//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato  (Read 37760 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #15 on: 27 January 2013, 01:06:51 PM »
Śāripūtraparipṛcchā[123]

Karakter mitos teks ini jelas. Ini adalah sutra yang diragukan keasliannya dari Mahāsaṅghika, yang berlaku sebagai suatu ramalan masa depan, tetapi di mana, seperti semua ramalan religius, sebenarnya adalah tentang kejadian yang terjadi saat itu. Teks ini diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin pada akhir dinasti Tsin Timur (317-420 M), dan mungkin disusun beberapa abad lebih awal dari ini. Kita tergoda untuk menggambarkan ini sebagai suatu “proto-Mahāyāna Vinaya-sutra”, tetapi ini memunculkan sejumlah masalah: meragukan bahwa penulisnya memikirkannya dalam istilah-istilah ini, atau apakah ia bahkan telah mendengar tentang Mahāyāna. Dan sama tidak pastinya apakah ia dianggap berasal dari masa yang lebih awal daripada sutra-sutra Mahāyāna awal; mungkin ini kira-kira sezaman. Penggambaran yang lebih baik mungkin adalah “post- Āgama Vinaya-sutra”.[124]

Bacaan pertama menghadirkan Sang Buddha berdialog dengan Sāriputta, yang memulai dengan memuji Sang Buddha sebagai seorang yang mengajar sesuai dengan kecenderungan mereka. Sejumlah topik dimunculkan: sifat mendengarkan Dhamma; praktek yang benar; meminum alkohol; makanan dan para pendukung awam; raja Bimbisāra disebutkan dalam kaitan ini. Sang Buddha kemudian menekankan Beliau mengajar berdasarkan waktu yang tepat: “Ketika hidup pada masa ini, seseorang harus berlatih sesuai dengan ajaran ini; ketika hidup pada masa itu, seseorang harus berlatih sesuai dengan ajaran itu.”[125] Dengan demikian teks ini mengatur dirinya sendiri untuk suatu kisah di mana dari sudut pandang karakternya adalah di “masa depan”, tetapi dari sudut pandang penulis (dan pembaca) adalah masa lampau, apakah nyata atau khayalan.[126] Sang Buddha melanjutkan:

“Setelah Aku memasuki Parinibbana, Mahākassapa dan yang lainnya harus bersatu, sehingga para bhikkhu dan bhikkhuni dapat menganggap mereka sebagai tempat perlindungan yang besar, sama seperti [sekarang mereka menganggap] Aku, tidak berbeda. Kassapa meneruskan kepada Ānanda. Ānanda meneruskan kepada Majjhantika. Majjhantika meneruskan kepada Śāṇavāsin. Śāṇavāsin meneruskan kepada Upagupta.”

“Setelah Upagupta terdapat raja Maurya Aśoka,[127] seorang luar biasa yang menjunjung tinggi Sutta-Vinaya di dunia. Cucunya bernama Puṣyamitra. Ia naik tahta....” [berikutnya diceritakan kisah Puṣyamitra menghancurkan dan menindas Buddhisme, seperti yang diterjemahkan dalam Lamotte, History of Indian Buddhism, 389-390. Lima ratus Arahat diperintahkan Sang Buddha untuk tidak memasuki Nibbana, tetapi berdiam di alam manusia untuk melindungi Dharma. Ketika Puṣyamitra hendak membakar teks Sutta-Vinaya, Maitreya menyelamatkannya dan menyembunyikannya di surga Tusita.]

“Sifat raja berikutnya sangat baik. Maitreya Bodhisattva menciptakan 300 orang pemuda dengan transformasi, yang turun ke alam manusia untuk mencari jalan Buddha. Mengikuti ajaran Dhamma 500 Arahat, laki-laki dan perempuan di negeri raja ini bersama-sama mengambil penahbisan. Demikianlah para bhikkhu dan bhikkhuni kembali dan berkembang. Para Arahat pergi ke alam surga dan membawa Sutta dan Vinaya kembali ke alam manusia.”

