Dalam berbagai kesempatan, Romo Hudoyo senantiasa menyatakan, bahwa apa yang menjadi tujuan dari praktik “MMD” adalah “berhentinya-pikiran” .
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah “berhentinya-pikiran” sama dengan “berakhirnya-dukkha” sebagaimana yang diajarkan Sang Buddha ? Berakhirnya-dukkha ( Dukkha-nirodha-sacca ) ialah sama dengan “Nibbana” / “Nirvana”. Sebelum membahas “berakhirnya-dukkha”, kita harus tahu, apakah “dukkha” itu sendiri ? Sang Buddha bersabda =
“Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu? Itu bukan lain adalah kelima kelompok kegernaran (Panca-Khandha), …. “ ( Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)
Dukkha adalah kelima kelompok kegemaran ( Panca-Khanda), dan berakhirnya dukkha berarti berakhirnya kombinasi dari “panca-khanda” tersebut..
Pencerahan yang tertinggi (terdalam) ialah khanika-samadhi, runtuhnya pikiran & si aku untuk waktu yang relatif lama (bukan hanya beberapa momen). … Khanika-samadhi ini yang kelak akan menghasilkan pembebasan permanen, yang adalah pencerahan sempurna; tapi sejak orang masuk ke dalam khanika-samadhi dirinya dan pikirannya (perasaannya, kehendaknya dsb) tidak ada lagi (kecuali ia keluar lagi dari khanika-samadhi).
Salam,
hudoyo
Jika khanika-samadhi inilah yang dimaksudkan oleh Romo Hudoyo sebagai pencapaian “berhentinya-pikiran”, maka setahu saya, khanika-samadhi, adalah kondisi “konsentrasi-pikiran” yang bersifat “sesaat”, tidak permanent, ...; konsentrasi-pikiran yang melihat lakkhana (anicca,dukkha dan anatta) atau karakteristik batin dan jasmani yang muncul dan lenyap kembali (khanika). Tapi, bukankah dalam khanika-samadhi, “pikiran” itu justru sedang “bergerak” mengamati muncul dan lenyapnya segala fenomena, sesaat mengamati suatu fenomena muncul, disaat yang lain mengamati fenomena tersebut lenyap, saat yang lain lagi mengamati adanya fenomena yang lain muncul kembali, dan kemudian mengamati fenomena lain tersebut melenyap. Demikian seterusnya. Jadi, bukankah keliru kalau dikatakan saat itu “pikiran-berhenti” ?
Kembali membahas mengenai “dukkha”. Sang Buddha mengajarkan, sebab dari dukkha adalah dikarenakan “nafsu-keinginan” (tanha) . Lenyapnya tanha ini pula, berarti penderitaan ( sebagai akibat tanha ) ikut berakhir. Apakah dengan “MMD”, telah terbukti ada yang mampu melenyapkan “tanha” ? Apakah ada, yang telah terbukti tercabut ketiga-akar : Lobha ( keserakahan ), Dosa ( Kemarahan ), dan Kegelapan-Batin ( Moha ) -nya ?
---
Penggalan artikel diatas sangat menarik, karena disinilah salah satu kontradiksi antara MMD dan Buddhisme.
Tujuan Buddhisme adalah "mengakhiri dukkha" sedangkan jalannya menurut MMD adalah "Berhentinya pikiran" maka pertanyaannya:
~ Apakah berhentinya pikiran sama dengan akhir dukkha?
~ apakah pikiran bisa berhenti?
::
(http://www.roadsideamerica.com/attract/images/ak/AKHAIhammer_hovde.jpg)
Kalau menurut saya sih.. utk berhentinya pikiran ya pakai yg praktis aja.
spt :hammer: PALU :hammer:
(http://www.roadsideamerica.com/attract/images/ak/AKHAIhammer_hovde.jpg)
Kalau menurut saya sih.. utk berhentinya pikiran ya pakai yg praktis aja.
spt :hammer: PALU :hammer:
blom tentu loh...
Siapa ya, tokoh komik yg kalau kepalanya diketok palu malah keluar ide2 brilliant... yg artinya pikiran bukannya berhenti, tapi malah mengalir makin cepat dan tajam? :))
::
(http://www.roadsideamerica.com/attract/images/ak/AKHAIhammer_hovde.jpg)
Kalau menurut saya sih.. utk berhentinya pikiran ya pakai yg praktis aja.
spt :hammer: PALU :hammer:
blom tentu loh...
Siapa ya, tokoh komik yg kalau kepalanya diketok palu malah keluar ide2 brilliant... yg artinya pikiran bukannya berhenti, tapi malah mengalir makin cepat dan tajam? :))
::
I kyu san :))
(http://www.roadsideamerica.com/attract/images/ak/AKHAIhammer_hovde.jpg)
Kalau menurut saya sih.. utk berhentinya pikiran ya pakai yg praktis aja.
spt :hammer: PALU :hammer:
blom tentu loh...
Siapa ya, tokoh komik yg kalau kepalanya diketok palu malah keluar ide2 brilliant... yg artinya pikiran bukannya berhenti, tapi malah mengalir makin cepat dan tajam? :))
::
jadi teringat 1 tahun lalu... nostalgia, mana nih para martir? arale, semit, dll?
jadi teringat 1 tahun lalu... nostalgia, mana nih para martir? arale, semit, dll?
> Bersediakah bapak menjelaskan di sutta mana Sang Tathagata pernah mengajarkan Meditasi Mengenal Diri?
----------------------
Di dalam Mulapariyaya-sutta, Bahiya-sutta & Malunkyaputta-sutta.
> Saya bertanya dengan cetana ingin tahu. Dan sangat menghargai jawaban yang bapak berikan. Sekiranya bapak yang menemukan metode meditasi yang baru tentunya pencapaian bapak luar biasa. Mohon maaf jika bapak kurang berkenan dengan pertanyaan saya.
----------------------
Saya tidak meenmukan metode MMD. Saya adalah praktisi meditasi MMD, sesuai ajaran Sang Buddha dalam ketiga sutta itu.
> salam metta
----------------------
Salam metta kembali,
Hudoyo
Perlu saya kemukakan bahwa pendekatan MMD ini saya pelajari dari J.Krishnamurti,
yang menurut hemat saya adalah seorang yang telah mencapai pencerahan & pembebasan sempurna
dalam hidupnya di abad ke-20 lalu, entah apapun namanya : arahat, buddha, insan kamil,
hidup di dalam Allah, apa pun,
[ Sumber =
http://www.usenet.com/newsgroups/soc.culture.indonesia/msg03344.html ]
"Apakah ada diantara peserta MMD yang telah tidak dicengkeram “tanha” (
nafsu-keinginan ) ? Ini saja pertanyaan sederhana untuk mengukur sampai
sejauh mana kebenaran pernyataan “siapapun yang mengikuti MMD ia akan
mengakhiri dukkha”."
Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada Anda dan semua orang yang
berpegang pada kitab suci Agama Buddha. Jadi tidak perlu saya jawab.
Namo Buddhaya,
Kepada Yth. Bp.Hudoyo Hupudhio =
Bp.Hudoyo, saya ada pertanyaan untuk anda =
1. Bila bapak memang menolak “Jalan Ariya Beruas Delapan” dan “Empat Kesunyataan Mulia” , mengapa Bapak masih menyatakan diri / menggunakan predikat sebagai ummat Buddha ? Ummat Buddha adalah ummat yang mengikuti ajaran dan Jalan Buddha ; dan itu adalah Ajaran (Dhamma) dan Jalan yang Bapak tolak tersebut.
2. Bila bapak menolak kebenaran isi “Ti-Pitaka”, mengapa Bapak masih menyatakan diri / menggunakan predikat sebagai ummat Buddha ? Sebab ummat Buddha mendasarkan diri pada ajaran Buddha yang tertuang dalam Ti-Pitaka (Pali) maupun Tri-Pitaka (Sanskerta).
3. Bila bapak menolak ajaran fundamen dan Jalan sebagaimana saya maksud dalam point kesatu diatasi, serta menolak kebenaran isi “Ti-Pitaka”, lalu ajaran dan Jalan serta kitab mana / apa yang Bapak ikuti ?
4. Ummat Buddha ber-Tisarana , pada Buddha-Dhamma-Arya Sangha. Sehingga, ummat Buddha mengikuti Sang Buddha sebagai satu-satunya Guru, kemudian mengikuti “Dhamma” yang dibabarkan oleh Sang Bhagava ( bukan dhamma yang dibabarkan guru lain ), dan juga mengikuti jejak-langkah para Ariya-Sangha sejak setidaknya jaman Sang Buddha Gotama hingga sekarang. Apakah bapak Hudoyo masih menganggap Sang Buddha sebagai SATU-SATUNYA GURU ? Apakah Bapak Hudoyo masih berlindung pada DHAMMA yang DIAJARKAN SANG BUDDHA ( bukan dhamma yang diajarkan guru lain ) ? Apakah bapak masih tetap tidak meragukan ARIYA-SANGHA ? ( Bila tidak meragukan Ariya-Sangha, mengapa bapak meragukan Ti-Pitaka serta menganggap Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Ariya Beruas Delapan hanyalah hasil “sisipan” Bhikkhu2 Sangha setelah Sang Buddha Parinibbana ? )
5. Sang Buddha adalah satu-satunya Guru bagi ummat Buddha. Bahkan sebagaimana tertera dalam Vimamsaka-Sutta ( Majjhima-Nikaya, sutta ke-47 ), ciri2 seorang Sotapanna adalah, keyakinannya pada Sang Buddha tidak tergoyahkan lagi, “keyakinannya sudah ditopang oleh alasan, berakar di dalam visi, dan mantap; keyakinannya tak terkalahkan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Mara atau Brahma atau siapapun didunia ini. “ Sehingga, mengapa sebagai ummat Buddha, bapak Hudoyo lebih memilih “berguru” pada J.Krishnamurti ?
6. Dari kesemua hal itu, apakah bapak merasa masih bertanggungjawab sebagai seorang Romo / Pandhita yang seharusnya secara bijaksana menuntun ummat Buddha untuk benar-benar mengikuti Jalan yang ditunjukkan Sang Buddha ( yang telah bapak tolak sendiri ).
Bapak Hudoyo yang saya hormati,
menurut saya, seandainya bapak hendak menjadi tokoh-spiritual yang bersifat non-agama dan merangkul semua pihak, seharusnya bapak tidak melekatkan segala atribut Buddhisme pada diri Bapak.
Bapak bisa mencontoh langkah2 Gede Prama misalnya.
Atau Anand Krishna misalnya.
Sebab, kalau bapak masih menggunakan gelar Pandhita Buddhist, tapi dimana-mana justru mengeluarkan statement yang isinya menolak adanya “Jalan” sebagaimana yang disabdakan Buddha, menolak kebenaran Ti-Pitaka, dan lain2 hal seperti yang sudah bapak ajarkan/ucapkan selama ini, maka Bapak telah gagal untuk mempertanggungjawabkan secara etik-moralitas ke-”Pandhita”-an bapak Hudoyo sendiri.
Dan karena itulah , maka wajar jika banyak ummat Buddha yang menganggap bapak telah dengan sengaja “membelokkkan” ajaran Buddha, atau dengan sengaja mempengaruhi ummat Buddha untuk meninggalakan ajaran2 Buddha yang dianut oleh ummat Buddha itu sendiri.
Demikian pertanyaan dan komentar saya untuk Bapak Hudoyo yang saya hormati.
Mohon bapak berkenan memberikan tanggapan.
May Happiness Always b With U,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
jadi menurut pak hud kalau metode yang ia pelajari itu sumber dari JK,
nah sekarang mengapa pak hud mengatakan kalau cara/metode JK ini adalah "BENAR"
dimana seperti yg kita tahu seseorang menyatakan benar pastilah telah merealisasikan tujuan dari metode tsb....yang katanya "mengakhiri dukkha"
nah sekarang betulkan pak JK telah mengakhiri dukkha? itulah yg jadi masalah nya.
----------------
maksud saya seseorang berpandangan salah itu biasa.....bukan pak JK sendiri yg berpandangan seperti itu di dunia ini, banyak kok bahkan sewaktu zaman buddha, seperti Kassapa bersaudara...
tapi untung baru romo yg ngomong, apa jadi nya kalau seorang "bikkhu" yg notabane nya anggota Sangha....pasti lebih heboh lagi... ^^
Namo Buddhaya,
for : Sdr.Markosprawira.
Saya mau tanya, itu Pak Hudoyo jawab pertanyaan saya tersebut diatas, dia jawab di situs apa ? Kok gak dia jawab di blog saya sendiri ?
Iya , Markosprawira benar, padahal saya ada pertanyaan, "Apakah Romo Hudoyo sendiri sudah mengakhiri dukkha ? Sudah merealisasi tataran Arahat?...dst." Tapi malah tidak dia jawab.
Sang Buddha bisa mengajar karena Beliau telah merealisasi . Nah, kalau JK dan Pak Hud, apakah sudah ? Ini kan intinya.. ;)
Dan sekali lagi mohon informasi dari sdr. Markosprawira tentang jawaban Pak Hud tersebut diatas dimuat di situs mana.
Anumodana.
Namo Buddhaya,
[at] sdr.Williamhalim,
Anumodana atas informasi anda.
Tapi saya belum menemukan jawaban Pak Hud termaksud =
" Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada Anda dan semua orang yang
berpegang pada kitab suci Agama Buddha. Jadi tidak perlu saya jawab. "
Yang saya temukan "Tanggapan untuk Ratna Kumara" yang ini =
http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/73268
Saya juga sudah lihat di thread "Apakah Romo Hud Berpandangan Salah" , tapi disanapun tidak saya temukan jawaban Pak Hud yang seperti itu.
Maaf ya kalau merepotkan. Nanti saya coba cari2 lagi deh... ;)
Thank You,
May You Take care of yourself Happily,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
Namo Buddhaya,
[at] sdr.Williamhalim,
Anumodana atas informasi anda.
Tapi saya belum menemukan jawaban Pak Hud termaksud =
" Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada Anda dan semua orang yang
berpegang pada kitab suci Agama Buddha. Jadi tidak perlu saya jawab. "
Yang saya temukan "Tanggapan untuk Ratna Kumara" yang ini =
http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/73268
Saya juga sudah lihat di thread "Apakah Romo Hud Berpandangan Salah" , tapi disanapun tidak saya temukan jawaban Pak Hud yang seperti itu.
Maaf ya kalau merepotkan. Nanti saya coba cari2 lagi deh... ;)
Thank You,
May You Take care of yourself Happily,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
ada di SP dengan Judul - TANGGAPAN UNTUK RATNA KUMARA (02/10)
Namo Buddhaya _/\_
Anumodana untuk rekan Bond yang sudah berkenan mentautkan link artikel saya di dhammacitta ini. Saya merasa terhormat karenanya ;)
[at] RYU =
panjang bener, berapa lama tuh ngetik LOL LOL LOL
JAWAB = Saya ngumpulin data2 sejak hari Selasa 21 Juli 2009, lalu mulai melakukan study pustaka, menulis, dan baru selesai ( "fixed" ) hari minggu malam tanggal 26 Juli 2009.
Oh iya, saya harap rekan2 semua berkenan mengikuti jalannya diskusi antara kami dengan pak hudoyo ya, itu beliau sudah dua kali koment di blog saya, dan ini yang terakhir =
http://ratnakumara.wordpress.com/2009/07/26/apakah-romo-hudoyo-berpandangan-salahmenyimpang/#comment-1290
Baiklah, saya menunggu partisipasi rekan2 dhammacitta.org semuanya.
Semoga Dhamma semakin tersebar luas dimuka bumi,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
iya di sebut buto kakakakakak
iya di sebut buto kakakakakak
masi inget aja lu..
Tanya:"Apakah ada diantara peserta MMD yang telah tidak dicengkeram “tanha” (
nafsu-keinginan ) ? Ini saja pertanyaan sederhana untuk mengukur sampai
sejauh mana kebenaran pernyataan “siapapun yang mengikuti MMD ia akan
mengakhiri dukkha”."
Jawab: Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada Anda dan semua orang yang
berpegang pada kitab suci Agama Buddha. Jadi tidak perlu saya jawab.
Hangat kembali kisah lama...
Namo Buddhaya,
for : Sdr.Markosprawira.
Saya mau tanya, itu Pak Hudoyo jawab pertanyaan saya tersebut diatas, dia jawab di situs apa ? Kok gak dia jawab di blog saya sendiri ?
Iya , Markosprawira benar, padahal saya ada pertanyaan, "Apakah Romo Hudoyo sendiri sudah mengakhiri dukkha ? Sudah merealisasi tataran Arahat?...dst." Tapi malah tidak dia jawab.
Sang Buddha bisa mengajar karena Beliau telah merealisasi . Nah, kalau JK dan Pak Hud, apakah sudah ? Ini kan intinya.. ;)
Dan sekali lagi mohon informasi dari sdr. Markosprawira tentang jawaban Pak Hud tersebut diatas dimuat di situs mana.
Anumodana.
---------- Forwarded message ----------
From: Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id>
Date: Jul 28, 2009 10:55 AM
Subject: [samaggiphala] TANGGAPAN UNTUK RATNA KUMARA (02/10)
To: patria_net [at] yahoogroups.com, FAMB_id [at] yahoogroups.com, blia [at] yahoogroups.com, daunbodhiindonesia [at] yahoogroups.com, FPBI [at] yahoogroups.com, mahasathi [at] yahoogroups.com, samaggiphala [at] yahoogroups.com, siddhi [at] yahoogroups.com
[Bila pembaca ingin langsung membaca tanggapan saya, silakan langsung
menuju akhir posting ini./hudoyo]
HUDOYO HUPUDIO:
Anda berangkat dari keyakinan bahwa ajaran Krishnamurti itu berbeda dengan
ajaran Buddha.
Saya berangkat dari pemahaman dan keyakinan berdasarkan pengalaman
meditasi vipassana saya bahwa pencerahan yang dialami oleh Krishnamurti,
Buddha, Bernadette Roberts dan orang-orang lain yang telah
mencapainya--sejauh menyangkut lenyapnya aku/diri--adalah persis sama, dan
oleh karena itu yang diajarkan oleh kedua orang itu adalah persis sama. -
Buddha Gotama menyatakan: "Anuradha, ... aku hanya mengajarkan dukkha dan
lenyapnya dukkha." Itu pula yang diajarkan oleh Krishnamurti. - Saya tidak
berminat memperdebatkan pandangan Anda dan pandangan saya yang sejak awal
sudah bertolak belakang.
Saya bukan pengajar Agama Buddha, melainkan saya mengajarkan vipassana
murni sesuai ajaran Buddha dalam Mulapariyaya-sutta, Bahiya-sutta &
Malunkyaputta-sutta. Di dalam kedua sutta itu, semua doktrin agama apa
pun--termasuk 4 Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Berfaktor 8--adalah
termasuk 'vinnatam' ("yang dikenal"), dan Sang Buddha mengajarkan kepada
mereka yang berlatih agar tidak membentuk konsep (mannati) terhadap 'apa
yang dikenal', tidak melekat dengan akunya ("Apa yang dikenal untuku"),
dan tidak bersenang hati dengan 'apa yang dikenal' (ma-abhinandi).
Itulah dasar saya mengatakan bahwa doktrin-doktrin agama apa pun harus
ditanggalkan dalam meditasi vipassana murni, ternasuk Empat Kebenaran
Mulia & Jalan Mulia Berfaktor Delapan.
***
"Apakah ada diantara peserta MMD yang telah tidak dicengkeram “tanha” (
nafsu-keinginan ) ? Ini saja pertanyaan sederhana untuk mengukur sampai
sejauh mana kebenaran pernyataan “siapapun yang mengikuti MMD ia akan
mengakhiri dukkha”."
Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada Anda dan semua orang yang
berpegang pada kitab suci Agama Buddha. Jadi tidak perlu saya jawab.
***
"Dari statement diatas ( serangkaian penolakan Romo Hudoyo tehadap Empat
Kesunyataan Mulia dan Jalan Ariya Beruas Delapan ), yang menjadi menarik
untuk dipelajari adalah, apa yang menjadi latar belakang pemikiran Romo
Hudoyo untuk dengan sedemikian keras menolak “Jalan Ariya Beruas Delapan”
tersebut ?"
Dasar dari pernyataan saya adalah Mulapariyaya-sutta, Bahiya-sutta &
Malunkyaputta-sutta.
***
"... disana saya cuplikkan dialog Walpola Rahula dengan J.Krishnamurti ;
statement dari Walpola Rahula, “Bukankah Anda hanya mengulang apa yang
disabdakan Buddha”. ) "
Kata-kata Walpola Rahula aslinya berbunyi: "Are you not saying what the
Buddha said?"
Terlihat jelas bahwa Ratna Kumara telah menyisipkan kata "hanya" dalam
terjemahannya: "“Bukankah Anda HANYA mengulang apa yang disabdakan
Buddha”.
Jelas tampak di sini ketidakjujuran intelektual Ratna Kumara dalam
menerjemahkan kata-kata W. Rahula ini. Rupanya ketidakjujurannya itulah
yang mendasari seluruh tulisannya terhadap saya.
***
Tentang seruan Sang Buddha kepada Angulimala untuk 'berhenti' memang
konteksnya adalah kekerasan yang dilakukan oleh Angulimala. Tapi saya
berkata, hendaklah seruan untuk berhenti itu kita terapkan dalam batin
kita masing-masing, sesuai dengan makna terdalam dari kata 'berhenti' yang
dimaksud oleh Sang Buddha, sebagaimana tercantum dalam
Dhatu-vibhanga-sutta (M.N.140). Ini sudah jelas saya uraikan dalam posting
"Pengantar Mulapariyaya-sutta" beberapa hari yang lalu di forum ini.
'Berhenti' yang dimaksud oleh Sang Buddha dalam "Dhatu-vibhanga-sutta"
adalah berhenti dari semua penafsiran (mannati, mannitam, pemikiran,
konseptualisasi). Persis sama seperti yang diserukan oleh Sang Buddha
kepada semua orang yang berlatih vipassana dalam Mulapariyaya-sutta,
Bahiya-sutta & Malunkyaputta-sutta, yakni berhenti dalam pembentukan
konsep terhadap 'apa yang dikenal' (vinnatam), yang mencakup pula semua
doktrin agama, termasuk doktrin agama Buddha.
***
Anda berkata, Dhamma Sang Buddha itu unik. Saya berkata, tidak unik!
karena ada individu-individu DI LUAR lingkungan Buddha Sasana yang
berhasil mencapai keadaan batin tanpa-aku/diri. Saya sama sekali tidak
percaya bahwa "Aum Singa Sang Buddha" dalam Mahaparinibbana-sutta berasal
dari mulut Sang Buddha; alih-alih "aum singa" itu disisipkan oleh
bhikkhu-bhikkhu penghafal Tipitaka belakangan. Terlepas dari perbedaan
doktrin di antara Buddhisme dan agama-agama lain, masalah pembebasan
adalah masalah individual, dan ada individu-individu yang mencapai keadaan
batin tanpa-diri di luar Buddha-sasana.
***
Anda berputar-putar dengan ajaran 'tanpa-jalan' Krishnamurti, tetapi Anda
tidak mampu menangkap esensinya. Saya teringat pada Bpk Anand Krishna yang
pernah berdebat dengan saya di milis dan mengatakan: "Sesungguhnya
'tanpa-metode' Krishnamurti itu adalah metode juga." Seperti Anda, dia
tidak menangkap esensi ajaran Krishnamurti tentang 'tanpa-jalan'. Esensi
yang sama diajarkan oleh Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta &
Bahiya-sutta, yang tidak mampu Anda tangkap pula. (Sang Buddha sama sekali
tidak menyinggung doktrin-doktrin beliau Empat Kebenaran Mulia dan Jalan
Mulia Berfaktor Delapan dalam ketiga sutta itu).
Sekali lagi, saya bukan pengajar Agama Buddha, melainkan saya mengajarkan
meditasi vipassana murni sesuai ajaran Buddha dalam Mulapariyaya-sutta,
Bahiya-sutta & Malunkyaputta-sutta. Dalam ketiga sutta itu diajarkan agar
orang tidak melekat dan menyenangi "apa yang dikenal" (vinnatam), termasuk
doktrin-doktrin agama apa pun, Buddha, Hindu, kr****n, Islam dsb.
Salam,
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
orangnya sudah pergi, tidak akan dijawab...
Kalau di city hunter sih, pikiran mesum ryu saeba langsung berhenti kena palu dari kaori... :D:D
duh, ada apa dengan romo satu ini ?
romo yg penuh kontroversi...
romo yg mempunyai kemampuan super duper sakti... eit, si romo pasti mengatakan bahwa dirinya tidak sakti, tp koq tulisan2 nya menunjukan bahwa dia orang yg super duper sakti...
setiap pernyataan tentang buddhism bs disanggah dengan santai oleh romo yg sakti ini, tp pernyataan dia tidak boleh disanggah dengan alasan apa pun, paling mentok jg si romo mengatakan "terserah mau terima atau tidak"... ehm... romo yg egois...
ada beberapa cerita miring mengenai jalan hidup si romo yg dulu nya pernah menjadi bhikkhu... (katanya) yg akhirnya ia menjadi seorang romo mengajar meditasi dengan pandangan2 super duper saktinya yg kadang melenceng dr dhamma...
ehm... untuk melayani romo satu ini, kita cukup... zZzzz...ZzzZ...
Tuch di Facebook lagi terjadi lagi letupan-letupan kecil ::) .....
duh, ada apa dengan romo satu ini ?
romo yg penuh kontroversi...
romo yg mempunyai kemampuan super duper sakti... eit, si romo pasti mengatakan bahwa dirinya tidak sakti, tp koq tulisan2 nya menunjukan bahwa dia orang yg super duper sakti...
setiap pernyataan tentang buddhism bs disanggah dengan santai oleh romo yg sakti ini, tp pernyataan dia tidak boleh disanggah dengan alasan apa pun, paling mentok jg si romo mengatakan "terserah mau terima atau tidak"... ehm... romo yg egois...
ada beberapa cerita miring mengenai jalan hidup si romo yg dulu nya pernah menjadi bhikkhu... (katanya) yg akhirnya ia menjadi seorang romo mengajar meditasi dengan pandangan2 super duper saktinya yg kadang melenceng dr dhamma...
ehm... untuk melayani romo satu ini, kita cukup... zZzzz...ZzzZ...
Namo Buddhaya
Dear All,
tanggal 28 Juli 2009, seorang rekan ummat Buddha bernama Gunadipo mengajukan pertanyaan pada Bhante Sri Pannyavaro perihal perkembangan perdebatan antara pak Hudoyo dengan ummat2 Buddha ( termasuk saya, tentunya ).
Berikut ini adalah dialog Gunadipo dengan Bhante Sri Pannyavaro serta tanggapan pribadi Bhante Sri Pannyavaro ( bukan pendapat Sangha Theravada Indonesia ) atas permasalahan ini :
Mengikuti perkembangan di milis soal Romo Hudoyo yg katanya telah
menyebarkan ajaran yg menyimpang dari Ajaran Buddha, dan berangkat
dari keingintahuan saya atas bagaimana sebenarnya pendapat atau
tanggapan pribadi dari YM Sri Pannyavaro atas berita ini. Maka tadi
siang saya memberanikan diri utk bertanya langsung kepada Bhante
melalui pesan singkat. Jujur saya tidak berada pada pihak yg pro
ataupun kontra terhadap Pihak manapun. saya menilai tulisan ini tak
lebih dari sekadar himbauan bagi kita semua utk tetap terus waspada.
saya pikir jawaban Bhante ini cukup mendalam dan diperlukan perenungan
oleh diri sendiri yg tidak mudah dan tentunya pengetahuan yg diperoleh
utk diri sendiri.
Berikut tanya – jawab singkat saya dgn Bhante Pannyavaro;
Gunadipo:
Selamat siang Bhante yg saya Muliakan, membaca perkembangan di milis
Samaggi Phala tentang Romo Hudoyo yg dikatakan menyebarkan ajaran yg
menyimpang dari Ajaran Buddha oleh teman – teman di DhammaCitta;
sedikit membuat saya bingung sendiri. Mungkin hal yg sama juga terjadi
pada ummat Buddha lainnya. Bagaimana tanggapan Bhante?
Namun jika menurut Bhante, bahwa Bhante tidak / belum perlu
menanggapinya, abaikan saja pertanyaan dan keingintahuan saya ini.
Anumodana, semoga Bhante sehat sejahtera.
Bhante Pannyavaro:
Gunadipo, banyak umat Buddha yg kaget mendengar ungkapan Zen Buddhism :
“kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha!”
Apalagi bagi pemula. Trm ksh.
Gunadipo:
Anumodana atas jawaban Bhante yg penuh perenungan utk saya ini Bhante.
Akan saya coba pahami ungkapan itu. Apakah pertanyaan saya dan jawaban
Bhante ini boleh saya bagikan ke seluruh teman – teman ummat Buddha
lainnya?
Bhante Pannyavaro:
O ya, tdk ada yg rahasia, boleh saja Gunadipo. Trm ksh.
_________________________________
Demikian, sekali lagi ini tanggapan pribadi Bhante bukan tanggapan
organisasi. Ungkapan Zen Buddhism tadi menyiratkan pesan Dhamma yg
mendalam bagi saya pribadi dan semoga juga bermanfaat bagi rekan -
rekan sekalian. Bagi rekan – rekan yg lain yg mungkin memiliki sudut
pandang yg tersendiri terhadap ungkapan itu, silahkan utk dapat di
sharing kan.
–
Be Happy,
Gunadipo
Yang menjadi pertanyaan adalah, sebenarnya statement Bhante Pannyavaro itu, ditujukan untuk ummat Buddha yang kontra dengan Pak Hudoyo, atau justru ditujukan untuk Pak Hudoyo pribadi ?
Bisa saja, justru statement itu ditujukan pada Pak Hudoyo. Dalam artian, Pak Hudoyo sebaiknya merenungkan kalimat Zen itu, jangan2 Pak Hudoyo karena kaget mendengar kalimat Zen itu lantas menjadi “keblinger” dan mengajarkan pada banyak ummat Buddha untuk meninggalkan ajaran2 Buddha dan cukup duduk diam bermeditasi saja.
Bagaimana pendapat rekan2 ummat Buddha, alangkah baiknya hal ini kita diskusikan bersama.
Semoga Dhamma bersinar menerangi semua makhluk,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
Yang menjadi pertanyaan adalah, sebenarnya statement Bhante Pannyavaro itu, ditujukan untuk ummat Buddha yang kontra dengan Pak Hudoyo, atau justru ditujukan untuk Pak Hudoyo pribadi ?#-o :hammer:
[SADDHA SEORANG SOTAPANNA]
“ Para Bhikkhu, bila keyakinan seseorang telah ditanam, berakar, dan mantap di dalam Tathagata melalui alasan-alasan, istilah-istilah, dan frasa-frasa ini, dikatakan bahwa keyakinannya sudah ditopang oleh alasan, berakar di dalam visi, dan mantap; keyakinannya tak terkalahkan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Mara atau Brahma atau siapapun didunia ini. “
( Vimamsaka-Sutta ; Majjhima-Nikaya, Sutta ke-47 )
Dear Kainyn_Kutho,
Coba anda baca pada penjelasan atas sutta tersebut dan point pernyataan tersebut dalam Majjhima-Nikaya yang diterbitkan oleh Wisma Sambodhi, terjemahan dari Sdri.Lanny Anggawati. Judul itu saya ambil dari penjelasan yang terdapat disana yang menerangkan bahwa kalimat itu ( Sabda Sang Buddha tersebut ) , merujuk pada Pemenang-Arus / Sotapanna.
Rekan Kainyn_Kuttho,
Saya akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak mengotori Dhamma dengan niat yang tidak baik, seperti misalnya membelokkan Sutta untuk maksud pribadi. Semoga anda percaya.. ;)
Karena ini saya sambil bekerja, jadi saya gak bisa menerangkan juga dengan panjang lebar tentang isi sutta tersebut. Namun apa yang anda nyatakan tersebut ada benarnya kok, bahwa sutta itu menjelaskan ( ini kalau tidak salah ingat ) bahwa seseorang yang tidak bisa mengukur kesucian Sang Buddha kemudian harus menguji Tathagata melalui alasan-alasan, istilah-istilah, dan frasa-frasa, dan lain-lain, hingga akhirnya memperoleh keyakinan pada Sang Buddha dari hasil pengujiannya tersebut Ini kalau tidak salah ingat yah... ;)
( kurang lebihnya begitu, kalau salah mohon dikoreksi, juga karena sambil bekerja ini... ;) ).
Okey Kainyn_Kutho,
May U Always be Happy,
May U Take Care of Yourself Happily,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
Ketika urutannya percaya, baru selidik, tidak ada bedanya sama sekali dengan iman membuta. Tetapi jika selidik dahulu baru percaya, inilah yang merupakan ajaran Buddha.
... dan hanya Sotapanna (ke atas).
Seorang Putthujjana dengan keyakinan tak tergoyahkan tidak ubahnya seorang fanatik radikal yang keras kepala.
Di Savatthi, "Para Bhikkhu, kesadaran-mata adalah tidak tetap, dapat berganti, dapat berubah. Kesadaran-telinga... Kesadaran hidung... Kesadaran-lidah... Kesadaran-tubuh... Kesadaran intelek adalah tidak tetap, dapat berganti, dapat berubah.
"Seseorang yang memiliki kepercayaan & keyakinan bahwa fenomena-fenomena ini demikian disebut sebagai seorang pengikut-berkeyakinan: seseorang yang telah memasuki tatanan kebenaran, memasuki tingkatan orang-orang dengan integritas, melampaui tingkatan dari orang-biasa (puthujana). Dia tidak dapat melakukan perbuatan yang akan membuatnya terlahir di neraka, rahim binatang, atau di alam setan kelaparan. Dia tidak dapat meninggal sampai dia merealisasikan buah dari pemasuk arus.
"Seseorang yang, telah merenung dengan sedikit pemahaman, telah menerima fenomena-fenomena ini demikian disebut sebagai seorang pengikut-Dhamma: Seseorang yang telah memasuki tatanan kebenaran, memasuki tingkatan orang-orang dengan integritas, melampaui tingkatan dari orang-biasa(puthujana). Dia tidak dapat melakukan perbuatan yang akan membuatnya terlahir di neraka, rahim binatang, atau di alam setan kelaparan. Dia tidak dapat meninggal sampai dia merealisasikan buah dari pemasuk arus.
"Seseorang yang mengetahui dan melihat fenomena-fenomena ini demikian disebut sebagai seorang pemasuk-arus, mantap, tidak akan pernah lagi terlahir dikondisi yang menyedihkan, mengarah pada pembebasan.
Seorang Putthujjana dengan keyakinan tak tergoyahkan tidak ubahnya seorang fanatik radikal yang keras kepala. Oleh sebab itu, saya tidak setuju kalau seseorang dianjurkan percaya mati dengan sesuatu yang tidak/belum dibuktikan, termasuk kitab suci.
Bhante Pannyavaro:
Gunadipo, banyak umat Buddha yg kaget mendengar ungkapan Zen Buddhism :
“kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha!”
Apalagi bagi pemula. Trm ksh.
Bhante Pannyavaro:
Gunadipo, banyak umat Buddha yg kaget mendengar ungkapan Zen Buddhism :
“kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha!”
Apalagi bagi pemula. Trm ksh.
Saddha adalah salah satu komponen dalam Pancabala yang harus dikembangkan, jadi menurut yg saya pahami Saddha dalam dosis tertentu memang diperlukan dalam usaha untuk mencapai pencerahan. namun tentunya bukan yg berlebihan, segalanya yg overdosis tentu tidak baik.
a. Sobhanasadharana cetasika 19 : Jenis faktor batin indah yg terdapat di semua
jenis kusala citta, terdiri dari :
28. Saddha = faktor batin keyakinan berdasarkan pengetahuan
Tapi untuk yg ini:Quote... dan hanya Sotapanna (ke atas).
Seorang Putthujjana dengan keyakinan tak tergoyahkan tidak ubahnya seorang fanatik radikal yang keras kepala.
Apa yg dapat sy tambahkan adalah:
Tidak tertutup kemungkinan seorang Putthujjana yakin akan sesuatu yg telah dialaminya sendiri.
Misalnya, salah satu Sabda Sang Buddha: Hidup adalah dukkha. Seorang Putthujjana bisa saja mempunyai keyakinan tak tergoyahkan akan kenyataan ini, disebabkan karena ia telah mengalaminya sendiri. Juga terhadap Sutta2 yg lainnya...
Jadi, tidak mutlak hanya Sotapana keatas saja yg bisa mempunyai Saddha. Seorang Putthujjana pun bisa mempunyai Saddha.
::
kalau masalah saddha, yah problem diri sendiri...Tapi untuk yg ini:Quote... dan hanya Sotapanna (ke atas).
Seorang Putthujjana dengan keyakinan tak tergoyahkan tidak ubahnya seorang fanatik radikal yang keras kepala.
Apa yg dapat sy tambahkan adalah:
Tidak tertutup kemungkinan seorang Putthujjana yakin akan sesuatu yg telah dialaminya sendiri.
Misalnya, salah satu Sabda Sang Buddha: Hidup adalah dukkha. Seorang Putthujjana bisa saja mempunyai keyakinan tak tergoyahkan akan kenyataan ini, disebabkan karena ia telah mengalaminya sendiri. Juga terhadap Sutta2 yg lainnya...
Jadi, tidak mutlak hanya Sotapana keatas saja yg bisa mempunyai Saddha. Seorang Putthujjana pun bisa mempunyai Saddha.
::
Menurut saya, sebelum orang mencapai Sotapanna, maka ia tidak tahu apa itu kebenaran sejati. Dengan demikian, apa pun yang dipercayainya, adalah semu. Umat Buddha boleh bicara apa pun tentang Saddha tidak tergoyahkan dari seorang Putthujjana. Tetapi saya ragu sebelum seseorang mencapai Sotapanna, masih terombang-ambing dalam Samsara entah ke mana, dalam 10 kehidupan ke depan, misalnya, ia masih memiliki Saddha yang sama.
Ketika seseorang berpikir bahwa terjadinya Saddha yang tak tergoyahkan pada seorang Putthujjana adalah mungkin, maka ia dengan sendirinya tidak melihat bahwa bentukan pikiran tidak kekal. "Saddha" seorang putthujjana berasal dari pikiran, bergantung pada pikiran pula. Itulah bedanya dengan seorang Sotapanna yang memiliki Saddha karena panna, karena telah merealisasinya. Oleh sebab itu, terhentinya kelahiran kembali adalah pasti.
Keyakinan semu ini, jika tidak disertai dengan miccha ditthi, bukanlah selalu hal yang buruk. Misalnya ada sebuah agama A mengajarkan, "kalau kalian membunuh, mencuri, melanggar susila, bohong, mabuk-mabukan, maka Tuhan akan menjatuhkan kutukan". Dalam hal ini, seseorang berkeyakinan semu, tetap mengikuti "samma ditthi" untuk melaksanakan sila dan menggenggam "adanya akibat dari satu perbuatan". Ini bukanlah hal yang buruk. Kecuali jika berlebihan, tentunya.
Demikian juga dalam Buddhisme, keyakinan semu akan sila, anatta, dan nibbana pun membantu seseorang dalam berkembang. Tetapi apakah keyakinan semu yang "tidak tergoyahkan" membantu perkembangan bathin? Menurut saya hanya akan membuatnya menggenggam rakit, dan orang yang menggenggam rakit tidak akan sampai pada pantai seberang.
Saddha adalah salah satu komponen dalam Pancabala yang harus dikembangkan, jadi menurut yg saya pahami Saddha dalam dosis tertentu memang diperlukan dalam usaha untuk mencapai pencerahan. namun tentunya bukan yg berlebihan, segalanya yg overdosis tentu tidak baik.
jika kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=422.30Quotea. Sobhanasadharana cetasika 19 : Jenis faktor batin indah yg terdapat di semua
jenis kusala citta, terdiri dari :
28. Saddha = faktor batin keyakinan berdasarkan pengetahuan
jelas terlihat bhw Saddha secara batin adalah faktor batin yg indah, yg tidak mungkin menjadi sesuatu yg tidak baik/akusala
Yang menjadikan tidak baik/akusala adalah saat pikiran beralih ke akusala juga yaitu lobha misal :
- mana/Kesombongan
- ditthi/pandangan salah
Singkatnya saddha itu cetasika sobhana, yg bukan/jauh dari pengertian fanatisme
semoga bermanfaat agar kita tidak lagi terpengaruh konsep masyarakat umum yg menyamakan saddha dengan sekedar "keyakinan" saja yg bisa beralih menjadi fanatisme
Menurut saya, sebelum orang mencapai Sotapanna, maka ia tidak tahu apa itu kebenaran sejati. Dengan demikian, apa pun yang dipercayainya, adalah semu. Umat Buddha boleh bicara apa pun tentang Saddha tidak tergoyahkan dari seorang Putthujjana. Tetapi saya ragu sebelum seseorang mencapai Sotapanna, masih terombang-ambing dalam Samsara entah ke mana, dalam 10 kehidupan ke depan, misalnya, ia masih memiliki Saddha yang sama.Ya jelas tidak sampai, keenakan 'menggenggam' dan lupa dilepasin :))
Ketika seseorang berpikir bahwa terjadinya Saddha yang tak tergoyahkan pada seorang Putthujjana adalah mungkin, maka ia dengan sendirinya tidak melihat bahwa bentukan pikiran tidak kekal. "Saddha" seorang putthujjana berasal dari pikiran, bergantung pada pikiran pula. Itulah bedanya dengan seorang Sotapanna yang memiliki Saddha karena panna, karena telah merealisasinya. Oleh sebab itu, terhentinya kelahiran kembali adalah pasti.
Keyakinan semu ini, jika tidak disertai dengan miccha ditthi, bukanlah selalu hal yang buruk. Misalnya ada sebuah agama A mengajarkan, "kalau kalian membunuh, mencuri, melanggar susila, bohong, mabuk-mabukan, maka Tuhan akan menjatuhkan kutukan". Dalam hal ini, seseorang berkeyakinan semu, tetap mengikuti "samma ditthi" untuk melaksanakan sila dan menggenggam "adanya akibat dari satu perbuatan". Ini bukanlah hal yang buruk. Kecuali jika berlebihan, tentunya.
Demikian juga dalam Buddhisme, keyakinan semu akan sila, anatta, dan nibbana pun membantu seseorang dalam berkembang. Tetapi apakah keyakinan semu yang "tidak tergoyahkan" membantu perkembangan bathin? Menurut saya hanya akan membuatnya menggenggam rakit, dan orang yang menggenggam rakit tidak akan sampai pada pantai seberang.
dalam kasus ini, Apakah ada kebenaran sejati dalam MMD? sudah mencapai apakah pa Hudoyo? Sotapana? saya rasa pa Hudoyo tidak mau tahu mencapai apapun.Tapi untuk yg ini:Quote... dan hanya Sotapanna (ke atas).
Seorang Putthujjana dengan keyakinan tak tergoyahkan tidak ubahnya seorang fanatik radikal yang keras kepala.
Apa yg dapat sy tambahkan adalah:
Tidak tertutup kemungkinan seorang Putthujjana yakin akan sesuatu yg telah dialaminya sendiri.
Misalnya, salah satu Sabda Sang Buddha: Hidup adalah dukkha. Seorang Putthujjana bisa saja mempunyai keyakinan tak tergoyahkan akan kenyataan ini, disebabkan karena ia telah mengalaminya sendiri. Juga terhadap Sutta2 yg lainnya...
Jadi, tidak mutlak hanya Sotapana keatas saja yg bisa mempunyai Saddha. Seorang Putthujjana pun bisa mempunyai Saddha.
::
Menurut saya, sebelum orang mencapai Sotapanna, maka ia tidak tahu apa itu kebenaran sejati. Dengan demikian, apa pun yang dipercayainya, adalah semu. Umat Buddha boleh bicara apa pun tentang Saddha tidak tergoyahkan dari seorang Putthujjana. Tetapi saya ragu sebelum seseorang mencapai Sotapanna, masih terombang-ambing dalam Samsara entah ke mana, dalam 10 kehidupan ke depan, misalnya, ia masih memiliki Saddha yang sama.
Ketika seseorang berpikir bahwa terjadinya Saddha yang tak tergoyahkan pada seorang Putthujjana adalah mungkin, maka ia dengan sendirinya tidak melihat bahwa bentukan pikiran tidak kekal. "Saddha" seorang putthujjana berasal dari pikiran, bergantung pada pikiran pula. Itulah bedanya dengan seorang Sotapanna yang memiliki Saddha karena panna, karena telah merealisasinya. Oleh sebab itu, terhentinya kelahiran kembali adalah pasti.
Keyakinan semu ini, jika tidak disertai dengan miccha ditthi, bukanlah selalu hal yang buruk. Misalnya ada sebuah agama A mengajarkan, "kalau kalian membunuh, mencuri, melanggar susila, bohong, mabuk-mabukan, maka Tuhan akan menjatuhkan kutukan". Dalam hal ini, seseorang berkeyakinan semu, tetap mengikuti "samma ditthi" untuk melaksanakan sila dan menggenggam "adanya akibat dari satu perbuatan". Ini bukanlah hal yang buruk. Kecuali jika berlebihan, tentunya.
Demikian juga dalam Buddhisme, keyakinan semu akan sila, anatta, dan nibbana pun membantu seseorang dalam berkembang. Tetapi apakah keyakinan semu yang "tidak tergoyahkan" membantu perkembangan bathin? Menurut saya hanya akan membuatnya menggenggam rakit, dan orang yang menggenggam rakit tidak akan sampai pada pantai seberang.
QuoteBhante Pannyavaro:
Gunadipo, banyak umat Buddha yg kaget mendengar ungkapan Zen Buddhism :
“kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha!”
Apalagi bagi pemula. Trm ksh.
Ini bisa diartikan begini :
"kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha" Kalau pemula langsung kalo ketemu Buddha, langsung dibunuh beneran Buddhanya. Karena dia mendengarnya dari Master Zen. Dan orang itu berpikir dengan membunuh Buddha beneran bisa mencapai pencerahan . Padahal yg dimaksud Master Zen adalah bukan arti harafiahnya dan yg dilupakan si orang malang yg membunuh Buddha adalah keseluruhan petunjuk si Master Zen yg sebelumnya pernah diberikan, diabaikan olehnya. ^-^
Sama halnya ketika Master MMD membaca bahiya sutta maka ya itu saja yg dianggap relevan. Karena di bahiya sutta tidak ditulis Jmb 8 dan 4 Km maka ya tidak ada dan tidak perlu. Artinya kalau ngak ada dijelaskan jmb 8 dan 4 km, maka tidak relevan.
[MUBI] Digest Number 4393
Gunadipo: PESAN SINGKAT YM SRI PANNYAVARO MAHATHERA
Posted by: "Hudoyo Hupudio" hudoyo [at] cbn.net.id hudoyo1
Tue Jul 28, 2009 5:26 pm (PDT)
[Dari: milis Samaggiphala]
Mengikuti perkembangan di milis soal Romo Hudoyo yg katanya telah
menyebarkan ajaran yg menyimpang dari Ajaran Buddha, dan berangkat dari
keingintahuan saya atas bagaimana sebenarnya pendapat atau tanggapan
pribadi dari YM Sri Pannyavaro atas berita ini. Maka tadi siang saya
memberanikan diri utk bertanya langsung kepada Bhante melalui pesan
singkat. Jujur saya tidak berada pada pihak yg pro ataupun kontra terhadap
Pihak manapun. saya menilai tulisan ini tak lebih dari sekadar himbauan
bagi kita semua utk tetap terus waspada. saya pikir jawaban Bhante ini
cukup mendalam dan diperlukan perenungan oleh diri sendiri yg tidak mudah
dan tentunya pengetahuan yg diperoleh utk diri sendiri.
Berikut tanya - jawab singkat saya dgn Bhante Pannyavaro;
Gunadipo:
Selamat siang Bhante yg saya Muliakan, membaca perkembangan di milis
Samaggi Phala tentang Romo Hudoyo yg dikatakan menyebarkan ajaran yg
menyimpang dari Ajaran Buddha oleh teman - teman di DhammaCitta; sedikit
membuat saya bingung sendiri. Mungkin hal yg sama juga terjadi pada ummat
Buddha lainnya. Bagaimana tanggapan Bhante? Namun jika menurut Bhante,
bahwa Bhante tidak / belum perlu menanggapinya, abaikan saja pertanyaan
dan keingintahuan saya ini. Anumodana, semoga Bhante sehat sejahtera.
Bhante Pannyavaro:
Gunadipo, banyak umat Buddha yg kaget mendengar ungkapan Zen Buddhism:
"Kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha!"
Apalagi bagi pemula. Trm ksh.
Gunadipo:
Anumodana atas jawaban Bhante yg penuh perenungan utk saya ini Bhante.Akan
saya coba pahami ungkapan itu. Apakah pertanyaan saya dan jawaban Bhante
ini boleh saya bagikan ke seluruh teman - teman ummat Buddha lainnya?
Bhante Pannyavaro:
O ya, tdk ada yg rahasia, boleh saja Gunadipo. Trm ksh.
_________________________________
Demikian, sekali lagi ini tanggapan pribadi Bhante bukan tanggapan
organisasi. Ungkapan Zen Buddhism tadi menyiratkan pesan Dhamma yg
mendalam bagi saya pribadi dan semoga juga bermanfaat bagi rekan - rekan
sekalian. Bagi rekan - rekan yg lain yg mungkin memiliki sudut pandang yg
tersendiri terhadap ungkapan itu, silahkan utk dapat di sharing kan. --
Be Happy,
Gunadipo
=============================
HUDOYO HUPUDIO:
Mas Gunadipo, betul itu pendapat pribadi Bhante Pannyavaro, bukan pendapat
organisasi. Beliau tentu mempunyai pertimbangan sendiri untuk mengeluarkan
pernyataan seperti itu.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah organisasi (Magabudhi? STI?) merasa perlu
memberi tanggapan mengenai masalah ini? Pesan saya: berhati-hatilah,
jangan sampai salah melangkah. Diam itu emas.
Salam,
Hudoyo
=============================
NANG NING NUNG NENG NONG:
Jawaban YM Bhante Pannavaro menyiratkan bahwa semua yg
tidak suka romo Hudoyo adalah pemula.
Nang Ning Nung Neng Nong
=============================
HUDOYO HUPUDIO:
hehe ... yang mengatakan itu Anda, lho, Mas Nang Ning Nung Neng Nong.
Tapi mungkin betul juga: "pemula" dalam kebebasan, sekalipun hafal isi
kitab suci.
Salam,
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
Menurut saya, sebelum orang mencapai Sotapanna, maka ia tidak tahu apa itu kebenaran sejati. Dengan demikian, apa pun yang dipercayainya, adalah semu. Umat Buddha boleh bicara apa pun tentang Saddha tidak tergoyahkan dari seorang Putthujjana. Tetapi saya ragu sebelum seseorang mencapai Sotapanna, masih terombang-ambing dalam Samsara entah ke mana, dalam 10 kehidupan ke depan, misalnya, ia masih memiliki Saddha yang sama.Ya jelas tidak sampai, keenakan 'menggenggam' dan lupa dilepasin :))
Ketika seseorang berpikir bahwa terjadinya Saddha yang tak tergoyahkan pada seorang Putthujjana adalah mungkin, maka ia dengan sendirinya tidak melihat bahwa bentukan pikiran tidak kekal. "Saddha" seorang putthujjana berasal dari pikiran, bergantung pada pikiran pula. Itulah bedanya dengan seorang Sotapanna yang memiliki Saddha karena panna, karena telah merealisasinya. Oleh sebab itu, terhentinya kelahiran kembali adalah pasti.
Keyakinan semu ini, jika tidak disertai dengan miccha ditthi, bukanlah selalu hal yang buruk. Misalnya ada sebuah agama A mengajarkan, "kalau kalian membunuh, mencuri, melanggar susila, bohong, mabuk-mabukan, maka Tuhan akan menjatuhkan kutukan". Dalam hal ini, seseorang berkeyakinan semu, tetap mengikuti "samma ditthi" untuk melaksanakan sila dan menggenggam "adanya akibat dari satu perbuatan". Ini bukanlah hal yang buruk. Kecuali jika berlebihan, tentunya.
Demikian juga dalam Buddhisme, keyakinan semu akan sila, anatta, dan nibbana pun membantu seseorang dalam berkembang. Tetapi apakah keyakinan semu yang "tidak tergoyahkan" membantu perkembangan bathin? Menurut saya hanya akan membuatnya menggenggam rakit, dan orang yang menggenggam rakit tidak akan sampai pada pantai seberang.
Saddha adalah salah satu komponen dalam Pancabala yang harus dikembangkan, jadi menurut yg saya pahami Saddha dalam dosis tertentu memang diperlukan dalam usaha untuk mencapai pencerahan. namun tentunya bukan yg berlebihan, segalanya yg overdosis tentu tidak baik.
jika kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=422.30Quotea. Sobhanasadharana cetasika 19 : Jenis faktor batin indah yg terdapat di semua
jenis kusala citta, terdiri dari :
28. Saddha = faktor batin keyakinan berdasarkan pengetahuan
jelas terlihat bhw Saddha secara batin adalah faktor batin yg indah, yg tidak mungkin menjadi sesuatu yg tidak baik/akusala
Yang menjadikan tidak baik/akusala adalah saat pikiran beralih ke akusala juga yaitu lobha misal :
- mana/Kesombongan
- ditthi/pandangan salah
Singkatnya saddha itu cetasika sobhana, yg bukan/jauh dari pengertian fanatisme
semoga bermanfaat agar kita tidak lagi terpengaruh konsep masyarakat umum yg menyamakan saddha dengan sekedar "keyakinan" saja yg bisa beralih menjadi fanatisme
tidak baik yg saya maksudkan di sini adalah bisa menghambat karena tidak seimbang dengan faktor2 lainnya, misalnya saddha berlebihan tapi viriya over lemah, dan sebagainya. dan saya mengatakan dalam konteks panca bala.
[MB] Digest Number 2776
Posted by: "emi_sastra" emi_sastra [at] yahoo.com emi_sastra
Tue Jul 28, 2009 5:12 pm (PDT)
Yth semuanya,
Pengkotakan bahwa ini ajaran agama ini, ini ajaran agama itu, menurut saya tidak tepat.
Karena ajaran dari para Buddha (Orang Suci) adalah bersifat universal. Kita-kita saja yg mengkotak2an.
Contohnya : Jalan Mulia Berunsur Delapan (JMB8) yg diajarkan oleh Sang Buddha. Ajaran ini adalah ajaran bersifat universal, maksudnya semua orang sucipun akan mengajarkan hal yg sama.
Boleh diselidiki, agama apa yg tidak mengajarkan itu? Mungkin tidak semua unsur itu secara ekplisit disebutkan. Menurut pandang saya dalam kehidupan bersosial kita mutlak perlu menjalankan itu.
Bahwasannya MMD tidak membutuhkan ajaran apapun itu benar pada saat meditasi MMD, karena hanya dibutuhkan pengamatan pikiran saja. Sebenarnya ajaran apapun harus ditinggalkan pada saat "action".
Contohnya : Seorang pemain piano perlu belajar dari guru atau ajaran tertentu, atau ajaran manapun untuk memahami belajar memainkan piano, dilanjutkan dengan latihan. Nah, pada saat sedang tampil, ajaran apapun harus ditinggalkan, semuanya sudah harus reflek. Kalau waktu tampil masih memikirkan ajaran tsb, maka hasilnya tidak akan sempurna atau masih amatiran.
Demikian juga MMD memerlukan ajaran MULAPARIYAYA- SUTTA, BAHIYA-SUTTA & MALUNKYAPUTTA- SUTTA sebagai pedoman. Bisa juga untuk meyakinkan orang bahwa lihat, ajaran saya sesuai dan benar dengan Orang Suci tertentu.
Jadi ada 2 sisi yg tidak bisa disamakan, yaitu MMD dan JMB8.
1. Pengamatan pikiran pada saat MMD.
2. Kehidupan sosial dengan JMB8.
Nibbana yg dirasakan pada saat MMD itu hanya sesaat seperti yg diungkapkan oleh Pak Hudoyo. Pada saat itu keakuan dan kemelekatan mungkin sudah tidak ada atau berkurang.
Pertanyaanya adalah berapa lama keheningan tersebut bisa dipertahankan oleh para peserta MMD, setelah kembali kekehidupan sosial?
Semakin mereka tidak dapat mempertahankan keheningan tersebut, maka unsur ajaran JMB8 semakin dibutuhkan dalam kehidupan sosial mereka.
Menurut pandangan saya unsur ajaran JMB8 adalah pondasi untuk menuju keheningan. Karena tanpa menjalankan unsur ajaran JMB8, maka mustahil bisa mendapatkan keheningan. Oleh karenanya Sang Buddha meminta Angulimala untuk berhenti (melakukan hal2 yg bertentangan dengan unsur dari JMB8). Tanpa melaksanakan unsur ajaran JMB8, maka karma buruk dan masalah akan bertumpuk, sehingga tidak mungkin akan ada keheningan.
MMD sebaliknya juga merupakan pondasi untuk menuju JMB8, karena berkurangnya keakuan dan kemelekatan. Ini tergantung level mana orang tersebut berada. Jadi sebenarnya MMD dan JMB8 saling mendukung. MMD yg sukses adalah pelaksanaan JMB8 yg sukses. JMB8 yg sukses akan menuju MMD yg sukses.
Apakah perlu adanya gelar lagi untuk yg sudah terbebaskan ?
Catatan : Hati2 dengan kemelekatan kepada keheningan meditasi, sehingga kehidupan sosial "agak" terabaikan.
Demikian pandangan saya. Terima kasih.
Salam.
Posted by: "johnson.khuo [at] gmail.com" johnson.khuo [at] gmail.com p1rate_
Wed Jul 29, 2009 12:25 am (PDT)
Pak Hudoyo,
Saya sebagai pribadi yg telah beberapa kali mengikuti MMD, paham betul jawaban Pak Hud di bawah yg menyatakan bahwa KETIKA BERADA DI DALAM meditasi vipassana, maka segala jalan, metode, ajaran harus ditanggalkan / tidak berlaku.
Namun perkenankan saya bertanya kepada intelek Pak Hud beberapa pertanyaan berikut:
1. Apakah ada korelasi antara 4KM dan/atau JMB8 dgn meditasi vipassana? Jika ada, korelasi yg seperti bagaimana?
2. Bagaimana sikap Pak Hud terhadap 4KM dan JMB8 dalam kondisi KETIkA TIDAK BERADA DI DALAM meditasi vipassana?
Terima kasih atas penjelasannya.
Catatan:
Pertanyaan2 di atas tdk ada hubungannya dgn tujuan mencari klarifikasi 'afiliasi' Pak Hud di dlm percaturan politik religi yg sedang diperbincangkan saat ini (yg menurut saya pribadi, maaf, pada dasarnya tdk membawa manfaat bagi batin), namun pertanyaan2 di atas hanya utk memuaskan keingintahuan/pembelajaran diri saya pribadi.
Salam,
Johnson
Dengan saya mengatakan ini bukan berarti harus melekati Tipitaka. Tetapi ketika kita mengacu pada tipitaka, maka sering diplintir seakan-akan kita melekat pada kitab suci. Padahal hanya mengacu pada panduan yg tersedia, dan NYATA-NYATA banyak yang telah mencapai Kearahatan dengan panduan ini
Menurut saya, sebelum orang mencapai Sotapanna, maka ia tidak tahu apa itu kebenaran sejati. Dengan demikian, apa pun yang dipercayainya, adalah semu. Umat Buddha boleh bicara apa pun tentang Saddha tidak tergoyahkan dari seorang Putthujjana. Tetapi saya ragu sebelum seseorang mencapai Sotapanna, masih terombang-ambing dalam Samsara entah ke mana, dalam 10 kehidupan ke depan, misalnya, ia masih memiliki Saddha yang sama.
Ketika seseorang berpikir bahwa terjadinya Saddha yang tak tergoyahkan pada seorang Putthujjana adalah mungkin, maka ia dengan sendirinya tidak melihat bahwa bentukan pikiran tidak kekal. "Saddha" seorang putthujjana berasal dari pikiran, bergantung pada pikiran pula. Itulah bedanya dengan seorang Sotapanna yang memiliki Saddha karena panna, karena telah merealisasinya. Oleh sebab itu, terhentinya kelahiran kembali adalah pasti.
Keyakinan semu ini, jika tidak disertai dengan miccha ditthi, bukanlah selalu hal yang buruk. Misalnya ada sebuah agama A mengajarkan, "kalau kalian membunuh, mencuri, melanggar susila, bohong, mabuk-mabukan, maka Tuhan akan menjatuhkan kutukan". Dalam hal ini, seseorang berkeyakinan semu, tetap mengikuti "samma ditthi" untuk melaksanakan sila dan menggenggam "adanya akibat dari satu perbuatan". Ini bukanlah hal yang buruk. Kecuali jika berlebihan, tentunya.
Demikian juga dalam Buddhisme, keyakinan semu akan sila, anatta, dan nibbana pun membantu seseorang dalam berkembang. Tetapi apakah keyakinan semu yang "tidak tergoyahkan" membantu perkembangan bathin? Menurut saya hanya akan membuatnya menggenggam rakit, dan orang yang menggenggam rakit tidak akan sampai pada pantai seberang.
Re: UNTUK REKAN RATNA KUMARA
Reply Reply to all Forward Print Add markos to Contacts list Delete this message Show original Message text garbled?
markos prawira to milis_buddha
show details 9:35 am (13 minutes ago)
Saya coba bantu yah bro
Berikut yg dikatakan oleh pak hudoyo :
1. Kalau Anda membaca dengan teliti thread ini, Anda akan melihat beberapa kali saya katakan:
Segala JALAN spiritual, termasuk JMB-8, tidak bisa membebaskan orang; untuk bebas batin harus berhenti, bukan berjalan.
Silakan kalau ada orang mau berpendapat lain.
Salam,
hudoyo
2. hehe … ini kan cuma mengulang-ulang argumentasi lama: ada JALAN ajaran Sang Buddha, yakni JMB-8.
Itulah yang diajarkan dalam AGAMA Buddha, dalam Tipitaka Pali yang ditulis berabad-abad setelah Sang Buddha wafat. Saya tidak percaya itu (JMB-8) datang dari mulut Sang Buddha.
3. Quote from: hudoyo on 26 July 2008, 06:36:26 AM
Ketika Sang Buddha memutar Dhammacakkapavattana….Beliau menjelaskan 2 Ekstrim yang dihancurkan melalui Jalan Tengah apakah Jalan Tengah itu ya 8 Jalan Ariya sehingga membawa orang menuju Nibbana. Yang dimaksud mungkin ketika kamu sedang berjuang mencapai Nibbana. gunakan 8 Jalan itu dan ketika sudah sampai maka ibarat rakit dilepas,lagian orang yang telah mencapai Nibbana atau kepadaman, ia tidak lagi memerlukan kemelekatan akan 8 Jalan itu sendiri melainkan telah terintegrasi dalam setiap ucapan,perbuatan dan pikiran.
Ini saja yang saya tangkap ketika membaca Visuddhi Magga
Bagus-bagus saja umat Buddha berpendapat seperti Anda.
Yang saya katakan adalah umat non-Buddhis pun bisa saja mencapai pembebasan (nibbana) tanpa melalui JMB-8, tanpa melalui konsep “pantai seberang”, tanpa melalui konsep “rakit”.
Itulah yang saya pahami dari pengalaman sadar sampai sejauh ini.
Silahkan dibaca yah bro.............
--- In milis_buddha [at] yahoogroups.com, johnson.khuo [at] ... wrote:
>
>
> Pak Hudoyo,
>
> Saya sebagai pribadi yg telah beberapa kali mengikuti MMD, paham betul jawaban Pak Hud di bawah yg menyatakan bahwa KETIKA BERADA DI DALAM meditasi vipassana, maka segala jalan, metode, ajaran harus ditanggalkan / tidak berlaku.
>
> Namun perkenankan saya bertanya kepada intelek Pak Hud beberapa pertanyaan berikut:
> 1. Apakah ada korelasi antara 4KM dan/atau JMB8 dgn meditasi vipassana? Jika ada, korelasi yg seperti bagaimana?
> 2. Bagaimana sikap Pak Hud terhadap 4KM dan JMB8 dalam kondisi KETIkA TIDAK BERADA DI DALAM meditasi vipassana?
>
> Terima kasih atas penjelasannya.
>
> Catatan:
> Pertanyaan2 di atas tdk ada hubungannya dgn tujuan mencari klarifikasi 'afiliasi' Pak Hud di dlm percaturan politik religi yg sedang diperbincangkan saat ini (yg menurut saya pribadi, maaf, pada dasarnya tdk membawa manfaat bagi batin), namun pertanyaan2 di atas hanya utk memuaskan keingintahuan/pembelajaran diri saya pribadi.
>
> Salam,
> Johnson
>
>
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
>
> -----Original Message-----
> From: "Hudoyo Hupudio" <hudoyo [at] ...>
>
> Date: Tue, 28 Jul 2009 20:25:00
> To: <milis-spiritual [at] yahoogroups.com>; <meditasi-mengenal-diri [at] yahoogroups.com>; <theravada-l [at] yahoogroups.com>; <krishindo [at] yahoogroups.com>; <milis_buddha [at] yahoogroups.com>; <mubi [at] yahoogroups.com>; <semedi [at] yahoogroups.com>; <DiskusiDhamma [at] yahoogroups.com>; <dharmajaya [at] yahoogroups.com>; <sahabat_hikmahbudhi [at] yahoogroups.com>
> Subject: [MB] UNTUK REKAN RATNA KUMARA
>
>
> Dari: Ratna Kumara di blognya,
> http://ratnakumara.wordpress.com/2009/07/26/apakah-romo-hudoyo-berpandangan-salahmenyimpang/
>
> Namo Buddhaya,
>
> Kepada Yth. Bp.Hudoyo Hupudhio =
>
> Bp.Hudoyo, saya ada pertanyaan untuk anda =
>
> 1. Bila bapak memang menolak “Jalan Ariya Beruas Delapan” dan “Empat
> Kesunyataan Mulia” , mengapa Bapak masih menyatakan diri / menggunakan
> predikat sebagai ummat Buddha ? Ummat Buddha adalah ummat yang
> mengikuti ajaran dan Jalan Buddha ; dan itu adalah Ajaran (Dhamma) dan
> Jalan yang Bapak tolak tersebut.
> 2. Bila bapak menolak kebenaran isi “Ti-Pitaka”, mengapa Bapak masih
> menyatakan diri / menggunakan predikat sebagai ummat Buddha ? Sebab ummat
> Buddha mendasarkan diri pada ajaran Buddha yang tertuang dalam Ti-Pitaka
> (Pali) maupun Tri-Pitaka (Sanskerta).
> 3. Bila bapak menolak ajaran fundamen dan Jalan sebagaimana saya
> maksud dalam point kesatu diatas, serta menolak kebenaran isi
> “Ti-Pitaka”, lalu ajaran dan Jalan serta kitab mana / apa yang Bapak ikuti ?
> 4. Ummat Buddha ber-Tisarana , pada Buddha-Dhamma-Arya Sangha.
> Sehingga, ummat Buddha mengikuti Sang Buddha sebagai satu-satunya
> Guru, kemudian mengikuti “Dhamma” yang dibabarkan oleh Sang Bhagava (
> bukan dhamma yang dibabarkan guru lain ), dan juga mengikuti
> jejak-langkah para Ariya-Sangha sejak setidaknya jaman Sang Buddha Gotama
> hingga sekarang. Apakah bapak Hudoyo masih menganggap Sang
> Buddha sebagai SATU-SATUNYA GURU ? Apakah Bapak Hudoyo masih
> berlindung pada DHAMMA yang DIAJARKAN SANG BUDDHA ( bukan dhamma yang
> diajarkan guru lain ) ? Apakah bapak masih tetap tidak meragukan
> ARIYA-SANGHA ? ( Bila tidak meragukan Ariya-Sangha, mengapa bapak
> meragukan Ti-Pitaka serta menganggap Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan
> Ariya Beruas Delapan hanyalah hasil “sisipan” Bhikkhu2 Sangha setelah Sang
> Buddha Parinibbana ? )
> 5. Sang Buddha adalah satu-satunya Guru bagi ummat Buddha. Bahkan
> sebagaimana tertera dalam Vimamsaka-Sutta ( Majjhima-Nikaya, sutta ke-47
> ), ciri2 seorang Sotapanna adalah, keyakinannya pada Sang Buddha tidak
> tergoyahkan lagi, “keyakinannya sudah ditopang oleh alasan,
> berakar di dalam visi, dan mantap; keyakinannya tak terkalahkan oleh
> petapa atau brahmana atau dewa atau Mara atau Brahma atau siapapun didunia
> ini. “ Sehingga, mengapa sebagai ummat Buddha, bapak Hudoyo lebih memilih
> “berguru” pada J.Krishnamurti ?
> 6. Dari kesemua hal itu, apakah bapak merasa masih bertanggungjawab
> sebagai seorang Romo / Pandhita yang seharusnya secara bijaksana
> menuntun ummat Buddha untuk benar-benar mengikuti Jalan yang
> ditunjukkan Sang Buddha ( yang telah bapak tolak sendiri ).
>
> Bapak Hudoyo yang saya hormati,
> menurut saya, seandainya bapak hendak menjadi tokoh-spiritual yang
> bersifat non-agama dan merangkul semua pihak, seharusnya bapak tidak
> melekatkan segala atribut Buddhisme pada diri Bapak.
>
> Bapak bisa mencontoh langkah2 Gede Prama misalnya.
> Atau Anand Krishna misalnya.
>
> Sebab, kalau bapak masih menggunakan gelar Pandhita Buddhist, tapi
> dimana-mana justru mengeluarkan statement yang isinya menolak adanya
> “Jalan” sebagaimana yang disabdakan Buddha, menolak kebenaran Ti-Pitaka,
> dan lain2 hal seperti yang sudah bapak ajarkan/ucapkan selama ini, maka
> Bapak telah gagal untuk mempertanggungjawabkan secara etik-moralitas
> ke-”Pandhita”-an bapak Hudoyo sendiri.
>
> Dan karena itulah , maka wajar jika banyak ummat Buddha yang menganggap
> bapak telah dengan sengaja “membelokkkan” ajaran Buddha, atau dengan
> sengaja mempengaruhi ( maaf : menyesatkan ) ummat Buddha untuk
> meninggalkan ajaran2 Buddha yang dianut oleh ummat Buddha itu sendiri.
>
> Demikian pertanyaan dan komentar saya untuk Bapak Hudoyo yang saya hormati.
>
> Mohon bapak berkenan memberikan tanggapan.
>
> May Happiness Always b With U,
> Sadhu,Sadhu,Sadhu.
>
> ==========================================
>
> HUDOYO HUPUDIO:
>
> Jawaban saya untuk Anda:
>
> 1. Saya tidak mengajarkan "Agama Buddha", melainkan mengajarkan MEDITASI
> VIPASSANA sesuai ajaran Buddha dalam Mulapariyaya-sutta, Bahiya-sutta &
> Mal;unkyaputta-sutta.
> Di dalam meditasi vipassana, segala macam doktrin apa pun harus ditanggalkan.
>
> 2. Dalam meditasi vipassana semua ketergantungan pada kitab-ktiab suci
> harus ditanggalkan.
>
> 3. Dalam meditasi vipassana tidak dianut ajaran & kitab apa pun..
>
> 4. Dalam meditasi vipassana, semua perlindungan kepada siapa pun harus
> ditanggalkan.
>
> 5. Dalam meditasi vipassana, pengertian tentang siapa Buddha, siapa
> Krishnamurti, harus ditanggalkan.
>
> 6. Sekali lagi, saya tidak mengajarkan AGAMA Buddha, alih-alih saya
> mengajarkan meditasi vipassana.
>
> DAN VIPASSANA YANG SAYA AJARKAN ADALAH SESUAI DENGAN AJARAN BUDDHA DALAM
> MULAPARIYAYA-SUTTA, BAHIYA-SUTTA & MALUNKYAPUTTA-SUTTA.
>
> Salam,
> Hudoyo
> Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
> Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
>
>
>
> Salam,
> Hudoyo
> Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
> Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
>
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
QuoteBhante Pannyavaro:
Gunadipo, banyak umat Buddha yg kaget mendengar ungkapan Zen Buddhism :
“kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha!”
Apalagi bagi pemula. Trm ksh.
Ini bisa diartikan begini :
"kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha" Kalau pemula langsung kalo ketemu Buddha, langsung dibunuh beneran Buddhanya. Karena dia mendengarnya dari Master Zen. Dan orang itu berpikir dengan membunuh Buddha beneran bisa mencapai pencerahan . Padahal yg dimaksud Master Zen adalah bukan arti harafiahnya dan yg dilupakan si orang malang yg membunuh Buddha adalah keseluruhan petunjuk si Master Zen yg sebelumnya pernah diberikan, diabaikan olehnya. ^-^
Sama halnya ketika Master MMD membaca bahiya sutta maka ya itu saja yg dianggap relevan. Karena di bahiya sutta tidak ditulis Jmb 8 dan 4 Km maka ya tidak ada dan tidak perlu. Artinya kalau ngak ada dijelaskan jmb 8 dan 4 km, maka tidak relevan.
Sayangnya PH memilah dan memilih email saat posting ke milis2 lain sehingga mengesankan didukung Bhante PannavaroQuote[MUBI] Digest Number 4393
Gunadipo: PESAN SINGKAT YM SRI PANNYAVARO MAHATHERA
Posted by: "Hudoyo Hupudio" hudoyo [at] cbn.net.id hudoyo1
Tue Jul 28, 2009 5:26 pm (PDT)
[Dari: milis Samaggiphala]
Mengikuti perkembangan di milis soal Romo Hudoyo yg katanya telah
menyebarkan ajaran yg menyimpang dari Ajaran Buddha, dan berangkat dari
keingintahuan saya atas bagaimana sebenarnya pendapat atau tanggapan
pribadi dari YM Sri Pannyavaro atas berita ini. Maka tadi siang saya
memberanikan diri utk bertanya langsung kepada Bhante melalui pesan
singkat. Jujur saya tidak berada pada pihak yg pro ataupun kontra terhadap
Pihak manapun. saya menilai tulisan ini tak lebih dari sekadar himbauan
bagi kita semua utk tetap terus waspada. saya pikir jawaban Bhante ini
cukup mendalam dan diperlukan perenungan oleh diri sendiri yg tidak mudah
dan tentunya pengetahuan yg diperoleh utk diri sendiri.
Berikut tanya - jawab singkat saya dgn Bhante Pannyavaro;
Gunadipo:
Selamat siang Bhante yg saya Muliakan, membaca perkembangan di milis
Samaggi Phala tentang Romo Hudoyo yg dikatakan menyebarkan ajaran yg
menyimpang dari Ajaran Buddha oleh teman - teman di DhammaCitta; sedikit
membuat saya bingung sendiri. Mungkin hal yg sama juga terjadi pada ummat
Buddha lainnya. Bagaimana tanggapan Bhante? Namun jika menurut Bhante,
bahwa Bhante tidak / belum perlu menanggapinya, abaikan saja pertanyaan
dan keingintahuan saya ini. Anumodana, semoga Bhante sehat sejahtera.
Bhante Pannyavaro:
Gunadipo, banyak umat Buddha yg kaget mendengar ungkapan Zen Buddhism:
"Kalau engkau bertemu Buddha, bunuh Buddha!"
Apalagi bagi pemula. Trm ksh.
Gunadipo:
Anumodana atas jawaban Bhante yg penuh perenungan utk saya ini Bhante.Akan
saya coba pahami ungkapan itu. Apakah pertanyaan saya dan jawaban Bhante
ini boleh saya bagikan ke seluruh teman - teman ummat Buddha lainnya?
Bhante Pannyavaro:
O ya, tdk ada yg rahasia, boleh saja Gunadipo. Trm ksh.
_________________________________
Demikian, sekali lagi ini tanggapan pribadi Bhante bukan tanggapan
organisasi. Ungkapan Zen Buddhism tadi menyiratkan pesan Dhamma yg
mendalam bagi saya pribadi dan semoga juga bermanfaat bagi rekan - rekan
sekalian. Bagi rekan - rekan yg lain yg mungkin memiliki sudut pandang yg
tersendiri terhadap ungkapan itu, silahkan utk dapat di sharing kan. --
Be Happy,
Gunadipo
=============================
HUDOYO HUPUDIO:
Mas Gunadipo, betul itu pendapat pribadi Bhante Pannyavaro, bukan pendapat
organisasi. Beliau tentu mempunyai pertimbangan sendiri untuk mengeluarkan
pernyataan seperti itu.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah organisasi (Magabudhi? STI?) merasa perlu
memberi tanggapan mengenai masalah ini? Pesan saya: berhati-hatilah,
jangan sampai salah melangkah. Diam itu emas.
Salam,
Hudoyo
=============================
NANG NING NUNG NENG NONG:
Jawaban YM Bhante Pannavaro menyiratkan bahwa semua yg
tidak suka romo Hudoyo adalah pemula.
Nang Ning Nung Neng Nong
=============================
HUDOYO HUPUDIO:
hehe ... yang mengatakan itu Anda, lho, Mas Nang Ning Nung Neng Nong.
Tapi mungkin betul juga: "pemula" dalam kebebasan, sekalipun hafal isi
kitab suci.
Salam,
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
kalau masalah saddha, yah problem diri sendiri...Memang berbeda. Bagi saya, memercayai keyakinan apapun, intinya sama, yaitu hanya sebatas teoritis dan kecocokan saja, karena belum dibuktikan. Tetapi saya tidak bilang kualitas pemikiran dari pemeluk ataupun hasil dari memercayai semua keyakinan, adalah sama.
hanya saja memang dari percaya tanpa bukti, dan di buktikan baru percaya itu berbeda...
Ya jelas tidak sampai, keenakan 'menggenggam' dan lupa dilepasin :))Ya, semoga demikian.
dalam kasus ini, Apakah ada kebenaran sejati dalam MMD? sudah mencapai apakah pa Hudoyo? Sotapana? saya rasa pa Hudoyo tidak mau tahu mencapai apapun.Kalau Pak Hudoyo, pandangannya, pribadinya, dan pencapaiannya, saya tidak tahu, dan tidak mau tahu. Dalam beberapa hal, saya bisa maklum kalau pandangan Pak Hudoyo mendapat respon negatif dari umat Buddha.
logikanya: Jika seorang putthujjana tidak bisa memiliki Saddha karena Panna, maka ia tidak akan bisa menjadi Sotapanna... krn prosesnya adalah: si putthujjana merenungi ajaran, mengalami mendapatkan kebijaksanaan dari pengalamannya, sehingga Saddha tertanam dalam dirinya berdasarkan pengalamannya tsb.. begitu seterusnya terhadap pengalaman2 nya yg lain... ia akan berproses terus.. bertahap mencapai sotapanna dstnya...Saddha semu, bisa saja. Tetapi saddha sejati, yang tidak tergoyahkan namun bukan dari kekerasan "kepala batu", adalah hasil dari realisasi kebijaksanaan. Sekali lagi, saya tidak bilang Saddha semu itu selalu buruk, namun saddha semu tetaplah semu, dan jika sampai taraf "tidak tergoyahkan", itu bahaya.
Menurut saya perbuatan baik diatas bukan dilakukan atas dasar 'pemahaman benar' melainkan didasari atas pemahaman salah, yakni: takut akan hukuman/pembalasan Tuhan. Seorang putthujjana bisa saja telah meyakini bahwa tidak baik melakukan pembunuhan (atau perbuatan2 salah lainnya) karena akibat pasti akan mengikutinya, terutama akibat 'pembentukan batinnya menjadi merosot'... ia meyakini hal ini karena ajaran yg dibacanya dan pengalamannya selama ini... berarti saddha-nya terbentuk karena Panna...Ya, oleh karena itu, saya tidak bahas "Tuhan"-nya, karena nanti jauh sampai ke Brahmajala Sutta. Walaupun sebetulnya saya katakan Buddhis pun masih terjerat dalam jaring Brahma tersebut (makanya tidak bisa lolos dari Samsara). Kalau mau bicara fair, saya rasa tidak ada umat Buddha juga yang bisa membuktikan jalannya kamma.
(sesungguhnya saya masih berpikiran bahwa seseorang tidak akan tau ia masih putthujjana atau telah masuk ke sotapanna... btw -ini hanya secuil pemikiran-)
keyakinan semu tidak tergoyahkan = saya artikan kepercayaan semata, mungkin malah miccha ditthi, sama seperti kepercayaan di agama tetangga, bukan Saddha. Dan betul, 'keyakinan semu' ini hanya akan menjadi genggaman yg justru menghambat orang tsb.Kalau begitu, di sini kita beda pendapat.
Tetapi mengenai metode MMD-nya, saya tidak mungkin mengatakan "bukan ajaran Buddha" karena memang menurut saya, itu bagian dari ajaran Buddha. Yang menjadi masalah mungkin hanyalah "istilah" dan cara penjelasan Pak Hudoyo yang mungkin berbeda.
Minggu kemarin, pada perayaan Asadha, Bhante Pannavaro bercerita tentang meditasi, dan apa yang disampaikan bhante sangat mirip (kalau bukan persis) yang diajarkan di MMD, yaitu tentang "tidak usah berusaha", "hanya mengamati".
Dear All,
Saya juga tanya :
Pak Hudoyo berkata :
> 3. Dalam meditasi vipassana tidak dianut ajaran & kitab apa pun..
Kalau tidak dianut ajaran apapun, lalu dari mana asal mulanya Pak Hudoyo tahu tentang "vipassana" ?
aku titip pertanyaan sama pak hud, klo mmd umat buddha gak boleh namaskara, dll... tp klo umat lain kok boleh sholat, bedoa, dll... maksudnya apa ya???
QuoteTetapi mengenai metode MMD-nya, saya tidak mungkin mengatakan "bukan ajaran Buddha" karena memang menurut saya, itu bagian dari ajaran Buddha. Yang menjadi masalah mungkin hanyalah "istilah" dan cara penjelasan Pak Hudoyo yang mungkin berbeda.
Minggu kemarin, pada perayaan Asadha, Bhante Pannavaro bercerita tentang meditasi, dan apa yang disampaikan bhante sangat mirip (kalau bukan persis) yang diajarkan di MMD, yaitu tentang "tidak usah berusaha", "hanya mengamati".
meditasi yang disampaikan bhante mirip dengan mmd apa mmd yang mirip dgn yang disampaikan bhante?? atau hanya kesalahan penulisan saudara kainyn?
aku titip pertanyaan sama pak hud, klo mmd umat buddha gak boleh namaskara, dll... tp klo umat lain kok boleh sholat, bedoa, dll... maksudnya apa ya???
Numpang tanya, memangnya dalam MMD, umat lain boleh melakukan ritualnya?
Kalau Pak Hudoyo, pandangannya, pribadinya, dan pencapaiannya, saya tidak tahu, dan tidak mau tahu. Dalam beberapa hal, saya bisa maklum kalau pandangan Pak Hudoyo mendapat respon negatif dari umat Buddha.
Tetapi mengenai metode MMD-nya, saya tidak mungkin mengatakan "bukan ajaran Buddha" karena memang menurut saya, itu bagian dari ajaran Buddha. Yang menjadi masalah mungkin hanyalah "istilah" dan cara penjelasan Pak Hudoyo yang mungkin berbeda.
Minggu kemarin, pada perayaan Asadha, Bhante Pannavaro bercerita tentang meditasi, dan apa yang disampaikan bhante sangat mirip (kalau bukan persis) yang diajarkan di MMD, yaitu tentang "tidak usah berusaha", "hanya mengamati".
Kalo baca dari jawaban-jawaban pak Hud sih iya.... seingat saya didalam thread MMD juga ada tulisan mengenai hal ini...
misalkan untuk muslim diperbolehkan shalat karena diharuskan didalam ajarannya, yg dijelaskan oleh pak hud... karena kalo tidak shalat hukumnya api neraka...dg berjalannya wkt dg kesadaran yng makin baik pelan akan ditinggal juga....menurut penjelasan pak hud....
Kalau begitu, di sini kita beda pendapat.
Saya tidak/belum mampu membuktikan 31 alam (atau lebih, jika ada), oleh karena itu kepercayaan saya terhadap "tidak adanya Tuhan personal" adalah semu.
Saya tidak/belum mampu buktikan kelahiran kembali dan terhentinya kelahiran kembali, oleh karena itu kepercayaan saya adalah semu.
Saya tidak akan "tidak tergoyahkan" dalam hal-hal yang belum saya buktikan sendiri.
aku titip pertanyaan sama pak hud, klo mmd umat buddha gak boleh namaskara, dll... tp klo umat lain kok boleh sholat, bedoa, dll... maksudnya apa ya???
Numpang tanya, memangnya dalam MMD, umat lain boleh melakukan ritualnya?
