & aku berhenti (khanika-samadhi), sekalipun cuma untuk sementara. … DI SINILAH PERBEDAAN AJARAN SAYA DENGAN KONSEP TILAKKHANA yang pervasif di dalam Tipitaka Pali … ini perbedaan pengertian seorang praktisi MMD dengan praktisi vipassana tradisional atau umat Buddha yang hanya menghafal konsep tilakkhana.
Salam,
hudoyo
[ Sumber =
http:///showthread.php?t=878014&page=6 ]
Ketika seorang ummat Buddha berdiskusi dengan Romo Hudoyo, dan menyatakan saat bervipassana ia melihat Ti-Lakkhana, Romo Hudoyo kembali menegaskan bahwa itu hanyalah tafsiran dari pikiran ummat Buddha tersebut.
Tetapi ketika Anda berkata “… disitulah saya memahami anicca, dukha dan anatta …”, itu tidak lain adalah tafsiran pikiran yang muncul kembali yang menggunakan konsep tilakkhana … terutama tentang ‘anatta’, karena menurut hemat saya, tidak seorang pun puthujjana bisa melihat ‘anatta’ secara otentik; hanya seorang arahat bisa mengalami anatta. …
Itu tentang ‘anicca’ & ‘dukkha’. … Lain lagi dengan ‘anatta’ … tidak ada pencerahan tentang ‘anatta’. … ‘Anatta’ hanya dialami oleh seorang arahat. … Karena Anda belum arahat, maka dalam meditasi Anda tidak mungkin Anda mengalami ‘anatta’. …
Sumber =
http:///showthread.php?t=878014&page=6
Mungkin statement yang terakhir ini ~”Anatta” hanya dialami oleh seorang Arahat~ lebih “lentur” dibandingkan statement yang pertama diatas ketika Romo Hudoyo dengan tegas menolak konsep “Anatta” dan dengan itu meyakinkan bahwa disitulah letak perbedaan “ajaran” beliau dengan ajaran Buddha-Dhamma umumnya. Tetapi, meskipun terlihat lebih “lentur”, statement tersebut tetap mengandung “cacat” dan menunjukkan perbedaannya dengan apa yang diajarkan dalam Buddha-Dhamma.
Di satu sisi saya setuju dengan Romo Hudoyo, bahwa seorang puthujjana, atau menurut saya lebih tepatnya adalah seorang “assutava puthujjana” ( manusia biasa yang tidak belajar ) / manusia-duniawi-biasa, yang tidak memiliki pencapaian spiritual maupun pembelajaran di dalam Buddha-Dhamma, ia dikuasai oleh berbagai macam kekotoran batin dan pandangan-pandangan salah. Dan assutava-puthujjana seperti ini memang tidak bisa melihat “anatta” ( ke-tanpa-diri-an atau / tidak-adanya-AKU ).