“Pada waktu itu terdapat seorang bhikkhu bernama “Bahuśruta”[128], yang berunding dengan para arahat dan raja, bermaksud untuk membangun sebuah paviliun untuk Sutta-Vinaya-Ku, dengan membuat sebuah pusat untuk mendidik mereka yang bermasalah.[129]

“Pada waktu itu[130] terdapat seorang bhikkhu sesepuh yang menginginkan kemashyuran, selalu ingin memperdebatkan tesisnya sendiri. Ia mengubah Vinaya-Ku, membuat penambahan dan perluasan. Satu yang dikembangkan oleh Kassapa disebut “Mahāsaṅghikavinaya”. Mengambil [bahan lain] dari luar dan menyusun kembali ini dengan sisa [dari teks asli], para pemula tertipu. Mereka membentuk kelompok yang berbeda, masing-masing membahas apa yang benar dan salah.”

“Pada waktu itu terdapat seorang bhikkhu yang meminta penilaian raja. Raja mengumpulkan dua kelompok itu dan menyiapkan tongkat hitungan hitam dan putih. Ia mengumumkan kepada perkumpulan itu: ‘Jika kalian menyukai Vinaya lama, ambillah tongkat hitam. Jika kalian menyukai Vinaya baru, ambillah tongkat putih.’ Pada waktu itu, mereka yang mengambil tongkat hitam berjumlah 10.000 orang, sedangkan hanya 100 yang mengambil tongkat putih. Raja menganggap bahwa semuanya [mewakili] kata-kata Sang Buddha, tetapi karena berbeda dalam hal yang disenangi mereka seharusnya tidak berbagi tempat tinggal yang sama. Mayoritas yang berlatih dalam [Vinaya] yang lama karenanya disebut ‘Mahāsaṅghika’. Minoritas yang berlatih dalam [Vinaya] yang baru adalah para Sesepuh, sehingga mereka disebut ‘Sthavira’. Juga, Sthavira dibuat, aliran Sthavira.”[131]

“300 tahun setelah wafat-Ku, dari perselisihan ini muncul Sarvāstivāda dan Vātsīputrīya [Puggalavādin]. Dari Vātsīputrīya muncul aliran Dharmottarīya, aliran Bhadrayānika, aliran Saṁmitīya, dan aliran Ṣaṇṇagarika. Aliran Sarvāstivādin memunculkan aliran Mahīśāsaka, Moggaliputtatissa [atau Moggali-upatissa; atau Moggala-upadeśa][132] memulai aliran Dharmaguptaka, aliran Suvarṣaka, dan aliran Sthavira. Lagi muncul aliran Kaśyapīya dan Sautrantika.”

“Dalam 400 tahun muncul aliran Saṁkrāntika. Dari aliran Mahāsaṅghika, 200 tahun setelah Nibbana-Ku, karena tesis lain muncul aliran Vyavahāra, Lokuttara, Kukkulika, Bahuśrutaka, dan Prajñaptivādin.”

“Dalam 300 tahun, karena perbedaan dalam pengajaran, dari 5 aliran ini muncul: aliran  Mahādeva, aliran Caitaka, aliran Uttara [śaila].[133] Demikianlah terdapat banyak [aliran] setelah suatu periode kemunduran yang panjang. Jika tidak seperti ini, akan terdapat hanya 5 aliran, yang masing-masing berkembang.”

Di sini perpecahan secara khusus dianggap berasal dari revisi tekstual dari Vinaya. Ini memiliki kemiripan yang mengejutkan dengan kejahatan Devadatta seperti yang digambarkan dalam Mahāsaṅghika Vinaya. Ia dikatakan telah berusaha memecah belah Sangha dengan membentuk aturan Vinaya baru dan menghapuskan yang lama. Sebagai tambahan, mengenai anga berunsur 9 ia menulis kalimat yang berbeda, kata-kata yang berbeda, susunan kata-kata (味 = vyañjana) yang berbeda, makna yang berbeda. Dengan mengubah semua perkataan, ia mengajarkan masing-masing mengikuti pengulangannya sendiri.[134]