Kalau Pak Hudoyo, pandangannya, pribadinya, dan pencapaiannya, saya tidak tahu, dan tidak mau tahu. Dalam beberapa hal, saya bisa maklum kalau pandangan Pak Hudoyo mendapat respon negatif dari umat Buddha.
Tetapi mengenai metode MMD-nya, saya tidak mungkin mengatakan "bukan ajaran Buddha" karena memang menurut saya, itu bagian dari ajaran Buddha. Yang menjadi masalah mungkin hanyalah "istilah" dan cara penjelasan Pak Hudoyo yang mungkin berbeda.
Minggu kemarin, pada perayaan Asadha, Bhante Pannavaro bercerita tentang meditasi, dan apa yang disampaikan bhante sangat mirip (kalau bukan persis) yang diajarkan di MMD, yaitu tentang "tidak usah berusaha", "hanya mengamati".
Saya setuju sekali dan sependapat dengan Bro Kai.
Tidak ada yg salah dengan MMD yg diajarkan Pak Hudoyo. Mo vipassana atau samatha, terserah disebut.. Pengamatan secara pasif (ada yg menyebut 'tanpa uasaha' ada juga yg berpendapat ini adalah 'usaha jua'; tidak masalah, hanya sekedar 'label') bisa juga disebut 'penyerahan diri total' (yg didengung2kan dicapai oleh BR, suster ka****k), juga dalam meditasi Reiki -hampir mirip-... dan kesemua teknik ini akan bisa mengantar kita pada kondisi 'tertentu'...
Masalahnya adalah 'pemikiran2' Pak Hud yg dilontarkan:
~ JMB-8 diragukan dari mulut SB (yg bisa diartikan: menurut Pak Hud JMB-8 sesungguhnya tidak bisa mengantar ke pencerahan)
~ Meragukan bait2 Tipitaka, kecuali Malunkya cs...
~ Bersikap dualisme: di depan umat Buddhist melontarkan bahwa MMD adalah metode SB, tapi di umat lain tidak disinggung2 dari SB... harusnya bersikap konsisten. Dengan bersikap begini jadi terbaca bahwa MMD jadi sekedar barang komersial yg pondasinya lemah, bisa diubah2 sesuai pasar dengan tujuan marketing semata. Bukan vipassana murni yg pondasinya kokoh dan konsisten.
Juga ditambah sikap Pak Hudoyo sendiri yg masih tidak stabil... yg akan melahirkan pemikiran bahwa:
~ sikap belum stabil, gampang emosi, berarti belum mengikis kekotoran batin sd titik tertentu, kok berani2nya meragukan JMB-8?
~ sikap yg belum stabil ini, artinya belum mencapai 'tahapan tertentu', artinya belum bisa membuktikan MMD sebagai 'Vipassana alternatif yg telah ter-uji coba'...
~ beberap statement dan sikap pak hud yg menunjukkan bahwa: Pak Hud hanya bermeditasi ketika duduk, mencapai keheningan batin ketika duduk... sikap yg ditunjukkan dan statement ini bertolak belakang dengan inti Vipassana sendiri, yakni: lebih mementingkan kesadaran dalam keseharian, meditasi duduk hanyalah sarana latihan. Hasil sesungguhnya terlihat dalam keseharian.
----
Karena MMD sendiri, dengan tekniknya bisa mengantarkan kita pada kondisi mental tertentu, maka MMD sendiri sebenarnya cukup bermanfaat. Hanya disayangkan sikap Pak Hud dan statement2 nya yg masih belum matang. Disatu sisi, bagi yg mengerti, tidak apa2, akan mengambil manfaat MMD saja dan tidak akan pusing dengan tingkah laku Pak Hud, namun disisi lain, bagi murid yg pengertiannya masih dangkal, akan menelan bulat2 pernyataan2 Pak Hud dan mencontoh sikap2 Beliau. Contohnya rekan kita R*** dulu (maaf R***, saya katakan 'dulu' krn sekarang mungkin telah berbeda).
Inilah yg menurut sy mungkin dimaksud oleh Bhante Panna:
Karena -menurut saya- tidak mungkin oleh Bhante Panna mengatakan blak2an seperti yg saya maksud diatas, maka tersirat oleh saya:
~ MMD bisa bermanfaat, namun pelajari dan latih MMD-nya saja, lupakan sosok pengajarnya, jangan contoh bulat2 dan jangan ambil aksi.
Kalau ketemu Buddha, bunuh Buddha....
::
aku titip pertanyaan sama pak hud, klo mmd umat buddha gak boleh namaskara, dll... tp klo umat lain kok boleh sholat, bedoa, dll... maksudnya apa ya???
Numpang tanya, memangnya dalam MMD, umat lain boleh melakukan ritualnya?
Kalo baca dari jawaban-jawaban pak Hud sih iya.... seingat saya didalam thread MMD juga ada tulisan mengenai hal ini...
misalkan untuk muslim diperbolehkan shalat karena diharuskan didalam ajarannya, yg dijelaskan oleh pak hud... karena kalo tidak shalat hukumnya api neraka...dg berjalannya wkt dg kesadaran yng makin baik pelan akan ditinggal juga....menurut penjelasan pak hud....
Tidak ada yg salah dengan MMD yg diajarkan Pak Hudoyo. Mo vipassana atau samatha, terserah disebut.. Pengamatan secara pasif (ada yg menyebut 'tanpa uasaha' ada juga yg berpendapat ini adalah 'usaha jua'; tidak masalah, hanya sekedar 'label') bisa juga disebut 'penyerahan diri total' (yg didengung2kan dicapai oleh BR, suster ka****k), juga dalam meditasi Reiki -hampir mirip-... dan kesemua teknik ini akan bisa mengantar kita pada kondisi 'tertentu'...Ya, ini kadang hanya masalah istilah teknis yang digunakan, seperti "berhentinya pikiran" ini sangat ambigu, dan tiap orang punya persepsi berbeda ketika mendengar hal ini. Perlu diskusi "dingin" yang lama untuk menangkap maksudnya.
Masalahnya adalah 'pemikiran2' Pak Hud yg dilontarkan:Untuk JMB & Tipitaka, no comment.
~ JMB-8 diragukan dari mulut SB (yg bisa diartikan: menurut Pak Hud JMB-8 sesungguhnya tidak bisa mengantar ke pencerahan)
~ Meragukan bait2 Tipitaka, kecuali Malunkya cs...
~ Bersikap dualisme: di depan umat Buddhist melontarkan bahwa MMD adalah metode SB, tapi di umat lain tidak disinggung2 dari SB... harusnya bersikap konsisten. Dengan bersikap begini jadi terbaca bahwa MMD jadi sekedar barang komersial yg pondasinya lemah, bisa diubah2 sesuai pasar dengan tujuan marketing semata. Bukan vipassana murni yg pondasinya kokoh dan konsisten.
Juga ditambah sikap Pak Hudoyo sendiri yg masih tidak stabil... yg akan melahirkan pemikiran bahwa:Bagi saya, tetap saja Pak Hudoyo seorang yang masih sangat terbatas dan jauh dari kesempurnaan. Namun bukan berarti tidak bisa memberikan manfaat dan kemajuan bagi orang lain. Misalnya saja waktu itu ada member yang baru masuk dan bicaranya suka ke mana-mana. Setelah beberapa lama, saya bahkan sudah tidak mau lagi meladeninya, apalagi membimbingnya bagai adik saya. Tetapi Pak Hudoyo menerimanya dan menganggap sebagai anak sendiri. Kalian pasti tahu siapa itu. Bagi beberapa orang, mungkin itu adalah guyonan, bagi saya, itu adalah salah satu teladan.
~ sikap belum stabil, gampang emosi, berarti belum mengikis kekotoran batin sd titik tertentu, kok berani2nya meragukan JMB-8?
~ sikap yg belum stabil ini, artinya belum mencapai 'tahapan tertentu', artinya belum bisa membuktikan MMD sebagai 'Vipassana alternatif yg telah ter-uji coba'...
~ beberap statement dan sikap pak hud yg menunjukkan bahwa: Pak Hud hanya bermeditasi ketika duduk, mencapai keheningan batin ketika duduk... sikap yg ditunjukkan dan statement ini bertolak belakang dengan inti Vipassana sendiri, yakni: lebih mementingkan kesadaran dalam keseharian, meditasi duduk hanyalah sarana latihan. Hasil sesungguhnya terlihat dalam keseharian.
Saddha sangat diperlukan. Dan Saddha dengan kebijaksanaan dan faktor lainnya(panca bala) semuanya penting. Kebijaksanaan muncul bukan saat menjadi sotapana terlebih dahulu, justru Saddha dan panna harus ada sebelum mencapai sotapanna, mengapa demikian ? karena Saddha dan panna adalah salah satu bahan bakar untuk mencapai sotapanna dst.
Semoga ketegasan karena Saddha tidak diartikan sebagai fanatisme radikal. Yang dimaksud fanatisme radikal adalah menganggap tidak ada kebenaran selain milik-ku dan yang lain adalah kafir, kalau tidak sependapat lalu diganyang, dicela sampai pada tindak kekerasan. Dan orang yg fanatik tidak pernah melihat embun-embun kebenaran di tempat lain.
Dan perlu dipahami juga bahwa pengertian, melihat danmenjalankan Dhamma tidak dimulai dari sotapana tetapi dimulai saat masih putthujana contoh ketika seorang putthujana sudah melihat manfaat menjalankan sila dan menjalankannya, maka saat itu pula ia sudah melihat Dhamma dan seiring dengan pelaksanaan sila , dan kemudian berkembang pada latihan samadhi dengan sendirinya banyak Dhamma2 yg ia lihat termasuk mulai dimengertinya Dukkha,anicca dan anatta walaupun baru sebatas pemahaman dalam pemikiran(asal benar), itu juga cikal bakal untuk melihat dan mengalami langsung dan ini terjadi saat tercapainya magga dan phala. Jadi seorang putthujana yang melatih dan menjalankan Dhamma dengan benar, bukan berarti "he/she is nothing" dan baru " become a thing" saat menjadi sotapana dst. Buddha is Dhamma, Dhamma is Buddha, To see Buddha is to see Dhamma.How to see Buddha and Dhamma? Through your heart not your head. _/\_
Saya mulai bisa melihat dasar perbedaan pandangan kita soal Saddha ini.
~ Bro Kai berpendapat Saddha adalah terhadap keseluruhan Ajaran Buddha.
~ Sementara saya berpendapat, Saddha tidak harus terhadap keseluruhan Ajaran, namun bertahap sesuai dengan yg telah dibuktikan (dialami sendiri) dan sesuai dengan tingkat kebijaksanaan yg dicapai.
Misalnya, saya sendiri ketika pertama2 kali mengenal ajaran Buddha, saya mengalami "Hidup adalah dukkha, dikarenakan keinginan2 kita yg melekat"... ini adalah Saddha saya yg saya peroleh dulu.. secuil Panna saya, kemudian dilanjutkan dengan tahapan2 selanjutnya...
Jelas pada saat itu saya yg seorang Putthujjana mempunyai satu titik Saddha, yg selanjutnya Saddha tsb menopang saya untuk mengamati dan merenungkan hal2 lainnya menuju Saddha2 berikutnya... kumpulan Saddha2 yg saling menunjang dgn Panna, Konsentrasi, Sila dll suatu saat akan mengantar Putthujanna menjadi Sotapanna.. dstnya...
Itu alasan kenapa sy menyatakan seorang Putthujjana bisa mempunyai Saddha.
Mengenai Ajaran Hukum Kamma, apakah bisa menjadi Saddha atau tidak, tergantung tingkat kebijaksanaan yg telah diraih, mungkin ada yg sudah, mungkin ada yg belum...
Semuanya adalah proses yg berkelanjutan sedikit demi sedikit...
Bagi saya, tetap saja Pak Hudoyo seorang yang masih sangat terbatas dan jauh dari kesempurnaan. Namun bukan berarti tidak bisa memberikan manfaat dan kemajuan bagi orang lain. Misalnya saja waktu itu ada member yang baru masuk dan bicaranya suka ke mana-mana. Setelah beberapa lama, saya bahkan sudah tidak mau lagi meladeninya, apalagi membimbingnya bagai adik saya. Tetapi Pak Hudoyo menerimanya dan menganggap sebagai anak sendiri. Kalian pasti tahu siapa itu. Bagi beberapa orang, mungkin itu adalah guyonan, bagi saya, itu adalah salah satu teladan.tapi bisa saja ada batu di balik udang lho, mencari potensi pendukung =)) trus bisa di jadikan kesaksiannya buat di sebar di milis2 lain untuk dagangannya ;D
Sekedar penyegaran, berikut kutipan dari RAPB entah halaman berapa:Saddha adalah salah satu komponen dalam Pancabala yang harus dikembangkan, jadi menurut yg saya pahami Saddha dalam dosis tertentu memang diperlukan dalam usaha untuk mencapai pencerahan. namun tentunya bukan yg berlebihan, segalanya yg overdosis tentu tidak baik.
jika kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=422.30Quotea. Sobhanasadharana cetasika 19 : Jenis faktor batin indah yg terdapat di semua
jenis kusala citta, terdiri dari :
28. Saddha = faktor batin keyakinan berdasarkan pengetahuan
jelas terlihat bhw Saddha secara batin adalah faktor batin yg indah, yg tidak mungkin menjadi sesuatu yg tidak baik/akusala
Yang menjadikan tidak baik/akusala adalah saat pikiran beralih ke akusala juga yaitu lobha misal :
- mana/Kesombongan
- ditthi/pandangan salah
Singkatnya saddha itu cetasika sobhana, yg bukan/jauh dari pengertian fanatisme
semoga bermanfaat agar kita tidak lagi terpengaruh konsep masyarakat umum yg menyamakan saddha dengan sekedar "keyakinan" saja yg bisa beralih menjadi fanatisme
tidak baik yg saya maksudkan di sini adalah bisa menghambat karena tidak seimbang dengan faktor2 lainnya, misalnya saddha berlebihan tapi viriya over lemah, dan sebagainya. dan saya mengatakan dalam konteks panca bala.
dear om,
pancabala kalau dilihat dari : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4565.0
15. “Pañcimāni, bhikkhave, balāni.
Katamāni pañca?
Saddhābalaŋ, vīriyabalaŋ, satibalaŋ, samādhibalaŋ, paññābalaŋ.
Inilah o para Bhikkhu, lima kekauatan.
Apakah lima kekuatan itu?
Kekuatan keyakinan (Saddhābalaŋ), Kekuatan semangat (vīriyabalaŋ), Kekuatan penyadaran (satibalaŋ), Kekuatan samādhi/konsentrasi (samādhibalaŋ), Kekuatan Kebijaksanaan (paññābalaŋ).
sesungguhnya seperti JMB-8, juga merupakan latihan batin yaitu :
a) Annasamana cetasika 13 ( 13 cetasika umum ) :
1. Ekaggata = konsentrasi terhadap satu objek, merupakan faktor batin yg mengkonsentrasikan batin terhadap satu objek. Faktor batin ini membuat kokoh batin di dlm mengalami objek.
b) Pakinnaka cetasika 6 : enam cetasika yg muncul di sebagian besar citta
2. Viriya = semangat (daya tahan batin/endurance), faktor batin yg membangkitkan semangat dan memiliki cirri khas mendukung, mengukuhkan, mempertahankan faktor-faktor batin. Di dalam kitab komentar, yaitu Atthasalini, viriya seyogyannya dipandang sebagai akar dari semua pencapaian.
c. Sobhanasadharana cetasika 19 : Jenis faktor batin indah yg terdapat di semua
jenis kusala citta, terdiri dari :
3. Saddha = faktor batin keyakinan berdasarkan pengetahuan
4. Sati = perhatian terhadap objek sesuai kondisi yg sesungguhnya
5. Pannindriya cetasika = faktor batin bijaksana di dlm memandang hakekat sesungguhnya segala sesuatu.
Jadi sesungguhnya saat melatih saddha, sebenarnya saat bersamaan dia melatih sati. Juga melatih ekaggata/konsentrasi
Memang dimungkinkan utk agak lemah di Viriya mengingat viriya hanyalah Pakinnaka cetasika yg tidak selalu muncul
Dan juga mungkin jika tidak dilakukan dengan panna
Namun tentunya akan sangat powerful sekali jika bisa dilakukan sekaligus karena saat itu, sesungguhnya batin dalam kondisi yg sobhana
Sangat mirip dengan kondisi yg muncul jika kita bisa menjalankan keseluruhan JMB-8 yaitu batin yg sobhana
senang bisa diskusi dgn om
metta
Saya mulai bisa melihat dasar perbedaan pandangan kita soal Saddha ini.
~ Bro Kai berpendapat Saddha adalah terhadap keseluruhan Ajaran Buddha.
~ Sementara saya berpendapat, Saddha tidak harus terhadap keseluruhan Ajaran, namun bertahap sesuai dengan yg telah dibuktikan (dialami sendiri) dan sesuai dengan tingkat kebijaksanaan yg dicapai.
Misalnya, saya sendiri ketika pertama2 kali mengenal ajaran Buddha, saya mengalami "Hidup adalah dukkha, dikarenakan keinginan2 kita yg melekat"... ini adalah Saddha saya yg saya peroleh dulu.. secuil Panna saya, kemudian dilanjutkan dengan tahapan2 selanjutnya...
Jelas pada saat itu saya yg seorang Putthujjana mempunyai satu titik Saddha, yg selanjutnya Saddha tsb menopang saya untuk mengamati dan merenungkan hal2 lainnya menuju Saddha2 berikutnya... kumpulan Saddha2 yg saling menunjang dgn Panna, Konsentrasi, Sila dll suatu saat akan mengantar Putthujanna menjadi Sotapanna.. dstnya...
Itu alasan kenapa sy menyatakan seorang Putthujjana bisa mempunyai Saddha.
Mengenai Ajaran Hukum Kamma, apakah bisa menjadi Saddha atau tidak, tergantung tingkat kebijaksanaan yg telah diraih, mungkin ada yg sudah, mungkin ada yg belum...
Semuanya adalah proses yg berkelanjutan sedikit demi sedikit...
Saddha sejati yang saya maksud memang adalah tentang realisasi kebenaran mutlak.
Saddha semu adalah mengenai kebenaran relatif.
Beberapa waktu lalu, saya pernah menyinggung bahwa kita semua tahu teori anatta, tahu hidup ini dukkha, kemelekatan adalah dukkha. Kok masih menikmati kesenangan indriah? Masih mencari pasangan hidup, uang banyak, dll? Mengapa kita tahu kemelekatan menimbulkan penderitaan, tetapi malah mengejar kemelekatan tersebut? Di mana Saddha seseorang yang meyakini kemelekatan = dukkha, sementara masih menimbulkan kemelekatan-kemelekatan baru?
Demikianlah saya katakan saddha seorang putthujjana adalah semu, dan apa yang semu berubah sejalan dengan waktu. Apa yang berubah sejalan dengan waktu adalah goyah, bukan tidak tergoyahkan. Ketika seseorang melihat yang tergoyahkan sebagai tidak tergoyahkan, itulah kebodohan bathin. Itulah dukkha.
Saddha sejati yang saya maksud memang adalah tentang realisasi kebenaran mutlak.
Saddha semu adalah mengenai kebenaran relatif.
Beberapa waktu lalu, saya pernah menyinggung bahwa kita semua tahu teori anatta, tahu hidup ini dukkha, kemelekatan adalah dukkha. Kok masih menikmati kesenangan indriah? Masih mencari pasangan hidup, uang banyak, dll? Mengapa kita tahu kemelekatan menimbulkan penderitaan, tetapi malah mengejar kemelekatan tersebut? Di mana Saddha seseorang yang meyakini kemelekatan = dukkha, sementara masih menimbulkan kemelekatan-kemelekatan baru?
Demikianlah saya katakan saddha seorang putthujjana adalah semu, dan apa yang semu berubah sejalan dengan waktu. Apa yang berubah sejalan dengan waktu adalah goyah, bukan tidak tergoyahkan. Ketika seseorang melihat yang tergoyahkan sebagai tidak tergoyahkan, itulah kebodohan bathin. Itulah dukkha.
Anumodana [at] Bro Bond atas "pencerahan" anda yah ;)
[at] williamhalim, berarti yuk kembali bahas MMD dan Buddhisme... ;)
tapi bisa saja ada batu di balik udang lho, mencari potensi pendukung =)) trus bisa di jadikan kesaksiannya buat di sebar di milis2 lain untuk dagangannya ;DKalau spekulasi udang di balik batu sih, tidak ada habisnya. Siapa pun bisa kita spekulasikan demikian.
Bahkan hal2 seperti hasil dari orang2 yangmenjelek2 an MMD pun juga hasil debat2nya selalu di CATAT lho =))
well, itulah masalah nya,Kalau mau pegang Lohicca Sutta, tidak ada guru (spiritual) yang pantas mengajar sekarang ini, karena itu merujuk pada seorang Samma Sambuddha.
Pak Hudoyo sendiri belum merasakan Akhir-Dukkha, tetapi sudah mengajarkan metode ke arah sana......
bagaimana mungkin perenang pemula menghasilkan/melatih seorang calon juara?
paling menghasilkan calon pemula baru...
kalau tidak salah menurut Sutta, adalah salah satu guru yang layak dicela....
mengenai metode MMD, terkait dapat tidaknya mencapai pencerahan saya tidak tahu....Kalau gitu ceramah dan panduan meditasi oleh Sangha juga dibubarkan saja, tunggu para bhikkhu menjadi arahat, baru lanjut ceramah lagi.
akan tetapi mungkin lebih baik PH menunggu hingga telah tercerahkan/arahanta atau paling tidak sotapanna, barulah mengajar......dan mempublikasikan metode-nya.
ada seperti istilah quality guaranteed....^^
ambilah contoh sikap SangBuddha, sebelum beliau tercerahkan beliau belum mengemukakan apa yang beliau termukan pada dunia ini.....
kalau belum tercerahkan, tapi mengajar metode dengan ngambil copas kiri copas kanan, ini sama saja
"membantu menyesatkan jalan seseorang"
karena mengambil keputusan disaat keraguan seperti kata AjahnChah....adalah S A L A H.
salam metta.
Dear KainynYa, saya setuju hal ini. Memang bukan masalah tabu atau tidak, tetapi masalah kita mengetahui dan memercayai teorinya, tetapi belum mampu merealisasikannya.
Dalam kehidupan perumah tangga, menikah dan punya uang banyak adalah bukan hal yang tabu. Sekalipun disana-sini bolong tetapi mengenai saddha tidak terkait hal menikah dan punya banyak uang sepanjang mereka melakukan pancasila dan berlindung pada Tiratana. Jadi sekalipun seseorang menikah dan punya banyak uang dan menjalankan pancasila dengan baik dan belum sotapana, saddha yang dimiliki adalah saddha yg bukan semu yaitu saddha yg benar, yg tinggal dikembangkan adalah faktor lainnya yg masih kurang untuk mencapai sotapana dst.. Masalah perumah tangga itu mencari kemelekatan baru, itu adalah proses pematangan batin atau belum munculnya buah vipaka baik yang mendukung untuk menjadi sotapana dst.
Saya ambil contoh anathapindika yang kaya, punya anak tetapi menjalankan sila hingga waktunya mencapai sotapana. Sebelum itu dia memiliki saddha yang teguh terhadap Sang Buddha. Oleh karena itu Saddha pada puthujana harus dilihat juga sejauh mana pelaksanaan Dhammanya. Bukan berarti karena munculnya kemelekatan baru lalu berarti saddhanya semu. Masalah ini harus dilihat case by case.Sekali lagi, saddha semu itu belum tentu adalah saddha yang tidak bermanfaat. .
Contoh : Misal ada kasus Si Bewok bukan beragama Buddha. Lalu dia berpacaran dengan si Angel yg beragama Buddha. Saat itu SiBewok lagi dalam kesulitan finansial dsb, dan si Angel bukan cewek matre, dia mensupport si Bewok. Dan si Bewok ini juga berusaha mencari pekerjaan yang layak. Dan berjalannya waktu si Bewok memiliki saddha kepada Sang Buddha dan memiliki keinginan untuk menjadi bhikkhu. Tetapi si Angel belum rela, akhirnya si Bewok merasa ada suatu tanggung jawab moral karena saat lagi susah si Angel penuh perhatian memberikan dukungan lahir dan batin, selain itu si Brewok juga cinta kepada Angel(sekalipun dia ingin menanggalkan cinta itu demi dhamma) dan dia menunda untuk menjadi Bhikkhu. Dan memenuhi keinginan Angel untuk menikah sampai saat tertentu si Angel siap melepas si Brewok untuk menjadi bhikkhu sesuai komitmen mereka berdua.Dalam kasus-kasus seperti ini, berbeda dengan yang saya katakan. Kasusnya adalah orang masih belum bisa melepaskan karena terikat kondisi. Sama seperti kasus Ghatikara yang "hanya" mencapai Anagami dalam kehidupan manusianya karena tidak menjadi bhikkhu. Ia tetap berumahtangga untuk merawat kedua orang tuanya yang sudah tua dan sakit payah.
Nah dari kasus ini Si brewok dan Angel telah memunculkan kemelekatan baru tapi mereka tetap melaksanakan pancasila dengan baik. Hanya karena vipaka dan kondisinya belum pas sehingga muncul kemelekatan baru tapi bukan berarti saddha mereka semu/relatif. Jadi Saddha yg mutlak dilihat dari benih pandangan benar, pengertian benar dan pelaksanaan Dhamma yg benar, atau dengan kata lain dimulai dari langkah pertama dalam melaksanakan Dhamma. Saddha yang benar/mutlak beserta faktor lainnya akan membimbing orang pada tercapainya magga dan phala.
Smoga bermanfaat _/\_
Realisasi Kebenaran Mutlak <--- Ini Arahat kan?Menurut saya, Sotapanna sudah merealisasi kebenaran mutlak, bedanya, mereka masih terkondisi kotoran bathin lainnya.
Sotapanna belum merealisasi 'kebenaran mutlak'
Tidak hanya Putthujjana, Sotapanna pun masih menimbulkan kemelekatan2 baru. Hanya Arahat yg tidak.
Apakah berarti hanya ketika mencapai Arahat kita baru bisa mempunyai Saddha?
Dengan pendefenisian diatas, sy menyimpulkan bahwa Bro Kai menyamakan Saddha dengan Realisasi Kebenaran Mutlak (Pencerahan Sejati).... CMIIW
Padahal berbeda. Sy pikir ada sedikit kesalahpahaman disini ???
Masalahnya adalah 'pemikiran2' Pak Hud yg dilontarkan:Untuk JMB & Tipitaka, no comment.
~ JMB-8 diragukan dari mulut SB (yg bisa diartikan: menurut Pak Hud JMB-8 sesungguhnya tidak bisa mengantar ke pencerahan)
~ Meragukan bait2 Tipitaka, kecuali Malunkya cs...
~ Bersikap dualisme: di depan umat Buddhist melontarkan bahwa MMD adalah metode SB, tapi di umat lain tidak disinggung2 dari SB... harusnya bersikap konsisten. Dengan bersikap begini jadi terbaca bahwa MMD jadi sekedar barang komersial yg pondasinya lemah, bisa diubah2 sesuai pasar dengan tujuan marketing semata. Bukan vipassana murni yg pondasinya kokoh dan konsisten.
Mengenai dualisme, kadang tidak bisa dilihat sepihak juga. Saya pun kadang memilih apa yang harus dibicarakan, tergantung dari lawan bicara. Terus terang, persepsi orang awam tentang agama Buddha juga lumayan buruk. Pertama karena tradisi yang tercampur dan disalah-kaprah sebagai ajaran Buddha (patung, ramal-meramal, dll). Belum lagi ajaran-ajaran lain yang "numpang" memakai atribut Buddhis.
Ke dua adalah memang tidak susah menemukan umat Buddha yang suka menjelekkan agama lain (mungkin di forum Buddhis hanya menyebutkan agama lain menyerang Buddhis).
Berbicara dengan seorang awam yang spiritual dan filosofis, label agama apa pun, termasuk Buddha, merupakan hal yang tidak nyaman. Saya biasa membicarakan ajaran Buddha tanpa menyertakan label Buddhisme. Baru ketika mereka tertarik dan bertanya, saya dengan enteng menjawab, "itu ajaran Buddha," dan biasanya mereka setengah percaya setengah tidak (karena dalam pikiran mereka, Buddha = sosok gendut ceria yang dipuja-puja buat dapet hoki). Kalau saya ngomong Buddha di awal, maka tidak ada perbincangan. Mungkin Pak Hudoyo mengalami hal yang sama. Jika mengenalkan "agama" Buddha, umat lain tidak berniat vipassana.
Juga ditambah sikap Pak Hudoyo sendiri yg masih tidak stabil... yg akan melahirkan pemikiran bahwa:
~ sikap belum stabil, gampang emosi, berarti belum mengikis kekotoran batin sd titik tertentu, kok berani2nya meragukan JMB-8?
~ sikap yg belum stabil ini, artinya belum mencapai 'tahapan tertentu', artinya belum bisa membuktikan MMD sebagai 'Vipassana alternatif yg telah ter-uji coba'...
~ beberap statement dan sikap pak hud yg menunjukkan bahwa: Pak Hud hanya bermeditasi ketika duduk, mencapai keheningan batin ketika duduk... sikap yg ditunjukkan dan statement ini bertolak belakang dengan inti Vipassana sendiri, yakni: lebih mementingkan kesadaran dalam keseharian, meditasi duduk hanyalah sarana latihan. Hasil sesungguhnya terlihat dalam keseharian.
Bagi saya, tetap saja Pak Hudoyo seorang yang masih sangat terbatas dan jauh dari kesempurnaan. Namun bukan berarti tidak bisa memberikan manfaat dan kemajuan bagi orang lain. Misalnya saja waktu itu ada member yang baru masuk dan bicaranya suka ke mana-mana. Setelah beberapa lama, saya bahkan sudah tidak mau lagi meladeninya, apalagi membimbingnya bagai adik saya. Tetapi Pak Hudoyo menerimanya dan menganggap sebagai anak sendiri. Kalian pasti tahu siapa itu. Bagi beberapa orang, mungkin itu adalah guyonan, bagi saya, itu adalah salah satu teladan.
mengenai metode MMD, terkait dapat tidaknya mencapai pencerahan saya tidak tahu....Kalau gitu ceramah dan panduan meditasi oleh Sangha juga dibubarkan saja, tunggu para bhikkhu menjadi arahat, baru lanjut ceramah lagi.
akan tetapi mungkin lebih baik PH menunggu hingga telah tercerahkan/arahanta atau paling tidak sotapanna, barulah mengajar......dan mempublikasikan metode-nya.
ada seperti istilah quality guaranteed....^^
ambilah contoh sikap SangBuddha, sebelum beliau tercerahkan beliau belum mengemukakan apa yang beliau termukan pada dunia ini.....
kalau belum tercerahkan, tapi mengajar metode dengan ngambil copas kiri copas kanan, ini sama saja
"membantu menyesatkan jalan seseorang"
karena mengambil keputusan disaat keraguan seperti kata AjahnChah....adalah S A L A H.
salam metta.
Maksudnya begitu?
Mau usung JK? Ngapaen? ??? Masa kampanye dah lewat loh.. Lagian kalah menang dah jelas ^-^
karena pertanyaan-pertanyaannya bersifat retorika, maka tidak perlu dijawab. Makasih..
oke ... ente emang 'jeli' bro ... :jempol:saya jeri bukan jeli ;D
Date: Wed, 29 Jul 2009 15:44:42
To: <milis_buddha [at] yahoogroups.com>
Subject: Re: [MB] UNTUK REKAN RATNA KUMARA
Rekan Johnson,
Anda pernah mengikuti retretr MMD beberapa kali. Kalau boleh saya bertanya, apakah Anda pada dewasa ini melakukan MMD?
Berikut jawaban saya terhadap pertanyaan Anda:
(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.
(2) Kalau orang "meninggalkan" kesadaran vipassana/MMD, maka terserah kepada masing-masing untuk menganut atau tidak menganut ajaran agamanya semula. Tetapi itu bukan urusan saya lagi.
PS: bila kontroversi yang menyangkut MMD & saya yang terjadi akhir-akhir ini tidak membawa manfaat batin Anda, tentu Anda tidak perlu mengikutinya/membacanya. Tetapi harus saya katakan di sini, bahwa saya mendapat masukan yang sebaliknya dari beberapa orang, bahwa mereka tercerahkan ketika mengikuti kontroversi itu.
Salam,
Hudoyo
Namo Buddhaya,
Dear All ;)
Kalau saya boleh ikut mengartikan, bahwa untuk seseorang yang dianggap "Pemuka" agama Buddha, jangan gegabah memberikan statement yang membuat ummat Buddha pemula kaget.
Saya tidak habis pikir, menurut saya kok baru kali ini ya di dalam kalangan Buddhist, ada seorang yang menganggap dirinya telah sadar, kemudian sering menganjurkan untuk meninggalkan "metode-kuno" Jalan Ariya Beruas Delapan dan cukup "eling", "diam", dan "berhenti"... .
Semasa saya masih Kejawen dulu, anjuran seperti ini khas sekali diungkapkan oleh para sesepuh Kejawen. Tapi kalau dianjurkan oleh seorang "pemuka" agama Buddha, saya baru mendengarnya kali ini lewat Bp.Hudoyo.
Apakah rekan2 mempunyai pandangan lain tentang hal ini...
Mettacittena,
May All beings b Happy,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
Memang, sebelum ini, apakah pernah ada ?
Namo Buddhaya,
Dear All ;)
Kalau saya boleh ikut mengartikan, bahwa untuk seseorang yang dianggap "Pemuka" agama Buddha, jangan gegabah memberikan statement yang membuat ummat Buddha pemula kaget.
Saya tidak habis pikir, menurut saya kok baru kali ini ya di dalam kalangan Buddhist, ada seorang yang menganggap dirinya telah sadar, kemudian sering menganjurkan untuk meninggalkan "metode-kuno" Jalan Ariya Beruas Delapan dan cukup "eling", "diam", dan "berhenti"... .
Semasa saya masih Kejawen dulu, anjuran seperti ini khas sekali diungkapkan oleh para sesepuh Kejawen. Tapi kalau dianjurkan oleh seorang "pemuka" agama Buddha, saya baru mendengarnya kali ini lewat Bp.Hudoyo.
Apakah rekan2 mempunyai pandangan lain tentang hal ini...
Mettacittena,
May All beings b Happy,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
Memang, sebelum ini, apakah pernah ada ?
Melalui latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah.
Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau Manunggaling kawula-Gusti)/Pendekatan kepada Illahi
Saya tidak habis pikir, menurut saya kok baru kali ini ya di dalam kalangan Buddhist, ada seorang yang menganggap dirinya telah sadar, kemudian sering menganjurkan untuk meninggalkan "metode-kuno" Jalan Ariya Beruas Delapan dan cukup "eling", "diam", dan "berhenti"... .
Namo Buddhaya,
Dear All ;)
Kalau saya boleh ikut mengartikan, bahwa untuk seseorang yang dianggap "Pemuka" agama Buddha, jangan gegabah memberikan statement yang membuat ummat Buddha pemula kaget.
Saya tidak habis pikir, menurut saya kok baru kali ini ya di dalam kalangan Buddhist, ada seorang yang menganggap dirinya telah sadar, kemudian sering menganjurkan untuk meninggalkan "metode-kuno" Jalan Ariya Beruas Delapan dan cukup "eling", "diam", dan "berhenti"... .
Semasa saya masih Kejawen dulu, anjuran seperti ini khas sekali diungkapkan oleh para sesepuh Kejawen. Tapi kalau dianjurkan oleh seorang "pemuka" agama Buddha, saya baru mendengarnya kali ini lewat Bp.Hudoyo.
Apakah rekan2 mempunyai pandangan lain tentang hal ini...
Mettacittena,
May All beings b Happy,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
Memang, sebelum ini, apakah pernah ada ?
sekalian tanya bos
kalau dalam kejawean meditasinya seperti
dari seperti anapanasati terus ketahap vipassana dan terakhir ke
istilah jawanya gak tahu ( ada air ketuban , ari , gitu lah ) lupa dulu pernah tanya2
dan menyatu dengan alam, alias yg maha esa , gitu yah
Hal yang mutlak perlu adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki.. melalui sikap rohaniah ini orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh dunia kebendaan di sekitarnya.
Sikap menyerah serta mutlak ini tidak boleh dianggap sebagai tanda sifat lemahnya seseorang; sebaliknya ia menandakan bahwa orang seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman. Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasip dengan rela.
Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi.
Melalui latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau Manunggaling kawula-Gusti)/Pendekatan kepada Illahi.
Saya tidak habis pikir, menurut saya kok baru kali ini ya di dalam kalangan Buddhist, ada seorang yang menganggap dirinya telah sadar, kemudian sering menganjurkan untuk meninggalkan "metode-kuno" Jalan Ariya Beruas Delapan dan cukup "eling", "diam", dan "berhenti"... .
Ini pun sikap Pak Hud mendua:
~ Terkait memasarkan MMD, Pak Hud mengaku perlunya Sadar, Eling, tanggalkan Aku dsbnya, juga menyatakan JMB-8 dan Tipitaka diragukan dari mulut SB (yg dapat diartikan bahwa, Pak Hud sudah merealisasi "kesadaran Penuh" sehingga bisa melihat kebenaran sesunguhnya)
~ Di pihak lain (mungkin karena sering lepas kontrol dan dipertanyakan), Pak Hud mengaku HANYA eling ketika meditasi duduk, di luar itu AKU-nya kembali.
Menurut saya, jika seseorang mencapai taraf 'eling hanya ketika meditasi duduk' itu sih oke2 (biasa) saja... belum pada kapasitasnya bisa mengoreksi JMB-8 dan Tipitaka.
Jika mempunyai meditasi teknik tersendiri, janganlah membawa bendera2 Ajaran tertentu sembari mengoreksi Ajaran tsb... contohlah Anand Khrisna, yg membimbing meditasi dengan metode tersendiri, namun tidak pernah membawa dan mengoreksi bendera ajaran lain.
Para Arya dari zaman dulu sd sekarang, yg sudah merealisasi tingkatan batin mumpuni, tidak ada yg mengoreksi JMB-8 dan Tipitaka. Bahkan Master Vipassana kelas dunia, SN Goenka dan Gurunya U Ba Khin, yg mengusung meditasi vipassana Universal-pun, mengakui Tipitaka dan JMB-8.
Sesungguhnya, apa yg ingin dicapai dengan sesumbar "Jalan itu diragukan"... "Jalan ini diragukan"..., berdebat kesana-kesini? Ribut di milis2 dan forum2?
Apa yg dapat saya perhatikan dari para guru / master meditasi sejati adalah: mereka tidak pernah malang melintang debat dan ribut2 dgn para pemula di milis2 dan forum2....
::
Berikut pernyataan PH di milis laen :QuoteDate: Wed, 29 Jul 2009 15:44:42
To: <milis_buddha [at] yahoogroups.com>
Subject: Re: [MB] UNTUK REKAN RATNA KUMARA
Rekan Johnson,
Anda pernah mengikuti retretr MMD beberapa kali. Kalau boleh saya bertanya, apakah Anda pada dewasa ini melakukan MMD?
Berikut jawaban saya terhadap pertanyaan Anda:
(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.
(2) Kalau orang "meninggalkan" kesadaran vipassana/MMD, maka terserah kepada masing-masing untuk menganut atau tidak menganut ajaran agamanya semula. Tetapi itu bukan urusan saya lagi.
PS: bila kontroversi yang menyangkut MMD & saya yang terjadi akhir-akhir ini tidak membawa manfaat batin Anda, tentu Anda tidak perlu mengikutinya/membacanya. Tetapi harus saya katakan di sini, bahwa saya mendapat masukan yang sebaliknya dari beberapa orang, bahwa mereka tercerahkan ketika mengikuti kontroversi itu.
Salam,
Hudoyo
(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.
bro Bond yg lebih mahir dlm meditasi,
sewaktu meditasi (MMD maupun yg lain), adakah cara mengukur hasil
dari meditasi yg sedang berlangsung ? seperti brain wavenya gimana,
detak jantung, pernafasan dst... sehingga bisa menilai apakah meditasi
tsb udah mendekatin hasil yg diinginkan (ke arah yg lebih benar).
menurut saya, Dan hasilnya yg paling penting sewaktu meditasi.
dan memang saat itulah seharusnya tidak terikat dgn ajaran apapun..
tetapi sesaat meditator keluar dari meditasi, ya tetaplah
tingkah laku maupun pikirannya hrs tetap baik.
Adakah alat mengukur hasil meditasi ?
trims sebelumnya _/\_
Quote(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.
bro Bond yg lebih mahir dlm meditasi,
sewaktu meditasi (MMD maupun yg lain), adakah cara mengukur hasil
dari meditasi yg sedang berlangsung ? seperti brain wavenya gimana,
detak jantung, pernafasan dst... sehingga bisa menilai apakah meditasi
tsb udah mendekatin hasil yg diinginkan (ke arah yg lebih benar).
menurut saya, Dan hasilnya yg paling penting sewaktu meditasi.
dan memang saat itulah seharusnya tidak terikat dgn ajaran apapun..
tetapi sesaat meditator keluar dari meditasi, ya tetaplah
tingkah laku maupun pikirannya hrs tetap baik.
Adakah alat mengukur hasil meditasi ?
trims sebelumnya _/\_
bro Bond:
Kalau untuk tingkatannya/batin, yang saya tau ada 2 cara dan ini diperlukan guru yang mumpuni.
1. Dengan wawancara apa yg telah dicapai dan dialami dan TENTU gurunya pun levelnya harus melebihi atau setara dengan yang dilatih.
2. Dengan kekuatan abinna melihat batin orang itu.
Brainwaves
There are four main types of brainwaves:
Beta (14), Alpha(7-14), Theta(4-7), and Delta(0-4).
Beta waves characterize the conscious waking state at 14 cycles per second and up. The conscious mind does not take suggestion very well. Reasoning, logic, thinking and putting into action what it already knows is mainly what the conscious mind does. Higher cycles of beta waves are used in rituals where a lot of active energy input is needed, as in revenge. A good example is in building a circle cone of power. The more excited one becomes, the higher the cycles per second in the brain.
The alpha state operates at a lower cycle, 7-14 per second level. This is the trance state when the body can no longer be felt, and sounds may become painful. This is the meditation and sleep range. Deep meditation descends into the theta state.
In the alpha state, one is open to suggestion as the conscious logical mind is subdued. The conscious defense barrier is down. Hypnosis takes place on this level. When in the alpha state, we can program our own and/or the minds of others. The deeper you go into alpha, the closer you get to theta.
We can influence others when they are asleep or in the alpha state. This is one reason most mages prefer to do their spell work at night when most people are asleep.
Talking to someone who is sleeping will act to program his or her mind. This can be done, even at a distance with intense concentration, visualizing the individual, and directing thoughts into his/her head. This may have to be repeated several times. The strength of your mind and aura will determine your success. Make sure the thoughts you place in his/her mind are commands, as in telling someone something you want them to do for you. Be calm, but firm and persistent. It may take a while, depending on the strength of your mind, but in time, results will manifest.
Psychic experiences can happen in the alpha state. Both daydreaming and sleep dreaming occur while in the alpha state.
The theta state is 4 - 7 cycles per second. This is where all of our emotional experiences are recorded and is of the subconscious. The theta level opens the door to descend even deeper into the psychic/astral world. While it is possible to have psychic experiences in the alpha state, the most profound experiences occur at the theta level. At this level, one is able to experience astral travel and psychic communication, achieve enlightenment, and enter into other dimensions; this is where past lives can be accessed.
Brain wave activity in the delta state ranges from 0 - 4 cycles per second. This is total unconsciousness, coma.
When in the alpha state, visualizing our desires, as if they are real and actually happening will make them manifest in reality, especially if affirmations are included. In theory, it is said the subconscious mind believes what it is told in this state to be true. Affirmations must be stated in the present tense. The subconscious mind does not understand the word “will” as it is in the undefined future tense. “Will” never happens. Make sure the wording is exactly what you want and look at every aspect, or something unexpected and fated could cause things to go wrong. Wording is important and must be planned carefully. One woman wished to win a contest. She repeatedly told herself she would be the best and went through the entire mental exercises. It turned out she was the best, but because of the biased judges, she lost the contest.
Quotebro Bond:
Kalau untuk tingkatannya/batin, yang saya tau ada 2 cara dan ini diperlukan guru yang mumpuni.
1. Dengan wawancara apa yg telah dicapai dan dialami dan TENTU gurunya pun levelnya harus melebihi atau setara dengan yang dilatih.
2. Dengan kekuatan abinna melihat batin orang itu.
Thanks atas jawabannya bro Bond,
Apakah meditator yg lumayan dgn mudah mengendalikan pikirannya,sehingga dpt dgn cepat dan mudah berpindah2 dari Delta, Theta, Alpha n Beta sekecap ? Ya, ini adalah salah satu vasi/keahlian dari yang terlatih.
itu paling tidak membuktikan bahwa memang dia yaaaa lumayan TERLALIH. Nah ini adalah salah satu vasi/keahlian
yg mengaku cara meditasinya bagus, coba diukur aja begitu...Ide yang bagus ^-^QuoteBrainwaves
There are four main types of brainwaves:
Beta (14), Alpha(7-14), Theta(4-7), and Delta(0-4).
Beta waves characterize the conscious waking state at 14 cycles per second and up. The conscious mind does not take suggestion very well. Reasoning, logic, thinking and putting into action what it already knows is mainly what the conscious mind does. Higher cycles of beta waves are used in rituals where a lot of active energy input is needed, as in revenge. A good example is in building a circle cone of power. The more excited one becomes, the higher the cycles per second in the brain.
The alpha state operates at a lower cycle, 7-14 per second level. This is the trance state when the body can no longer be felt, and sounds may become painful. This is the meditation and sleep range. Deep meditation descends into the theta state.
In the alpha state, one is open to suggestion as the conscious logical mind is subdued. The conscious defense barrier is down. Hypnosis takes place on this level. When in the alpha state, we can program our own and/or the minds of others. The deeper you go into alpha, the closer you get to theta.
We can influence others when they are asleep or in the alpha state. This is one reason most mages prefer to do their spell work at night when most people are asleep.
Talking to someone who is sleeping will act to program his or her mind. This can be done, even at a distance with intense concentration, visualizing the individual, and directing thoughts into his/her head. This may have to be repeated several times. The strength of your mind and aura will determine your success. Make sure the thoughts you place in his/her mind are commands, as in telling someone something you want them to do for you. Be calm, but firm and persistent. It may take a while, depending on the strength of your mind, but in time, results will manifest.
Psychic experiences can happen in the alpha state. Both daydreaming and sleep dreaming occur while in the alpha state.
The theta state is 4 - 7 cycles per second. This is where all of our emotional experiences are recorded and is of the subconscious. The theta level opens the door to descend even deeper into the psychic/astral world. While it is possible to have psychic experiences in the alpha state, the most profound experiences occur at the theta level. At this level, one is able to experience astral travel and psychic communication, achieve enlightenment, and enter into other dimensions; this is where past lives can be accessed.
Brain wave activity in the delta state ranges from 0 - 4 cycles per second. This is total unconsciousness, coma.
When in the alpha state, visualizing our desires, as if they are real and actually happening will make them manifest in reality, especially if affirmations are included. In theory, it is said the subconscious mind believes what it is told in this state to be true. Affirmations must be stated in the present tense. The subconscious mind does not understand the word “will” as it is in the undefined future tense. “Will” never happens. Make sure the wording is exactly what you want and look at every aspect, or something unexpected and fated could cause things to go wrong. Wording is important and must be planned carefully. One woman wished to win a contest. She repeatedly told herself she would be the best and went through the entire mental exercises. It turned out she was the best, but because of the biased judges, she lost the contest.
Bagaimana meditator yg udah merasakan nikmatnya meditasi akan
mengerti bahwa tidak ada yg perlu dilekatin,
dan dia dpt membuat keputusan yg benar utk keluar dari kondisi tsb ? Melalui Panna.
Bukankah pengertian Anicca perlu bagi meditator utk membuat keputusan yg benar ? Benar, itu salah satunya
(mungkin begitulah pertanyaan saya)
bila dia
QuoteBerikut pernyataan PH di milis laen :QuoteDate: Wed, 29 Jul 2009 15:44:42
To: <milis_buddha [at] yahoogroups.com>
Subject: Re: [MB] UNTUK REKAN RATNA KUMARA
Rekan Johnson,
Anda pernah mengikuti retretr MMD beberapa kali. Kalau boleh saya bertanya, apakah Anda pada dewasa ini melakukan MMD?
Berikut jawaban saya terhadap pertanyaan Anda:
(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.
(2) Kalau orang "meninggalkan" kesadaran vipassana/MMD, maka terserah kepada masing-masing untuk menganut atau tidak menganut ajaran agamanya semula. Tetapi itu bukan urusan saya lagi.
PS: bila kontroversi yang menyangkut MMD & saya yang terjadi akhir-akhir ini tidak membawa manfaat batin Anda, tentu Anda tidak perlu mengikutinya/membacanya. Tetapi harus saya katakan di sini, bahwa saya mendapat masukan yang sebaliknya dari beberapa orang, bahwa mereka tercerahkan ketika mengikuti kontroversi itu.
Salam,
Hudoyo
Coba perhatikan yang dibold, Jelas dan pantas MMD memang bukan meditasi Buddhist yang diajarkan Sang Buddha dan juga tidak sesuai dengan bahiya sutta,malunkyaputta sutta dan mulapariyaya sutta. Jadi ketiga sutta itu hanya digunakan untuk marketing dengan gaya gerilya jendral Sudirman di milis2 dan forum.
Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa fungsi dari kesadaran vipasanna adalah untuk mengatasi kilesa, bukan mengatasi pikiran. Kalau kilesa ini terendap(dalam samatha) atau hilang saat bervipasana, maka pikiran itu akan jernih dan cemerlang. Dan yang akan dominan hanya yg disebut 'yang mengetahui' yg melihat apa adanya/yatthabhutamnyanadassanam/pure citta(mungkin ada istilah lain dalam bahasa Abhidhammanya)
Dan jmb 8 dan 4 km bukanlah suatu domain pikiran ataupun produk berpikir. JUSTRU pengejewantahan NYATA jmb 8 dan 4 km yaitu tercapainya magga dan phala dalam artian magga phala inilah WUJUD/NYATA yg bukan produk berpikir dari JMB 8 dan 4 km. Ini yang telah direalisasi PARA ARIYA DAN SANG BUDDHA. Kalau kita sekarang sedang membicarakan jmb8 dan 4 km, ya ini adalah suatu konsep untuk menunjuk yang NYATA/paramatha sacca dan ini diperlukan tapi bukan dilekati, karena mau tidak mau sekarang kita harus berpikir dan mengkomunikasikan dalam suatu bahasa ataupun tulisan sehingga kita bisa memahaminya.
Kesimpulan jmb8 dan 4 km bukanlah domain intelek/hasil produk berpikir. Tapi 4 km dan jmb 8 adalah memang produk Paramatha sacca yg dikonsepkan agar mudah dicerna untuk kepentingan mengajar dan belajar.
Jadi sudah jelas dari "apa yang diatasi saat bervipasana" apakah MMD sesuai dengan ajaran Sang Buddha atau tidak.
Jadi ya sekarang terserah kita mau pilih yg mana. Kalau ada statement dari non buddhist mengatakan belajar MMD bermanfaat, karena membuat mereka bisa menjadi sadar, ya bagus dan bermanfaat TETAPI hanya sebatas itu saja. Berbeda dengan pelaksanaan Dhamma yang diajarkan Sang Buddha untuk merealisasi Dhamma sampai hilangnya kilesa dan bukan hanya sekedar sadar tetapi MAHA SADAR.
Smoga Mereka semua yg berada disini dan dimanapun berada termasuk makhluk dan para Dewa yang berada di 6 penjuru. Smoga mereka berbahagia. _/\_
Re: tentang J. Krishnamurti
Posted by: "Hudoyo Hupudio" hudoyo [at] cbn.net.id hudoyo1
Wed Jul 29, 2009 8:59 pm (PDT)
Salam, Mas Wahyudi,
Ini Mas Wahyudi yang pernah ikut retret MMD di Solo? Kalau tidak salah
Anda tinggal di Yogya, bukan?
Berikut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Anda:
(1) K tidak mengajarkan sistem kepercayaan/agama apa pun. Mengapa? Karena
yang namanya kepercayaan/agama selalu merupakan produk dari pikiran
(berpikir).
Alihalih ia mengajarkan agar orang mengamati/menyadari gerak-gerik
pikirannya sendiri. Karena pikiran--yang menciptakan kesadaran-aku--itulah
sumber konflik & penderitaan baginya.
Berhentinya pikiran/aku itulah lenyapnya penderitaan.
(2) Kalau Anda bisa menangkap intisari jawaban saya #1, maka Anda bisa
menjawab sendiri pertanyaan Anda #2.
Kalau pikiran berhenti, masih adakah "Tuhan"? Cobalah praktikkan sendiri,
amati pikiran Anda sendiri.
Selanjutnya, bila Anda ingin membaca-baca lebih lanjut tentang ajaran K,
silakan masuk ke Forum Diskusi MMD, http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
Bila Anda sudah memahami hakikat yang terkandung dalam jawaban saya #1 dan
#2, maka dengan perenungan sedikit tentu Anda akan memahami pernyataannya
yang terkenal tentang Tuhan:
"Tuhan ada bila aku tidak ada; bila aku ada, Tuhan tidak ada."
PS: Tidak ada buku yang berjudul "100 pertanyaan yang mustahil" dari J.
Krishnamurti. Yang ada BUKU "Pertanyaan yang Mustahil" (The Impossible
Question). Buku itu bisa Anda pesan dari Yayasan Krishnamurti Indonesia.
Alamatnya saya lupa, tapi bisa dicari di internet.
Salam,
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
> salam hormat pak hudoyo,
>
> lewat internet saya banyak mengetahui kalo pak hudoyo sering membahas
pemikiran-pemikiran J. Krishnamurti. Jujur aja pak sampai saat ini saya
masih belum jelas mengenai pendirian J. Krishnamurti tentang ke-Tuhanan.
singkat saja ya pak. saya ingin mengajukan beberapa pertnyaan antara
lain :
> 1. apakah J. Krishnamurti tidak mempunyai suatu sistem kepercayaan
tertentu atau menganut agama tertentu ?
> 2. Bagaimana pemikiran J. Krishnamurti tentang Ke-Tuhanan ? saya sdah
membaca artikelnya tapi malah bingung sendiri.
> o ya pak hudoyo mungkin bisa menolong memberi saya artikel tentang "100
pertanyaan yang mustahil" dari J. Krishnamurti. kalo mungkin ada dan pak
hudoyo bersedia.
> terima kasih sebelumnya. saya tnggu jawabannya.
>
> wahyudi, di solo.
Berhentinya pikiran/aku itulah lenyapnya penderitaan
bond wrote : Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa fungsi dari kesadaran vipasanna adalah untuk mengatasi kilesa, bukan mengatasi pikiran
From: Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id>
Subject: [samaggiphala] Untuk Sdr Markos Prawira & Bond di Dhammacitta.org
To: samaggiphala [at] yahoogroups.com
Date: Saturday, 1 August, 2009, 7:21 PM
Dari: Milis Sahabat Hikmahbudhi
Sdr Bond di Dhammacitta. org menyatakan: "Jelas dan pantas MMD memang bukan meditasi Buddhist yang diajarkan Sang Buddha dan juga tidak sesuai dengan bahiya sutta,malunkyaputta sutta dan mulapariyaya sutta." Di samping itu, Sdr Bond telah melakukan pelecehan 'ad hominem' terhadap saya dalam tulisannya itu.
Pernyataan Sdr Bond yang dikutip oleh Sdr Markos Prawira itu tidak
disertai pembuktian material bahwa MMD "tidak sesuai dengan Bahiya-sutta, Malunkyaputta- sutta & Mulapariyaya- sutta". Alih-alih ia bicara panjang lebar tentang doktrin-doktrin Buddhisme lain yang TIDAK TERDAPAT dalam ketiga sutta itu, dan yang justru telah ditanggalkan dalam pelaksanaan vipassana/MMD sesuai ajaran Sang Buddha dalam ketiga sutta itu.
Kalau Sdr Bond tidak mampu membuktikan pernyataannya itu secara material berdasarkan Bahiya-sutta, Malunkyaputta- sutta & Mulapariyaya- sutta, maka jelas ucapannya itu hanyalah pepesan kosong belaka yang tidak perlu dihiraukan.
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi- mengenal- diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi- mengenal- diri.ning. com
Tulisan bapak Hudoyo master MMD
Date: Wed, 29 Jul 2009 15:44:42
To: <milis_buddha [at] yahoogroups.com>
Subject: Re: [MB] UNTUK REKAN RATNA KUMARA
Rekan Johnson,
Anda pernah mengikuti retretr MMD beberapa kali. Kalau boleh saya bertanya, apakah Anda pada dewasa ini melakukan MMD?
Berikut jawaban saya terhadap kepenasaran Master MMD : Bandingkan dua quote yang saya bold :
(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.
....
Salam,
Hudoyo
by bond
Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa fungsi dari kesadaran vipasanna adalah untuk mengatasi kilesa, bukan mengatasi pikiran. Kalau kilesa ini terendap(dalam samatha) atau hilang saat bervipasana, maka pikiran itu akan jernih dan cemerlang. Dan yang akan dominan hanya yg disebut 'yang mengetahui' yg melihat apa adanya/yatthabhutamnyanadassanam/pure citta(mungkin ada istilah lain dalam bahasa Abhidhammanya)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=113470851639&comments=
Whs:Apakah berhentinya pikiran bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pak selain saat bermeditasi? misal saat saya mengetik, bukankah pikiran ini bergerak dan berarti 'aku' bekerja?
Mohon penjelasanya. terima kasih sebelumnya. Amituofo
Hudoyo:
Ketika Anda mengetik surat, tentu Anda membutuhkan pikiran, jadi gunakan pikiran, Anda tidak bisa mengetik surat sambil bermeditasi.
Tetapi bahkan di dalam mengetik satu surat itu pun kadang-kadang Anda berhenti, menarik napas panjang, minum kopi dulu, melihat keluar jendela, dsb. Nah, apa yang terjadi dengan pikiran Anda pada saat-saat itu? ... Read MoreBiasanya melamun, bukan.
Nah, secara singkat inilah challenge Krishnamurti kepada kita: "BISAKAH PIKIRAN BERHENTI, DAN HANYA BERGERAK BILA BENAR-BENAR DIBUTUHKAN?" ("Can thinking stop, and only moves when really needed?")
Kalau Anda mampu melakukannya, berarti Anda bisa bermeditasi di tengah-tengah kesibukan sehari-hari.
Lain lagi dengan kegiatan makan misalnya. Makan adalah kegiatan fisik yang sedikit sekali membutuhkan pikiran. Oleh karena itu ketika makan biasanya pikiran ini melamun. Nah, di sini terlebih lagi relevan tantangan Krishnamurti: "Bisakah pikiran ini berhenti, dan hanya bergerak ketika benar-benar dibutuhkan?"
Terima kasih atas jawaban bapak. Kalau boleh saya mau bertanya lagi. Apakah artinya juga bila ketika dalam beraktivitas memerlukan pikiran bergerak artinya si 'aku' muncul?
Begini: kesadaran-aku itu hanya muncul bersama munculnya pikiran. Kalau pikiran diam, kesadaran-aku itu juga lenyap. Ini bisa Anda alami sendiri di dalam meditasi.
Dengan demikian dapat dikatakan, aku itu sinonim dengan pikiran, dua-duanya berjalan seiring.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa dilihat dalam beberapa contoh.
Pertama, ketika kita ... Read Moremenonton bioskop layar lebar, bila ceritanya menarik dan memukau, untuk sementara pikiran & si aku berhenti, Anda terseret oleh jalan cerita film itu. Tetapi ada saat-saat ketika pikiran bergerak lagi, lalu muncullah aku, yang menyadari, "Ah, itu cuma film, aku sedang duduk di teater bersama orang lain, dsb dsb." Pada saat itu jalan cerita film itu mulai luntur karena dicemari oleh pikiran beserta kesadaran-aku yang muncul.
Contoh kedua, pada waktu orang sangat terkejut, biasanya pikiran & aku berhenti untuk sesaat. Misalnya ketika ada petir menyambar di dekat kita. Pada saat itu, kita terkesima, pikiran & aku berhenti untuk sesaat. Tetapi saat berikutnya, muncullah kembali pikiran & aku: "Wah, barusan ada petir. Untung aku tidak kena ... dsb dsb."
Nah, berhentinya pikiran & aku ini bisa Anda alami dalam vipassana/MMD.
Whs:
Tadi bapak mengatakan aku itu sinonim dengan pikiran , dua-duanya berjalan seiring. Apakah berhentinya pikiran ini bisa dikatakan lenyapnya dukkha?
Terima kasih untuk jawaban sebelumnya. Amituofo
Hudoyo:
Betul, aku itu berakhir KARENA pikiran berhenti. Berakhirnya pikiran dan aku, itulah berakhirnya dukkha.
Ini uraian Sang Buddha sendiri dalam Mulapariyaya-sutta dasn Bahiya-sutta. Di situ Sang Buddha menjelaskan tentang terjadinya proses pikiran pada orang biasa (puthujjana), pada orang yang berlatih vipassana, dan proses batin seorang arahat & ... Read Moretathagata.
Bila Anda sungguh-sungguh berminat, bacalah lebih dulu artikel "Pengantar Mulapariyaya-sutta" di Notes saya, yang saya hiasi banyak gambar & foto menarik. Lalu ada pula "Mulapariyaya-sutta" sendiri yang terasa kering. Dan terakhir "Bahiya-sutta" yang pendek, tapi lugas & jelas.
by bond
Pak Hud bisa hubungi charles di 08121050996 dia yg menerima pendaftaran utk retreat dan informasi2 ttg Paauk Sayadaw. Nah kalo bisa Pak Hud bisa tanya langsung mumpung Pa-auknya datang. Setelah itu share sama kita2.
by Hudoyo--->TSnya sendiri yg buka pertanyaan. ^-^ http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,2877.15.html
Saya tidak berminat untuk berdebat dengan siapa pun. ... Minat saya hanya membuka mata orang mengenai hal-hal yang menurut perasaan saya patut dipertanyakan. ... Sebatas itu saja. ... Silakan saja kalau ada yang mau menanyakan langsung kepada beliau. ...
bond : Arahat pun pikirannya bisa bergerak ketika dia harus berbicara
Quotebond : Arahat pun pikirannya bisa bergerak ketika dia harus berbicara
jangan lupa rungga udara, paru2, pita suara, bibir, muka,... dan banyak lagi sih
yg bergerak. Cuma nafsu keakuaan, kemarahannya yg TIDAK BERGERAK.
(http://www.germes-online.com/direct/dbimage/50252174/Stoning_Hammer.jpg)
kalau mau tidak bergerak, gw punya cara jitu...
Quotebond : Arahat pun pikirannya bisa bergerak ketika dia harus berbicara
jangan lupa rungga udara, paru2, pita suara, bibir, muka,... dan banyak lagi sih
yg bergerak. Cuma nafsu keakuaan, kemarahannya yg TIDAK BERGERAK.
---------- Forwarded message ----------
From: Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id>
Date: Aug 2, 2009 12:13 AM
Subject: [samaggiphala] Re: Untuk Sdr Markos Prawira & Bond di Dhammacitta.org
To: patria_net [at] yahoogroups.com, FAMB_id [at] yahoogroups.com, blia [at] yahoogroups.com, daunbodhiindonesia [at] yahoogroups.com, FPBI [at] yahoogroups.com, mahasathi [at] yahoogroups.com, samaggiphala [at] yahoogroups.com, siddhi [at] yahoogroups.com
PH mengelak dimana dia ga post di sahabat_hikmahbudhi, milis_buddha dan mubi lagi.....
ini terlihat dari salah satu postingnya :Quote---------- Forwarded message ----------
From: Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id>
Date: Aug 2, 2009 12:13 AM
Subject: [samaggiphala] Re: Untuk Sdr Markos Prawira & Bond di Dhammacitta.org
To: patria_net [at] yahoogroups.com, FAMB_id [at] yahoogroups.com, blia [at] yahoogroups.com, daunbodhiindonesia [at] yahoogroups.com, FPBI [at] yahoogroups.com, mahasathi [at] yahoogroups.com, samaggiphala [at] yahoogroups.com, siddhi [at] yahoogroups.com
[at] bond : saya akan bantu forward posting ke milis
Saya justru melihat bhw poin penolakan JMB-8 dan dalam hal tipitaka adalah suatu yg mendasar yahIni juga saya tidak tahu. Tetapi kalau saya jadi Pak Hudoyo dan mau mendapatkan "customer" sebanyak-banyaknya, saya tidak akan "menolak" JMB 8 yang sudah pasti ditentang mayoritas umat Buddha. Berbeda halnya dengan idealisme, yang biarpun kehilangan pendukung, tetap pada idealismenya.
Mengenai dualisme, disini bro Kai sebenarnya justru menguatkan bhw dualisme itu sesungguhnya dilakukan utk tujuan marketing yaitu supaya menarik bagi kalangan non buddhism
Sementara apa yg dilakukan oleh bro Kai (yg sama spt saya lakukan juga) yaitu semata memberitahu mengenai kebenaran yg sesungguhnya ke lingkungan sekitar yg non buddhis tapi bukan untuk tujuan marketing, bukan utk supaya orang ikut
Jadi dalam hal ini, saya setuju dengan ko will dimana 3 hal ini adalah permasalahan fundamental mengenai MMD
Sangat setuju mengenai anak itu, hanya kalau saya lihat kembalikan ke motifnya. Ada yg membimbing supaya tahu kebenaran, tanpa pamrih apapun seperti anda yg memberitahu teman mengenai ini loh kebenaran tanpa ada niat utk marketing/menarik
Nah apakah dalam kondisi anak itu, bisa dilihat motif tanpa pamrih, ataukah justru itu merupakan strategi promosi "produknya"?
Pun saya sangat setuju jika memang sikap membimbing siapa saja tanpa kecuali, dijadikan teladan.
Sangat disayangkan jika ada oknum yg membimbing tapi dengan pamrih
mungkin kasus yg diangkat jadi berbeda yah bro...... para bhikkhu mengajarkan mengenai JMB-8, memberikan landasan berbasis Tipitaka sehingga ini jelas acuannyaBagi saya tidak berbeda apakah ia seorang bhikkhu, Buddhis atau apa. Kalau mengacu pada Sutta, semua orang yang belum mencapai kesucian tetapi mengajar, dikatakan Buddha seperti orang yang tidak mengurusi ladangnya sendiri, tetapi mengurusi ladang orang lain.
hal yg berbeda dengan MMD dimana Tipitaka 99.9% ditolak termasuk pelaksanaan JMB-8 yg sesungguhnya adalah jalan menuju kesucian
bahkan MMD menekankan tidak ada tujuan, tidak ada jalan, tidak ada "kesucian", yg notabene cocok dengan JK spt sudah diulas oleh bro ratna kumara
Ko Will pernah bilang ke PH : Kalau memang mau usung JK, ga perlu bawa bendera vipassana, bendera buddhism ( [at] ko will : cmiiw)
semoga perbedaanya bisa terlihat yah
Mengenai JMB 8, setahu saya tidak dibilang PH bahwa itu harus ditolak. Ini memang beda dengan pendapat saya di mana kalau menurut saya, JMB 8 membawa pembebasan atau tidak, tergantung orangnya. PH bilang tidak membawa pada pembebasan. Umat Buddha lain bilang pasti membawa pada pembebasan. Masing-masing punya argumen sendiri, jadi saya tidak bilang siapa benar dan siapa salah.
Mengenai menolak atau tidak, saya rasa sudah jelas pada kejadian 1 tahun yg lalu. Buku putihnya masih ada ^-^
Mengapa Umat Buddha mengatakan jmb 8 pasti membawa pembebasan? Karena Sang Tathagata mengajarkan jmb 8 sesuai apa yang telah direalisasi-Nya. Dan bagi yang mau praktek Dhamma tentu saja pasti. Jadi jmb 8 itu memang untuk dilaksanakan. Kalau orang tidak mencapai pembebasan itu artinya yang salah adalah orangnya bukan jmb 8. Jadi antara Dhamma itu sendiri dan pelaksana Dhamma ataupun bukan pelaksana Dhamma adalah dua hal yang berbeda.
Yang pasti mereka yang menolak, ragu2 terhadap jmb 8 sudah pasti tidak dapat mencapai pembebasan alias mencapai nibbana. Jangan diartikan jmb 8 sebagai konsep belaka tetapi itulah Dhamma.
Mengenai menolak atau tidak, saya rasa sudah jelas pada kejadian 1 tahun yg lalu. Buku putihnya masih ada ^-^
Mengapa Umat Buddha mengatakan jmb 8 pasti membawa pembebasan? Karena Sang Tathagata mengajarkan jmb 8 sesuai apa yang telah direalisasi-Nya. Dan bagi yang mau praktek Dhamma tentu saja pasti. Jadi jmb 8 itu memang untuk dilaksanakan. Kalau orang tidak mencapai pembebasan itu artinya yang salah adalah orangnya bukan jmb 8. Jadi antara Dhamma itu sendiri dan pelaksana Dhamma ataupun bukan pelaksana Dhamma adalah dua hal yang berbeda.
Yang pasti mereka yang menolak, ragu2 terhadap jmb 8 sudah pasti tidak dapat mencapai pembebasan alias mencapai nibbana. Jangan diartikan jmb 8 sebagai konsep belaka tetapi itulah Dhamma.
Dhamma dan pelaksana Dhamma memang berbeda. Tetapi kecocokan adalah hal yang berbeda lagi.
Seperti tahun lalu, saya tanyakan lagi sekarang pendapat umat Buddha tentang seorang Maha Savaka, Pilinda Vaccha. Pilinda Vaccha adalah seorang Arahat yang paling dicintai para deva, namun punya kebiasaan buruk memanggil orang "vasala" (= satu kasta terbuang yang dinilai lebih rendah dari binatang). Pertanyaan saya, Samma Vaccha atau perkataan benar dalam JMB 8 mencakup "tidak berkata kasar", bagaimana pendapat kalian tentang Pilinda Vaccha tersebut?
Kasian te pak hud :( dikeroyok.
Bisa ditulis isi sutta mengenai Pilinda Vaccha, disini?(belum pernah baca, nanti baru saya simpulkan setelah baca, karena saya yakin ada penjelasannya dan bukan semata2 hanya bicara kasar yg bertentangan dengan Samma Vaccha ;D)Salah satu kisahnya ada di Dhammapada Atthakatha 408. Untuk bacaan, bisa lihat di RAPB buku 3, hal 2681-2685.
Tentu saja Dhamma,pelaksana Dhamma dan kecocokan adalah hal yg berbeda, Tetapi apakah kecocokan itu bisa membawa kearah pembebasan/Nibbana? Seperti seseorang ingin mendaki gunung, memang cocok-cocokan memilih jalan untuk mencapai puncak gunung tetapi apakah jalan itu menuju Puncak gunung. Misal mau ke gunung gede, eh...nyasar ke gunung kidul. Jadi jalan2 yg menuju ke gunung gede selalu memiliki karakteristik yg sama karena pengaruh cuaca, suhu, kontur tanah, jenis tanaman dsb sekitar gunung itu demikian jmb 8 sebagai jalan dengan 8 karakteristik untuk pencapaian pembebasan mencapai nibbana.
Mengenai menolak atau tidak, saya rasa sudah jelas pada kejadian 1 tahun yg lalu. Buku putihnya masih ada ^-^
Mengapa Umat Buddha mengatakan jmb 8 pasti membawa pembebasan? Karena Sang Tathagata mengajarkan jmb 8 sesuai apa yang telah direalisasi-Nya. Dan bagi yang mau praktek Dhamma tentu saja pasti. Jadi jmb 8 itu memang untuk dilaksanakan. Kalau orang tidak mencapai pembebasan itu artinya yang salah adalah orangnya bukan jmb 8. Jadi antara Dhamma itu sendiri dan pelaksana Dhamma ataupun bukan pelaksana Dhamma adalah dua hal yang berbeda.
Yang pasti mereka yang menolak, ragu2 terhadap jmb 8 sudah pasti tidak dapat mencapai pembebasan alias mencapai nibbana. Jangan diartikan jmb 8 sebagai konsep belaka tetapi itulah Dhamma.
Dhamma dan pelaksana Dhamma memang berbeda. Tetapi kecocokan adalah hal yang berbeda lagi.
Seperti tahun lalu, saya tanyakan lagi sekarang pendapat umat Buddha tentang seorang Maha Savaka, Pilinda Vaccha. Pilinda Vaccha adalah seorang Arahat yang paling dicintai para deva, namun punya kebiasaan buruk memanggil orang "vasala" (= satu kasta terbuang yang dinilai lebih rendah dari binatang). Pertanyaan saya, Samma Vaccha atau perkataan benar dalam JMB 8 mencakup "tidak berkata kasar", bagaimana pendapat kalian tentang Pilinda Vaccha tersebut?
Bisa ditulis isi sutta mengenai Pilinda Vaccha, disini?(belum pernah baca, nanti baru saya simpulkan setelah baca, karena saya yakin ada penjelasannya dan bukan semata2 hanya bicara kasar yg bertentangan dengan Samma Vaccha ;D)
Tentu saja Dhamma,pelaksana Dhamma dan kecocokan adalah hal yg berbeda, Tetapi apakah kecocokan itu bisa membawa kearah pembebasan/Nibbana? Seperti seseorang ingin mendaki gunung, memang cocok-cocokan memilih jalan untuk mencapai puncak gunung tetapi apakah jalan itu menuju Puncak gunung. Misal mau ke gunung gede, eh...nyasar ke gunung kidul. Jadi jalan2 yg menuju ke gunung gede selalu memiliki karakteristik yg sama karena pengaruh cuaca, suhu, kontur tanah, jenis tanaman dsb sekitar gunung itu demikian jmb 8 sebagai jalan dengan 8 karakteristik untuk pencapaian pembebasan mencapai nibbana.
XXVI:25 Force of habit (Pilinda Vaccha)
Venerable Pilinda Vaccha had a very offensive way of addressing people. He would often say, ‘Come here, you wretch,’ or ‘Go there, you wretch’ and such other things. One day several bhikkhus complained about his conduct to the Buddha.
The Buddha sent for Vaccha, and spoke to him on the matter. Then on reflection, he found that for many past existences, Vaccha had been born only in the family of brahmins, who regarded themselves as being superior to other people. So the Buddha explained, ‘Bhikkhus! Don’t be offended with Vaccha. He addresses as ‘wretch’ only by force of habit acquired in the course of his many previous existences as a brahmin, and not out of malice. He has no intention of hurting others, for an Arahant does not harm others.’Quote
Jadi sebenarnya sudah jelas bhw sebenarnya Bhikkhu Pilinda Vaccha "bicara kasar" bukan karena memang dia INGIN (ada kehendak/cetana) namun lebih karena kebiasaan dari banyak kehidupan lampaunya yg selalu terlahir di keluarga brahmana
hal ini bisa kita jumpai juga misal kalo di jawa, kata "diancuk" itu artinya sangat kasar namun kalo di surabaya, sesama teman terbiasa utk memanggil "cuk".....
Kira2 demikianlah pendapat saya, mari kita diskusi........ _/\_
Tentang pastinya yang mana jalan benar, saya tidak tahu, karena saya sendiri belum mencapai kesucian. Tetapi untuk mengenali apakah suatu ajaran kondusif mencapai kesucian, saya tidak selalu pakai JMB 8, dan saya juga pernah katakan sebelumnya, saya cenderung menggunakan Sankhitta Sutta (Gotami Sutta) tentang 8 karakteristik ajaran Tathagata.betul sekali, jalan yang menuju Nibbana mau tidak mau di telusuri lewat tipitaka, apabila mau mencari jalan yang lain toh ada kitab yang lain yang mengklaim jalan yang di buatnya.
QuoteXXVI:25 Force of habit (Pilinda Vaccha)
Venerable Pilinda Vaccha had a very offensive way of addressing people. He would often say, ‘Come here, you wretch,’ or ‘Go there, you wretch’ and such other things. One day several bhikkhus complained about his conduct to the Buddha.
The Buddha sent for Vaccha, and spoke to him on the matter. Then on reflection, he found that for many past existences, Vaccha had been born only in the family of brahmins, who regarded themselves as being superior to other people. So the Buddha explained, ‘Bhikkhus! Don’t be offended with Vaccha. He addresses as ‘wretch’ only by force of habit acquired in the course of his many previous existences as a brahmin, and not out of malice. He has no intention of hurting others, for an Arahant does not harm others.’
Jadi sebenarnya sudah jelas bhw sebenarnya Bhikkhu Pilinda Vaccha "bicara kasar" bukan karena memang dia INGIN (ada kehendak/cetana) namun lebih karena kebiasaan dari banyak kehidupan lampaunya yg selalu terlahir di keluarga brahmana
hal ini bisa kita jumpai juga misal kalo di jawa, kata "diancuk" itu artinya sangat kasar namun kalo di surabaya, sesama teman terbiasa utk memanggil "cuk".....
Kira2 demikianlah pendapat saya, mari kita diskusi........ _/\_
Ok, terima kasih om Kainyn dan om Markos atas rujukan tentang Pilinda Vaccha.
Mungkin rujukan yg di quote berikutnya oleh bro Markos sudah cukup menjelaskan . Saya hanya menambahkan saja .
Sang Buddha sudah menjelaskan tentang mengapa Pilinda Vaccha memanggil orang dengan kata Vassala. Perlu dipahami sebuah ucapan kasar yang dimaksud Jmb8 adalah mengandung akusala didalam pikirannya. akusala dalam pikirannya sama dengan tidak sesuai dengan pikiran benar(samma sankappa) dan pikiran ini adalah benih dari ucapan dan tindakan. Nah bagaimana dengan Pilinda Vaccha. Karena Sang Buddha yang sudah menjelaskan dengan Luar biasa baik dan terbaik, maka saya tidak perlu repot-repot menjelaskan lebih jauh. Itu hanya cara dia memanggil saja...karena latar belakang saja. Dan apa yg dilakukan Pilinda Vaccha tidak bertentangan dengan jmb 8. Tapi saran saya jangan digeneralisasi ya....karena sekarang sudah tidak ada Sang Buddha..Yang pasti kmb 8 maknanya saling berkaitan dan berhubungan dan tidak bisa terpisahkan satu sama lain. ^-^
_/\_
Ok, terima kasih om Kainyn dan om Markos atas rujukan tentang Pilinda Vaccha.
Mungkin rujukan yg di quote berikutnya oleh bro Markos sudah cukup menjelaskan . Saya hanya menambahkan saja .
Sang Buddha sudah menjelaskan tentang mengapa Pilinda Vaccha memanggil orang dengan kata Vassala. Perlu dipahami sebuah ucapan kasar yang dimaksud Jmb8 adalah mengandung akusala didalam pikirannya. akusala dalam pikirannya sama dengan tidak sesuai dengan pikiran benar(samma sankappa) dan pikiran ini adalah benih dari ucapan dan tindakan. Nah bagaimana dengan Pilinda Vaccha. Karena Sang Buddha yang sudah menjelaskan dengan Luar biasa baik dan terbaik, maka saya tidak perlu repot-repot menjelaskan lebih jauh. Itu hanya cara dia memanggil saja...karena latar belakang saja. Dan apa yg dilakukan Pilinda Vaccha tidak bertentangan dengan jmb 8. Tapi saran saya jangan digeneralisasi ya....karena sekarang sudah tidak ada Sang Buddha..Yang pasti kmb 8 maknanya saling berkaitan dan berhubungan dan tidak bisa terpisahkan satu sama lain. ^-^
_/\_
:)
Jika seseorang berpegang teguh HARUS lewat JMB 8, maka tidak akan dapat menjelaskan kisah Pilinda Vaccha (tidak sesuai Samma Vaca), Angulimala (tidak sesuai Samma Sankappa, Samma Kammanta), Ariya (Samma Ajiva) dan kasus-kasus kontroversial lainnya. Sejauh-jauhnya, hanya sebatas penjelasan "jangan men-generalisasi, itu kasus khusus." Ini kan cara Anda mengartikan Pilinda Vaccha, Angulimala dll. Namanya Praktek Dhamma itu ada hasil yang step by step dan ada yg langsung, (kasus langsung ya punya parami yang cukup yg sebenarnya juga step by step cuma cepat sekali ). Jmb 8 itu direalisasi bukan seperti mengeja saat kita belajar membaca. Itu saja.Kalau Anda tidak percaya harus lewat Jmb 8 , itu terserah. Menjadi kontroversial karena Anda mengartikan secara harafiah, berbeda dengan Sang Buddha. Tapi kalau Anda anggap yg kontroversial disutta bukan ajaran Sang Buddha, lebih baik dicek kembali dengan berlatih atau praktek bukan hanya membaca sebatas intelektual. Dhamma itu kompleks dan tidak bisa dilihat hitam dan putih. Karena kompleksnya maka banyak yang terjebak. Itulah lihainya kilesa "sang pembuat rumah"
Lain halnya dengan Sankhitta Sutta, dari semua kisah sutta yang pernah saya baca, semua pencapaian kesucian pasti bersesuaian dengan sutta tersebut. Oleh karena itulah JMB 8 bagi saya masih kalah universal dibanding Sankhitta Sutta dan itu sebabnya saya tidak menggunakan JMB 8 sebagai acuan, terutama jika ditanya oleh umat lain yang ingin "menyerang". JMB 8 adalah bersesuaian dengan Buddha Dhamma, namun merupakan pondasi yang lemah untuk dijadikan "batu penjuru" Buddha Dhamma. Ini kan menurut Anda yg gemar membaca, cobalah dipraktikan dulu, sekali2 ikut retreat. Kalau hanya membanding-bandingkan sutta-sutta nanti cuma jadi scholar kitab saja. Sutta itu bukan untuk like and dislike tapi untuk diselidiki kebenarannya secara total. Kalau sudah like and dislike maka jadi subjektif. Masalah umat lain mau menyerang dari mana saja, itu terserah mereka. Dhamma bukan untuk menang dan kalah atau gagahan,tetapi mengundang untuk dilihat dan dibuktikan. Bukan pembuktian teori saja tetapi praktek.
Mungkin beberapa dari kalian tahu tentang paham "percaya satu agama dan selamat" sebagai syarat mutlak, yang ketika ditanya, "bagaimana dengan orang yang seumur hidupnya tidak berkesempatan bertemu agama tersebut?", akan dijawab bahwa itu "kasus khusus" dan berkenaan dengan ini, hukum yang berlaku berbeda yaitu dilihat dari perbuatan dan hati-nuraninya. Jika Buddha Dhamma adalah JMB 8 mutlak, namun masih pakai "pengecualian", tidak ada bedanya dengan ajaran itu bukan? Sama halnya orang memakan 3 piring nasi, lalu tetap Anda katakan rakus, padahal dia sudah 3 hari dalam kelelahan berjalan di padang gurun. Melihat sesuatu bukan pukul rata bro. Orang yang tidak pernah bertemu agama tsb masih bisa "selamat " contohnya pacekka Buddha. Bukankah bro sudah sepakat waktu itu dan sudah mengerti bahwa diagama mana saja asal mengandung jmb 8 maka bisa selamat walaupun tidak dalam format 8?" koq sekarang jadi bingung lagi?
Ok, terima kasih om Kainyn dan om Markos atas rujukan tentang Pilinda Vaccha.
Mungkin rujukan yg di quote berikutnya oleh bro Markos sudah cukup menjelaskan . Saya hanya menambahkan saja .
Sang Buddha sudah menjelaskan tentang mengapa Pilinda Vaccha memanggil orang dengan kata Vassala. Perlu dipahami sebuah ucapan kasar yang dimaksud Jmb8 adalah mengandung akusala didalam pikirannya. akusala dalam pikirannya sama dengan tidak sesuai dengan pikiran benar(samma sankappa) dan pikiran ini adalah benih dari ucapan dan tindakan. Nah bagaimana dengan Pilinda Vaccha. Karena Sang Buddha yang sudah menjelaskan dengan Luar biasa baik dan terbaik, maka saya tidak perlu repot-repot menjelaskan lebih jauh. Itu hanya cara dia memanggil saja...karena latar belakang saja. Dan apa yg dilakukan Pilinda Vaccha tidak bertentangan dengan jmb 8. Tapi saran saya jangan digeneralisasi ya....karena sekarang sudah tidak ada Sang Buddha..Yang pasti kmb 8 maknanya saling berkaitan dan berhubungan dan tidak bisa terpisahkan satu sama lain. ^-^
_/\_
:)
Jika seseorang berpegang teguh HARUS lewat JMB 8, maka tidak akan dapat menjelaskan kisah Pilinda Vaccha (tidak sesuai Samma Vaca), Angulimala (tidak sesuai Samma Sankappa, Samma Kammanta), Ariya (Samma Ajiva) dan kasus-kasus kontroversial lainnya. Sejauh-jauhnya, hanya sebatas penjelasan "jangan men-generalisasi, itu kasus khusus."