Kisah “kejahatan” Devadatta ini tidak ditemukan di tempat lain, dan sehingga kita harus memiliki di sini suatu ikhtisar singkat dari tema Mahāsaṅghika. Tampaknya bahwa pada suatu taraf tertentu Mahāsaṅghika menjadi sangat khawatir dengan perubahan-perubahan yang dibuat dalam teks-teks Vinaya, dan membutuhkan pengesahan mitos untuk mengutuk proses ini dan menguatkan kembali integritas tradisi mereka sendiri. Seperti yang selalu terjadi, kejahatan yang sama terjadi dalam siklus mereka yang tidak terelakkan, apakah yang dilakukan pada masa Sang Buddha oleh Devadatta dalam perpecahan awal, atau dalam masa yang belakangan oleh bhikkhu yang tidak bernama dari Śāriputraparipṛcchā. Ironi besarnya dari teks ini bahwa, sementara ia mencela penambahan yang belakangan atas Vinaya, ia sendiri merupakan suatu teks belakangan yang membahas dan membuat putusan atas Vinaya. Ini mengingatkan kita pada ironi dari Dīpavaṁsa yang mengkritik tata bahasa yang jelek sementara menggunakan tata bahasa yang jelek juga, dan mengkritik penambahan tekstual sedangkan ia sendiri memasukkan suatu penyisipan dari [aliran] utara.

Salah satu dari banyak ciri menarik dari Śāriputraparipṛcchā adalah pengesahan silsilah Mahāsaṅghika melalui daftar standar dari lima guru Dhamma. Śāriputraparipṛcchā tidak sendirian dalam hal ini, karena daftar patriark yang sama dipertahankan dalam pernyataan penutup Fa-xian dalam terjemahannya atas Mahāsaṅghika Vinaya; hanya setelah Upagupta pemisahan menjadi 5 aliran terjadi.[135] Oleh sebab itu tampaknya bahwa Upagupta diambil sebagai tokoh pelengkap dalam mitos Mahāsaṅghika, karena ia juga ada untuk (Mūla) Sarvāstivādin. Karena Upagupta berkaitan erat dengan Aśoka, ini pasti berarti bahwa perpecahan dipahami terjadi setelah masa Aśoka. Ini bukanlah penyimpangan yang sembarangan dari Śāriputraparipṛcchā, tetapi suatu ciri intrinsik dari struktur mitos.

Juga patut diperhatikan bahwa untaian tradisi belakangan yang diulangi menerima gagasan bahwa perpecahan terjadi setelah masa Aśoka dan mengaitkan hal ini dengan perselisihan antara murid-murid Upagupta. Kita telah mencatat hal ini dalam sejarawan Tibet Tāranātha. Sebuah contoh dalam bahasa Mandari adalah Fa-yun, yang mengatakan bahwa:

Kassapa, Ānanda, Majjhantika, [Śāṇa]vāsin,[136] dan Upagupta: lima guru tersebut, yang menembus sang jalan dengan kekuatan penuh, tidak akan memecah ajaran. Namun, Upagupta memiliki lima murid yang masing-masing memegang pandangan tertentu. Sebagai akibatnya, mereka memecah Vinayapiṭaka tunggal yang agung dari Sang Tathāgata dan mendirikan lima aliran: Dharmagupta… Sarvāstivādin… Kaśyapīya… Mahīśāsaka… Vātsīputrīya… Mahāsaṅghika.[137]

Daftar patriark dalam Śāriputraparipṛcchā dimaksudkan untuk melibatkan karisma Upagupta atas nama Mahāsaṅghika. Sementara kita terutama mengetahui Upagupta dari sumber (Mūla) Sarvāstivādin, ini hanyalah mencerminkan kuantitas dari teks-teks ini. Tidak ada alasan mengapa klaim Mahāsaṅghika atas Upagupta lebih lemah daripada aliran lainnya.

Klaim ini pasti muncul pada suatu masa dan tempat ketika kemashyuran dan nama baik Upagupta berkembang luas. Dengan demikian kita harus melihat ke arah timur laut, mungkin Mathura, dan sesungguhnya Mahāsaṅghika memperlihatkan di sana dalam sebuah prasasti di ibukota singa yang berasal dari abad pertama M.[138] Menurut Lamotte,[139] Mathura memiliki beberapa penguasa pro-Buddhis selama periode Suṅga and Śaka, tetapi tidak sampai periode Kuṣāṇa dari abad ke-2 M kota itu menjadi salah satu pusat Buddhis yang utama. Adalah pada periode ini Lamotte menghubungkan penciptaan legenda di sekeliling Upagupta dan Mathura. Maka kita untuk sementara dapat menyatakan bahwa Śāriputraparipṛcchā disusun sekitar periode ini dalam persaingan dengan (Mūla) Sarvāstivādin, untuk memastikan klaim mereka sebagai pewaris sejati silsilah Upagupta. Namun, kesimpulan ini sangat lemah, karena kurangnya sumber.

Penanggalan Śāriputraparipṛcchā ini sesuai dengan kemunculannya dalam teks tertulis. Teks ini pasti disusun pada waktu ketika teks dituliskan; lebih lanjut, suatu periode waktu yang cukup pasti telah terlewati karena teks ini telah dilupakan ketika tradisi oral masih murni oral. Kisah Maitreya menyembunyikan teks di surga Tusita tidak tertahankan mengingatkan kita tentang kisah yang sama yang diceritakan atas sutra Mahāyāna. Ini pasti dimaksudkan untuk membangkitkan keyakinan dalam transmisi ini, tetapi bagi kita orang modern yang skeptis lebih mungkin untuk melakukan kebalikannya. Tampaknya bahwa lenyapnya dan kemunculan kembali teks-teks itu dimaksudkan oleh penulis Śāriputraparipṛcchā untuk menetapkan latar atas ketidaksepahaman terhadap teks-teks itu. Membacanya sebagai sejarah, teks ini menyatakan bahwa terdapat suatu masa kekacauan, dan ketika tradisi membangun dirinya kembali, terdapat suatu kebingungan tentang keadaan sebenarnya dari kitab suci. Ini mengingatkan kita situasi di Sri Lanka, di mana Tipitaka dituliskan kiranya disebabkan oleh ketidakpastian politik.[140]

Pertanyaan menarik yang dimunculkan oleh teks ini adalah, apakah Vinaya yang diperluas itu? Tentu saja, kita tidak mengetahui apakah kejadian yang disebutkan memiliki landasan historis yang langsung, atau apakah ada jejak dari Vinaya yang diperluas masih tersisa. Sebenarnya semua Vinaya yang kita miliki telah diperluas pada satu tingkatan atau yang lain. Jadi akan sia-sia untuk berharap menemukan dalam teks-teks yang ada sekarang jejak-jejak kejadian yang ditunjukkan dalam Śāriputraparipṛcchā.[141]

Śāriputraparipṛcchā mengatakan secara eksplisit suatu perselisihan atas penyusunan tekstual. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa perselisihan yang demikian menyebabkan perbedaan apa pun dalam praktek Vinaya. Terdapat banyak cara suatu teks Vinaya dapat diperluas tanpa secara signifikan mempengaruhi prakteknya. Sebagai contoh, bisa saja memasukkan kisah Jātaka tambahan (seperti dalam Mūlasarvāstivāda Vinaya), atau penambahan pelengkap atau ringkasan (seperti dalam Parivāra dari Mahāvihāra), atau pengorganisasian kembali teks di sekeliling narasi utama (seperti Skandhaka dari Sthavira Vinaya). Dalam pengertian ini perselisihan yang digambarkan dalam Śāriputraparipṛcchā adalah cermin yang berlawanan dengan Konsili Kedua, di mana teks-teks disetujui tetapi prakteknya berbeda.

Akhirnya kita mencatat sesuatu yang jelas: bahwa Śāriputraparipṛcchā tidak menyebutkan Mahādeva di mana pun. Jika ia benar-benar merupakan guru pendiri Mahāsaṅghika, tidak dapat dibayangkan bahwa kisah Mahāsaṅghika tentang perpecahan menghilangkannya sepenuhnya.

Catatan Xuan-zang tentang Negeri-Negeri Barat (646 M)

Kisah berikut diceritakan oleh Xuan-zang dalam catatan perjalanannya yang terkenal. Di Magadha, 100 tahun setelah Nirvana, terdapat 500 orang Arahat dan 500 orang bhikkhu biasa, yang semuanya dihormati oleh Aśoka tanpa perbedaan. Salah satu dari para bhikkhu biasa itu adalah Mahādeva, yang “... berpengetahuan luas. Di dalam kesendirian ia mencari kemashyuran sejati,[142] dan dengan pemikiran yang mendalam menulis sebuah ulasan, yang namun menyimpang dari ajaran....” Ia membujuk Aśoka dengan alasannya, kemudian para bhikkhu yang baik melarikan diri ke Kaśmīr, menolak untuk kembali walaupun Aśoka memohon kepada mereka. Tidak ada penyebutan Mahāsaṅghika ataupun 5 tesis.[143]