Lain halnya dengan Sankhitta Sutta, dari semua kisah sutta yang pernah saya baca, semua pencapaian kesucian pasti bersesuaian dengan sutta tersebut. Oleh karena itulah JMB 8 bagi saya masih kalah universal dibanding Sankhitta Sutta dan itu sebabnya saya tidak menggunakan JMB 8 sebagai acuan, terutama jika ditanya oleh umat lain yang ingin "menyerang". JMB 8 adalah bersesuaian dengan Buddha Dhamma, namun merupakan pondasi yang lemah untuk dijadikan "batu penjuru" Buddha Dhamma.
Mungkin beberapa dari kalian tahu tentang paham "percaya satu agama dan selamat" sebagai syarat mutlak, yang ketika ditanya, "bagaimana dengan orang yang seumur hidupnya tidak berkesempatan bertemu agama tersebut?", akan dijawab bahwa itu "kasus khusus" dan berkenaan dengan ini, hukum yang berlaku berbeda yaitu dilihat dari perbuatan dan hati-nuraninya. Jika Buddha Dhamma adalah JMB 8 mutlak, namun masih pakai "pengecualian", tidak ada bedanya dengan ajaran itu bukan?
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa cetasika2 yg dlatih meliputi sabbacittasadharana 7, Pakinnaka 6 (cetasika yg berhubungan dengan Jhana), sobhanasadharana cetasika 19, virati cetasika 3 dan pannindriya cetasika 1)
Jadi disini dapat dilihat bahwa dari setiap unsur dari Jalan Mulia Berunsur 8, ternyata sangat bermanfaat untuk melatih batin kita agar selalu berada dalam kondisi sobhana (Indah).
Semoga dengan penjelasan ini, membuat kita semakin yakin untuk menjalankan Jalan Utama Berunsur 8 karena akan membawa banyak manfaat bagi perkembangan batin kita semua
Ini kan menurut Anda yg gemar membaca, cobalah dipraktikan dulu, sekali2 ikut retreat. Kalau hanya membanding-bandingkan sutta-sutta nanti cuma jadi scholar kitab saja. Sutta itu bukan untuk like and dislike tapi untuk diselidiki kebenarannya secara total. Kalau sudah like and dislike maka jadi subjektif. Masalah umat lain mau menyerang dari mana saja, itu terserah mereka. Dhamma bukan untuk menang dan kalah atau gagahan,tetapi mengundang untuk dilihat dan dibuktikan. Bukan pembuktian teori saja tetapi praktek.Entah bagaimana jadi praktek vs teori.
Sama halnya orang memakan 3 piring nasi, lalu tetap Anda katakan rakus, padahal dia sudah 3 hari dalam kelelahan berjalan di padang gurun. Melihat sesuatu bukan pukul rata bro. Orang yang tidak pernah bertemu agama tsb masih bisa "selamat " contohnya pacekka Buddha. Bukankah bro sudah sepakat waktu itu dan sudah mengerti bahwa diagama mana saja asal mengandung jmb 8 maka bisa selamat walaupun tidak dalam format 8?" koq sekarang jadi bingung lagi?Saya tidak pernah bilang dengan JMB 8 tidak bisa membebaskan. Yang saya katakan, orang bisa saja mencapai kebebasan tanpa melalui JMB 8. Mengenai ajaran lain dengan format berbeda, jika juga mengandung JMB 8, menurut saya, bisa menyelamatkan.
dear Kai,Bro Markos keliru. Saya tidak pernah membedakan ada diskusi teori vs diskusi praktek. Semua diskusi bagi saya adalah dalam cakupan teori. Praktek tidak bisa didiskusikan.
sepertinya kembali bro Kai mengartikan JMB-8 secara teoritis/tekstual dalam tipitaka saja tanpa menyelami pengertiannya secara praktek. Hal ini serupa dengan apa yg disebut PH yaitu 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir
Padahal sesungguhnya JMB-8 adalah LATIHAN BATIN, ini poin penting yang harus saya tekankan karena sudah pernah saya sebut di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.150.html
JMB-8 sebagai latihan batin pun sudah saya ulas di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,8410.0.html, yang kesimpulannya sebagai berikut :QuoteDari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa cetasika2 yg dlatih meliputi sabbacittasadharana 7, Pakinnaka 6 (cetasika yg berhubungan dengan Jhana), sobhanasadharana cetasika 19, virati cetasika 3 dan pannindriya cetasika 1)
Jadi disini dapat dilihat bahwa dari setiap unsur dari Jalan Mulia Berunsur 8, ternyata sangat bermanfaat untuk melatih batin kita agar selalu berada dalam kondisi sobhana (Indah).
Semoga dengan penjelasan ini, membuat kita semakin yakin untuk menjalankan Jalan Utama Berunsur 8 karena akan membawa banyak manfaat bagi perkembangan batin kita semua
Kasus serupa mirip seperti Sila, bahwa secara harafiah seolah sila hanyalah apa yang tertulis di tipitaka saja dan yg tidak tertulis berarti boleh dilakukan.
Padahal sesungguhnya Sila adalah latihan kemoralan, bukan hanya teks yg tertulis
Jika hal2 seperti ini bisa dilihat secara keseluruhan, secara holistik, sesungguhnya semua sutta, abhidhamma dan vinaya akan saling mendukung, saling mengisi bukannya mana yg lebih universal dan mana yang tidakBagi saya, sutta-sutta yang saya ambil tidak kontroversial, karena kisah mana pun di mana ada pencapaian kesucian, pasti melalui Buddha-dhamma. Akan jadi kontroversial jika orang menyatukan dhamma dengan Buddha-dhamma.
Hal ini yang membuat PH hanya mengambil 3 sutta saja. Karena jika semua sutta, abhidhamma dan vinaya digabung utk mengartikan ketiga sutta maka apa yg dipraktekkan oleh MMD (menuju terhentinya pikiran) akan menjadi tidak berlaku lagi
Bro Kai sering mengambil sutta2 yg kontroversial, itu sesuatu yg bagus dalam rangka diskusi dengan para scholar nir praktek (textbook tanpa praktek) namun saya rasa, itu tidaklah perlu untuk selalu diungkit2 dalam banyak kesempatan/posting
semoga bs memperjelas _/\_
Ini kan menurut Anda yg gemar membaca, cobalah dipraktikan dulu, sekali2 ikut retreat. Kalau hanya membanding-bandingkan sutta-sutta nanti cuma jadi scholar kitab saja. Sutta itu bukan untuk like and dislike tapi untuk diselidiki kebenarannya secara total. Kalau sudah like and dislike maka jadi subjektif. Masalah umat lain mau menyerang dari mana saja, itu terserah mereka. Dhamma bukan untuk menang dan kalah atau gagahan,tetapi mengundang untuk dilihat dan dibuktikan. Bukan pembuktian teori saja tetapi praktek.Entah bagaimana jadi praktek vs teori.
Tidak apa kalau anda merasa sudah praktek dan saya teoritis. Berarti kita tidak perlu lanjut lagi.QuoteSama halnya orang memakan 3 piring nasi, lalu tetap Anda katakan rakus, padahal dia sudah 3 hari dalam kelelahan berjalan di padang gurun. Melihat sesuatu bukan pukul rata bro. Orang yang tidak pernah bertemu agama tsb masih bisa "selamat " contohnya pacekka Buddha. Bukankah bro sudah sepakat waktu itu dan sudah mengerti bahwa diagama mana saja asal mengandung jmb 8 maka bisa selamat walaupun tidak dalam format 8?" koq sekarang jadi bingung lagi?Saya tidak pernah bilang dengan JMB 8 tidak bisa membebaskan. Yang saya katakan, orang bisa saja mencapai kebebasan tanpa melalui JMB 8. Mengenai ajaran lain dengan format berbeda, jika juga mengandung JMB 8, menurut saya, bisa menyelamatkan.
Namun apakah keseluruhan JMB 8 adalah Buddha Dhamma? Saya katakan tidak. 6 di antaranya adalah dhamma, hanya 2 di antaranya (samma ditthi & samma sati) yang merupakan Buddha Dhamma.
markos prawira to samaggiphala
hudoyo1 <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote: Yang penting JANGAN BERBUAT KARMA BARU --entah karma baik entah karma buruk-- SEKARANG.
Sangat prihatin dengan pernyataan diatas karena Buddha dalam Mahapadana sutta dan Ovada Patimokkha justru mengajarkan : Kurangi berbuat jahat, Perbanyak berbuat baik dan mensucikan batin
Mahapadana Sutta :
"Kesabaran adalah tapa yang paling tinggi
Para Buddha bersabda: "Nibbana yang tertinggi dari segala sesuatu"
Beliau bukanlah pertapa yang merugikan orang lain atau pertapa yang tidak menyebabkan orang lain menjadi susah.
Tidak melakukan kejahatan,
Mengembangkan kebajikan,
Mensucikan batin.
Itulah ajaran para Buddha
Tidak memfitnah, tidak menganiaya
Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan
Makan dan tidur secukupnya, dan hidup menyepi
Senantiasa berpikir luhur
Itulah ajaran para Buddha." -> disini jelas bhw ajaran Buddha dari jaman Buddha Vipasi, Buddha Sikhi, Buddha Vessabhu, Buddha Kakusanda, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa sampai Buddha Gautama adalah sama
Hal sama juga bisa dilihat di Ovada Patimokkha yang diucapkan di depan 1250 org bhikkhu yang semuanya Arahat
Cease to do evil,
cultivate that which is good;
purify the heart.
This is the Way of the Awakened Ones
On 8/4/09, hudoyo1 <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, "willibordus" <williamhalim [at] ...> wrote:
>
<< Pak Hud merumuskan: Pikiran lah penyebab segala Dukkha, sehingga Pikiran perlu dihentikan maka Dukkha juga akan berhenti. Untuk menghentikan Pikiran ini Tanpa Usaha, sadari saja... >>
==============================
Ini ajaran Buddha dalam Mupapariyaya-sutta: "Setiap kali muncul YANG DIKENAL, jangan sampai timbul pemikiran, jangan sampai timbul aku, yang ingin memiliki & menyenangi YANG DIKENAL." Apakah YANG DIKENAL itu? Yang dikenal antara lain adalah "Buddha Dhamma".
<< Tapi apakah Dukkha (kilesa/Tanha) yg telah kita pupuk berkalpa2 bisa dikikis hanya dengan 'sadari saja' tanpa perlunya Usaha yg keras?
> Untuk tingkat batin Arahat, mungkin saja iya, hanya dengan sadari maka kita bisa merealisasi akhir dukkha.>>
==============================
Kilesa yang telah ada dari dulu tidak perlu dipikir-pikir, karena tidak ada apa pun yang bisa diperbuat untuk membatalkannya.
Yang penting JANGAN BERBUAT KARMA BARU --entah karma baik entah karma buruk-- SEKARANG.
Inilah yang diajarkan Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta.
<< Tapi untuk umat awam seperti kita2, Teori "sadari saja dan tidak diperlukan usaha yg keras" hanya mempan untuk merealiasi ketenangan batin di meditasi duduk saja. Selepas itu, tanha kita kembali menggelora. Selepas dihimpit batu, rumput kembali berdiri.>>
==================================
Mulapariyaya-sutta bukan hanya untuk duduk diam saja, melainkan perlu diterapkan dalam kesadaran sehari-hari. Itu kekeliruan pandangan mendasar dari Willibordus terhadap Mulapariyaya-sutta.
<< Apakah kita hidup hanya untuk terus duduk diam bermeditasi hadir dalam keheningan mengkhayalkan "pikiran kita berhenti"? Tidak. Kita berhadapan dengan dunia, meditasi duduk hanya bbrp jam sehari.. Puluhan Jam berikutnya kita harus larut dalam kehidupan, kita akan berhadapan dengan vipaka2... kita memerlukan lebih dari sekedar "ketenangan duduk (istilah MMD: pikiran berhenti :)". Kita perlu USAHA dan DISIPLIN yg kokoh untuk mengikis kilesa kita, mengikis ketebalan Tanha kita nan telah kita pupuk berkalpa-kalpa lampau.
> Kita memerlukan latihan PENGENDALIAN untuk ini semua. Sila, Samadhi dan Panna adalah alat untuk mengendalikannya. Bukan hanya duduk diam berangan2 "pikiran sedang berhenti".>>
==================================
Usaha SI AKU seperti ini hanya bisa membawa orang ke alam brahma, tapi tidak menghasilkan pembebasan, SELAMA SI AKU MASIH BERPERAN, sebaik apa pun perannya.
Hudoyo
dear Kai,Bro Markos keliru. Saya tidak pernah membedakan ada diskusi teori vs diskusi praktek. Semua diskusi bagi saya adalah dalam cakupan teori. Praktek tidak bisa didiskusikan.
sepertinya kembali bro Kai mengartikan JMB-8 secara teoritis/tekstual dalam tipitaka saja tanpa menyelami pengertiannya secara praktek. Hal ini serupa dengan apa yg disebut PH yaitu 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir
QuotePadahal sesungguhnya JMB-8 adalah LATIHAN BATIN, ini poin penting yang harus saya tekankan karena sudah pernah saya sebut di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.150.html
JMB-8 sebagai latihan batin pun sudah saya ulas di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,8410.0.html, yang kesimpulannya sebagai berikut :QuoteDari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa cetasika2 yg dlatih meliputi sabbacittasadharana 7, Pakinnaka 6 (cetasika yg berhubungan dengan Jhana), sobhanasadharana cetasika 19, virati cetasika 3 dan pannindriya cetasika 1)
Jadi disini dapat dilihat bahwa dari setiap unsur dari Jalan Mulia Berunsur 8, ternyata sangat bermanfaat untuk melatih batin kita agar selalu berada dalam kondisi sobhana (Indah).
Semoga dengan penjelasan ini, membuat kita semakin yakin untuk menjalankan Jalan Utama Berunsur 8 karena akan membawa banyak manfaat bagi perkembangan batin kita semua
Kasus serupa mirip seperti Sila, bahwa secara harafiah seolah sila hanyalah apa yang tertulis di tipitaka saja dan yg tidak tertulis berarti boleh dilakukan.
Padahal sesungguhnya Sila adalah latihan kemoralan, bukan hanya teks yg tertulis
Ya, JMB 8 adalah hal bermanfaat, tidak mungkin dipungkiri.
Yang ingin saya sampaikan adalah JMB 8 berisi dhamma & Buddha-dhamma. Sila adalah dhamma, samadhi adalah dhamma. Panna-lah yang merupakan Buddha-dhamma. Kalau kita mencampur dhamma (sila/samadhi) dengan Buddha-dhamma (panna), maka akan terjebak dengan "kasus khusus" seperti Pilinda Vacha. Namun, kalau begitu, apakah sila tidak perlu? Saya belum cukup gila untuk mengatakan sila/samadhi (dhamma) tidak perlu.QuoteJika hal2 seperti ini bisa dilihat secara keseluruhan, secara holistik, sesungguhnya semua sutta, abhidhamma dan vinaya akan saling mendukung, saling mengisi bukannya mana yg lebih universal dan mana yang tidakBagi saya, sutta-sutta yang saya ambil tidak kontroversial, karena kisah mana pun di mana ada pencapaian kesucian, pasti melalui Buddha-dhamma. Akan jadi kontroversial jika orang menyatukan dhamma dengan Buddha-dhamma.
Hal ini yang membuat PH hanya mengambil 3 sutta saja. Karena jika semua sutta, abhidhamma dan vinaya digabung utk mengartikan ketiga sutta maka apa yg dipraktekkan oleh MMD (menuju terhentinya pikiran) akan menjadi tidak berlaku lagi
Bro Kai sering mengambil sutta2 yg kontroversial, itu sesuatu yg bagus dalam rangka diskusi dengan para scholar nir praktek (textbook tanpa praktek) namun saya rasa, itu tidaklah perlu untuk selalu diungkit2 dalam banyak kesempatan/posting
semoga bs memperjelas _/\_
Kalau kembali lagi ke praktek vs scholar, memangnya praktek apa yang bisa didiskusikan? Rasanya Jhana? :)
Pernah dengar ungkapan Buddha is Dhamma, Dhamma is Buddha.? :) silakan direnungkan... _/\_
Teori dan praktek harus merupakan kesatuan dalam melihat Dhamma. Jika hanya berada disatu sisi khususnya teori saja maka akan menjadi salah satu ekstrem demikian praktek saja tanpa menggunakan panna juga menjadi ekstrem lainnya. Jadi tidak ada teori vs praktek. Jika terjadi maka hal itu menjadi sia-sia dan tidak membawa kepada kemajuan batin.
Pada perayaan Asadha 2 Minggu lalu, Bhante Pannavaro mengatakan, "tidak berbuat jahat, berbuat baik, bukanlah ajaran Buddha. Itu adalah pengetahuan umum." Saya tidak bisa tidak cocok dengan pendapat bhante, jadi maaf, perenungan demikian tidak cocok buat saya. _/\_
Pernah dengar ungkapan Buddha is Dhamma, Dhamma is Buddha.? :) silakan direnungkan... _/\_
Pada perayaan Asadha 2 Minggu lalu, Bhante Pannavaro mengatakan, "tidak berbuat jahat, berbuat baik, bukanlah ajaran Buddha. Itu adalah pengetahuan umum." Saya tidak bisa tidak cocok dengan pendapat bhante, jadi maaf, perenungan demikian tidak cocok buat saya. _/\_
Baik jika demikian sudah clear bhw yg dimaksud adalah berdiskusi dalam tataran teoritis, sesuai tipitaka yah :DBetul, kira-kira begitu.
Kasus serupa mirip seperti Sila, bahwa secara harafiah seolah sila hanyalah apa yang tertulis di tipitaka saja dan yg tidak tertulis berarti boleh dilakukan.
Padahal sesungguhnya Sila adalah latihan kemoralan, bukan hanya teks yg tertulis
Istilah kontroversial sesungguhnya saya merujuk pada perbedaan yg muncul jika dibandingkan dengan tipitaka pada umumnya seperti yg anda sebut bhw Pilinda itu "mengucapkan omongan kasar" padahal sudah arahat
Boleh tahu rujukan anda menyebutkan Sila adalah Dhamma, samadhi adalah Dhamma sedangkan Panna adalah Buddha-Dhamma?
karena bagi saya, apa yang dimaksud dengan Buddha Dhamma sesungguhnya adalah semua yang mengikis LDM, yang mengarah ke pembebasan/nibbana
Jadi termasuk Sila sebagai latihan bagi batin, juga samadhi yang notabene merupakan latihan batin
Buddha dhamma adalah melampaui "baik" dan "buruk" yang dikatakan sebagai "bukan kamma gelap maupun terang, dan menuju pada lenyapnya penderitaan".
pernah baca/dengar dahulu bahwa
tidak berbuat jahat, berbuat baik -> ajaran universal/semua agama
tidak berbuat jahat, berbuat baik, sucikan pikiran -> ini ajaran semua buddha
part ke 3 yg merupakan perbedaannya.
pernah baca/dengar dahulu bahwa
tidak berbuat jahat, berbuat baik -> ajaran universal/semua agama
tidak berbuat jahat, berbuat baik, sucikan pikiran -> ini ajaran semua buddha
part ke 3 yg merupakan perbedaannya.
Misii.. Numpang lewat n nambahin.. Sati/Smrti dah dikenal sebelum jaman Sang Buddha, sekurang-kurangnya sejak adanya Rg Veda.QuoteIstilah kontroversial sesungguhnya saya merujuk pada perbedaan yg muncul jika dibandingkan dengan tipitaka pada umumnya seperti yg anda sebut bhw Pilinda itu "mengucapkan omongan kasar" padahal sudah arahat
Boleh tahu rujukan anda menyebutkan Sila adalah Dhamma, samadhi adalah Dhamma sedangkan Panna adalah Buddha-Dhamma?
Enam dari 8 faktor, yang manakah tidak bisa ditemukan dalam ajaran lain?
Kasus serupa mirip seperti Sila, bahwa secara harafiah seolah sila hanyalah apa yang tertulis di tipitaka saja dan yg tidak tertulis berarti boleh dilakukan.
Padahal sesungguhnya Sila adalah latihan kemoralan, bukan hanya teks yg tertulis
Ya, betul. Tipitaka bukanlah kitab hukum yang harus detail, tetapi acuan agar seseorang bisa mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik.QuoteIstilah kontroversial sesungguhnya saya merujuk pada perbedaan yg muncul jika dibandingkan dengan tipitaka pada umumnya seperti yg anda sebut bhw Pilinda itu "mengucapkan omongan kasar" padahal sudah arahat
Boleh tahu rujukan anda menyebutkan Sila adalah Dhamma, samadhi adalah Dhamma sedangkan Panna adalah Buddha-Dhamma?
Enam dari 8 faktor, yang manakah tidak bisa ditemukan dalam ajaran lain?Quotekarena bagi saya, apa yang dimaksud dengan Buddha Dhamma sesungguhnya adalah semua yang mengikis LDM, yang mengarah ke pembebasan/nibbana
Jadi termasuk Sila sebagai latihan bagi batin, juga samadhi yang notabene merupakan latihan batin
Sama dengan tanggapan di atas, semua latihan pengembangan bathin dari 6 faktor JMB 8 dapat ditemukan di ajaran lain. Sila dan Samadhi, adalah benar selalu kondusif bagi perkembangan bathin seseorang, yang dengan menjalankannya, akan terlahir kembali di alam bahagia. Tetapi dhamma memang "hanya" akan membawa seseorang sejauh itu, sejauh "baik" dan "buruk", bukan pada berakhirnya kelahiran kembali.
Buddha dhamma adalah melampaui "baik" dan "buruk" yang dikatakan sebagai "bukan kamma gelap maupun terang, dan menuju pada lenyapnya penderitaan".
Apa yg ditulis oleh Bro Kai ada benarnya. Tapi kita harus mempertimbangkan apa yg sy tulis berikut ini:Kalau kita tidak bisa, apakah lalu dijadikan tolok ukur bahwa semua orang tidak bisa?
Tingkatan batin setiap manusia berbeda2. Kilesa tiap orang berbeda.
Bagi para Arya, mungkin sedikit Sutta saja, sudah dapat menjernihkan kesadarannya, karena para Arya sudah berusaha sejak lama; kehidupan ini dan banyak kehidupan2 lampau. Namun, bagi yg kilesanya tebal (putthujanna), perlu usaha yg berlapis untuk bisa mengikisnya.
Sekarang, tergantung kita, apakah kita masing2 bisa menilai secara jujur 'tingkat kerusakan' kita? Apakah rasa2nya saya bisa tercerahkan hanya dengan 'sadari saja'? Ataukah saya merasa saya sangat bebal, emosian, tidak tenang, sombong, penuh nafsu, sehingga saya merasa saya memerlukan latihan pengendalian diri, perenungan, latihan konsentrasi (meditasi), untuk bisa sedikit demi sedikit mengikis tanha2 saya yg tebal ini?
Bahkan ada diantara kita yg memerlukan tambahan ritual2, misalnya mempersembahkan bunga, air, menyalakan dupa, dll setiap harinya. Kegiatan2 ini sudah pasti akan diketawakan oleh praktisi MMD. Namun jangan salah, kegiatan ini bagi sebagian orang sangat bermanfaat: batin mereka menjadi lebih bersih, lebih tenang dan siap untuk menerima Dhamma yg lebih tinggi.Kalau saya, tidak melihat ajaran tertinggi atau tidak. Semua Buddha-dhamma adalah satu, mengenai timbul dan tenggelamnya salayatana/khanda (Dukkha). Lainnya, yang saya rujuk sebagai dhamma (tanpa "Buddha") baru ada tingkatannya.
Saya masih tetap menilai: Ajaran "Dalam melihat hanya ada melihat, mendengar, mengecap.. dstnya" (Melihat segala sesuatu sebagaimana adanya) *) adalah ajaran tertinggi.. untuk bisa merealisasi itu, kita2 -yg merasa diri putthujhana- tetap memerlukan SILA SAMADHI dan PANNA.
*) yatha-bhutam-nana-dassanamyatha-bhuta-nana-dassanam; seeing things as they are, not as they appear to be; melihat dan menerima segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yg kita inginkan (pembahasan soal ini ada di thread lain di forum ini)Iya, saya setuju sekali dengan hal ini, tetapi mungkin berbeda dengan para "ariya" dan "praktisi" di sini, saya sepertinya belum mampu melihat apa adanya, jadi otomatis belum mampu menerimanya.
::
Misii.. Numpang lewat n nambahin.. Sati/Smrti dah dikenal sebelum jaman Sang Buddha, sekurang-kurangnya sejak adanya Rg Veda.
Begitu juga dalam Jainisme. Brarti nambah jadi 7 dr 8 faktor dong? ;D
dear bro_/\_ _/\_ _/\_
saya rasa akan lebih baik jika tidak menyinggung mengenai pribadi org yg bersangkutan krn itu berpotensi utk menganggap semua yang ada di org itu, menjadi salah
sedangkan bagi saya, dia tidak 100% salah, masih banyak hal bermanfaat yang bisa kita dapat tarik dari dia, hanya saja ada salah pandang untuk beberapa hal seperti JMB-8, 4KM, pelaksanaan sila, pengabaian Kamma/tidak perlu berbuat, penggunaan simbol2 buddhis utk produk non buddhis
NB : saya akan forward ke milis2 pesan yg berhubungan dengan dhamma, yg mengkritisi namun bukan bersifat menyerang individu ybs
semoga bs bermanfaat yah
metta
Misii.. Numpang lewat n nambahin.. Sati/Smrti dah dikenal sebelum jaman Sang Buddha, sekurang-kurangnya sejak adanya Rg Veda.
Begitu juga dalam Jainisme. Brarti nambah jadi 7 dr 8 faktor dong? ;D
:) Kalau mau omong jujur, bahkan keseluruhan JMB 8 saya katakan bukan eksklusif punya "Buddhis". Oleh karena itu, maka kita mengenal yang namanya Pacceka Buddha (= Ariya yang memahami Buddha Dhamma tanpa mengenal Buddha-sasana sama sekali). Yang saya tekankan sebelumnya adalah Ditthi & Sati lah yang memuat Buddha-Dhamma, 6 lainnya adalah dhamma.
Sati dan ditthi tentu saja bukan hal baru atau eksklusif. Tetapi apakah mengarah pada samma ditthi & samma sati (definisi Buddha)? Saya rasa tidak. Sedangkan 6 lainnya bisa sesuai dengan dhamma versi Buddha. Contohnya adalah para petapa/brahmana masa lampau yang sering dikisahkan dan dipuji oleh Buddha karena memiliki sila (moralitas) dan samadhi (jhana), kendati pun tidak hidup di zaman munculnya Samma Sambuddha.
Memang Sila dan samadhi ada di dalam ajaran2 lain, tapi apakah Sila yang dimaksud merupakan samma-sila? Apakah samadhi yang dimaksud merupakan samma-samadhi?Seperti saya sebutkan di atas, ada petapa/brahmana masa lampau yang dipuji oleh Buddha dalam hal sila dan samadhi.
Kalau saya bilang, secara pannati memang sama2 Sila dan Samadhi namun bagaimana jika dilihat secara hakekatnya secara batin?
Misal mengenai jangan berbohong. Betul dia ga mau berbohong tapi karena tidak melatih batin secara cetasika samma-vaca, hanya bisa mengikuti bohong yg nyata tapi tetap toleran dengan "white lie", ga bisa menghindari ucapan kasar misal ngomelin anak dgn alasan demi kebaikan si anak itu sendiri
Bisa lihat juga dalam samadhi, apakah itu sudah samma-samadhi? Buddha sudah merujuk pada 40 objek, berbeda dengan entah berapa ribu objek lain yang ada di meditasi paham lain.
Misal dalam Usaha benar (samma vayama), apakah dia tahu bagaimana usaha menghancurkan kejahatan di batin?
Nah bagaimana kita bisa tahu mana yang samma/benar atau tidak benar?
Khun Sujin merujuk bhw seharusnya kita sudah mempunyai "pengertian benar" sehingga bisa menjalankan sila dengan pengertian benar, juga menjalankan samadhi, dengan pengertian benar
Ini yg saya sering sebut bahwa Sila, samadhi dan Panna adalah kombinasi yg saling menguatkan
Jadi Buddha Dhamma melampaui baik - buruk secara konseptual tapi secara batin, sesungguhnya tetap ada usaha menghindari perbuatan yg buruk dan menambah perbuatan yang baik sehingga hasil dari JMB-8 adalah Parami, timbunan kebajikan yang berujung di Nibbana, yang merupakan kondisi batin yang sobhana/indah
Jadi kalau ada yg harus "dilepaskan", itu adalah konsepnya.
Tapi mengurangi perbuatan buruk dan menambah perbuatan baik secara mano, kaya dan vacci tetap HARUS dilakukan
Untuk mengembalikan ke track semula.
saya bisa menerima jika dikatakan bahwa JMB8 bukan eksklusif milik Buddhis, tapi yang perlu diingat adalah bahwa "dalam ajaran manapun yang terdapat JMB8 [ini saja sudah menyiratkan bahwa 'bukan hanya dalam ajaran buddha'], maka di sana terdapat orang suci tingkat 1,2,3,4," dan sebaliknya.
kembali lagi apakah MMD memiliki JMB8?
ralat deh, bukan semua agama :P
tentu ketiga semua itu ajaran semua buddha. kalau ngakunya satu saja yah artinya korupsi donk
ralat deh, bukan semua agama :P
tentu ketiga semua itu ajaran semua buddha. kalau ngakunya satu saja yah artinya korupsi donk
Ketika Kundalakesa berguru pada Buddha, hanya diajarkan "yang satu", bukan "yang tiga". Lebih "parah" lagi Kisa Gotami yang "tidak diajar apa-apa" (apalagi 3 ajaran) malah disuruh cari biji lada.
Apakah Buddha Gotama ini seorang Buddha koruptor, atau Gotama bukanlah seorang Buddha?
tidak berbuat jahat, berbuat baik -> ajaran universal/semua agama
============================================
Yakin? Semua Agama? aye rasa tidak deh =))
ralat deh, bukan semua agama :P
tentu ketiga semua itu ajaran semua buddha. kalau ngakunya satu saja yah artinya korupsi donk
Ketika Kundalakesa berguru pada Buddha, hanya diajarkan "yang satu", bukan "yang tiga". Lebih "parah" lagi Kisa Gotami yang "tidak diajar apa-apa" (apalagi 3 ajaran) malah disuruh cari biji lada.
Apakah Buddha Gotama ini seorang Buddha koruptor, atau Gotama bukanlah seorang Buddha?
Dear All,
Sekedar pemberitahuan, artikel "Apakah Romo Hudoyo Berpandangan...dst." yang saya upload di blog saya mengalami beberapa proses re-editing. Jadi , mungkin ada beberapa perbedaan dengan yang lama ( termasuk dengan yang dicopy-paste di dhammacitta ini ).
Sekian, terimakasih.
May All Beings Attain Enlightenment,
Sadhu,Sadhu,Sadhu.
(http://4lfirdaus.files.wordpress.com/2009/04/intel_core_i7_official_chip_shot_113008.jpg) | Quote Belum puas dengan kemampuan yang dapat dihasilkan dari kinerja sebuah processor Intel Core i7 965 Extrem Edition, dalam bulan April ini Intel menghadirkan Intel Core i7 975 Extrem Edition. Processor ini akan bekerja pada clock speed 3,3 GHz, dan akan menjadi processor flagship intel untuk desktop PC. Selain itu, direncanakan juga akan diluncurkan Core i7 950 yang bekerja pada clock speed 3,06 GHz, pada bulan Mei 2009. |
bro ratnakumara :
Nah, masalahnya, "akhir-dukkha" versi pak Hud adalah "berhentinya-pikiran".
Bro Kainyn, seorang dokter yg bijaksana hanya memberikan obat sesuai dosis yang diperlukan untuk sembuh, seorang pasien mungkin harus menelan 3 butir obat untuk sembuh, pasien lainnya mungkin cukup 1 butir saja. di sini Sang Buddha adalah dokter yang tidak tertandingi yang menyembuhkan makhluk2.
Seingat saya, PH bilang berbuat baik tidak relevan dengan pencapaian kesucian, dan saya setuju hal tersebut. Tidak ada relevansi seseorang berbuat baik demikian, maka hasilnya adalah mencapai kesucian demikian. Perbuatan baik mengakibatkan seseorang memiliki kondisi yang kondusif dalam pencapaian kesucian (terlahir sebagai manusia, bertemu dengan dhamma, tubuh sehat, dsb) tetapi bukanlah faktor penentunya. Demikian pula perbuatan jahat juga menyebabkan kondisi yang tidak kondusif (akusala garuka, terlahir di alam rendah, kurang pandai) tetapi tetap bukan perbuatan jahat tertentu mempengaruhi pencapaian kesucian tertentu.
Saya ingin mengingatkan lagi, salah satu perbedaan ajaran Pak Hud dan Buddhisme adalah:
~ Pak Hud mengajarkan bahwa "Tidak perlu adanya usaha untuk berbuat baik atau ingin berbuat kebaikan, dsbnya..." Karena "Keinginan untuk berbuat baik adalah produk pikiran juga".
~ Sedangkan Buddhisme jelas2 mengajarkan "Perbanyak Kebaikan"
Kenapa menjadi begini, ya itu gara2 Pandangan Pak Hud bahwa sumber segala masalah kita adalah "Pikiran" sehingga "Setiap produk pikiran / 'pikiran' itu sendiri harus dihentikan" termasuk keinginan untuk berbuat baik, belas kasihan, simpati, dsbnya....
Perbedaan pemikiran Pak Hud ini (bahwa pikiran lah sumber sagala penderitaan) sangat mendasar yg mana akan menimbulkan banyak rentetan perbedaan lainnya sehingga akhirnya meluas ke pendapat bahwa Seluruh Tipitaka kemungkinan tidak berasal dari SB langsung, kecuali HANYA 3 sutta saja (krn hanya 3 sutta ini yg bisa mendukung teori MMD) ...
::
tapi Buddha kan nggak ada bilang ke Gotami (dan ke siapapun):Memang tidak. Juga tidak bilang ke siapapun "Jangan berbuat jahat dan banyaklah berbuat baik maka engkau akan mencapai kesucian".
"Eh, Gotami, tidak ada perlunya berbuat baik...."
::
biar adil dikit, saya postingkan jawabannya.
Jadi yang berhenti adalah KONSEPNYA, bukan KESADARANNYA itu sendiri.
Hal ini bisa kita lihat diatas, "berhenti mengkonsepsikan", "berhenti mengkonsignasikan tanah" dstnya, jadi BUKAN berhentinya kesadaran
Kesadarannya itu sendiri tetap berjalan, tetap berlangsung dengan kondisi pikiran yang KIRIYA/fungsional sebagaimana ada dalam tabel Citta/Pikiran
Jadi, jika muncul 'Buddha, Dhamma, Sangha' sebagai 'vinnatam' (yang dikenal), jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang ketiga objek itu, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari ketiga objek itu, kemudian ingin memiliki ketiga objek itu, dan bersenang hati dengan ketiga objek itu.
Itulah yang dilatih dalam MMD. Dalam MMD, pemeditasi tidak memikir-pikir tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Samadhi, Pannya dsb di satu pihak, dan tidak memikir-mikir tentang hal-hal yang tidak baik (menurut pengertian puthujjana) di lain pihak. Yang ada hanya sadar/eling di dalam diamnya pengamatan (sati, appamada).
Dear Johan3000,
Salam kenal dari saya ;)
Oiya, maaf, saya kurang jelas dengan pertanyaan anda ini :
"kalau selama ini ada belum bisa menerima masukan bro,
apakah berarti GELASNYA UDAH PENUH ?"
Bisakah / berkenankah anda mengulanginya, he he.. ( maaf ya kalau agak gak "mudeng" ini ;) )
Tapi kalau yang dimaksud selama ini saya belum bisa menerima masukan, aduh.. apakah begitu... masukan yang mana ya... tentu bisa lah, saya sangat bisa menerima masukan, karena saya sendiri kan masih seorang "siswa" yang terus belajar dan berpraktik, sehingga belum pada proses akhir , masih jauh lah kalau sampai disebut "gelas sudah penuh".
Mohon koreksinya ;)
_/\_
Mettacittena. ;)
Saya ingin mengingatkan lagi, salah satu perbedaan ajaran Pak Hud dan Buddhisme adalah:
~ Pak Hud mengajarkan bahwa "Tidak perlu adanya usaha untuk berbuat baik atau ingin berbuat kebaikan, dsbnya..." Karena "Keinginan untuk berbuat baik adalah produk pikiran juga".
~ Sedangkan Buddhisme jelas2 mengajarkan "Perbanyak Kebaikan"
Kenapa menjadi begini, ya itu gara2 Pandangan Pak Hud bahwa sumber segala masalah kita adalah "Pikiran" sehingga "Setiap produk pikiran / 'pikiran' itu sendiri harus dihentikan" termasuk keinginan untuk berbuat baik, belas kasihan, simpati, dsbnya....
Perbedaan pemikiran Pak Hud ini (bahwa pikiran lah sumber sagala penderitaan) sangat mendasar yg mana akan menimbulkan banyak rentetan perbedaan lainnya sehingga akhirnya meluas ke pendapat bahwa Seluruh Tipitaka kemungkinan tidak berasal dari SB langsung, kecuali HANYA 3 sutta saja (krn hanya 3 sutta ini yg bisa mendukung teori MMD) ...
::
"Pikiran berhenti" ini memang istilah "kontroversial" yang tidak bisa langsung diambil kesimpulan tanpa pembahasan lebih jauh. Setelah beberapa kali diskusi dengan PH, saya sendiri (yang nota bene adalah "teoritis") menangkap maksudnya adalah "pikiran yang tidak dikondisikan sebuah bentuk pikiran masa lampau, juga tidak mengkondisikan bentuk pikiran baru", bukan semacam pikiran berhenti ketika pingsan atau tidak bergerak seperti dalam jhana. Memang sedikit heran buat saya mengapa para "praktisi" tidak mampu menangkap maksudnya.
Ikut kasih pendapat... :)
Seseorang yang punya pikiran 'melekat' bisa aja melakukan suatu perbuatan baik bukan ?
Lain halnya dengan pikiran yang timbul dari seorang ariya pugala, tentunya kita sepakat bahwa timbulnya gak ada pengaruh dari LDM bukan ... :)
Dalam meditasi, apa yang seharusnya kita kontrol ? tentunya pikiran bukan ? jadi apakah dalam meditasi adakah tindakan untuk melakukan bermatapencarian benar ? atau hal lainnya ... atau apakah kita semua dah mampu untuk tetap bermeditasi sambil bekerja ?
Buddha tidak pernah mengajarkan untuk 'menghentikan pikiran'.maaf Sutta anda tidak valid =))
Bukanlah pikiran yg bermasalah, yg sesungguhnya bermasalah adalah 'kemelekatan' 'Tanha' 'hawa nafsu' 'egoisme'. Pikiran2 yg diliputi hawa nafsu ini mesti kita arahkan dan kendalikan agar menjadi jernih dan tenang untuk merealisasi akhir dukkha.
Untuk itu, kita kembali ke referensi Tipitaka agar tidak berputar2 tak jelas atau menciptakan istilah2 sendiri:
Anguttara Nikaya; I, iii, 1-10
Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang sangat sulit dikendalikan seperti pikiran yang tidak berkembang. Pikiran yang belum berkembang sungguh sangat sulit dikendalikan.
Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang sangat mudah dikendalikan seperti pikiran yang telah berkembang. Pikiran yang telah berkembang sungguh mudah dikendalikan.
Tak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang membawa sangat banyak penderitaan seperti pikiran yang tidak berkembang dan tidak dilatih. Pikiran yang tidak berkembang dan tidak dilatih sungguh membawa penderitaan.
Tidak ada hal lain yang kuketahui, O para bhikkhu, yang membawa sangat banyak kebahagiaan seperti pikiran yang telah berkembang dan dilatih. Pikiran yang telah berkembang dan dilatih sungguh membawa kebahagiaan.
::
"Pikiran berhenti" ini memang istilah "kontroversial" yang tidak bisa langsung diambil kesimpulan tanpa pembahasan lebih jauh. Setelah beberapa kali diskusi dengan PH, saya sendiri (yang nota bene adalah "teoritis") menangkap maksudnya adalah "pikiran yang tidak dikondisikan sebuah bentuk pikiran masa lampau, juga tidak mengkondisikan bentuk pikiran baru", bukan semacam pikiran berhenti ketika pingsan atau tidak bergerak seperti dalam jhana. Memang sedikit heran buat saya mengapa para "praktisi" tidak mampu menangkap maksudnya.
(Yang di bold): Buddha sudah mengajarkan istilah yg lebih mudah dan gampang: KEMELEKATAN.
Jika kita sudah mulai mengikis sedikit demi sedikit KEMELEKATAN kita maka "bentuk2 Pikiran yang banyak maunya dan selalu membanding-bandingkan" perlahan2 akan mulai berkurang.
Bila KEMELEKATAN sudah mulai berkurang -karena adanya latihan (Sila, Samadhi, dan Panna)- maka Pikiran akan lebih tenang dan gampang diarahkan.
Jadi, menurut saya, tidak usah susah2 menciptakan istilah baru (yg kontroversial), yang memperumit pelajaran.
Saya jadi memahami sekarang, kenapa Buddha memaparkan "Dalam melihat hanya melihat... dstnya..." dan bukan mengatakan "Hentikan Pikiran"
::
Kalau menurut saya, makna dari "terhentinya pikiran" dalam kamus MMD itu berada di luar konsep Buddhisme.
Dalam kondisi sadar, emang pikiran bisa berhenti? Sepertinya ini semua cuma masalah tulisan aja koq...;D
Toh dari yang saya tau aja, citta seorang ariya pugala masih berproses koq selama dia belum parinibbana...
Dalam kondisi sadar, emang pikiran bisa berhenti? Sepertinya ini semua cuma masalah tulisan aja koq...;D
Toh dari yang saya tau aja, citta seorang ariya pugala masih berproses koq selama dia belum parinibbana...
Pikiran dalam artian apa? Seorang Arahat memang tetap "berpikir", namun dengan kebijaksanaannya ia mengetahui objek sebagai objek, "telah berhenti berpikir" objek adalah saya, objek adalah milikku, tidak melekat lagi kepadanya.
biar adil dikit, saya postingkan jawabannya.
Jadi yang berhenti adalah KONSEPNYA, bukan KESADARANNYA itu sendiri.
Hal ini bisa kita lihat diatas, "berhenti mengkonsepsikan", "berhenti mengkonsignasikan tanah" dstnya, jadi BUKAN berhentinya kesadaran
Kesadarannya itu sendiri tetap berjalan, tetap berlangsung dengan kondisi pikiran yang KIRIYA/fungsional sebagaimana ada dalam tabel Citta/Pikiran
sebenernya ini dulu udah berkali2 diluruskan, tapi sepertinya gak pernah dibaca.
HUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)." Ini dinyatakan pula oleh Bhikkhu Bodhi, alm Nanavira Thera dsb dalam buku-buku mereka tentang Mulapariyaya-sutta.
Lalu kepada seorang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar dalam menerima 'persepsi murni' (abhijanati), jangan sampai timbul pembentukan konsep (ma manni), jangan sampai timbul si aku, yang memisahkan diri dari objek, ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.
Kesimpangsiuran terjadi karena Sdr Markosprawira menerjemahkan 'citta' dengan 'pikiran' (lihat kutipan tulisannya di bawah), sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'! Arus 'batin'/'kesadaran' memang tidak pernah berhenti, tapi 'pikiran', 'berpikir' bisa dan harus berhenti dalam kesadaran vipassana.
Dalam bahasa Inggris, 'pikiran' adalah 'thought', 'pemikiran/berpikir' adalah 'thinking'. 'Pikiran'/'berpikir' selalu didahului dengan 'pembentukan konsep', 'penafsiran' (misalnya, konsep Buddha, konsep Dhamma, konsep Sangha, pikiran tentang pembunuhan, pikiran tentang pencurian, pikiran tentang perzinaan dsb). Manusia tidak bisa berpikir tanpa 'pembentukan konsep', tanpa 'penafsiran'. Dalam bahasa Pali, 'pembentukan konsep', 'penafsiran' dsb disebut 'mannati' (verb) atau 'mannitam' (noun) (lihat Dhatu-vibhanga-sutta, MN 140). Menurut Bhikkhu Bodhi, akar kata dari 'mannati' dan 'mannitam' adalah 'man-', yang berarti 'berpikir'.
Di dalam Mulapariyaya-sutta (MN 1) maupun Dhatu-vibhanga-sutta (MN 140), Sang Buddha mengajarkan bahwa dalam batin (citta) seorang yang bebas tidak ada lagi 'pembentukan konsep, penafsiran' dsb, singkatnya tidak ada lagi 'pikiran, berpikir' SEBAGAIMANA SEORANG PUTHUJJANA BERPIKIR. Seorang arahat tidak berpikir baik tidak pula berpikir buruk, sebagaimana manusia biasa berpikir.
Di dalam Mulapariyaya-sutta, hal ini sangat jelas ketika Sang Buddha bicara tentang OBJEK "segala yang terlihat (dittham), segala yang terdengar (sutam), segala yang tercerap (mutam), segala yang dikenal [dalam batin] (vinnatam)". Kepada orang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar setiap kali mencerap OBJEK seperti itu, jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang objek, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari objek, kemudian ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.
Jadi, jika muncul 'Buddha, Dhamma, Sangha' sebagai 'vinnatam' (yang dikenal), jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang ketiga objek itu, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari ketiga objek itu, kemudian ingin memiliki ketiga objek itu, dan bersenang hati dengan ketiga objek itu.
Itulah yang dilatih dalam MMD. Dalam MMD, pemeditasi tidak memikir-pikir tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Samadhi, Pannya dsb di satu pihak, dan tidak memikir-mikir tentang hal-hal yang tidak baik (menurut pengertian puthujjana) di lain pihak. Yang ada hanya sadar/eling di dalam diamnya pengamatan (sati, appamada).
Bacalah khotbah-khotbah terbaru dari Sri Pannyavaro Mahathera tentang sadar/eling, di mana orang tidak memikir-mikir lagi tentang hal-hal yang baik maupun yang buruk. "Sadar/eling itu membebaskan," kata Bhante Pannya. .
Salam,
Hudoyo
benar. saya sependapat soal itu. ;)Misii.. Numpang lewat n nambahin.. Sati/Smrti dah dikenal sebelum jaman Sang Buddha, sekurang-kurangnya sejak adanya Rg Veda.
Begitu juga dalam Jainisme. Brarti nambah jadi 7 dr 8 faktor dong? ;D
:) Kalau mau omong jujur, bahkan keseluruhan JMB 8 saya katakan bukan eksklusif punya "Buddhis". Oleh karena itu, maka kita mengenal yang namanya Pacceka Buddha (= Ariya yang memahami Buddha Dhamma tanpa mengenal Buddha-sasana sama sekali). Yang saya tekankan sebelumnya adalah Ditthi & Sati lah yang memuat Buddha-Dhamma, 6 lainnya adalah dhamma.
Sati dan ditthi tentu saja bukan hal baru atau eksklusif. Tetapi apakah mengarah pada samma ditthi & samma sati (definisi Buddha)? Saya rasa tidak. Sedangkan 6 lainnya bisa sesuai dengan dhamma versi Buddha. Contohnya adalah para petapa/brahmana masa lampau yang sering dikisahkan dan dipuji oleh Buddha karena memiliki sila (moralitas) dan samadhi (jhana), kendati pun tidak hidup di zaman munculnya Samma Sambuddha.
Memang Sang Buddha mengajarkan "Pikiran adalah Pelopor".Pak Hud bukan menolak Kebenaran tentang Dukkha loh. Yang ditolaknya adalah 4 proses, menurutnya sesungguhnya adalah 1 proses. Utk selengkapnya dapat dibaca di notes dia di FB. :)
Tapi, tanpa penembusan akan Empat Kesunyataan Mulia ( Beserta penempuhan Jalan Ariya Beruas 8 ), maka tidak akan mungkin jelmaan panca-khanda berakhir ( yang berarti termasuk pikiran itu ikut berakhir ).
Pikiran hanya akan berakhir setelah "Parinibbana", yaitu saat jelmaan Panca-Khanda tidak ada lagi.
Bagaimana mungkin, seseorang yang menolak Empat Kesunyataan Mulia, bisa mengakhiri dukkha, sementara ia sendiri menolak mengakui dan menyadari bahwa hidup ini sejatinya adalah dukkha ? menolak mengakui dan menyadari sebab dukkha adalah nafsu-keinginan ( tanha )-nya, menolak mengakui dan menyadari adanya pengakhiran-dukkha ( Nibbana ), dan menolak mengakui serta menyadari adanya Jalan menuju pengakhiran-dukkha ?
Siapapun yang menolak Empat Kesunyataan tersebut, akan terus bertumimbal lahir, berkelana dalam samsara, itu artinya, pikirannya pun tidak akan pernah berhenti, karena jelmaan panca-khanda akan terus "mengada".
Dan itu sebabnya pula, mengapa pikiran Pak Hudoyo tidak pernah berhenti untuk berdebat dengan banyak orang, he he... :)
Dalam kondisi sadar, emang pikiran bisa berhenti? Sepertinya ini semua cuma masalah tulisan aja koq...;DDari klarifikasi Pak Hud yg dihadirkan Morpheus sudah clear deh kalo 'pikiran' yg dimaksud Pak Hud adalah yg biasa disebut buddhis 'sankhara', bentukan pikiran, konsep. Bukannya seperti yg Om Markus dan Anda sebut 'citta' yg berarti pikiran-kesadaran. Dan yg dihentikan dalam MMD adalah sankhara ini. Mengenai pemilihan terminologi 'pikiran' oleh Pak Hud, seyogianya dapat dimengerti karena Pak Hud mencoba menjembatani antar berbagai tradisi, dan agama, sehingga terminologi yang dipakai pun harus yang lebih bercorak umum.
Toh dari yang saya tau aja, citta seorang ariya pugala masih berproses koq selama dia belum parinibbana...
Tuh kan, pengecut, bisanya bawa2 bhante untuk dijadikan bemper. Manusia tidak bertanggung jawab... khotbahnya juga diambil sepotong-sepotong. Katanya tidak ada tiratna, koq bawa2 anggota sangha....daripada sibuk menyerang pribadinya, lebih baik menanggapi isi tulisannya yuk :)
Nanti ditanya ini jawab itu, dijawab itu jawab ini.......buang ludah....dijilat lagi.....sudah dijilat dibuang lagi...
Bangun tidur.....tidur lagi....
Bangun lagi ...tidur lagi....kayak lagunya mbah surip ha...ha....ha (ketawa ala mbah surip dah )
Yah tentu saja pikiran dalam menangkap, merasa dan mempersepsikan dan bereaksi pada obyek-obyek luar maupun dalam ... :)
Dalam arti lainnya yang saya maksud adalah nama (batin) ...
Tuh kan, pengecut, bisanya bawa2 bhante untuk dijadikan bemper. Manusia tidak bertanggung jawab... khotbahnya juga diambil sepotong-sepotong. Katanya tidak ada tiratna, koq bawa2 anggota sangha....daripada sibuk menyerang pribadinya, lebih baik menanggapi isi tulisannya yuk :)
Nanti ditanya ini jawab itu, dijawab itu jawab ini.......buang ludah....dijilat lagi.....sudah dijilat dibuang lagi...
Bangun tidur.....tidur lagi....
Bangun lagi ...tidur lagi....kayak lagunya mbah surip ha...ha....ha (ketawa ala mbah surip dah )
kalo melihat kotbah bhante panna yg ini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12059.0.html
emang bener kok, bhante mengajak kita melangkah lebih dari sekadar berbuat baik, lebih jauh lagi, yaitu mencoba sadar/sati/aware... tidak perlu berkelahi, tidak perlu memberantas, tidak perlu perang, tidak perlu mikir2 konsep agama. hanya sadar...
saya kutipkan sedikit:
"Bagaimana mengurangi keakuan, merontokkan keakuan? Dengan menyadari, dengan memperhatikan, mengawasi. Jadi, kalau keakuan Saudara muncul, “Aku sudah selesai menjalankan kewajibanku sebagai ketua panitia, aku sudah selesai memenuhi janji, aku sudah selesai menulis buku, aku sudah selesai membayar lunas uang masuk anakku yang mau masuk perguruan tinggi, aduh, sebagai ayah aku merasa lega” – tidak dikeluarkan, tidak diucapkan, tetapi muncul dalam pikiran. Waspada! – “Diberantas, Bhante?” – Tidak usah. – “Lho, katanya aku berbahaya, kok tidak boleh diberantas?” – Amat-amati saja, ketahui saja, “Oh, pikiran muncul.” Selesai. Selesai, Saudara. Itulah sati, itulah awareness. Tidak usah dianalisis, “Kok aku saya muncul, dari mana tiba-tiba aku ini kok muncul; aku sudah kenal Agama Buddha dua puluh tahun, akuku kok masih gede-gede, tidak usah. Aku malu, aku ini harus dihantam, aku harus dimengerti, dengan anatta, tidak benar, aku ini salah,” – lha, nanti pikirannya ribut sendiri, perang sendiri di dalam pikiran, ramai di dalam pikirannya, bertengkar sendiri. – “Jadi bagaimana, Bhante?” – Dilihati saja, “Oh, aku muncul.” Selesai. – Mudah, Saudara? Tidak mudah. … Tidak perlu doa, tidak perlu paritta, tidak perlu menyebut Buddha, Dhamma, Sangha, tidak perlu ingat Triratna, tidak perlu ingat anatta. Mungkin seseorang tidak mengerti anatta sekalipun, tetapi kalau keakuannya muncul, dia ngonangi—ngonangi berarti mengetahui—akunya muncul, dia mengetahui, akunya muncul, dia menyadari, akunya muncul, dia menyadari. Itulah cara dukkha-nirodha, lenyapnya penderitaan, dengan mencabut akar penderitaan, kelengketan pada keakuan."
Bagi yang awam, agar jangan tercampur istilah "pikiran" dalam Vitakkasanthana Sutta dan Mulapariyaya Sutta.ohh, beda ya, kalau MMD berarti bertolak belakang dengan VITAKKASANTHANA SUTTA ya?
Pada Mulapariyaya Sutta, yang dimaksud adalah "maññati" sebuah proses berpikir membentuk suatu ide/bentukan pikiran, sedangkan pada Vitakkasanthana Sutta, dibahas adalah "vitakka". Vitakka adalah semua objek pikiran yang muncul dari ingatan masa lalu. Terhentinya "vitakka" adalah seperti dalam jhana II, sementara terhentinya "maññati" adalah ketika seorang arahat melakukan vipassana.
Konteks pembicaraan kedua sutta juga sangat berbeda. Mulapariyaya Sutta membahas mengenai proses pencerapan objek saat ini, sementara Vitakkasanthana Sutta membahas objek masa lampau (yang ditelah sebelumnya dicerap), yang tidak bermanfaat (akusala) dan diatasi dengan Vitakka lain lagi yang bermanfaat.
^ :jempol: 100%:whistle:
klik ah
::
Ok dah. karena Anda ingin berdiskusi tentang isi khotbah bhante Panna. Karena khotbah beliau konsisten, walaupun mirip tapi tak sama dengan si PH.aduh, saya gak berani mengadu konsep dengan bang bond. gak sanggup, energi saya tipis sekali...
Ok dah. karena Anda ingin berdiskusi tentang isi khotbah bhante Panna. Karena khotbah beliau konsisten, walaupun mirip tapi tak sama dengan si PH.aduh, saya gak berani mengadu konsep dengan bang bond. gak sanggup, energi saya tipis sekali...
Siapa yg mau mengadu konsep? ^-^ Anda yg mengajak menanggapi isi yg saya artikan berdiskusi, koq malah bilang ngak berani,adu konsep...dsb :)) Ya sudah anggap saja saya salah mengerti arti ajakan anda deh...lagian kasihan nanti anda kehabisan energi...apalagi sampai tidak tertolong.
Ini kalimat anda sendiri : "daripada sibuk menyerang pribadinya, lebih baik menanggapi isi tulisannya yuk"--> konsistenlah dengan apa yg Anda katakan sendiri.
saya cuma menggarisbawahi, memang betul kok yg dibilang pak hudoyo mengenai kotbah bhante panna. memang betul kok bhante mengajak kita untuk berpraktek lebih jauh lagi, lebih dari sekadar berbuat baik... gak salah kan? saya cuman mengarisbawahi fakta, gak pengen berdiskusi... jadi bang bond gak perlu membawa ke topik2 yg lain... kalo emang pernyataan pak hudoyo gak salah, gak perlu emosi main cemooh pake ludah/tidur/tanggungjawab, dll... kita boleh gak sepaham dengan orang lain, tapi gak perlu sampe sebenci itu kan?
Yg dibilang Bhante Panna memang benar dan gak salah...yg dikatakan PH terlihat benar karena yg terlihat cocok saja, coba lihat keseluruhan pengertian dalam gerilya nya....Katanya ngak mau bahas pribadinya, koq anda bahas lagi.....siapa yg emosi, siapa yg benci? yg benci itukan Master Anda sampe buat buku putih dan gerilya kemana-mana^-^ Jangan2 om morph emosi ya tokoh idolanya di kritik ^-^
sekali lagi saya tidak ada afiliasi apapun dengan pak hudoyo ataupun mmd. saya hanya pembaca yg netral, mengikuti thread2 heboh itu dari awal dan saya merasa yg ditulis pak hudoyo itu sesuai dengan pengalaman meditasi saya dan saya merasa orang yg mengerti prinsip2 meditasi itu akan mendapat kemajuan prakteknya...
Ya sudah praktek saja om Morph supaya maju. Alasan anda dari dulu klise...netral, tidak afiliasi dengan PH dsb. Yg saya tanya Anda sudah praktek MMD?
tapi Anda menjawabnya lain... ^-^ ya sudahlah.
dan sebenarnya apa yg ditulis pak hudoyo itu bukanlah barang baru, bukan original, gak juga kontroversial. banyak tulisan2 meditasi zen, artikel2 meditasi bhikkhu2 lain yg membahas prinsip2 yg sama..
Memang tulisan PH bukan barang baru tapi barang tiruan(bukan original--Anda sendiri yg ngomong ya :)) ) yg dimodifikasi...sehingga prinsip/komponennya terlihat sama. Kalau sudah digunakan barang bekas yg dimodifikasi itu baru terlihat kualitasnya.
Ragu Pangkal Sesat!
Bagi yang awam, agar jangan tercampur istilah "pikiran" dalam Vitakkasanthana Sutta dan Mulapariyaya Sutta.Oh hampir lupa, jangan lupa juga konsep MMD adalah tanpa usaha, tanpa tujuan. berbeda dengan vitaka sutta
Pada Mulapariyaya Sutta, yang dimaksud adalah "maññati" sebuah proses berpikir membentuk suatu ide/bentukan pikiran, sedangkan pada Vitakkasanthana Sutta, dibahas adalah "vitakka". Vitakka adalah semua objek pikiran yang muncul dari ingatan masa lalu. Terhentinya "vitakka" adalah seperti dalam jhana II, sementara terhentinya "maññati" adalah ketika seorang arahat melakukan vipassana.
Konteks pembicaraan kedua sutta juga sangat berbeda. Mulapariyaya Sutta membahas mengenai proses pencerapan objek saat ini, sementara Vitakkasanthana Sutta membahas objek masa lampau (yang ditelah sebelumnya dicerap), yang tidak bermanfaat (akusala) dan diatasi dengan Vitakka lain lagi yang bermanfaat.
btw, kalau kebisaan baru nya gimana? ^^ canda ya..biar segar-segar.....:)) kalau jawaban Pak Hudoyo :
saya pribadi tidak cocok dengan metode mmd, pernah di pratek dan hasilnya tidak membawa kebijaksanaan bagi saya....jadi saya stop...
entah kalau orang lain mungkin saya yang salah pratek,
dari pada ribut disini lebih baik kita bertanding siapa lebih dulu mencapai sotapana...
baru ngomong ^^ jadi ingat iklan rokok...
TALK LESS DO MORE...
all just my opinion....peace yu
metta.
Kita beradu di lapangan … Umat Buddha Indonesia akan menilai sendiri dalam waktu 10 tahun ini … Anda dan teman-teman Anda di DC-kah, atau saya dan teman-teman saya di MMD, yang benar-benar pewaris dari ajaran Sang Guru.
Salam,
hudoyo
Kita beradu di lapangan … Umat Buddha Indonesia akan menilai sendiri dalam waktu 10 tahun ini … Anda dan teman-teman Anda di DC-kah, atau saya dan teman-teman saya di MMD, yang benar-benar pewaris dari ajaran Sang Guru.
Salam,
hudoyo
ini baru setaon, masih lama, 9 taon lagi
kebiasaan lama anda keluar lagi. bang bond, sepertinya anda masih muda, energinya meluap2 :)
semoga anda maju prakteknya, bang bond...
cukup sampai di sini aja menanggapi anda.
Kita beradu di lapangan … Umat Buddha Indonesia akan menilai sendiri dalam waktu 10 tahun ini … Anda dan teman-teman Anda di DC-kah, atau saya dan teman-teman saya di MMD, yang benar-benar pewaris dari ajaran Sang Guru.
Salam,
hudoyo
ini baru setaon, masih lama, 9 taon lagi
btw, kalau kebisaan baru nya gimana? ^^ canda ya..biar segar-segar.....:)) kalau jawaban Pak Hudoyo :
saya pribadi tidak cocok dengan metode mmd, pernah di pratek dan hasilnya tidak membawa kebijaksanaan bagi saya....jadi saya stop...
entah kalau orang lain mungkin saya yang salah pratek,
dari pada ribut disini lebih baik kita bertanding siapa lebih dulu mencapai sotapana...
baru ngomong ^^ jadi ingat iklan rokok...
TALK LESS DO MORE...
all just my opinion....peace yu
metta.
OK, Kemenyan … bodoh kalau saya melayani Anda terus … waktu saya sangat berharga untuk membimbing MMD … Sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur … sekalipun Anda menghiba-hiba, saya tidak akan masuk ke DC lagi selama managementnya dikuasai oleh orang-orang reaksioner yang ingin memutar mundur jarum sejarah Buddhisme di Indonesia. …
Kita beradu di lapangan … Umat Buddha Indonesia akan menilai sendiri dalam waktu 10 tahun ini … Anda dan teman-teman Anda di DC-kah, atau saya dan teman-teman saya di MMD, yang benar-benar pewaris dari ajaran Sang Guru.
Salam,
hudoyo
harap dimaklum, ucapan itu karena kekhilafan, sedang tidak eling/sadar ;Dbtw, kalau kebisaan baru nya gimana? ^^ canda ya..biar segar-segar.....:)) kalau jawaban Pak Hudoyo :
saya pribadi tidak cocok dengan metode mmd, pernah di pratek dan hasilnya tidak membawa kebijaksanaan bagi saya....jadi saya stop...
entah kalau orang lain mungkin saya yang salah pratek,
dari pada ribut disini lebih baik kita bertanding siapa lebih dulu mencapai sotapana...
baru ngomong ^^ jadi ingat iklan rokok...
TALK LESS DO MORE...
all just my opinion....peace yu
metta.
OK, Kemenyan … bodoh kalau saya melayani Anda terus … waktu saya sangat berharga untuk membimbing MMD … Sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur … sekalipun Anda menghiba-hiba, saya tidak akan masuk ke DC lagi selama managementnya dikuasai oleh orang-orang reaksioner yang ingin memutar mundur jarum sejarah Buddhisme di Indonesia. …
Kita beradu di lapangan … Umat Buddha Indonesia akan menilai sendiri dalam waktu 10 tahun ini … Anda dan teman-teman Anda di DC-kah, atau saya dan teman-teman saya di MMD, yang benar-benar pewaris dari ajaran Sang Guru.
Salam,
hudoyo
Emangnya DC aliran baru juga yah??
Lagian ada juga member DC yg sehaluan dengan PH, jadi gimana dong....apakah lebih cocok disebut musuh-musuh DC (sebagai lawan dari teman-teman) ?? So, pasti tidak dong.... :|
Hmm...masih menantang orang....... Buddha gak pernah ngajarin beradu tuh..... :whistle: .......apalagi di lapangan :))
kebiasaan lama anda keluar lagi. bang bond, sepertinya anda masih muda, energinya meluap2 :)
semoga anda maju prakteknya, bang bond...
cukup sampai di sini aja menanggapi anda.
Khusus menanggapi MMD memang harus to the point, tidak perlu muter-muter . Itulah kebiasaan saya membahas MMD, melihat situasi dan kondisi, bisa lembut, bisa nyablak, bisa tegas tergantung tergantung situasi dan kondisi yg diperlukan. Maklumlah memang saya masih muda dengan energi meluap, daripada tua tapi energinya over dosis sehingga tidak tersalurkan dengan baik. ^-^
Met maju juga prakteknya om morph. Ok kita deal menyudahi saling menanggapi antara anda dan saya didalam topik ini . Jangan nanti plin-plan lagi. Smoga 'aku' mu berhenti supaya tidak terus berdukkha. _/\_
[at] saudara-saudari se-dhamma di DC
Ada hal-hal yg perlu kita perhatikan dalam membahas MMD dan ini juga berguna menghadapi orang-orang yg memutar balikan Dhamma yg diajarkan Sang Buddha.
1. Seperti kita ketahui ada beberapa oknum agama/orang mencoba mempengaruhi umat lain dengan tujuan mendapatkan umat. Caranya dengan menggunakan beberapa ayat-ayat kitab suci/sutta yg ingin dipengaruhi dengan diselaraskan dengan kitab suci atau pandangan orang yang ingin mempengaruhi. Padahal arti kitab suci atau ajaran yg ingin dipreteli jelas memaknai arti berbeda dengan kitab suci atau pandangan orang yg ingin mempengaruhi. Ini terjadi pada MMD yg menggunakan beberapa sutta dan mengabaikan yang lainnya.
2. Ketika dikonfrontasi tentang hal-hal makna kitab suci tentang penganut yg dipengaruhi, dalam konteks ini ajaran Sang Buddha maka dengan pandainya mereka berkilah dengan mengatakan tidak asli ataupun tidak relevan, konsep dsb. Dan kemudian menyusupi dengan pandangan yg lain.
Ini cara2 yg terjadi dalam hal "nisasi' dan termasuk MMD.
Sebagai umat Buddha tentunya tidak perlu khawatir, jadi saya rasa perlu kita terus membahas apa-apa yg tidak sesuai dan yg sesuai. Dan ini tidak diartikan sebagai kita menyerang MMD atau agama lain(jika mereka mulai melakukan nisasi). Jika mereka(pihak MMD) merasa terserang itu hanya propaganda mereka seakan-akan mereka adalah victim dan menggunakan alasan 'ad hominem' /penyerangan atas pribadi untuk mencari simpati. Kita pun tidak perlu berjihad, meluruskan apa yg simpang siur dan yg bengkok adalah hal yg mulia dan dilakukan sesuai kaidah yg diajarkan Sang Buddha yaitu inilah yg diajarkan Sang Tathagata dan ini yg bukan diajarkan.
Patut diingat sikap Guru utama dan ajaran barunya memiliki batas yg sangat tipis, jadi jika ia menyatakan A dan sikapnya B maka jika dikritik tentang pernyataan A dan sikap B adalah suatu kesatuan yg patut dipertanyakan dan bukan penyerangan atas pribadi. Itu semua sebagai bahan apakah keseluruhan aspek ajaran baru tersebut sesuai dengan Dhamma yg diajarkan SB atau mendompleng.
Umat Buddha yg mengerti Dhamma tentunya akan penuh cinta kasih tetapi bukan permisif terhadap pandangan salah. Jika menolak bukan berarti fanatik. Jika orang lain menganggap demikian, itu sebenarnya karena ketidakpuasan dan ketidak sanggupan mereka mencerna Dhamma.. Sikap kita tetap tenang , ahimsa dan memberikan bimbingan jika bisa sesuai protap ajaran SB. SB pun penuh cinta kasih tapi tegas.
Ini hanya himbauan dalam menghadapi kilesa yg super duper licik. Silakan diskusi dilanjutkan...Jangan malu-malu bahas 'mimpi mengenal diri'/MMD
_/\_
Mau kutip Sutta ahh tentang PIKIRAN ;D
VITAKKASANTHANA SUTTA (20)
(Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta, 1996)
1. Demikianlah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu: "Para bhikkhu." "Ya, Bhante," jawab mereka.
Selanjutnya, Sang Bhagava berkata:
2. "Para bhikkhu, apabila seorang bhikkhu sedang mengembangkan batin yang lebih tinggi, ada lima tanda yang dapat diperhatikan olehnya dari saat ke saat. Apakah kelima tanda tersebut?"
3. (i) "Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memperhatikan beberapa tanda, dan berdasarkan pada tanda itu, muncul dalam dirinya pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik. Bilamana ia memperhatikan kepada beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, maka pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan akan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu atau pembantunya yang dapat mengeluarkan, memindahkan dan mengganti sebuah pasak kasar dengan pasak halus, begitu pula ... ketika seorang bhikkhu memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi."
4. (ii) "Apabila, ketika ia sedang memperhatikan tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu, sebagai berikut: 'Pikiran-pikiran ini buruk, patut dicela dan menyebabkan penderitaan.' Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang pria atau wanita, muda, remaja, yang menyenangi perhiasan, akan ketakutan, menderita dan muak jika bangkai ular, anjing atau mayat digantungkan di lehernya, begitu pula ... ketika seorang bhikkhu memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi."
5. (iii) "Apabila, sementara ia memeriksa bahaya dari pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus berusaha melupakan dan harus tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu.
Ketika ia berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan orang bermata baik yang tidak mau melihat bentuk-bentuk yang terjangkau oleh pandangan akan menutup mata atau memalingkan pandangannya, begitu pula ... ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.
6. (iv) "Apabila, sementara ia melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu. Ketika ian memberikan perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang berjalan cepat berpikir: 'Mengapa saya berjalan cepat? Bagaimana bila saya berjalan perlahan?' dan ia akan berjalan perlahan; kemudian ia berpikir: 'Mengapa saya berjalan perlahan? Bagaimana bila saya berdiri?' dan ia akan berdiri; kemudian ia berpikir: 'Mengapa saya berdiri? Bagaimana bila saya duduk?' dan ia akan duduk; kemudian ia berpikir: 'Mengapa saya duduk? Bagaimana bila saya berbaring?' dan ia akan berbaring. Dengan melakukan seperti itu, ia akan mengganti setiap posisi yang kasar dengan yang halus; begitu pula ... ketika seorang bhikkhu memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.
7. (v) "Apabila, ketika ia memberikan perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka dengan menggertak gigi dan lidah menekan langit-langit mulutnya, maka ia harus memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran dengan pikiran. Ketika, dengan menggertak gigi dan lidah menekan langit-langit mulutnya, ia memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang kuat menangkap kepala atau bahu dari orang lemah dan memukulnya, memaksanya, dan menghancurkannya begitu pula ... ketika seorang bhikkhu memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu ... maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi."
8. "Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memberikan perhatian pada beberapa tanda, dan berdasarkan pada tanda itu dalam dirinya muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, kemudian ketika ia memberikan perhatian pada beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, maka pikiran-pikiran buruk jahat ditinggalkan dan lenyap, dengan meninggalkan pikiran-pikiran itu pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dari pikiran-pikiran itu .... Ketika ia berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu .... Ketika ia memberikan perhatikan untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu ....Ketika, dengan menggertak gigi dan menekankan lidah pada langit-langit mulutnya, ia memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran buruk jahat ditinggalkannya ... dan pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini disebut sebagai ahli pikiran kasar. Ia akan memikirkan pikiran apa pun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak memikirkan apa yang ia tidak ingin pikirkan. Ia telah memutuskan keinginan (tanha), menghempaskan belenggu-belenggu (samyojana), dan dengan sempurna menembus kesombongan (mana) ia melenyapkan penderitaan.
Demikianlah yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikhu merasa puas dan gembira dengan apa yang dikatakan Sang Bhagava.
Disini dengan jelas terlihat bahwa saat seseorang sudah memutuskan tanha, sudah terbebas dari dukkha, pikirannya tetap berjalan alias TIDAK BERHENTI seperti pada paham sebagian orang.
Yang disebut disini adalah adanya SATI sampajanna (sadar dan waspada setiap saat), terampil dalam menjaga pikiran yang timbul
semoga bisa bermanfaat bagi rekan2 sekalian[q/uote]
kebiasaan lama anda keluar lagi. bang bond, sepertinya anda masih muda, energinya meluap2 :)
semoga anda maju prakteknya, bang bond...
cukup sampai di sini aja menanggapi anda.
Khusus menanggapi MMD memang harus to the point, tidak perlu muter-muter . Itulah kebiasaan saya membahas MMD, melihat situasi dan kondisi, bisa lembut, bisa nyablak, bisa tegas tergantung tergantung situasi dan kondisi yg diperlukan. Maklumlah memang saya masih muda dengan energi meluap, daripada tua tapi energinya over dosis sehingga tidak tersalurkan dengan baik. ^-^
Met maju juga prakteknya om morph. Ok kita deal menyudahi saling menanggapi antara anda dan saya didalam topik ini . Jangan nanti plin-plan lagi. Smoga 'aku' mu berhenti supaya tidak terus berdukkha. _/\_
[at] saudara-saudari se-dhamma di DC
Ada hal-hal yg perlu kita perhatikan dalam membahas MMD dan ini juga berguna menghadapi orang-orang yg memutar balikan Dhamma yg diajarkan Sang Buddha.
1. Seperti kita ketahui ada beberapa oknum agama/orang mencoba mempengaruhi umat lain dengan tujuan mendapatkan umat. Caranya dengan menggunakan beberapa ayat-ayat kitab suci/sutta yg ingin dipengaruhi dengan diselaraskan dengan kitab suci atau pandangan orang yang ingin mempengaruhi. Padahal arti kitab suci atau ajaran yg ingin dipreteli jelas memaknai arti berbeda dengan kitab suci atau pandangan orang yg ingin mempengaruhi. Ini terjadi pada MMD yg menggunakan beberapa sutta dan mengabaikan yang lainnya.
2. Ketika dikonfrontasi tentang hal-hal makna kitab suci tentang penganut yg dipengaruhi, dalam konteks ini ajaran Sang Buddha maka dengan pandainya mereka berkilah dengan mengatakan tidak asli ataupun tidak relevan, konsep dsb. Dan kemudian menyusupi dengan pandangan yg lain.
Ini cara2 yg terjadi dalam hal "nisasi' dan termasuk MMD.
Sebagai umat Buddha tentunya tidak perlu khawatir, jadi saya rasa perlu kita terus membahas apa-apa yg tidak sesuai dan yg sesuai. Dan ini tidak diartikan sebagai kita menyerang MMD atau agama lain(jika mereka mulai melakukan nisasi). Jika mereka(pihak MMD) merasa terserang itu hanya propaganda mereka seakan-akan mereka adalah victim dan menggunakan alasan 'ad hominem' /penyerangan atas pribadi untuk mencari simpati. Kita pun tidak perlu berjihad, meluruskan apa yg simpang siur dan yg bengkok adalah hal yg mulia dan dilakukan sesuai kaidah yg diajarkan Sang Buddha yaitu inilah yg diajarkan Sang Tathagata dan ini yg bukan diajarkan.
Patut diingat sikap Guru utama dan ajaran barunya memiliki batas yg sangat tipis, jadi jika ia menyatakan A dan sikapnya B maka jika dikritik tentang pernyataan A dan sikap B adalah suatu kesatuan yg patut dipertanyakan dan bukan penyerangan atas pribadi. Itu semua sebagai bahan apakah keseluruhan aspek ajaran baru tersebut sesuai dengan Dhamma yg diajarkan SB atau mendompleng.
Umat Buddha yg mengerti Dhamma tentunya akan penuh cinta kasih tetapi bukan permisif terhadap pandangan salah. Jika menolak bukan berarti fanatik. Jika orang lain menganggap demikian, itu sebenarnya karena ketidakpuasan dan ketidak sanggupan mereka mencerna Dhamma.. Sikap kita tetap tenang , ahimsa dan memberikan bimbingan jika bisa sesuai protap ajaran SB. SB pun penuh cinta kasih tapi tegas.
Ini hanya himbauan dalam menghadapi kilesa yg super duper licik. Silakan diskusi dilanjutkan...Jangan malu-malu bahas 'mimpi mengenal diri'/MMD
_/\_
boleh saya post di milis2?
ohh, beda ya, kalau MMD berarti bertolak belakang dengan VITAKKASANTHANA SUTTA ya?Bukan bertolak belakang, tetapi berbeda dalam konteks pembicaraan. Misalnya dalam satu sutta, Buddha berkhotbah mengenai sila agar seseorang terlahir di alam bahagia, sedangkan dalam sutta lain, Buddha mengatakan semua kelahiran, bahkan di alam Brahma pun bukanlah tujuan Buddha-dhamma.
Oh hampir lupa, jangan lupa juga konsep MMD adalah tanpa usaha, tanpa tujuan. berbeda dengan vitaka suttaSama dengan karakteristik empat Satipatthana di mana hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
harap dimaklum, ucapan itu karena kekhilafan, sedang tidak eling/sadar ;Dbtw, kalau kebisaan baru nya gimana? ^^ canda ya..biar segar-segar.....:)) kalau jawaban Pak Hudoyo :
saya pribadi tidak cocok dengan metode mmd, pernah di pratek dan hasilnya tidak membawa kebijaksanaan bagi saya....jadi saya stop...
entah kalau orang lain mungkin saya yang salah pratek,
dari pada ribut disini lebih baik kita bertanding siapa lebih dulu mencapai sotapana...
baru ngomong ^^ jadi ingat iklan rokok...
TALK LESS DO MORE...
all just my opinion....peace yu
metta.
OK, Kemenyan … bodoh kalau saya melayani Anda terus … waktu saya sangat berharga untuk membimbing MMD … Sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur … sekalipun Anda menghiba-hiba, saya tidak akan masuk ke DC lagi selama managementnya dikuasai oleh orang-orang reaksioner yang ingin memutar mundur jarum sejarah Buddhisme di Indonesia. …
Kita beradu di lapangan … Umat Buddha Indonesia akan menilai sendiri dalam waktu 10 tahun ini … Anda dan teman-teman Anda di DC-kah, atau saya dan teman-teman saya di MMD, yang benar-benar pewaris dari ajaran Sang Guru.
Salam,
hudoyo
Emangnya DC aliran baru juga yah??
Lagian ada juga member DC yg sehaluan dengan PH, jadi gimana dong....apakah lebih cocok disebut musuh-musuh DC (sebagai lawan dari teman-teman) ?? So, pasti tidak dong.... :|
Hmm...masih menantang orang....... Buddha gak pernah ngajarin beradu tuh..... :whistle: .......apalagi di lapangan :))
ohh, beda ya, kalau MMD berarti bertolak belakang dengan VITAKKASANTHANA SUTTA ya?Bukan bertolak belakang, tetapi berbeda dalam konteks pembicaraan. Misalnya dalam satu sutta, Buddha berkhotbah mengenai sila agar seseorang terlahir di alam bahagia, sedangkan dalam sutta lain, Buddha mengatakan semua kelahiran, bahkan di alam Brahma pun bukanlah tujuan Buddha-dhamma.Oh hampir lupa, jangan lupa juga konsep MMD adalah tanpa usaha, tanpa tujuan. berbeda dengan vitaka suttaSama dengan karakteristik empat Satipatthana di mana hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
tambahan nich markos, postingan ko saudara fabian yang membicarakan tentang 'aku' boleh di post ke milis2
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12407.msg203186.html#msg203186
Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
anumodana utk diskusinya _/\_
Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
anumodana utk diskusinya _/\_
Ini potongan dari Mahasatipatthana Sutta, bagian obyek pikiran:
'... Di sini, para bhkkhu, jika keinginan-indria hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keinginan-indria hadir. Jika keinginan-indria tidak ada dalam dirinya, seorang bhikkhu megetahui bahwa keinginan-indria tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana keinginan-indria yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan keinginan-indria yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keinginan-indria yang telah disingkirkan."
Saya tidak melihat adanya petunjuk untuk mengingat "oh ini namanya nafsu jenis x yang menurut abhidhamma adalah akusala nomor x", atau pun adanya petunjuk usaha "melawan, menyingkirkan, mencegah" dan lain sebagainya. Dalam satipatthana, hanya ada pengetahuan tentang timbul dan tenggelamnya khanda, pikiran tidak membandingkan dengan apa pun di masa lalu, juga tidak mencari apa pun di masa depan. Hanya ada hidup saat ini.
Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya
yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya
Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....
semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru
bukankah di sutta Mahasatipatthana ada perenungan menjijikan dll yang merupakan pembandingan lho ;DBoleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
anumodana utk diskusinya _/\_
Ini potongan dari Mahasatipatthana Sutta, bagian obyek pikiran:
'... Di sini, para bhkkhu, jika keinginan-indria hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keinginan-indria hadir. Jika keinginan-indria tidak ada dalam dirinya, seorang bhikkhu megetahui bahwa keinginan-indria tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana keinginan-indria yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan keinginan-indria yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keinginan-indria yang telah disingkirkan."
Saya tidak melihat adanya petunjuk untuk mengingat "oh ini namanya nafsu jenis x yang menurut abhidhamma adalah akusala nomor x", atau pun adanya petunjuk usaha "melawan, menyingkirkan, mencegah" dan lain sebagainya. Dalam satipatthana, hanya ada pengetahuan tentang timbul dan tenggelamnya khanda, pikiran tidak membandingkan dengan apa pun di masa lalu, juga tidak mencari apa pun di masa depan. Hanya ada hidup saat ini.
Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya
yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya
Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....
semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru
Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?
bukankah di sutta Mahasatipatthana ada perenungan menjijikan dll yang merupakan pembandingan lho ;D
QuoteBoleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
coba perhatikan dua kalimat yg dibold hitam dan yang dibold biru... Dua kalimat diatas saling berkontradiksi.
Di kalimat pertama hanya ada pengamatan , dikalimat kedua dikatakan pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir.
yg dimaksud mengamati adalah hanya mengamati apa saja yg muncul dan lenyap. kalimat pertama lebih dapat diterima, moment tidak ada usaha hanyalah ketika batin tenang dan cukup konsentrasi dan sati. Pernyataan kedua lah yg mementahkan kalimat pertama. Pengamatan disini sebenarnya tidaklah aktif seperti ilmuwan mengamati sesuatu. Tetapi lebih kepada kita hanya melihat lalu lalangnya kendaraan, atau mengamati aliran air sungai ditepi sungai. Aliran ini adalah memang sifat alami dari citta. Hanya ada perbedaan dalam muncul lenyapnya ketika citta berkilesa dan saat kilesa telah terendap untuk sementara waktu ataupun hilang semuanya. Pengamatan adalah proses berpikir adalah seperti yang saya katakan seperti ilmuwan mengamati berbeda dengan pengamatan dalam vipasana. Ilmuwan mengamati sambil menganalisa dengan cara berpikir untuk mendapat kesimpulan secara logis dan ilmiah. Pengamatan vipasana hanya mengamati saja dan semakin tajamnya pengamatannya akibat sati dan konsentrasi pengertian/nyana akan muncul dengan sendirinya seperti kita berada diruang gelap perlahan menjadi terang dan melihat halyg sebenarnya dan ketika benar-benar terang maka timbulah nyana /'that's it. Hal ini memang sulit dilukiskan.
Jadi entahlah apakah kontradiktif ini karena kebingungan dalam melihat fenomena meditasi, apakah masalah bahasa, atau memang benar-benar tidak aware alias tidak ada sati dan hanya merasa tenang dan berhenti lalu dikatakan pikiran berhenti.
Mahàsatipaññhàna Sutta
Khotbah Panjang Tentang Landasan-Landasan Perhatian
**********
[290] 1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.612 Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang menetap di antara para Kuru. Di sana terdapat sebuah kota-pasar yang disebut Kammàsadhamma.613 Dan di sana Sang Bhagavà berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu!’ ‘Bhagavà,’ mereka menjawab, dan Sang Bhagavà berkata:
‘Ada, para bhikkhu, satu jalan614 ini untuk memurnikan makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan kesusahan, untuk melenyapkan kesakitan dan kesedihan,615 untuk memperoleh jalan benar,616 untuk mencapai Nibbàna: - yaitu, empat landasan perhatian.’617
‘Apakah empat itu? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu618 berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani619, tekun, dengan kesadaran jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keinginan dan belenggu dunia;620 ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan621 …; ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran;622 ia berdiam merenungkan objek-pikiran sebagai objek-pikiran,623 tekun, dengan kesadaran jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keinginan dan belenggu dunia.’ [291]
*sebelum di tegur ;D (penterjemaah Indra & team DC)
1. Siapakah pewaris ajaran Buddha sesungguhnya ?sudah jelas isi tipitaka lebih bertahan ribuan tahun dong ;D
2. Utk mengetahui hal tsb apakah perlu menunggu bertahun-tahun ?mungkin pola pikir orang tersebut begitu, tapi bagi ku tidak perlu menunggu bertahun2 koq
3. Bagaimana sikap dan ucapan seorang pewaris ajaran Buddha ?Sesuai dengan ajarannya dong ;D
Sinca yg menyelipkan kayu2 dlm perut dan melabrak Buddhaapabila di labrak ya di lihat dulu sikon nya ach ;D
didepa orang banyak, bahwa Buddha telah menghamilinnya.
jawaban Buddha : benar atau tidak hanya seorang Taghata yg tau.
Bila anda seorang lagi yg dilabrak dgn tuduhan palsu,
kira2 jawaban anda apa ?
Apakah dari jawaban saja udah bisa menunjuk anda bener2gak dong, saya sih masih jauh dari seseorang yg MENYELAMIN ajaran Buddha karena ajaran Buddha itu memusingkan ha... ha... ha... (tawa mbah Surip mode = on)
seseorang yg MENYELAMIN ajaran Buddha ?
mohon koreksi kalau ada salah ngomongggggggg!ah aye juga sering salah koq :))
(6. Sembilan perenungan tanah pekuburan)bukankah di sutta Mahasatipatthana ada perenungan menjijikan dll yang merupakan pembandingan lho ;D
Ya, ada perenungan internal, eksternal, dan internal maupun eksternal terhadap tubuh. Namun yang diamati adalah timbul, perubahan dan tenggelamnya fenomena berkenaan dengan jasmani. Di situ tidak ada pembandingan tentang apa yang jijik dan tidak jijik, juga tidak ada usaha memunculkan pikiran bahwa hal itu adalah menjijikan.
Berbeda dengan perenungan dalam Kayagatasati Sutta, di situ ada pembandingan, di situ ada pengarahan pikiran. Tujuannya adalah untuk meredam nafsu yang muncul, yang dengan demikian, ia bisa berdiam dalam Jhana, dan mendapatkan 10 manfaat dari perenungan tersebut.
Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya
yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya
Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....
semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru
Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?
(6. Sembilan perenungan tanah pekuburan)
7. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan,641 satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, berubah warna, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’
‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’
8. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, dimakan oleh burung gagak, elang atau nasar, oleh anjing atau serigala, atau berbagai binatang lainnya, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’ [296]
9. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, kerangka tulang-belulang dengan daging dan darah, dirangkai oleh urat, … kerangka tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, dirangkai oleh urat, …
336 D īãgha Nikà āya 22: Mahàsatipaññhàna Sutta
kerangka tulang-belulang yang tanpa daging dan darah, dirangkai oleh urat, … tulang-belulang yang tersambung secara acak, berserakan di segala penjuru, tulang lengan di sini, tulang-kaki di sana, tulang-kering di sini, tulang-paha di sana, tulang-panggul di sini, [297] tulang-punggung di sini, tulang-tengkorak di sana, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu .…’
10. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, tulangnya memutih, terlihat seperti kulit-kerang …, tulang-belulangnya menumpuk, setelah setahun …, tulang-belulangnya hancur menjadi bubuk, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”’
^^ di atas ini ada kok usaha membandingkan dan berpikir
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.
Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
QuoteBoleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
coba perhatikan dua kalimat yg dibold hitam dan yang dibold biru... Dua kalimat diatas saling berkontradiksi.
Di kalimat pertama hanya ada pengamatan , dikalimat kedua dikatakan pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir.
yg dimaksud mengamati adalah hanya mengamati apa saja yg muncul dan lenyap. kalimat pertama lebih dapat diterima, moment tidak ada usaha hanyalah ketika batin tenang dan cukup konsentrasi dan sati. Pernyataan kedua lah yg mementahkan kalimat pertama. Pengamatan disini sebenarnya tidaklah aktif seperti ilmuwan mengamati sesuatu. Tetapi lebih kepada kita hanya melihat lalu lalangnya kendaraan, atau mengamati aliran air sungai ditepi sungai. Aliran ini adalah memang sifat alami dari citta. Hanya ada perbedaan dalam muncul lenyapnya ketika citta berkilesa dan saat kilesa telah terendap untuk sementara waktu ataupun hilang semuanya. Pengamatan adalah proses berpikir adalah seperti yang saya katakan seperti ilmuwan mengamati berbeda dengan pengamatan dalam vipasana. Ilmuwan mengamati sambil menganalisa dengan cara berpikir untuk mendapat kesimpulan secara logis dan ilmiah. Pengamatan vipasana hanya mengamati saja dan semakin tajamnya pengamatannya akibat sati dan konsentrasi pengertian/nyana akan muncul dengan sendirinya seperti kita berada diruang gelap perlahan menjadi terang dan melihat halyg sebenarnya dan ketika benar-benar terang maka timbulah nyana /'that's it. Hal ini memang sulit dilukiskan.
Jadi entahlah apakah kontradiktif ini karena kebingungan dalam melihat fenomena meditasi, apakah masalah bahasa, atau memang benar-benar tidak aware alias tidak ada sati dan hanya merasa tenang dan berhenti lalu dikatakan pikiran berhenti.
Apa mungkin gini bro ?
Dimana ada kesadaran (citta), kan pasti ada bentuk pikiran yang mengikuti (cetasika) ...
Jadi yang dimaksud bro markos itu sebagai proses pikiran baru yang muncul adalah cittanya tetap ada (gak mungkin kan meditasi itu buat ngilangin kesaradan), tapi cetasika yang munculnya itu yang menurut abhidhamma yang kusala-kusala gitu (namanya lupa lah ... kebanyakan ... :)))
_/\_
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.
Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
HUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."
kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja
proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti)
dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep
3. Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.
QuoteBoleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
coba perhatikan dua kalimat yg dibold hitam dan yang dibold biru... Dua kalimat diatas saling berkontradiksi.
Di kalimat pertama hanya ada pengamatan , dikalimat kedua dikatakan pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir.
yg dimaksud mengamati adalah hanya mengamati apa saja yg muncul dan lenyap. kalimat pertama lebih dapat diterima, moment tidak ada usaha hanyalah ketika batin tenang dan cukup konsentrasi dan sati. Pernyataan kedua lah yg mementahkan kalimat pertama. Pengamatan disini sebenarnya tidaklah aktif seperti ilmuwan mengamati sesuatu. Tetapi lebih kepada kita hanya melihat lalu lalangnya kendaraan, atau mengamati aliran air sungai ditepi sungai. Aliran ini adalah memang sifat alami dari citta. Hanya ada perbedaan dalam muncul lenyapnya ketika citta berkilesa dan saat kilesa telah terendap untuk sementara waktu ataupun hilang semuanya. Pengamatan adalah proses berpikir adalah seperti yang saya katakan seperti ilmuwan mengamati berbeda dengan pengamatan dalam vipasana. Ilmuwan mengamati sambil menganalisa dengan cara berpikir untuk mendapat kesimpulan secara logis dan ilmiah. Pengamatan vipasana hanya mengamati saja dan semakin tajamnya pengamatannya akibat sati dan konsentrasi pengertian/nyana akan muncul dengan sendirinya seperti kita berada diruang gelap perlahan menjadi terang dan melihat halyg sebenarnya dan ketika benar-benar terang maka timbulah nyana /'that's it. Hal ini memang sulit dilukiskan.
Jadi entahlah apakah kontradiktif ini karena kebingungan dalam melihat fenomena meditasi, apakah masalah bahasa, atau memang benar-benar tidak aware alias tidak ada sati dan hanya merasa tenang dan berhenti lalu dikatakan pikiran berhenti.
Apa mungkin gini bro ?
Dimana ada kesadaran (citta), kan pasti ada bentuk pikiran yang mengikuti (cetasika) ...
Jadi yang dimaksud bro markos itu sebagai proses pikiran baru yang muncul adalah cittanya tetap ada (gak mungkin kan meditasi itu buat ngilangin kesaradan), tapi cetasika yang munculnya itu yang menurut abhidhamma yang kusala-kusala gitu (namanya lupa lah ... kebanyakan ... :)))
_/\_
yg paling atas saya bold biru apakah bro Markos menanggapi tulisan PH atau semuanya tulisan PH? ???
Kalo yg dimaksud seperti bro Markos bahwa saat pengamatan dalam vipasanna seperti yg dikatakan g citra bisa dikatakan demikan. ^-^
ohh, beda ya, kalau MMD berarti bertolak belakang dengan VITAKKASANTHANA SUTTA ya?Bukan bertolak belakang, tetapi berbeda dalam konteks pembicaraan. Misalnya dalam satu sutta, Buddha berkhotbah mengenai sila agar seseorang terlahir di alam bahagia, sedangkan dalam sutta lain, Buddha mengatakan semua kelahiran, bahkan di alam Brahma pun bukanlah tujuan Buddha-dhamma.Oh hampir lupa, jangan lupa juga konsep MMD adalah tanpa usaha, tanpa tujuan. berbeda dengan vitaka suttaSama dengan karakteristik empat Satipatthana di mana hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
anumodana utk diskusinya _/\_
Sebelumnya...
Apakah kalimat-kalimat yang berwarna biru di atas memang merupakan maksud dari Pak Hudoyo? Atau spekulasi dari Bro Kainyn terhadap pernyataan Pak Hudoyo?
Jika maksud dari pernyataan-pernyataan Pak Hudoyo memang seperti apa yang dijelaskan oleh Bro Kainyn, kenapa dia tidak menjelaskan sedetil ini?
Dan satu lagi... Setelah mencapai "terhentinya pikiran", tetap saja lobha-dosa-moha tidak tercabut bukan? Atau dengan kata lain tujuan tertinggi antara Ajaran Sang Buddha dengan MMD itu memang berbeda?
Ok thks om Markos untuk klarifikasinya, maklum ngetiknya di kantor jadi ngak teliti.. ;DQuoteBoleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.
karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.
coba perhatikan dua kalimat yg dibold hitam dan yang dibold biru... Dua kalimat diatas saling berkontradiksi.
Di kalimat pertama hanya ada pengamatan , dikalimat kedua dikatakan pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir.
yg dimaksud mengamati adalah hanya mengamati apa saja yg muncul dan lenyap. kalimat pertama lebih dapat diterima, moment tidak ada usaha hanyalah ketika batin tenang dan cukup konsentrasi dan sati. Pernyataan kedua lah yg mementahkan kalimat pertama. Pengamatan disini sebenarnya tidaklah aktif seperti ilmuwan mengamati sesuatu. Tetapi lebih kepada kita hanya melihat lalu lalangnya kendaraan, atau mengamati aliran air sungai ditepi sungai. Aliran ini adalah memang sifat alami dari citta. Hanya ada perbedaan dalam muncul lenyapnya ketika citta berkilesa dan saat kilesa telah terendap untuk sementara waktu ataupun hilang semuanya. Pengamatan adalah proses berpikir adalah seperti yang saya katakan seperti ilmuwan mengamati berbeda dengan pengamatan dalam vipasana. Ilmuwan mengamati sambil menganalisa dengan cara berpikir untuk mendapat kesimpulan secara logis dan ilmiah. Pengamatan vipasana hanya mengamati saja dan semakin tajamnya pengamatannya akibat sati dan konsentrasi pengertian/nyana akan muncul dengan sendirinya seperti kita berada diruang gelap perlahan menjadi terang dan melihat halyg sebenarnya dan ketika benar-benar terang maka timbulah nyana /'that's it. Hal ini memang sulit dilukiskan.
Jadi entahlah apakah kontradiktif ini karena kebingungan dalam melihat fenomena meditasi, apakah masalah bahasa, atau memang benar-benar tidak aware alias tidak ada sati dan hanya merasa tenang dan berhenti lalu dikatakan pikiran berhenti.
Apa mungkin gini bro ?
Dimana ada kesadaran (citta), kan pasti ada bentuk pikiran yang mengikuti (cetasika) ...
Jadi yang dimaksud bro markos itu sebagai proses pikiran baru yang muncul adalah cittanya tetap ada (gak mungkin kan meditasi itu buat ngilangin kesaradan), tapi cetasika yang munculnya itu yang menurut abhidhamma yang kusala-kusala gitu (namanya lupa lah ... kebanyakan ... :)))
_/\_
yg paling atas saya bold biru apakah bro Markos menanggapi tulisan PH atau semuanya tulisan PH? ???
Kalo yg dimaksud seperti bro Markos bahwa saat pengamatan dalam vipasanna seperti yg dikatakan g citra bisa dikatakan demikan. ^-^
Ini saya post yg lengkapnya lagi bro............ biar ga makin bingung.....
yang biru, pernyataan saya. Yg diatasnya, pernyataan bro Kai
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.
Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
Sangat dipahami, bro...... namun "maññati" yang dimaksud oleh PH adalah berhentinya "maññati" sehingga proses kesadaran hanya ada pada #1 yaitu abhijaanaati saja
ini bisa dilihat dari :QuoteHUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."
Sedangkan jika kita lihat, "maññati" justru hanyalah salah satu dari 6 kondisi yaitu :
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m na ma~n~nati -- he does not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa na ma~n~nati -- he does not conceive in earth;
(iv) pa.thavito na ma~n~nati -- he does not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti na ma~n~nati -- he does not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m naabhinandati -- he does not delight in earth.
Jadi maññati di PH diartikan hanya ada kesadaran #1 saja, kesadaran yang 5 lainnya sudah tidak berlangsung lagi -> Kembali kita bisa lihat sendiri pernyataan PHQuotekognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja
Disini jelas berbeda dengan apa yg dikatakan oleh bro Kai (Quoteproses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti)
Jika hanya melihat "maññati", yg jelas menjadi permasalahan adalah mengenai PERSEPSI bhw seolah PERSEPSI itu yg harus dihentikan dimana diatas PH menyebutkanQuotedalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep
Padahal jika kita lihat, pengertian dasar dari PERSEPSI atau SANNA adalah salah satu dari 7 sabbacittsadharana, yaitu cetasika yang ada dalam SEMUA CITTA jadi persepsi itu tetap akan ada, tetap terbentuk selama citta vitthi terus berlangsung
Hanya saja, karena pada arahat sudah ada Panna sehingga bisa melihat kenyataan sebagaimana apa adanya
Ini bisa kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,422.0.htmlQuote3. Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.
Nah seharusnya yang berhenti adalah "kemelekatannya" pada persepsi itu, bukannya persepsinya yg dihentikan. Persepsi itu hanyalah pengenalan suatu obyek saja yg terdiri dari berbagai kombinasi persepsi titik, garis, warna, dsbnya
Demikian yang bisa saya dapat dari membaca keenam pernyataan itu secara keseluruhan, bukan hanya membaca dari maññati saja
"berhentinya pikiran" apakah sesaat/ketika meditasi saja atau dalam kehidupan sehari2 bisa di aplikasikan? seperti apakah contohnya?Sebelumnya...
Apakah kalimat-kalimat yang berwarna biru di atas memang merupakan maksud dari Pak Hudoyo? Atau spekulasi dari Bro Kainyn terhadap pernyataan Pak Hudoyo?
Jika maksud dari pernyataan-pernyataan Pak Hudoyo memang seperti apa yang dijelaskan oleh Bro Kainyn, kenapa dia tidak menjelaskan sedetil ini?
Dan satu lagi... Setelah mencapai "terhentinya pikiran", tetap saja lobha-dosa-moha tidak tercabut bukan? Atau dengan kata lain tujuan tertinggi antara Ajaran Sang Buddha dengan MMD itu memang berbeda?
Itu adalah yang definisi yang saya tangkap dari beberapa kali diskusi dengan Pak Hudoyo dan kemudian saya uraikan dengan bahasa saya sendiri. Apakah sudah dikonfirmasi? YA, sudah saya konfirmasi ke e-mail Pak Hudoyo.
Soal mengapa tidak dijelaskan begitu, karena setiap orang punya kecenderungan yang berbeda. Pak Hudoyo menjelaskan dengan caranya, saya dengan cara saya sendiri.
Setelah terhentinya "pikiran" (definisi Mulapariyaya), maka di situ LDM sudah tidak memiliki landasan lagi. Di sana pula tidak ditemukan landasan empat unsur (seperti yang ditanyakan seorang bhikkhu dalam Kevaddha Sutta). Itulah kebijakan Arahat.
Mulapariyaya Sutta itu bukan bikinan MMD, itu bagian dari Tipitaka. Pak Hudoyo menafsirkan demikian, dan saya juga menafsirkan kurang lebih demikian (bukan karena ikut2an Pak Hudoyo).
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.
Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
Sangat dipahami, bro...... namun "maññati" yang dimaksud oleh PH adalah berhentinya "maññati" sehingga proses kesadaran hanya ada pada #1 yaitu abhijaanaati saja
ini bisa dilihat dari :QuoteHUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."
Sedangkan jika kita lihat, "maññati" justru hanyalah salah satu dari 6 kondisi yaitu :
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m na ma~n~nati -- he does not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa na ma~n~nati -- he does not conceive in earth;
(iv) pa.thavito na ma~n~nati -- he does not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti na ma~n~nati -- he does not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m naabhinandati -- he does not delight in earth.
Jadi maññati di PH diartikan hanya ada kesadaran #1 saja, kesadaran yang 5 lainnya sudah tidak berlangsung lagi -> Kembali kita bisa lihat sendiri pernyataan PHQuotekognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja
Disini jelas berbeda dengan apa yg dikatakan oleh bro Kai (Quoteproses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti)
Jika hanya melihat "maññati", yg jelas menjadi permasalahan adalah mengenai PERSEPSI bhw seolah PERSEPSI itu yg harus dihentikan dimana diatas PH menyebutkanQuotedalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep
Padahal jika kita lihat, pengertian dasar dari PERSEPSI atau SANNA adalah salah satu dari 7 sabbacittsadharana, yaitu cetasika yang ada dalam SEMUA CITTA jadi persepsi itu tetap akan ada, tetap terbentuk selama citta vitthi terus berlangsung
Hanya saja, karena pada arahat sudah ada Panna sehingga bisa melihat kenyataan sebagaimana apa adanya
Ini bisa kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,422.0.htmlQuote3. Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.
Nah seharusnya yang berhenti adalah "kemelekatannya" pada persepsi itu, bukannya persepsinya yg dihentikan. Persepsi itu hanyalah pengenalan suatu obyek saja yg terdiri dari berbagai kombinasi persepsi titik, garis, warna, dsbnya
Demikian yang bisa saya dapat dari membaca keenam pernyataan itu secara keseluruhan, bukan hanya membaca dari maññati saja
Bro Markos, mohon maaf kalau saya tidak menanggapi karena saya tidak mendalami Abhidhamma. Kalau Bro Markos bersikukuh demikian, biarlah demikian adanya, tetapi saya belum mampu menanggapinya.
On 8/7/09, Hudoyo <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:
sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'!
On 8/4/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:[/size]Quotehudoyo1 <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote: Yang penting JANGAN BERBUAT KARMA BARU --entah karma baik entah karma buruk-- SEKARANG.
Sangat prihatin dengan pernyataan diatas karena Buddha dalam Mahapadana sutta dan Ovada Patimokkha justru mengajarkan : Kurangi berbuat jahat, Perbanyak berbuat baik dan mensucikan batin
Mahapadana Sutta :
"Kesabaran adalah tapa yang paling tinggi
Para Buddha bersabda: "Nibbana yang tertinggi dari segala sesuatu"
Beliau bukanlah pertapa yang merugikan orang lain atau pertapa yang tidak menyebabkan orang lain menjadi susah.
Tidak melakukan kejahatan,
Mengembangkan kebajikan,
Mensucikan batin.
Itulah ajaran para Buddha
Tidak memfitnah, tidak menganiaya
Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan
Makan dan tidur secukupnya, dan hidup menyepi
Senantiasa berpikir luhur
Itulah ajaran para Buddha." -> disini jelas bhw ajaran Buddha dari jaman Buddha Vipasi, Buddha Sikhi, Buddha Vessabhu, Buddha Kakusanda, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa sampai Buddha Gautama adalah sama
Hal sama juga bisa dilihat di Ovada Patimokkha yang diucapkan di depan 1250 org bhikkhu yang semuanya Arahat
Cease to do evil,
cultivate that which is good;
purify the heart.
This is the Way of the Awakened Ones
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.prinsip "tanpa usaha" udah dikenal sangat luas di dunia meditasi buddhis, bukan penemuan baru, bukan original pak hudoyo. ajahn brahm dan master sheng yen juga ngomong yg senada. meditator yg pemula saja kebanyakan mengerti dan memahami maksudnya. saya melihat banyak sekali "keresahan" di sini disebabkan karena ketidakmengertian. itu saja...
Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
Setuju dengan bro Morpheus,Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.prinsip "tanpa usaha" udah dikenal sangat luas di dunia meditasi buddhis, bukan penemuan baru, bukan original pak hudoyo. ajahn brahm dan master sheng yen juga ngomong yg senada. meditator yg pemula saja kebanyakan mengerti dan memahami maksudnya. saya melihat banyak sekali "keresahan" di sini disebabkan karena ketidakmengertian. itu saja...
Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
berkali2 dibilangin, cobalah eksperimen. pertama, coba bermeditasi dengan usaha. usaha untuk mencapai ketenangan, usaha untuk mencapai jhana, usaha untuk memerangi ldm, usaha untuk mencapai kesucian, usaha untuk menekan napsu, dll. kemudian coba eksperimen kedua, bermeditasilah dengan tidak berusaha untuk mencapai apapun, mengamati saja. tenang atau gelisah, amati saja. tidak ada usaha... mana yg berhasil?
coba cross check, tanya bhante khanti, bhante titha, bhante panna, ajahm brahm, dll. tanya mana yg benar.
sekali lagi, ini bukan barang baru, bukan penemuan baru, ataupun original...
kalo gak dicoba ya gak bakal mengerti, balik ke pertanyaan yg itu itu aja...
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
hoho ... itu cuma teori yang ada di kepala Anda. ... hoho
Baru kali ini saya dengar seorang pemeditasi bisa melihat 'asava' ...
Seperti apa sih asava itu? Seperti arus yang mengalir gitu? ... yang Anda lihat
itu kesenangan & kelekatan, atau ketidaksenangan dan penolakan ... bukan asava
... hoho
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, Rudt Wang <bodohsatva [at] ...> wrote:
>
> *ikutan.... ho ho ho
>
> Tidak seorang pun pernah melihat 'asava' (arus kotoran
> batin) dalam meditasi vipassana.*
>
> saya kurang setuju... sesuai pengalaman... vipassana membuat kita dapat
"melihat" (lebih tepatnya merasakan) kehadiran asava ketika dia pertama kali
muncul akibat interaksi indra dengan objek...
>
> ho ho
http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/74130
meditasi tanpa usaha aye kaga bisa, meditasi dengan usaha kaga bisa juga, melihat yang meditasi tanpa usaha seperti tidak ada hasil/sami mawon sama yang kaga suka meditasi jadi artinya ...............
meditasi tanpa usaha aye kaga bisa, meditasi dengan usaha kaga bisa juga, melihat yang meditasi tanpa usaha seperti tidak ada hasil/sami mawon sama yang kaga suka meditasi jadi artinya ...............
Terlepas dari pro dan kontra terhadap sosok PH, buntut2nya kita harus terjun sendiri ke dalam praktek agar dapat melihat kebenaran yg sesungguhnya. Sebenar-benarnya konsep, tetap saja hanyalah konsep, kata-kata, konvensi, bukan kebenaran itu sendiri.betul, om. semua harus terjun berpraktek...
Terlepas dari pro dan kontra terhadap sosok PH, buntut2nya kita harus terjun sendiri ke dalam praktek agar dapat melihat kebenaran yg sesungguhnya. Sebenar-benarnya konsep, tetap saja hanyalah konsep, kata-kata, konvensi, bukan kebenaran itu sendiri.betul, om. semua harus terjun berpraktek...
lah jawaban aja kadang gak dibaca dan direnungkan, boro2 praktek. jadinya malah menganalisa secara intelektual. contoh kasus "tanpa usaha" itu aja, banyak yg langsung bales: "lho, bukannya duduk meditasi itu juga usaha?", "lho, mengamati itu kan usaha?", "lho, salah satu faktor jalan mulia kan usaha yg benar. bertentangan dong?"... ya jelas gak nyambung.
semua teori musti ditanggalkan dan tidak relevan saat bermeditasi, kalo gak jadinya bermeditasi bingung, ujung2nya stress kebanyakan mikir dan nyocok2in teori... jangan percaya saya, coba sendiri...
jadi dalam rujukan ke usaha benarnya jalan mulia berunsur 8 tentu tidak tepat.
"Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar? (i) Dimana seorang bhikkhu memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk tidak memunculkan hal buruk, kualitas tidak terampil yang belum muncul. (ii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk meninggalkan hal buruk, kualitas yang tidak terampil yang telah muncul. (iii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kualitas terampil yang belum muncul. (iv) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk mempertahankan, mengerti, menambah, memperbanyak, mengembangkan, & mengumpulkan kualitas terampil yang telah muncul: Ini, para bhikkhu, yang disebut usaha benar.
usaha benar dalam jalan mulia itu adalah sbbQuote from: SN 45.8: Magga Vibhanga Suttajadi dalam rujukan ke usaha benarnya jalan mulia berunsur 8 tentu tidak tepat.
"Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar? (i) Dimana seorang bhikkhu memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk tidak memunculkan hal buruk, kualitas tidak terampil yang belum muncul. (ii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk meninggalkan hal buruk, kualitas yang tidak terampil yang telah muncul. (iii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kualitas terampil yang belum muncul. (iv) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk mempertahankan, mengerti, menambah, memperbanyak, mengembangkan, & mengumpulkan kualitas terampil yang telah muncul: Ini, para bhikkhu, yang disebut usaha benar.
Dalam sebuah kegiatan meditasi, kita mempraktekan sebuah teori, mempraktekkan sebuah petunjuk. Nah dalam meditasi itu bukan sebuah "barang" yg terukur yg memiliki pengkotakan yg jelas.
Seperti apa sih nyocokin dengna teori yang dimaksud?
Kita ambil contoh. Kita sedang memperhatikan nafas masuk dan keluar... *sampai sini meditasi?* lalu pikiran mengembara membayangkan hal2x *apakah ini bagian meditasi?*, lalu ingat/menyadari/sati bahwa sedang mengembara dan ingat/aware/sati bahwa harus memperhatikan nafas *apakah sampai sini juga? atau ini yg dikatakan membanding2xkan dengan teori?* lalu perhatian kembali pada nafas kembali.
atau contoh ke dua, ketika meditasi tiba2x merasakan sensasi melihat cahaya, lalu pikiran mengembara dengan "mereview teori buku ini nimitta yang mana yah" *apakah ini membandingkan dengan teori?*, lalu akibatnya, sensasi itu hilang. lalu pikiran mengembara lagi "kecewa dan kesal", lalu ingat/menyadari/sati lagi kembali ke nafas.
yang manakah? atau bisa sambil kasih contoh?
usaha yg dirujuk disini apakah itu? apakah effort? apakan niat? apakah ke-ngototan (bahasa yg sulit hehehe)?
Mungkin dari teman2x disini bisa berikan contoh yang mungkin bisa lebih jelas dibandingkan hanya bilang usaha yang mungkin artinya bisa bermacam2x.
isi sutta itu saling melengkapi sehingga bisa di kros cek kebenarannya, apabila hanya mengambil sepotong2 maka hasilnya ya SEPOTONG juga lah :))
yang mau di diskusikan sih siapa yang paling kuat AKUnya, siapa yang benar2 pewaris GURU =))isi sutta itu saling melengkapi sehingga bisa di kros cek kebenarannya, apabila hanya mengambil sepotong2 maka hasilnya ya SEPOTONG juga lah :))
Setuju Bro...
Tadinya kita semua sepakat, disini kita saling berdiskusi hanyalah sebatas 'Teori' (karena tidaklah mungkin kita beradu praktik disini). Nah, karena kita disini hanya bisa saling berdiskusi Teori, tentu kita harus mempunyai/menentukan suatu rujukan bersama. Karena berdiskusi Buddhisme, maka rujukan bersama yg disepakati tentu saja: Tipitaka.
Jika salah satu pihak hanya bersedia merujuk BEBERAPA ayat Tipitaka yg dipilihnya yg sesuai dengan keinginannya, tanpa mengakui ayat2 yg lain, artinya diskusi sudah pasti tidak dapat berjalan. Apalagi yg mau didiskusikan?
::
prinsip "tanpa usaha" udah dikenal sangat luas di dunia meditasi buddhis, bukan penemuan baru, bukan original pak hudoyo. ajahn brahm dan master sheng yen juga ngomong yg senada. meditator yg pemula saja kebanyakan mengerti dan memahami maksudnya. saya melihat banyak sekali "keresahan" di sini disebabkan karena ketidakmengertian. itu saja...
...
coba cross check, tanya bhante khanti, bhante titha, bhante panna, ajahm brahm, dll. tanya mana yg benar.
sekali lagi, ini bukan barang baru, bukan penemuan baru, ataupun original...
kalo gak dicoba ya gak bakal mengerti, balik ke pertanyaan yg itu itu aja...
tambahan, kalau mereka dipertemukan pun ada kemungkinan tidak ada kecocokan lho ;D
prinsip "tanpa usaha" udah dikenal sangat luas di dunia meditasi buddhis, bukan penemuan baru, bukan original pak hudoyo. ajahn brahm dan master sheng yen juga ngomong yg senada. meditator yg pemula saja kebanyakan mengerti dan memahami maksudnya. saya melihat banyak sekali "keresahan" di sini disebabkan karena ketidakmengertian. itu saja...
...
coba cross check, tanya bhante khanti, bhante titha, bhante panna, ajahm brahm, dll. tanya mana yg benar.
sekali lagi, ini bukan barang baru, bukan penemuan baru, ataupun original...
kalo gak dicoba ya gak bakal mengerti, balik ke pertanyaan yg itu itu aja...
Saya setuju dengan pernyataan Bro Morph ini...
MMD bukanlah penemuan baru... tapi mengapa selama ini MMD bisa tidak selaras dengan JMB-8 dan ayat2 Tipitaka lainnya, sementara pakar2 Meditasi dunia malah cocok dengan Tipitaka? Dimana masalahnya MMD ini?
Sebenarnya, sebagai orang lama yg sudah malang melintang di dunia spiritual selama puluhan tahun, bukannya tidak mungkin bagi Pak Hud untuk menjelaskan seperti penjelasan Bro Kai atau Bro Morph.
Jika saja Pak Hud MAU, sedari dulu Pak Hud bisa fleksibel dengan kata 'Tanpa Usaha' ataupun 'Berhentinya Pikiran'ataupun 'Perlunya sila dalam keseharian'. MASALAHNYA, jika Pak Hud melakukan itu (fleksibelitas) akibatnya MMD akan selaras dgn keseluruhan Tipitaka. MMD akan sesuai dengan JMB-8, MMD tiada bedanya dengan meditasi Buddhist lainnya.... MMD akan kehilangan ekslusivitas-nya.
Jika motivasinya untuk kepentingan pencerahan seluruh manusia, hal ini tidak menjadi maalah, apapun label yg dilekatkan pada MMD, yg penting banyak orang akan terbantu dengan sedikit trik/perumusan berbeda yg Pak Hud konsepkan. Lain halnya jika mempunyai motivasi tertentu. Misalnya ingin MMD berdiri sendiri, ingin ekslusive, ingin beda dgn meditasi Buddhist lainnya, ingin sebagai Buddist Modern, ingin lain dari yg lain... tujuan dari semua ini apa? Dalam dunia marketing perbedaan adalah suatu nilai jual yg berharga. Jika tidak ada perbedaan dgn konsep yg telah ada di pasar, maka pemain baru tidak akan bisa menjual dagangan-nya...
Makanya, selama ini kita cukup heran, kenapa Pak Hud tidak sedari awal bersikap fleksibel dengan teori2 MMD nya, yg sesungguhnya tidak akan sulit diselaraskan dgn Buddhisme, persis seperti yg telah mulai dilakukan Bro Kai dan Bro Morph diatas. Kenapa Pak Hud terkesan sangat ngotot dan kaku, imo tidak lain demi mempertahankan 'nilai beda' itu tadi.
::
Dalam sebuah kegiatan meditasi, kita mempraktekan sebuah teori, mempraktekkan sebuah petunjuk. Nah dalam meditasi itu bukan sebuah "barang" yg terukur yg memiliki pengkotakan yg jelas.seperti yg saya post sebelomnya, suhu. ada yg mencoba meditasi dengan usaha untuk menjadi tenang, usaha untuk mencapai jhana, usaha untuk memadamkan napsu, usaha untuk memerangi lobha dosa moha... ini pengalaman meditator pemula seperti saya. tapi kalo membaca tulisannya pak hudoyo, saya merasa dua2 contoh anda itu juga termasuk usaha yg tidak diperlukan dalam meditasi. bagi pak hudoyo, yg penting sadar saja cukup. merenung secara intelektual sih, saya pikir pak hudoyo bener...
Seperti apa sih nyocokin dengna teori yang dimaksud?
Kita ambil contoh. Kita sedang memperhatikan nafas masuk dan keluar... *sampai sini meditasi?* lalu pikiran mengembara membayangkan hal2x *apakah ini bagian meditasi?*, lalu ingat/menyadari/sati bahwa sedang mengembara dan ingat/aware/sati bahwa harus memperhatikan nafas *apakah sampai sini juga? atau ini yg dikatakan membanding2xkan dengan teori?* lalu perhatian kembali pada nafas kembali.
atau contoh ke dua, ketika meditasi tiba2x merasakan sensasi melihat cahaya, lalu pikiran mengembara dengan "mereview teori buku ini nimitta yang mana yah" *apakah ini membandingkan dengan teori?*, lalu akibatnya, sensasi itu hilang. lalu pikiran mengembara lagi "kecewa dan kesal", lalu ingat/menyadari/sati lagi kembali ke nafas.
yang manakah? atau bisa sambil kasih contoh?
Jika salah satu pihak hanya bersedia merujuk BEBERAPA ayat Tipitaka yg dipilihnya yg sesuai dengan keinginannya, tanpa mengakui ayat2 yg lain, artinya diskusi sudah pasti tidak dapat berjalan. Apalagi yg mau didiskusikan?tipitaka bukanlah bible yg setiap huruf dan kata2nya harus ditelan bulat2.
Sebenarnya, sebagai orang lama yg sudah malang melintang di dunia spiritual selama puluhan tahun, bukannya tidak mungkin bagi Pak Hud untuk menjelaskan seperti penjelasan Bro Kai atau Bro Morph.analisa anda sangat subjektif, om will...
Jika saja Pak Hud MAU, sedari dulu Pak Hud bisa fleksibel dengan kata 'Tanpa Usaha' ataupun 'Berhentinya Pikiran'ataupun 'Perlunya sila dalam keseharian'. MASALAHNYA, jika Pak Hud melakukan itu (fleksibelitas) akibatnya MMD akan selaras dgn keseluruhan Tipitaka. MMD akan sesuai dengan JMB-8, MMD tiada bedanya dengan meditasi Buddhist lainnya.... MMD akan kehilangan ekslusivitas-nya.
Jika motivasinya untuk kepentingan pencerahan seluruh manusia, hal ini tidak menjadi maalah, apapun label yg dilekatkan pada MMD, yg penting banyak orang akan terbantu dengan sedikit trik/perumusan berbeda yg Pak Hud konsepkan. Lain halnya jika mempunyai motivasi tertentu. Misalnya ingin MMD berdiri sendiri, ingin ekslusive, ingin beda dgn meditasi Buddhist lainnya, ingin sebagai Buddist Modern, ingin lain dari yg lain... tujuan dari semua ini apa? Dalam dunia marketing perbedaan adalah suatu nilai jual yg berharga. Jika tidak ada perbedaan dgn konsep yg telah ada di pasar, maka pemain baru tidak akan bisa menjual dagangan-nya...
Makanya, selama ini kita cukup heran, kenapa Pak Hud tidak sedari awal bersikap fleksibel dengan teori2 MMD nya, yg sesungguhnya tidak akan sulit diselaraskan dgn Buddhisme, persis seperti yg telah mulai dilakukan Bro Kai dan Bro Morph diatas. Kenapa Pak Hud terkesan sangat ngotot dan kaku, imo tidak lain demi mempertahankan 'nilai beda' itu tadi.
analisa anda sangat subjektif, om will...
pak hudoyo berkali2 mengakui mmd itu mirip bahkan sama dengan ajaran guru2 meditasi lain (u teja___? saya lupa). dengan pengetahuannya apa sih susahnya kalo dia mau kutip ayat ini ayat itu untuk melegitimasi mmdnya? jelas sekali pak hudoyo memegang suatu prinsip untuk mengajarkan meditasi tanpa memperdulikan cemoohan orang2 yg tidak mengerti. bukan mau mempertahankan nilai beda, tp karena prinsipnya memang berbeda dengan beberapa guru2 meditasi lain, tapi sama dengan guru2 meditasi lainnya. apakah penganut seorang guru meditasi yg metodenya gak sama harus mengkafirkan guru meditasi lain? biar ajalah masing2nya menjalankan prakteknya...
JMB-8 terus yang memicu keributan disini....hahaha...ketika seseorang terjun ke dalam meditasi tidakada ekslusifitas JMB,semua adalah .............
u have found the answer and be wise with your answer :) adventure is out there...JMB-8 terus yang memicu keributan disini....hahaha...ketika seseorang terjun ke dalam meditasi tidakada ekslusifitas JMB,semua adalah .............
Kalo bicara meditasi, memang iya.
Namun Meditasi hanyalah salah satu latihan. Buddhisme bukanlah meditasi tok.
Buddhisme adalah kehidupan sehari2, cara untuk mengakhiri dukkha.
Berbicara 'akhir dukkha' adalah berbicara kehidupan sehari2.... Apakah dalam kehidupan sehari2 Sila, Samadhi, Panna -atau supaya lebih universal, kita sebut saja- moralitas, konsentrasi/kesadaran dan kebijaksanaan tidak relevan untuk merealisasi pencerahan?
Bila MMD hanya berbicara "saat duduk diam", maka Buddhisme berbicara keseluruhan kehidupan sehari-hari...
::
analisa anda sangat subjektif, om will...
perbedaan pandangan ajahn brahm dengan pa Hudmemang itu bedanya...
perbedaan pandangan ajahn brahm dengan pa Hudmemang itu bedanya...
sebagai pembaca, bukankah sangat menarik mengetahui perbedaan itu?
dua orang guru memaparkan pengalaman dan kesimpulannya yg berbeda. kita umam awam, tinggal membaca, mikir dan mencobanya sendiri lalu mengambil mana meditasi yg cocok untuk kita (istilah pak hud, shopping meditasi). pengikut ajahn brahm tidak perlu mengkafirkan mmd, pengikut mmd tidak perlu mengkafirkan ajahn brahm... seperti yg dikatakan di atas, pilih sendiri yg jalan yg cocok untuk anda masing2...
memang tidak mengkafirkan tapi :
Nah, sekarang terserah kepada Anda dan para pembaca lain untuk menempuh jalan
Anda masing-masing, kalau pun "jalan" itu ada.
Salam,
Hudoyo
ya, lalu? pahamkah anda maksudnya?aye rasa maksud pa Hud itu , dia meragukan "jalan" itu ada, itu berarti dia meragukan juga isi sutta tipitaka, berarti juga ............... dan ........................ dan banyak lagi deh
aye rasa maksud pa Hud itu , dia meragukan "jalan" itu ada, itu berarti dia meragukan juga isi sutta tipitaka, berarti juga ............... dan ........................ dan banyak lagi dehhehehe... sebenernya pendapat saya lain, tapi anggaplah anda benar. jadi kenapa? kalo ajahn brahm meragukan abhidhamma pitaka boleh, kalo pak hudoyo gak boleh?
ya terserah sih, mau meragukan atau menghujat ajaran Buddha juga ga apa2 koq, paling karma nya dia yang nanggung juga koq bukan aye, ngapain di pikirin dah :))aye rasa maksud pa Hud itu , dia meragukan "jalan" itu ada, itu berarti dia meragukan juga isi sutta tipitaka, berarti juga ............... dan ........................ dan banyak lagi dehhehehe... sebenernya pendapat saya lain, tapi anggaplah anda benar. jadi kenapa? kalo ajahn brahm meragukan abhidhamma pitaka boleh, kalo pak hudoyo gak boleh?
ya terserah sih, mau meragukan atau menghujat ajaran Buddha juga ga apa2 koq, paling karma nya dia yang nanggung juga koq bukan aye, ngapain di pikirin dah :))
ya terserah sih, mau meragukan atau menghujat ajaran Buddha juga ga apa2 koq, paling karma nya dia yang nanggung juga koq bukan aye, ngapain di pikirin dah :))aye rasa maksud pa Hud itu , dia meragukan "jalan" itu ada, itu berarti dia meragukan juga isi sutta tipitaka, berarti juga ............... dan ........................ dan banyak lagi dehhehehe... sebenernya pendapat saya lain, tapi anggaplah anda benar. jadi kenapa? kalo ajahn brahm meragukan abhidhamma pitaka boleh, kalo pak hudoyo gak boleh?
Intisari ajaran Krishnamurti terkandung dalam pernyataan yang dibuatnya pada tahun 1929, ketika ia berkata, ‘Kebenaran adalah wilayah tanpa jalan’
QuoteIntisari ajaran Krishnamurti terkandung dalam pernyataan yang dibuatnya pada tahun 1929, ketika ia berkata, ‘Kebenaran adalah wilayah tanpa jalan’
ya terserah sih, mau meragukan atau menghujat ajaran Buddha juga ga apa2 koq, paling karma nya dia yang nanggung juga koq bukan aye, ngapain di pikirin dah :))meragukan tipitaka itu menghujad? yah tul, biarlah the unbeliever yg meragukan dan mempertanyakan tipitaka dihukum bapa, dibakar api neraka yg kekal...
Saya setuju dengan pernyataan Bro Morph ini...
MMD bukanlah penemuan baru... tapi mengapa selama ini MMD bisa tidak selaras dengan JMB-8 dan ayat2 Tipitaka lainnya, sementara pakar2 Meditasi dunia malah cocok dengan Tipitaka? Dimana masalahnya MMD ini?
Sebenarnya, sebagai orang lama yg sudah malang melintang di dunia spiritual selama puluhan tahun, bukannya tidak mungkin bagi Pak Hud untuk menjelaskan seperti penjelasan Bro Kai atau Bro Morph.
Jika saja Pak Hud MAU, sedari dulu Pak Hud bisa fleksibel dengan kata 'Tanpa Usaha' ataupun 'Berhentinya Pikiran'ataupun 'Perlunya sila dalam keseharian'. MASALAHNYA, jika Pak Hud melakukan itu (fleksibelitas) akibatnya MMD akan selaras dgn keseluruhan Tipitaka. MMD akan sesuai dengan JMB-8, MMD tiada bedanya dengan meditasi Buddhist lainnya.... MMD akan kehilangan ekslusivitas-nya.
Jika motivasinya untuk kepentingan pencerahan seluruh manusia, hal ini tidak menjadi maalah, apapun label yg dilekatkan pada MMD, yg penting banyak orang akan terbantu dengan sedikit trik/perumusan berbeda yg Pak Hud konsepkan. Lain halnya jika mempunyai motivasi tertentu. Misalnya ingin MMD berdiri sendiri, ingin ekslusive, ingin beda dgn meditasi Buddhist lainnya, ingin sebagai Buddist Modern, ingin lain dari yg lain... tujuan dari semua ini apa? Dalam dunia marketing perbedaan adalah suatu nilai jual yg berharga. Jika tidak ada perbedaan dgn konsep yg telah ada di pasar, maka pemain baru tidak akan bisa menjual dagangan-nya...
Makanya, selama ini kita cukup heran, kenapa Pak Hud tidak sedari awal bersikap fleksibel dengan teori2 MMD nya, yg sesungguhnya tidak akan sulit diselaraskan dgn Buddhisme, persis seperti yg telah mulai dilakukan Bro Kai dan Bro Morph diatas. Kenapa Pak Hud terkesan sangat ngotot dan kaku, imo tidak lain demi mempertahankan 'nilai beda' itu tadi.
iya pastinya sih Bhikkhu seperti itu pasti akan mengalami kesengsaraan setelah kematian, karena menuju ke alam-alam menderita dari satu kelahiran ke kelahiran lain, dari kegelapan menuju kegelapan [yang lebih pekat]. (kata tipitaka) =))ya terserah sih, mau meragukan atau menghujat ajaran Buddha juga ga apa2 koq, paling karma nya dia yang nanggung juga koq bukan aye, ngapain di pikirin dah :))meragukan tipitaka itu menghujad? yah tul, biarlah the unbeliever yg meragukan dan mempertanyakan tipitaka dihukum bapa, dibakar api neraka yg kekal...
QuoteIntisari ajaran Krishnamurti terkandung dalam pernyataan yang dibuatnya pada tahun 1929, ketika ia berkata, ‘Kebenaran adalah wilayah tanpa jalan’
Dan anda setuju/tidak setuju ? (coret yang tidak perlu) ... :))
Kalo ditinjau dari sisi batin (nama), apa yang bisa menimbulkan pilihan dan memilih ? tentu ada citta dan cetasika yang berperan disana bukan ? Apakah itu jenis-jenis kusala atau akusala yang timbul ?
sebelumnya, anumodana atas penjelasannya yah ...
_/\_
iya pastinya sih Bhikkhu seperti itu pasti akan mengalami kesengsaraan setelah kematian, karena menuju ke alam-alam menderita dari satu kelahiran ke kelahiran lain, dari kegelapan menuju kegelapan [yang lebih pekat]. (kata tipitaka) =))ya terserah sih, mau meragukan atau menghujat ajaran Buddha juga ga apa2 koq, paling karma nya dia yang nanggung juga koq bukan aye, ngapain di pikirin dah :))meragukan tipitaka itu menghujad? yah tul, biarlah the unbeliever yg meragukan dan mempertanyakan tipitaka dihukum bapa, dibakar api neraka yg kekal...
ini menarik.Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya
yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya
Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....
semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru
Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :ini menarik.
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
pernah suatu kali saya bermeditasi, dimana semakin keras usaha sy mempertahankan pikiran, malah makin kacau...[karena usaha mempertahankan pikiran ini sudah termasuk OBJEK]
jadi semakin mau ke objek nafas, semakin jauh juga dari objek nafas...
lebih baik semua itu di lepas....tidak perlu diusahakan berlebihan....nafas-nafas........jadi gampang konsentrasi nya..^^
tetap ada usaha kalau pikiran ini lari, akan tetapi tidak perlu sampai BERLEBIHAN, perlakukan dengan lembut dan tenang, pikiran butuh kelembutan.....
bukankah disinilah perlunya sutta untuk bahan referensi, contoh apabila seseorang yang mempunyai kemelekatan yang kuat terhadap suatu perasaan apakah dia bisa langsung menghilangkan kemelekatannya lewat meditasi tanpa usaha?ini menarik.Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya
yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya
Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....
semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru
Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
pernah suatu kali saya bermeditasi, dimana semakin keras usaha sy mempertahankan pikiran, malah makin kacau...[karena usaha mempertahankan pikiran ini sudah termasuk OBJEK]
jadi semakin mau ke objek nafas, semakin jauh juga dari objek nafas...
lebih baik semua itu di lepas....tidak perlu diusahakan berlebihan....nafas-nafas........jadi gampang konsentrasi nya..^^
tetap ada usaha kalau pikiran ini lari, akan tetapi tidak perlu sampai BERLEBIHAN, perlakukan dengan lembut dan tenang, pikiran butuh kelembutan.....
On 8/11/09, Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:
VITAKKA-SANTHANA-SUTTA (ringkasan) - Majjhima Nikaya, 20
{Resume: Sang Buddha memberikan lima cara praktis untuk mengatasi pikiran buruk.]
Pada suatu ketika, Sang Buddha, yang tengah berdiam di Savatthi, di Hutan Jeta, di vihara Anathapindika, memanggil para bhikkhu dan mengajar mereka:
"Bila seorang bhikkhu berminat untuk mengembangkan batin yang lebih tinggi (adhicitta), ada lima hal yang harus dijalankannya pada waktu-waktu yang tepat (kaalena kaala.m -- tidak terus-menerus). Apakah kelima hal itu?
(1) Bila pikiran (vitakka) buruk --pikiran yang terkait dengan keinginan, kebencian & kegelapan batin-- muncul dalam batin seorang bhikkhu ketika ia tengah menggarap suatu hal, maka ia harus menggarap hal lain yang bersifat baik. Dengan demikian, pikiran yang buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya.
Ibaratnya orang menggunakan pasak kecil untuk mencabut sebuah pasak besar.
(2) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu menggarap hal lain yang bersifat baik, maka ia harus menyelidiki kerugian yang bisa disebabkan oleh pikiran buruk itu. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya seorang muda yang senang berdandan merasa ngeri bila sebuah bangkai ular, atau anjing atau manusia digantungkan di lehernya.
(3) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu menyelidiki kerugian yang bisa disebabkan oleh pikiran buruk itu, maka ia harus mengabaikan saja & tidak menghiraukan pikiran buruk itu. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya orang yang sengaja menutup mata dan berpaling ke arah lain.
(4) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu mengabaikan saja & tidak menghiraukan pikiran buruk itu, maka ia harus mengendurkan bentukan-pikiran oleh pikiran buruk itu. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya, orang yang semula berjalan cepat, lalu berjalan lambat, lalu berdiri saja, lalu berbaring; dengan cara itu ia melepaskan posisi yang lebih kasar dan mengambil posisi yang lebih halus.
(5) Bila pikiran buruk masih saja muncul ketika bhikkhu itu mengendurkan bentukan-pikiran oleh pikiran buruk itu, maka dengan mengatupkan gigi [tekad kuat] ia harus menundukkan, mengungkung, dan menindas batinnya dengan kemauannya. Dengan demikian, pikiran buruk itu akan terlepas & mereda, dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya. Ibaratnya seorang yang kuat menundukkan, mengungkung dan menindas seorang yang lebih lemah.
Nah, jika seorang bhikkhu menggarap hal lain yang bersifat baik ...
menyelidiki kerugian yang bisa disebabkan oleh pikiran buruk ...
mengabaikan saja & tidak menghiraukan pikiran buruk ... mengendurkan
bentukan-pikiran oleh pikiran buruk ... menundukkan, mengungkung, dan
menindas batinnya dengan kemauannya ... dan ia bisa memantapkan, membuat menetap, menyatukan dan memusatkan batinnya, maka ia dinamakan bhikkhu yang menguasai urutan pemikirannya. Ia memikirkan apa yang diinginkannya, dan tidak memikirkan apa yang tidak diinginkannya, Ia telah mematahkan keinginan, menanggalkan belengu-belenggu, dan --melalui penembusan yang benar terhadap kesombongan-- telah mengakhiri penderitaan dan dukkha."
=================================
KOMENTAR:
MARKOSPRAWIRA:
Disini dengan jelas terlihat bahwa saat seseorang sudah memutuskan tanha, sudah terbebas dari dukkha, pikirannya tetap berjalan alias TIDAK BERHENTI seperti pada paham sebagian orang.
Yang disebut disini adalah adanya SATI sampajanna (sadar dan waspada setiap saat), terampil dalam menjaga pikiran yang timbul
semoga bisa bermanfaat bagi rekan2 sekalian
=================================
KAINYN KUTHO: (dari Dhammacitta.org)
Bagi yang awam, agar jangan tercampur istilah "pikiran" dalam
Vitakkasanthana Sutta dan Mulapariyaya Sutta.
Pada Mulapariyaya Sutta, yang dimaksud adalah "maññati" sebuah proses
berpikir membentuk suatu ide/bentukan pikiran, sedangkan pada
Vitakkasanthana Sutta, dibahas adalah "vitakka". Vitakka adalah semua
objek pikiran yang muncul dari ingatan masa lalu. Terhentinya "vitakka" adalah seperti dalam jhana II, sementara terhentinya "maññati" adalah ketika seorang arahat melakukan vipassana.
Konteks pembicaraan kedua sutta juga sangat berbeda. Mulapariyaya Sutta membahas mengenai proses pencerapan objek saat ini, sementara
Vitakkasanthana Sutta membahas objek masa lampau (yang ditelah sebelumnya dicerap), yang tidak bermanfaat (akusala) dan diatasi dengan Vitakka lain lagi yang bermanfaat.
=================================
HUDOYO HUPUDIO:
Sdr Markosprawira dengan entengnya mengomentari: “saat seseorang sudah
memutuskan tanha, sudah terbebas dari dukkha, pikirannya tetap berjalan alias TIDAK BERHENTI seperti pada paham sebagian orang.” -- Tentu yang dimaksudkannya dengan “sebagian orang” itu adalah saya & para praktisi MMD, yang selalu menyatakan bahwa dalam batin seorang Arahat tidak ada lagi pikiran sebagaimana seorang puthujjana berpikir; pendapat ini didasarkan pada ajaran Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta.
Mengapa saya katakan “dengan enteng”? Karena dalam membandingkan
Vitakkasanthana-sutta dengan Mulapariyaya-sutta, saking didorong oleh
nafsu untuk mendiskreditkan MMD & saya, Markosprawira –disengaja atau
tidak—tidak menelusuri kembali apa istilah asli dalam bahasa Pali yang
digunakan dalam masing-masing sutta itu yang diterjemahkan ke bahasa
Indonesia menjadi ‘pikiran’. Dengan tindakannya itu Markosprawira justru telah mempertentangkan Vitakkasanthana-sutta dengan Mulapariyaya-sutta!
Dalam Vitakkasanthana-sutta ‘pikiran’ adalah terjemahan dari ‘VITAKKA’, sedangkan dalam Mulapariyaya-sutta, ‘pikiran’ adalah terjemahan dari ‘MANNATI’ (verb), atau ‘MANNITAM’ (noun) dalam Dhatu-vibhanga-sutta, MN 140. Jelas ‘vitakka/vitakketi’ dan ‘mannitam/mannati’ sangat berbeda maknanya dan berbeda konteks penggunaannya, sehingga tidak bisa dipertentangkan sama sekali. Seharusnya Markosprawira bertanya: apakah ‘vitakka’ bisa berhenti?
Sepintas lalu ajaran yang terkandung dalam Vitakkasanthana-sutta ini
merupakan pengembangan lebih lanjut dari ajaran “Jangan berbuat kejahatan …”, sebagaimana tercantum dalam Ovada-Patimokkha. Di sini kejahatan & kebaikan berhadap-hadapan, dan orang dianjurkan untuk melawan kejahatan sekuat-kuatnya, dengan menggunakan segala macam cara. Di sini peran si aku, si pengambil keputusan, yang mendasari semua pikiran sangat menonjol.
Sutta ini adalah representasi dari ajaran suatu agama, agama mana pun,
ketika dipahami oleh pikiran manusia, yang selalu bersifat dualistik,
sehingga dengan demikian manusia harus menentukan pilihannya secarfa
moralistik.
Ini sangat berbeda dengan ajaran Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta. Dalam kedua sutta itu –dan dalam sutta-sutta lain yang
senada dengan itu—Sang Buddha mengajarkan agar orang menyadari gerak-gerik pikiran & akunya sendiri. Khusus kepada orang yang “berlatih” (untuk mencapai pembebasan), Sang Buddha mengajarkan agar di dalam mencerap berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam, dari saat ke saat, jangan sampai muncul pembentukan konsep, dalam bentuk objek yang tercerap itu, dan dalam bentuk aku yang kemudian ingin memiliki & bersenang hati dengan objek itu.
Akhirnya Sang Buddha menyatakan, bahwa dalam batin orang yang telah bebas, tidak ada lagi rangkaian pembentukan konsep seperti itu, seperti yang selalu terjadi pada orang biasa (puthujjana). Dengan kata lain, orang yang telah bebas tidak lagi berpikir sebagaimana orang biasa berpikir.
Secara singkat, yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta itu adalah meditasi vipassana dalam bentuk yang paling murni.
Dengan demikian jelaslah bahwa Vitakkasanthana-sutta tidak bisa
dipertentangkan dengan Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta.
CATATAN:
Saya pribadi, ketika membaca Vitakkasanthana-sutta, tidak mendapat kesan apa-apa; tidak ada hal yang bersifat radikal atau unik dalam sutta itu yang patut keluar dari ucapan seorang Buddha. Seorang awam bisa saja berkhotbah seperti itu, tidak perlu seorang arahat, apalagi seorang Buddha.
Kemudian, paragraf terakhir dari sutta itu terasa “dipaksakan” atau
“ditempelkan” begitu saja pada kelima paragraf di atasnya: setelah orang mengatasi pikiran buruk dengan menggunakan kelima cara itu, lalu tiba-tiba sutta itu bicara tentang orang yang sudah menjadi arahat, sehingga terkesan seolah-olah kelima cara itu saja cukup untuk membebaskan batin seseorang.
Berdasarkan kedua fakta di atas, saya bertanya-tanya, benarkah
Vitakkasanthana-sutta itu berasal dari Sang Buddha? Bagaimana mungkin
mengatasi pikiran buruk lalu langsung menjadi arahat?
Salam,
Hudoyo
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
Sangat dipahami, bro...... namun "maññati" yang dimaksud oleh PH adalah berhentinya "maññati" sehingga proses kesadaran hanya ada pada #1 yaitu abhijaanaati saja
ini bisa dilihat dari :
Quote
HUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."
Sedangkan jika kita lihat, "maññati" justru hanyalah salah satu dari 6 kondisi yaitu :
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m na ma~n~nati -- he does not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa na ma~n~nati -- he does not conceive in earth;
(iv) pa.thavito na ma~n~nati -- he does not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti na ma~n~nati -- he does not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m naabhinandati -- he does not delight in earth.
Jadi maññati di PH diartikan hanya ada kesadaran #1 saja, kesadaran yang 5 lainnya sudah tidak berlangsung lagi -> Kembali kita bisa lihat sendiri pernyataan PH
Quote
kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja
Disini jelas berbeda dengan apa yg dikatakan oleh bro Kai
(Quote proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti)
Jika hanya melihat "maññati", yg jelas menjadi permasalahan adalah mengenai PERSEPSI bhw seolah PERSEPSI itu yg harus dihentikan dimana diatas PH menyebutkan
Quote
dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep
Padahal jika kita lihat, pengertian dasar dari PERSEPSI atau SANNA adalah salah satu dari 7 sabbacittsadharana, yaitu cetasika yang ada dalam SEMUA CITTA jadi persepsi itu tetap akan ada, tetap terbentuk selama citta vitthi terus berlangsung
Hanya saja, karena pada arahat sudah ada Panna sehingga bisa melihat kenyataan sebagaimana apa adanya
Ini bisa kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,422.0.html
3. Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.
Nah seharusnya yang berhenti adalah "kemelekatannya" pada persepsi itu, bukannya persepsinya yg dihentikan. Persepsi itu hanyalah pengenalan suatu obyek saja yg terdiri dari berbagai kombinasi persepsi titik, garis, warna, dsbnya
Demikian yang bisa saya dapat dari membaca keenam pernyataan itu secara keseluruhan, bukan hanya membaca dari maññati saja
(On 8/7/09, Hudoyo <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:
sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'! )
ini menarik.Kelihatannya bro Kai kembali rancu antara "konsep" dan kenyataan yg sesungguhnya
yg dirujuk dengan kusala dan akusala, adalah sebagai konsep utk merujuk ke kenyataan yg sesungguhnya
Tapi pernyataan yg anda sebut dengan "tidak memunculkan bentuk pikiran baru" sesungguhnya menjadi keliru karena saat mengamati saja, itu sudah memunculkan bentuk pikiran baru....
semoga perbedaan tipis ini bisa dimengerti karena yg saya lihat dari cuplikan itu adalah benar yaitu "mengetahui hakekat yg sesungguhnya"
Tapi inipun sesunggunya adalah bentuk pikiran yg baru
Boleh diberikan referensinya?
Lalu bagaimana pembahasan sebelumnya tentang usaha? Di manakah usahanya?
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)
Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan
namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek
Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika
bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60
pernah suatu kali saya bermeditasi, dimana semakin keras usaha sy mempertahankan pikiran, malah makin kacau...[karena usaha mempertahankan pikiran ini sudah termasuk OBJEK]
jadi semakin mau ke objek nafas, semakin jauh juga dari objek nafas...---> nah ini usaha yg tidak/belum benar
|
|---Moment ini dari atas ke bawah adalah juga usaha dari yg tidak/belum benar menuju usaha benar karena panna mulai bekerja.
|
V
lebih baik semua itu di lepas....tidak perlu diusahakan berlebihan....nafas-nafas........jadi gampang konsentrasi nya..^^
tetap ada usaha kalau pikiran ini lari, akan tetapi tidak perlu sampai BERLEBIHAN, perlakukan dengan lembut dan tenang, pikiran butuh kelembutan.....---> sudah tepat/usahanya sudah benar , sudah balance
On 8/13/09, willibordus <williamhalim [at] xl.blackberry.com> wrote:
Sedemikian banyak sutta dalam Tipitaka, yg telah dipraktikkan dan terbukti bertahan hingga ribuan tahun... yg isinya sedemikian jelas dan terang benderang...
kenapa ketika muncul satu kalimat yg isinya mengawang-awang, langsung disamber dan diposting ke berbagai milis? Seakan2 bangga bener dgn kalimat tsb? Tipitaka sering dikoar2 "Bukan dari Mulut Sang Buddha langsung"... tapi kalimat "Bertemu Buddha Bunuh Buddha" yg jelas2 bukan berasal dari mulut SB kok digenggam erat2 dan diproklamirkan kemana2?
Heran sungguh heran
Terbukti memang, Pikiran sungguh lincah...
Kenyataan yg dilematis.... Mengajarkan Pikiran untuk Diam, ternyata malah bergerak semakin lincah.... Teori yg salah ataukah Praktik yg salah?
Intinya, sesuatu yg instan, tidak akan efektif, adalah mimpi2 yg memabukkan... -setidaknya bagi kita2 yg mengaku dengan jujur ke putthujanaan kita- ... latihan, disiplin, pembelajaran, perenungan, usaha yg konsisten, kesemuanya ini akan membantu mengkondisikan kita menyusuri Sang Jalan.....
Saya setuju dgn pemikiran Bro Wirajhana:
> Ngga bisa membunuh Buddha dengan sendirinya, butuh latihan panjang dan > usaha yang keras dan tekun..bahkan seumur hiduppun belum tentu bisa > [bahkan tidak bisa seumur hidup pun masih terhitung normal..ini
> tergantung bahan yang sekarang anda punya].. > > tapi hasil latihan itu akan berguna di kehidupan berikutnya terutama > jika meneruskan latihan ini[repotnya dikehidupan depan belum tentu > mempunyai pengetahuan yang sama dengan saat ini sehingga bisa bertekad
> kerja keras mencapai kondisi itu, namun buat saya apabila itu dapat
> dicapai dikehidupan berikutnya..maka saya sudah merasa super beruntung]
Semoga kita semua dapat jujur terhadap diri sendiri dan menentukan latihan yg tepat bagi kita untuk dapat mengikis dukkha dan merealisasi Pencerahan...
Willi
heheheh... kelihatan banget dari hasil yang sudah2 pencipta MMD malah makin gahaaarrrr... LDM sedikit pun gak berkurang tuch... kita kan lihat hasil klo hasilnya gak jelas atau malah makin parah ya mending yang uda jelas donk...
[at] Markosprawira: anumodana untuk segala postingan anda. Itu Hudoyo dari dulu ampe sekarang ribuuuutt aja, kapan meditasinya ya? Kalau kita mengikuti Tipitaka hasilnya jelas! Kalau kita mengikuti MMD?? Hasilnya yaa paling banter seperti Hudoyo lah, ngomongnya muter-muter doang...!
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
Nanti kalau ditunjukan orang yg sudah melihat ASAVA, akan ada alasan apa lagi
ya....?
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, "Hudoyo Hupudio" <hudoyo [at] ...> wrote:
>
> Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
>
> [...]
> FABIAN:
> >Dan seterusnya ajaran Sang Buddha juga mengatakan bahwa penyebab dari semua
kekacauan ini adalah asava
> -----------------------------------
> HUDOYO:
> Ah, Anda cuma BERTEORI! Dalam praktik vipassana Anda, APAKAH ANDA PERNAH
MELIHAT ASAVA? Tidak seorang pun pernah melihat 'asava' (arus kotoran batin)
dalam meditasi vipassana. Yang sesungguhnya dilihat seorang pemeditasi vipassana
adalah DAMPAK dari 'asava', yakni: keinginan, nafsu, kesenangan, kenikmatan &
penderitaan.
>
[...]
Perkedel : Nanti kalau ditunjukan orang yg sudah melihat ASAVA, akan ada alasan apa lagi
ya....?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, "perkedel8888" <perkedel8888 [at] ...> wrote:
>
> Nanti kalau ditunjukan orang yg sudah melihat ASAVA, akan ada alasan apa lagi
ya…?
>
Hudoyo says:
Cob a tunjukkan, siapa orangnya. Nanti akan saya tunjukkan bahwa yang dilihatnya
bukan asava.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
Pak Hudoyo yang baik,
Benarkah demikian Pak Hud, apakah Anda benar-benar ingin menemuinya dan
membuktikannya tulus demi kebenaran Dhamma? lalu didiskusikan dengan yg
bersangkutan agar informasinya objektif daripada saya..dan kita cukup sebagai
pendengar....
Kalau boleh tau bagaimana cara Anda menunujukkannya , apakah melalui milis dan
forum? kalau melalui milis dan forum, jelas saya tolak, karena tidak merujuk
pada praktek dan saya tidak mau menggunakan pemikiran saya mengenai pengalaman
orang itu langsung.
Yang pasti ia seorang Bhikkhu jadi sangat tidak mungkin ia ikut milis seperti
Bapak.
Ajakan saya ini bukan suatu kewajiban dan bukan untuk konsumsi perdebatan
seperti dimilis tetapi pembuktian nyata, karena yang saya liat Anda sebagai
praktisi merasa yakin dengan apa yg dialami. Memang kita2 masih kurang
pengalaman. Oleh karena itu saya rujuk pada yg berpengalaman juga. Kalau Anda
setuju maka saya akan persiapkan pertemuan itu.Kalau tidak ya tidak mengapa
juga...he.he
Mettacittena
Perkedel
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
Willibordus says :
wah deg-deg-an menunggu jawaban...
Gunadipos says:
Dug....dug......dug.....dug.....dug.......dug......
Benar Bro, aku juga lagi nunggu nich....
Jantung terasa berdetak lebih kuencang.....hehehhe...
HUDOYO SAYS :
Kalau mau, ajak beliau datang ke rumah saya.
----------------------------------------------------------------
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, "perkedel8888" <perkedel8888 [at] ...> wrote:
>
> Pak Hudoyo yg baik,
>
> Yg saya tanya apakah Anda benar-benar ingin menemuinya untuk membuktikan asava
memang bisa dilihat? Bukan bhikkhu itu yg menemui bapak....Karena pembuktian ini
bukan sekedar bicara atau berargumen...Bagi Bhikkhu ini, dia tidak perlu lagi
mencari jawaban, ataupun mempertahankan pendapat. Dan Anda yg sesumbar
mengatakan itu bahwa asava tidak bisa dilihat dan menantang untuk ditunjukkan
orangnya, nah sekarang Saya mau tunjukan dengan mempertemukan kepada dia, bukan
sebaliknya.....saya menunjukan ke dia tentang Pak Hud. Saya cuma mau kasi tau
Bhikkhu ini adalah bhikkhu dhutangga dan jarang orang mengenalnya. Dan adalah
hal yg kurang lazim dan tidak hormat dan saya sendiri sungkan hanya gara2 anda
menantang lalu datang meminta dia kerumah bapak. Kalau Bapak mau berendah hati
silakan. kalau tidak ya tidak apa-apa seperti yg saya katakan sebelumnya, no
obligation. Saya jamin jika anda ingin maka pembuktiannya tertutup dan beberapa
saksi saja, boleh dari pihak MMD dan juga dari pihak yg kontra...Itu saja yg
saya sampaikan...Pembuktian ini adalah bukan sekedar perdebatan. Seperti
perkataan Sang Buddha yaitu EHIPASIKO, datang, lihat dan buktikan. Ini saja yg
bisa saya sampaikan.
>
> sekaligus menjawab saudara suchamda, saya rasa tidak perlu bertemu Pak Hud
sebelum ada komitmen beliau. Kalau Pak Hud bersedia, saya juga pasti mengundang
Anda. Jadi tenang saja.
>
> Salam sejahtera bagi Anda semua.
Hudoyo says:
Mas Perkedel, Anda ini kok membolak-balik permasalahan. ... Yang mulai
menawarkan kan Anda dulu: "Nanti kalau ditunjukan orang yg sudah melihat ASAVA,
akan ada alasan apa lagi ya....?"
Saya sendiri tidak butuh ketemu Bhikkhu Anda itu, kok.
Salam,
Hudoyo
Mas Perkedel, Anda ini kok membolak-balik permasalahan. ... Yang mulai
menawarkan kan Anda dulu: "Nanti kalau ditunjukan orang yg sudah melihat ASAVA,
akan ada alasan apa lagi ya....?"
Saya sendiri tidak butuh ketemu Bhikkhu Anda itu, kok.
Salam,
Hudoyo
Perkedel says:
Perkedel says : Nanti kalau ditunjukan orang yg sudah melihat ASAVA, akan ada
alasan apa lagi ya
Hudoyo says : "Coba tunjukkan, siapa orangnya. Nanti akan saya tunjukkan
bahwa yang dilihatnya bukan asava.
Baca pernyataan saya baik2 diatas artinya alasan apa lagi yg akan muncul JIKA
memang telah ditunjukan orangnya. Ini artinya saya hanya sekedar mengomentari.
Beda kalau pertanyaan saya " Bapak mau saya tunjukan orang yg sudah melihat
asava?" nah kalau saya bertanya begini maka baru artinya saya menawarkan.
Silakan pemirsa melihat jawaban Pak Hudoyo. Baiklah pak Hud saya pun tidak akan
berpolemik ttg masalah ini dengan Anda, yg pasti sudah jelas bahwa ASAVA bisa
dilihat, kalau Anda mengatakan tidak bisa, tidak masalah. Saya hanya ingin
menegaskan ada suatu perbandingan Nyata dalam Praktek MMD dan praktek meditasi
Vipasanna sesungguhnya. Anda baru taraf merasakan. Tetapi ada yg melihatnya
lebih dari sekedar merasakan asava. Jadi bagi saya adalah wajar jika bapak
mengatakan demikian.
Ok lah kalau Anda tidak butuh..he..he. Jadi saya tidak repot2 lagi.
Biar pemirsa yg menilai. Seorang ilmuwan Dhamma sepatutnya menyelesaikan dilema
sampai tuntas kalau perlu sampai ke nara sumbernya lsg. Memang berbeda orang2
jaman Sang Buddha dan jaman sekarang dalam mengklarifikasi kebenaran Dhamma.
Saya rasa cukup disini saja. diskusi kita. Smoga bapak berbahagia selalu.
-----------------------------------------------------------------
Charles ben:
Anumodana....Bro perkedel8888...
Salam Metta,
Charles Ben...
wah, informasi di sini kurang jujur dan gak seimbang. jawabannya disembunyiin. sampe ad hominem dibawa2.
supaya seimbang, saya copy paste juga ah.
---
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, MARKOSPRAWIRA <markosprawira [at] ...> wrote:
>
> Saya tidak menghilangkan apapun dari mularipayaya, silahkan lihat kembali
> pernyataan saya dibawah :
>
> Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal
> (eternalis) -> #2,
======================================
HUDOYO:
Haha ... Anda semakin amburadul!
Dalam Mulapariyaya-sutta, langkah #2 tidak bicara tentang 'eternalisme'.
Yang tertulis sebagai langkah #2 dalam Mulapariyaya-sutta adalah:
#2 "Pa.thavi.m na ma~n~nati" - IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN TANAH.
(Tidak ada masalah 'eternalisme' di sini.)
***
MARKOSPRAWIRA:
> pun sebaliknya jangan berkonsep tidak ada tanah (nihilisme) -> #3
======================================
HUDOYO:
Hehe ... semakin melenceng Anda!
Dalam Mulapariyaya-sutta, langkah #3 tidak bicara tentang 'nihilisme'.
Yang tertuilis sebagai langkah #3 dalam Mulapariyaya-sutta adalah:
#3 "Pa.thaviyaa na ma~n~nati" - IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN [DIRINYA] DI DALAM TANAH.
***
MARKOSPRAWIRA:
> kalau anda mau, saya akan quote yg lengkapnya yaitu :
>
> (3)- berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> (4)- berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
> (5)- berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
> (6)- tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
====================================
HUDOYO:
Tetap saja, langkah #2 tidak Anda masukkan!
MARKOSPRAWIRA:
> Disitu jelas bhw saya salah mengetik angka semata dimana seharusnya
> (2) berhenti mengkonsepsikan tanah sebagai tanah
====================================
HUDOYO:
Lho, di atas Anda bicara tentang ETERNALISME:
"Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal
> (eternalis) -> #2,"
Sekarang, Anda mengutip begitu saja langkah #2 dari Mulapariyaya-sutta (entah Anda mengerti atau tidak mengerti maksudnya). Dengan membawa-bawa ETERNALISME dan NIHILISME ke dalam sutta ini, tampak jelas bahwa Anda bukan "salah mengetik angka semata", melainkan ANDA TIDAK MEMAHAMI SAMA SEKALI MAKNA MULAPARIYAYA-SUTTA.
Anda bukan saja tidak memahami makna Mulapariyaya-sutta, tetapi dalam satu posting saja Anda telah mencla-mencle (di atas berkata 'A' di bawah berkata 'B') dan berkeras tidak mengakui ke-MOHA-an Anda!
***
MARKOSPRAWIRA:
>
> sehingga menjadi
> 2. Pathavim Abhinnaya
> berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> 3. Pathavim Na Mannati
> berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
> 4. Pathavim Na Meti Mannati
> berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
> 5. Pathavim Na Abhinandati
> tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
>
================================
HUDOYO:
Inilah PUNCAK KEAMBURADULAN pemahaman Anda terhadap Mulapariyaya-sutta!
Urutan nomor langkahnya saja sudah salah-salah, apalagi isinya.
Berikut ini adalah kutipan & terjemahan yang betul dari Mulapariyaya-sutta.
(1) "Pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati." ("Ia melihat langsung tanah sebagai tanah.")
(2) "(Pa.thavi.m pa.thavito abhi~n~naaya), pa.thavi.m na ma~n~nati." ("(Setelah melihat langsung tanah sebagai tanah), ia tidak mengkonsepsikan tanah.")
(3) "Pa.thaviya na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan dirinya di dalam tanah.")
(4) "Pa.thavito na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan dirinya terpisah dari tanah.")
(5) "Pa.thavi.m me' ti na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan, 'Tanah untukku'.")
(6) "Pa.thavi.m naabhinandati." ("Ia tidak bersenang hati dengan tanah.")
(terjemahan: Bhikkhu Bodhi)
Jadi, dalam "versi" Mulapariyaya-sutta Anda, langkah #2 itu tetap salah! Seharusnya: "Pa.thavi.m na ma~n~nati" - "IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN TANAH." (Di sini tidak ada kaitan sama sekali dengan 'eternalisme' atau 'nihilisme' seperti Anda pahami secara salah!)
MARKOSPRAWIRA:
> Saya tidak menutupi apapun, jadi tolonglah dibaca dulu postingan orang lain
> dengan seksama sebelum menuduh macam2
===============================
HUDOYO;
Anda mungkin tidak menutupi apa pun; Anda hanya tidak mengerti apa yang Anda tulis. :D
*****
MARKOSPRAWIRA:
>
> Sebaliknya anda yg dengan jelas menghilangkan bagian dimana *anda
> menyebutkan CITTA = BATIN.... padahal BATIN = NAMA, sedangkan Citta adalah
> bagian dari NAMA*
==============================
HUDOYO:
Oh, sampai sekarang saya tetap berpegang 'citta' = 'batin'. :) :)
Anda, sebagai "pakar" Abhidhamma, tentu mengikuti pengertian 'citta' sebagai 'bagian dari NAMA' --yang terdiri dari 'citta', 'cetasika' & 'nibbana', kalau tidak salah. Saya sudah lama meninggalkan ajaran Abhidhamma (yang dulu pernah saya hafalkan), karena saya anggap bukan berasal dari Sang Buddha.
Di sini saya menggunakan pengertian 'citta' dari Sutta Pitaka, yang mempunyai pengertian jauh lebih luas daripada 'citta' yang ada di Abhidhamma. Di dalam Sutta Pitaka, 'citta' dimaknai tumpang tindih (overlapping) dengan 'nama', yang berarti 'keadaan batin' secara keseluruhan.
Di dalam Sutta Pitaka, 'citta', 'mano' & 'vinnana' sering digunakan secara tumpang tindih. 'Citta' mengacu pada 'mindset' atau 'keadaan batin' seseorang. 'Citta' digunakan untuk mengacu pada kualitas batin secara keseluruhan. 'Citta' bukanlah suatu entitas atau suatu proses; mungkin itulah alasan mengapa 'citta' bukan termasuk salah satu 'khandha', dan tidak termasuk rumusan paticca-samuppada.
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.
Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.
'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).
Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.
Mencapai 'citta' yang murni sama artinya dengan mencapai pencerahan yang membebaskan. Ini menunjukkan bahwa keadaan batin orang yang bebas tidak memantulkan kegelapan atau kekotoran. Oleh karena hal-hal itu mewakili keterbelengguan, ketiadaannya digambarkan sebagai kebebasan.
[Diringkas dari: Wikipedia]
Dari uraian panjang lebar tentang pemakaian kata 'citta' di dalam Sutta Pitaka ini, tidak salahlah kalau saya menerjemahkan 'citta' dengan 'batin'. Pengertian ini jauh lebih luas daripada pengertian 'citta' di dalam Abhidhamma.
Para bhikkhu hutan di Thailand Utara, mereka sering menggunakan kata 'citta' untuk mengacu pada 'batin' secara keseluruhan (bukan 'citta' dari Abhidhamma, yang bersifat sangat teknis, berbeda dengan cetasika, dengan nibbana dsb). Ini dapat dilihat dalam khotbah-khotbah Ajahn Mahabuwa, Ajahn Man dsb. Sering kali mereka menggambarkan 'citta' yang "murni", "cemerlang" dan "abadi", sehingga Ajahn Mahabuwa, misalnya, sering dikritik mengajarkan 'eternalisme'. Padahal yang beliau ajarkan adalah pengalaman meditasi, yang sudah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam Udana 8.3.
Demikianlah Sdr Markosprawira, silakan saja kalau Anda mau membatasi pemahaman Anda tentang citta pada pengertian dalam Abhidhamma, tapi sadarilah bahwa 'citta' mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dalam Sutta Pitaka!
*****
MARKOSPRAWIRA:
>
> Apalagi dengan pernyataan anda : *Yang penting JANGAN BERBUAT KARMA BARU
> --entah karma baik entah karma buruk-- SEKARANG.*
> yang notabene justru sangat berlawanan sekali dengan *Ovada PAtimokkha dan
> Mapadana Sutta*, yang notabene merupakan *inti ajaran SEMUA Buddha*,
> dari *Buddha
> Vipasi sampai Buddha Gautama*
===============================
HUDOYO:
Di sini terlihat bahwa Anda mempertentangkan DUA KONTEKS dari ajaran Sang Buddha.
Ovada-patimokkha .("Jangan berbuat kejahatan: Perbanyak kebaikan: Sucikan hati & pikiran") adalah ajaran di LEVEL PIKIRAN, di mana terdapat DUALITAS (baik/buruk, boleh/tidak boleh dsb), dan tersirat adanya DIRI, yang harus membuat pilihan moralistik di dalam meniti hidupnya, yang hasilnya akan diterimanya sesuai dengan HUKUM KARMA.
Di lain pihak, ajaran VIPASSANA, sebagaimana terkandung dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta, MENGATASI LEVEL PIKIRAN, sehingga dengan demikian MENGATASI DUALITAS baik/buruk, kusala/akusala, dab, dan MENGATASI DIRI & MENGATASI HUKUM KARMA. Ini jelas dengan ajaran Sang Buddha "Ketika mencerap apa saja 'yang dikenal' (vinnatam), jangan sampai muncul konsepsi tentang 'yang dikenal', jangan sampai timbul aku, yang ingin memiliki 'yang dikenal' & bersenang hati dengan 'yang dikenal'. " (Mulapariyaya-sutta) "Kalau kamu bisa berada di situ, maka KAMU TIDAK ADA LAGI. Itulah, hanya itulah, akhir dukkha (nibbana)." (Bahiya-sutta)
:"Kesenangan adalah akar dari penderitaan." ("Nandi dukkhassa muulan'ti") [Buddha Gotama dalam Mulapariyaya-sutta]
Kebenaran vipassana ini tidak mungkin dipahami oleh Markosprawira kalau ia bukan pemeditasi vipassana!
*****
MARKOSPRAWIRA:
>
> Dengan 2 kekeliruan fatal diatas, saya tidak akan melanjutkan diskusi dengan
> anda
================================
HUDOYO:
Kekeliruan fatal? ... Fatal buat siapa? ... Buat Anda, kali. :D
Demikianlah sdr Markosprawira, semoga posting ini menyadarkan Anda akan adanya Dhamma yang jauh lebih luas daripada yang Anda pelajari dalam lingkungan tembok sempit Abhidhamma Pitaka.
Salam,
Hudoyo
On 8/12/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:
Pak Hud ini sungguh lucu.... Sekarang anda menyebut diri berpegang pada Sutta Pitaka.... semakin lucu saja karena bukankah seharusnya anda "tidak ada konsep"?
Apalagi dengan menyebut kehendak yg berbeda pada vinnana dan citta padahal sesungguhnya 2 hal itu sudah jelas merupakan hal yg sama secara Khandha
Anda tanya ke anak sekolahan saja, mereka sudah tahu bhw vinnana khandha yg notabene merupakan citta, itu adalah bagian dari Nama atau batin, bukan bagian yg terpisah
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pernyataan diatas sudah jelas merujuk pada Kicca Citta atau Fungsi Citta yg berjumlah 14, tapi bukan berarti ada citta yang berbeda, hanya FUNGSInya saja
Wajar kesalah pahaman anda muncul seperti merujuk Vitakka sebagai salah satu jenis pikiran yg notabene merupakan cetasika atau faktor pembentuk batin
Dan wajar juga anda menolak Abhidhamma, karena ternyata apa yg menjadi konsep anda, yg dirujuk dari Jiddu runtuh saat dipadukan dengan teori abhidhamma
Bahkan dengan sutta saja seperti Ovada Patimokha dan Mahapadana Sutta, yg berisikan INTI ajaran Buddha, menurut anda mempunyai konteks yang berbeda dengan vipassana (versi anda tentunya)
Padahal hasil dari sucikan batin tentunya adalah batin yg suci, yaitu para ariya puggala, TIDAK ADA PERTENTANGAN satu dengan lainnya
Hal ini bisa kita lihat dari berbagai sayadaw, ahli meditasi yang berdasar pengalaman mereka, justru semakin menguatkan kesesuaian antara berbagai pitaka dalam Tipitaka, bukannya justru menolaknya
Silahkan Anda menyebut saya Moha, yg mana saya akui bhw saya masih banyak moha, namun untuk pernyataan diatas, sangat jelas menunjukkan apa yg anda sebut Krishnamurti - Vipassana anda tidak selaras dengan Tipitaka secara keseluruhan
Bahkan merujuk pada wikipedia padahal pengertian citta sudah jelas jika kita kembali pada Tipitaka secara keseluruhan, bukan cuma mengambil sebagian sutta saja
Kalau pengertian anda mengenai Pikiran itu saja campur aduk dari berbagai sumber, sangat wajar jika anda banyak mempertanyakan sutta
Yang lebih aneh lagi, anda tidak mempertanyakan Wikipedia dan sebaliknya malahan mempertanyakan sutta dan abhidhamma?
Sungguh aneh
End of discussion
berulang kali di sini dibicarakan mengenai perilaku, sikap ataupun perbuatan (dalam hal ini tulisan).
sadarkah kita bahwa kita gak akan bisa mengetahui isi hati sesungguhnya hanya dengan membaca tulisan?
kalo sekadar menilai perbuatan / kata dari satu dimensi saja, seorang dokter bedah yg membelah perut terlihat sama dengan seorang pembunuh serial yg juga membelah perut. bisakah kita menilai niat seseorang dari satu dimensi perbuatan saja? bisakah menilai ego seseorang dengan melihat perbuatan saja?
sebuah fakta bahwa di forum ini ada impresi yg berbeda terhadap tulisan yg sama.
sadarkah kita kenapa sebuah tulisan bisa memberikan impresi yg berbeda pada pembaca2nya?
ada pembaca yg merasa biasa2 aja, ada yg merasa ini tingkah laku edan dan ada yg mendapat manfaat...
pernahkah terpikir, mungkin bukan tulisannya, melainkan kondisi batin pembacanya...
bicara masalah ribut. apa itu yg sedang ribut?
tulisannya yg ribut, penulisnya ribut ataukah batin pembacanya yg ribut?
Kalau pengertian anda mengenai Pikiran itu saja campur aduk dari berbagai sumber, sangat wajar jika anda banyak mempertanyakan suttakarena wiki lebih hebat dari tipitaka kakakakakakak =)) =)) =))
Yang lebih aneh lagi, anda tidak mempertanyakan Wikipedia dan sebaliknya malahan mempertanyakan sutta dan abhidhamma?
Sungguh aneh
sebenarnya karena ada AKU/PIKIRAN yang tidak berhenti =)) =)) =))berulang kali di sini dibicarakan mengenai perilaku, sikap ataupun perbuatan (dalam hal ini tulisan).
sadarkah kita bahwa kita gak akan bisa mengetahui isi hati sesungguhnya hanya dengan membaca tulisan?
kalo sekadar menilai perbuatan / kata dari satu dimensi saja, seorang dokter bedah yg membelah perut terlihat sama dengan seorang pembunuh serial yg juga membelah perut. bisakah kita menilai niat seseorang dari satu dimensi perbuatan saja? bisakah menilai ego seseorang dengan melihat perbuatan saja?
sebuah fakta bahwa di forum ini ada impresi yg berbeda terhadap tulisan yg sama.
sadarkah kita kenapa sebuah tulisan bisa memberikan impresi yg berbeda pada pembaca2nya?
ada pembaca yg merasa biasa2 aja, ada yg merasa ini tingkah laku edan dan ada yg mendapat manfaat...
pernahkah terpikir, mungkin bukan tulisannya, melainkan kondisi batin pembacanya...
bicara masalah ribut. apa itu yg sedang ribut?
tulisannya yg ribut, penulisnya ribut ataukah batin pembacanya yg ribut?
Lalu?
jadi kalau meditator boleh memaki2, boleh bilang ini dhamma tapi itu bukan dhamma?
Tapi kalau member disini, menyindir aja udah dikomentarin macem2?
bahkan sampai ad hominem segala? tapi kalau si meditator yg memaki MOHA, itu menjadi benar?
Terus kalo si meditator meng-cut sesuai kemauan, itu oke aja
tapi kalau member yg mengcut, dibilang informasi disini kurang jujur?
Pls liat juga lah, kalau identitas disindir aja, beliau langsung bilang mendiskreditkan
tapi jadi sah2 aja kalau itu dilakukan beliau
please be fair lah bro........
QuoteKalau pengertian anda mengenai Pikiran itu saja campur aduk dari berbagai sumber, sangat wajar jika anda banyak mempertanyakan suttakarena wiki lebih hebat dari tipitaka kakakakakakak =)) =)) =))
Yang lebih aneh lagi, anda tidak mempertanyakan Wikipedia dan sebaliknya malahan mempertanyakan sutta dan abhidhamma?
Sungguh aneh
HUDOYO:
Sekali lagi, yang merasa bisa melihat ASAVA hanyalah melihat bentukan
pikirannya sendiri.
***
perkedel says:
> Ok lah kalau Anda tidak butuh..he..he. Jadi saya tidak repot2 lagi.
> Biar pemirsa yg menilai. Seorang ilmuwan Dhamma sepatutnya
menyelesaikan dilema sampai tuntas kalau perlu sampai ke nara sumbernya lsg.
Memang berbeda orang2 jaman Sang Buddha dan jaman sekarang dalam mengklarifikasi
kebenaran Dhamma.
================================
HUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
Sang Buddha mewariskan kepada kita Kalama-sutta.
http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/74262
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!mana mau, AKU nya masih ada lho ;D
Pak Hudoyo yang baik,
Benarkah demikian Pak Hud, apakah Anda benar-benar ingin menemuinya dan
membuktikannya tulus demi kebenaran Dhamma? lalu didiskusikan dengan yg
bersangkutan agar informasinya objektif daripada saya..dan kita cukup sebagai
pendengar....
Kalau boleh tau bagaimana cara Anda menunujukkannya , apakah melalui milis dan
forum? kalau melalui milis dan forum, jelas saya tolak, karena tidak merujuk
pada praktek dan saya tidak mau menggunakan pemikiran saya mengenai pengalaman
orang itu langsung.
Yang pasti ia seorang Bhikkhu jadi sangat tidak mungkin ia ikut milis seperti
Bapak.
Ajakan saya ini bukan suatu kewajiban dan bukan untuk konsumsi perdebatan
seperti dimilis tetapi pembuktian nyata, karena yang saya liat Anda sebagai
praktisi merasa yakin dengan apa yg dialami. Memang kita2 masih kurang
pengalaman. Oleh karena itu saya rujuk pada yg berpengalaman juga. Kalau Anda
setuju maka saya akan persiapkan pertemuan itu.Kalau tidak ya tidak mengapa
juga...he.he
Mettacittena
Perkedel
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
Willibordus says :
wah deg-deg-an menunggu jawaban...
Gunadipos says:
Dug....dug......dug.....dug.....dug.......dug......
Benar Bro, aku juga lagi nunggu nich....
Jantung terasa berdetak lebih kuencang.....hehehhe...
HUDOYO SAYS :
Kalau mau, ajak beliau datang ke rumah saya.
=========================================================================================
Kalau saya menjadi Hudoyo, tentunya saya sebagai umat yang akan menemui anggota Sangha. Bukannya malah meminta anggota sangha untuk menemui saya........Hmmm dunia memang sudah jungkir balik! Eh dia umat Buddha gak sih?
Saya jadi teringat masa kanak-kanak, setiap kali ribut ama teman, saya akan selalu bilang: "Hey kamu, kalau berani kesini!"....lalu teman saya juga bilang:"Kamu kalau emang berani kesini!"........Dasar dunia kanak-kanak. Hanya darrr...derrrr...dorrr saja, tapi gak ada 'realisasi'nya....Jaman emang udah berubah. Kakek-kakek pun menjadi seperti kanak-kanak. =)) =)) =))
Anumodana utk rekan Bond atas posting lamjutannya.
Ini udah komentar terakhir loh........cukup fair utk bro morpheus? :Dsaya gak liat yg ini, kalo gak pasti dimasukin. saya kira anda gak ngelanjutin beneran.
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
Pak Hudoyo yang baik,
Benarkah demikian Pak Hud, apakah Anda benar-benar ingin menemuinya dan
membuktikannya tulus demi kebenaran Dhamma? lalu didiskusikan dengan yg
bersangkutan agar informasinya objektif daripada saya..dan kita cukup sebagai
pendengar....
Kalau boleh tau bagaimana cara Anda menunujukkannya , apakah melalui milis dan
forum? kalau melalui milis dan forum, jelas saya tolak, karena tidak merujuk
pada praktek dan saya tidak mau menggunakan pemikiran saya mengenai pengalaman
orang itu langsung.
Yang pasti ia seorang Bhikkhu jadi sangat tidak mungkin ia ikut milis seperti
Bapak.
Ajakan saya ini bukan suatu kewajiban dan bukan untuk konsumsi perdebatan
seperti dimilis tetapi pembuktian nyata, karena yang saya liat Anda sebagai
praktisi merasa yakin dengan apa yg dialami. Memang kita2 masih kurang
pengalaman. Oleh karena itu saya rujuk pada yg berpengalaman juga. Kalau Anda
setuju maka saya akan persiapkan pertemuan itu.Kalau tidak ya tidak mengapa
juga...he.he
Mettacittena
Perkedel
Re: Untuk Fabian - Anda cuma berteori melulu!
Willibordus says :
wah deg-deg-an menunggu jawaban...
Gunadipos says:
Dug....dug......dug.....dug.....dug.......dug......
Benar Bro, aku juga lagi nunggu nich....
Jantung terasa berdetak lebih kuencang.....hehehhe...
HUDOYO SAYS :
Kalau mau, ajak beliau datang ke rumah saya.
=========================================================================================
Kalau saya menjadi Hudoyo, tentunya saya sebagai umat yang akan menemui anggota Sangha. Bukannya malah meminta anggota sangha untuk menemui saya........Hmmm dunia memang sudah jungkir balik! Eh dia umat Buddha gak sih?
Saya jadi teringat masa kanak-kanak, setiap kali ribut ama teman, saya akan selalu bilang: "Hey kamu, kalau berani kesini!"....lalu teman saya juga bilang:"Kamu kalau emang berani kesini!"........Dasar dunia kanak-kanak. Hanya darrr...derrrr...dorrr saja, tapi gak ada 'realisasi'nya....Jaman emang udah berubah. Kakek-kakek pun menjadi seperti kanak-kanak. =)) =)) =))
Anumodana utk rekan Bond atas posting lamjutannya.
HUDOYO:jangan2 yang memberi gelar Pandita adalah Seseorang yang berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya. =))
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
==========================================================================================
Hampir sulit dipercaya bahwa ucapan tsb. diatas keluar dari mulut seorang Pandita Buddhis. Inilah hasil nyata dari MMD (Mempertebal Moha dan Dosa). Eh, apakah yang memberi gelar Pandita ke dia tidak mengikuti sepak terjang Hudoyo ya?
Mohon kepada pengasuh forum DC untuk tidak menutup thread ini. Biarlah thread ini menjadi saksi sejarah buat generasi mendatang bahwa masih banyak umat-umat buddha yang berusaha menyadarkan Hudoyo. [-X [-X [-X
HUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
==========================================================================================
Hampir sulit dipercaya bahwa ucapan tsb. diatas keluar dari mulut seorang Pandita Buddhis. Inilah hasil nyata dari MMD (Mempertebal Moha dan Dosa). Eh, apakah yang memberi gelar Pandita ke dia tidak mengikuti sepak terjang Hudoyo ya?
Mohon kepada pengasuh forum DC untuk tidak menutup thread ini. Biarlah thread ini menjadi saksi sejarah buat generasi mendatang bahwa masih banyak umat-umat buddha yang berusaha menyadarkan Hudoyo. [-X [-X [-X
QuoteKalau pengertian anda mengenai Pikiran itu saja campur aduk dari berbagai sumber, sangat wajar jika anda banyak mempertanyakan suttakarena wiki lebih hebat dari tipitaka kakakakakakak =)) =)) =))
Yang lebih aneh lagi, anda tidak mempertanyakan Wikipedia dan sebaliknya malahan mempertanyakan sutta dan abhidhamma?
Sungguh aneh
:o
Tuh statement dari siapa bro ???
wah, informasi di sini kurang jujur dan gak seimbang. jawabannya disembunyiin. sampe ad hominem dibawa2.
supaya seimbang, saya copy paste juga ah.
---
--- In samaggiphala [at] yahoogroups.com, MARKOSPRAWIRA <markosprawira [at] ...> wrote:
>
> Saya tidak menghilangkan apapun dari mularipayaya, silahkan lihat kembali
> pernyataan saya dibawah :
>
> Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal
> (eternalis) -> #2,
======================================
HUDOYO:
Haha ... Anda semakin amburadul!
Dalam Mulapariyaya-sutta, langkah #2 tidak bicara tentang 'eternalisme'.
Yang tertulis sebagai langkah #2 dalam Mulapariyaya-sutta adalah:
#2 "Pa.thavi.m na ma~n~nati" - IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN TANAH.
(Tidak ada masalah 'eternalisme' di sini.)
***
MARKOSPRAWIRA:
> pun sebaliknya jangan berkonsep tidak ada tanah (nihilisme) -> #3
======================================
HUDOYO:
Hehe ... semakin melenceng Anda!
Dalam Mulapariyaya-sutta, langkah #3 tidak bicara tentang 'nihilisme'.
Yang tertuilis sebagai langkah #3 dalam Mulapariyaya-sutta adalah:
#3 "Pa.thaviyaa na ma~n~nati" - IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN [DIRINYA] DI DALAM TANAH.
***
MARKOSPRAWIRA:
> kalau anda mau, saya akan quote yg lengkapnya yaitu :
>
> (3)- berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> (4)- berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
> (5)- berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
> (6)- tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
====================================
HUDOYO:
Tetap saja, langkah #2 tidak Anda masukkan!
MARKOSPRAWIRA:
> Disitu jelas bhw saya salah mengetik angka semata dimana seharusnya
> (2) berhenti mengkonsepsikan tanah sebagai tanah
====================================
HUDOYO:
Lho, di atas Anda bicara tentang ETERNALISME:
"Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal
> (eternalis) -> #2,"
Sekarang, Anda mengutip begitu saja langkah #2 dari Mulapariyaya-sutta (entah Anda mengerti atau tidak mengerti maksudnya). Dengan membawa-bawa ETERNALISME dan NIHILISME ke dalam sutta ini, tampak jelas bahwa Anda bukan "salah mengetik angka semata", melainkan ANDA TIDAK MEMAHAMI SAMA SEKALI MAKNA MULAPARIYAYA-SUTTA.
Anda bukan saja tidak memahami makna Mulapariyaya-sutta, tetapi dalam satu posting saja Anda telah mencla-mencle (di atas berkata 'A' di bawah berkata 'B') dan berkeras tidak mengakui ke-MOHA-an Anda!
***
MARKOSPRAWIRA:
>
> sehingga menjadi
> 2. Pathavim Abhinnaya
> berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> 3. Pathavim Na Mannati
> berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
> 4. Pathavim Na Meti Mannati
> berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
> 5. Pathavim Na Abhinandati
> tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
>
================================
HUDOYO:
Inilah PUNCAK KEAMBURADULAN pemahaman Anda terhadap Mulapariyaya-sutta!
Urutan nomor langkahnya saja sudah salah-salah, apalagi isinya.
Berikut ini adalah kutipan & terjemahan yang betul dari Mulapariyaya-sutta.
(1) "Pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati." ("Ia melihat langsung tanah sebagai tanah.")
(2) "(Pa.thavi.m pa.thavito abhi~n~naaya), pa.thavi.m na ma~n~nati." ("(Setelah melihat langsung tanah sebagai tanah), ia tidak mengkonsepsikan tanah.")
(3) "Pa.thaviya na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan dirinya di dalam tanah.")
(4) "Pa.thavito na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan dirinya terpisah dari tanah.")
(5) "Pa.thavi.m me' ti na ma~n~nati." ("Ia tidak mengkonsepsikan, 'Tanah untukku'.")
(6) "Pa.thavi.m naabhinandati." ("Ia tidak bersenang hati dengan tanah.")
(terjemahan: Bhikkhu Bodhi)
Jadi, dalam "versi" Mulapariyaya-sutta Anda, langkah #2 itu tetap salah! Seharusnya: "Pa.thavi.m na ma~n~nati" - "IA TIDAK MENGKONSEPSIKAN TANAH." (Di sini tidak ada kaitan sama sekali dengan 'eternalisme' atau 'nihilisme' seperti Anda pahami secara salah!)
MARKOSPRAWIRA:
> Saya tidak menutupi apapun, jadi tolonglah dibaca dulu postingan orang lain
> dengan seksama sebelum menuduh macam2
===============================
HUDOYO;
Anda mungkin tidak menutupi apa pun; Anda hanya tidak mengerti apa yang Anda tulis. :D
*****
MARKOSPRAWIRA:
>
> Sebaliknya anda yg dengan jelas menghilangkan bagian dimana *anda
> menyebutkan CITTA = BATIN.... padahal BATIN = NAMA, sedangkan Citta adalah
> bagian dari NAMA*
==============================
HUDOYO:
Oh, sampai sekarang saya tetap berpegang 'citta' = 'batin'. :) :)
Anda, sebagai "pakar" Abhidhamma, tentu mengikuti pengertian 'citta' sebagai 'bagian dari NAMA' --yang terdiri dari 'citta', 'cetasika' & 'nibbana', kalau tidak salah. Saya sudah lama meninggalkan ajaran Abhidhamma (yang dulu pernah saya hafalkan), karena saya anggap bukan berasal dari Sang Buddha.
Di sini saya menggunakan pengertian 'citta' dari Sutta Pitaka, yang mempunyai pengertian jauh lebih luas daripada 'citta' yang ada di Abhidhamma. Di dalam Sutta Pitaka, 'citta' dimaknai tumpang tindih (overlapping) dengan 'nama', yang berarti 'keadaan batin' secara keseluruhan.
Di dalam Sutta Pitaka, 'citta', 'mano' & 'vinnana' sering digunakan secara tumpang tindih. 'Citta' mengacu pada 'mindset' atau 'keadaan batin' seseorang. 'Citta' digunakan untuk mengacu pada kualitas batin secara keseluruhan. 'Citta' bukanlah suatu entitas atau suatu proses; mungkin itulah alasan mengapa 'citta' bukan termasuk salah satu 'khandha', dan tidak termasuk rumusan paticca-samuppada.
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.
Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.
'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).
Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.
Mencapai 'citta' yang murni sama artinya dengan mencapai pencerahan yang membebaskan. Ini menunjukkan bahwa keadaan batin orang yang bebas tidak memantulkan kegelapan atau kekotoran. Oleh karena hal-hal itu mewakili keterbelengguan, ketiadaannya digambarkan sebagai kebebasan.
[Diringkas dari: Wikipedia]
Dari uraian panjang lebar tentang pemakaian kata 'citta' di dalam Sutta Pitaka ini, tidak salahlah kalau saya menerjemahkan 'citta' dengan 'batin'. Pengertian ini jauh lebih luas daripada pengertian 'citta' di dalam Abhidhamma.
Para bhikkhu hutan di Thailand Utara, mereka sering menggunakan kata 'citta' untuk mengacu pada 'batin' secara keseluruhan (bukan 'citta' dari Abhidhamma, yang bersifat sangat teknis, berbeda dengan cetasika, dengan nibbana dsb). Ini dapat dilihat dalam khotbah-khotbah Ajahn Mahabuwa, Ajahn Man dsb. Sering kali mereka menggambarkan 'citta' yang "murni", "cemerlang" dan "abadi", sehingga Ajahn Mahabuwa, misalnya, sering dikritik mengajarkan 'eternalisme'. Padahal yang beliau ajarkan adalah pengalaman meditasi, yang sudah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam Udana 8.3.
Demikianlah Sdr Markosprawira, silakan saja kalau Anda mau membatasi pemahaman Anda tentang citta pada pengertian dalam Abhidhamma, tapi sadarilah bahwa 'citta' mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dalam Sutta Pitaka!
*****
MARKOSPRAWIRA:
>
> Apalagi dengan pernyataan anda : *Yang penting JANGAN BERBUAT KARMA BARU
> --entah karma baik entah karma buruk-- SEKARANG.*
> yang notabene justru sangat berlawanan sekali dengan *Ovada PAtimokkha dan
> Mapadana Sutta*, yang notabene merupakan *inti ajaran SEMUA Buddha*,
> dari *Buddha
> Vipasi sampai Buddha Gautama*
===============================
HUDOYO:
Di sini terlihat bahwa Anda mempertentangkan DUA KONTEKS dari ajaran Sang Buddha.
Ovada-patimokkha .("Jangan berbuat kejahatan: Perbanyak kebaikan: Sucikan hati & pikiran") adalah ajaran di LEVEL PIKIRAN, di mana terdapat DUALITAS (baik/buruk, boleh/tidak boleh dsb), dan tersirat adanya DIRI, yang harus membuat pilihan moralistik di dalam meniti hidupnya, yang hasilnya akan diterimanya sesuai dengan HUKUM KARMA.
Di lain pihak, ajaran VIPASSANA, sebagaimana terkandung dalam Mulapariyaya-sutta & Bahiya-sutta, MENGATASI LEVEL PIKIRAN, sehingga dengan demikian MENGATASI DUALITAS baik/buruk, kusala/akusala, dab, dan MENGATASI DIRI & MENGATASI HUKUM KARMA. Ini jelas dengan ajaran Sang Buddha "Ketika mencerap apa saja 'yang dikenal' (vinnatam), jangan sampai muncul konsepsi tentang 'yang dikenal', jangan sampai timbul aku, yang ingin memiliki 'yang dikenal' & bersenang hati dengan 'yang dikenal'. " (Mulapariyaya-sutta) "Kalau kamu bisa berada di situ, maka KAMU TIDAK ADA LAGI. Itulah, hanya itulah, akhir dukkha (nibbana)." (Bahiya-sutta)
:"Kesenangan adalah akar dari penderitaan." ("Nandi dukkhassa muulan'ti") [Buddha Gotama dalam Mulapariyaya-sutta]
Kebenaran vipassana ini tidak mungkin dipahami oleh Markosprawira kalau ia bukan pemeditasi vipassana!
*****
MARKOSPRAWIRA:
>
> Dengan 2 kekeliruan fatal diatas, saya tidak akan melanjutkan diskusi dengan
> anda
================================
HUDOYO:
Kekeliruan fatal? ... Fatal buat siapa? ... Buat Anda, kali. :D
Demikianlah sdr Markosprawira, semoga posting ini menyadarkan Anda akan adanya Dhamma yang jauh lebih luas daripada yang Anda pelajari dalam lingkungan tembok sempit Abhidhamma Pitaka.
Salam,
Hudoyo
Ini sekalian saya lengkapi, bro.......... biar jelas juntrungannya kaya apa...... buat yg meragukan bisa lihat di tanggalnya bhw saya reply tgl 12 utk postingan PG tgl 11
Berikut email yg terakhir saya post tapi ga dimasukkan oleh bro morpheus........ :))QuoteOn 8/12/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:
Pak Hud ini sungguh lucu.... Sekarang anda menyebut diri berpegang pada Sutta Pitaka.... semakin lucu saja karena bukankah seharusnya anda "tidak ada konsep"?
Apalagi dengan menyebut kehendak yg berbeda pada vinnana dan citta padahal sesungguhnya 2 hal itu sudah jelas merupakan hal yg sama secara Khandha
Anda tanya ke anak sekolahan saja, mereka sudah tahu bhw vinnana khandha yg notabene merupakan citta, itu adalah bagian dari Nama atau batin, bukan bagian yg terpisah
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pernyataan diatas sudah jelas merujuk pada Kicca Citta atau Fungsi Citta yg berjumlah 14, tapi bukan berarti ada citta yang berbeda, hanya FUNGSInya saja
Wajar kesalah pahaman anda muncul seperti merujuk Vitakka sebagai salah satu jenis pikiran yg notabene merupakan cetasika atau faktor pembentuk batin
Dan wajar juga anda menolak Abhidhamma, karena ternyata apa yg menjadi konsep anda, yg dirujuk dari Jiddu runtuh saat dipadukan dengan teori abhidhamma
Bahkan dengan sutta saja seperti Ovada Patimokha dan Mahapadana Sutta, yg berisikan INTI ajaran Buddha, menurut anda mempunyai konteks yang berbeda dengan vipassana (versi anda tentunya)
Padahal hasil dari sucikan batin tentunya adalah batin yg suci, yaitu para ariya puggala, TIDAK ADA PERTENTANGAN satu dengan lainnya
Hal ini bisa kita lihat dari berbagai sayadaw, ahli meditasi yang berdasar pengalaman mereka, justru semakin menguatkan kesesuaian antara berbagai pitaka dalam Tipitaka, bukannya justru menolaknya
Silahkan Anda menyebut saya Moha, yg mana saya akui bhw saya masih banyak moha, namun untuk pernyataan diatas, sangat jelas menunjukkan apa yg anda sebut Krishnamurti - Vipassana anda tidak selaras dengan Tipitaka secara keseluruhan
Bahkan merujuk pada wikipedia padahal pengertian citta sudah jelas jika kita kembali pada Tipitaka secara keseluruhan, bukan cuma mengambil sebagian sutta saja
Kalau pengertian anda mengenai Pikiran itu saja campur aduk dari berbagai sumber, sangat wajar jika anda banyak mempertanyakan sutta
Yang lebih aneh lagi, anda tidak mempertanyakan Wikipedia dan sebaliknya malahan mempertanyakan sutta dan abhidhamma?
Sungguh aneh
End of discussion
Ini udah komentar terakhir loh........cukup fair utk bro morpheus? :D
Lalu?jangan esmosi dulu bang...
jadi kalau meditator boleh memaki2, boleh bilang ini dhamma tapi itu bukan dhamma?
Tapi kalau member disini, menyindir aja udah dikomentarin macem2?
bahkan sampai ad hominem segala? tapi kalau si meditator yg memaki MOHA, itu menjadi benar?
Terus kalo si meditator meng-cut sesuai kemauan, itu oke aja
tapi kalau member yg mengcut, dibilang informasi disini kurang jujur?
Pls liat juga lah, kalau identitas disindir aja, beliau langsung bilang mendiskreditkan
tapi jadi sah2 aja kalau itu dilakukan beliau
please be fair lah bro........
Sebenernya Pa Hudoyo suka ngintip2 kesini koq, mungkin karena suatu hal dia gak bisa posting di sini ;DLalu?jangan esmosi dulu bang...
jadi kalau meditator boleh memaki2, boleh bilang ini dhamma tapi itu bukan dhamma?
Tapi kalau member disini, menyindir aja udah dikomentarin macem2?
bahkan sampai ad hominem segala? tapi kalau si meditator yg memaki MOHA, itu menjadi benar?
Terus kalo si meditator meng-cut sesuai kemauan, itu oke aja
tapi kalau member yg mengcut, dibilang informasi disini kurang jujur?
Pls liat juga lah, kalau identitas disindir aja, beliau langsung bilang mendiskreditkan
tapi jadi sah2 aja kalau itu dilakukan beliau
please be fair lah bro........
pak hudoyo dan anda itu setara di mata pembaca.
saya melihat anda berdua masih dalam batasan diskusi kok (walaupun kadang kurang nyambung, kadang sama sekali gak nyambung). cuman diskusi anda berdua udah mentok, ada yg gak bisa dimengerti.
mengenai dhamma bukan dhamma, itu kan opini. semua orang bebas mengeluarkan opininya. anda boleh bilang mmd sesat selama anda mengeluarkan alasannya dan pak hudoyo sah2 aja bilang yg ini dhamma yg ini bukan dhamma. anda berdua babarkan aja semua barang jualannya, biarkan pembaca yg menilai sendiri...
sebenernya kalo bicara arenanya, tentu saja di sini berat sebelah. lah wong orangnya gak ada, gak bisa membela diri, dikasih segala macam posting rame2 mulai dari yg ada argumennya sampe yg ad hominem plus sindiran2 gak bermutu. gak adil kan? tentunya ini perlu diseimbangkan....
di sini sudah banyak opini yg kontra pak hudoyo. saya juga boleh dong beropini yg sebaliknya dengan jujur kan?
seperti yg saya bilang sebelumnya, kita tidak bisa menilai isi hati orang lain dari tulisan.
faktanya tulisan yg sama bisa ditangkap secara berbeda oleh pembaca di sini.
jadi mungkin saja bukan tulisannya yg ribut, melainkan batin pembacanya yg ribut...
HUDOYO SAYS :saya ngeliatnya begini:
Kalau mau, ajak beliau datang ke rumah saya.
HUDOYO SAYS :saya ngeliatnya begini:
Kalau mau, ajak beliau datang ke rumah saya.
ada christian yg bilang ke atheis bilang bahwa tuhan itu ada. atheis gak percaya dan minta si christian menunjukkan siapa yg pernah ngeliat tuhan. si christian bilang pendetanya bisa liat. si atheis minta pendetanya diajak datang ke rumah.
dalam hal ini yg berkepentingan adalah si christian yg pengen meyakinkan si atheis.
masa si atheis yg harus ke tempat si christian?
kalo dianalogikan begini, sounds fair enough?
sepertinya contoh kasus anda salah bro,om indra, saya ngeliatnya begini: si atheis kan yg gak percaya. si christian kan yg percaya. yg percaya itu yg berkepentingan membuktikan dong. masa yg gak percaya yg membuktikan? kebalik kan?
saya justru melihat si atheist lah yg meminta pembuktian bukan si christian yang menawarkan.
dengan kata lain, si atheist lah yang berkepentingan karena meminta duluan.
hanya saja, dalam kasus ini si atheist tidak sungguh2 minta pembuktian, hanya sekedar gertakan, yg kalau dilayani oleh si crhistian maka si atheist akan menggunakan jurus berkelit lain
sepertinya contoh kasus anda salah bro,om indra, saya ngeliatnya begini: si atheis kan yg gak percaya. si christian kan yg percaya. yg percaya itu yg berkepentingan membuktikan dong. masa yg gak percaya yg membuktikan? kebalik kan?
saya justru melihat si atheist lah yg meminta pembuktian bukan si christian yang menawarkan.
dengan kata lain, si atheist lah yang berkepentingan karena meminta duluan.
hanya saja, dalam kasus ini si atheist tidak sungguh2 minta pembuktian, hanya sekedar gertakan, yg kalau dilayani oleh si crhistian maka si atheist akan menggunakan jurus berkelit lain
kalo anda pernah ngomong ama christian fanatik, skenarionya kayak gini:
christian: tuhan guwa itu ada
anda: tuhan loe itu gak ada. buktikan kalo tuhan loe itu ada!
christian: ah, gak. loe buktikan tuhan guwa itu gak ada!
anda: loh, kok???
kebalik kan? yg berkepentingan dan berusaha membuktikan ya si christian dong... masak anda yg harus repot?
HUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
yang pasti narasumber Dhamma paling hebat versinya hanyalah J. Krishnamurti seorang =))QuoteHUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
Ini menunjukkan bahwa MMD pun tidak bisa menyumbang narasumber Dhamma.
HUDOYO SAYS :saya ngeliatnya begini:
Kalau mau, ajak beliau datang ke rumah saya.
ada christian yg bilang ke atheis bilang bahwa tuhan itu ada. atheis gak percaya dan minta si christian menunjukkan siapa yg pernah ngeliat tuhan. si christian bilang pendetanya bisa liat. si atheis minta pendetanya diajak datang ke rumah.
dalam hal ini yg berkepentingan adalah si christian yg pengen meyakinkan si atheis.
masa si atheis yg harus ke tempat si christian?
kalo dianalogikan begini, sounds fair enough?
berulang kali di sini dibicarakan mengenai perilaku, sikap ataupun perbuatan (dalam hal ini tulisan).
sadarkah kita bahwa kita gak akan bisa mengetahui isi hati sesungguhnya hanya dengan membaca tulisan?
.......bisakah menilai ego seseorang engan melihat perbuatan saja ?
sebuah fakta bahwa di forum ini ada impresi yg berbeda terhadap tulisan yg sama.
bicara masalah ribut. apa itu yg sedang ribut?
tulisannya yg ribut, penulisnya ribut ataukah batin pembacanya yg ribut?
Lalu?
jadi kalau meditator boleh memaki2, boleh bilang ini dhamma tapi itu bukan dhamma?
...
jangan esmosi dulu bang...
Adalah satu itikad baik di mana seorang non-petapa datang pada seorang bhikkhu untuk berdiskusi. Bukannya seorang bhikkhu yang datang pada seorang non-petapa. Sikap 'meminta' bhikkhu untuk datang ini menunjukkan kalau hal itu merupakan wujud ketidak-hormatan pada anggota Sangha.ini adalah perbedaan nilai. memang dalam tradisi theravada orthodox, role bhante itu teramat sakral sampai sedemikian dipujanya (baca the broken buddha karangan s. dhammika untuk mengerti betapa sakralnya role bhante di srilangka dan thailand. kayaknya juga di indonesia sih).
Ini bukan perosalan "siapa cari buku harus datang ke toko buku". Ini adalah perihal socializing, ini perihal tata krama, dan ini adalah satu barometer untuk melihat seberapa tinggi tingkat kebijaksanaan dan kedewasaan seseorang.
jadi
just keep it silent and do the meditation.
Bisakah bro beri pandangan/hubungan mengenai meditasi dan ajaran Buddha (4KM, 8J) ?
thanks sebelumnya
perbedaannya mungkin adlh anggota sangha sebisa mungkin menghindari perdebatan yang tidak berguna sedangkan orang awam tuh senang berdebat yang tidak berguna =))Adalah satu itikad baik di mana seorang non-petapa datang pada seorang bhikkhu untuk berdiskusi. Bukannya seorang bhikkhu yang datang pada seorang non-petapa. Sikap 'meminta' bhikkhu untuk datang ini menunjukkan kalau hal itu merupakan wujud ketidak-hormatan pada anggota Sangha.ini adalah perbedaan nilai. memang dalam tradisi theravada orthodox, role bhante itu teramat sakral sampai sedemikian dipujanya (baca the broken buddha karangan s. dhammika untuk mengerti betapa sakralnya role bhante di srilangka dan thailand. kayaknya juga di indonesia sih).
Ini bukan perosalan "siapa cari buku harus datang ke toko buku". Ini adalah perihal socializing, ini perihal tata krama, dan ini adalah satu barometer untuk melihat seberapa tinggi tingkat kebijaksanaan dan kedewasaan seseorang.
pendapat saya, kesakralan ini berefek kurang sehat (lagi2 dari buku the broken buddha dan pengamatan saya sendiri) dan seharusnya dikembalikan ke tempat yg seharusnya (desakralisasi seperti yg kita lihat pada tradisi buddhism lain). bisakah kita memandang bhante itu sebagai individual, seperti anda dan saya, yg sedang memfokuskan diri pada pencarian spiritual. itu saja, tanpa embel2 lain...
saya melihat role bhante di theravada orthodox mirip seperti brahmin di hindu. hanya brahmin yg boleh menyentuh dan mempelajari veda, karenanya yg selain brahmin (ksatria, sudra, dll) harus melayani dan membela brahmin karena hanya brahmin lah yg mempunyai "hubungan" khusus dengan dewa... tentunya ini tidak berlaku dalam buddhism dan harus dirubah. semua bisa saja mempelajari buddha dhamma dan bhikkhu adalah orang yg fokus pada spiritual dengan menjalani peraturan vinaya...
jadi saya pikir apa salahnya bhante dan orang awam bercakap2 tanpa dinding pemisah sakralisasi...
[at] Morpheus: Anda memakai contoh pertentangan yg terjadi antara Christian dan non-Christian (si atheis). Nah, kasus Hudoyo ini lain bung! Dia ini 'mengaku' umat Buddha tapi mengajarkan ajaran yang menyesatkan umat Buddha. Karena dia ini memang umat Buddha maka tepatlah apa yg dikatakan oleh rekan Upasaka bahwa non-pertapa harus mendatangi bhikkhu.bang anatta, penilaian menyesatkan atau tidak itu adalah opini dan opini itu sifatnya subjektif...
Tetapi yang terjadi adalah bahwa kemana-mana dia berkoar-koar 'mengajarkan 'dhamma' yang pada kenyataannya hanyalah menyesatkan banyak orang.setahu saya pak hudoyo ngomong dia adalah pengajar vipassana, bukan pengajar agama buddha...
Untuk itulah kita, umat buddha, membutuhkan kawan-kawan yang bisa memberikan informasi yang benar ttg apa itu Dhamma; yg bisa menunjukkan 'penyimpangan2' ajaran Hudoyo."informasi benar" itu subjektif. bagi sebagian orang bisa saja dianggap informasi benar, sebagian lain merasa ini gak benar.
Nah, disinilah letak pentingnya forum DC ini. Makanya saya minta thread ini, demi kepentingan umat Buddha, jangan ditutup. Kita berharap teman2 disini akan selalu membahas pendapat2 Hudoyo, sehingga buat umat2 Buddha yg masih 'hijau' bisa mengerti apa sesungguhnya ajaran Buddha seperti yg ada si Tipitaka (bukannya Tisutta seperti yang Hudoyo ajarkan!)silakan bang. itu hal yg bagus selama dilakukan dengan fair dan jujur...
Kalau dibilang forum ini gak seimbang..., saya rasa gak betul juga. Karena pada kenyataannya kita disini membahas pendapat2 yg dilontarkan Hudoyo, meskipun dalam bentuk copas saja. Terlebih lagi, seperti kata rekan Ryu, Hudoyo itu sering ngintip2 kesini (dan blog2 yang lain) kok. Jadi biarlah komunikasi kita dg Hudoyo terjadi dengan model yang begini. Karena forum ini mempunyai tugas yang jauh lebih penting daripada hanya menyadarkan seorang Hudoyo, yaitu ingin memberikan pengertian yang benar kepada anggotanya.tadinya forum ini adem ayem kok, sampai ada copas yg dibawa ke forum ini... padahal orangnya gak ada.
Jadi bung Morpheus, kita umat Buddha ini sudah mempunyai 'mainstream' tersendiri, yakni tipitaka. Memang benar bahwa SB mengajarkan Kalama Sutta, tetapi -- kepada Hudoyo -- tolong pelajari sutta itu dengan baik, dari awal sampai akhir sutta, termasuk latar belakang diajarkannya sutta tersebut.agak salah alamat kalo anda menulis di sini. mendingan langsung ke samaggi phala. orangnya di sana.
Terbukti bahwa kita bisa menilai seseorang dari perkataan dan perbuatannya (tulisannya)kata2 itu adalah ekspresi saya dalam berkomunikasi karena saya menganggap om markos sebagai teman. saya tidak menilai isi hati om markos.
Terbukti bahwa wajar dan sah2 saja bagi kita untuk menilai sikap batin (emosi) seseorang dalam berdiskusi.
Jika ada seorang yg berani mengaku MASTER dan berani MENGKRITIK AJARAN BESAR. Ya, wajar dan sah2 saja orang-orang akan menyerbu beliau dgn berbagai macam pertanyaan, pengetesan, perdebatan atas TEORI yg ditawarkannya. Jika TEORInya lemah, pasti akan terjadi silat lidah yg tidak sehat seperti: Kalian melakukan penyerangan terhadap saya, Jangan menilai pribadi saya, dsbnya.... Justru, Seorang MASTER SPIRITUAL HARUS DINILAI DARI PERILAKUNYA, BUKAN HANYA DARI TEORINYA.silakan serbu dengan berbagai pertanyaan dan argumen.
Jika ia berani menunjukkan suatu teori dan mendobrak tradisi lama, maka ia harus dapat menunjukkan bahwa teori dia tsb memang ampuh, paling tidak pada dirinya sendiri...
Mengenai tanggapan Bro Morphesu atas postingan saya (mungkin juga thp postingan2 rekan yg lain) bahwa jangan kita menilai Pak Hudoyo dari tulisannya doang krn belum tentu dia begitu....
berikut postingan Bro Morph:berulang kali di sini dibicarakan mengenai perilaku, sikap ataupun perbuatan (dalam hal ini tulisan).
sadarkah kita bahwa kita gak akan bisa mengetahui isi hati sesungguhnya hanya dengan membaca tulisan?
.......bisakah menilai ego seseorang engan melihat perbuatan saja ?
sebuah fakta bahwa di forum ini ada impresi yg berbeda terhadap tulisan yg sama.
bicara masalah ribut. apa itu yg sedang ribut?
tulisannya yg ribut, penulisnya ribut ataukah batin pembacanya yg ribut?
Ya tentu saja BISA Bro Morph...
Berikut, Bro telah melakukannya.. menilai emosi seseorang hanya dari tulisannya..Lalu?
jadi kalau meditator boleh memaki2, boleh bilang ini dhamma tapi itu bukan dhamma?
...
jangan esmosi dulu bang...
Terbukti bahwa kita bisa menilai seseorang dari perkataan dan perbuatannya (tulisannya)
Terbukti bahwa wajar dan sah2 saja bagi kita untuk menilai sikap batin (emosi) seseorang dalam berdiskusi.
Jika ada seorang yg berani mengaku MASTER dan berani MENGKRITIK AJARAN BESAR. Ya, wajar dan sah2 saja orang-orang akan menyerbu beliau dgn berbagai macam pertanyaan, pengetesan, perdebatan atas TEORI yg ditawarkannya. Jika TEORInya lemah, pasti akan terjadi silat lidah yg tidak sehat seperti: Kalian melakukan penyerangan terhadap saya, Jangan menilai pribadi saya, dsbnya.... Justru, Seorang MASTER SPIRITUAL HARUS DINILAI DARI PERILAKUNYA, BUKAN HANYA DARI TEORINYA.
Jika ia berani menunjukkan suatu teori dan mendobrak tradisi lama, maka ia harus dapat menunjukkan bahwa teori dia tsb memang ampuh, paling tidak pada dirinya sendiri...
::
soal perilaku, saya tetap berpendapat kita tidak bisa menilai batin orang lain dari tulisannya...
yg namanya penilaian perilaku itu sangat subjektif, tergantung kacamata pemirsanya.
perbedaannya mungkin adlh anggota sangha sebisa mungkin menghindari perdebatan yang tidak berguna sedangkan orang awam tuh senang berdebat yang tidak berguna =))Adalah satu itikad baik di mana seorang non-petapa datang pada seorang bhikkhu untuk berdiskusi. Bukannya seorang bhikkhu yang datang pada seorang non-petapa. Sikap 'meminta' bhikkhu untuk datang ini menunjukkan kalau hal itu merupakan wujud ketidak-hormatan pada anggota Sangha.ini adalah perbedaan nilai. memang dalam tradisi theravada orthodox, role bhante itu teramat sakral sampai sedemikian dipujanya (baca the broken buddha karangan s. dhammika untuk mengerti betapa sakralnya role bhante di srilangka dan thailand. kayaknya juga di indonesia sih).
Ini bukan perosalan "siapa cari buku harus datang ke toko buku". Ini adalah perihal socializing, ini perihal tata krama, dan ini adalah satu barometer untuk melihat seberapa tinggi tingkat kebijaksanaan dan kedewasaan seseorang.
pendapat saya, kesakralan ini berefek kurang sehat (lagi2 dari buku the broken buddha dan pengamatan saya sendiri) dan seharusnya dikembalikan ke tempat yg seharusnya (desakralisasi seperti yg kita lihat pada tradisi buddhism lain). bisakah kita memandang bhante itu sebagai individual, seperti anda dan saya, yg sedang memfokuskan diri pada pencarian spiritual. itu saja, tanpa embel2 lain...
saya melihat role bhante di theravada orthodox mirip seperti brahmin di hindu. hanya brahmin yg boleh menyentuh dan mempelajari veda, karenanya yg selain brahmin (ksatria, sudra, dll) harus melayani dan membela brahmin karena hanya brahmin lah yg mempunyai "hubungan" khusus dengan dewa... tentunya ini tidak berlaku dalam buddhism dan harus dirubah. semua bisa saja mempelajari buddha dhamma dan bhikkhu adalah orang yg fokus pada spiritual dengan menjalani peraturan vinaya...
jadi saya pikir apa salahnya bhante dan orang awam bercakap2 tanpa dinding pemisah sakralisasi...
BENNY (SUMEDHO) WU:
Hudoyo Hupudio: "Anda cuma bisa memperdebatkan hal-hal lahiriah saja &
tidask mampu melihat lebih dalam lagi. Melihatkah Anda sekarang bahwa
kata-kata Buddha, Krishnamurti dan saya sama?"
-----------------------------------------
Astaga....
==========================
HUDOYO:
hehehe ... justru dengan sengaja saya memasang pancingan. ... Ternyata ada
juga ikan yang terpancing. :)
Rekan Benny Sumedho kaget luar biasa ketika membaca tulisan saya di atas.
Dikiranya saya berkata: "Buddha, Krishnamurti dan saya sama." Itulah
sebabnya mengapa dia kaget luar biasa. -- Coba simak lagi dengan teliti
apa yang aaya tulis di atas.
Salam hangat,
Hudoyo
Terima kasih Pak Hud atas sanjungan dan "membaca" pikiran saya. Dan juga terima kasih untuk mengarahkan opini pembaca seakan2x itu pendapat saya. Semoga para pembaca bisa menilai sendiri.
Oh iya, dendam pak Hud sama saya sepertinya sampai ke ubun2x, sampai satu kata saya saja itu dipublikasikan kesemua tempat lengkap dengan interpretasi yg mendiskreditkan saya. Semoga segera bisa melepas Pak.
Sati,
Sumedho
TEORI adalah permainan intelektual, tidak bisa dijadikan pedoman. Teori bisa dibuat seindah mungkin.... TEORI bisa dibuat sematematis mungkin.
buat will dan upasaka:
dalam hal ini persepsi kita berbeda jauh. gak bisa diteruskan.
buat will dan upasaka:
dalam hal ini persepsi kita berbeda jauh. gak bisa diteruskan.
buat suhu:
dalam hal ini saya ngeliat pak hudoyo salah...
QuoteHUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
Ini menunjukkan bahwa MMD pun tidak bisa menyumbang narasumber Dhamma.
...
Seorang MASTER SPIRITUAL HARUS DINILAI DARI PERILAKUNYA, BUKAN HANYA DARI TEORINYA.
saat ini nara sumber dhamma sang buddha ya di tipitaka loh om
orang yang tercerahkan, tapi apakah ada orang yang tercerahkan? o o siapa dia?saat ini nara sumber dhamma sang buddha ya di tipitaka loh om
Betul, dhamma tertulis di tipitaka, saya percaya itu. Namun, siapa yang bisa menafsirkannya tanpa bias?
saat ini nara sumber dhamma sang buddha ya di tipitaka loh om
Betul, dhamma tertulis di tipitaka, saya percaya itu. Namun, siapa yang bisa menafsirkannya tanpa bias?
QuoteHUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
Ini menunjukkan bahwa MMD pun tidak bisa menyumbang narasumber Dhamma.
Memang betul sekarang ini tidak ada narasumber dhamma, termasuk MMD.
Ada yang berani menyatakan diri sebagai narasumber dhamma?
orang yang tercerahkan, tapi apakah ada orang yang tercerahkan? o o siapa dia?saat ini nara sumber dhamma sang buddha ya di tipitaka loh om
Betul, dhamma tertulis di tipitaka, saya percaya itu. Namun, siapa yang bisa menafsirkannya tanpa bias?
kain oot, keinget nich... gawean uda sampe mana ;D
Kalau bro tanya disini ya ngak ada , hanya bersumber pada Tipitaka. Kita2 kan masih cupu dan newbie. Tapi di SP ada tuh yg bisa nunjukin orangnya(narasumber Dhamma) si Perkedel dari milis SP.
kalau menurut sallekha sutta harusnya ada dong yang bisa mengajar ;Dorang yang tercerahkan, tapi apakah ada orang yang tercerahkan? o o siapa dia?saat ini nara sumber dhamma sang buddha ya di tipitaka loh om
Betul, dhamma tertulis di tipitaka, saya percaya itu. Namun, siapa yang bisa menafsirkannya tanpa bias?
Tercerahkan pun, belum tentu bisa mengajar. Maka saya katakan tidak ada narasumber dhamma.
kain oot, keinget nich... gawean uda sampe mana ;D
Lagi bandingin sama yang dikirim Upasaka. Sedikit bingung karena formatnya beda kalau dibuka pakai Open Office. :)
Kalau bro tanya disini ya ngak ada , hanya bersumber pada Tipitaka. Kita2 kan masih cupu dan newbie. Tapi di SP ada tuh yg bisa nunjukin orangnya(narasumber Dhamma) si Perkedel dari milis SP.
Saya tidak masuk milis SP. Bisa bro co-pas ke sini pernyataan yang menunjukkan seseorang itu mengaku dirinya narasumber dhamma?
kalau menurut sallekha sutta harusnya ada dong yang bisa mengajar ;D
kalau yg menyatakan sih tidak ada di sp , yg ada adalah orang yg mau menunjukan orang yg menjadi nara sumber Dhamma. Jadi apanya yg mo dicopas ^-^Oh, kalau gitu, no comment. Setiap orang boleh berpendapat apa pun.
Cuma saya pernah baca Luangta Mahaboowa menceritakan pengalaman kearahatannya pada buku arahat magga dan phala , ada e-booknya di sini. artinya IMO kalo dia sudah melihat kebenaran dan ternyata sesuai dengan Tipitaka melalui pencapaiannya berarti adalah narasumber Dhamma bukan?
Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, ngotot mempertahankan pandangan seperti itu dan sulit memusnahkan pandangan itu; karena tidak memiliki pengertian benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak ngotot dan mudah memusnahkannya, sebagai cara untuk menghindarinya.
Bagaimanapun akusala dhamma (dhamma tak baik) itu, dhamma seperti itu mengarah ke kondisi yang rendah; sebaliknya, bagaimanapun kusala dhamma (dhamma baik) itu, dhamma seperti itu mengarah ke kondisi lebih tinggi. Dengan demikian:
1. Orang yang kejam, tidak memiliki tanpa-kekejaman sebagai kondisi lebih tinggi.
2. Orang yang membunuh, tidak memiliki pantangan membunuh sebagai kondisi lebih tinggi.
3. - 43 ...
44. Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, ngotot mempertahankan pandangan seperti itu; karena tidak memiliki pengertian, benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak ngotot dan mudah memusnahkannya, adalah kondisi lebih tinggi.
Orang yang menggapai-gapai (menyelamatkan diri) dalam rawa untuk menyelamatkan orang lain yang mengapai-gapai dalam rawa adalah tidak mungkin; orang yang tidak berada dalam rawa dapat menyelamatkan orang yang menggapai-gapai dalam rawa adalah mungkin. Orang tidak terlatih, tidak disiplin dan tidak mencapai nibbana akan melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah tidak mungkin; orang yang terlatih, disiplin dan telah mencapai nibbana bila melatih, mendisiplinkan dan membimbing orang lain untuk mencapai nibbana adalah mungkin. Begitu pula:
1. Orang kejam berubah menjadi tanpa kekejaman adalah cara untuk mencapai nibbana.
2. Orang pembunuh berubah menjadi pantang membunuh adalah cara untuk mencapai nibbana.
3. - 43 ...
44. Orang yang berpengertian salah karena pandangan-pandangan pribadinya, mengotot mempertahankan pandangan seperti itu; karena tidak memiliki pengertian benar sesuai dengan pandangan pribadi, tidak mengotot dan mudah memusnahkannya, adalah cara untuk mencapai nibbana.
Demikianlah, jalan untuk memusnahkan, jalan untuk mengembangkan batin, jalan untuk menghindari, jalan untuk mencapai pencapaian lebih tinggi dan jalan untuk mencapai nibbana telah saya tunjukkan.
Apa yang harus dilakukan untuk siswanya berdasarkan pada kasih sayang Guru yang mengharapkan kesejahteraan dan kasihnya, telah saya kerjakan untuk-Mu, Cunda. Itulah akar dari pohon-pohon, ini pondok-pondok kosong. Cunda kembangkanlah Jhana, jangan menunggu, itu akan mengakibatkan penyesalan. Inilah pesan kami untukmu."
Itulah yang dikatakan Sang Bhagava. Bhikkhu Mahacunda merasa puas dan gembira mendengar uraian Sang Bhagava.
kalau yg menyatakan sih tidak ada di sp , yg ada adalah orang yg mau menunjukan orang yg menjadi nara sumber Dhamma. Jadi apanya yg mo dicopas ^-^Oh, kalau gitu, no comment. Setiap orang boleh berpendapat apa pun.QuoteCuma saya pernah baca Luangta Mahaboowa menceritakan pengalaman kearahatannya pada buku arahat magga dan phala , ada e-booknya di sini. artinya IMO kalo dia sudah melihat kebenaran dan ternyata sesuai dengan Tipitaka melalui pencapaiannya berarti adalah narasumber Dhamma bukan?
Narasumber-dhamma (dalam artian Buddha dhamma) hanyalah Samma Sambuddha seorang.
Sementara, untuk dhamma-dhamma duniawi (lokiya) tentu banyak yang bisa memberikan manfaat, bahkan kadang orang awam yang tidak terkenal pun bisa membimbing. Tetapi dalam artian Buddha-dhamma yang sejati, jangankan savaka, maha-savaka bahkan agga-savaka pun tidak selalu berpengetahuan sepenuhnya dalam membimbing dhamma. Saya pernah berikan contohnya dulu (kepada dilbert) seperti Sariputta masih dikritik Buddha dalam "kesalahan" mengajar Dhananjani; Maha-panthaka yang tidak mengetahui bagaimana cara mengajar adiknya, bahkan mengusirnya. Bagi Cula-panthaka, Maha-panthaka, seorang yang bahkan dikatakan oleh Buddha sebagai yang paling unggul dalam keahlian perubahan persepsi pun, tetap bukanlah seorang "narasumber (Buddha) dhamma".
Mungkin disini terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan narasumber Dhamma.
Tetapi pernakah ingat Sang Buddha pernah mengatakan. "mereka yg melihat Dhamma , melihat Aku" Nah apakah yg melihat Dhamma bukan merupakan narasumber Dhamma?
Jika hanya Sang Buddha saja satu2nya narasumber dan tidak ada penerusnya lalu apakah ini berarti hanya bergantung pada Tipitaka dan semaunya kita mengartikan Dhamma? Maka apakah sia-sia perjuangan para bhikkhu selama ini dan Tipitaka tidak terbukti? patut direnungkan
Saya ingin beri contoh : ketika seseorang mencapai salah satu tingkat kesucian dari seorang Guru maka Guru itu adalah narasumber Dhamma. Mengapa demikian bisa dikatakan dia adalah pewaris narasumber. Jika tidak bagaimanakah seorang bhikkhu atau umat maju dalam Dhamma.
Sama halnya ada air didanau, lalu saya mengambil 1 satu tangki air(1000 liter) yg kemudian saya bagikan air itu kepada beberapa orang , dan saya lakukan berulang kali , sampai air yg diambil orang2 itu juga mendapat setangki air. Maka saya adalah sumber air bagi orang lainnya walaupun bukan sumber yg utama yakni Danau itu tetapi tetap dari sumber yang sama, dan orang menyebut air itu adalah air danau tersebut. Tentunya adapula orang yg langsung mengambil air di danau.
Smoga analogi ini dapat memperjelas. _/\_
Salah satu acuan untuk menentukan suatu ajaran itu Dhamma atau bukan adalah seperti yang kita temukan di Anguttaranikaya IV. 143. Di sutta tersebut ada yang dinamakan DHAMMAVINAYA JANANALAKKHANA, yakni tujuh norma dari Dhamma - Vinaya, yakni:
1. Ekantanibbida: Tidak mudah kecewa dan tabah
2. Viraga: Sikap yang tidak terpengaruh, tenang dan tanpa nafsu
3. Nirodha: kepadaman dari kekotoran batin dan derita
4. Upasama: Ketenangan (ketenangan batin)
5. Abhinna: Pengetahuan tinggi (tenaga batin)
6. Sambodha: Penerangan, mencapai penerangan batin
7. Nibbana: Kebebasan mutlak, berakhir dari derita, terbebas dari kelahiran dan kematian
Salah satu acuan untuk menentukan suatu ajaran itu Dhamma atau bukan adalah seperti yang kita temukan di Anguttaranikaya IV. 143. Di sutta tersebut ada yang dinamakan DHAMMAVINAYA JANANALAKKHANA, yakni tujuh norma dari Dhamma - Vinaya, yakni:
1. Ekantanibbida: Tidak mudah kecewa dan tabah
2. Viraga: Sikap yang tidak terpengaruh, tenang dan tanpa nafsu
3. Nirodha: kepadaman dari kekotoran batin dan derita
4. Upasama: Ketenangan (ketenangan batin)
5. Abhinna: Pengetahuan tinggi (tenaga batin)
6. Sambodha: Penerangan, mencapai penerangan batin
7. Nibbana: Kebebasan mutlak, berakhir dari derita, terbebas dari kelahiran dan kematian
Menarik. Kalau begitu saya punya pertanyaan.
Apakah kalian yang mengaku "empunya" dhamma sejati tidak terpengaruh, tabah, tenang, ketika berhadapan dengan MMD?
Opini akan bersifat subjektif kalau kita berlandaskan dengan pendapat pribadi kita masing-masing. Tetapi kita ini kan mempunyai Tipitaka yang bisa dijadikan bahan rujukan? Apakah dengan merujuk kepada Tipitaka anda katakan subjektif??pertama, pembaca tipitaka itu manusia yg tentunya bisa menafsirkan menurut backgroundnya masing2.
Quote
HUDOYO:
Sekali lagi, yang merasa bisa melihat ASAVA hanyalah melihat bentukan
pikirannya sendiri.
***
perkedel says:
> Ok lah kalau Anda tidak butuh..he..he. Jadi saya tidak repot2 lagi.
> Biar pemirsa yg menilai. Seorang ilmuwan Dhamma sepatutnya
menyelesaikan dilema sampai tuntas kalau perlu sampai ke nara sumbernya lsg.
Memang berbeda orang2 jaman Sang Buddha dan jaman sekarang dalam mengklarifikasi
kebenaran Dhamma.
================================
HUDOYO:
Pada zaman sekarang ini TIDAK ADA LAGI NARASUMBER DHAMMA. Seseorang yang
berjubah kuning, yang terlihat bermeditasi, tidak serta merta menjadi narasumber
Dhamma, seberapa hebat pun meditasinya.
Sang Buddha mewariskan kepada kita Kalama-sutta.
http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/74262
Ini menunjukkan bahwa MMD pun tidak bisa menyumbang narasumber Dhamma.
Memang betul sekarang ini tidak ada narasumber dhamma, termasuk MMD.
Ada yang berani menyatakan diri sebagai narasumber dhamma?
saat ini nara sumber dhamma sang buddha ya di tipitaka loh om
Betul, dhamma tertulis di tipitaka, saya percaya itu. Namun, siapa yang bisa menafsirkannya tanpa bias?
orang yang tercerahkan, tapi apakah ada orang yang tercerahkan? o o siapa dia?
Tercerahkan pun, belum tentu bisa mengajar. Maka saya katakan tidak ada narasumber dhamma.
Ini pertanyaan ditujukan ke siapa nih? Siapa yang mengaku 'empunya' dhamma sejati?? Tuh...sih master kali yang 'empunya' dhamma sejati! =)) =)) =))
Tidak perlu memperluas bahan diskusi sampai mengenai talenta pengajar dari seorang Sammasambuddha…
Alasan Pak Hudoyo mengeluarkan pernyataan “tidak ada lagi narasumber Dhamma” ini merupakan bentuk reaksi atas klaim dari Sdr. Perkedel. Bisa kita lihat, kalau Sdr. Perkedel menyatakan ada seorang bhikkhu yang bisa melihat assava, dan mengajak Pak Hudoyo untuk berdiskusi dengan beliau. Namun Pak Hudoyo menolak dan menyatakan bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang menjadi narasumber Dhamma.
Maksudnya tidak perlu dipelintir sampai sejauh tidak ada lagi orang yang mengenal segenap alam, guru para deva dan manusia, atau talenta-talenta luar biasa lainnya itu. Pernyataan Pak Hudoyo ini cukup dilihat dalam koridor diskusi. Bahwa sebenarnya maksud dari pernyataan Pak Hudoyo adalah “tidak ada lagi orang yang mencapai Pencerahan”. Sehingga tidak ada yang bisa memberikan kesaksian atas Kebenaran yang dapat direalisasi lewat jalan meditatif. Pak Hudoyo menolak kesaksian manapun karena dia merasa di dunia ini semua orang adalah orang buta. Makanya Pak Hudoyo menyisipkan kalimat terakhir tentang Kalama Sutta; maksudnya untuk memeriksa semua pengalaman diri sendiri.
Tapi sayangnya kadang evaluasi diri ini subjektif…
Tetap tidak bisa dijadikan patokan. Apakah karena ada seseorang mengaku bisa melihat asava, lalu jadi semua percaya padanya?
Apa karena "katanya" sudah melihat asava, lantas argumennya lebih benar?
Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?
Quote from: Kainyn_KuthoTetap tidak bisa dijadikan patokan. Apakah karena ada seseorang mengaku bisa melihat asava, lalu jadi semua percaya padanya?
Apa karena "katanya" sudah melihat asava, lantas argumennya lebih benar?
Makanya Sdr. Perkedel (dan juga Sdr. Fabian) mengajak Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang dimaksud. Mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk melihat pembuktian, tapi Pak Hudoyo malah menolaknya mentah-mentah.
Bukan begitu, Bro. Orang yang Anda katakan mencari “pegangan” di luar itu hanya melihat bahwa ada figur-figur yang mumpuni dalam pengalaman meditasi. Saya melihat bahwa mereka tidak menjadikan figur-figur itu sebagai patokan mati, tapi mereka melihat bahwa figur-figur itu merupakan orang yang cukup kompeten. Ibarat kita mempelajari teknik memainkan piano dari seorang Mozart, meski Mozart sendiri (seharusnya) bukanlah pianis No. 1 sepanjang masa. Kalau ada rekan lain yang punya sudut pandang lain, itu sudah jadi urusan pribadinya.
Mungkin disini terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan narasumber Dhamma.
Tetapi pernakah ingat Sang Buddha pernah mengatakan. "mereka yg melihat Dhamma , melihat Aku" Nah apakah yg melihat Dhamma bukan merupakan narasumber Dhamma?
Tidak. Mereka yang melihat dhamma, melihat Buddha. Tetapi orang lain tetap tidak melihat apa-apa. Orang lain itu siapa? Saya rasa sudah jelas mereka yg melihat Dhamma, melihat Buddha.QuoteJika hanya Sang Buddha saja satu2nya narasumber dan tidak ada penerusnya lalu apakah ini berarti hanya bergantung pada Tipitaka dan semaunya kita mengartikan Dhamma? Maka apakah sia-sia perjuangan para bhikkhu selama ini dan Tipitaka tidak terbukti? patut direnungkan
Apakah mau bergantung pada bhikkhu, atau menjadikan diri sendiri sebagai pulau, adalah pilihan masing-masing, tergantung keterbatasan dan keterkondisian masing-masing pula. Tipitaka terbukti atau tidak, bukan kita nilai dari orang lain, tetapi dari diri sendiri. Memang semuanya tergantung diri sendiri. Tapi Jangan membuat diri menjadi takabur.QuoteSaya ingin beri contoh : ketika seseorang mencapai salah satu tingkat kesucian dari seorang Guru maka Guru itu adalah narasumber Dhamma. Mengapa demikian bisa dikatakan dia adalah pewaris narasumber. Jika tidak bagaimanakah seorang bhikkhu atau umat maju dalam Dhamma.
Sama halnya ada air didanau, lalu saya mengambil 1 satu tangki air(1000 liter) yg kemudian saya bagikan air itu kepada beberapa orang , dan saya lakukan berulang kali , sampai air yg diambil orang2 itu juga mendapat setangki air. Maka saya adalah sumber air bagi orang lainnya walaupun bukan sumber yg utama yakni Danau itu tetapi tetap dari sumber yang sama, dan orang menyebut air itu adalah air danau tersebut. Tentunya adapula orang yg langsung mengambil air di danau.
Smoga analogi ini dapat memperjelas. _/\_
Seseorang bisa cocok dengan satu guru, namun belum tentu cocok dengan guru lain.
Seorang guru bisa menjadi "narasumber" bagi seseorang, namun belum tentu bagi orang lain. Narasumber dengan memilih narasumber itu berbeda. Nara sumber adalah yg 'melihat dgn sempurna' memilih guru adalah masalah kecocokan teknik berlatih dan cara, bukan kecocokan narasumber. Semua nara sumber bermuara pada satu yaitu Buddha. Kalau Narasumber dari Dhamma yg sama, dan Anda artikan narasumbernya cocok-cocokan , sama saja Dhamma yg cocok. Jika ada 10 Buddha memberi tahu 1 orang ttg Dhamma yg sama, hanya teknik penyampaian berbeda, dan ketika seseorang cocok dengan salah satu dari 10 Buddha karena cara penyampaian yg sesuai, apakah artinya yg 9 tidak valid sebagai narasumber? tapi jika masih semua dipukul rata dengan cocok mencocok...apa boleh buat...tidak akan ketemu. Patut diingat banyak pencapaian arahat dari satu Buddha ke jaman Buddha lainnya. Contoh banyak yg tidak menjadi arahat dan mengerti sekalipun dijelaskan oleh Buddha Dipankara dijamannya tetapi 'org yg sama ' baru mengerti di jaman Buddha Gautama.....apakah artinya Buddha Dipankara bukan Narasumber Buddha Dhamma jika dilihat mengerti atau tidaknya seseorang memahami Dhamma seperti yang Anda sampaikan.
Analogi tersebut tidak sesuai, karena dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dipindah-tangan begitu saja. Sama sebuah rumus fisika yang rumit tertulis di satu kertas, walaupun disebar ke sejuta orang, tidak menjadikan sejuta orang itu mengerti. Jika seseorang bisa menyampaikan maknanya, membuat orang lain mengerti, maka dia disebut narasumber pengetahuan. Kalau analogi Anda demikian maka seorang buddhist, sah2 saja mengatakan apa yg dikatakan Buddha dan karena ketidak mengertian terhadap sebagian kata2 Buddha maka Buddha bukanlah narasumber Dhamma yg valid untuk sebagian kata2 yg tidak dimengerti dan narasumber terhadap kata2 Buddha yg dia mengerti, begitukah tentang pemahaman Dhamma tentang narasumber? artinya tergantung orang yg menilai apakah itu narasumber atau bukan. Jika demikian maka semua hanya omong kosong belaka dan Dhamma memiliki berbagai citarasa, tergantung orang mau cicipi yg mana, demikian nibbana juga banyak macamnya tergantung intrepertasi kita saja. Kalau sudah begini , entahlah.... ^-^
Ada juga orang yang hanya memiliki "kertas", bukan "pengetahuan" dan merasa sudah mengerti, menyebarkan yang berakibat menyesatkan dan mencelakakan orang lain. Kalau dalam analogi air danau itu, seseorang ambil air danau murni, menyimpan dalam botol plastik di bawah matahari, lalu dibagikan ke orang lain untuk diminum. Airnya (kitabnya) sih memang asli dari danau, tapi mengakibatkan kanker.
Dalam analogi saya tidak mengatakan untuk diminum tapi dikumpulkan sampai sama menjadi setangki air....Anda yg menambahkan kalau air danau itu untuk diminum, artinya yang bodoh orang yg bawa dan taruh di plastik....itu artinya si pembawa tidak mengerti hakekat membawa air sehubungan untuk apa air itu dibagikan. Jadi kelihatanya ada penyimpangan essensi yg ingin saya sampaikan... tapi it's ok karena kita berdiskusi tentang cocok-cocokan.^-^
Mungkin disini terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan narasumber Dhamma.
Tetapi pernakah ingat Sang Buddha pernah mengatakan. "mereka yg melihat Dhamma , melihat Aku" Nah apakah yg melihat Dhamma bukan merupakan narasumber Dhamma?
Tidak. Mereka yang melihat dhamma, melihat Buddha. Tetapi orang lain tetap tidak melihat apa-apa. Orang lain itu siapa? Saya rasa sudah jelas mereka yg melihat Dhamma, melihat Buddha.QuoteJika hanya Sang Buddha saja satu2nya narasumber dan tidak ada penerusnya lalu apakah ini berarti hanya bergantung pada Tipitaka dan semaunya kita mengartikan Dhamma? Maka apakah sia-sia perjuangan para bhikkhu selama ini dan Tipitaka tidak terbukti? patut direnungkan
Apakah mau bergantung pada bhikkhu, atau menjadikan diri sendiri sebagai pulau, adalah pilihan masing-masing, tergantung keterbatasan dan keterkondisian masing-masing pula. Tipitaka terbukti atau tidak, bukan kita nilai dari orang lain, tetapi dari diri sendiri. Memang semuanya tergantung diri sendiri. Tapi Jangan membuat diri menjadi takabur.QuoteSaya ingin beri contoh : ketika seseorang mencapai salah satu tingkat kesucian dari seorang Guru maka Guru itu adalah narasumber Dhamma. Mengapa demikian bisa dikatakan dia adalah pewaris narasumber. Jika tidak bagaimanakah seorang bhikkhu atau umat maju dalam Dhamma.
Sama halnya ada air didanau, lalu saya mengambil 1 satu tangki air(1000 liter) yg kemudian saya bagikan air itu kepada beberapa orang , dan saya lakukan berulang kali , sampai air yg diambil orang2 itu juga mendapat setangki air. Maka saya adalah sumber air bagi orang lainnya walaupun bukan sumber yg utama yakni Danau itu tetapi tetap dari sumber yang sama, dan orang menyebut air itu adalah air danau tersebut. Tentunya adapula orang yg langsung mengambil air di danau.
Smoga analogi ini dapat memperjelas. _/\_
Seseorang bisa cocok dengan satu guru, namun belum tentu cocok dengan guru lain.
Seorang guru bisa menjadi "narasumber" bagi seseorang, namun belum tentu bagi orang lain. Narasumber dengan memilih narasumber itu berbeda. Nara sumber adalah yg 'melihat dgn sempurna' memilih guru adalah masalah kecocokan teknik berlatih dan cara, bukan kecocokan narasumber. Semua nara sumber bermuara pada satu yaitu Buddha. Kalau Narasumber dari Dhamma yg sama, dan Anda artikan narasumbernya cocok-cocokan , sama saja Dhamma yg cocok. Jika ada 10 Buddha memberi tahu 1 orang ttg Dhamma yg sama, hanya teknik penyampaian berbeda, dan ketika seseorang cocok dengan salah satu dari 10 Buddha karena cara penyampaian yg sesuai, apakah artinya yg 9 tidak valid sebagai narasumber? tapi jika masih semua dipukul rata dengan cocok mencocok...apa boleh buat...tidak akan ketemu. Patut diingat banyak pencapaian arahat dari satu Buddha ke jaman Buddha lainnya. Contoh banyak yg tidak menjadi arahat dan mengerti sekalipun dijelaskan oleh Buddha Dipankara dijamannya tetapi 'org yg sama ' baru mengerti di jaman Buddha Gautama.....apakah artinya Buddha Dipankara bukan Narasumber Buddha Dhamma jika dilihat mengerti atau tidaknya seseorang memahami Dhamma seperti yang Anda sampaikan.
Analogi tersebut tidak sesuai, karena dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dipindah-tangan begitu saja. Sama sebuah rumus fisika yang rumit tertulis di satu kertas, walaupun disebar ke sejuta orang, tidak menjadikan sejuta orang itu mengerti. Jika seseorang bisa menyampaikan maknanya, membuat orang lain mengerti, maka dia disebut narasumber pengetahuan. Kalau analogi Anda demikian maka seorang buddhist, sah2 saja mengatakan apa yg dikatakan Buddha dan karena ketidak mengertian terhadap sebagian kata2 Buddha maka Buddha bukanlah narasumber Dhamma yg valid untuk sebagian kata2 yg tidak dimengerti dan narasumber terhadap kata2 Buddha yg dia mengerti, begitukah tentang pemahaman Dhamma tentang narasumber? artinya tergantung orang yg menilai apakah itu narasumber atau bukan. Jika demikian maka semua hanya omong kosong belaka dan Dhamma memiliki berbagai citarasa, tergantung orang mau cicipi yg mana, demikian nibbana juga banyak macamnya tergantung intrepertasi kita saja. Kalau sudah begini , entahlah.... ^-^
Ada juga orang yang hanya memiliki "kertas", bukan "pengetahuan" dan merasa sudah mengerti, menyebarkan yang berakibat menyesatkan dan mencelakakan orang lain. Kalau dalam analogi air danau itu, seseorang ambil air danau murni, menyimpan dalam botol plastik di bawah matahari, lalu dibagikan ke orang lain untuk diminum. Airnya (kitabnya) sih memang asli dari danau, tapi mengakibatkan kanker.
Dalam analogi saya tidak mengatakan untuk diminum tapi dikumpulkan sampai sama menjadi setangki air....Anda yg menambahkan kalau air danau itu untuk diminum, artinya yang bodoh orang yg bawa dan taruh di plastik....itu artinya si pembawa tidak mengerti hakekat membawa air sehubungan untuk apa air itu dibagikan. Jadi kelihatanya ada penyimpangan essensi yg ingin saya sampaikan... tapi it's ok karena kita berdiskusi tentang cocok-cocokan.^-^
Quote from: Kainyn_KuthoTetap tidak bisa dijadikan patokan. Apakah karena ada seseorang mengaku bisa melihat asava, lalu jadi semua percaya padanya?
Apa karena "katanya" sudah melihat asava, lantas argumennya lebih benar?
Makanya Sdr. Perkedel (dan juga Sdr. Fabian) mengajak Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang dimaksud. Mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk melihat pembuktian, tapi Pak Hudoyo malah menolaknya mentah-mentah.
Ya, intinya Perkedel & Fabian mengajak untuk menemui bhikkhu yang mendukung pernyataan mereka, bukan? Saya tidak menyalahkan Pak Hudoyo jika sikapnya demikian. Sama saja yang terjadi jika Pak Hudoyo mengajak mereka yang bertemu bhikkhu yang mendukung MMD, dan paling-paling akan dicemooh, "beraninya berlindung di balik bhikkhu" seperti yang sudah terjadi, bukan?
Pak Hudoyo tidak pernah mengajak siapapun untuk mengklarifikasi ataupun mengundang untuk membuktikan kepada Bhikkhu terkait pendukung MMD. Yg ada hanya membahas pernyataan-pernyataan yg diplesetkan dan pernyataan sepihak bahwa bhikkhu ini dan itu mendukung MMD. Saya yakin kalau beliau mengajak member disini untuk klarifikasi dengan kesantunan dan norma kebuddhistan tentu dan pasti ada yg terima. Yang pasti kita yg menghampiri bhikkhu itu bukan ' ajak bhhikhu itu kerumah saya' :))QuoteBukan begitu, Bro. Orang yang Anda katakan mencari “pegangan” di luar itu hanya melihat bahwa ada figur-figur yang mumpuni dalam pengalaman meditasi. Saya melihat bahwa mereka tidak menjadikan figur-figur itu sebagai patokan mati, tapi mereka melihat bahwa figur-figur itu merupakan orang yang cukup kompeten. Ibarat kita mempelajari teknik memainkan piano dari seorang Mozart, meski Mozart sendiri (seharusnya) bukanlah pianis No. 1 sepanjang masa. Kalau ada rekan lain yang punya sudut pandang lain, itu sudah jadi urusan pribadinya.
Pengalaman meditasi seseorang, tidak akan pernah dimengerti orang lain, kecuali oleh mereka yang telah melalui pengalaman yang sama. Bagi orang-orang yang belum setingkat mereka, figur-figur tersebut menjadi kompeten karena "dikatakan demikian", berdasarkan persepsi.
Sewaktu Maurice Ravel menggelar konser "Fandango", semua kritikus mencelanya habis-habisan. Keadaan berkembang, percakapan menjadi kontroversi, kemudian digelar konser "Bolero" dan dipuji habis-habisan. Fandango dan Bolero adalah gubahan yang sama. Yang berbeda hanyalah persepsi orang. Lalu bagaimana kita mengetahui apakah lagu itu bermutu atau tidak? Tidak bisa, kecuali kita mendalami musik.
Demikian juga halnya dalam dhamma, sebelum kita sendiri mendalami, maka "kata orang" mengenai "orang yang tercerah" adalah tidak berarti. Semua hanya persepsi, hanya kecocokan.
Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?
Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?
Kesimpulan yg salah Bro Kai.
Saya tidak pernah berpikir untuk mencari keluar, mencari seorang Guru yg sempurna. Saya bahkan tidak memiliki satu orang Guru pun yg saya jadikan panutan (kecuali Buddha Gautama tentu saja :) siapa yang tidak?)... dalam beberapa kali mengikuti pelajaran Buddhisme, ada beberapa orang yg saya temui yg sangat piawai dalam teori dan sy nilai sempurna perilakunya, saya mengaguminya dan sependapat jika orang2 seperti ini pantas untuk dijadikan Mentor.
Dalam kehidupan sehari2 saya dan anda mungkin tidak banyak bedanya... tidak ada foto2 master ataupun pernak-pernik Buddhisme di sekitar saya.
Saya hanya bilang, bahwa jika ada seseorang yg berani mengaku dirinya seorang Master, maka ia harus siap ditest Teori dan dinilai Perilakunya oleh orang lain.
::
Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?aye rasa bukan mencari pegangan di luar bro, bukankah dalam buddhism ada sesuatu yang namanya tiisarana, berlindung pada sangha bukankah artinya membuat anggota sangha sebagai panutan, sebagai murid yang berusaha untuk menjalankan ajaran Buddha, sebagai orang yang bertekad untuk mengakhiri Dukkha, sebagai teladan, sebagai guru, sebagai pembimbing, betul tidak?
Ya, intinya Perkedel & Fabian mengajak untuk menemui bhikkhu yang mendukung pernyataan mereka, bukan? Saya tidak menyalahkan Pak Hudoyo jika sikapnya demikian. Sama saja yang terjadi jika Pak Hudoyo mengajak mereka yang bertemu bhikkhu yang mendukung MMD, dan paling-paling akan dicemooh, "beraninya berlindung di balik bhikkhu" seperti yang sudah terjadi, bukan?
Pengalaman meditasi seseorang, tidak akan pernah dimengerti orang lain, kecuali oleh mereka yang telah melalui pengalaman yang sama. Bagi orang-orang yang belum setingkat mereka, figur-figur tersebut menjadi kompeten karena "dikatakan demikian", berdasarkan persepsi.
Sewaktu Maurice Ravel menggelar konser "Fandango", semua kritikus mencelanya habis-habisan. Keadaan berkembang, percakapan menjadi kontroversi, kemudian digelar konser "Bolero" dan dipuji habis-habisan. Fandango dan Bolero adalah gubahan yang sama. Yang berbeda hanyalah persepsi orang. Lalu bagaimana kita mengetahui apakah lagu itu bermutu atau tidak? Tidak bisa, kecuali kita mendalami musik.
Demikian juga halnya dalam dhamma, sebelum kita sendiri mendalami, maka "kata orang" mengenai "orang yang tercerah" adalah tidak berarti. Semua hanya persepsi, hanya kecocokan.
Quote from: Kainyn_KuthoYa, intinya Perkedel & Fabian mengajak untuk menemui bhikkhu yang mendukung pernyataan mereka, bukan? Saya tidak menyalahkan Pak Hudoyo jika sikapnya demikian. Sama saja yang terjadi jika Pak Hudoyo mengajak mereka yang bertemu bhikkhu yang mendukung MMD, dan paling-paling akan dicemooh, "beraninya berlindung di balik bhikkhu" seperti yang sudah terjadi, bukan?
Jangan menyimpulkan pendapat secara sepihak, Bro.
Sdr. Perkedel dan Sdr. Fabian berkata kalau mereka kenal dengan bhikkhu yang bisa melihat assava. Lalu mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk menemui dan berdiskusi dengan bhikkhu yang bersangkutan. Kronologinya pun bukan seperti apa yang tampak pada kalimat Anda...
Ceritanya Pak Hudoyo menyatakan bahwa "aku" memang eksis di dalam diri kita (baca: nama-rupa). Semua aktivitas, termasuk kecenderungan batin untuk bergumul dalam lobha-dosa-moha adalah ulah si "aku". Singkat cerita, Pak Hudoyo tetap ngotot dengan pandangannya bahwa si "aku" yang menyeret kehidupan kita untuk terus bergulat dalam lobha-dosa-moha.
Berbeda dengan pendapat Pak Hudoyo, Sdr. Fabian mengeluarkan pendapat bahwa tidak ada si "aku" di dalam diri kita. Semua pergerakkan batin itu hanyalah delusi dan ilusi pikiran. Lobha-dosa-moha hanyalah sebuah proses, dan proses ini lagi-lagi bukan disebabkan oleh si "aku". Sdr. Fabian juga menyatakan bahwa proses lobha-dosa-moha ini dapat dicari pangkalnya melalui jalan meditatif, dan jawaban yang bisa kita lihat adalah assava (arus kekotoran batin).
Menanggapi pernyataan dari Sdr. Fabian ini, Pak Hudoyo langsung skeptis stadium 4 dan memasang barrier kuat-kuat. Oleh karena itu, Sdr. Fabian (dan juga Sdr. Perkedel) menawarkan Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang bersangkutan, karena Sdr. Fabian yakin dan ingin membuktikan bahwa assava memang bisa dilihat.
Nah, ketika Sdr. Fabian dan Sdr. Perkedel berani untuk memberikan bukti, Pak Hudoyo malah tidak mau tahu. Pak Hudoyo malah 'menantang balik' dan menyuruh bhikkhu yang bersangkutan untuk datang ke rumahnya, mengembangkan praduga subjektif, dan malah memberikan inspirasi klise pada Sdr. Perkedel tentang pentingnya kita menerapkan isi dari Kalama Sutta.
Saya bersikap netral. Tapi dari narasi singkat ini, menurut Anda siapa yang berperilaku kurang fair?Netral atau tidak, tidak bisa dinilai. Saya juga menganggap diri saya netral, tetapi apakah saya netral di mata kalian?
Pak Hudoyo sudah malang-melintang dalam praktik bermeditasi bertahun-tahun. Bhikkhu yang bersangkutan sudah mempraktikkan meditasi dalam waktu yang lama. Demikian juga Sdr. Fabian (dan mungkin Sdr. Perkedel). Mereka semua memiliki jam terbang yang tinggi dalam bermeditasi. Maka seharusnya mereka mengerti apa yang akan didiskusikan dan apa yang hendak dibuktikan.Jadi, waktu dan "jam terbang" meditasi dijadikan tolok ukur? :) OK, no comment.
Dalam kasus ini, sepertinya tidak relevan membahas kecocokan persepsi orang lain tentang "katanya-katanya" itu. Permasalahan hanyalah tentang Pak Hudoyo yang tidak mau menerima tawaran, dan malah mengeluarkan pernyataan bahwa di dunia ini tidak ada lagi narasumber (baca: saksi mata) yang bisa membagikan pengalaman nyata tentang Kebenaran yang dilihat dalam vipassana bhavana. Hanya sesederhana itu saja.
Pak Hudoyo tidak pernah mengajak siapapun untuk mengklarifikasi ataupun mengundang untuk membuktikan kepada Bhikkhu terkait pendukung MMD. Yg ada hanya membahas pernyataan-pernyataan yg diplesetkan dan pernyataan sepihak bahwa bhikkhu ini dan itu mendukung MMD. Saya yakin kalau beliau mengajak member disini untuk klarifikasi dengan kesantunan dan norma kebuddhistan tentu dan pasti ada yg terima. Yang pasti kita yg menghampiri bhikkhu itu bukan ' ajak bhhikhu itu kerumah saya' :))Kalau begitu, cobalah bro bond luangkan waktu diskusi dengan Bhante Pannavaro mengenai MMD. Nanti baru kita bahas lagi hasil diskusi tersebut.
Kesimpulan yg salah Bro Kai.Kalau benar demikian dan bro Wili tidak setuju bahwa opini seseorang dijadikan tolok ukur, berarti statemen saya tidak untuk bro Wili. :)
Saya tidak pernah berpikir untuk mencari keluar, mencari seorang Guru yg sempurna. Saya bahkan tidak memiliki satu orang Guru pun yg saya jadikan panutan (kecuali Buddha Gautama tentu saja :) siapa yang tidak?)... dalam beberapa kali mengikuti pelajaran Buddhisme, ada beberapa orang yg saya temui yg sangat piawai dalam teori dan sy nilai sempurna perilakunya, saya mengaguminya dan sependapat jika orang2 seperti ini pantas untuk dijadikan Mentor.
Dalam kehidupan sehari2 saya dan anda mungkin tidak banyak bedanya... tidak ada foto2 master ataupun pernak-pernik Buddhisme di sekitar saya.
Saya hanya bilang, bahwa jika ada seseorang yg berani mengaku dirinya seorang Master, maka ia harus siap ditest Teori dan dinilai Perilakunya oleh orang lain.
::
aye rasa bukan mencari pegangan di luar bro, bukankah dalam buddhism ada sesuatu yang namanya tiisarana, berlindung pada sangha bukankah artinya membuat anggota sangha sebagai panutan, sebagai murid yang berusaha untuk menjalankan ajaran Buddha, sebagai orang yang bertekad untuk mengakhiri Dukkha, sebagai teladan, sebagai guru, sebagai pembimbing, betul tidak?Jika berlindung di sini adalah menjadikan kualitas sebagai panduan, bukan berlindung pada pribadinya, maka saya setuju. Namun jika maksudnya adalah pribadinya, pendapatnya, maka saya tidak bisa setuju. Seperti saya katakan bahwa pendapat seseorang (yang bukan Samma Sambuddha) belum tentu benar. Jika pun benar, belum tentu cocok bagi seseorang.
Bro Bond... Kisah tentang Sun Lun Sayadaw itu sangat menarik... bisa tolong post kisahnya ke sini?
Anumodana..._/\_
:lotus:
Pak Hudoyo tidak pernah mengajak siapapun untuk mengklarifikasi ataupun mengundang untuk membuktikan kepada Bhikkhu terkait pendukung MMD. Yg ada hanya membahas pernyataan-pernyataan yg diplesetkan dan pernyataan sepihak bahwa bhikkhu ini dan itu mendukung MMD. Saya yakin kalau beliau mengajak member disini untuk klarifikasi dengan kesantunan dan norma kebuddhistan tentu dan pasti ada yg terima. Yang pasti kita yg menghampiri bhikkhu itu bukan ' ajak bhhikhu itu kerumah saya' :))Kalau begitu, cobalah bro bond luangkan waktu diskusi dengan Bhante Pannavaro mengenai MMD. Nanti baru kita bahas lagi hasil diskusi tersebut.
Jika berlindung di sini adalah menjadikan kualitas sebagai panduan, bukan berlindung pada pribadinya, maka saya setuju. Namun jika maksudnya adalah pribadinya, pendapatnya, maka saya tidak bisa setuju. Seperti saya katakan bahwa pendapat seseorang (yang bukan Samma Sambuddha) belum tentu benar. Jika pun benar, belum tentu cocok bagi seseorang.Ya Kualitas, tapi Pribadi pun bisa juga jadi panduan hasil dong walau tidak bisa di pukul rata ;D
Ok tenang aja bro, nanti kalau saya sempat dan memiliki waktu luang ke mendut lagi....ya. ;D
Oh ya...Kalau bro bisa dan juga ada waktu luang bisa sama-sama pergi, supaya objektif dari satu narasumber dengan mendengar langsung. Tapi ini terserah bro, dengan tujuan agar tidak ada praduga ,saya menyimpangkan arti dan makna hasil berdiskusi dengan bhante....kalau hasilnya sesuai MMD, saya ok2 saja, kalau tidak, lalu saya utarakan apakah MMD siap dan percaya..dan nafsunya semakin menggelora. saya yakin bro memiliki kenetralan yg cukup. Ini hanya ide saja. Intinya kalaupun bertemu saya tidak mau melibatkan Sangha dalam polemik ini. Ini sebagai ungkapan rasa hormat saya kepada Sangha. _/\_
Jadi saya yang sepihak yah? :)
Saya tidak ingat pihak anti-MMD beritikad baik sebagaimana kalian tuntut ketika Pak Hudoyo mengambil referensi dari Bhikkhu Pannavaro.
Entahlah dengan pendapat Pak Hudoyo, tetapi buat saya "moha" itulah "aku". Jadi apakah "aku" ada? Yah ada, selama masih dikuasai moha.
Sama saja seperti Buddha katakan tidak ada "kasta". Tetapi adakah kasta? Ada, selama pikiran orang dikuasai pikiran diskriminatif.
Tetap saja buktinya adalah saksi yang mendukung statement mereka, bukan? Itu bukan praduga subjektif, namun memang subjektif. Jika Pak Hudoyo melakukan hal yang sama (mengundang untuk bicara dengan bhikkhu yang mendukung MMD), juga akan saya katakan itu subjektif, tidak bisa dijadikan "bukti". Dari dulu pun ketika Pak Hudoyo mengatakan sesuatu berdasarkan pengalamannya, saya katakan itu subjektif.
Netral atau tidak, tidak bisa dinilai. Saya juga menganggap diri saya netral, tetapi apakah saya netral di mata kalian?
Jadi, waktu dan "jam terbang" meditasi dijadikan tolok ukur? :) OK, no comment.
Saya sedang bertanya-tanya, kalau seandainya ada bhikkhu dengan kualitas persis sama dengan bhikkhu tersebut, tetapi mendukung MMD, kira-kira sdr. Fabian & Perkedel mau dengar atau tidak yah?
Jika berlindung di sini adalah menjadikan kualitas sebagai panduan, bukan berlindung pada pribadinya, maka saya setuju. Namun jika maksudnya adalah pribadinya, pendapatnya, maka saya tidak bisa setuju. Seperti saya katakan bahwa pendapat seseorang (yang bukan Samma Sambuddha) belum tentu benar. Jika pun benar, belum tentu cocok bagi seseorang.Ya Kualitas, tapi Pribadi pun bisa juga jadi panduan hasil dong walau tidak bisa di pukul rata ;D
Terima kasih atas kepercayaan bro .Ok tenang aja bro, nanti kalau saya sempat dan memiliki waktu luang ke mendut lagi....ya. ;D
Oh ya...Kalau bro bisa dan juga ada waktu luang bisa sama-sama pergi, supaya objektif dari satu narasumber dengan mendengar langsung. Tapi ini terserah bro, dengan tujuan agar tidak ada praduga ,saya menyimpangkan arti dan makna hasil berdiskusi dengan bhante....kalau hasilnya sesuai MMD, saya ok2 saja, kalau tidak, lalu saya utarakan apakah MMD siap dan percaya..dan nafsunya semakin menggelora. saya yakin bro memiliki kenetralan yg cukup. Ini hanya ide saja. Intinya kalaupun bertemu saya tidak mau melibatkan Sangha dalam polemik ini. Ini sebagai ungkapan rasa hormat saya kepada Sangha. _/\_
Saya melihat bond anti-MMD, tetapi saya tidak melihat bond sebagai orang rendah yang akan sengaja menyimpangkan apa yang didengar dari bhante. Jadi tenang saja, saya percaya kok. :)
by upasaka
Entah juga bagaimana pandangan Pak Hudoyo tentang “aku”. Namun yang saya tangkap selama ini, Pak Hudoyo memang mengklaim bahwa ada “aku” (seperti pandangan J. Khrisnamurti). Dan tujuan tertinggi MMD adalah melenyapkan “aku” (perhatikan! bukan keakuan), sehingga tampak mengajarkan nihilisme. Di suatu kesempatan, bahkan Pak Hudoyo pernah menguatkan pernyataannya dengan berkata: “Memang demikianlah. Sebenarnya Sang Buddha juga mengajarkan nihilisme”.
Selengkapnya bisa dibaca di sini -> http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.msg204186.html#msg204186 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.msg204186.html#msg204186)
Sedangkan pernyataan-pernyataan Bhikkhu Pannavaro yang netral, dipakai oleh Pak Hudoyo untuk menguatkan pandanganya. Saya melihatnya seperti seorang anak berkata pada teman-temannya: “Tuh lihat, orang tua kalian bilang kalau makan nasi itu yang penting sopan. Jadi tidak masalah kalau mau makan pakai tangan kanan atau tangan kiri, karena yang penting sopan”.Anda boleh pergi bareng bro bond kalau ada kesempatan, bicara dengan Bhante Panna. Pendapat saya tentang bhante tidaklah penting bagi kalian, tetapi mungkin pendapat bhante langsung tentang MMD ada artinya.
Kalau Anda punya sudut pandang lain, coba sampaikan di sini. :)
Dalam Paticcasamuppada, avijja merupakan rantai yang pertama disebutkan. Avijja (ketidaktahuan) berbicara mengenai tanha (hasrat rendah) dan upadana (kemelekatan). Membicarakan tanha dan upadana, tidak akan terlepas dari lobha-dosa-moha. Lobha-dosa-moha ini yang merupakan “keakuan”. Ketiganya hanya proses kecenderungan di dalam batin, yang akan selalu ada selama assava (arus kekotoran batin) belum dicabut.Lobha dan Dosa tidak ada lagi pada seorang anagami. Tetapi seorang anagami masih memiliki moha/"keakuan". Oleh karena itu saya tidak mengatakan keakuan juga berakar pada lobha & dosa.
Apakah “aku” ada? Tidak ada, yang ada hanyalah konsepsi adanya “sang aku”. Keakuan hanya akan habis ketika lobha-dosa-moha telah dihancurkan; bukan hanya moha saja yang dihancurkan.Juga, penghancuran lobha dan dosa tanpa berakhirnya moha ada (seperti contoh anagami tersebut), namun tidak ada sebaliknya (penghancuran moha tanpa berakhirnya lobha dan dosa).
Entah juga bagaimana pandangan Pak Hudoyo tentang “aku”. Namun yang saya tangkap selama ini, Pak Hudoyo memang mengklaim bahwa ada “aku” (seperti pandangan J. Khrisnamurti). Dan tujuan tertinggi MMD adalah melenyapkan “aku” (perhatikan! bukan keakuan), sehingga tampak mengajarkan nihilisme. Di suatu kesempatan, bahkan Pak Hudoyo pernah menguatkan pernyataannya dengan berkata: “Memang demikianlah. Sebenarnya Sang Buddha juga mengajarkan nihilisme”.Ingat ketika bro Tan mengatakan non-mahayanis mengajarkan nihilisme dan pihak Theravada mengatakan mahayana mengajarkan eternalisme? :) Menarik, tapi saya tidak akan bahas di sini.
Dalam kasus ini, bhikkhu yang bersangkutan tidak ada hubungannya dengan Sdr. Fabian maupun Pak Hudoyo. Bhikkhu itu hanya berdiri sebagai penengah, kalau Pak Hudoyo menamakannya “narasumber”.Ya, saya tidak sampai mengatakan diperalat atau hal-hal negatif lainnya, intinya hanya bahwa hal tersebut adalah subjektif.
Memang dalam pandangan awam seperti kita, pengalaman bhikkhu itu pun bisa kita katakan subjektif. Tapi yang perlu digaris-bawahi adalah bhikkhu itu bukanlah ‘bekingan’ ataupun diperalat sebagai saksi penguat oleh Sdr. Fabian. Ini yang saya katakan kalau Anda seolah melihat kasus ini secara sepihak. Kalau Anda punya sudut pandang lain, coba sampaikan di sini. :)
Saya selalu melihat Anda mencoba untuk bersikap netral. Entah bagaimana dengan pendapat dari makhluk-makluk lain._/\_
Maksud saya, mereka adalah orang-orang yang cukup memahami dunia meditasi. Seharusnya mereka bisa lebih memahami dan menangkap apa yang mereka diskusikan.Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa mereka yang menjadi kritikus juga "memahami" dunia musik (kalau tidak, tidak mungkin jadi kritikus). Hanya saja, persepsi mereka pun berubah dan menjadi tidak kredibel.
Anda kemarin memakai perumpamaan tentang “Fandango” dan “Bolero”, bukan?
Nah, mereka ini orang yang cukup mendalami ‘aspek musik’…
Saya pikir mau dengar kok. Tapi tidak hanya sampai dengar. Jika pihak MMD berkenan memberi penawaran langka untuk berdiskusi dan membuktikan kebenaran yang dilihat dari MMD, saya pikir mereka juga mau melihat pembuktiannya.
:)) ... Konsep cuma konsep ... debat juga cuma debat ... niat dan tujuan pasti beda ... ada yang kekanan, kekiri, keatas, kebawah, de el el ... :))
Tapi dah ada yang nyampe tujuan belum yah ?? Apa emang cuman buat ngeramein suasana aja tuh ?? :P
MMD salah ?? Cobain dulu, baru tau lemahnya dimana, salahnya dimana,
Vipassana bener ?? cobain juga, baru tau manfaatnya apa ... :)) ... Bukan dicopas berdasar teori aja ... Kan dah pada tau, kalo setiap prang punya pemahaman, pengalaman laen2 berdasar kammanya ... :))
Masalah jago-jagoan, menang-menangan, kalah-kalahan, bener-beneran, salah-salahan, debat-debatan, bales-balesan, siapa yang salah ?? Siapa yang bener ?? Lha semua cuma 'gerak batin' aja koq... :)) ...
Kalo dirasa konsepnya beda yah udah beda, ngapain mengumandangkan 'pembenaran' ?? Siapa sih yang benar ?? Aku ?? Aku yang mana ?? Aku yang berpendapat ?? atau Aku yang berpegang pada sebuah konsep ?? atau beberapa konsep ??
Dalam praktek apapun, konsep memang diperlukan, tapi gak harus di tekankan buat yang lain ... Semua bisa milih ... bebas milih ... gak ada benar, gak ada salah ... semua cuman gerak batin ... Dan kalaupun ada pembenaran, itu cuma kesepakatan umum aja koq ... Kenyataannya se-salah apapun konsep yang telah dibuat/ diyakini/ diiman-i, toh ada aja kan orang yang milih dan juga membenarkan ... :P
_/\_
Nah di sini sudah di katakan khan ada seorang GURU, memberikan ajaran yang KATANYA asli dari Buddha, dan dari sepak terjang nya di dunia maya tidak ada yang salah khan ada yang pro dan kontra, apabila ada penyerangan pribadi itu sudah pasti hal yang tidak bisa dihindarkan, tergantung dari manakah kita memabdang, apakah dia bisa menerima atau tidak itu bisa jadi bahan pertimbangan seseorang untuk memilih dia sebagai guru atau tidak, ajarannya baik atau tidak. jangan seperti contoh cerita zen ini lho :Jika berlindung di sini adalah menjadikan kualitas sebagai panduan, bukan berlindung pada pribadinya, maka saya setuju. Namun jika maksudnya adalah pribadinya, pendapatnya, maka saya tidak bisa setuju. Seperti saya katakan bahwa pendapat seseorang (yang bukan Samma Sambuddha) belum tentu benar. Jika pun benar, belum tentu cocok bagi seseorang.Ya Kualitas, tapi Pribadi pun bisa juga jadi panduan hasil dong walau tidak bisa di pukul rata ;D
Ya, kalau pribadinya, semua tergantung kecocokan. Seperti dahulu ada yang cocok dengan guru berkepribadian "diam", memilih guru yang kebanyakan tinggal di hutan. Ada juga yang cocok dengan guru berkepribadian "pengajar", memilih guru yang dekat dan sering memberikan petunjuk pada umat awam.
Kualitas yang bersifat gerenal adalah sila yang dijalani seseorang, sedangkan pribadi adalah berdasarkan kecocokan masing-masing.
Nah di sini sudah di katakan khan ada seorang GURU, memberikan ajaran yang KATANYA asli dari Buddha, dan dari sepak terjang nya di dunia maya tidak ada yang salah khan ada yang pro dan kontra, apabila ada penyerangan pribadi itu sudah pasti hal yang tidak bisa dihindarkan, tergantung dari manakah kita memabdang, apakah dia bisa menerima atau tidak itu bisa jadi bahan pertimbangan seseorang untuk memilih dia sebagai guru atau tidak, ajarannya baik atau tidak. jangan seperti contoh cerita zen ini lho :
Alkisah terdapat seorang petapa yang sangat mahir dalam agama Buddha dan juga bersyair, dia pun bertapa di sebuah puncak gunung yang tinggi. Di atas puncak gunung yang tinggi, angin berhembus sangat kencang dan dingin, semilir angin lembah juga datang menghampirinya setiap waktu dia bermeditasi. Ia pun menuliskan sebuah syair tentang pencapaian Enlightenmentnya atau kita sebut dengan "AHA"
ia menuliskan begini, "Semua angin yang datang merasuk ke tubuhku, tidak satu anginpun yang dapat menggoyahkan batinku, aku begitu tenang dan damai disini, Batinku seimbang laksana gunung kokoh yang berdiri menjulang"
Lalu setelah ia menulis puisi itu dilukiskan gunung dan hembusan angin yang begitu indah dipandang mata. Dikirimkannya lukisan puisi itu kepada gurunya , seorang biarawan yang bertempat di gunung sebelah. SEtelah gurunya melihat, gurunya mencorat coret isi lukisannya dengan sebuah tulisan "KENTUT", dan dikirim balik kepada muridnya itu.
Muridnya ayng mengira gurunya akan memuji pencerahannya begitu terkejut dengan tulisan KENTUT itu, dan segera ia turun gunung menemui gurunya untuk menanyakan hal ini. di hadapan gurunya,ia pun marah-marah. "Guru, kenapa kamu mencoretkan KENTUT di atas lukisan aku? susah payah aku menulis indah sekian tahun ini mengenai pengalaman pencerahan aku dan kamu tulis KENTUT"
Guru setelah mendengar semua keluh kesah muridnya mulai berkata "Lho, tadi katanya tiada angin apapun yang dapat menggoyahkan batinku,kok KENTUT aja bisa membuat kamu marah-marah,ini baru tulisan belum ANGIN KENTUT sebenarnya, kenapa kamu marah?kenapa kamu terpojokkan?"
Pendapat saya pribadi, asava tidak semata-mata "dilihat" begitu saja dalam vipassana. Asava bisa dikenali oleh mereka yang telah mencapai kesucian, yang karenanya, memiliki "kesaktian" lokuttara melihat Asava (asavakkhayañana). Walaupun demikian, ia tetap tidak bisa membuat orang lain melihat asava, sehingga usaha pembuktian tersebut adalah hal sia-sia.
Ini seperti misalnya saya tidak punya mata-dewa, anda juga tidak. Saya percaya dan anda tidak. Lalu saya bawa anda ke orang yang punya mata-dewa. Tidak akan terjadi pembuktian apa pun.
Di sini, saya setuju dengan sikap Pak Hudoyo terhadap "pembuktian lihat-melihat asava", tetapi tidak setuju dengan cara merespon ajakannya.
Anda boleh pergi bareng bro bond kalau ada kesempatan, bicara dengan Bhante Panna. Pendapat saya tentang bhante tidaklah penting bagi kalian, tetapi mungkin pendapat bhante langsung tentang MMD ada artinya.
Lobha dan Dosa tidak ada lagi pada seorang anagami. Tetapi seorang anagami masih memiliki moha/"keakuan". Oleh karena itu saya tidak mengatakan keakuan juga berakar pada lobha & dosa.
Juga, penghancuran lobha dan dosa tanpa berakhirnya moha ada (seperti contoh anagami tersebut), namun tidak ada sebaliknya (penghancuran moha tanpa berakhirnya lobha dan dosa).
Ingat ketika bro Tan mengatakan non-mahayanis mengajarkan nihilisme dan pihak Theravada mengatakan mahayana mengajarkan eternalisme? :) Menarik, tapi saya tidak akan bahas di sini.
Ya, saya tidak sampai mengatakan diperalat atau hal-hal negatif lainnya, intinya hanya bahwa hal tersebut adalah subjektif.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa mereka yang menjadi kritikus juga "memahami" dunia musik (kalau tidak, tidak mungkin jadi kritikus). Hanya saja, persepsi mereka pun berubah dan menjadi tidak kredibel.
Saya pribadi, ketika bertukar pikiran, dengan master meditasi paling hebat di dunia dan dengan seseorang "hina" yang entah siapa, saya tetap akan meresponnya sama persis.
Untuk saling menerima itu saya sedikit pesimis karena sedikit banyak, kedua pihak punya hubungan "sejarah" yang buruk. Setidaknya, jika sikap saling menyerang dihentikan saja dan kedua pihak berjalan masing-masing, itu sudah baik sekali.
Nah di sini sudah di katakan khan ada seorang GURU, memberikan ajaran yang KATANYA asli dari Buddha, dan dari sepak terjang nya di dunia maya tidak ada yang salah khan ada yang pro dan kontra, apabila ada penyerangan pribadi itu sudah pasti hal yang tidak bisa dihindarkan, tergantung dari manakah kita memabdang, apakah dia bisa menerima atau tidak itu bisa jadi bahan pertimbangan seseorang untuk memilih dia sebagai guru atau tidak, ajarannya baik atau tidak. jangan seperti contoh cerita zen ini lho :
Alkisah terdapat seorang petapa yang sangat mahir dalam agama Buddha dan juga bersyair, dia pun bertapa di sebuah puncak gunung yang tinggi. Di atas puncak gunung yang tinggi, angin berhembus sangat kencang dan dingin, semilir angin lembah juga datang menghampirinya setiap waktu dia bermeditasi. Ia pun menuliskan sebuah syair tentang pencapaian Enlightenmentnya atau kita sebut dengan "AHA"
ia menuliskan begini, "Semua angin yang datang merasuk ke tubuhku, tidak satu anginpun yang dapat menggoyahkan batinku, aku begitu tenang dan damai disini, Batinku seimbang laksana gunung kokoh yang berdiri menjulang"
Lalu setelah ia menulis puisi itu dilukiskan gunung dan hembusan angin yang begitu indah dipandang mata. Dikirimkannya lukisan puisi itu kepada gurunya , seorang biarawan yang bertempat di gunung sebelah. SEtelah gurunya melihat, gurunya mencorat coret isi lukisannya dengan sebuah tulisan "KENTUT", dan dikirim balik kepada muridnya itu.
Muridnya ayng mengira gurunya akan memuji pencerahannya begitu terkejut dengan tulisan KENTUT itu, dan segera ia turun gunung menemui gurunya untuk menanyakan hal ini. di hadapan gurunya,ia pun marah-marah. "Guru, kenapa kamu mencoretkan KENTUT di atas lukisan aku? susah payah aku menulis indah sekian tahun ini mengenai pengalaman pencerahan aku dan kamu tulis KENTUT"
Guru setelah mendengar semua keluh kesah muridnya mulai berkata "Lho, tadi katanya tiada angin apapun yang dapat menggoyahkan batinku,kok KENTUT aja bisa membuat kamu marah-marah,ini baru tulisan belum ANGIN KENTUT sebenarnya, kenapa kamu marah?kenapa kamu terpojokkan?"
Saya tidak berani mengeluarkan spekulasi prematur mengenai bagaimana cara mereka membuktikannya. Tapi kalau menurut pendapat saya, ehipassiko saja. Memang apa ada yang rugi kalau mereka semua berdiskusi bersama mengenai pembuktian asava. Saya rasa tidak ada yang punya niat jahat untuk mencelakai satu sama lain. Kecuali ada orang yang cemas pada reputasinya yang bisa turun jika sampai pertemuan ini terjadi.Seperti saya bilang, karena punya hubungan yang "buruk", jadi pendekatan apa pun akan jadi sulit.
Omong-omong.. apakah kesimpulan bahwa moha = keakuan itu didapat dari referensi Sutta, atau hanya konklusi dari Bro Kainyn?Saya tidak ingat karena saya punya pandangan itu sejak lama. Sepertinya konklusi pribadi. Kalaupun ada di sutta, sepertinya saya tidak temukan yang menyiratkan langsung moha = keakuan.
Ya. Tapi, untuk mengklaim apakah memang Sang Buddha mengajarkan nihilisme atau tidak, kita harus mengenali apa saja kriteria yang memenuhi suatu ajaran untuk bisa disebut sebagai nihilisme.Saya pun tidak bilang nihilisme. Dan sebenarnya dulu saya pernah bahas nihilisme & "anatta" dengan Pak Hudoyo ketika saya ditanya umat lain mengenai "nibbana". Di situ, sama sekali Pak Hudoyo tidak menyetujui "anatta" = nihilisme. Saya rasa karena beda sudut pandang dan konteks bicara dari lawan bicara yang berbeda, maka statement-nya berbeda.
Menurut pemahaman saya, Ajaran Sang Buddha (dalam konteks ini adalah Aliran Theravada) tidak memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai ajaran nihilisme. Dan memang topik ini kurang cocok untuk dibahas di dalam thread ini.
Sesuatu yang bersifat fakta tanpa bias opini dari subjek.Quote from: Kainyn_KuthoYa, saya tidak sampai mengatakan diperalat atau hal-hal negatif lainnya, intinya hanya bahwa hal tersebut adalah subjektif.
Selama ini kita terus menyatakan bahwa “ini subjektif” dan “itu subjektif”. Menurut Bro Kainyn, bagaimanakah yang objektif itu?
* No offense, hanya ingin tahu pendapat Anda saja. :)
Namun dalam forum dunia maya seperti ini, semua orang bebas berpendapat. Dan karena masih terkungkung dalam persepsi masing-masing, semuanya hanya spekulasi dan subjektif.
Kendati pun seorang Savaka Buddha datang dan menjelaskan tentang Kebenaran, tetap saja kita yang masih moha ini menganggap ucapannya subjektif. Dan mungkin lebih dari itu, ada pula orang yang melihat ucapan seorang Sammasambuddha juga subjektif. Makanya ada orang yang tetap tidak bisa menerima wejangan Dhamma dari seorang Sammasambuddha.
Kalau sudah begitu, melihat suatu hal yang subjektif pun merupakan pandangan subjektif. Dan apakah melihat suatu hal yang objektif pun juga merupakan pandangan subjektif?
Ya, saya lihat pun demikian. Selama ini semua diskusi antar dua pihak hampir selalu tidak bisa mencapai hasil yang memuaskan bagi kedua pihak. Jarang sekali pihak yang kalah mengakui kekalahannya, atau pun pihak yang menang mengumandangkan kemenangannya. Yang biasa terjadi hanyalah diskusi tak berpangkal, atau diskusi yang putus di tengah jalan dan tidak dilanjutkan lagi karena suasana keruh.Secara mengejutkan, Pak Hudoyo mengatakan hal yang senada. Pak Hudoyo mengatakan debat sekarang ini bukan untuk MMD atau "lawan" MMD, tetapi bagi pihak ke tiga yang membaca agar mau berpikir. :)
Namun paling tidak, dari diskusi itu semua pihak mendapatkan pembelajaran dan pematangan batin. Dan pihak ketigalah yang biasanya paling banyak mendapatkan manfaat ini.
Pendapat saya pribadi, asava tidak semata-mata "dilihat" begitu saja dalam vipassana. Asava bisa dikenali oleh mereka yang telah mencapai kesucian, yang karenanya, memiliki "kesaktian" lokuttara melihat Asava (asavakkhayañana). Walaupun demikian, ia tetap tidak bisa membuat orang lain melihat asava, sehingga usaha pembuktian tersebut adalah hal sia-sia.
Ini seperti misalnya saya tidak punya mata-dewa, anda juga tidak. Saya percaya dan anda tidak. Lalu saya bawa anda ke orang yang punya mata-dewa. Tidak akan terjadi pembuktian apa pun.
Di sini, saya setuju dengan sikap Pak Hudoyo terhadap "pembuktian lihat-melihat asava", tetapi tidak setuju dengan cara merespon ajakannya.
Seperti saya bilang, karena punya hubungan yang "buruk", jadi pendekatan apa pun akan jadi sulit.
Saya tidak ingat karena saya punya pandangan itu sejak lama. Sepertinya konklusi pribadi. Kalaupun ada di sutta, sepertinya saya tidak temukan yang menyiratkan langsung moha = keakuan.
Saya pun tidak bilang nihilisme. Dan sebenarnya dulu saya pernah bahas nihilisme & "anatta" dengan Pak Hudoyo ketika saya ditanya umat lain mengenai "nibbana". Di situ, sama sekali Pak Hudoyo tidak menyetujui "anatta" = nihilisme. Saya rasa karena beda sudut pandang dan konteks bicara dari lawan bicara yang berbeda, maka statement-nya berbeda.
Sesuatu yang bersifat fakta tanpa bias opini dari subjek.
Dalam musik, konsonan dan disonan adalah objektif; merdu dan tidak merdu adalah subjektif.
Tepat sekali. Makanya saya selalu katakan sebelum kita merealisasi kesucian, semuanya hanyalah kebenaran relatif. Semua pandangan-pandangan dan ajaran dhamma boleh jadi adalah kebenaran, namun tetap relatif. Yang "hebat" dari kualitas seorang pengajar (Samma Sambuddha) adalah mengetahui kebenaran relatif mana yang cocok bagi orang sehingga membantu merealisasi kebenaran mutlak. Apa itu kebenaran mutlak? Saya belum tahu. Kendati pun saya tahu, saya tidak bisa mengatakannya.
Secara mengejutkan, Pak Hudoyo mengatakan hal yang senada. Pak Hudoyo mengatakan debat sekarang ini bukan untuk MMD atau "lawan" MMD, tetapi bagi pihak ke tiga yang membaca agar mau berpikir. :)
Secara mengejutkan, Pak Hudoyo mengatakan hal yang senada. Pak Hudoyo mengatakan debat sekarang ini bukan untuk MMD atau "lawan" MMD, tetapi bagi pihak ke tiga yang membaca agar mau berpikir. :)mau berpikir atau diarahkan ke arah yang sesat tuh, seperti kasus kata2 suhu yang cuma bilang astaga doang langsung di kasih komentar dan di arahkan untuk pembaca lho =))
QuotePendapat saya pribadi, asava tidak semata-mata "dilihat" begitu saja dalam vipassana. Asava bisa dikenali oleh mereka yang telah mencapai kesucian, yang karenanya, memiliki "kesaktian" lokuttara melihat Asava (asavakkhayañana). Walaupun demikian, ia tetap tidak bisa membuat orang lain melihat asava, sehingga usaha pembuktian tersebut adalah hal sia-sia.
Ini seperti misalnya saya tidak punya mata-dewa, anda juga tidak. Saya percaya dan anda tidak. Lalu saya bawa anda ke orang yang punya mata-dewa. Tidak akan terjadi pembuktian apa pun.
Di sini, saya setuju dengan sikap Pak Hudoyo terhadap "pembuktian lihat-melihat asava", tetapi tidak setuju dengan cara merespon ajakannya.
[at] kainyn dan all
Apa yg saya tau, saya dengar dan apa yg telah saya lihat...
Seorang bhikkhu yg mahir ketika melihat muridnya tentang pencapaiannya ada 2 cara :(ini pernah saya tulis, hanya lupa di topik mana)
1. yang sering dan umum adalah melalui wawancara tentang pengalaman si murid
2. Sang Guru langsung melihat batin orang itu dengan abinnanya melihat citta dari orang itu. Apakah masih ada kilesa atau tidak.
Dan biasanya sekalipun dia sudah memiliki abinna tau, Sang Guru tetap melakukan wawancara dengan tujuan agar si murid mendapatkan penjelasan lebih rinci.
Dalam hal pembuktian asava pun ada 2 cara bagi kita yg belum melihat:
1. Kita sendiri harus serta merta mau langsung terjun dengan melatihnya.
2.Seorang Guru yang mahir dalam abinna maka akan menunjukan asava dengan diam-diam sepanjang panna murid itu sudah matang. Pembuktian ini tergantung sang guru.
Permasalahannya sering kali kita tidak mau, malas, masa bodoh, merasa tak perlu, untuk dibuktikan kebenaran, tetapi MELULU mengatakan "ayo buktikan", ayo buktikan" tapi tidak ada realisasi nyata...Seperti komandan berperang dan berteriak "maju...." tapi komandannya sendiri diam ditempat....hingga pada akhirnya hanya pada keraguan, terjebak pada pandangan diri sendiri tanpa melihat apa yg terjadi diluar rumah.
oo...cara apapun maka menjadi tidak cocok....karena ketumpulan batin ooo....apa yg terjadi?
pembuktian bagi yg belum melihat, adalah harus kita sendiri melatih lalu baru tau apakah yg dikatakan sang guru benar...sehingga dasar pandangan benar sudah ada, nah kalau beruntung bisa ada guru yg memperlihatkan asava dengan cara2 yg unik melalui abinna, ini seringkali dilakukan Sang Buddha.Misalnya Sang Buddha memberikan penglihatan kepada seorang wanita(saya lupa namanya ) dari cantik, tua peyot dan mati) karena panna yg matang dia langsung melihat asava melalui nimitta yg diberikan Sang Buddha dan munculah nyana dan terealisasilah kesucian.
Ada Satu buku menarik tentang kehidupan Mae-Chee Kaew, dia adalah anagarini di Thailand dan biasa dipanggil mae chee untuk anagarini. Beliau adalah murid dari ajahn Mun dan Luangta Mahaboowa. Ajahn Mun pernah memperlihatkan bagaimana proses tubuh yg lapuk dalam meditasinya Mae chee kaew ini....demikian Luangta Mahaboowa memperlihatkan hal yg sama...hingga Mae chee Kaew mencapai tingkat kearahatan...
Lalu dari cerita Sunlun Sayadaw 1 minggu setelah ia ditahbiskan , didatangi mara dengan percakapan2 yg menggoda...ini adalah tanda atau nimita/manifestasi dari asava. Dan mereka yg telah memiliki panna untuk pencapaian akan mengenalinya.
Bagaimana kita buat kesimpulan kita bisa lihat ada banyak kemiripan dan kesamaan pengalaman dari para meditator2 dalam melihat asava ini. Dan juga kebetulan sekali guru om Fabian sudah melihat asava itu, dan mengajarkan om Fabian meditasi, om Fabian telah membuktikan dan melihat apa yg diajarkan guru itu.Nah apakah harus ragu bahwa guru itu juga tidak melihat asava? padahal pengetahuan yg diberikan gurunya baru secuil tapi sudah terbukti dengan NYATA.
Demikian dalam arahat magga dan phala Luangta Mahaboowa juga ada diceritakan nimitta of asava.
Tentu ada pertanyaan apakah saya telah melihatnya? saya katakan belum. Tapi saya bertanya balik apakah cerita pengalaman dari para bhikkhu Ariya yang telah menjadi teladan bohong? jika kita mengatakan belum tentu benar, karena belum melihat, maka saya akan tanya lalu bagaimana Anda akan membuktikannya, apakah debat....? no..no..no.....ini tidak bisa dibuktikan dengan debat tapi dengan praktek...
Lalu mengapa kita berdebat...? karena ingin ada konklusi dan konklusi itu telah hampir SELESAI ketika Hudoyo melakukan TANTANGAN kepada perkedel...Nyatanya ...kita bisa lihat hasilnya.
saya yakin bhikkhu yg akan ditunjukkan perkedel kelihatannya bisa membaca batin master MMD...mungkin ini menjadi salah satu kekhawatiran si master MMD. Misalnya apa sih niat si Master MMD setelah ketauan kedoknya, sekalipun si bhikkhu ngak akan terang2an kasi tau...tapi ini sih khayalan saja..tak perlu digubris... ^-^
Dear Anatta..., ;)
Yah, lihat2 kebutuhan atau kepentingan lah.
Saat ada sutta yang sesuai dengan kebutuhan / kepentingan pribadi ya, sutta itu jadi sarana khan, dan sutta itu akan didukung yang berkepentingan .. "itu adalah salah satu sutta yang memang dikhotbahkan Sang Buddha".
Sepetinya begitu... ;)
Tulisan Bold .....agama buddha != buddha dhamma
ada yg tidak gw pahami dan mengerti
pak Hud, mengatakan pewaris ajaran Sang Guru ..... Guru yg mana ::) ???
Jika asumsi gw Guru Buddha Gotama, maka pernyataan2 beliau berlawanan dengan kalimat yg di bold
Kenapa?? ...... karna beliau mengatakan tidak pernah mengajarkan agama Buddha
Artinya ::) ......Tulisan Bold .....agama buddha != buddha dhamma
ada yg tidak gw pahami dan mengerti
pak Hud, mengatakan pewaris ajaran Sang Guru ..... Guru yg mana ::) ???
Jika asumsi gw Guru Buddha Gotama, maka pernyataan2 beliau berlawanan dengan kalimat yg di bold
Kenapa?? ...... karna beliau mengatakan tidak pernah mengajarkan agama Buddha
Tentu ada pertanyaan apakah saya telah melihatnya? saya katakan belum. Tapi saya bertanya balik apakah cerita pengalaman dari para bhikkhu Ariya yang telah menjadi teladan bohong? jika kita mengatakan belum tentu benar, karena belum melihat, maka saya akan tanya lalu bagaimana Anda akan membuktikannya, apakah debat....? no..no..no.....ini tidak bisa dibuktikan dengan debat tapi dengan praktek...
Lalu mengapa kita berdebat...? karena ingin ada konklusi dan konklusi itu telah hampir SELESAI ketika Hudoyo melakukan TANTANGAN kepada perkedel...Nyatanya ...kita bisa lihat hasilnya.
saya yakin bhikkhu yg akan ditunjukkan perkedel kelihatannya bisa membaca batin master MMD...mungkin ini menjadi salah satu kekhawatiran si master MMD. Misalnya apa sih niat si Master MMD setelah ketauan kedoknya, sekalipun si bhikkhu ngak akan terang2an kasi tau...tapi ini sih khayalan saja..tak perlu digubris... ^-^
Tentu ada pertanyaan apakah saya telah melihatnya? saya katakan belum. Tapi saya bertanya balik apakah cerita pengalaman dari para bhikkhu Ariya yang telah menjadi teladan bohong? jika kita mengatakan belum tentu benar, karena belum melihat, maka saya akan tanya lalu bagaimana Anda akan membuktikannya, apakah debat....? no..no..no.....ini tidak bisa dibuktikan dengan debat tapi dengan praktek...
Lalu mengapa kita berdebat...? karena ingin ada konklusi dan konklusi itu telah hampir SELESAI ketika Hudoyo melakukan TANTANGAN kepada perkedel...Nyatanya ...kita bisa lihat hasilnya.
saya yakin bhikkhu yg akan ditunjukkan perkedel kelihatannya bisa membaca batin master MMD...mungkin ini menjadi salah satu kekhawatiran si master MMD. Misalnya apa sih niat si Master MMD setelah ketauan kedoknya, sekalipun si bhikkhu ngak akan terang2an kasi tau...tapi ini sih khayalan saja..tak perlu digubris... ^-^
Bro bond, saya bukan percaya ataupun tidak percaya. Yang saya sampaikan adalah seandainya benar pun demikian, "pengalaman pribadi" tidak bisa dijadikan referensi, dan sebetulnya debat seperti itu tidak akan ada habisnya seperti Tuhan ada dan tidak ada, karena semua kembali pada pribadi masing-masing tentang bagaimana memandang sesuatu.
Seorang yang sudah mencapai tingkat Sotapanna sudah menghancurkan 3 belenggu pertama. Seorang yang sudah mencapai tingkat Anagami sudah menghancurkan 5 belenggu pertama.Kalau pendapat saya, seorang Sotapanna sudah tidak memandang adanya "aku" dan sebagainya, namun "akibat lampau" dari "kebodohan bathin" masih ada, tidak serta-merta berhenti langsung. Ibaratnya air dalam panci dipanaskan, setelah api dimatikan, air tidak langsung "dingin". Apakah api masih ada? Tidak. Apakah akibat dari api masih ada? Ya, ada.
Seorang Sotapanna sudah menghancurkan keakuan / konsepsi adanya si "aku". Di tingkat Anagami, lobha (ketertarikan) dan dosa (penolakan) sudah berhasil ditanggalkan. Pada tingkat Arahat, semua belenggu telah dihancurkan; termasuk "ketidaktahuan" (avijja).
Kalau dilihat dari uraian ini, keakuan sudah tidak lagi ditemukan pada seorang yang mampu merealisasi salah satu dari tingkat-tingkat kesucian. Di uraian ini, tidak disinggung mengenai moha. Yang ditekankan adalah avijja. Secara garis besar, mungkin dapat disimpulkan bahwa:
- tidak semua bentuk avijja merupakan moha
- semua bentuk moha merupakan avijja
Moha hanya berbicara dalam tataran kebodohan batin, di mana seseorang tidak bisa melihat pergerakan batin dengan jelas. Moha yang pekat mengakibatkan seseorang bisa terus bergumul dalam lobha dan dosa. Sedangkan avijja berbicara dalam koridor ketidaktahuan akan Kebenaran. Dalam hal ini adalah kebenaran tentang dukkha, asal-mula dukkha, akhir dukkha, dan jalan menuju terhentinya dukkha. Singkat kata, avijja merupakan ketidaktahuan akan kebenaran mutlak. Dalam konteks ini, ketidaktahuan akan keberadaan asava (arus kekotoran batin) juga termasuk di dalamnya.
Apa Anda setuju, atau ada pendapat lain?
Entah, saya juga tidak mau berspekulasi terlalu jauh. Pak Hudoyo memang cukup kontroversial. Kadang kala Pak Hudoyo melontarkan pernyataan yang 'ekstrim', kadang pula dia melontarkan pernyataan yang kontradiktif. Atau mungkin Pak Hudoyo mengalami masa transformasi pola pandang; sehingga suatu waktu dia tidak menyatakan Ajaran Sang Buddha adalah nihilisme, tapi suatu waktu kemudian akhirnya dia menyatakan bahwa Ajaran Sang Buddha adalah nihilisme. Demikian pula konsep dari metode MMD. Di mana pada akhirnya Pak Hudoyo menggagaskan wujud final dari MMD (http://fsckedt.blogsome.com/2008/03/28/mmd-menemukan-wujud-finalnya/).Diskusi dhamma, bukanlah sebuah pembicaraan dogma yang sederhana. Seperti saya katakan, tergantung konteks, kemampuan bicara dan kemampuan lawan bicara, maka sebuah statement bisa berubah. Suatu ketika seorang upasaka mengatakan bahwa Buddha menjelaskan perasaan terbagi dua dan seorang bhikkhu mengatakan Buddha menjelaskan perasaan terbagi tiga. Mereka saling berdebat dengan keras kepala. Akhirnya kejadian itu disampaikan oleh Ananda ke Buddha yang mengatakan bahwa kedua orang itu benar, namun mereka tidak mengerti konteks yang dibawakan.
Baik. Kalau begitu, menurut Anda... Apakah ada hal objektif dari Ajaran Sang Buddha yang justru ditolak atau dipandang sebagai hal subjektif oleh Pak Hudoyo?Seperti saya katakan, namanya kepercayaan itu semua adalah subjektif. Tipitaka adalah demikian adanya, namun ketika dibaca satu orang, maka timbul satu pengertian. Dibaca orang lain, timbul pengertian lain. Yang objektif hanyalah tulisan. Ketika tulisan dipersepsi dan diproses pikiran, semua menjadi subjektif. Oleh karena itu saya katakan semua hanyalah kecocokan. Jika seseorang memandangnya demikian, maka pikiran "saya yang benar", "Buddhisme adalah aku, milikku", "aliran lain sesat" dan lain-lain tidak akan ada. Ia mengetahui semua itu hanyalah objek yang diproses khanda, dan khanda berubah, tidak kekal, dan rapuh.
Jika ada, coba Bro Kainyn kemukakan...
Numpang nanya, apa yg diajarkan Sang Buddha itu pengalaman Sang Buddha pribadi atau bukan?
[at] Ratnakumara: Kalau dia benar2 mengikuti petunjuk di POTALIYA-SUTTA, kenapa dia gak mengecam dirinya sendiri dan memuji kita ya??!... =)) =)) =))
Numpang nanya, apa yg diajarkan Sang Buddha itu pengalaman Sang Buddha pribadi atau bukan?
Tergantung bagi siapa. Bagi saya sih, bukan, maka saya masih berpegang pada Tipitaka.
Mengenai referensi, ketika Buddha mengajar, Buddha cenderung tidak menggunakan diri sendiri sebagai sudut pandang, namun sudut pandang orang yang diajar tersebut. Buddha tidak mengatakan, "saya lihat, kamu tidak", tetapi membahas dari sudut pandang orang yang memang tidak melihat. Itulah mengapa Buddha saya katakan bijaksana.
1. Penolakan terhadap Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Ariya Beruas Delapan
2. Pelarangan bagi ummat Buddha untuk melakukan berbagai bentuk Puja ( Namaskara, pembacaan Paritta, dll. ) saat sedang mengikuti retret “MMD”.
3. Tujuan “MMD” adalah “berhentinya-pikiran” ( bukan Nibbana sebagaimana Sang Buddha menunjukkannya sebagai tujuan-sejati bagi ummat Buddha )kemaren sempet diskusi sama si yaHud di eFBe... keknya dia salah kata deh..
4. Penegasan bahwa “MMD” adalah meditasi vipassana “Ala Krishnamurti” ; bukan vipassana ala Buddhisme umumnya.
5. Penggunaan Bahiya-Sutta, Malunkyaputta-Sutta, dan Angulimala-Sutta sebagai sekedar “jembatan” untuk menghubungkan “MMD” ( yang berbasis ajaran J.Krishnamurti ) dengan ummat Buddha.
apa arti Buddha bagi Romo Hudoyo?
6. Pandangan Romo Hudoyo akan adanya Buddha yang telah muncul di abad ke-20 ; yaitu J.Krishnamurti.
7. Penolakan [ dengan halus ] Ajaran “Anatta”
8. Penolakan terhadap Kebenaran isi Ti-Pitaka
[at] Ratnakumara: Kalau dia benar2 mengikuti petunjuk di POTALIYA-SUTTA, kenapa dia gak mengecam dirinya sendiri dan memuji kita ya??!... =)) =)) =))
Wah.. anda merasa pantas dipuji yah? Luar biasa. :)
Quote1. Penolakan terhadap Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Ariya Beruas Delapan
menolak ini maksudnya menolak gmana?
HUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."
1.QuoteQuote from: Sumedho on 29 July 2008, 01:29:14 PM
jadi kesimpulannya Pak Hud, apakah jalan mulia beruas 8 bisa membawa kebebasan tidak? kalau sudah disimpulkan, nanti buka thread lain aja supaya lebih rapih
QuoteKalau Anda membaca dengan teliti thread ini, Anda akan melihat beberapa kali saya katakan:
Segala JALAN spiritual, termasuk JMB-8, tidak bisa membebaskan orang; untuk bebas batin harus berhenti, bukan berjalan.
Silakan kalau ada orang mau berpendapat lain.
Salam,
hudoyo
2.QuoteQuote from: ryu on 28 July 2008, 01:38:32 PM
14. “Bhagava, adakah jalan, adakah metode untuk mencapai hal-hal ini?” “Ada jalan, Mahali, ada metode.” [157] “Dan Bhagava, apakah jalan itu, apakah metode itu?”
“Yaitu, Jalan Mulia Berfaktor Delapan, yaitu, Pandangan Benar, Pikiran Benar; Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar; Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk mencapai hal-hal ini.”
http://dhammacitta.org/tipitaka/dn/dn.06.0.wlsh.htmlQuotehehe … ini kan cuma mengulang-ulang argumentasi lama: ada JALAN ajaran Sang Buddha, yakni JMB-8.
Itulah yang diajarkan dalam AGAMA Buddha, dalam Tipitaka Pali yang ditulis berabad-abad setelah Sang Buddha wafat. Saya tidak percaya itu datang dari mulut Sang Buddha.
3.QuoteQuote from: nyanadhana on 25 July 2008, 04:11:41 PM
Ketika Sang Buddha memutar Dhammacakkapavattana….Beliau menjelaskan 2 Ekstrim yang dihancurkan melalui Jalan Tengah apakah Jalan Tengah itu ya 8 Jalan Ariya sehingga membawa orang menuju Nibbana. Yang dimaksud mungkin ketika kamu sedang berjuang mencapai Nibbana. gunakan 8 Jalan itu dan ketika sudah sampai maka ibarat rakit dilepas,lagian orang yang telah mencapai Nibbana atau kepadaman, ia tidak lagi memerlukan kemelekatan akan 8 Jalan itu sendiri melainkan telah terintegrasi dalam setiap ucapan,perbuatan dan pikiran.
Ini saja yang saya tangkap ketika membaca Visuddhi Magga
QuoteQuote from: hudoyo on 26 July 2008, 06:36:26 AM
Bagus-bagus saja umat Buddha berpendapat seperti Anda.
Yang saya katakan adalah umat non-Buddhis pun bisa saja mencapai pembebasan (nibbana) tanpa melalui JMB-8, tanpa melalui konsep “pantai seberang”, tanpa melalui konsep “rakit”.
Itulah yang saya pahami dari pengalaman sadar sampai sejauh ini.
4.QuoteTanya = Menurut Pak Hud jalan mulia beruas 8 itu bisa membawa kebebasan tidak? (cuma nanya, jadi mau tahu gimana pandangan Pak Hud mengenai jalan beruas 8 )QuoteJawab = Menurut hemat saya, kalau orang melekat pada Jalan Mulia Berunsur Delapan ia akan tetap terbelenggu.
Karena sesungguhnya tidak ada jalan … tidak ada tujuan … tidak ada pantai seberang.
Nibbana itu sendiri berarti padam.
Salam,
Hudoyo
[ Sumber = http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=3718.0 ]
Quote2. Pelarangan bagi ummat Buddha untuk melakukan berbagai bentuk Puja ( Namaskara, pembacaan Paritta, dll. ) saat sedang mengikuti retret “MMD”.
setau i puja itu optional, jadi kalo dilarang juga gak kenapa kan....
On 8/18/09, Charles Ben <charles.ben75 [at] yahoo.com> wrote:
(4) Ritualisme
Oleh karena kebanyakan teknik vipassana “tradisional” diajarkan dalam konteks agama Buddha dan diselenggarakan
di sebuah vihara, maka mau tidak mau dalam praktiknya masih terdapat ritualisme.
Suatu kekecualian dalam hal ini adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang di lokasinya tidak terdapat simbol-simbol keagamaan sedikit pun, sehingga pemeditasi tidak terdorong melakukan ritual apa pun dalam praktik retretnya. Kelekatan pada ritualisme itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai pembebasan.
Di dalam MMD, sekalipun retret dilakukan di dalam Dharmasala (Ruang Kebaktian) sebuah vihara, selama retret berlangsung peserta sangat dianjurkan untuk tidak melakukan ritual agama Buddha apa pun, seperti bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam) yang ada di sana, membaca paritta, dan sebagainya.
Sedangkan bagi peserta retret MMD yang beragama Islam, mereka tetap dibenarkan melakukan ibadah sholat yang wajib menurut ajaran agamanya.
Pertanyaan :
1. Kenapa umat Buddha tidak diperbolehkan bernamaskara kepada Buddharupam dan membaca paritta di ruang dharmasala padahal itu di Wihara ?
2. Kenapa umat Islam diperbolehkan sholat 5 waktu ?
Pak Hud ternyata milih-milih....apakah pak Hud takut menyuruh umat Islam tidak melakukan sholat 5 waktu atau takut umat islam tidak tertarik MMD ( tidak ada pengikut ) atau hanya untuk memperkuat posisi pak Hud di MMD....ini buktinya ada umat yang lain ikut MMD......????
Harus pak Hud juga mengatakan ke umat beragama lain bahwa :
Kelekatan pada ritualisme ( sholat 5 waktu ) itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai pembebasan. ( ini baru kejujuran...pak Hud ).
No. 1 : pernyataan pak Hud sudah membuat umat Buddhis tidak tertarik MMD.apakah salah orang melakukan ritual ?No. 2 : berkesan takut atau ingin memperkuat MMD dengan Umat Islam masuk ke MMD ? ( buktinya umat lain mau bergabung )..
Maaf yah pak Hud....yang baik saya ambil....yang tidak baik saya tidak ambil...dan ada beberapa yang saya protes....he..he..he..
Salam Metta,
Charles Ben
On 8/19/09, Henry <henry.ch02 [at] gmail.com> wrote:
tidaklah demikian maksudnya.
kalau dia tidak membolehkan umat Islam sholat, maka dia akan digrebek
FPI. tamatlah riwayat mu.
sedangkan untuk umat Buddha, dia merasa lebih gampang ditindas. pada
dasarnya seorang pengecut akan menghitung untung ruginya dalam
bertindak.
memberi hormat kepada yang harus dihormati, bukanlah suatu kemelekatan.
2009/8/19 <nboedi [at] yahoo.com>:
> Menurut pendapat saya,apa yg dilakukan Pak Hud sdh benar,kita sbg org Buddhis diajarkan utk menghindarkan kemelekatan,dan ketika beliau membolehkan umat agama lain utk menjalankan ritual adalah karena beliau menghormati mereka,karena belum tentu umat agama lain itu dapat menghindarkan diri dari kemelekatan seperti kita umat Buddhis
>
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Quote3. Tujuan “MMD” adalah “berhentinya-pikiran” ( bukan Nibbana sebagaimana Sang Buddha menunjukkannya sebagai tujuan-sejati bagi ummat Buddha )kemaren sempet diskusi sama si yaHud di eFBe... keknya dia salah kata deh..
kalo i nangkepnya maksud pikiran dia yg berhenti tuh adalah konseptualisasi/penafsiran.. dalam bahasa inggrisnya adalah Thought.
sedangkan Mind itu tidak berhenti....
On 8/7/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:
Ada perbedaan antara pembentukan konsep, dengan melekati konsep
Konsep itu adalah sesuatu yg wajar, misal kita bisa tahu mengenai Tanah sebagai suatu yg solid, warna coklat, dsbnya
Tapi jika anda melihat mulapariyaya lagi, disana jelas bhw yg dimaksud adalah tidak melekat pada konsep itu, alias tanpa AKU.
Misal pada tanah, tidak menganggap tanah sebagai yg kekal yg kekal (eternalis), pun sebaliknya jangan berkonsep tidak ada tanah (nihilisme)
Silahkan lihat kembali pengertian dibawah :
- berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
- berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah dari] tanah
- berhenti menganggap tanah sebagai "milikku"
- tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
Citta = kesadaran = pikiran = vinnana : ini jelas ada dalam 5 khandha yaitu vinnana khandha
Sangat berbeda dengan batin yg notabene terdiri dari 4 khandha, yang salah satunya adalah citta/pikiran/kesadaran/vinnana
Batin bukanlah sama dengan citta seperti yg anda sebut dibawah : saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'!
Jadi kalau sudut pandang sudah berbeda, saya rasa sudah tidak perlu diteruskan karena anda sudah menggunakan istilah yg berbeda dengan yg digunakan di sutta itu sendiri
anumodana
On 8/7/09, Hudoyo <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:
Dari: Markosprawira
> *Tambahan oleh markosprawira*
> **
> Sering terjadi salah paham pada sebagian pihak seolah dalam Mulapariyaya sutta, kesadaran pada arahat BERHENTI sampai tahap 1 saja ('abhijanati' - persepsi murni)
=============================================
HUDOYO:
Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha
menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)." Ini dinyatakan pula oleh Bhikkhu Bodhi, alm Nanavira Thera dsb dalam buku-buku mereka tentang Mulapariyaya-sutta.
Lalu kepada seorang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar dalam menerima 'persepsi murni' (abhijanati), jangan sampai timbul pembentukan konsep (ma manni), jangan sampai timbul si aku, yang memisahkan diri dari objek, ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.
Kesimpangsiuran terjadi karena Sdr Markosprawira menerjemahkan 'citta' dengan 'pikiran' (lihat kutipan tulisannya di bawah), sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'! Arus 'batin'/'kesadaran' memang tidak pernah berhenti, tapi 'pikiran', 'berpikir' bisa dan harus berhenti dalam kesadaran vipassana.
Dalam bahasa Inggris, 'pikiran' adalah 'thought', 'pemikiran/berpikir' adalah 'thinking'. 'Pikiran'/'berpikir' selalu didahului dengan 'pembentukan konsep', 'penafsiran' (misalnya, konsep Buddha, konsep Dhamma, konsep Sangha, pikiran tentang pembunuhan, pikiran tentang pencurian, pikiran tentang perzinaan dsb). Manusia tidak bisa berpikir tanpa 'pembentukan konsep', tanpa 'penafsiran'. Dalam bahasa Pali, 'pembentukan konsep', 'penafsiran' dsb disebut 'mannati' (verb) atau 'mannitam' (noun) (lihat Dhatu-vibhanga-sutta, MN 140). Menurut Bhikkhu Bodhi, akar kata dari 'mannati' dan 'mannitam' adalah 'man-', yang berarti 'berpikir'.
Di dalam Mulapariyaya-sutta (MN 1) maupun Dhatu-vibhanga-sutta (MN 140), Sang Buddha mengajarkan bahwa dalam batin (citta) seorang yang bebas tidak ada lagi 'pembentukan konsep, penafsiran' dsb, singkatnya tidak ada lagi 'pikiran, berpikir' SEBAGAIMANA SEORANG PUTHUJJANA BERPIKIR. Seorang arahat tidak berpikir baik tidak pula berpikir buruk, sebagaimana manusia biasa berpikir.
Di dalam Mulapariyaya-sutta, hal ini sangat jelas ketika Sang Buddha bicara tentang OBJEK "segala yang terlihat (dittham), segala yang terdengar (sutam), segala yang tercerap (mutam), segala yang dikenal [dalam batin] (vinnatam)". Kepada orang yang berlatih, Sang Buddha menganjurkan agar setiap kali mencerap OBJEK seperti itu, jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang objek, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari objek, kemudian ingin memiliki objek, dan bersenang hati dengan objek.
Jadi, jika muncul 'Buddha, Dhamma, Sangha' sebagai 'vinnatam' (yang
dikenal), jangan sampai timbul pembentukan konsep/pemikiran tentang
ketiga objek itu, jangan sampai timbul aku, yang memisahkan diri dari ketiga objek itu, kemudian ingin memiliki ketiga objek itu, dan bersenang hati dengan ketiga objek itu.
Itulah yang dilatih dalam MMD. Dalam MMD, pemeditasi tidak
memikir-pikir tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Samadhi, Pannya
dsb di satu pihak, dan tidak memikir-mikir tentang hal-hal yang tidak baik (menurut pengertian puthujjana) di lain pihak. Yang ada hanya sadar/eling di dalam diamnya pengamatan (sati, appamada).
Bacalah khotbah-khotbah terbaru dari Sri Pannyavaro Mahathera tentang sadar/eling, di mana orang tidak memikir-mikir lagi tentang hal-hal yang baik maupun yang buruk. "Sadar/eling itu membebaskan," kata Bhante Pannya. .
Salam,
Hudoyo
------------------------------------------------
Situs Web MMD, http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD, http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
> Padahal apa yang bisa dilihat diatas adalah bhw kesadaran itu TETAP BERJALAN
> terus, hanya saja :
> 1. Pathavim Pathavito Abhijanati : secara langsung mengetahui tanah
> sebagai tanah
> 2. Pathavim Abhinnaya : berhenti mengkonsepsikan [dirinya sebagai] tanah
> 3. Pathavim Na Mannati : berhenti mengkognisasikan [dirinya terpisah
> dari] tanah
> 4. Pathavim Na Meti Mannati : berhenti menganggap tanah sebagai
> "milikku"
> 5. Pathavim Na Abhinandati: tidak bersukacita di dalam konsepsi tanah
>
> *Jadi yang berhenti adalah KONSEPNYA, bukan KESADARANNYA itu sendiri*.
> Hal ini bisa kita lihat diatas, "berhenti mengkonsepsikan", "berhenti mengkonsignasikan tanah" dstnya, jadi BUKAN berhentinya kesadaran
>
> Kesadarannya itu sendiri tetap berjalan, tetap berlangsung dengan kondisi pikiran yang KIRIYA/fungsional sebagaimana ada dalam tabel Citta/Pikiran
>
> Demikian penjelasan mengenai Mulapariyaya sutta, semoga bisa bermanfaat bagi rekan2 sekalian
On 8/3/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:
Berikut adalah jawaban sahabat Bond atas tanggapan pak hudoyo
Quote Tulisan bapak Hudoyo master MMD
Date: Wed, 29 Jul 2009 15:44:42
To: <milis_buddha [at] yahoogroups.com>
Subject: Re: [MB] UNTUK REKAN RATNA KUMARA
Rekan Johnson,
Anda pernah mengikuti retretr MMD beberapa kali. Kalau boleh saya bertanya, apakah Anda pada dewasa ini melakukan MMD?
Berikut jawaban saya terhadap kepenasaran Master MMD : Bandingkan dua quote yang saya bold :
(1) Tidak ada korelasi sama sekali antara 4KM/JMB8 --atau ajaran agama apa pun juga-- dengan kesadaran vipassana/MMD. 4KM/JMB8 berada di dalam domain intelek/pikiran, merupakan produk berpikir, sedangkan kesadaran vipassana/MMD mentransendensikan (mengatasi) pikiran.
....
Salam,
Hudoyo
Jawab Quote by bond
Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa fungsi dari kesadaran vipasanna adalah untuk mengatasi kilesa, bukan mengatasi pikiran. Kalau kilesa ini terendap(dalam samatha) atau hilang saat bervipasana, maka pikiran itu akan jernih dan cemerlang. Dan yang akan dominan hanya yg disebut 'yang mengetahui' yg melihat apa adanya/yatthabhutamnyanadassanam/pure citta(mungkin ada istilah lain dalam bahasa Abhidhammanya)
Nah mari kita lihat percakapan di bawah ini kembali sebelum saya ulas lebih dalam percakapan WHS dengan pak Hudoyo:
Quote http://www.facebook.com/note.php?note_id=113470851639&comments=
Whs:Apakah berhentinya pikiran bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pak selain saat bermeditasi? misal saat saya mengetik, bukankah pikiran ini bergerak dan berarti 'aku' bekerja?
Mohon penjelasanya. terima kasih sebelumnya. Amituofo
Hudoyo:
Ketika Anda mengetik surat, tentu Anda membutuhkan pikiran, jadi gunakan pikiran, Anda tidak bisa mengetik surat sambil bermeditasi.
Tetapi bahkan di dalam mengetik satu surat itu pun kadang-kadang Anda berhenti, menarik napas panjang, minum kopi dulu, melihat keluar jendela, dsb. Nah, apa yang terjadi dengan pikiran Anda pada saat-saat itu? ... Read MoreBiasanya melamun, bukan.
Nah, secara singkat inilah challenge Krishnamurti kepada kita: "BISAKAH PIKIRAN BERHENTI, DAN HANYA BERGERAK BILA BENAR-BENAR DIBUTUHKAN?" ("Can thinking stop, and only moves when really needed?")
Kalau Anda mampu melakukannya, berarti Anda bisa bermeditasi di tengah-tengah kesibukan sehari-hari.
Lain lagi dengan kegiatan makan misalnya. Makan adalah kegiatan fisik yang sedikit sekali membutuhkan pikiran. Oleh karena itu ketika makan biasanya pikiran ini melamun. Nah, di sini terlebih lagi relevan tantangan Krishnamurti: "Bisakah pikiran ini berhenti, dan hanya bergerak ketika benar-benar dibutuhkan?"
Terima kasih atas jawaban bapak. Kalau boleh saya mau bertanya lagi. Apakah artinya juga bila ketika dalam beraktivitas memerlukan pikiran bergerak artinya si 'aku' muncul?
Begini: kesadaran-aku itu hanya muncul bersama munculnya pikiran. Kalau pikiran diam, kesadaran-aku itu juga lenyap. Ini bisa Anda alami sendiri di dalam meditasi.
Dengan demikian dapat dikatakan, aku itu sinonim dengan pikiran, dua-duanya berjalan seiring.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa dilihat dalam beberapa contoh.
Pertama, ketika kita ... Read Moremenonton bioskop layar lebar, bila ceritanya menarik dan memukau, untuk sementara pikiran & si aku berhenti, Anda terseret oleh jalan cerita film itu. Tetapi ada saat-saat ketika pikiran bergerak lagi, lalu muncullah aku, yang menyadari, "Ah, itu cuma film, aku sedang duduk di teater bersama orang lain, dsb dsb." Pada saat itu jalan cerita film itu mulai luntur karena dicemari oleh pikiran beserta kesadaran-aku yang muncul.
Contoh kedua, pada waktu orang sangat terkejut, biasanya pikiran & aku berhenti untuk sesaat. Misalnya ketika ada petir menyambar di dekat kita. Pada saat itu, kita terkesima, pikiran & aku berhenti untuk sesaat. Tetapi saat berikutnya, muncullah kembali pikiran & aku: "Wah, barusan ada petir. Untung aku tidak kena ... dsb dsb."
Nah, berhentinya pikiran & aku ini bisa Anda alami dalam vipassana/MMD.
Whs:
Tadi bapak mengatakan aku itu sinonim dengan pikiran , dua-duanya berjalan seiring. Apakah berhentinya pikiran ini bisa dikatakan lenyapnya dukkha?
Terima kasih untuk jawaban sebelumnya. Amituofo
Hudoyo:
Betul, aku itu berakhir KARENA pikiran berhenti. Berakhirnya pikiran dan aku, itulah berakhirnya dukkha.
Ini uraian Sang Buddha sendiri dalam Mulapariyaya-sutta dasn Bahiya-sutta. Di situ Sang Buddha menjelaskan tentang terjadinya proses pikiran pada orang biasa (puthujjana), pada orang yang berlatih vipassana, dan proses batin seorang arahat & ... Read Moretathagata.
Bila Anda sungguh-sungguh berminat, bacalah lebih dulu artikel "Pengantar Mulapariyaya-sutta" di Notes saya, yang saya hiasi banyak gambar & foto menarik. Lalu ada pula "Mulapariyaya-sutta" sendiri yang terasa kering. Dan terakhir "Bahiya-sutta" yang pendek, tapi lugas & jelas.
Komentar Bond
Lenyapnya dukkha yang sesungguhnya yang SELALU diajarkan Sang Buddha adalah ketika kilesa demi kilesa hilang/hancur sampai keseluruhan kilesa untuk selamanya yang dimulai dari sotapanna sampai dengan arahat.
Pencapaian Arahat adalah puncak dimana kilesa hilang seluruhnya dan Citta/ pikiran bebas dari kilesa ini untuk selamanya. Dalam paticasamupada sebab dari dukha adalah Avijja yang merupakan kilesa.
Dan Lenyapnya dukkha adalah lenyapnya Avijja/kilesa-kilesa. Bukan berhentinya pikiran. Jelas bukan, dua perbedaan ini?
DAN yang diajarkan Sang Buddha di Bahiya sutta, Mulapariyaya Sutta dan Malunkyaputta sutta adalah bagaimana dukkha ini lenyap atau dengan kata lain menghancurkan sumber dari dukkha yaitu kilesa tadi.
Dan SB juga mengajarkan bagaimana dalam bervipasanna melihat kilesa ini dan timbulnya pengetahuan untuk menghilangkan kilesa ini(Asavakkhayanyana /pengetahuan penghancuran noda-noda batin).
Apakah ini doktrin? ini bukanlah doktrin.
Ini adalah realita bagi yang sudah mengalami.
Kalau belum dan karena memang tidak sanggup dan mengatakan doktrin, ini adalah kebodohannya sendiri bukan?
Kalau mau bukti nyata orang yg sudah mengalami, saya bisa menunjukan orangnya dan om Master MMD bisa menanyakan langsung. Jangan sampai ketika ingin dipertemukan nara sumbernya, malah mengatakan tidak ada kepentingannya tetapi hanya bisa mengkritik tapi tidak mau bertemu.
Misal mengkritik Paauk Sayadaw. Giliran Paauk Sayadaw ke Indonesia ke cibodas, diajak untuk mengklarifikasi, malah tidak berani dengan berbagai alasan ha..ha. Aneh bukan?
apa artinya seorang pengkritik hanya berani dibelakang tapi tidak berani langsung ke nara sumbernya? silakan diartikan sendiri he..he
ini buktinya :
Quote by bond
Pak Hud bisa hubungi charles di 08121050996 dia yg menerima pendaftaran utk retreat dan informasi2 ttg Paauk Sayadaw. Nah kalo bisa Pak Hud bisa tanya langsung mumpung Pa-auknya datang. Setelah itu share sama kita2.
Quote by Hudoyo
Saya tidak berminat untuk berdebat dengan siapa pun. ... Minat saya hanya membuka mata orang mengenai hal-hal yang menurut perasaan saya patut dipertanyakan. ... Sebatas itu saja. ... Silakan saja kalau ada yang mau menanyakan langsung kepada beliau. ...
--->Padahal TSnya sendiri yg buka pertanyaan. PA-AUK SAYADAW: Untuk mencapai Nibbana harus mampu melihat kehidupan lampau? (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,2877.15.html)
Jadi dengan penggunaan 3 sutta oleh Master of MMD adalah merupakan pengalihan isu seakan-akan JK sebagai sumber inspirasi Pak Hud sama dengan ajaran Sang Buddha.
Padahal JK sendiri tidak ingin diembel-embelkan dengan label agama.
Jelas pula berhentinya pikiran bukanlah lenyapnya dukkha. Dukkha yang laten selalu ada apabila kilesa masih ada.
Jika diartikan berhentinya pikiran = lenyapnya dukkha seperti yang diutarakan oleh master MMD/Pak Hudoyo MAKA JELASLAH MMD berguna sebatas saat bermeditasi tetapi tidak dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Karena dalam kehidupan sehari-hari pasti pikiran bergerak dgn demikian ada dukkha terus. Arahat pun pikirannya bisa bergerak ketika dia harus berbicara, menulis , memberi ceramah Dhamma dsb.
Termasuk ketika Sang Buddha ditanya dengan berbagai pertanyaan oleh para ahli agama, brahmana dan pertapa dijaman itu. Hanya Sang Buddha menjawab dengan hati yang tanpa kilesa.
Apakah artinya Sang Buddha ataupun arahat batinnya masih ada dukkha?
Nah semoga penjelasan ini membuka pintu hati kita dan smoga Pak Hudoyo sehat-sehat selalu dan mencapai cita-citanya, dan tidak perlu khawatir MMDnya tergusur. Berlian akan selalu berkilau kalau memang berlian kalau batu tanah liat sekali kepruk ya hancur. Saya yakin murid-murid MMD akan menyampaikan hal ini sekalipun berbisik-bisik. kalau tidak disampaikan berarti bukanlah murid yang baik dan berbakti terhadap master/gurunya.
Ok sampai disini saja pembuktiannya ya.....paling-paling jawaban disana atau di milis MMD hanya berputar-putar dan bermain lidah seperti dulu. Kalau masih kurang jelas saran saya untuk pak Hudoyo : jangan kebanyakan gerilya di milis2 nanti hasil MMD nya pecah atau menjadi Dhamma yang pecah. Jam terbang meditasinya ditingkatkan pak dan kurangi perdebatan yang ngotot kemana-mana ya...
---------- Forwarded message ----------
From: Hudoyo Hupudio <hudoyo [at] cbn.net.id>
Date: Aug 1, 2009 6:21 PM
Subject: [samaggiphala] Untuk Sdr Markos Prawira & Bond di Dhammacitta.org
To: samaggiphala [at] yahoogroups.com
Dari: Milis Sahabat Hikmahbudhi
Sdr Bond di Dhammacitta.org menyatakan: "Jelas dan pantas MMD memang bukan meditasi Buddhist yang diajarkan Sang Buddha dan juga tidak sesuai dengan bahiya sutta,malunkyaputta sutta dan mulapariyaya sutta." Di samping itu, Sdr Bond telah melakukan pelecehan 'ad hominem' terhadap saya dalam tulisannya itu.
Pernyataan Sdr Bond yang dikutip oleh Sdr Markos Prawira itu tidak
disertai pembuktian material bahwa MMD "tidak sesuai dengan Bahiya-sutta, Malunkyaputta-sutta & Mulapariyaya-sutta". Alih-alih ia bicara panjang lebar tentang doktrin-doktrin Buddhisme lain yang TIDAK TERDAPAT dalam ketiga sutta itu, dan yang justru telah ditanggalkan dalam pelaksanaan vipassana/MMD sesuai ajaran Sang Buddha dalam ketiga sutta itu.
Kalau Sdr Bond tidak mampu membuktikan pernyataannya itu secara material berdasarkan Bahiya-sutta, Malunkyaputta-sutta & Mulapariyaya-sutta, maka jelas ucapannya itu hanyalah pepesan kosong belaka yang tidak perlu dihiraukan.
Hudoyo
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com
--- In Sahabat_Hikmahbudhi [at] yahoogroups.com, markos prawira
<markosprawira [at] ...> wrote:
>
> Berikut sharing di :
> http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.new.html#new
>
> Quote from: bond on *Today* at 11:25:23
> AM<http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.msg200879.html#msg200879>
> Coba perhatikan yang dibold, Jelas dan pantas MMD memang bukan meditasi Buddhist yang diajarkan Sang Buddha dan juga tidak sesuai dengan bahiya sutta,malunkyaputta sutta dan mulapariyaya sutta. Jadi ketiga sutta itu hanya digunakan untuk marketing dengan gaya gerilya jendral Sudirman di milis2 dan forum.
>
> Sang Buddha selalu mengajarkan bahwa fungsi dari *kesadaran vipasanna adalah untuk mengatasi kilesa*, *bukan mengatasi pikiran.* Kalau kilesa ini terendap(dalam samatha) atau hilang saat bervipasana, maka pikiran itu akan jernih dan cemerlang. Dan yang akan dominan hanya yg disebut 'yang mengetahui' yg melihat apa adanya/yatthabhutamnyanadassanam/pure citta(mungkin ada istilah lain dalam bahasa Abhidhammanya)
>
> Dan jmb 8 dan 4 km bukanlah suatu domain pikiran ataupun produk berpikir.
> JUSTRU pengejewantahan NYATA jmb 8 dan 4 km yaitu tercapainya magga dan phala dalam artian magga phala inilah WUJUD/NYATA yg bukan produk berpikir dari JMB 8 dan 4 km. Ini yang telah direalisasi PARA ARIYA DAN SANG BUDDHA.
> Kalau kita sekarang sedang membicarakan jmb8 dan 4 km, ya ini adalah suatu konsep untuk menunjuk yang NYATA/paramatha sacca dan ini diperlukan tapi bukan dilekati, karena mau tidak mau sekarang kita harus berpikir dan mengkomunikasikan dalam suatu bahasa ataupun tulisan sehingga kita bisa memahaminya.
>
> Kesimpulan jmb8 dan 4 km bukanlah domain intelek/hasil produk berpikir.
> Tapi 4 km dan jmb 8 adalah memang produk Paramatha sacca yg dikonsepkan agar mudah dicerna untuk kepentingan mengajar dan belajar.
>
> Jadi sudah jelas dari *"apa yang diatasi saat bervipasana"* apakah MMD sesuai dengan ajaran Sang Buddha atau tidak.
>
> Jadi ya sekarang terserah kita mau pilih yg mana. Kalau ada statement dari non buddhist mengatakan belajar MMD bermanfaat, karena membuat mereka bisa menjadi sadar, ya bagus dan bermanfaat TETAPI hanya sebatas itu saja.
> Berbeda dengan pelaksanaan Dhamma yang diajarkan Sang Buddha untuk
> merealisasi Dhamma sampai hilangnya kilesa dan bukan hanya sekedar sadar tetapi MAHA SADAR.
>
>
> Smoga Mereka semua yg berada disini dan dimanapun berada termasuk makhluk dan para Dewa yang berada di 6 penjuru. Smoga mereka berbahagia. _/\_
Salam,
Tipitaka itu sumbernya dari mana?
Pertanyaannya jika Buddha menggunakan sudut pandang orang lain, maka referensi apa yg Buddha gunakan untuk menjelaskan Dhamma dengan menggunakan sudut pandang orang lain?
Tipitaka itu sumbernya dari mana?
Pertanyaannya jika Buddha menggunakan sudut pandang orang lain, maka referensi apa yg Buddha gunakan untuk menjelaskan Dhamma dengan menggunakan sudut pandang orang lain?
Maksudnya, sumber kebenarannya dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha.
Ketika seorang yang melekat pada pandangan kasta, Buddha serta-merta tidak mengatakan "kasta itu bukan dhamma", melainkan mengulas kasta itu sendiri. Ketika orang melekat pada petapaan keras, Buddha tidak serta-merta mengatakan "petapaan keras salah", melainkan menjelaskan secara detail tentang petapaan keras. Buddha tidak "mengisi" seseorang dengan doktrin-doktrin, namun membimbing orang melihat kenyataan apa adanya. Membimbing orang lain melihat kenyataan, bukanlah dengan buku, dengan referensi, namun dengan pengertian, kebijaksanaan, dan memahami orang lain. Itulah yang saya tangkap.
Komentar Bond
Lenyapnya dukkha yang sesungguhnya yang SELALU diajarkan Sang Buddha adalah ketika kilesa demi kilesa hilang/hancur sampai keseluruhan kilesa untuk selamanya yang dimulai dari sotapanna sampai dengan arahat.
Pencapaian Arahat adalah puncak dimana kilesa hilang seluruhnya dan Citta/ pikiran bebas dari kilesa ini untuk selamanya. Dalam paticasamupada sebab dari dukha adalah Avijja yang merupakan kilesa.
Dan Lenyapnya dukkha adalah lenyapnya Avijja/kilesa-kilesa. Bukan berhentinya pikiran. Jelas bukan, dua perbedaan ini?
DAN yang diajarkan Sang Buddha di Bahiya sutta, Mulapariyaya Sutta dan Malunkyaputta sutta adalah bagaimana dukkha ini lenyap atau dengan kata lain menghancurkan sumber dari dukkha yaitu kilesa tadi.
Dan SB juga mengajarkan bagaimana dalam bervipasanna melihat kilesa ini dan timbulnya pengetahuan untuk menghilangkan kilesa ini(Asavakkhayanyana /pengetahuan penghancuran noda-noda batin).
Apakah ini doktrin? ini bukanlah doktrin.
Ini adalah realita bagi yang sudah mengalami.
Kalau belum dan karena memang tidak sanggup dan mengatakan doktrin, ini adalah kebodohannya sendiri bukan?
Tipitaka itu sumbernya dari mana?
Pertanyaannya jika Buddha menggunakan sudut pandang orang lain, maka referensi apa yg Buddha gunakan untuk menjelaskan Dhamma dengan menggunakan sudut pandang orang lain?
Maksudnya, sumber kebenarannya dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha.
Ketika seorang yang melekat pada pandangan kasta, Buddha serta-merta tidak mengatakan "kasta itu bukan dhamma", melainkan mengulas kasta itu sendiri. Ketika orang melekat pada petapaan keras, Buddha tidak serta-merta mengatakan "petapaan keras salah", melainkan menjelaskan secara detail tentang petapaan keras. Buddha tidak "mengisi" seseorang dengan doktrin-doktrin, namun membimbing orang melihat kenyataan apa adanya. Membimbing orang lain melihat kenyataan, bukanlah dengan buku, dengan referensi, namun dengan pengertian, kebijaksanaan, dan memahami orang lain. Itulah yang saya tangkap.
Saya tidak bertanya bagaimana Buddha membimbing, tetapi dasar/acuan Buddha membimbing itu apa? atau dengan kata lain pertanyaan saya seperti ini :
Pengertian Buddha, kebijaksanaan Buddha , mengerti orang lain sampai batinnya orang itu , itu semua muncul dari mana atau sumbernya darimana kalau dia bisa membimbing?
Bro tulis 'Maksudnya, sumber kebenarannya(tipitaka) dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha. ' artinya pengalaman pribadi Buddha yg dijadikan referensi bukankah demikian..? kalau bukan pengetahuanseorang Buddha mengajar itu darimana?
[/b]Saya tidak bertanya bagaimana Buddha membimbing, tetapi dasar/acuan Buddha membimbing itu apa? atau dengan kata lain pertanyaan saya seperti ini :
Pengertian Buddha, kebijaksanaan Buddha , mengerti orang lain sampai batinnya orang itu , itu semua muncul dari mana atau sumbernya darimana kalau dia bisa membimbing?
Bro tulis 'Maksudnya, sumber kebenarannya(tipitaka) dari mana? Dari pengalaman pribadi seorang Buddha. ' artinya pengalaman pribadi Buddha yg dijadikan referensi bukankah demikian..? kalau bukan pengetahuanseorang Buddha mengajar itu darimana?
Bukankah sudah saya katakan bahwa semua pengajaran itu bersumber dari pengalaman pribadi seorang Buddha?
dan ternyata jelas bhw PH salah kaprah dimana ternyata dia menyamakan CITTA/Pikiran/Kesadaran/Vinnana dengan BATIN/NAMAdi sini anda merasa semuanya harus sesuai standard abhidhamma anda. padahal pak hudoyo jelas2 bilang terminologi yg dia pake ini bukan barang baru, bukan bikinan sekadar buat beda. terminologi citta seperti ini udah lazim dipake oleh bhikkhu2 lain:
Padahal sesungguhnya Citta yang dalam hal Khandha disebut Vinnana, adalah merupakan salah satu dari 4 unsur pembentuk Batin/Nama
Oh, sampai sekarang saya tetap berpegang 'citta' = 'batin'. :) :)
Anda, sebagai "pakar" Abhidhamma, tentu mengikuti pengertian 'citta' sebagai 'bagian dari NAMA' --yang terdiri dari 'citta', 'cetasika' & 'nibbana', kalau tidak salah. Saya sudah lama meninggalkan ajaran Abhidhamma (yang dulu pernah saya hafalkan), karena saya anggap bukan berasal dari Sang Buddha.
Di sini saya menggunakan pengertian 'citta' dari Sutta Pitaka, yang mempunyai pengertian jauh lebih luas daripada 'citta' yang ada di Abhidhamma. Di dalam Sutta Pitaka, 'citta' dimaknai tumpang tindih (overlapping) dengan 'nama', yang berarti 'keadaan batin' secara keseluruhan.
Di dalam Sutta Pitaka, 'citta', 'mano' & 'vinnana' sering digunakan secara tumpang tindih. 'Citta' mengacu pada 'mindset' atau 'keadaan batin' seseorang. 'Citta' digunakan untuk mengacu pada kualitas batin secara keseluruhan. 'Citta' bukanlah suatu entitas atau suatu proses; mungkin itulah alasan mengapa 'citta' bukan termasuk salah satu 'khandha', dan tidak termasuk rumusan paticca-samuppada.
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.
Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.
'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).
Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.
Mencapai 'citta' yang murni sama artinya dengan mencapai pencerahan yang membebaskan. Ini menunjukkan bahwa keadaan batin orang yang bebas tidak memantulkan kegelapan atau kekotoran. Oleh karena hal-hal itu mewakili keterbelengguan, ketiadaannya digambarkan sebagai kebebasan.
[Diringkas dari: Wikipedia]
Dari uraian panjang lebar tentang pemakaian kata 'citta' di dalam Sutta Pitaka ini, tidak salahlah kalau saya menerjemahkan 'citta' dengan 'batin'. Pengertian ini jauh lebih luas daripada pengertian 'citta' di dalam Abhidhamma.
Para bhikkhu hutan di Thailand Utara, mereka sering menggunakan kata 'citta' untuk mengacu pada 'batin' secara keseluruhan (bukan 'citta' dari Abhidhamma, yang bersifat sangat teknis, berbeda dengan cetasika, dengan nibbana dsb). Ini dapat dilihat dalam khotbah-khotbah Ajahn Mahabuwa, Ajahn Man dsb. Sering kali mereka menggambarkan 'citta' yang "murni", "cemerlang" dan "abadi", sehingga Ajahn Mahabuwa, misalnya, sering dikritik mengajarkan 'eternalisme'. Padahal yang beliau ajarkan adalah pengalaman meditasi, yang sudah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam Udana 8.3."
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literatur
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan
namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna
Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya
Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
Disinilah fungsi buku, literatur sebagai rakit yg membawa, sebagai peta yg menunjukkan jalan
Tapi org yg bodoh akan bilang bhw tidak perlu rakit, tidak perlu peta
semoga dengan diskusi ini bisa jadi jelas bhw bukanlah bukunya yg menjadi masalah, namun permasalahannya adalah pada MELEKAT dan PANNA dalam menyingkapi buku tersebut
Baiklah kalau begitu, bukan kah berarti referensi/sumber pengalaman seseorang bisa dijadikan referensi/sumber sepanjang itu selaras dengan Dhamm(paramatha Dhamma) bukan yg relatif...sebagaimana Sang Buddha membimbing, mengajar sebagaimana pengalaman Beliau.....?
Bagaimana dengan pernyataan bro bahwa pengalaman pribadi seseorang tidak bisa dijadikan referensi? Apakah hal ini bersifat khusus atau general? mungkin perbedaan ini bisa membantu bro kainyn melihat konteksnya..
Baiklah kalau begitu, bukan kah berarti referensi/sumber pengalaman seseorang bisa dijadikan referensi/sumber sepanjang itu selaras dengan Dhamm(paramatha Dhamma) bukan yg relatif...sebagaimana Sang Buddha membimbing, mengajar sebagaimana pengalaman Beliau.....?
Bagaimana dengan pernyataan bro bahwa pengalaman pribadi seseorang tidak bisa dijadikan referensi? Apakah hal ini bersifat khusus atau general? mungkin perbedaan ini bisa membantu bro kainyn melihat konteksnya..
Ini salah satu contoh beda konteks yang fatal.
-Mengenai Buddha adalah pengalaman pribadi dijadikan referensi ajaran bagi murid-murid yang mengikuti ajaran guru tersebut.
-Mengenai debat Pak Hudoyo & perkedel, pengalaman pribadi seorang bhikkhu (yang rasanya tidak diakui Pak Hudoyo sebagai guru) untuk diterima kebenarannya oleh dua pihak.
Yang pertama adalah jika 2 orang murid berselisih paham tentang maksud guru, maka nasihat guru bisa dijadikan acuan.
Yang ke dua adalah seperti orang Buddha dan orang Kr1sten berdebat, lalu salah satu pihak mencari pembenaran lewat pemuka agamanya sendiri.
Orang kr****n dan buddhist berdebat memang dari dua referensi tetapi tetaplah 1 referensi kebenaran yg benar yaitu kebenaran paramatha Dhamma. Dan orang yg mengalami paramatha Dhamma lah yg benar. Jadi referensi itu tetap ada yaitu paramatha Dhamma.
Atau analogi yang lain api dibilang air lalu yg satu lagi bilang api adalah api. referensi tentang api mana yg lebih tepat?
Demikian debat Hudoyo dengan perkedel. Hudoyo tidak mau mengambil referensi si bhikkhu itu hak dia, tetapi referensi kebenaran itu tetap ada, karena apa yg dialami bhikkhu itu sesuai dengan Dhamma. Jadi jangan salahkan belalai gajah jika orang buta salah mempersepsikan belalai gajah itu ketika memegangnya.
Perkedel sendiri telah mengatakan Hudoyo hanya tau merasakan asava, kalau si bhikkhu lebih dari itu bisa melihat. Sama hal nya orang yg belajar jurus tai chi 8 jurus dengan 26 jurus...
sama halnya orang yg tau hanya teori dan orang yg tau teori dan praktek .
Orang tidak mau menggunakan referensi adalah pilihan tetapi makna referensi yg mengacu pada kebenaran adalah hal lainnya..
Jadi pilihan dan referensi yg mengacu pada kenyataan jangan dicampur adukan, dan inilah yg terjadi.
HUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literaturdi sini terlihat kontras dua macam paradigma:
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan
namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna
Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya
Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
QuoteHUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."
Sebenarnya, klarifikasi Pak Hudoyo di atas ini pun kurang bisa dipertanggungjawabkan…
Di dalam vipassana, tidak tepat menyatakan bahwa JMB8 adalah tidak relevan. Namun yang sebenarnya, vipassana adalah salah satu poin di dalam JMB8.
Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.
Adalah kesalahan fatal untuk mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai Pembebasan, karena justru vipassana itu sendiri merupakan salah satu ruas jalan yang bisa mengantar kita pada Pembebasan.
dan ternyata jelas bhw PH salah kaprah dimana ternyata dia menyamakan CITTA/Pikiran/Kesadaran/Vinnana dengan BATIN/NAMAdi sini anda merasa semuanya harus sesuai standard abhidhamma anda. padahal pak hudoyo jelas2 bilang terminologi yg dia pake ini bukan barang baru, bukan bikinan sekadar buat beda. terminologi citta seperti ini udah lazim dipake oleh bhikkhu2 lain:
Padahal sesungguhnya Citta yang dalam hal Khandha disebut Vinnana, adalah merupakan salah satu dari 4 unsur pembentuk Batin/NamaQuoteOh, sampai sekarang saya tetap berpegang 'citta' = 'batin'. :) :)
Anda, sebagai "pakar" Abhidhamma, tentu mengikuti pengertian 'citta' sebagai 'bagian dari NAMA' --yang terdiri dari 'citta', 'cetasika' & 'nibbana', kalau tidak salah. Saya sudah lama meninggalkan ajaran Abhidhamma (yang dulu pernah saya hafalkan), karena saya anggap bukan berasal dari Sang Buddha.
Di sini saya menggunakan pengertian 'citta' dari Sutta Pitaka, yang mempunyai pengertian jauh lebih luas daripada 'citta' yang ada di Abhidhamma. Di dalam Sutta Pitaka, 'citta' dimaknai tumpang tindih (overlapping) dengan 'nama', yang berarti 'keadaan batin' secara keseluruhan.
Di dalam Sutta Pitaka, 'citta', 'mano' & 'vinnana' sering digunakan secara tumpang tindih. 'Citta' mengacu pada 'mindset' atau 'keadaan batin' seseorang. 'Citta' digunakan untuk mengacu pada kualitas batin secara keseluruhan. 'Citta' bukanlah suatu entitas atau suatu proses; mungkin itulah alasan mengapa 'citta' bukan termasuk salah satu 'khandha', dan tidak termasuk rumusan paticca-samuppada.
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.
Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.
'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).
Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.
Mencapai 'citta' yang murni sama artinya dengan mencapai pencerahan yang membebaskan. Ini menunjukkan bahwa keadaan batin orang yang bebas tidak memantulkan kegelapan atau kekotoran. Oleh karena hal-hal itu mewakili keterbelengguan, ketiadaannya digambarkan sebagai kebebasan.
[Diringkas dari: Wikipedia]
Dari uraian panjang lebar tentang pemakaian kata 'citta' di dalam Sutta Pitaka ini, tidak salahlah kalau saya menerjemahkan 'citta' dengan 'batin'. Pengertian ini jauh lebih luas daripada pengertian 'citta' di dalam Abhidhamma.
Para bhikkhu hutan di Thailand Utara, mereka sering menggunakan kata 'citta' untuk mengacu pada 'batin' secara keseluruhan (bukan 'citta' dari Abhidhamma, yang bersifat sangat teknis, berbeda dengan cetasika, dengan nibbana dsb). Ini dapat dilihat dalam khotbah-khotbah Ajahn Mahabuwa, Ajahn Man dsb. Sering kali mereka menggambarkan 'citta' yang "murni", "cemerlang" dan "abadi", sehingga Ajahn Mahabuwa, misalnya, sering dikritik mengajarkan 'eternalisme'. Padahal yang beliau ajarkan adalah pengalaman meditasi, yang sudah dipaparkan oleh Sang Buddha dalam Udana 8.3."
perlu dicatat juga terminologi "thought" itu sangat sering dan lazim dipake buku2 panduan meditasi, baik itu dari theravada ataupun zen.
The Blessed One said, "And which is the burden? 'The five clinging-aggregates,' it should be said. Which five? Form as a clinging-aggregate, feeling as a clinging-aggregate, perception as a clinging-aggregate, fabrications as a clinging-aggregate, consciousness as a clinging-aggregate. This, monks, is called the burden.
At Savatthi. "Monks, I will teach you the phenomena to be comprehended, as well as comprehension. Listen & pay close attention. I will speak."
"As you say, lord," the monks responded.
The Blessed One said, "And which are the phenomena to be comprehended? Form is a phenomenon to be comprehended. Feeling ... Perception ... Fabrications ... Consciousness is a phenomenon to be comprehended. These are called phenomena to be comprehended.
"And which is comprehension? Any ending of passion, ending of aversion, ending of delusion. [1] This is called comprehension."
"Suppose a hen has eight, ten, or twelve eggs that she covers rightly, warms rightly, & incubates rightly: Even though this wish may not occur to her — 'O that my chicks might break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely!' — still it is possible that the chicks will break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely. Why is that? Because the hen has covered them, warmed them, & incubated them rightly. In the same way, even though this wish may not occur to a monk who dwells devoting himself to development — 'O that my mind might be released from effluents through lack of clinging!' — still his mind is released from the effluents through lack of clinging. Why is that? From developing, it should be said. Developing what? The four frames of reference, the four right exertions, the four bases of power, the five faculties, the five strengths, the seven factors for Awakening, the noble eightfold path.
Orang kr****n dan buddhist berdebat memang dari dua referensi tetapi tetaplah 1 referensi kebenaran yg benar yaitu kebenaran paramatha Dhamma. Dan orang yg mengalami paramatha Dhamma lah yg benar. Jadi referensi itu tetap ada yaitu paramatha Dhamma.
Atau analogi yang lain api dibilang air lalu yg satu lagi bilang api adalah api. referensi tentang api mana yg lebih tepat?
Demikian debat Hudoyo dengan perkedel. Hudoyo tidak mau mengambil referensi si bhikkhu itu hak dia, tetapi referensi kebenaran itu tetap ada, karena apa yg dialami bhikkhu itu sesuai dengan Dhamma. Jadi jangan salahkan belalai gajah jika orang buta salah mempersepsikan belalai gajah itu ketika memegangnya.
Perkedel sendiri telah mengatakan Hudoyo hanya tau merasakan asava, kalau si bhikkhu lebih dari itu bisa melihat. Sama hal nya orang yg belajar jurus tai chi 8 jurus dengan 26 jurus...
sama halnya orang yg tau hanya teori dan orang yg tau teori dan praktek .
Orang tidak mau menggunakan referensi adalah pilihan tetapi makna referensi yg mengacu pada kebenaran adalah hal lainnya..
Jadi pilihan dan referensi yg mengacu pada kenyataan jangan dicampur adukan, dan inilah yg terjadi.
Bro bond tidak menangkap maksud saya.
Dalam debat ini, karena Tipitaka sudah ditafsirkan oleh 2 pihak yang berbeda, maka sebetulnya sudah bukan 1 referensi lagi. Tulisannya satu, namun maknanya tidak. Bagi bro bond salah satu mengatakan api adalah api dan satu lagi mengatakan air adalah api, dengan kata lain, satu pihak lebih benar, lebih asli dan mendekati paramatha dhamma. Dari sudut pandang saya, dua-duanya sama benarnya dan sama salahnya, dan masing-masing memiliki referensi dan tafsiran sendiri.
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literaturdi sini terlihat kontras dua macam paradigma:
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan
namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna
Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya
Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
* paradigma yg mengakumulasi, mengumpulkan, berusaha mencapai, berjuang
di paradigma ini berpendapat ada sesuatu yg harus dikumpulkan, dicapai, tingkat demi tingkat untuk menuju pencerahan terakhir.
* paradigma melepas
paradigma ini tidak memperdulikan apa yg harus dicapai, apa tingkat2 kesucian yg musti dilewati. hanya mengamati dan membiarkannya berhenti sendiri (let it go). tidak ada yg dikumpulkan, tidak ada yg diakumulasi.
yg mana yg cocok untuk anda? ya buktikan sendiri dalam praktek...
kalo diperdebatkan tidak ada habis2nya, sampai anda mengalami sendiri...
"Suppose a hen has eight, ten, or twelve eggs that she covers rightly, warms rightly, & incubates rightly: Even though this wish may not occur to her — 'O that my chicks might break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely!' — still it is possible that the chicks will break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely. Why is that? Because the hen has covered them, warmed them, & incubated them rightly. In the same way, even though this wish may not occur to a monk who dwells devoting himself to development — 'O that my mind might be released from effluents through lack of clinging!' — still his mind is released from the effluents through lack of clinging. Why is that? From developing, it should be said.
Developing what? The four frames of reference, the four right exertions, the four bases of power, the five faculties, the five strengths, the seven factors for Awakening, the noble eightfold path.
The second factor of the path is called in Pali samma sankappa, which we will translate as "right intention."
The term is sometimes translated as "right thought," a rendering that can be accepted if we add the proviso that in the present context the word "thought" refers specifically to the purposive or conative aspect of mental activity, the cognitive aspect being covered by the first factor, right view. It would be artificial, however, to insist too strongly on the division between these two functions. From the Buddhist perspective, the cognitive and purposive sides of the mind do not remain isolated in separate compartments but intertwine and interact in close correlation. Emotional predilections influence views, and views determine predilections. Thus a penetrating view of the nature of existence, gained through deep reflection and validated through investigation, brings with it a restructuring of values which sets the mind moving towards goals commensurate with the new vision. The application of mind needed to achieve those goals is what is meant by right intention.
Orang kr****n dan buddhist berdebat memang dari dua referensi tetapi tetaplah 1 referensi kebenaran yg benar yaitu kebenaran paramatha Dhamma. Dan orang yg mengalami paramatha Dhamma lah yg benar. Jadi referensi itu tetap ada yaitu paramatha Dhamma.
Atau analogi yang lain api dibilang air lalu yg satu lagi bilang api adalah api. referensi tentang api mana yg lebih tepat?
Demikian debat Hudoyo dengan perkedel. Hudoyo tidak mau mengambil referensi si bhikkhu itu hak dia, tetapi referensi kebenaran itu tetap ada, karena apa yg dialami bhikkhu itu sesuai dengan Dhamma. Jadi jangan salahkan belalai gajah jika orang buta salah mempersepsikan belalai gajah itu ketika memegangnya.
Perkedel sendiri telah mengatakan Hudoyo hanya tau merasakan asava, kalau si bhikkhu lebih dari itu bisa melihat. Sama hal nya orang yg belajar jurus tai chi 8 jurus dengan 26 jurus...
sama halnya orang yg tau hanya teori dan orang yg tau teori dan praktek .
Orang tidak mau menggunakan referensi adalah pilihan tetapi makna referensi yg mengacu pada kebenaran adalah hal lainnya..
Jadi pilihan dan referensi yg mengacu pada kenyataan jangan dicampur adukan, dan inilah yg terjadi.
Bro bond tidak menangkap maksud saya.
Dalam debat ini, karena Tipitaka sudah ditafsirkan oleh 2 pihak yang berbeda, maka sebetulnya sudah bukan 1 referensi lagi. Tulisannya satu, namun maknanya tidak. Bagi bro bond salah satu mengatakan api adalah api dan satu lagi mengatakan air adalah api, dengan kata lain, satu pihak lebih benar, lebih asli dan mendekati paramatha dhamma. Dari sudut pandang saya, dua-duanya sama benarnya dan sama salahnya, dan masing-masing memiliki referensi dan tafsiran sendiri.
kalau begitu dapatkah Anda memberikan cara yg terbaik untuk melihat kebenaran paramatha Dhamma itu?
Kalau pendapat saya, seorang Sotapanna sudah tidak memandang adanya "aku" dan sebagainya, namun "akibat lampau" dari "kebodohan bathin" masih ada, tidak serta-merta berhenti langsung. Ibaratnya air dalam panci dipanaskan, setelah api dimatikan, air tidak langsung "dingin". Apakah api masih ada? Tidak. Apakah akibat dari api masih ada? Ya, ada.
Diskusi dhamma, bukanlah sebuah pembicaraan dogma yang sederhana. Seperti saya katakan, tergantung konteks, kemampuan bicara dan kemampuan lawan bicara, maka sebuah statement bisa berubah. Suatu ketika seorang upasaka mengatakan bahwa Buddha menjelaskan perasaan terbagi dua dan seorang bhikkhu mengatakan Buddha menjelaskan perasaan terbagi tiga. Mereka saling berdebat dengan keras kepala. Akhirnya kejadian itu disampaikan oleh Ananda ke Buddha yang mengatakan bahwa kedua orang itu benar, namun mereka tidak mengerti konteks yang dibawakan.
Saya rasa mau "wujud final MMD", "MMD beta version" atau "MMD versi 2.0" adalah hal yang wajar. Pandangan saya terhadap ajaran Buddha pun senantiasa mengalami proses perubahan sesuai bertambahnya pengalaman.
Seperti saya katakan, namanya kepercayaan itu semua adalah subjektif. Tipitaka adalah demikian adanya, namun ketika dibaca satu orang, maka timbul satu pengertian. Dibaca orang lain, timbul pengertian lain. Yang objektif hanyalah tulisan. Ketika tulisan dipersepsi dan diproses pikiran, semua menjadi subjektif. Oleh karena itu saya katakan semua hanyalah kecocokan. Jika seseorang memandangnya demikian, maka pikiran "saya yang benar", "Buddhisme adalah aku, milikku", "aliran lain sesat" dan lain-lain tidak akan ada. Ia mengetahui semua itu hanyalah objek yang diproses khanda, dan khanda berubah, tidak kekal, dan rapuh.
Saya memegang kepercayaan demikian sebagai ajaran Buddha, yang barang tentu tidak sejalan dengan orang lain, terutama yang menggenggam kepercayaan bahwa dirinya telah memiliki satu kebenaran. Kembali lagi pada kecocokan. Apakah saya sesat dan subjektif? Tidak masalah, semua adalah persepsi.
Pls be fair utk melihat _/\_maksud anda fair itu setuju dengan pendapat anda dan nggak fair itu tidak setuju dengan pendapat anda?
Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Mohasaya gak perlu nyari2 referensi sutta2 lah. mari lihat ke dalam seperti saran ajahn chah berikut:
nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali......
One day, a famous woman lecturer on Buddhist metaphysics came to see Achaan Chah. This woman gave periodic teachings in Bangkok on the abhidharma and complex Buddhist psychology. In talking to Achaan Chah, she detailed how important it was for people to understand Buddhist psychology and how much her students benefited from their study with her. She asked him whether he agreed with the importance of such understanding.
"Yes, very important", he agreed.
Delighted, she further questioned whether he had his own students learn abhidharma.
"Oh, yes, of course."
And where, she asked, did he recommend they start, which books and studies were best?
"Only here," he said, pointing to his heart, "only here."
ampun, om markos, kok sampe dibawa balik ke thought lagi sih?
di post yg atas, saya hanya menyimpulkan ada dua macam paradigma yg sangat kontras dalam mempelajari / praktek buddha dhamma: paradigma yg mengakumulasi dan paradigma yg melepas. saya mengajak kita merenung dan mencoba kedua macam paradigma ini dalam praktek masing2 untuk menilainya sendiri...
tapi saya juga ikuti deh arah pembicaraan thought ini di bawah.Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Mohasaya gak perlu nyari2 referensi sutta2 lah. mari lihat ke dalam seperti saran ajahn chah berikut:
nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali......QuoteOne day, a famous woman lecturer on Buddhist metaphysics came to see Achaan Chah. This woman gave periodic teachings in Bangkok on the abhidharma and complex Buddhist psychology. In talking to Achaan Chah, she detailed how important it was for people to understand Buddhist psychology and how much her students benefited from their study with her. She asked him whether he agreed with the importance of such understanding.
"Yes, very important", he agreed.
Delighted, she further questioned whether he had his own students learn abhidharma.
"Oh, yes, of course."
And where, she asked, did he recommend they start, which books and studies were best?
"Only here," he said, pointing to his heart, "only here."
mari kita melihat ke dalam.
gini om markos, thought itu adalah sesuatu yg real yg anda lihat dalam meditasi.
cukup mengamati beberapa menit saja terlihat jelas ada "celoteh" yg bernyanyi di dalam kepala kita. celoteh ini kadang2 berasosiasi dengan masa lampau, kadang2 memprojeksikan masa depan. real kan? beneran ada kan?
apakah ini praktik buddhism?
ya jelas. semua guru meditasi buddhis mengenalinya. baca aja bukunya bhante gunaratana, bukunya ajahn brahm, atau master sheng yen atau yg lain2.
apakah celoteh ini bisa reda?
kayaknya jelas bisa.
mungkin anda pernah merasakan sendiri, saat thought anda agak reda, rasanya damai, semua indah, tidak ada ganjalan.
apakah celoteh ini bisa berhenti, berada hanya di saat ini (present) secara total?
mmmm.... ini sebaiknya dijawab dan dibuktikan oleh praktik masing2.
apakah kedamaian itu muncul dengan mengusir ldm, mengakumulasikan ketenangan, berusaha mencapai tingkat2 meditasi, memerangi kemelekatan, mendevelop mind (seperti kata anda)?
sama kayak di atas. silakan jawab dalam praktik masing2. cobalah paradigma akumulasi dan paradigma melepas / berhenti.
maaf kalo saya tidak mengutip apapun, tidak refer ke teori apapun dan ini mungkin mengecewakan anda...
kalo ini tidak bisa dimengerti ataupun dikaitkan dengan teori2, saya hanya bisa menulis sampai di sini saja.
ps: walaupun saya memakai istilah "celoteh", ini tidak selalu mengacu pada sesuatu yg terdengar
kasus ky gini mirip kaya yg pernah aye alami dulu : begitu ngeliat ada yg "tertindas", muncul "rasa keadilan" dan dilekati sehingga membuat jadi buta, tuli.;D ;D ;D ;D sering terjadi yg begini..
Yg penting selesaikan misi yaitu menyelamatkan yg tertindas, padahal bisa aja yg tertindas itu yg ngaco..... mirip ky org nyebrang sembarangan, lalu ketabrak. Yg salah adalah yg naek mobil
bingung..... bingung.........
ampun, om markos, kok sampe dibawa balik ke thought lagi sih?
di post yg atas, saya hanya menyimpulkan ada dua macam paradigma yg sangat kontras dalam mempelajari / praktek buddha dhamma: paradigma yg mengakumulasi dan paradigma yg melepas. saya mengajak kita merenung dan mencoba kedua macam paradigma ini dalam praktek masing2 untuk menilainya sendiri...
tapi saya juga ikuti deh arah pembicaraan thought ini di bawah.Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Mohasaya gak perlu nyari2 referensi sutta2 lah. mari lihat ke dalam seperti saran ajahn chah berikut:
nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali......QuoteOne day, a famous woman lecturer on Buddhist metaphysics came to see Achaan Chah. This woman gave periodic teachings in Bangkok on the abhidharma and complex Buddhist psychology. In talking to Achaan Chah, she detailed how important it was for people to understand Buddhist psychology and how much her students benefited from their study with her. She asked him whether he agreed with the importance of such understanding.
"Yes, very important", he agreed.
Delighted, she further questioned whether he had his own students learn abhidharma.
"Oh, yes, of course."
And where, she asked, did he recommend they start, which books and studies were best?
"Only here," he said, pointing to his heart, "only here."
mari kita melihat ke dalam.
gini om markos, thought itu adalah sesuatu yg real yg anda lihat dalam meditasi.
cukup mengamati beberapa menit saja terlihat jelas ada "celoteh" yg bernyanyi di dalam kepala kita. celoteh ini kadang2 berasosiasi dengan masa lampau, kadang2 memprojeksikan masa depan. real kan? beneran ada kan?
apakah ini praktik buddhism?
ya jelas. semua guru meditasi buddhis mengenalinya. baca aja bukunya bhante gunaratana, bukunya ajahn brahm, atau master sheng yen atau yg lain2.
apakah celoteh ini bisa reda?
kayaknya jelas bisa.
mungkin anda pernah merasakan sendiri, saat thought anda agak reda, rasanya damai, semua indah, tidak ada ganjalan.
apakah celoteh ini bisa berhenti, berada hanya di saat ini (present) secara total?
mmmm.... ini sebaiknya dijawab dan dibuktikan oleh praktik masing2.
apakah kedamaian itu muncul dengan mengusir ldm, mengakumulasikan ketenangan, berusaha mencapai tingkat2 meditasi, memerangi kemelekatan, mendevelop mind (seperti kata anda)?
sama kayak di atas. silakan jawab dalam praktik masing2. cobalah paradigma akumulasi dan paradigma melepas / berhenti.
maaf kalo saya tidak mengutip apapun, tidak refer ke teori apapun dan ini mungkin mengecewakan anda...
kalo ini tidak bisa dimengerti ataupun dikaitkan dengan teori2, saya hanya bisa menulis sampai di sini saja.
ps: walaupun saya memakai istilah "celoteh", ini tidak selalu mengacu pada sesuatu yg terdengar
di sini anda merasa semuanya harus sesuai standard abhidhamma anda. padahal pak hudoyo jelas2 bilang terminologi yg dia pake ini bukan barang baru, bukan bikinan sekadar buat beda. terminologi citta seperti ini udah lazim dipake oleh bhikkhu2 lain:
Seseorang mengalami banyak 'keadaan batin' ('citta') yang berbeda; di dalam M.II.27 ditanyakan: "Citta yang mana? Oleh karena citta itu banyak, beraneka ragam, dan berbeda-beda." Secara umum dapat dikatakan, seseorang hidup dengan suatu kumpulan 'mindset' yang berubah-ubah, dan beberapa di antaranya akan terjadi secara teratur.
Mengenai 'kehendak', terdapat kemiripan antara 'vinnana' dan 'citta'; keduanya berkaitan dengan kondisi kualitatif dari seorang manusia. 'Vinnana' memberikan 'kesadaran' (awareness) dan kontinuitas yang dengan itu kita mengetahui kondisi moral kita, dan 'citta' adalah abstraksi yang mewakili kondisi itu. Dengan demikian 'citta' erat kaitannya dengan 'kehendak'; hubungan ini juga tampak secara etimologis, oleh karena 'citta' berasal dari akar verbal yang sama dalam bahasa Pali dengan kata aktif yang berarti "menghendaki" (cetana). 'Citta' juga mencerminkan kondisi/kemajuan kognitif kita.
'Citta' sebagai 'mindset' bisa 'mengkerut' (artinya tidak bisa berfungsi), "teralihkan", "menjadi besar", "tenang", atau kebalikan dari sifat-sifat itu (M.I.59). 'Citta' dapat didominasi oleh emosi tertentu, sehingga bisa merasa "takut", "terpukau", atau "tenang". 'Citta' dapat dikuasai oleh kesan-kesan yang enak maupun tak enak (M.I.423). Sejumlah keadaan yang dipenuhi emosi negatif dapat berkaitan dengan 'citta', atau 'citta' bisa bebas dari keadaan-keadaan itu, jadi penting untuk mengembangkan atau memurnikan citta. "Untuk waktu lama citta ini telah terkotori oleh kelekatan, kebencian, dan delusi. Karena cittanya terkotori, maka makhluk-makhluk terkotori; karena cittanya bersih, makhluk-makhluk bersih." (S.III.152).
Di dalam Anguttara Nikaya dikatakan: "Citta ini cemerlang, tetapi ia terkotori oleh kekotoran dari luar." (A.I.8-10) Ini tidak dimaksud menyatakan adanya "kemurnian asali"; oleh karena keadaan batin kita adalah suatu abstraksi, ada suatu kebastrakan di mana citta kita bisa dipandang sebagai murni pada prinsipnya. Seperti sebuah kolam air dapat dibayangkan pada prinsipnya mempunyai permukaan tenang yang kemudian menunjukkan riak-riak dan kekeruhan, begitu pula keadaan batin kita dapat dibayangkan pada prinsipnya cemerlang (seperti di dalam jhana) tetapi menunjukkan semua kegiatan batiniah.
Gini deh bro...... mari kita lihat salah satu sutta yg diberikan oleh PH sendiri yaitu S.III.152 atau Nava Sutta yaitu :Quote"Suppose a hen has eight, ten, or twelve eggs that she covers rightly, warms rightly, & incubates rightly: Even though this wish may not occur to her — 'O that my chicks might break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely!' — still it is possible that the chicks will break through the egg shells with their spiked claws or beaks and hatch out safely. Why is that? Because the hen has covered them, warmed them, & incubated them rightly. In the same way, even though this wish may not occur to a monk who dwells devoting himself to development — 'O that my mind might be released from effluents through lack of clinging!' — still his mind is released from the effluents through lack of clinging. Why is that? From developing, it should be said.
Developing what? The four frames of reference, the four right exertions, the four bases of power, the five faculties, the five strengths, the seven factors for Awakening, the noble eightfold path.
Jelas di sutta ini menyebutkan untuk mendevelop mind, bukan untuk stop mind, stop thought atau sebagainya... yg ada hanyalah stop clinging yg termasuk dalam stop Lobha, Dosa dan Moha
nah jika anda ada referensi mengenai thought, mind, mari kita lihat relevansinya kembali...... misal thought dalam buku Bhikkhu Bodhi sedikit menyamakan dengan right intention, namun dengan catatan :
Quotekasus ky gini mirip kaya yg pernah aye alami dulu : begitu ngeliat ada yg "tertindas", muncul "rasa keadilan" dan dilekati sehingga membuat jadi buta, tuli.;D ;D ;D ;D sering terjadi yg begini..
Yg penting selesaikan misi yaitu menyelamatkan yg tertindas, padahal bisa aja yg tertindas itu yg ngaco..... mirip ky org nyebrang sembarangan, lalu ketabrak. Yg salah adalah yg naek mobil
bingung..... bingung.........
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literatur
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan
namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna
Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya
Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
Disinilah fungsi buku, literatur sebagai rakit yg membawa, sebagai peta yg menunjukkan jalan
Tapi org yg bodoh akan bilang bhw tidak perlu rakit, tidak perlu peta
semoga dengan diskusi ini bisa jadi jelas bhw bukanlah bukunya yg menjadi masalah, namun permasalahannya adalah pada MELEKAT dan PANNA dalam menyingkapi buku tersebut
Ingat loh bro, Objek itu sifatnya netral
Kita-lah yg membuatnya menjadi tidak netral
* paradigma yg mengakumulasi, mengumpulkan, berusaha mencapai, berjuang
di paradigma ini berpendapat ada sesuatu yg harus dikumpulkan, dicapai, tingkat demi tingkat untuk menuju pencerahan terakhir.
* paradigma melepas
paradigma ini tidak memperdulikan apa yg harus dicapai, apa tingkat2 kesucian yg musti dilewati. hanya mengamati dan membiarkannya berhenti sendiri (let it go). tidak ada yg dikumpulkan, tidak ada yg diakumulasi.
yah, inilah perbedaan paradigma kita, om markos :)
susah ketemunya bang. saya membicarakan hal yg ada di dalam. anda membicarakan hal yg ada di luar.
secara teori kedengeran masuk akal, dua2nya, mengakumulasi dan melepas.
mari kita coba, bisakah kita melihat ke dalam lalu coba sekaligus mengakumulasi dan melepas dalam praktek ;D
dan dari kata2 anda mengenai apa yg diakumulasi dan apa yg dilepas, terlihat jelas paradigma itu adalah paradigma akumulasi :)
mengenai jeruk, pertanyaan itu juga musti diajukan kepada anda. darimana anda tau itu jeruk? :)
sekali lagi untuk mengalami jeruk, paling baik mengalaminya secara real di dalam diri anda sendiri.
membaca kata "jeruk" sama sekali tidak memetakan jeruk di dunia nyata...
anda suka memakai kata2 "pengetahuan", "kebijaksanaan", "ignorance".
menurut saya, ada perbedaan antara "pengetahuan" dengan pengetahuan, "kebijaksanaan" dengan kebijaksanaan.
"pengetahuan" (telunjuk, ide) itu berbeda jauh dengan pengetahuan (rembulan, realita).
saya pikir ini bisa kita teruskan gak habis2nya, tapi sungguh sulit untuk bisa ketemu dalam pembicaraan kita, om markos.
disini jelas bhw sebelum makan jeruk, anda tahu jeruk itu seperti apa
lalu praktek, makan jeruk itu, buktikan kebenaran yg ada dalam buku
baca lagi, ternyata jeruk itu macam2, ada valencia, sunkist, lokam, dsbnya
anda makan lagi macam2 jeruk itu, dan anda bisa tahu bagaimana perbedaan setiap jeruk
masih berpanjang panjang juga di sini nih :)) , sebaiknya MMD itu di biarkan saja deh setidaknya ada orang yang memetik manfaatnya juga lah. Segala sesuatu pasti ada makna dan manfaat yang bisa di ambil apapun itu baik ajaran salah maupun benar karena tiap2 orang itu berbeda2 penangkapannya.
In my own practice, I did not know or study much. I took the straightforward teachings the Buddha gave and simply began to study my own mind according to nature. When you practice, observe yourself. Then gradually knowledge and vision (ini yg saya maksud pengetahuan tanpa tanda kutip :) ) will arise of themselves. If you sit in meditation and want it to be this way or that, you had better stop right there. Do not bring ideals or expectations to your practice. Take your studies, your opinions, and store them away.
You must go beyond all words, all symbols, all plans for your practice. Then you can see for yourself the truth, arising right here. If you do not turn inward, you will never know reality. I took the first few years of formal Dharma text study, and when I had the opportunity, I went to hear various scholars and masters teach, until such study became more of a hindrance than a help. I did not know how, to listen to their sermons because I had not looked within.
The great meditation masters spoke about the truth within oneself. Practicing, I began to realize that it existed in my own mind as well. After a long time, I realized that these teachers have really seen the truth and that if we follow their path, we will encounter everything they have spoken about. Then we will be able to say, ''Yes, they were right. What else could there be? Just this." When I practiced diligently, realization unfolded like that.
If you are interested in Dharma, just give up, just let go. Merely thinking about practice is like pouncing on the shadow and missing the substance. You need not study much. If you follow the basics and practice accordingly, you will see the Dharma for yourself. There must be more than merely hearing the words. Speak just with yourself, observe your own mind. If you cut off this verbal, thinking mind, you will have a true standard for judging. Otherwise, your understanding will not penetrate deeply. Practice in this way and the rest will follow.
ajaib, barusan nemu tulisan ajahn chah yg senada :)
saya menyarankan agar kita merenungkan tulisan dari a still forest pool berikut:QuoteIn my own practice, I did not know or study much. I took the straightforward teachings the Buddha gave and simply began to study my own mind according to nature. When you practice, observe yourself. Then gradually knowledge and vision (ini yg saya maksud pengetahuan tanpa tanda kutip :) ) will arise of themselves. If you sit in meditation and want it to be this way or that, you had better stop right there. Do not bring ideals or expectations to your practice. Take your studies, your opinions, and store them away.
You must go beyond all words, all symbols, all plans for your practice. Then you can see for yourself the truth, arising right here. If you do not turn inward, you will never know reality. I took the first few years of formal Dharma text study, and when I had the opportunity, I went to hear various scholars and masters teach, until such study became more of a hindrance than a help. I did not know how, to listen to their sermons because I had not looked within.
The great meditation masters spoke about the truth within oneself. Practicing, I began to realize that it existed in my own mind as well. After a long time, I realized that these teachers have really seen the truth and that if we follow their path, we will encounter everything they have spoken about. Then we will be able to say, ''Yes, they were right. What else could there be? Just this." When I practiced diligently, realization unfolded like that.
If you are interested in Dharma, just give up, just let go. Merely thinking about practice is like pouncing on the shadow and missing the substance. You need not study much. If you follow the basics and practice accordingly, you will see the Dharma for yourself. There must be more than merely hearing the words. Speak just with yourself, observe your own mind. If you cut off this verbal, thinking mind, you will have a true standard for judging. Otherwise, your understanding will not penetrate deeply. Practice in this way and the rest will follow.
tak hanya sampai merenung saja, cobalah lakukan eksperimen, mengamati apa yg ada di dalam...
You need not study much.
If you follow the basics and practice accordingly, you will see the Dharma for yourself
Quotekasus ky gini mirip kaya yg pernah aye alami dulu : begitu ngeliat ada yg "tertindas", muncul "rasa keadilan" dan dilekati sehingga membuat jadi buta, tuli.;D ;D ;D ;D sering terjadi yg begini..
Yg penting selesaikan misi yaitu menyelamatkan yg tertindas, padahal bisa aja yg tertindas itu yg ngaco..... mirip ky org nyebrang sembarangan, lalu ketabrak. Yg salah adalah yg naek mobil
bingung..... bingung.........
hal ini pernah saya diskusi dgn bro willi.... bhw sesungguhnya kita sering melekat pada "kebenaran konseptual" kita, bhw yg lemah perlu dibela
penerapan kalau di jalanan, yang rodanya lebih dikit, dia yg benar ;D
nah bagaimna kita tahu melekat atau tidaknya? yah kembali melihat batin, apa yg bergejolak
disinilah bisa dilihat bagaimana kolaborasi teori dan praktek.
teori tanpa praktek hanya akan membuat jadi kesombongan
praktek tanpa teori, seperti org buta berjalan tak tentu arahnya
kalo kata si abang : waspadalah.... waspadalah :))
tampaknya ini udah menjadi debat kusir dan terjadi pengulangan2... ndak bisa ketemu.
sementara di sini dulu, om markos. sampe ada yg baru...
seperti nya bro Morp pro MMD yah?saya tidak mempunyai afiliasi apapun dengan mmd maupun pak hudoyo.
hmm. kalau begitu saya titip pertanyaan yang belum sempat dijawab sama PH..saya kurang yakin mengerti pertanyaan anda, om marce...
dalam latihan tentu kita ingin kebijaksanaan kita meningkat bukan....
nah pada saat dikatakan PH mengenai ELING, ketika seseorang anak kecil saja bertanya pada anda....
manakah lebih baik menjadi anak rajin atau anak nakal?
silahkan dijawab sendiri....
ketika kita mau menjawab anak rajin, disitu kata PH batin kita telah melabeli....sebuah konsep...
dimana aku berada pada objek kemudian membedakan objek..!!!
jadi kata PH ini adalah "aku" yang muncul yang merupakan penyebab penderitaan....
kalau saya renungkan justru seperti nya ada yang salah...
wong masa tidak bisa membedakan hal ini saja mana baik mana buruk....kemudian saya merujuk bertanya
"mengapa SangBuddha masih kadang memberikan nasehat ini baik ini buruk"
PH menjawab bahwa, "batin seorang Sammasambuddha tentu tidak dapat ditebak....dan lagi Tipitaka itu sudah diragukan kebenarannya."
kemudian saya bertanya bahwa "lalu darimana hasil latihan yang selalu merujuk bahiya dan malupariya-sutta? bukankah itu dari Tipitaka?"
PH kemudian tidak pernah OL lagi dan memberikan jawaban....
bisakah saudara morp membantu jawab terutama masalah anak nakal anak rajin....
sekali lagi ini konteks meditasi, arahnya ke dalam.
pada orang yg over dosis, pelajaran spiritual ke dalam dipake untuk ke luar, menasehati orang lain, nggosip, ngalor ngidul, berandai2...
Seharusnya gayung-lah yang mencari sumber mata air....hmmm dunia (si Master) memang sudah terjungkir-balik.... :o :o :omungkin si pengajar meditasi hanya mengikuti masternya yg mengembara ke kapilavastu, bodhgaya, sarnath, rajgir, shravasti, varanasi, vaishali, dan kushinagar 2500 tahun yg lalu...
QuoteHUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."
Sebenarnya, klarifikasi Pak Hudoyo di atas ini pun kurang bisa dipertanggungjawabkan…
Di dalam vipassana, tidak tepat menyatakan bahwa JMB8 adalah tidak relevan. Namun yang sebenarnya, vipassana adalah salah satu poin di dalam JMB8.
Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.
Adalah kesalahan fatal untuk mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai Pembebasan, karena justru vipassana itu sendiri merupakan salah satu ruas jalan yang bisa mengantar kita pada Pembebasan.
Kalau pada kasus panci, akibat dari api (mis: panas) bisa lenyap perlahan-lahan secara alami. Alias tanpa perlu diusahakan pun, otomatis panas akan lenyap sendiri.Menurut pendapat saya, kalau orang merealisasi Sotapanna, sudah tidak memikirkan "ini latihan" atau "ini bukan", tetapi karena bathinnya sudah berbeda, maka segala yang pola pikirnya adalah menuju "kepadaman". "Latihan" di sini pun saya percaya sudah tidak seperti latihan seorang Puthujjana. Tidak ada dikatakan Sotapanna yang tidak latihan bisa terlahir kembali lebih dari 7 kali.
Nah, kalau pada kasus Sotapanna, akibat lampau dari kebodohan batin tidak bisa lenyap secara alami. Alias diperlukan usaha (latihan) untuk memusnahkan semua kebodohan batin dan kilesa.
Bagaimana pendapat Anda?
Mengenai kasus “jumlah perasaan”, itu masih relevan jika suatu ketika Sang Buddha menyatakan perasaan memang terbagi dua, tiga, empat, dsb. Karena konsep dari sebuah perasaan itu nilainya relatif.Kalau begitu saya mau tanya, Nibbana itu adalah suatu keabadian atau suatu kebinasaan?
Tapi untuk kasus “nihilisme” atau “tidak nihilisme”, itu tidak relevan. Karena konsep dari sebuah nihilisme itu sudah memenuhi kriteria yang jelas, bukan mengambang sehingga kadang bisa disebut nihilisme atau tidak nihilisme. Jika suatu ketika seseorang mengatakan ini adalah “nihilisme”, tapi di lain waktu mengatakan ini adalah “tidak nihilisme”, dan di lain waktu kemudian ia mengatakan ini adalah “nihilisme”, maka hanya ada enam kemungkinan, yaitu:
- orang itu plin-plan
- orang itu terus mengalami transformasi konsep pandangan
- orang itu berbicara asal
- orang itu mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan
- orang itu kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa
- orang itu menganggap “nihilisme” dan “tidak nihilisme” adalah sama
Saya sependapat dengan Anda. Ajaran Buddha Gotama saja juga bisa diklaim sebagai ajaran sesat oleh orang lain.Ya, argumentasi yang baik selalu bermanfaat. Namun siapa lebih benar, siapa lebih objektif adalah tergantung pribadi masing-masing.
Karena itu saya melihat diskusi ini adalah ajang untuk berargumentasi, mana yang lebih bisa diterima dan dilihat secara objektif.
kalau begitu dapatkah Anda memberikan cara yg terbaik untuk melihat kebenaran paramatha Dhamma itu?
QuoteHUDOYO di SP ini menulis:
>>Salah satu KESALAHPAHAMAN yang paling sering diungkit-ungkit adalah bahwa saya "menolak Jalan Mulia Berfaktor Delapan" dari doktrin Buddhisme. > Kesalahpahaman ini disebabkan karena sementara rekan Buddhis > menyalahpahami kata-kata saya: "DI DALAM VIPASSANA, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak relevan lagi."
Sebenarnya, klarifikasi Pak Hudoyo di atas ini pun kurang bisa dipertanggungjawabkan…
Di dalam vipassana, tidak tepat menyatakan bahwa JMB8 adalah tidak relevan. Namun yang sebenarnya, vipassana adalah salah satu poin di dalam JMB8.
Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.
Adalah kesalahan fatal untuk mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai Pembebasan, karena justru vipassana itu sendiri merupakan salah satu ruas jalan yang bisa mengantar kita pada Pembebasan.
Kalau begitu, apa penjelasan tentang Angulimala yang sudah membunuh banyak orang, namun tetap dapat merealisasi Arahatta?
Upaghataka Kamma memotong Janaka Kamma supaya tidak menimbulkan hasil selamanya
1. Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. YA Angulimala Thera sebelum menjadi anggota Sangha, dulu adalah penjahat yang banyak membunuh orang. Seharusnya YA Angulimala menerima akibatnya dengan tumimbal lahir di alam Neraka. Setelah beliau menjadi Arahat, dengan kekuatan Magga-Phala yang merupakan kusala upaghataka kamma, memotong akusala janaka kamma yang pernah dibuat YA Angulimala di kehidupan sekarang dan yg lampau agar tidak menghasilkan akibat lagi selamanya
2. Kusala Upaghataka Kamma memotong kusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. B melaksanakan samatha bhavana sampai mencapai Arupa Jhana dimana seharusnya dia setelah meninggal, akan masuk ke alam Arupa Brahma. Namun karena sudah mencapai Arupa Jhana, berarti kekuatan Rupa Jhananya tidak mampu mendorong B terlahir di alam Rupa Bumi.
3. Akusala Upaghataka Kamma memotong kusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. Devadatta mempunyai abhinna yang hampir setara dengan Buddha namun karena melakukan akusala garuka kamma yg menjadi akusala upaghataka kamma, memotong mahagatta kusala janaka kamma sehingga terlahir di alam Avici Naraka, bukan ke alam Brahma
Kalau pada kasus panci, akibat dari api (mis: panas) bisa lenyap perlahan-lahan secara alami. Alias tanpa perlu diusahakan pun, otomatis panas akan lenyap sendiri.Menurut pendapat saya, kalau orang merealisasi Sotapanna, sudah tidak memikirkan "ini latihan" atau "ini bukan", tetapi karena bathinnya sudah berbeda, maka segala yang pola pikirnya adalah menuju "kepadaman". "Latihan" di sini pun saya percaya sudah tidak seperti latihan seorang Puthujjana. Tidak ada dikatakan Sotapanna yang tidak latihan bisa terlahir kembali lebih dari 7 kali.
Nah, kalau pada kasus Sotapanna, akibat lampau dari kebodohan batin tidak bisa lenyap secara alami. Alias diperlukan usaha (latihan) untuk memusnahkan semua kebodohan batin dan kilesa.
Bagaimana pendapat Anda?
Bagi saya, latihan seorang Ariya "mencapai" kepadaman total adalah seperti menaruh es dalam air panas yang sudah tidak ada api, mempercepat proses pendinginan yang bagaimanapun juga pasti terjadi di masa depan.
QuoteMengenai kasus “jumlah perasaan”, itu masih relevan jika suatu ketika Sang Buddha menyatakan perasaan memang terbagi dua, tiga, empat, dsb. Karena konsep dari sebuah perasaan itu nilainya relatif.Kalau begitu saya mau tanya, Nibbana itu adalah suatu keabadian atau suatu kebinasaan?
Tapi untuk kasus “nihilisme” atau “tidak nihilisme”, itu tidak relevan. Karena konsep dari sebuah nihilisme itu sudah memenuhi kriteria yang jelas, bukan mengambang sehingga kadang bisa disebut nihilisme atau tidak nihilisme. Jika suatu ketika seseorang mengatakan ini adalah “nihilisme”, tapi di lain waktu mengatakan ini adalah “tidak nihilisme”, dan di lain waktu kemudian ia mengatakan ini adalah “nihilisme”, maka hanya ada enam kemungkinan, yaitu:
- orang itu plin-plan
- orang itu terus mengalami transformasi konsep pandangan
- orang itu berbicara asal
- orang itu mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan
- orang itu kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa
- orang itu menganggap “nihilisme” dan “tidak nihilisme” adalah sama
QuoteSaya sependapat dengan Anda. Ajaran Buddha Gotama saja juga bisa diklaim sebagai ajaran sesat oleh orang lain.Ya, argumentasi yang baik selalu bermanfaat. Namun siapa lebih benar, siapa lebih objektif adalah tergantung pribadi masing-masing.
Karena itu saya melihat diskusi ini adalah ajang untuk berargumentasi, mana yang lebih bisa diterima dan dilihat secara objektif.
Saya pernah bilang ciri khas ajaran Buddha adalah menurut Sankhitta Sutta, sedangkan bagi mayoritas adalah JMB 8. Tidak bisa dipungkiri, selama mayoritas memegang JMB 8 lebih objektif, otomatis terjadi opini Sankhitta Sutta yang subjektif.
itu tulisan lengkapnya om... bisa cross check ke bukunya atau internet.
saya gak heran kalo anda punya interpretasi lain...
silakan dibaca pelan2, interpretasinya saya serahkan ke pribadi masing2.
bisa saja kita mengambil kutipan masing2 dan terus2an mengadu interpretasi, gak habis2.
Seharusnya gayung-lah yang mencari sumber mata air....hmmm dunia (si Master) memang sudah terjungkir-balik.... :o :o :omungkin si pengajar meditasi hanya mengikuti masternya yg mengembara ke kapilavastu, bodhgaya, sarnath, rajgir, shravasti, varanasi, vaishali, dan kushinagar 2500 tahun yg lalu...
kalau begitu dapatkah Anda memberikan cara yg terbaik untuk melihat kebenaran paramatha Dhamma itu?
Kalau saya sudah mampu demikian, berarti saya sudah jadi Samma Sambuddha. :)
Bagi saya, kapasitas maksimal yang dapat diberikan seorang Puthujjana "hanyalah" sebatas memberikan kebenaran relatif sehingga bisa bermanfaat dalam hidup.
loh bro, saya tidak mengambil kutipan lain loh....... khan anda yg memberikannya.... sama seperti di sutta, saya hanya diskusi mengenai apa yg anda sodorkan saja lohom markos, maksud saya, kita bisa saja terus2an memperdebatkan kata demi kata artikel ajahn chah di atas. kita mulai memperdebatkan kata "study", apa sih yg dimaksud ajahn chah dengan kata itu, kemudian muter2, kemudian berikutnya kata "much", sampe di mana sih itu batasan "much", muter2, kemudian kata "knowledge", kemudian "store them away", kemudian "practicing", dst. akhirnya tetep setuju untuk gak sependapat hehehe... dari posting anda yg terdahulu aja sudah terlihat kontras cara pemikiran dan persepsi kita.
untuk lebih fair, bagaimana kita sama2 menterjemahkan biar kita bisa sama2 tahu persepsi masing2?
karena jika hanya lihat sekilas, give up, let go... itu berhubungan dengan tidak melekat..... jadi tidak melekat pada teori tapi bukan berarti melepas teori
sama seperti angka selain positif (+), belum tentu negatif (-)karena masih ada angka nol (0).... logika ini yg sering disalah artikan bhw seolah2 jika bukan +, berarti - ......
ajaran si pengajar meditasi : tidak ada jalan, cocok ama JKini yg saya maksud memahami ajaran kata demi kata yg ada di kamus, tidak diselami keseluruhan makna dan jiwanya serta direfleksikan di dalam.
kalo ajaran buddha, ada jalan yg menuju ke Nibbana
Kalau begitu, apa penjelasan tentang Angulimala yang sudah membunuh banyak orang, namun tetap dapat merealisasi Arahatta?
Menurut pendapat saya, kalau orang merealisasi Sotapanna, sudah tidak memikirkan "ini latihan" atau "ini bukan", tetapi karena bathinnya sudah berbeda, maka segala yang pola pikirnya adalah menuju "kepadaman". "Latihan" di sini pun saya percaya sudah tidak seperti latihan seorang Puthujjana. Tidak ada dikatakan Sotapanna yang tidak latihan bisa terlahir kembali lebih dari 7 kali.
Bagi saya, latihan seorang Ariya "mencapai" kepadaman total adalah seperti menaruh es dalam air panas yang sudah tidak ada api, mempercepat proses pendinginan yang bagaimanapun juga pasti terjadi di masa depan.
Kalau begitu saya mau tanya, Nibbana itu adalah suatu keabadian atau suatu kebinasaan?
Ya, argumentasi yang baik selalu bermanfaat. Namun siapa lebih benar, siapa lebih objektif adalah tergantung pribadi masing-masing.
Saya pernah bilang ciri khas ajaran Buddha adalah menurut Sankhitta Sutta, sedangkan bagi mayoritas adalah JMB 8. Tidak bisa dipungkiri, selama mayoritas memegang JMB 8 lebih objektif, otomatis terjadi opini Sankhitta Sutta yang subjektif.
kembali ke anak nakal dan rajin, semuanya tidak relevan dalam konteks meditasi.bro morp, yg saya tanyakan jika ada anak kecil datang dan bertanya...oke ^^
kalo anda lihat ke dalam, "aku harus jadi rajin, lebih rajin", keliatan ada konflik kan?
kembali ke anak nakal dan rajin, semuanya tidak relevan dalam konteks meditasi.nah saudara morp, kalau demikian apa gunanya meditasi? toh setelah keluar dari meditasi "aku" muncul lagi....jadi sementara saja sifatnya?
kalo anda lihat ke dalam, "aku harus jadi rajin, lebih rajin", keliatan ada konflik kan?
Sesungguhnya seorang putthujana jangan melulu berpikir saya putthujana tidak ada kemampuan apa2. Tetapi harus mau dan berusaha melihat apa yg ada dibalik kerelatifan itu yakni paramatha Dhamma dengan ehipasiko benar sampai terealisasi. Jika sebatas itu kapasitas maksimal putthujana dengan hanya bergelut pada yg relatif, dan ini menambah pengertian saya lebih mendalam mengapa makhluk menderita bukan hanya karena perbuatannya tetapi adalah pilihan pada awalnya yg kemudian termanifestasi dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.saya setuju,kadang seseorang selalu berpikir bahwa masih putthujana sehingga makan garam rasa-nya asin pun masih meragukan "apa benar asin"
[...]
Satu hal yg kembali harus saya angkat, isi Tipitaka TIDAK MUNGKIN saling bertentangan, simple kok ;D
QuoteUpaghataka Kamma memotong Janaka Kamma supaya tidak menimbulkan hasil selamanyaSaya tidak menanyakan tentang tidak terjadinya tumimbal lahir di alam sengsara. Saya tanyakan mengapa setelah membunuh demikian banyak, tetap bisa mencapai Arahatta.
1. Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. YA Angulimala Thera sebelum menjadi anggota Sangha, dulu adalah penjahat yang banyak membunuh orang. Seharusnya YA Angulimala menerima akibatnya dengan tumimbal lahir di alam Neraka. Setelah beliau menjadi Arahat, dengan kekuatan Magga-Phala yang merupakan kusala upaghataka kamma, memotong akusala janaka kamma yang pernah dibuat YA Angulimala di kehidupan sekarang dan yg lampau agar tidak menghasilkan akibat lagi selamanyaSaat es perlahan-lahan mencair walau tidak terlihat namun secara fisika sesungguhnya terjadi perpindahan energiKetika seorang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, sudah "nature"-nya ia menggerakan tubuh yang memancing metabolisme dan pembentukan otot kaki. Apakah di situ ada "pikiran/usaha untuk latihan"? Apakah orang berjalan cocok disebut "sedang latihan"?
hasilnya adalah pasti namun tetap dibutuhkan usaha karena itu sudah "nature"-nya sotapanna
demikianlah hasil dari parami yg dikumpulkan dalam berbagai kehidupan, yaitu trend batin sebagai nature-nyaMahluk hidup terdiri dari :Bagi orang sudah terbiasa dengan doktrin nama-rupa, memang mudah menerimanya. Bagaimana dengan penjelasan sehari-harinya?
- NAma Khandha
- rupa khandha
- NAma Dhamma
- Rupa Dhamma
Nibbana adalah NAma Dhamma, batin secara hakekat yg sesungguhnya........ bukan keabadian, pun bukan pemusnahan karena sesungguhnya dari awal, yg ada hanyalah proses.....
Sekarang kita ada, berpikir, merasakan. Apakah setelah nibbana kita berhenti berpikir, merasakan, ataukah terus berpikir dan merasakan?Quoteback to topic, apa bro Kai bisa share kemungkinan lain selain 6 kemungkinan yg disebutkan diatas?Dahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.Cuma ingin bertanya Sankhitta sutta bertentangan dengan salah satu, beberapa atau banyak sutta dalam tipitaka?Sankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
mungkin bro kai bisa share karena saya belum tahu sutta ini
anumodana
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.
Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta.
Baiklah jika itu pandangan bro, saya hargai. Hanya saya ingin menggarisbawahi bahwa jika demikian anda telah memilih untuk dalam samsara sampai pandangan itu berubah. Smoga ini semua bisa membawa manfaat bagi hidup Anda.:)
Sesungguhnya seorang putthujana jangan melulu berpikir saya putthujana tidak ada kemampuan apa2. Tetapi harus mau dan berusaha melihat apa yg ada dibalik kerelatifan itu yakni paramatha Dhamma dengan ehipasiko benar sampai terealisasi. Jika sebatas itu kapasitas maksimal putthujana dengan hanya bergelut pada yg relatif, dan ini menambah pengertian saya lebih mendalam mengapa makhluk menderita bukan hanya karena perbuatannya tetapi adalah pilihan pada awalnya yg kemudian termanifestasi dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.
Terima kasih bro kainyn untuk diskusi yg menarik dengan Anda . _/\_
Dahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.hmm. ini tulisan siapa ya?
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
Pada kisah Angulimala… setelah mendengar khotbah dari Sang Buddha, Angulimala pun akhirnya melepaskan pedang dan menjadi seorang bhikkhu. Kemudian setelah itu, ada banyak prajurit yang mencari Angulimala untuk menangkapnya hidup atau mati. Ketika prajurit-prajurit itu bertemu Sang Buddha, mereka bertanya akan keberadaan Angulimala pada Beliau. Sang Buddha balik bertanya: “Jika kalian menjumpai Angulimala yang sudah melepaskan pedangnya, mencukur rambutnya, memakai jubah kuning dan menjadi orang baik, apakah kalian masih ingin menangkapnya?”
Dan memang, Angulimala pun sudah menjadi orang yang bersahaja dan baik hati. Meski pada saat itu Angulimala belumlah menjadi seorang Arahanta… Melalui latihannya yang intensif, akhirnya Angulimala pun bisa merealisasi tingkat Arahat.
Bisa Anda buktikan di Angulimala Sutta. Bahwa setelah menjadi bhikkhu, Angulimala sudah berperilaku menjadi orang baik. Menjaga setiap pikiran, ucapan dan perbuatan dengan benar. Apa itu bukan JMB8?
Vipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.
Bukan keadabadian maupun bukan kebinasaan.:) Tidak juga. Bukankah banyak sutta yang menjelaskan Nibbana adalah kepadaman (extinction)?
Namun dalam penggunaan tata berbahasa, Sang Buddha cenderung menjelaskan bahwa Nibbana adalah “kehidupan abadi”.
Menurut saya juga demikian. Yang saya lihat, kebanyakan orang suka membela diri sendiri ketika ia tahu bahwa argumentasinya salah. Itu yang saya sayangkan.Kembali lagi, benar salah adalah relatif. Justru orang melihat argumentasinya benar, maka mati-matian membela. Biasanya seperti itu, walau pun kadang ada juga yang memang hanya mementingkan ego.
Nah Bro, mumpung di thread ini, alangkah baiknya jika Anda menyisipkan amanat dari Sankhitta Sutta dan JMB8… Setidaknya dari pendapat Anda atau referensi bacaan. Sehingga semua orang bisa melihat di sini…Sudah saya jawab juga di reply bro markos.
Contoh itu baru terpikir dan saya tulis beberapa menit lalu. Bro marcedes pernah baca di tempat lain?QuoteDahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.hmm. ini tulisan siapa ya?
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
bro.kaiYa, intinya statement berubah bertolak belakang, namun esensinya tidak. Jika esensi yang bertolak belakang, maka itu berarti seseorang tidak konsisten atau memang berubah pandangan.
sewaktu dulu kita berdiskusi entah dimana, mengenai ketidak setujuan anda membalik KM.....tulisan ini yg hendak saya post....tidak peduli Ajahn membalik nya tetapi ^^
sebenarnya itu merujuk pada satu makna loh...
melainkan hidup didunia ini kondisi bahagia dan dukkha semua silih berganti...
hanya cara penyampaian untuk ini butuh banyak cara dan lihat kondisi..
tetapi seperti nya contoh ini tidak cocok, karena bukan esensi bertolak belakang..
Sebetulnya saya bukan ingin membahas "pertobatan Angulimala", namun mengenai ini:QuoteVipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.
Di awal dikutip bahwa Pak Hudoyo mengatakan JMB 8 tidak relevan dalam vipassana. Lalu bro Upasaka mengatakan ucapan tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan, lalu memberikan statement tersebut. Saya tertarik untuk bertanya, seberapa jauh hubungan sila dan vipassana?
Mengapa Angulimala yang membunuh 999 orang bisa mencapai Arahatta sementara Anathapindika yang memiliki sila sangat-sangat baik, "hanya" mampu merealisasikan Sotapanna?
:) Tidak juga. Bukankah banyak sutta yang menjelaskan Nibbana adalah kepadaman (extinction)?
Kembali lagi pada reply saya ke bro Markos, lain statement pada lain waktu tidak bisa dinilai segampang itu ke dalam enam kategori.
Dahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
Kembali lagi, benar salah adalah relatif. Justru orang melihat argumentasinya benar, maka mati-matian membela. Biasanya seperti itu, walau pun kadang ada juga yang memang hanya mementingkan ego.
Sankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.
Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta
nah saudara morp, kalau demikian apa gunanya meditasi? toh setelah keluar dari meditasi "aku" muncul lagi....jadi sementara saja sifatnya?kalo gitu yg mau anda sampaikan adalah bagaimana respon orang yg berada dalam keheningan terhadap pertanyaan duniawi (sosial, fisika, matematika, etc)?
dalam nasehat PH, selalu mementingkan ELING, nah pada saat anda ELING, di tanya begitu sama bocah umur 3 tahun, jawaban anda apa?
Contoh itu baru terpikir dan saya tulis beberapa menit lalu. Bro marcedes pernah baca di tempat lain?
Ini saya pernah bahas. Saya tidak setuju sama sekali, karena memang jadi tidak "nyambung".
Saya pernah berikan perumpamaan peta bagi yang mau pergi dari kota A ke kota B.
Buddha memberikan urutan peta dari pintu kota A, perjalanan, lalu akhirnya menuju pintu kota B.
Sementara Bhikkhu yang diyakini Anagami (bahkan sebagian lain meyakini sebagai Arahat) memberikan peta dimulai dari pintu masuk kota B, jalan mundur ke pintu A.
Seandainya anda dari perempatan Grogol mau ke Mega Mall Pluit buat KopDar, tapi anda tidak tahu jalan.
A memberikan petunjuk: Depan Mega Mall ada sungai, sebelum ke Mega Mall ada perempatan, sebelumnya lagi ada perempatan di mana sebelah kiri ada Pluit Junction dan jalan menuju Bandara Soekarno Hatta.
B memberikan petunjuk: di perempatan Grogol ada 4 jalan, ambil arah di mana sebelah kiri anda Mal Ciputra dan sebelah kanan anda, jauh di seberang ada Universitas Tarumanegara.
Saya tanya anda, yang mana yang lebih memudahkan anda sampai di tujuan?
kalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...
pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^
salam metta.
Di awal dikutip bahwa Pak Hudoyo mengatakan JMB 8 tidak relevan dalam vipassana. Lalu bro Upasaka mengatakan ucapan tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan, lalu memberikan statement tersebut. Saya tertarik untuk bertanya, seberapa jauh hubungan sila dan vipassana?
Mengapa Angulimala yang membunuh 999 orang bisa mencapai Arahatta sementara Anathapindika yang memiliki sila sangat-sangat baik, "hanya" mampu merealisasikan Sotapanna?
wah, tolong jangan berputar pertanyaan saya sederhana.nah saudara morp, kalau demikian apa gunanya meditasi? toh setelah keluar dari meditasi "aku" muncul lagi....jadi sementara saja sifatnya?kalo gitu yg mau anda sampaikan adalah bagaimana respon orang yg berada dalam keheningan terhadap pertanyaan duniawi (sosial, fisika, matematika, etc)?
dalam nasehat PH, selalu mementingkan ELING, nah pada saat anda ELING, di tanya begitu sama bocah umur 3 tahun, jawaban anda apa?
begitukah?
jawaban saya: gak tau. mungkin tergantung orangnya dan latar belakangnya. kebenaran duniawi itu sendiri relatif.
wah, tolong jangan berputar pertanyaan saya sederhana.itu jawaban paling direct yg bisa saya berikan. di mana berputarnya?
"anak kecil datang dan bertanya baiknya menjadi anak rajin atau anak nakal?"
kok pertanyaan ini saja ga dijawab seh...
loh bro, saya tidak mengambil kutipan lain loh....... khan anda yg memberikannya.... sama seperti di sutta, saya hanya diskusi mengenai apa yg anda sodorkan saja lohom markos, maksud saya, kita bisa saja terus2an memperdebatkan kata demi kata artikel ajahn chah di atas. kita mulai memperdebatkan kata "study", apa sih yg dimaksud ajahn chah dengan kata itu, kemudian muter2, kemudian berikutnya kata "much", sampe di mana sih itu batasan "much", muter2, kemudian kata "knowledge", kemudian "store them away", kemudian "practicing", dst. akhirnya tetep setuju untuk gak sependapat hehehe... dari posting anda yg terdahulu aja sudah terlihat kontras cara pemikiran dan persepsi kita.
untuk lebih fair, bagaimana kita sama2 menterjemahkan biar kita bisa sama2 tahu persepsi masing2?
karena jika hanya lihat sekilas, give up, let go... itu berhubungan dengan tidak melekat..... jadi tidak melekat pada teori tapi bukan berarti melepas teori
sama seperti angka selain positif (+), belum tentu negatif (-)karena masih ada angka nol (0).... logika ini yg sering disalah artikan bhw seolah2 jika bukan +, berarti - ......
ya sudahlah kalau memang kebijaksanaannya cuma sampai disitu... ^^wah, tolong jangan berputar pertanyaan saya sederhana.itu jawaban paling direct yg bisa saya berikan. di mana berputarnya?
"anak kecil datang dan bertanya baiknya menjadi anak rajin atau anak nakal?"
kok pertanyaan ini saja ga dijawab seh...
kalo anda punya jawabannya sendiri atau mengantisipasi jawabannya di dalam hati anda, ya wajar kalo kecewa...
bang markos, anda melakukan permainan kata2, dengan kata lain debat kusir. seperti yg saya bilang di atas, sepertinya masuk akal kata2 anda melepas sekaligus mengumpulkan. tapi apakah realitanya mungkin begitu? cobalah sendiri... bereksperimenlah... lihatlah ke dalam, bang...
pengulangan2, tidak ada yg baru...
Itulah hasil MMD, mau diapain juga hasilnya seperti belut. Gajah dan semut didepan mata tetap dibilang tak terlihat. Kalau sudah begini mau diapakan... ^-^
realitanya udah banyak yg ngalamin bro...... termasuk saya dan pun ada rekan2 disinisukurlah. kalo gitu mungkin pengalaman kita berbeda sehingga tidak bisa nyambung, om markos...
dari hasil praktek itulah makanya kami bisa berbicara, bukan hanya teks seperti yg anda selalu tekankan..... itu bukan eksperimen loh, tapi beneran praktek dalam hidup sehari2 karena sati sampajhana adalah sadar dan waspada setiap saat, bukan cuma waktu meditasi doang ^-^
[...]
Satu hal yg kembali harus saya angkat, isi Tipitaka TIDAK MUNGKIN saling bertentangan, simple kok ;D
Lakuntaka Bhadiya, Maha-Savaka dengan suara paling indah, memiliki postur tubuh yang sangat pendek (maka dipanggil lakuntaka=kerdil). Menurut Apadana dan Theragatha Atthakatha, hal itu disebabkan karena ia memutuskan membangun stupa dalam ukuran kecil untuk Buddha Kassapa. Menurut kelisila Jataka, postur demikian adalah buah perbuatan buruk masa lampau yang suka menertawakan orang lanjut usia.
Pertanyaan sederhana: mana yang benar?
QuoteUpaghataka Kamma memotong Janaka Kamma supaya tidak menimbulkan hasil selamanyaSaya tidak menanyakan tentang tidak terjadinya tumimbal lahir di alam sengsara. Saya tanyakan mengapa setelah membunuh demikian banyak, tetap bisa mencapai Arahatta.
1. Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. YA Angulimala Thera sebelum menjadi anggota Sangha, dulu adalah penjahat yang banyak membunuh orang. Seharusnya YA Angulimala menerima akibatnya dengan tumimbal lahir di alam Neraka. Setelah beliau menjadi Arahat, dengan kekuatan Magga-Phala yang merupakan kusala upaghataka kamma, memotong akusala janaka kamma yang pernah dibuat YA Angulimala di kehidupan sekarang dan yg lampau agar tidak menghasilkan akibat lagi selamanya
Saat es perlahan-lahan mencair walau tidak terlihat namun secara fisika sesungguhnya terjadi perpindahan energi
hasilnya adalah pasti namun tetap dibutuhkan usaha karena itu sudah "nature"-nya sotapanna
demikianlah hasil dari parami yg dikumpulkan dalam berbagai kehidupan, yaitu trend batin sebagai nature-nya
Ketika seorang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, sudah "nature"-nya ia menggerakan tubuh yang memancing metabolisme dan pembentukan otot kaki. Apakah di situ ada "pikiran/usaha untuk latihan"? Apakah orang berjalan cocok disebut "sedang latihan"?
Mahluk hidup terdiri dari :
- NAma Khandha
- rupa khandha
- NAma Dhamma
- Rupa Dhamma
Nibbana adalah NAma Dhamma, batin secara hakekat yg sesungguhnya........ bukan keabadian, pun bukan pemusnahan karena sesungguhnya dari awal, yg ada hanyalah proses.....
Bagi orang sudah terbiasa dengan doktrin nama-rupa, memang mudah menerimanya. Bagaimana dengan penjelasan sehari-harinya?
Sekarang kita ada, berpikir, merasakan. Apakah setelah nibbana kita berhenti berpikir, merasakan, ataukah terus berpikir dan merasakan?
Quoteback to topic, apa bro Kai bisa share kemungkinan lain selain 6 kemungkinan yg disebutkan diatas?
Dahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
Cuma ingin bertanya Sankhitta sutta bertentangan dengan salah satu, beberapa atau banyak sutta dalam tipitaka?
mungkin bro kai bisa share karena saya belum tahu sutta ini
anumodana
Sankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.
Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta.
AN 8.63 PTS: A iv 299
Sankhitta Sutta: In Brief
(Good Will, Mindfulness, & Concentration)
Translator's note: This discourse is important in that it explicitly refers to the practice of the four frames of reference (the four foundations of mindfulness) as a form of concentration practice, mastered in terms of the levels of jhana.
Then a certain monk went to the Blessed One and, on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One: "It would be good if the Blessed One would teach me the Dhamma in brief so that, having heard the Dhamma from the Blessed One, I might dwell alone in seclusion: heedful, ardent, & resolute."
"But it is in just this way that some worthless men make a request but then, having been told the Dhamma, think they should tag along right behind me."
"May the Blessed One teach me the Dhamma in brief! May the One Well-gone teach me the Dhamma in brief! It may well be that I will understand the Blessed One's words. It may well be that I will become an heir to the Blessed One's words."
"Then, monk, you should train yourself thus: 'My mind will be established inwardly, well-composed. No evil, unskillful qualities, once they have arisen, will remain consuming the mind.' That's how you should train yourself.
"Then you should train yourself thus: 'Good-will, as my awareness-release, will be developed, pursued, handed the reins and taken as a basis, given a grounding, steadied, consolidated, & well-undertaken.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should then train yourself thus: 'Compassion, as my awareness-release... Appreciation, as my awareness-release... Equanimity, as my awareness-release, will be developed, pursued, handed the reins and taken as a basis, given a grounding, steadied, consolidated, & well-undertaken.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should then train yourself thus: 'I will remain focused on the body in & of itself — ardent, alert, & mindful — putting aside greed & distress with reference to the world.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should train yourself: 'I will remain focused on feelings in & of themselves... the mind in & of itself... mental qualities in & of themselves — ardent, alert, & mindful — putting aside greed & distress with reference to the world.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, then wherever you go, you will go in comfort. Wherever you stand, you will stand in comfort. Wherever you sit, you will sit in comfort. Wherever you lie down, you will lie down in comfort."
Then that monk, having been admonished by an admonishment from the Blessed One, got up from his seat and bowed down to the Blessed One, circled around him, keeping the Blessed One to his right side, and left. Then, dwelling alone, secluded, heedful, ardent, & resolute, he in no long time reached & remained in the supreme goal of the holy life for which clansmen rightly go forth from home into homelessness, knowing & realizing it for himself in the here & now. He knew: "Birth is ended, the holy life fulfilled, the task done. There is nothing further for the sake of this world." And thus he became another one of the arahants.
Provenance: ©1997 Thanissaro Bhikkhu.Transcribed from a file provided by the translator.This Access to Insight edition is ©1997–2009 John T. Bullitt.
Terms of use: You may copy, reformat, reprint, republish, and redistribute this work in any medium whatsoever, provided that: (1) you only make such copies, etc. available free of charge; (2) you clearly indicate that any derivatives of this work (including translations) are derived from this source document; and (3) you include the full text of this license in any copies or derivatives of this work. Otherwise, all rights reserved. For additional information about this license, see the FAQ.
How to cite this document (one suggested style): "Sankhitta Sutta: In Brief" (AN 8.63), translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight, June 7, 2009, http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.063.than.html.
realitanya udah banyak yg ngalamin bro...... termasuk saya dan pun ada rekan2 disinisukurlah. kalo gitu mungkin pengalaman kita berbeda sehingga tidak bisa nyambung, om markos...
dari hasil praktek itulah makanya kami bisa berbicara, bukan hanya teks seperti yg anda selalu tekankan..... itu bukan eksperimen loh, tapi beneran praktek dalam hidup sehari2 karena sati sampajhana adalah sadar dan waspada setiap saat, bukan cuma waktu meditasi doang ^-^
Dalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53), Sang Buddha menjelaskan kepada Mahapajapati Gotami:
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: 'Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan' - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: 'Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.'â€
"Tetapi, Gotami, bila engkau mengetahui hal-hal secara pasti: 'Hal-hal ini menuju pada tanpa-nafsu, bukan pada nafsu; pada tanpa-kemelekatan, bukan pada kemelekatan; pada pelepasan, bukan pada pengumpulan; pada memiliki sedikit keinginan, bukan pada memiliki banyak keinginan; pada kepuasan, bukan pada ketidakpuasan; pada kesendirian, bukan pada berkumpul; pada kebangkitan semangat, bukan pada kelambanan; pada kesederhanaan, bukan pada kehidupan mewah' - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: "Ini adalah Dhamma; ini adalah Vinaya; ini adalah Ajaran Sang Guru.â€
SatthuSasana Sutta (Anguttara Nikaya VII. 80), Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A Upali :
"Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: 'Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana' -dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.'
"Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: 'Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana' -dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.'"
cuma mo bilang...
silakan lanjutkan lagi........
semakin dikorek, semakin banyak pembahasan..
jadi semakin banyak ilmu dan pendalaman yg aye dapet..... ;D
Itulah hasil MMD, mau diapain juga hasilnya seperti belut. Gajah dan semut didepan mata tetap dibilang tak terlihat. Kalau sudah begini mau diapakan... ^-^
ya ga mo diapa2in sih bro.... :D
cuma dulu pernah ada rekan yg bilang bhw krn kita tdk punya kemampuan batin khusus spt sammasambuddha yg bisa melihat kecocokan dari setiap orang, yg bisa kita lakukan hanyalah "menyebar ranjau dhamma".... berikan terus menerus, mengkondisikan semoga ada kondisi pas sehingga bisa cocok dengan org tersebut ;D
Kalau cerita Bhikkhu Nanda itu berbeda, karena tujuan Buddha pada saat itu bukan 4 KM, namun rasa "malu" yang menyebabkan Nanda meninggalkan nafsunya.QuoteContoh itu baru terpikir dan saya tulis beberapa menit lalu. Bro marcedes pernah baca di tempat lain?
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg191470.html#msg191470QuoteIni saya pernah bahas. Saya tidak setuju sama sekali, karena memang jadi tidak "nyambung".
Saya pernah berikan perumpamaan peta bagi yang mau pergi dari kota A ke kota B.
Buddha memberikan urutan peta dari pintu kota A, perjalanan, lalu akhirnya menuju pintu kota B.
Sementara Bhikkhu yang diyakini Anagami (bahkan sebagian lain meyakini sebagai Arahat) memberikan peta dimulai dari pintu masuk kota B, jalan mundur ke pintu A.
Seandainya anda dari perempatan Grogol mau ke Mega Mall Pluit buat KopDar, tapi anda tidak tahu jalan.
A memberikan petunjuk: Depan Mega Mall ada sungai, sebelum ke Mega Mall ada perempatan, sebelumnya lagi ada perempatan di mana sebelah kiri ada Pluit Junction dan jalan menuju Bandara Soekarno Hatta.
B memberikan petunjuk: di perempatan Grogol ada 4 jalan, ambil arah di mana sebelah kiri anda Mal Ciputra dan sebelah kanan anda, jauh di seberang ada Universitas Tarumanegara.
Saya tanya anda, yang mana yang lebih memudahkan anda sampai di tujuan?
terus saya jawab....
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg191485.html#msg191485Quotekalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...
pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^
salam metta.
dan sekarang anda membuat perumpamaan yang pas dengan apa yang sy pikirkan pada waktu itu.. ^^ :)
----------------------------
QuoteDi awal dikutip bahwa Pak Hudoyo mengatakan JMB 8 tidak relevan dalam vipassana. Lalu bro Upasaka mengatakan ucapan tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan, lalu memberikan statement tersebut. Saya tertarik untuk bertanya, seberapa jauh hubungan sila dan vipassana?
Mengapa Angulimala yang membunuh 999 orang bisa mencapai Arahatta sementara Anathapindika yang memiliki sila sangat-sangat baik, "hanya" mampu merealisasikan Sotapanna?
sebenarnya hubungan nya erat sekali..
disitu Angulimala setelah melaksanakan SILA,barulah diri nya mampu mencapai Arahat...
sedangkan Anathapindika tidak melaksanakan SILA secara penuh [ menjadi bikkhu ]
sayang ceritanya dimana Anathapindika tidak menjadi bikkhu, tetapi andai jadi bikkhu pasti Arahat juga. ^^
berbeda sekali loh..
kalau sudah menjadi Bikkhu dan masih perumah tangga...entah mengapa kalau sudah Bikkhu dibanding perumah tangga konsentrasi itu lebih cepat berkembang >>> ini pengakuan dari mantan bikkhu dan pengakuan dari bikkhu juga... jadi 2 orang.
menurut buddhism, seseorang itu mau membunuh mau apa...
asalkan tidak melakukan 5 Garuka-kamma, maka hanya sammasambuddha yang bisa mengetahui apakah orang ini bisa menembus Arahat.
kebetulan Angulimala tidak melakukan Garuka-kamma, dan setelah merealisasikan Arahat-phala, maka memutus Garuka-kamma, seperti yang dijelaskan bro Markos.
Quote from: Kainyn_KuthoSebetulnya saya bukan ingin membahas "pertobatan Angulimala", namun mengenai ini:QuoteVipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.
Di awal dikutip bahwa Pak Hudoyo mengatakan JMB 8 tidak relevan dalam vipassana. Lalu bro Upasaka mengatakan ucapan tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan, lalu memberikan statement tersebut. Saya tertarik untuk bertanya, seberapa jauh hubungan sila dan vipassana?
Mengapa Angulimala yang membunuh 999 orang bisa mencapai Arahatta sementara Anathapindika yang memiliki sila sangat-sangat baik, "hanya" mampu merealisasikan Sotapanna?
Salah satu aspek dalam JMB8 adalah samadhi, yang terdiri dari perhatian benar dan konsentrasi benar. Dalam metode penerapannya, vipassana merupakan aplikasi dari perhatian benar; dan samatha merupakan aplikasi dari konsentrasi benar. Namun bukan berarti dalam vipassana tidak ada yang namanya konsentrasi, atau dalam samatha tidak ada juga yang namanya perhatian. Samatha dan vipassana bisa saling menguatkan. Dan aspek samadhi ini menekankan poin penyadaran dengan objeknya yaitu pikiran.
Untuk orang yang membutuhkan “latihan panjang”, pengembangan sila dan panna sangat dibutuhkan selain mempraktikkan pengembangan samadhi. Setelah keluar dari aktivitas meditasi, orang itu seharusnya mengamalkan apa yang berhasil diselaminya dalam meditasi itu. Dalam meditasi, mungkin orang itu sedikit-banyak mengenali “ini anicca”, “ini dukkha”, “ini anatta”. Tapi ketika lepas dari meditasi, orang itu lupa diri. Gampang tersinggung, terbuai oleh kemashyuran, memandang pendapatnya paling benar, dsb. Ini dikarenakan orang itu hanya mengembangkan aspek samadhi. Makanya banyak orang yang ahli bermeditasi tapi tingkah-lakunya congkak. Biasanya orang seperti itu pun tidak akan mencapai buah yang optimal dari latihan meditasinya. Maka dibutuhkan pengembangan sila (moralitas) dan panna (kebijaksanaan / pola pikir) untuk mendukung keberhasilan praktik samadhi.
Kembali ke kasus Angulimala dan Anathapindika…
Talenta setiap orang tidaklah sama. Dalam hal ini, tidak mengherankan jika Angulimala bisa mengungguli pencapaian Anathapindika. Keberhasilan seseorang bergantung dari keterampilan orang tersebut untuk mengelola semua bekal yang ia miliki seefektif dan seefisien mungkin, guna meraih hal yang optimal.
Yang kita miliki adalah pikiran, ucapan dan perbuatan. Maka, bukan perihal siapa yang punya rekor moralitas lebih bagus selama 20 tahun belakangan ini (misalnya) yang bisa mencapai Arahat. Tapi, siapa yang bisa mengembangkan sila-samadhi-panna semaksimal mungkin di saat kini, sehingga kesinambungan ini bisa mengantarkan kita pada Pembebasan.
Quote from: Kainyn_Kutho:) Tidak juga. Bukankah banyak sutta yang menjelaskan Nibbana adalah kepadaman (extinction)?
Kembali lagi pada reply saya ke bro Markos, lain statement pada lain waktu tidak bisa dinilai segampang itu ke dalam enam kategori.
Betul, Nibbana sering dianalogikan oleh Sang Buddha dengan perumpamaan api lilin yang padam. Tapi dalam berbagai syair, untuk menggambarkan kemuliaan dari Nibbana, Sang Buddha sering menyatakan bahwa Nibbana adalah “kehidupan abadi” sehingga merupakan kebahagiaan tertinggi.
Quote from: Kainyn_KuthoDahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
Begini Bro…
Anda menjelaskan pada orang yang bersedih, bahwa kesedihan itu ada asal-mulanya, ada akhirnya, dan ada jalan untuk mengakhirinya; itu baik sekali. Anda juga menjelaskan pada orang yang berbahagia, bahwa kebahagiaan itu ada akhirnya, ada penyebabnya, dan ada jalan untuk mencegahnya terus berputar dalam siklus itu; itu juga baik sekali.
Tapi itu menunjukkan bahwa apa yang ingin Anda sampaikan adalah: “dunia ini ada penderitaan dan ada jalan untuk mengakhirinya, sehingga kita bisa berbahagia sepenuhnya.”
Itu amat sangat sungguh relevan sekali untuk Anda uraikan, sesuai dengan kondisinya. Apapun yang Anda lakukan, tidak saya nyatakan sebagai plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, ataupun menganggap bahagia = dukkha. Itu merupakan keterampilan Anda dalam mengajar. Seperti motto yang selama ini saya pegang: “kita harus tegas dalam berprinsip, namun harus fleksibel dalam bertindak”.
Tetapi untuk kasus “nihilisme” dan “tidak nihilisme” yang saya uraikan sebelumnya, hal ini tidak relevan. Seperti yang sudah saya jelaskan, suatu ajaran bisa disebut “nihilisme” atau bukan itu dari kriteria yang terdapat di dalamnya. Apa itu kriteria nihilisme? Secara komprehensif, pandangan nihilisme memegang konsep dari ada menjadi tiada; dan juga dari tiada menjadi tiada. Kriteria ini jelas. Tidak mengambang. Oleh karena itu, suatu model ajaran pun harus jelas; mengarah pada pandangan nihilisme, eternalisme, atau bukan keduanya.
Dan di sini, tentunya kita bisa melihat kekonsistenan dan kematangan Pak Hudoyo dalam memegang konsep pandangannya…
Dunia ini memang benar diliputi suka-duka. Tapi dunia ini tidak benar diliputi nihilis dan tidak nihilis. Karena itu, sekali lagi… Jika pada satu kesempatan seseorang menyatakan bahwa ajarannya adalah nihilisme, namun di kesempatan lain menyatakan bahwa ajarannya adalah tidak nihilisme, dan pada kesempatan berikutnya menyatakan bahwa ajarannya adalah nihilisme, hanya ada 6 kemungkinan, yaitu:
- orang itu plin-plan
- orang itu terus mengalami transformasi konsep pandangan
- orang itu berbicara asal
- orang itu mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan
- orang itu kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa
- orang itu menganggap nihilisme dan tidak nihilisme adalah sama
Memang ada.Quote from: Kainyn_KuthoKembali lagi, benar salah adalah relatif. Justru orang melihat argumentasinya benar, maka mati-matian membela. Biasanya seperti itu, walau pun kadang ada juga yang memang hanya mementingkan ego.
Ya, tapi tidak semua kasus begitu. Ada kok kasus di mana seseorang memang menyadari kesalahan argumentasinya, tapi ia tetap membela diri di depan umum. Karena selama ini, ia memegang pandangan bahwa mengakui kesalahan adalah kekalahan. :)
Quote from: Kainyn_KuthoSankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.
Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta
Sankhitta Sutta menyatakan 8 sifat Ajaran Sang Buddha. Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah panduan sistematis metode Sang Buddha guna mencapai Pembebasan / Kebahagiaan Tertinggi.
Sankhitta Sutta menerangkan sifat-sifat dari jalan yang diajarkan oleh Para Buddha. Jalan Mulia Berunsur Delapan menerangkan Jalan Tengah menuju kebahagiaan yang diajarkan oleh Para Buddha.
Singkatnya… Sankhitta Sutta mendeskripsikan sifat impact dari seseorang yang menjalankan JMB8 dengan baik.
[...]
Satu hal yg kembali harus saya angkat, isi Tipitaka TIDAK MUNGKIN saling bertentangan, simple kok ;D
Lakuntaka Bhadiya, Maha-Savaka dengan suara paling indah, memiliki postur tubuh yang sangat pendek (maka dipanggil lakuntaka=kerdil). Menurut Apadana dan Theragatha Atthakatha, hal itu disebabkan karena ia memutuskan membangun stupa dalam ukuran kecil untuk Buddha Kassapa. Menurut kelisila Jataka, postur demikian adalah buah perbuatan buruk masa lampau yang suka menertawakan orang lanjut usia.
Pertanyaan sederhana: mana yang benar?
Boleh tau apa yg bertentangan bro?
Yang saya tahu, Kamma itu sedemikian kompleksnya sehingga bisa saja untuk 1 kejadian, itu adalah hasil dari 2 perbuatan?
misal kejadian 1 di 1 kehidupan lampau, kejadian 2 di 1000 kehidupan lampau...... sewkt kondisi pas, keduanya berbuah bersamaan
Bahkan kalau saya lihat, sesungguhnya banyak sekali vipaka yg berbuah, misal kenapa Lakuntaka Bhadiya bisa mempunyai suara yg paling indah? itu jelas adalah kusala vipaka
kenapa Lakuntaka Bhadiya bisa jadi Arahat? tentunya berkat dari banyak tumpukan paraminya
kenapa Lakuntaka Bhadiya bisa bertemu sammasambuddha? berkat tumpukan paraminya juga
Dan berbagai kenapa lain yg sesungguhnya merupakan hasil dari berbagai keselarasan/niyama
demikianlah sesungguhnya bekerjanya Niyama (tidak hanya KAMMA saja), itulah kenapa Niyama disebut dengan hukum keselarasan
QuoteUpaghataka Kamma memotong Janaka Kamma supaya tidak menimbulkan hasil selamanyaSaya tidak menanyakan tentang tidak terjadinya tumimbal lahir di alam sengsara. Saya tanyakan mengapa setelah membunuh demikian banyak, tetap bisa mencapai Arahatta.
1. Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. YA Angulimala Thera sebelum menjadi anggota Sangha, dulu adalah penjahat yang banyak membunuh orang. Seharusnya YA Angulimala menerima akibatnya dengan tumimbal lahir di alam Neraka. Setelah beliau menjadi Arahat, dengan kekuatan Magga-Phala yang merupakan kusala upaghataka kamma, memotong akusala janaka kamma yang pernah dibuat YA Angulimala di kehidupan sekarang dan yg lampau agar tidak menghasilkan akibat lagi selamanya
tolong bro Kai ini baca judulnya dengan seksama yah.........
Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya
Itu baru dari Upaghataka, belum jika kita melihat dari Upathambaka, Upapilaka, dsbnya...... bahkan secara Janaka Kamma, sesungguhnya dia terlahir dengan Janaka Kamma yg baik loh..... karena sudah menjadi manusia dengan berbagai kelebihan dibanding org biasanya, yg sampai membuat murid lain iri
Demikian holistiknya kamma..... bukan berbuat 1, lalu PASTI berbuah 1Saat es perlahan-lahan mencair walau tidak terlihat namun secara fisika sesungguhnya terjadi perpindahan energi
hasilnya adalah pasti namun tetap dibutuhkan usaha karena itu sudah "nature"-nya sotapanna
demikianlah hasil dari parami yg dikumpulkan dalam berbagai kehidupan, yaitu trend batin sebagai nature-nya
Ketika seorang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, sudah "nature"-nya ia menggerakan tubuh yang memancing metabolisme dan pembentukan otot kaki. Apakah di situ ada "pikiran/usaha untuk latihan"? Apakah orang berjalan cocok disebut "sedang latihan"?
tergantung batin orang itu, bukan tindakannya........
Orang pun bisa saja duduk diam bersila tapi kalau pikiran lari kemana2, apakah itu meditasi?
Mari kita kembali ke isi di batinnya, bro.... jangan liat mereknya doang.....Mahluk hidup terdiri dari :
- NAma Khandha
- rupa khandha
- NAma Dhamma
- Rupa Dhamma
Nibbana adalah NAma Dhamma, batin secara hakekat yg sesungguhnya........ bukan keabadian, pun bukan pemusnahan karena sesungguhnya dari awal, yg ada hanyalah proses.....
Bagi orang sudah terbiasa dengan doktrin nama-rupa, memang mudah menerimanya. Bagaimana dengan penjelasan sehari-harinya?
Sekarang kita ada, berpikir, merasakan. Apakah setelah nibbana kita berhenti berpikir, merasakan, ataukah terus berpikir dan merasakan?
Apakah anda bisa merasakan kebahagiaan tanpa melekat? ;D
selama kita belum terbebas dari moha, kita tidak tahu bagaimana rasanya terbebas dari mohaQuoteback to topic, apa bro Kai bisa share kemungkinan lain selain 6 kemungkinan yg disebutkan diatas?
Dahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
Mungkin bro Kai sedikit berbeda dalam menangkap yah........ yg dimaksud diatas adalah untuk 1 hal yg sama, yg diucapkan itu berbeda
sedang yg bro Kai sebut diatas adl 2 hal yg berbeda krn tergantung dari mana yg perlu diangkat dari ajaran itu
contoh nyata adalah untuk JMB-8....... dulu dengan gamblang disebut "Tidak ada JMB-8", Tidak perlu JMB-8 untuk ke nibbana
sekarang direvisi menjadi "Dalam vipassana, tidak perlu JMB-8 (masih salah juga sih ;D tp lebih halus)
sedang untuk buddhism jelas bhw JMB-8 adalah jalan utk ke nibbana
Nah saya ga tau kalau bro Kai juga menyetujui bhw untuk ke nibbana, bisa melalui jalan lain ;)Cuma ingin bertanya Sankhitta sutta bertentangan dengan salah satu, beberapa atau banyak sutta dalam tipitaka?
mungkin bro kai bisa share karena saya belum tahu sutta ini
anumodana
Sankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.
Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta.
sori, mo perjelas aja bro.... apakah sankhitta sutta itu sama dengan yg ini :QuoteAN 8.63 PTS: A iv 299
Sankhitta Sutta: In Brief
(Good Will, Mindfulness, & Concentration)
soalnya isinya beda loh...... ga bilang ini ajaran Buddha melainkan bagaimana menguasai konsentrasi untuk jhana... seperti yg bisa diliat di note translatornya :QuoteTranslator's note: This discourse is important in that it explicitly refers to the practice of the four frames of reference (the four foundations of mindfulness) as a form of concentration practice, mastered in terms of the levels of jhana.
emang disebut certain monk minta diajar dhamma tapi in brief (secara singkat), bukan menyebut bagaimana sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru
berikut sutta lengkapnya :QuoteThen a certain monk went to the Blessed One and, on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One: "It would be good if the Blessed One would teach me the Dhamma in brief so that, having heard the Dhamma from the Blessed One, I might dwell alone in seclusion: heedful, ardent, & resolute."
"But it is in just this way that some worthless men make a request but then, having been told the Dhamma, think they should tag along right behind me."
"May the Blessed One teach me the Dhamma in brief! May the One Well-gone teach me the Dhamma in brief! It may well be that I will understand the Blessed One's words. It may well be that I will become an heir to the Blessed One's words."
"Then, monk, you should train yourself thus: 'My mind will be established inwardly, well-composed. No evil, unskillful qualities, once they have arisen, will remain consuming the mind.' That's how you should train yourself.
"Then you should train yourself thus: 'Good-will, as my awareness-release, will be developed, pursued, handed the reins and taken as a basis, given a grounding, steadied, consolidated, & well-undertaken.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should then train yourself thus: 'Compassion, as my awareness-release... Appreciation, as my awareness-release... Equanimity, as my awareness-release, will be developed, pursued, handed the reins and taken as a basis, given a grounding, steadied, consolidated, & well-undertaken.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should then train yourself thus: 'I will remain focused on the body in & of itself — ardent, alert, & mindful — putting aside greed & distress with reference to the world.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should train yourself: 'I will remain focused on feelings in & of themselves... the mind in & of itself... mental qualities in & of themselves — ardent, alert, & mindful — putting aside greed & distress with reference to the world.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, then wherever you go, you will go in comfort. Wherever you stand, you will stand in comfort. Wherever you sit, you will sit in comfort. Wherever you lie down, you will lie down in comfort."
Then that monk, having been admonished by an admonishment from the Blessed One, got up from his seat and bowed down to the Blessed One, circled around him, keeping the Blessed One to his right side, and left. Then, dwelling alone, secluded, heedful, ardent, & resolute, he in no long time reached & remained in the supreme goal of the holy life for which clansmen rightly go forth from home into homelessness, knowing & realizing it for himself in the here & now. He knew: "Birth is ended, the holy life fulfilled, the task done. There is nothing further for the sake of this world." And thus he became another one of the arahants.
Provenance: ©1997 Thanissaro Bhikkhu.Transcribed from a file provided by the translator.This Access to Insight edition is ©1997–2009 John T. Bullitt.
Terms of use: You may copy, reformat, reprint, republish, and redistribute this work in any medium whatsoever, provided that: (1) you only make such copies, etc. available free of charge; (2) you clearly indicate that any derivatives of this work (including translations) are derived from this source document; and (3) you include the full text of this license in any copies or derivatives of this work. Otherwise, all rights reserved. For additional information about this license, see the FAQ.
How to cite this document (one suggested style): "Sankhitta Sutta: In Brief" (AN 8.63), translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight, June 7, 2009, http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.063.than.html.
cmiiw
Liat2 lagi, kayanya yg dimaksud Kai itu adalah Gotami Sutta :QuoteDalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53), Sang Buddha menjelaskan kepada Mahapajapati Gotami:
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: 'Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan' - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: 'Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.'â€
"Tetapi, Gotami, bila engkau mengetahui hal-hal secara pasti: 'Hal-hal ini menuju pada tanpa-nafsu, bukan pada nafsu; pada tanpa-kemelekatan, bukan pada kemelekatan; pada pelepasan, bukan pada pengumpulan; pada memiliki sedikit keinginan, bukan pada memiliki banyak keinginan; pada kepuasan, bukan pada ketidakpuasan; pada kesendirian, bukan pada berkumpul; pada kebangkitan semangat, bukan pada kelambanan; pada kesederhanaan, bukan pada kehidupan mewah' - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: "Ini adalah Dhamma; ini adalah Vinaya; ini adalah Ajaran Sang Guru.â€
Hal sama juga ada di :
Lalu kenapa ga liat dari :QuoteSatthuSasana Sutta (Anguttara Nikaya VII. 80), Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A Upali :
"Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: 'Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana' -dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.'
"Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: 'Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana' -dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.'"
lumayan bisa dapat tambahan knowledge _/\_
Pun saya hanya menyebar ranjau dhamma, semoga ada yg bisa nyangkut di anda _/\_yg anda sebut "ranjau dhamma" itu sudah saya tinggalkan, bang...
[...]
Satu hal yg kembali harus saya angkat, isi Tipitaka TIDAK MUNGKIN saling bertentangan, simple kok ;D
Lakuntaka Bhadiya, Maha-Savaka dengan suara paling indah, memiliki postur tubuh yang sangat pendek (maka dipanggil lakuntaka=kerdil). Menurut Apadana dan Theragatha Atthakatha, hal itu disebabkan karena ia memutuskan membangun stupa dalam ukuran kecil untuk Buddha Kassapa. Menurut kelisila Jataka, postur demikian adalah buah perbuatan buruk masa lampau yang suka menertawakan orang lanjut usia.
Pertanyaan sederhana: mana yang benar?
Boleh tau apa yg bertentangan bro?
Yang saya tahu, Kamma itu sedemikian kompleksnya sehingga bisa saja untuk 1 kejadian, itu adalah hasil dari 2 perbuatan?
misal kejadian 1 di 1 kehidupan lampau, kejadian 2 di 1000 kehidupan lampau...... sewkt kondisi pas, keduanya berbuah bersamaan
Bahkan kalau saya lihat, sesungguhnya banyak sekali vipaka yg berbuah, misal kenapa Lakuntaka Bhadiya bisa mempunyai suara yg paling indah? itu jelas adalah kusala vipaka
kenapa Lakuntaka Bhadiya bisa jadi Arahat? tentunya berkat dari banyak tumpukan paraminya
kenapa Lakuntaka Bhadiya bisa bertemu sammasambuddha? berkat tumpukan paraminya juga
Dan berbagai kenapa lain yg sesungguhnya merupakan hasil dari berbagai keselarasan/niyama
demikianlah sesungguhnya bekerjanya Niyama (tidak hanya KAMMA saja), itulah kenapa Niyama disebut dengan hukum keselarasan
Saya percaya kalau memang demikian, Buddha akan menjelaskan bahwa itu adalah hasil dari 2 kamma dalam sutta yang sama, bukan beda sutta beda penjelasan.
QuoteQuoteUpaghataka Kamma memotong Janaka Kamma supaya tidak menimbulkan hasil selamanyaSaya tidak menanyakan tentang tidak terjadinya tumimbal lahir di alam sengsara. Saya tanyakan mengapa setelah membunuh demikian banyak, tetap bisa mencapai Arahatta.
1. Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. YA Angulimala Thera sebelum menjadi anggota Sangha, dulu adalah penjahat yang banyak membunuh orang. Seharusnya YA Angulimala menerima akibatnya dengan tumimbal lahir di alam Neraka. Setelah beliau menjadi Arahat, dengan kekuatan Magga-Phala yang merupakan kusala upaghataka kamma, memotong akusala janaka kamma yang pernah dibuat YA Angulimala di kehidupan sekarang dan yg lampau agar tidak menghasilkan akibat lagi selamanya
tolong bro Kai ini baca judulnya dengan seksama yah.........
Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya
Itu baru dari Upaghataka, belum jika kita melihat dari Upathambaka, Upapilaka, dsbnya...... bahkan secara Janaka Kamma, sesungguhnya dia terlahir dengan Janaka Kamma yg baik loh..... karena sudah menjadi manusia dengan berbagai kelebihan dibanding org biasanya, yg sampai membuat murid lain iri
Demikian holistiknya kamma..... bukan berbuat 1, lalu PASTI berbuah 1Saat es perlahan-lahan mencair walau tidak terlihat namun secara fisika sesungguhnya terjadi perpindahan energi
hasilnya adalah pasti namun tetap dibutuhkan usaha karena itu sudah "nature"-nya sotapanna
demikianlah hasil dari parami yg dikumpulkan dalam berbagai kehidupan, yaitu trend batin sebagai nature-nya
Ketika seorang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, sudah "nature"-nya ia menggerakan tubuh yang memancing metabolisme dan pembentukan otot kaki. Apakah di situ ada "pikiran/usaha untuk latihan"? Apakah orang berjalan cocok disebut "sedang latihan"?
tergantung batin orang itu, bukan tindakannya........
Orang pun bisa saja duduk diam bersila tapi kalau pikiran lari kemana2, apakah itu meditasi?
Mari kita kembali ke isi di batinnya, bro.... jangan liat mereknya doang.....Mahluk hidup terdiri dari :
- NAma Khandha
- rupa khandha
- NAma Dhamma
- Rupa Dhamma
Nibbana adalah NAma Dhamma, batin secara hakekat yg sesungguhnya........ bukan keabadian, pun bukan pemusnahan karena sesungguhnya dari awal, yg ada hanyalah proses.....
Bagi orang sudah terbiasa dengan doktrin nama-rupa, memang mudah menerimanya. Bagaimana dengan penjelasan sehari-harinya?
Sekarang kita ada, berpikir, merasakan. Apakah setelah nibbana kita berhenti berpikir, merasakan, ataukah terus berpikir dan merasakan?
Apakah anda bisa merasakan kebahagiaan tanpa melekat? ;D
selama kita belum terbebas dari moha, kita tidak tahu bagaimana rasanya terbebas dari mohaQuoteback to topic, apa bro Kai bisa share kemungkinan lain selain 6 kemungkinan yg disebutkan diatas?
Dahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.
Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
Mungkin bro Kai sedikit berbeda dalam menangkap yah........ yg dimaksud diatas adalah untuk 1 hal yg sama, yg diucapkan itu berbeda
sedang yg bro Kai sebut diatas adl 2 hal yg berbeda krn tergantung dari mana yg perlu diangkat dari ajaran itu
contoh nyata adalah untuk JMB-8....... dulu dengan gamblang disebut "Tidak ada JMB-8", Tidak perlu JMB-8 untuk ke nibbana
sekarang direvisi menjadi "Dalam vipassana, tidak perlu JMB-8 (masih salah juga sih ;D tp lebih halus)
sedang untuk buddhism jelas bhw JMB-8 adalah jalan utk ke nibbana
Nah saya ga tau kalau bro Kai juga menyetujui bhw untuk ke nibbana, bisa melalui jalan lain ;)Cuma ingin bertanya Sankhitta sutta bertentangan dengan salah satu, beberapa atau banyak sutta dalam tipitaka?
mungkin bro kai bisa share karena saya belum tahu sutta ini
anumodana
Sankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.
Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta.
sori, mo perjelas aja bro.... apakah sankhitta sutta itu sama dengan yg ini :QuoteAN 8.63 PTS: A iv 299
Sankhitta Sutta: In Brief
(Good Will, Mindfulness, & Concentration)
soalnya isinya beda loh...... ga bilang ini ajaran Buddha melainkan bagaimana menguasai konsentrasi untuk jhana... seperti yg bisa diliat di note translatornya :QuoteTranslator's note: This discourse is important in that it explicitly refers to the practice of the four frames of reference (the four foundations of mindfulness) as a form of concentration practice, mastered in terms of the levels of jhana.
emang disebut certain monk minta diajar dhamma tapi in brief (secara singkat), bukan menyebut bagaimana sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru
berikut sutta lengkapnya :QuoteThen a certain monk went to the Blessed One and, on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One: "It would be good if the Blessed One would teach me the Dhamma in brief so that, having heard the Dhamma from the Blessed One, I might dwell alone in seclusion: heedful, ardent, & resolute."
"But it is in just this way that some worthless men make a request but then, having been told the Dhamma, think they should tag along right behind me."
"May the Blessed One teach me the Dhamma in brief! May the One Well-gone teach me the Dhamma in brief! It may well be that I will understand the Blessed One's words. It may well be that I will become an heir to the Blessed One's words."
"Then, monk, you should train yourself thus: 'My mind will be established inwardly, well-composed. No evil, unskillful qualities, once they have arisen, will remain consuming the mind.' That's how you should train yourself.
"Then you should train yourself thus: 'Good-will, as my awareness-release, will be developed, pursued, handed the reins and taken as a basis, given a grounding, steadied, consolidated, & well-undertaken.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should then train yourself thus: 'Compassion, as my awareness-release... Appreciation, as my awareness-release... Equanimity, as my awareness-release, will be developed, pursued, handed the reins and taken as a basis, given a grounding, steadied, consolidated, & well-undertaken.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should then train yourself thus: 'I will remain focused on the body in & of itself — ardent, alert, & mindful — putting aside greed & distress with reference to the world.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, you should train yourself: 'I will remain focused on feelings in & of themselves... the mind in & of itself... mental qualities in & of themselves — ardent, alert, & mindful — putting aside greed & distress with reference to the world.' That's how you should train yourself. When you have developed this concentration in this way, you should develop this concentration with directed thought & evaluation, you should develop it with no directed thought & a modicum of evaluation, you should develop it with no directed thought & no evaluation, you should develop it accompanied by rapture... not accompanied by rapture... endowed with a sense of enjoyment; you should develop it endowed with equanimity.
"When this concentration is thus developed, thus well-developed by you, then wherever you go, you will go in comfort. Wherever you stand, you will stand in comfort. Wherever you sit, you will sit in comfort. Wherever you lie down, you will lie down in comfort."
Then that monk, having been admonished by an admonishment from the Blessed One, got up from his seat and bowed down to the Blessed One, circled around him, keeping the Blessed One to his right side, and left. Then, dwelling alone, secluded, heedful, ardent, & resolute, he in no long time reached & remained in the supreme goal of the holy life for which clansmen rightly go forth from home into homelessness, knowing & realizing it for himself in the here & now. He knew: "Birth is ended, the holy life fulfilled, the task done. There is nothing further for the sake of this world." And thus he became another one of the arahants.
Provenance: ©1997 Thanissaro Bhikkhu.Transcribed from a file provided by the translator.This Access to Insight edition is ©1997–2009 John T. Bullitt.
Terms of use: You may copy, reformat, reprint, republish, and redistribute this work in any medium whatsoever, provided that: (1) you only make such copies, etc. available free of charge; (2) you clearly indicate that any derivatives of this work (including translations) are derived from this source document; and (3) you include the full text of this license in any copies or derivatives of this work. Otherwise, all rights reserved. For additional information about this license, see the FAQ.
How to cite this document (one suggested style): "Sankhitta Sutta: In Brief" (AN 8.63), translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight, June 7, 2009, http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.063.than.html.
cmiiw
Tetap tidak menjawab pertanyaan saya. OK deh, terima kasih jawabannya.
_/\_
Pun saya hanya menyebar ranjau dhamma, semoga ada yg bisa nyangkut di anda _/\_yg anda sebut "ranjau dhamma" itu sudah saya tinggalkan, bang...
anda menyebut2 mengalami sendiri realitanya di atas. biar jelas, bisa diceritakan apa yg anda alami?
Jadi yang relevan dalam vipassana di sini, talenta atau sila?
Maka dari itu saya katakan tidak ada satu perumpamaan, satu penjelasan Nibbana yang cocok bagi semua orang. Nibbana ajaran Buddha yang tidak termasuk dalam 62 pandangan salah sulit sekali dijelaskan, terutama bagi orang yang sangat melekat pada "atta". Saya setuju penggunaan keabadian dan kepadaman, namun kembali lagi tergantung konteksnya.
Kalau gitu, terserah opini anda saja terhadap 6 opsi tersebut. Saya punya pandangan berbeda tentang ini.
Sankhitta Sutta yang universal akan memuat JMB 8; namun JMB 8 yang masih cenderung terbatas, ada kalanya tidak bisa memuat Sankhitta Sutta.
Liat2 lagi, kayanya yg dimaksud Kai itu adalah Gotami Sutta :QuoteDalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53), Sang Buddha menjelaskan kepada Mahapajapati Gotami:
"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: 'Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan' - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: 'Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.'â€
"Tetapi, Gotami, bila engkau mengetahui hal-hal secara pasti: 'Hal-hal ini menuju pada tanpa-nafsu, bukan pada nafsu; pada tanpa-kemelekatan, bukan pada kemelekatan; pada pelepasan, bukan pada pengumpulan; pada memiliki sedikit keinginan, bukan pada memiliki banyak keinginan; pada kepuasan, bukan pada ketidakpuasan; pada kesendirian, bukan pada berkumpul; pada kebangkitan semangat, bukan pada kelambanan; pada kesederhanaan, bukan pada kehidupan mewah' - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: "Ini adalah Dhamma; ini adalah Vinaya; ini adalah Ajaran Sang Guru.â€
Hal sama juga ada di :
Lalu kenapa ga liat dari :QuoteSatthuSasana Sutta (Anguttara Nikaya VII. 80), Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A Upali :
"Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: 'Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana' -dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.'
"Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: 'Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana' -dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.'"
lumayan bisa dapat tambahan knowledge _/\_
Ya, betul. Sankhitta Sutta termasuk dalam Gotami Vagga.
Udah anda tinggalkan, tapi anda melekati MMD? ;Dmungkin ini yg anda sebut "diskusi" kemaren?
Baru dapet instruksi bro? ^-^ saya biasa ngobrol ama bapak HH, yah kondisinya mirip..... sama juga kaya wkt dia instruksiin nick lain utk tanya 17 proses citta vitthiprasangka lagi... dan ternyata gak bener...
Biasanya minta pembuktian, tapi kalo abis dikasih pembuktian kaya wkt mengkritisi Pa Auk Sayadaw, waktu permasalahan asava.... malahan ngelit sana sini ;D
gini aja, mari kita sama2 ikut kelasnya Sayalay Dipankara aja, gimana?yg anda sebut mengalami itu ternyata belajar teori di kelas?
biar bisa sama2 tahu bagaimana realitasnya... yah moga2 bisa mengalami sendiri proses timbul tenggelamnya nama rupa, yg menjadi nana pertama dari vipassana (yg beneran loh) ;)
Udah anda tinggalkan, tapi anda melekati MMD? ;Dmungkin ini yg anda sebut "diskusi" kemaren?
Baru dapet instruksi bro? ^-^ saya biasa ngobrol ama bapak HH, yah kondisinya mirip..... sama juga kaya wkt dia instruksiin nick lain utk tanya 17 proses citta vitthiprasangka lagi... dan ternyata gak bener...
Biasanya minta pembuktian, tapi kalo abis dikasih pembuktian kaya wkt mengkritisi Pa Auk Sayadaw, waktu permasalahan asava.... malahan ngelit sana sini ;D
saat menulis ini anda lagi "berpraktek"?
gini aja, mari kita sama2 ikut kelasnya Sayalay Dipankara aja, gimana?yg anda sebut mengalami itu ternyata belajar teori di kelas?
biar bisa sama2 tahu bagaimana realitasnya... yah moga2 bisa mengalami sendiri proses timbul tenggelamnya nama rupa, yg menjadi nana pertama dari vipassana (yg beneran loh) ;)
saya gak tertarik, bang.
kalo emang gak mau menjabarkan pengalaman anda, ya gapapa...
saat menulis posting lalu saya pikir anda memang punya pengalaman spiritual sendiri belajar dhamma. mungkin saya salah...
moga2 bisa mengalami sendiri proses timbul tenggelamnya nama rupa
Jika kita semua setuju bahwa cara2 yg sy tulis diatas kita lakukan pada diri kita masing2... maka kita harus jujur juga mengakui bahwa cara untuk mereasisasi akhir dukkha, tidak bisa hanya dengan sadari saja. Kita2 masih butuh usaha2, latihan2, disiplin2, pengekangan2, pembelajaran2... Kita masih butuh langkah2 tsb -yg ternyata- persis seperti yg telah diajarakan oleh Sang Buddha....mari kita baca posting di atas:
Untuk Bro Morph, pengalaman ini lah yg telah sy alami... 'SADARI SAJA' -seperti yg Pak Hud ajarkan- tidak mempan buat saya... dan sampai saat ini, saya belum berjumpa satu orang pun yg berhasil memperbaiki dirinya hanya dengan SADARI SAJA.
Maka dari itu saya menganggap anjuran Pak Hud itu sebagai Konsep Manis semata...
saya sih dar kemarin2 selalu anggap diskusi kok..... anda loh yg selalu mengganggap sebagai "debat", bukan sayabang markos, anda lebih tertarik mempermasalahkan hal2 sepele seperti penggunaan kata2.
oh sori, saya sih cuma ikutin pola ajaran bapak HH, bro......bang markos, anda menuduh saya mendapatkan instruksi, ternyata tidak benar, kemudian anda bilang mengikuti pola pak hudoyo.
ternyata beda yah?
itu kelas meditasi, bang...... sayalay dipankara ga ngajarin kelas teori tapi praktek meditasi, juga counselingsaya udah pernah coba yg namanya meditasi sesuai mahasatipatthana.
...
nah apakah anda mo coba meditasi sesuai mahasatipatthana sutta?
Jika kita semua setuju bahwa cara2 yg sy tulis diatas kita lakukan pada diri kita masing2... maka kita harus jujur juga mengakui bahwa cara untuk mereasisasi akhir dukkha, tidak bisa hanya dengan sadari saja. Kita2 masih butuh usaha2, latihan2, disiplin2, pengekangan2, pembelajaran2... Kita masih butuh langkah2 tsb -yg ternyata- persis seperti yg telah diajarakan oleh Sang Buddha....mari kita baca posting di atas:
Untuk Bro Morph, pengalaman ini lah yg telah sy alami... 'SADARI SAJA' -seperti yg Pak Hud ajarkan- tidak mempan buat saya... dan sampai saat ini, saya belum berjumpa satu orang pun yg berhasil memperbaiki dirinya hanya dengan SADARI SAJA.
Maka dari itu saya menganggap anjuran Pak Hud itu sebagai Konsep Manis semata...
* bang willi menyebut2 kata "usaha". tersirat bahwa bang willi masih saja ngotot dan salah paham bahwa "tanpa usaha" yg udah diterangkan dan diluruskan entah berapa kali itu adalah dalam konteks meditasi. tampaknya bang willi tidak tertarik untuk membaca koreksinya (atau lupa untuk kesekian kalinya). apakah bang willi mengerti maksudnya? saya gak keberatan mengulanginya lagi.
* bang willi, anda mengatakan "sadari saja" itu tidak mempan buat anda. apakah karena alasan "tidak mempan" buat anda, lalu semua harus digeneralisir dan prakteknya dikafirkan?
dari kehidupan sehari2, saya justru melihat gak ada orang yg jadi baik dengan belajar yg mereka sebut "dhamma" itu, tapi saya banyak melihat orang jadi baik dengan bermeditasi tanpa memperdulikan yg namanya "dhamma". serius bang...
saya sih dar kemarin2 selalu anggap diskusi kok..... anda loh yg selalu mengganggap sebagai "debat", bukan sayabang markos, anda lebih tertarik mempermasalahkan hal2 sepele seperti penggunaan kata2.
terbukti, akhirnya percakapan ini berujung kepada debat kusir, ad hominem, prasangka pribadi...
gak salah kan kalo gak saya layani?
oh sori, saya sih cuma ikutin pola ajaran bapak HH, bro......bang markos, anda menuduh saya mendapatkan instruksi, ternyata tidak benar, kemudian anda bilang mengikuti pola pak hudoyo.
ternyata beda yah?
gak usah ngomong "dhamma", etika dan kedewasaan berdiskusi intelektual aja gak terlihat pada serangkaian tulisan anda di atas.
itu kelas meditasi, bang...... sayalay dipankara ga ngajarin kelas teori tapi praktek meditasi, juga counselingsaya udah pernah coba yg namanya meditasi sesuai mahasatipatthana.
...
nah apakah anda mo coba meditasi sesuai mahasatipatthana sutta?
justru sekarang saya nanya pengalaman anda dengan kata2 anda sendiri, tapi anda gak mau cerita.
saya udah berbagi begitu banyak pada tulisan2 yg lalu, namun anda gak pernah membagi pengalaman.
saya menyarankan agar kita merenungkan tulisan dari a still forest pool berikut:QuoteQuote
In my own practice, I did not know or study much. I took the straightforward teachings the Buddha gave and simply began to study my own mind according to nature. When you practice, observe yourself. Then gradually knowledge and vision (ini yg saya maksud pengetahuan tanpa tanda kutip ) will arise of themselves. If you sit in meditation and want it to be this way or that, you had better stop right there. Do not bring ideals or expectations to your practice. Take your studies, your opinions, and store them away.
You must go beyond all words, all symbols, all plans for your practice. Then you can see for yourself the truth, arising right here. If you do not turn inward, you will never know reality. I took the first few years of formal Dharma text study, and when I had the opportunity, I went to hear various scholars and masters teach, until such study became more of a hindrance than a help. I did not know how, to listen to their sermons because I had not looked within.
The great meditation masters spoke about the truth within oneself. Practicing, I began to realize that it existed in my own mind as well. After a long time, I realized that these teachers have really seen the truth and that if we follow their path, we will encounter everything they have spoken about. Then we will be able to say, ''Yes, they were right. What else could there be? Just this." When I practiced diligently, realization unfolded like that.
If you are interested in Dharma, just give up, just let go. Merely thinking about practice is like pouncing on the shadow and missing the substance. You need not study much. If you follow the basics and practice accordingly, you will see the Dharma for yourself. There must be more than merely hearing the words. Speak just with yourself, observe your own mind. If you cut off this verbal, thinking mind, you will have a true standard for judging. Otherwise, your understanding will not penetrate deeply. Practice in this way and the rest will follow.
Dalam praktek pribadi, saya tidak banyak tahu atau belajar. Saya langsung mengambil ajaran Buddha dan mulai mempelajari pikiran saya secara alami. Jika anda praktek, selidiki diri anda sendiri. Lalu secara bertahap pengetahuan dan pandangan akan muncul dengan sendirinya. Jika anda duduk bermeditasi dan ingin agar sesuai dengan cara ini dan itu, anda sebaiknya berhenti disana. Jangan membawa harapan dalam praktek anda. Bawa teori anda, opini anda dan simpan jauh-jauh
Anda harus mencapai kondisi diatas semua huruf, simbol dan rencana dari praktek anda. Lalu anda akan bisa melihat kebenaran yg muncul. Jika anda tidak melihat kedalam, anda tidak akan pernah tahu realita. Saya pernah menghabiskan beberapa tahun di sekolah formal Dhamma dan jika saya ada kesempatan, saya pergi mendengar berbagai guru mengajar sampai studi seperti ini menjadi lebih menghalangi ketimbang membantu. Saya tidak tahu bagaimana, mendengar berbagai ceramah karena saya tidak melihat ke dalam
Guru besar mditasi berbicara mengenai kebenaran yg ada dalam diri sendiri. Dengan praktek, saya mulai menyadari bhw itu ada dalam pikiran saya sendiri juga. Setelah waktu yg lama, saya mengadari bahwa para guru itu sudah menyadari kebenaran dan jika kita mengikuti jalan mereka, kita akan menjumpai semua hal sesuai yg sudah mereka katakan. Lalu kita akan bisa berkata ”Ya, mereka benar. Apalagi yang dapat dijumpai? Hanya ini” Sewaktu saya berpraktek dengan rajin, kesadaran terbuka seperti itu
Jika anda tertarik dengan Dhamma, lepaskanlah. Berpikir tentang praktek, seperti memukul bayangan dan kehilangan substansinya. Anda tidak perlu belajar banyak. Jika anda mengikuti bagian dasar dan melakukan prakteknya, anda akan melihat Dhamma dengan sendirinya. Anda akan mendapat lebih banyak ketimbang mendengar kata2. Bicaralah hanya dengan diri anda sendiri, selidiki pikiran anda. Jika anda dapat memutuskan kata2 ini, pikiran yg berpikir, anda akan mendapat standar yg benar untuk menilai. Jika tidak, pengertian anda tidak akan dapat masuk cukup dalam. Latihlah dengan cara ini dan sisanya akan mengikuti.
Kalau saya lihat diatas, poin penting yg didapat adalah yaitu Jangan terlalu banyak berteori.
Lebih baik jika tahu sedikit hal2 yang mendasar dan kemudian mempraktekkannya
Ini selaras dengan apa yg disebut dalam Dhammapada yaitu Ketimbang orang hidup 100 tahun tapi tidak hidup sesuai Dhamma, lebih baik orang hidup 1 hari tapi mempraktekkan dhamma
Tapi bukan berarti harus melepas SEMUA teori loh....... silahkan dilihat lagi artikel itu secara menyeluruh, bukan hanya give up, let go semata
loh coba liat lagi di awal, anda kasih rujukan sutta2 dan berasumsi saya hanya berdasar abhidhamma sajaanda bolak-balik di sini2 aja bang markos.
tapi diskusi itu anda tanggapi sebagai debat, melihat kata per kata, hal2 sepele, dsbnyasaat indikasi mengarah ke debat, ngotot menafsirkan kata demi kata, saya gak melayani.
kalau saya salah prasangka, tentunya saya minta maaf bro.... dan itu sudah saya lakukanhehehe... bang markos, minta maaf trus anda menuntut balik?
nah apakah anda juga mempunyai etika seperti itu sewaktu menuduh saya hanya berdasar abhidhamma?
tentunya diskusi yg baik, adalah mengeluarkan pendapat masing2 dan bersikap gentleman kalau memang salah
bukan justru mengeluarkan statement ad hominem seperti yg biasa dilakukan oleh HH dan salah satu pendamping setianya ;D
Gini loh bro, bukan tidak mau berbagi pengalaman, tapi kembali ke paradigma "melepas" anda, maukah anda melepas paradigma itu sendiri? karena walau saya udah jelaskan berkali2, anda tetap berasumsi "penggunaan kata", dsbnyaini yg saya sebut permainan kata2. saya menganalisa ada dua paradigma, trus alih2 mengupas, membicarakan atau membantah isinya, anda mengajak saya melepas paradigma. lucu pan?
Nah anda menyebut sudah pernah meditasi sesuai satipatthana, sori nih yah, tapi boleh tahu meditasi apa itu, dan siapa pembimbingnya?bang markos, kenapa ya arah pembicaraan anda selalu ke pribadi saya. bisakah kita fokus ke topiknya aja?
pun apakah anda sudah mengetahui isi dari mahasatipatthana itu sendiri?
Kalau saya lihat diatas, poin penting yg didapat adalah yaitu Jangan terlalu banyak berteori.apa perlu diulangi lagi? saya akan menulis persis seperti yg sudah2.
Lebih baik jika tahu sedikit hal2 yang mendasar dan kemudian mempraktekkannya
Ini selaras dengan apa yg disebut dalam Dhammapada yaitu Ketimbang orang hidup 100 tahun tapi tidak hidup sesuai Dhamma, lebih baik orang hidup 1 hari tapi mempraktekkan dhamma
Tapi bukan berarti harus melepas SEMUA teori loh....... silahkan dilihat lagi artikel itu secara menyeluruh, bukan hanya give up, let go semata
dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literaturbisakah anda melihat kekontrasan tulisan anda dengan ajahn chah?
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan
namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna
Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya
Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
Kalau saya lihat diatas, poin penting yg didapat adalah yaitu Jangan terlalu banyak berteori.apa perlu diulangi lagi? saya akan menulis persis seperti yg sudah2.
Lebih baik jika tahu sedikit hal2 yang mendasar dan kemudian mempraktekkannya
Ini selaras dengan apa yg disebut dalam Dhammapada yaitu Ketimbang orang hidup 100 tahun tapi tidak hidup sesuai Dhamma, lebih baik orang hidup 1 hari tapi mempraktekkan dhamma
Tapi bukan berarti harus melepas SEMUA teori loh....... silahkan dilihat lagi artikel itu secara menyeluruh, bukan hanya give up, let go semata
saya bilang artikel ajahn chah di atas benar2 senada dengan apa yg saya tulis sebelumnya.
gimana kalo anda quote posting saya yg menurut anda tidak sesuai, lalu kita diskusikan?
jangan2 semuanya hanya dipikiran anda sendiri...
yg terlihat justru kontrasnya artikel di atas dengan kata2 anda seperti: "kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku", etc, seperti saya kutipkan dibawah:dalam salah satu jenis panna, ada yg disebut Suttamaya Panna yaitu Kebijaksanaan yang didapat dari membaca buku, literaturbisakah anda melihat kekontrasan tulisan anda dengan ajahn chah?
jelas bhw org bisa bertambah panna, dengan membaca buku, literatur, rujukan
namun selanjutnya, jangan dilupakan 2 jenis panna lainnya yaitu Cintamaya Panna dan Bhavanamaya Panna
Hal ini yg sering saya ungkapkan di depan kelas bhw ketiga jenis panna ini akan saling mendukung, saling menguatkan satu dengan yg lainnya
Dengan membaca buku, panna kita bisa bertambah
hal ini akan lebih dikuatkan dengan praktek, perenungan, dsbnya
Karena sudah membuktikan, akan mendorong utk semakin banyak membaca buku, literatur yang lebih "dalam"
Kalau saya lihat diatas, poin penting yg didapat adalah yaitu Jangan terlalu banyak berteori.
Lebih baik jika tahu sedikit hal2 yang mendasar dan kemudian mempraktekkannya
Ini selaras dengan apa yg disebut dalam Dhammapada yaitu Ketimbang orang hidup 100 tahun tapi tidak hidup sesuai Dhamma, lebih baik orang hidup 1 hari tapi mempraktekkan dhamma
Tapi bukan berarti harus melepas SEMUA teori loh
Anda harus mencapai kondisi diatas semua huruf, simbol dan rencana dari praktek anda. Lalu anda akan bisa melihat kebenaran yg muncul. Jika anda tidak melihat kedalam, anda tidak akan pernah tahu realita. Saya pernah menghabiskan beberapa tahun di sekolah formal Dhamma dan jika saya ada kesempatan, saya pergi mendengar berbagai guru mengajar sampai studi seperti ini menjadi lebih menghalangi ketimbang membantu. Saya tidak tahu bagaimana, mendengar berbagai ceramah karena saya tidak melihat ke dalam
Guru besar mditasi berbicara mengenai kebenaran yg ada dalam diri sendiri. Dengan praktek, saya mulai menyadari bhw itu ada dalam pikiran saya sendiri juga. Setelah waktu yg lama, saya mengadari bahwa para guru itu sudah menyadari kebenaran dan jika kita mengikuti jalan mereka, kita akan menjumpai semua hal sesuai yg sudah mereka katakan. Lalu kita akan bisa berkata ”Ya, mereka benar. Apalagi yang dapat dijumpai? Hanya ini” Sewaktu saya berpraktek dengan rajin, kesadaran terbuka seperti itu
loh coba liat lagi di awal, anda kasih rujukan sutta2 dan berasumsi saya hanya berdasar abhidhamma sajaanda bolak-balik di sini2 aja bang markos.
kan saya bilang, saya mo menggarisbawahi terminologi pak hudoyo itu udah lazim dipake di dunia buddhism, oleh praktisi lain dan anda gak bisa memaksakan terminologi anda melulu. entah kali ini bisa dimengerti atau gak. kalo anda balik ke sini lagi, bohwat deh saya.tapi diskusi itu anda tanggapi sebagai debat, melihat kata per kata, hal2 sepele, dsbnyasaat indikasi mengarah ke debat, ngotot menafsirkan kata demi kata, saya gak melayani.
hasilnya nol besar, bagi anda, bagi saya dan bagi pembaca.kalau saya salah prasangka, tentunya saya minta maaf bro.... dan itu sudah saya lakukanhehehe... bang markos, minta maaf trus anda menuntut balik?
nah apakah anda juga mempunyai etika seperti itu sewaktu menuduh saya hanya berdasar abhidhamma?
tentunya diskusi yg baik, adalah mengeluarkan pendapat masing2 dan bersikap gentleman kalau memang salah
bukan justru mengeluarkan statement ad hominem seperti yg biasa dilakukan oleh HH dan salah satu pendamping setianya ;D
tuduhan saya mendapat instruksi itu mirip seperti fitnah, sedangkan saya menyebut pola pikir anda yg berusaha mencapai sesuatu tingkat demi tingkat dan membuang kilesa itu sebagai paradigma mengakumulasi masih dalam koridor diskusi kan? itupun saya masih meminta anda menceritakan sesuatu menurut pengalaman anda, mungkin saja saya salah, mungkin anda memang ahli teori dan praktik namun anda malah menjawab dengan mengajak saya pegi ke kelas. apa lagi yg bisa dilanjutkan dari sini?Gini loh bro, bukan tidak mau berbagi pengalaman, tapi kembali ke paradigma "melepas" anda, maukah anda melepas paradigma itu sendiri? karena walau saya udah jelaskan berkali2, anda tetap berasumsi "penggunaan kata", dsbnyaini yg saya sebut permainan kata2. saya menganalisa ada dua paradigma, trus alih2 mengupas, membicarakan atau membantah isinya, anda mengajak saya melepas paradigma. lucu pan?Nah anda menyebut sudah pernah meditasi sesuai satipatthana, sori nih yah, tapi boleh tahu meditasi apa itu, dan siapa pembimbingnya?bang markos, kenapa ya arah pembicaraan anda selalu ke pribadi saya. bisakah kita fokus ke topiknya aja?
pun apakah anda sudah mengetahui isi dari mahasatipatthana itu sendiri?
btw, topiknya sendiri udah ke sana kemari...
om ryu, itu yg saya liat dari kehidupan sehari2... entah yg anda liat...Definisi Baik menurut om seperti apa?
Pertanyaan terakhir: apakah dalam vipassana, seseorang perlu mengetahui "ini sila, ini bukan", "ini dhamma, ini bukan", ataukah perlu menyadari bahwa "sila, dhamma, agama adalah bentukan pikiran"?Quote from: Kainyn_KuthoJadi yang relevan dalam vipassana di sini, talenta atau sila?
Keterampilan untuk mengembangkan sila-samadhi-panna.
Betul. Tapi bukan kemusnahan.Hanya bahasa saja. Seperti saya katakan, dalam terjemahan Bahasa Inggris, sering digunakan Extinction (kemusnahan). Dalam beberapa terjemahan Bahasa Indonesia juga saya pernah menemukan nibbana dijelaskan sebagai "musnah sepenuhnya". Sebetulnya tidak ada satu bahasa pun yang tepat menggambarkannya.
Quote from: Kainyn_KuthoKalau gitu, terserah opini anda saja terhadap 6 opsi tersebut. Saya punya pandangan berbeda tentang ini.Apakah pandangan Anda memang diiyakan oleh Pak Hudoyo?
Akan lebih objektif kalau Pak Hudoyo sendiri yang menjelaskan kepada khalayak ramai, kenapa dia terkadang menyatakan bahwa MMD = Ajaran Sang Buddha = ajaran J. Khrisnamurti adalah nihilisme; dan kadang kala dia menyatakan bahwa MMD = Ajaran Sang Buddha = ajaran J. Khrisnamurti adalah tidak nihilisme.Kesamaan ajaran J.Khrisnamurti dan Buddhisme rasanya sudah sering dibicarakan Pak Hudoyo di board MMD atau J KhrisnaMurti.
Tapi setahu saya Pak Hudoyo tidak pernah menjelaskan alasannya. Ataukah ada rekan-rekan yang tahu kalau Pak Hudoyo sudah memberikan penjelasan akan hal ini?
Quote from: Kainyn_KuthoSankhitta Sutta yang universal akan memuat JMB 8; namun JMB 8 yang masih cenderung terbatas, ada kalanya tidak bisa memuat Sankhitta Sutta.
Sankhitta Sutta memuat sifat-sifat dari Ajaran Sang Buddha.
JMB8 merumuskan metode Jalan Tengah.
Hakikat dari sifat Ajaran Sang Buddha adalah Jalan Tengah.
Menurut Anda, apakah keterbatasan dari JMB8 dibanding Sankhitta Sutta?
Pertanyaan terakhir: apakah dalam vipassana, seseorang perlu mengetahui "ini sila, ini bukan", "ini dhamma, ini bukan", ataukah perlu menyadari bahwa "sila, dhamma, agama adalah bentukan pikiran"?Quote from: Kainyn_KuthoJadi yang relevan dalam vipassana di sini, talenta atau sila?
Keterampilan untuk mengembangkan sila-samadhi-panna.
Pertanyaan terakhir: apakah dalam vipassana, seseorang perlu mengetahui "ini sila, ini bukan", "ini dhamma, ini bukan", ataukah perlu menyadari bahwa "sila, dhamma, agama adalah bentukan pikiran"?
Hanya bahasa saja. Seperti saya katakan, dalam terjemahan Bahasa Inggris, sering digunakan Extinction (kemusnahan). Dalam beberapa terjemahan Bahasa Indonesia juga saya pernah menemukan nibbana dijelaskan sebagai "musnah sepenuhnya". Sebetulnya tidak ada satu bahasa pun yang tepat menggambarkannya.
Sama seperti perasaan, tidak ada gambaran tepat mengenai perasaan. Seniman mengungkapkan perasaannya dalam berbagai media. Orang yang tidak mengerti hanya melihat medianya, hanya yang tertangkap indera, namun tidak menangkap ekspresi yang disampaikan. Mereka yang mampu melihat, mengerti dan memahami perasaannya, melampaui medianya. Begitu pula dalam dhamma dan kehidupan sehari-hari, orang yang tidak mengerti maksud orang lain, hanya mampu menilai sebatas bahasa.
Sebelumnya, sudah pernah saya katakan bahwa saya pernah berbicara dengan Pak Hudoyo mengenai seorang umat lain yang mendebat saya tentang nibbana. Saya diskusi sedikit dengan Pak Hudoyo mengenai nibbana dalam pandangan Buddha dan nihilisme. Dari situlah saya tahu Pak Hudoyo bukan berpandangan nihilisme
Kesamaan ajaran J.Khrisnamurti dan Buddhisme rasanya sudah sering dibicarakan Pak Hudoyo di board MMD atau J KhrisnaMurti.
Karena JMB 8 fokus pada sesuatu yang general, yang bisa jadi terbatasi oleh tradisi dan budaya setempat, pada waktu dan kondisi tertentu, namun bisa jadi tidak relevan di tradisi, budaya lain pada waktu dan kondisi berbeda.
Satu contohnya adalah "ucapan benar" yang sudah dibahas sebelumnya berkenaan dengan Thera Pilinda Vaccha. Bicara kasar atau tidak kasar adalah tergantung budaya setempat. Hal ini sebetulnya sudah dibahas dalam Upali Sutta yang menjelaskan semua perbuatan (juga ucapan) menjadi bermanfaat atau tidak, adalah tergantung pikiran. Semua pasti setuju bahwa pikiranlah yang terutama, namun apakah orang yang memegang JMB 8 secara mutlak mau mengakui irrelevansi ucapan dan perbuatan benar?
Contoh lain adalah pencaharian benar yang salah satunya tidak menjual racun. Apa definisi racun? Apakah kandungannya? Mana yang racun: selai kacang atau arsenik? Orang yang terkungkung pandangan JMB 8 secara mutlak sesungguhnya hanya akan tersesat dalam ketidak-tahuannya.
Quote from: Kainyn_KuthoHanya bahasa saja. Seperti saya katakan, dalam terjemahan Bahasa Inggris, sering digunakan Extinction (kemusnahan). Dalam beberapa terjemahan Bahasa Indonesia juga saya pernah menemukan nibbana dijelaskan sebagai "musnah sepenuhnya". Sebetulnya tidak ada satu bahasa pun yang tepat menggambarkannya.
Sama seperti perasaan, tidak ada gambaran tepat mengenai perasaan. Seniman mengungkapkan perasaannya dalam berbagai media. Orang yang tidak mengerti hanya melihat medianya, hanya yang tertangkap indera, namun tidak menangkap ekspresi yang disampaikan. Mereka yang mampu melihat, mengerti dan memahami perasaannya, melampaui medianya. Begitu pula dalam dhamma dan kehidupan sehari-hari, orang yang tidak mengerti maksud orang lain, hanya mampu menilai sebatas bahasa.
Maksud saya, bukan kemusnahan dalam arti:
- dari ada menjadi tiada
- dari tiada menjadi tiada
Kalau maksud yang disampaikan oleh seseorang itu masih berkutat di kedua poin tersebut, seindah dan seartistik apapun bahasa yang digunakan, tetap saja yang ditampilkan adalah “nihilisme”.
baik definisi masyarakat aja, gak yg muluk2...om ryu, itu yg saya liat dari kehidupan sehari2... entah yg anda liat...Definisi Baik menurut om seperti apa?
Berarti selama ini oom belom pernah melihat romo, bhante dll yang bener ya?baik definisi masyarakat aja, gak yg muluk2...om ryu, itu yg saya liat dari kehidupan sehari2... entah yg anda liat...Definisi Baik menurut om seperti apa?
dan kedua, JMB-8 adalah latihan batin dimana setiap unsur, merupakan latihan terhadap cetasika/faktor batin tertentu yang kesemuanya mengkondisikan agar batin selalu berada dalam kondisi sobhana
Pernyataan mengenai JMB-8 adalah latihan batin, ditolak oleh HH
Penjelasan Jalan Mulia Berunsur 8 secara Abhidhamma
Banyak yg menyebut seolah Jalan Mulia Berunsur 8 adalah hal yg terpisah-pisah, dan menjadi hal yg eksternal alias tidak berpengaruh pada diri si pelaku
Mari kita semua melihat kembali secara Abhidhamma, yaitu :
1. Samma Ditthi (Pandangan Benar) : Panna cetasika (cetasika mengenai kebijaksanaan, ada di Pannindriya-cetasika 1)
2. Samma Sankappa (Pikiran Benar) : Vitakka Cetasika (cetasika mengenai perenungan permulaan, ada di Pakinnaka cetasika 6)
3. Samma Vaca (Ucapan Benar) : Sammavaca cetasika
4. Samma Kammanta (Perbuatan Benar) : Sammakammanta cetasika
5. Samma Ajiva (Mata Pencaharian Benar) : Sammaajiva cetasika
no 3-5, ada pada Virati cetasika, yaitu cetasika yg mengontrol
6. Samma Vayama (Daya upaya Benar) : Viriya Cetasika (Semangat/usaha, termasuk dalam Pakinnaka cetasika 6 juga)
7. Samma Sati (Perhatian Benar) : Sati Cetasika (sadar/ingat, termasuk dalam sobhanasadharana cetasika 25)
8. Samma Samadhi (Konsentrasi Benar) : Ekaggata cetasika (pemusatan pikiran, termasuk dalam sabbacittasadharana 7)
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa cetasika2 yg dlatih meliputi
- sabbacittasadharana 7,
- Pakinnaka 6 (cetasika yg berhubungan dengan Jhana),
- sobhanasadharana cetasika 19,
- virati cetasika 3 dan
- pannindriya cetasika 1
Jadi disini dapat dilihat bahwa dari setiap unsur dari Jalan Mulia Berunsur 8, ternyata sangat bermanfaat untuk melatih batin kita agar selalu berada dalam kondisi sobhana (Indah).
Semoga dengan penjelasan ini, membuat kita semakin yakin untuk menjalankan Jalan Utama Berunsur 8 karena akan membawa banyak manfaat bagi perkembangan batin kita semua
semoga bisa bermanfaat
metta _/\_
Jika pengamatan dalam vipassana adalah perasaan, pencerapan, tubuh, dan bentuk pikiran, maka tidak ada pengamatan "ini sila, ini bukan sila" karena dengan vipassana seseorang menyadari bahwa hal demikian adalah bentukan pikiran. Demikian pula tentang JMB 8, tentang 4 KM, bahkan ide tentang Satipatthana membawa pada nibbana juga adalah bentukan pikiran. Dengan begitu, apakah pernyataan "pengetahuan sila dan doktrin tidak relevan dalam vipassana" adalah keliru? Apakah seseorang perlu doktrin JMB 8, 4 KM dsb untuk menjalankan Vipassana?Quote from: Kainyn_KuthoPertanyaan terakhir: apakah dalam vipassana, seseorang perlu mengetahui "ini sila, ini bukan", "ini dhamma, ini bukan", ataukah perlu menyadari bahwa "sila, dhamma, agama adalah bentukan pikiran"?
Dalam vipassana, seseorang perlu menyadari perasaan, pencerapan, kesadaran dan bentuk-bentuk pikiran.
Lalu…?
Maksud saya, bukan kemusnahan dalam arti::) no comment.
- dari ada menjadi tiada
- dari tiada menjadi tiada
Kalau maksud yang disampaikan oleh seseorang itu masih berkutat di kedua poin tersebut, seindah dan seartistik apapun bahasa yang digunakan, tetap saja yang ditampilkan adalah “nihilisme”.
Apakah Anda sudah memastikannya?Setidaknya dari sudut pandang saya demikian. Apakah saya pun berpandangan nihilisme menurut orang lain? Saya tidak tahu.
Bukan itu yang saya tanyakan…Untuk pastinya, silahkan tanya Pak Hudoyo.
Yang saya tanyakan sebenarnya: “Kenapa Pak Hudoyo bilang nihilisme, tapi kemudian bilang lagi bukan nihilisme?”
Apa alasannya?
Anda sendiri paham bahwa pikiran adalah pelopor. Seseorang yang berucap benar, tentulah tidak dilandasi dengan pikiran yang tidak benar. Jadi, bila di suatu tempat / lingkungan menilai ucapan seseorang itu adalah tidak baik (meskipun itu adalah ucapan benar), maka yang bermasalah adalah pendengarnya.Sekali lagi, bisa jelaskan kasus Thera Pilinda Vaccha? Mengapa dari pikiran benar seorang Arahat, bisa keluar ucapan yang menurut JMB 8 adalah "tidak benar"?
Definisi racun adalah zat yang dibuat dan digunakan dengan tujuan sebagai racun.Apakah ketika kita menjual, kita bertanya kepada orang lain apa yang akan dilakukan dengan produk kita? Atau kembali lagi, hanya generalisasi saja?
Bukan cuma racun, biasanya banyak pemula yang juga bingung apakah menjual pisau dapur, gergaji, rokok, dsb. termasuk dalam perdagangan yang tidak benar atau tidak. Di sini kita perlu mengenali dengan jelas kriteria-krietrianya. Kalau kita sudah kenal jelas batasan-batasan kriterianya, kita tidak akan bingung mengenai berdagang racun atau bukan; juga termasuk nihilisme atau tidak nihilisme.Ya, tidak usah yang rumit2 seperti "nihilisme". Silahkan jawab yang simple dulu, mana yang racun: selai kacang atau arsenik?
Seseorang tidak akan bisa terkungkung pada pandangan tentang JMB8 secara mutlak. JMB8 adalah ‘rakit’.
Justru amanat dari Sankhitta Sutta bisa dipandang secara generalisasi oleh orang awam, sehingga bisa muncul berbagai konsepsi. Yang bagaimanakah kerelaan, kebebasan, pelepasan, sedikit keinginan, kepuasan, kesendirian, membangkitkan semangat, mudah dirawat itu?
- Apakah kerelaan untuk menomor-duakan diri sendiri dibanding Tuhan itu termasuk?
- Apakah kebebasan untuk berbuat sehingga tidak terikat pada peraturan agama itu termasuk?
- Apakah pelepasan moralitas sehingga tidak perlu mengumpulkan kebajikan itu termasuk?
- Apakah makan nasi satu butir sehari itu termasuk sedikit keinginan?
- Apakah puas dengan hanya memiliki satu istri itu termasuk kepuasan?
- Apakah bersikap introvert dan tidak bersosialisasi itu termasuk kesendirian?
- Apakah berbicara dengan lantang dan penuh gerak tubuh itu termasuk membangkitkan semangat?
- Apakah dengan bersikap penurut itu namanya mudah dirawat?
Semua pasti setuju bahwa Sankhitta Sutta itu menguraikan sifat-sifat Ajaran Sang Buddha. Namun apakah orang yang memegang isi Sankhitta Sutta secara garis besarnya mau mengakui irelevansi dari poin-poinnya?
Berarti selama ini oom belom pernah melihat romo, bhante dll yang bener ya?yg saya bilang di atas kan "jadi baik", kata "jadi" itu maksudnya berubah, ada transformasi dari buruk jadi baik...
Berarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?Berarti selama ini oom belom pernah melihat romo, bhante dll yang bener ya?yg saya bilang di atas kan "jadi baik", kata "jadi" itu maksudnya berubah, ada transformasi dari buruk jadi baik...
yg saya amati, ada yg "jadi baik" tapi secara superfisial...
kayak gak bunuh nyamuk, tapi sama sodara berantem. atao nurut ama bhante, tapi bilang orang tuanya bodo. macem2.
ini pengamatan kecil2an di lingkungan saya. mungkin salah, mungkin berbeda dengan pengamatan anda...
Jika pengamatan dalam vipassana adalah perasaan, pencerapan, tubuh, dan bentuk pikiran, maka tidak ada pengamatan "ini sila, ini bukan sila" karena dengan vipassana seseorang menyadari bahwa hal demikian adalah bentukan pikiran. Demikian pula tentang JMB 8, tentang 4 KM, bahkan ide tentang Satipatthana membawa pada nibbana juga adalah bentukan pikiran. Dengan begitu, apakah pernyataan "pengetahuan sila dan doktrin tidak relevan dalam vipassana" adalah keliru? Apakah seseorang perlu doktrin JMB 8, 4 KM dsb untuk menjalankan Vipassana?
Setidaknya dari sudut pandang saya demikian. Apakah saya pun berpandangan nihilisme menurut orang lain? Saya tidak tahu.
Untuk pastinya, silahkan tanya Pak Hudoyo.
Kalau saya, hanya bisa memberikan penjelasan bahwa lain orang, lain konteks, lain pula bahasanya
Sekali lagi, bisa jelaskan kasus Thera Pilinda Vaccha? Mengapa dari pikiran benar seorang Arahat, bisa keluar ucapan yang menurut JMB 8 adalah "tidak benar"?
Apakah ketika kita menjual, kita bertanya kepada orang lain apa yang akan dilakukan dengan produk kita? Atau kembali lagi, hanya generalisasi saja?
Ya, tidak usah yang rumit2 seperti "nihilisme". Silahkan jawab yang simple dulu, mana yang racun: selai kacang atau arsenik?
Jadi begitu cara anda memandang dan menggunakan Sankhitta Sutta? :)
Saya beri contoh bagaimana saya menggunakan Sankhitta Sutta.
Mengenai Tuhan:
- Apakah menyandarkan diri pada suatu ide (apakah Tuhan atau doktrin lain) membawa pada kerelaan, kebebasan, pelepasan, sedikit keinginan, kepuasan, kesendirian, membangkitkan semangat, dan mudah dirawat?
Bersandar pada ide (akan Tuhan ataupun doktrin lainnya) akan membawa orang pada kecenderungan menggenggam, tidak melepaskan dan tidak menyadari hal tersebut adalah bentukan pikiran. Terbelenggu demikian, tidak akan membawa pada kebebasan bathin.
Mengenai moralitas
- Apakah melanggar moralitas membawa pada kerelaan, kebebasan, pelepasan, sedikit keinginan, kepuasan, kesendirian, membangkitkan semangat, dan mudah dirawat?
Melanggar moralitas adalah mengikuti nafsu, yang berarti banyak keinginan. Kebiasaan mengikuti nafsu menjadi belenggu, bukan kebebasan. Melanggar moralitas biasa adalah merugikan orang lain yang sudah pasti tidak mudah dirawat, dan lain sebagainya.
Berarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?anda maksudkan jk kan? saya no comment aja, gak tau apa yg bener2 terjadi...
Berarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?anda maksudkan jk kan? saya no comment aja, gak tau apa yg bener2 terjadi...
pengamatan kita emang berbeda om...
Kalau Menurut om Morph Orang baik itu seperti JK dan Pak Hudoyo saya juga no comment deh ;DBerarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?anda maksudkan jk kan? saya no comment aja, gak tau apa yg bener2 terjadi...
pengamatan kita emang berbeda om...
Vipassana itu bagian dari JMB8. Dan lagi pula… dalam vipassana, seseorang memang perlu meyadari semua bentukan batin; bahkan termasuk mengenali bentukan batin yang mendasari perbuatan-perbuatannya yang pernah ia lakukan.
Ini sama seperti analogi: “dalam berucap benar, adalah tidak relevan untuk bervipassana”. Sudah saya tekankan dari kemarin-kemarin, vipassana itu sendiri adalah salah satu ruas jalan dalam JMB8. Vipassana ini didukung oleh ruas-ruas jalan lainnya, yang salah satunya adalah bagian moralitas.
Lihatlah bahwa vipassana sebenarnya adalah satu metode (ruas jalan). Jangan menilai vipassana sebagai bagian terpisah dari JMB8. Telaah kembali apa yang disiratkan dalam aspek samadhi di JMB8! :)
Saya sampaikan yang saya ingat. Pak Hudoyo mengatakan bahwa perbedaan ajaran Buddha dengan Nihilisme adalah Buddha mengajarkan bahwa fenomena kehidupan adalah gerak pikiran (yang adalah dukkha) dan nibbana adalah terhentinya dukkha tersebut, tidak ada sangkut paut dengan "atta"; sedangkan nihilisme melihat dari sudut pandang kehidupan merupakan diri/atta, yang kemudian hancur.Quote from: Kainyn_KuthoSetidaknya dari sudut pandang saya demikian. Apakah saya pun berpandangan nihilisme menurut orang lain? Saya tidak tahu.
Saya tidak mempermasalahkan bagaimana pandangan Anda. Yang saya ingin tahu, apakah memang Anda sudah memastikan bahwa Pak Hudoyo tidak memegang pandangan “dari ada menjadi tiada” dan atau “dari tiada menjadi tiada”.
Itu saja yang perlu diverifikasi. Setelah itu, bisa kita konklusikan apakah Pak Hudoyo memang penganut pandangan nihilisme atau bukan.
Thera Pilinda Vaccha sering mengucapkan “vasala” karena akibat tumpukkan kamma di kehidupan lampaunya. Beliau tidak berniat merendahkan orang lain dengan sebutan itu. Beliau sudah memiliki kecenderungan untuk berucap seperti itu (kebiasaan).Berarti dalam hal ini, faktor ucapan benar (yang mengatakan tidak berkata kasar) menjadi relatif, bukan? Relatif terhadap pikiran.
Karena tanpa niat untuk merendahkan, maka kasus itu tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai melenceng dari ucapan benar. Kasus ini mirip dengan kisah Cakkuphala Thera yang tanpa niat buruk, namun ternyata telah membunuh banyak serangga.
Demikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.Quote from: Kainyn_KuthoApakah ketika kita menjual, kita bertanya kepada orang lain apa yang akan dilakukan dengan produk kita? Atau kembali lagi, hanya generalisasi saja?
Bila kita menjual pisau dapur dengan kesadaran bahwa pisau itu untuk digunakan sebagai peralatan memasak di dapur, kita tidak memperdagangkan senjata. Lain halnya jika kita memang menjual pisau dapur dengan tujuan menjadikan pisau sebagai senjata tajam.
Bila kita menjual pisau dapur sebagai peralatan memasak, namun ternyata disalah-gunakan oleh si pembeli dengan memakainya untuk membunuh seseorang, maka itu adalah konsekuensi dari si pembeli. Kita yang menjual pisau dapur tidak berkontribusi terlalu jauh sampai di sana.
Jangankan pisau dapur atau racun. Jika saya menjual televisi berwarna, si pembeli juga bisa menggunakan televisi tersebut sebagai alat untuk membunuh seseorang dengan menghantamnya ke kepala korban.
Lantas apakah televisi itu juga termasuk senjata?Quote from: Kainyn_KuthoYa, tidak usah yang rumit2 seperti "nihilisme". Silahkan jawab yang simple dulu, mana yang racun: selai kacang atau arsenik?
Arsenik. Asalkan bahan kimia tersebut memang diperdagangkan sebagai racun.
Saya tidak memandang isi Sankhitta Sutta seperti itu. :) Saya hanya menyinggung, bahwa orang awam pun bisa menilai bagaimana itu kerelaan, kebebasan, pelepasan, sedikit keinginan, kepuasan, kesendirian, membangkitkan semangat, mudah dirawat; sesuai dengan versinya masing-masing. Apalagi dalam Sankhitta Sutta sendiri tidak diuraikan penjelasan detil dari poin-poinnya.
Kembali saya perjelas pertanyaan saya sebelumnya…
Bagaimana seseorang bisa mengembangkan kerelaan, kebebasan, pelepasan, sedikit keinginan, kepuasan, kesendirian, membangkitkan semangat, mudah dirawat; jika konteks yang terkandung dalam poin-poin itu sendiri tidak dijabarkan dengan jelas?
Seperti yang saya singgung sebelumnya, makna dari “kerelaan” sendiri bisa bervariasi antara satu pandangan dengan pandangan yang lain.
Bagaimana seseorang bisa mengembangkan kerelaan, kebebasan, pelepasan, sedikit keinginan, kepuasan, kesendirian, membangkitkan semangat, mudah dirawat; jika metode guna mencapai poin-poin itu sendiri tidak dijabarkan dengan jelas?
Isi dari Sankhitta Sutta hanya menekankan sifat-sifat. Tapi tidak menguraikan metode untuk bisa mencapai sifat-sifat seperti itu. Maka juga akan ada banyak variasi metode antara satu pandangan dengan pandangan yang lain.
Tidak usah menyatakan Sankhitta Sutta dengan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun dibanding JMB8. Menurut saya, tiga baris di Ovada Patimokkha (tidak berbuat kejahatan, kembangkan perbuatan baik, sucikan pikiran) itu lebih universal bagi budaya manapun. Tapi yang perlu kita perhatikan, ternyata Ovada Patimokkha dan Sankhitta Sutta pun sebenarnya bermuara pada metode Jalan Tengah (JMB8).
Demikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.bukankah di sini pentingnya pandangan benar, seperti Buddha menerangkan pandangan benar di CULASIHANADA SUTTA & KOSAMBIYA SUTTA
Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.
Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.
Pandangan saya begini:
- Relevansi moralitas dengan Vipassana hanyalah pada sila mendukung kondisi (seperti sedikit gangguan dan terlahir di alam yang baik). Keberhasilan seseorang dalam Vipassana adalah ditentukan oleh latihannya (baik di hidup ini atau masa lampau), BUKAN sila-nya. Jadi moralitas seseorang, seberapapun tingginya, tidak mempengaruhi keberhasilan Vipassana seseorang. Namun seseorang yang berkembang Vipassananya, pasti memiliki moralitas tinggi.
Kalau saya umpamakan, sila itu adalah harta, vipassana adalah belajar. Harta mendukung seseorang belajar dengan baik (bisa belajar di sekolah yang baik, beli peralatan belajar), namun banyaknya harta seseorang tidak membuat seseorang menjadi lebih pandai.
- Dalam Vipassana, segala pandangan tentang sila, doktrin, ajaran, dan lain sebagainya, adalah tidak relevan, karena seseorang bervipassana mengamati bathin dan jasmani. Seseorang bisa berlatih vipassana dengan atau tanpa pengetahuan sila, doktrin, atau ajaran tersebut.
Mungkin kita punya pandangan berbeda, biarlah demikian, saya tidak akan bahas lebih jauh.
Saya sampaikan yang saya ingat. Pak Hudoyo mengatakan bahwa perbedaan ajaran Buddha dengan Nihilisme adalah Buddha mengajarkan bahwa fenomena kehidupan adalah gerak pikiran (yang adalah dukkha) dan nibbana adalah terhentinya dukkha tersebut, tidak ada sangkut paut dengan "atta"; sedangkan nihilisme melihat dari sudut pandang kehidupan merupakan diri/atta, yang kemudian hancur.
Berarti dalam hal ini, faktor ucapan benar (yang mengatakan tidak berkata kasar) menjadi relatif, bukan? Relatif terhadap pikiran.
Demikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.
Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.
Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.
Bagi saya, semua juga butuh penjelasan. Itulah sebabnya seseorang perlu bertanya, berdiskusi, bahkan berguru, bukan baca, tebak-tebakan dan tafsir seenaknya.
Apakah point dalam Sankhitta Sutta tidak jelas? YA, bagi orang awam yang tidak pernah baca sutta dan sama sekali asing dengan Bahasa Pali. Tidak demikian bagi yang menyelidiki. Misalnya "viraga/saraga" dalam Bahasa Pali, selalu berkenaan dengan bathin (citta), yaitu yang berhubungan dengan hawa nafsu; "acaya/apacaya" adalah pengumpulan benda/objek yang sifatnya memberi kesenangan duniawi (indrawi). Juga kata-kata seperti Samyoga dan Viriya sangat banyak pembahasan detailnya dalam Sutta lain.
Istilah Pali lebih kaya dan penggunaannya jauh lebih spesifik dan detail, berbeda dengan Bahasa Indonesia. Jika seseorang mau sedikit belajar dan mencari tahu lebih banyak, mengerti Sankhitta Sutta dengan benar tanpa bias tidaklah sesulit itu.
Di sini pun kita berbeda opini dan saya rasa tidak ada gunanya diteruskan mengenai JMB 8 & Sankhitta Sutta.
Terima kasih atas diskusinya, bro upasaka.
_/\_
[at] upasaka : AKANKHEYYA SUTTA ;D
kalo menurut anda dua orang ini nyeleneh, abaikan saja... bukan dijadikan alasan tidak bermeditasi. apapun tekniknya.Kalau Menurut om Morph Orang baik itu seperti JK dan Pak Hudoyo saya juga no comment deh ;DBerarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?anda maksudkan jk kan? saya no comment aja, gak tau apa yg bener2 terjadi...
pengamatan kita emang berbeda om...
Sudah saya abaikan koq, saya sedang belajar zen ;Dkalo menurut anda dua orang ini nyeleneh, abaikan saja... bukan dijadikan alasan tidak bermeditasi. apapun tekniknya.Kalau Menurut om Morph Orang baik itu seperti JK dan Pak Hudoyo saya juga no comment deh ;DBerarti Menurut om perubahan, pengamatan saya justru orang yang melatih meditasi aja kelakuannya kaga beda sama yang gak suka meditasi, blom katanya ada yang meditasi sadari saja tapi selingkuh, jadi selingkuh sadari saja, dan ajarannya di jadikan patokan? selingkuhpun apakah itu hal yang baik di mata meditasi sadari saja?anda maksudkan jk kan? saya no comment aja, gak tau apa yg bener2 terjadi...
pengamatan kita emang berbeda om...
Persoalannya... Pak Hudoyo menyatakan bahwa tidak ada jalan untuk mengakhiri dukkha; lebih lanjut kemudian ia memodifikasinya dengan menyatakan "dalam vipassana, JMB8 adalah tidak relevan". Sekilas nampaknya logis. Namun jika kita mengikuti perjalanan diskusi, yang dibicarakan adalah konteks "JMB8 adalah metode untuk mengakhiri dukkha". Dan justru hal itu ditentang oleh Pak Hudoyo. Jadi bukannya masalah pengetahuan akan JMB8 itu yang tidak relevan.Mengenai ini sudah pernah saya bahas. Bagi Pak Hudoyo JMB 8 "tidak bisa", bagi kontra-MMD "bisa", bagi saya "subjektif, tergantung orang".
Saya melihat bahwa vipassana itu merupakan salah satu ruas dari JMB8. Entah apakah Anda setuju atau tidak. Orang yang menjalankan sila, akan memperoleh kenyamanan dalam menjalani hidup. Nampaknya Anda selalu mendeskripsikan sila sebagai harta yang akan memberi kenyamanan di kehidupan berikutnya. Kalau saya justru melihat sila itu penting dikembangkan untuk menunjang vipassana, karena manfaatnya tumbuh di saat ini.Sepertinya ini juga masalah komunikasi. Pastinya saya dan Pak Hudoyo juga tahu Vipassana adalah bagian dari JMB 8. Menurut saya yang Pak Hudoyo coba katakan adalah jika ketika bervipassana kita bersandar pada satu doktrin, apakah JMB 8, atau bahkan doktrin Vipassana itu sendiri, maka ia tidak akan terbebas.
Orang yang mengembangkan sila, akan bertindak-tanduk secara terhormat dan bermoral. Ia akan mendapatkan kenyamanan di hidup ini juga. Orang yang mengembangkan sila akan hidup bahagia dan tenang. Selanjutnya ketika ia melakukan samadhi, ia akan menyelami bentukan-bentukan batin; ia akan melihat realita. Setelah bangkit dari samadhi, ia memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan untuk mengembangkan aspek panna. Aspek panna ini akan mendorongnya untuk bertindak penuh moralitas, sehingga sila terus dikembangkan. Begitulah kesinambungan dari JMB8. Oleh karena itu ada orang yang mencapai Pembebasan karena keyakinan, perenungan maupun kebijaksanaan. Semua itu turut dipengaruhi oleh sejauh mana titik kulminasi dari aspek sila-samadhi-panna yang dikembangkan orang itu.Sekali lagi, jika dikatakan umumnya demikian, saya setuju. Begitulah yang terlihat dalam sudut pandang duniawi (lokiya) bahwa Arahat seolah-olah memiliki sila. Namun dari sutta, kita tahu bahwa tidaklah demikian dari sudut pandang melampaui-duniawi (lokuttara). Thera Pilinda Vaccha tidaklah mengikuti atau menentang sila. Ia tidak berpikir baik atau jahat (maka tidak ada kamma yang ditanam), tetapi melakukan suatu perbuatan demi perbuatan itu sendiri.
Mungkin lebih tepatnya, paham nihilisme menjelaskan akan adanya suatu "diri" yang akan meraih Pembebasan dengan cara melenyapkan "diri" itu sendiri.Bukan pembebasan, namun memang menganggap "diri" itu akan binasa.
Ya, kita sama-sama berspekulasi tentang pandangan dari seorang Pak Hudoyo...
Dalam hal Thera Pilinda Vaccha, ya. Dalam hal lain, juga bisa relatif bagi si pengucap. Misalnya kata-kata manis dan baik yang ditujukan untuk menyindir. Kata-katanya baik, namun pikirannya tidak baik. Atau misalnya kata-kata munafik yang isinya bagus-bagus, namun pikiran itu sebenarnya tidak mengerti, hanya membeo dan ingin dipuji. Sangat sangat relatif.Quote from: Kainyn_KuthoBerarti dalam hal ini, faktor ucapan benar (yang mengatakan tidak berkata kasar) menjadi relatif, bukan? Relatif terhadap pikiran.
Bagi si pengucap (Thera Pilinda Vaccha), ucapan benar itu tidak relatif. Tapi bagi si pendengar, semua jenis ucapan bisa jadi relatif.
Anda menilai JMB8 secara outside-in, Bro. Harus dicermati, bahwa Ajaran Sang Buddha itu menekankan kita untuk melihat dari dalam sendiri terlebih dahulu sebelum menuangkannya ke luar. Menurut pemahaman saya, JMB8 memang tidak lagi sebagai jalan yang universal. Itu karena orang-orang pada umumnya melihat secara subjektif.Kembali lagi, saya tidak menolak JMB 8, namun saya katakan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk hal-hal yang sifatnya spesifik. Dan biasanya, saya diskusi dhamma bukan dengan orang yang membahas hal-hal general. Sudah sering kali di topik yang saya bahas, JMB 8 sudah tidak bisa lagi memberikan solusi.
JMB8 yang diajarkan Sang Buddha itu dalam metode yang menuntun dari dan ke dalam batin. Bukannya jalan yang membuat orang supaya terlihat sempurna di luar, tapi bobrok di dalam.
Mungkin ada orang yang bersikukuh menganggap kisah Thera Pilinda Vaccha, kisah Cakkuphala Thera, maupun berdagang arsenik dan selai kacang; menunjukkan irelevansi dari JMB8. Tapi yang perlu dipahami adalah: "JMB8 berbicara mengenai Jalan Tengah untuk memoles batin diri sendiri*". Karena itu, pikiran dan kehendaklah yang paling vital dalam setiap aspeknya. Dari sinilah kita menilai apakah kisah-kasus tersebut memang menunjukkan irelevansinya atau tidak.
*Karena itulah banyak yang memandang Buddhisme (terutama Aliran Theravada) adalah ajaran yang egosentris.Saya akan senang sekali kalau orang mengerti bahwa ajaran Buddhisme memang egosentris, karena ajaran Buddha memang tidak menyuruh kita mengurusi, menilai dan menghakimi orang lain. Semua kembali ke pikiran dan pikiran adalah sifatnya pribadi.
Itu rumitnya Bro kalau tidak ada metode yang jelas untuk meresapi makna dari Sankhitta Sutta. Bertanya, berdiskusi dan berguru pun tidak bisa dijadikan patokan utama. Karena sifatnya hanya mencari informasi dari luar dan kita menyimpulkan sendiri semua informasi yang kita tangkap.Semua juga subjektif, maka saya selalu mengatakan kecocokan. Tidak ada satu metode yang cocok buat semua orang. Itulah kenapa metode mengajar Buddha begitu variatif.
Pada kenyataannya, kita cenderung menganalisa dan menyimpulkan suatu informasi berdasarkan pemahaman intelektual, pengalaman, daya imajinasi, kecerdasan emosi, dsb. yang bersifat subjektif. Di sinilah kita baru menyadari betapa pentingnya metode yang jelas. Dan dalam JMB8, metode itu dijabarkan dengan jelas. JMB8 itu pun sebenarnya hanya sebuah informasi. Namun metode itu menunjukkan dengan jelas semua informasi (Samutti Sacca) yang dapat menunjang kita untuk menyelami sendiri Kebenaran Mutlak (Paramattha Sacca).
Semoga kita bisa mendiskusikan banyak hal kelak. Tidak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.Dengan senang hati, jika ada kesempatan. :)
QuoteDemikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.bukankah di sini pentingnya pandangan benar, seperti Buddha menerangkan pandangan benar di CULASIHANADA SUTTA & KOSAMBIYA SUTTA
Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.
Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.
[at] kainyn, mau tanya kalau perbuatan baik dan buruk itu katanya tidak relevan dalam vipasana, nah apakah berarti perbuatan baik dan buruk itu tidak berguna? sedangkan Buddha saja jelas2 mengatakan perbuatan baik itu berguna.Seperti saya tulis sebelumnya, perbuatan baik itu seperti uang, vipassana seperti belajar. Kalau tidak ada uang, susah sekali mendapatkan fasilitas, tidak bisa sekolah, dan kesempatan belajar sedikit. Punya uang banyak bisa sekolah bagus, bisa beli fasilitas (seperti internet, buku2) yang baik, punya kesempatan belajar yang banyak. Namun, apakah uang banyak dikatakan relevan dengan kepandaian?
Quote from: Kainyn_KuthoBerarti dalam hal ini, faktor ucapan benar (yang mengatakan tidak berkata kasar) menjadi relatif, bukan? Relatif terhadap pikiran.
Bagi si pengucap (Thera Pilinda Vaccha), ucapan benar itu tidak relatif. Tapi bagi si pendengar, semua jenis ucapan bisa jadi relatif.
QuoteDemikianlah menurut saya keterbatasan faktor JMB 8 yang berfokus pada objek.bukankah di sini pentingnya pandangan benar, seperti Buddha menerangkan pandangan benar di CULASIHANADA SUTTA & KOSAMBIYA SUTTA
Objek netral seperti arsenik yang secara general, penggunaannya adalah sebagai racun sementara selai kacang adalah makanan. Namun Arsenik Trioxida digunakan dalam terapi Leukemia promyelositik akut. Di lain pihak, ada orang dengan alergi hipersensitif, bisa meninggal (karena respons yang dikenal dengan anaphylactic shock) bahkan hanya dengan sentuhan (selai) kacang.
Demikian pula bicara 'kasar' adalah kondisional. Bagi masyarakat tertentu, budaya tertentu, bicara kasar tidaklah dinilai kasar. Kata-kata tetaplah objek netral.
Kita bisa berputar-putar menentukan objek "benar & salah" (seperti UU Pornografi & Pornoaksi) dengan argumentasi tanpa akhir, namun sebenarnya semua hanyalah kembali pada subjeknya. Ketika kembali pada subjek, pada pikiran, maka regulasi mengenai objek netral (seperti kasar/tidaknya ucapan, jahat/tidaknya perbuatan badani, haram/halalnya mata pencaharian) akan menjadi tidak berarti dengan sendirinya (dan semuanya dikembalikan lagi pada pikiran benar). Dengan kata lain, seperti saya sebutkan sebelumnya, JMB 8 pun menjadi tidak universal.
Ya, kalau mau fair, ketika kita membahas secara spesifik, sebenarnya intinya adalah pandangan dan pikiran benar. Ucapan dan perbuatan benar (juga penghidupan benar dan mungkin juga lainnya) menjadi relatif, dan akhirnya kita hanya membahas JMB <8.
Kalau secara umum, saya rasa tidak masalah. Ketika mengenalkan Buddhisme pada orang yang asing pun, saya juga menggunakan JMB 8. Namun ketika orang mulai berbicara kasus yang tidak biasa, saya sudah tidak berpegang lagi pada JMB 8.
[at] kainyn, mau tanya kalau perbuatan baik dan buruk itu katanya tidak relevan dalam vipasana, nah apakah berarti perbuatan baik dan buruk itu tidak berguna? sedangkan Buddha saja jelas2 mengatakan perbuatan baik itu berguna.Seperti saya tulis sebelumnya, perbuatan baik itu seperti uang, vipassana seperti belajar. Kalau tidak ada uang, susah sekali mendapatkan fasilitas, tidak bisa sekolah, dan kesempatan belajar sedikit. Punya uang banyak bisa sekolah bagus, bisa beli fasilitas (seperti internet, buku2) yang baik, punya kesempatan belajar yang banyak. Namun, apakah uang banyak dikatakan relevan dengan kepandaian?
Relevan itu khan berhubungan....
dari analogi anda aja, udah jelas ada relevansinya, ada hubungannya walaupun bukan menjadi kepastian
Analogi itu jadi agak sedikit berbeda jika dikembalikan ke perbuatan baik dan vipassana
punya uang banyak, bisa membuat belajar yg lebih baik, lebih pandai
tapi kepandaian, belum tentu membuat punya uang banyak
Sedangkan :
Perbuatan baik mendukung vipassana -> ok
Tapi vipassana (yg benar tentunya) PASTI mendukung perbuatan yg baik
diskusi seru mode : ON
Relevan itu khan berhubungan....
dari analogi anda aja, udah jelas ada relevansinya, ada hubungannya walaupun bukan menjadi kepastian
Analogi itu jadi agak sedikit berbeda jika dikembalikan ke perbuatan baik dan vipassana
punya uang banyak, bisa membuat belajar yg lebih baik, lebih pandai
tapi kepandaian, belum tentu membuat punya uang banyak
Sedangkan :
Perbuatan baik mendukung vipassana -> ok
Tapi vipassana (yg benar tentunya) PASTI mendukung perbuatan yg baik
diskusi seru mode : ON
Saya pernah mengenal seseorang (almarhum) yang lahir di keluarga lumayan miskin. Tidak punya fasilitas belajar, sekolahnya bisa sampai kelas 6 SD karena waktu kelas 5 SD, ia memalsukan rapor. Karena tidak ada uang beli barang-barang yang ia suka, maka ia sering pergi ke pasar loak cari rongsokan. Di kemudian hari, suatu kali saya menanyakan kabar tentangnya, saya dapat jawaban yang mencengangkan: Ia sedang memberi bimbingan belajar pada beberapa mahasiswa teknik.
Memang betul kalau tidak ada uang, ia tidak bisa beli makan, tidak bisa hidup. Kalau mati, sakit atau kelaparan berarti tidak bisa belajar dengan baik. Tapi kalau dibilang uang itu relevan dengan kepandaian, menurut saya tidak.
misiii.. ;D
drop opini dikit aja.. kalo dibilang relevansi uang dng kepandaian, bukan ga ada tapi mungkin udah jauh ya.. uang relevan dng kesempatan belajar. dan kesempatan belajar relevan dg kepandaian. tp kalo antara uang sendiri dg kepandaian.. bukan ga ada tp dah jauh.. dan ga bisa jump to conclusion begitu menurut saya. :)
Seperti saya tulis sebelumnya, perbuatan baik itu seperti uang, vipassana seperti belajar.
Kalau tidak ada uang,
susah sekali mendapatkan fasilitas,
tidak bisa sekolah, dan
kesempatan belajar sedikit.
Punya uang banyak bisa sekolah bagus,
bisa beli fasilitas (seperti internet, buku2) yang baik,
punya kesempatan belajar yang banyak.
Namun, apakah uang banyak dikatakan relevan dengan kepandaian?
perbuatan baik dan vipassana, dua2nya adalah belajar.
keduanya saling mendukung.
misiii.. ;D
drop opini dikit aja.. kalo dibilang relevansi uang dng kepandaian, bukan ga ada tapi mungkin udah jauh ya.. uang relevan dng kesempatan belajar. dan kesempatan belajar relevan dg kepandaian. tp kalo antara uang sendiri dg kepandaian.. bukan ga ada tp dah jauh.. dan ga bisa jump to conclusion begitu menurut saya. :)
nah sesudah berpuluh2 halaman yang ingin di bicarakan yaitu, bagaimana sikap yang harus di tunjukan apabila ada seseorang yang berpandangan salah? ;Dhttp://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,3921.msg68760.html#msg68760
ok deh ;Dnah sesudah berpuluh2 halaman yang ingin di bicarakan yaitu, bagaimana sikap yang harus di tunjukan apabila ada seseorang yang berpandangan salah? ;Dhttp://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,3921.msg68760.html#msg68760
"Syair" saya hanya menyurat dan menyiratkan, memang semuanya tidak ada yang kekal (anicca) , termasuk diskusi akan suatu topik tertentu ;)
^
Diskusi2 begini memang seringkali tiada jawaban yg mutak. Namun, setidaknya alur diskusi telah berperan -sedikit banyak- membentuk pola pemikiran kita, menambah/mengurangi panna kita...
::
^
Diskusi2 begini memang seringkali tiada jawaban yg mutak. Namun, setidaknya alur diskusi telah berperan -sedikit banyak- membentuk pola pemikiran kita, menambah/mengurangi panna kita...
::
Diskusi spt apa yg mengurangin pana (kebijaksanaan) ya ?