Menariknya, dua pemisahan Sangha di sini terjadi dalam jumlah yang sama, tidak memasukkan penjelasan yang sangat umum (yang ditemukan dalam Mahāvibhāṣā dan tempat-tempat lain) bahwa Mahāsaṅghika disebut demikian karena mereka adalah kelompok mayoritas. Cousins menganggap penjelasan atas nama Mahāsaṅghika dan Sthavira sebagai suatu “mitos yang berdasarkan etimologi rakyat. Jelasnya, Mahāsaṅghika adalah kenyataannya suatu aliran yang mengaku mengikuti Vinaya dari Sangha awal yang tidak terpecah, yaitu mahāsaṅgha. Hal yang sama Theravāda hanyalah ajaran tradisional, yaitu ajaran awal sebelum ia menjadi terpecah ke dalam aliran-aliran pemikiran.[144]

Lamotte menyatakan bahwa penggambarkan Mahādeva kedengarannya lebih mirip Sarvāstivāda daripada Mahāsaṅghika, walaupun ini adalah kesimpulan yang lemah, yang lebih banyak bergantung pada penafsiran 名實 sebagai nāmarūpa yang meragukan. Fakta bahwa para penentangnya melarikan diri ke Kaśmīr seharusnya cukup untuk mengembangkan bahwa Xuan-zang tidak menganggap Mahādeva sebagai Sarvāstivādin. Seperti yang dicatat Lamotte, ini jelas adalah sebuah referensi atas pendirian Sarvāstivāda di Kaśmīr, dalam pertentangan yang menyolok dengan kisah normatif misi Kaśmir oleh Majjhantika, yang juga dicatat oleh Xuan-zang. Mitos tidak pernah semata-mata memungkinkan konsistensi untuk masuk dalam jalan cerita yang baik.

Pujian karakteristik terhadap pengetahuan Mahādeva patut dicatat, dan mungkin suatu ingatan dari misionaris Vibhajjavādin dengan nama yang sama. Ini hanyalah suatu langkah kecil dari sini sampai pada pendapat murid Xuan-zang Kuei Chi.

Kuei Chi (Mahāyāna, 632-682 M)

“Mahādeva adalah seorang bhikkhu dengan reputasi yang besar dan kebajikan yang terkemuka, yang merealisasi buah ketika masih muda.” Ia dituduh melakukan tiga perbuatan jahat dan lima tesis karena iri hati.[145] Perhatikan bahwa Mahādeva dituduh melakukan tiga perbuatan buruk ānantarika. Ini sesuai dengan sumber utama untuk Mahādeva “yang jahat”, Sarvāstivādin Mahāvibhāṣā, di mana kita akan bahas terakhir. Kuei Chi menunjukkan pada kita bahwa tidak pernah skandal Mahādeva diterima tanpa pertanyaan di antara mereka yang ingin bertanya.
« Last Edit: 27 January 2013, 02:04:38 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #16 on: 27 January 2013, 01:07:34 PM »
Catatan Kaki Bab 4:

[102] Lamotte (History of Indian Buddhism, 281) yang diikuti oleh Nattier dan Prebish (213) menyebutkan seorang “Bodhisattva Mahādeva”, tetapi raja besar dari masa lampau ini, yang mengembangkan 4 brahmavihāra, dan yang silsilahnya diikuti oleh 84.000 raja, tentu saja adalah Makhādeva yang terkenal dari MN 83/MA 67/EA 50.4 dan berbagai Jātaka, dst.

[103] Guru yang lainnya adalah Moggaliputtatissa dan Majjhantika.

[104] Kisah penahbisan Mahinda adalah sama dalam teks Pali dan Mandarin, kecuali teks Pali mengatakan ketika ditahbiskan ia menjadi seorang Arahat dengan paṭisambhidā, sedangkan teks Mandarin mengatakan ia memiliki tiga pengetahuan dan enam abhiññā. (Variasi yang sama ditemukan dalam penggambaran Siggava dan Caṇḍavajji dalam CBETA, T24, no. 1462, p. 678, b28-29, cf. Samantapāsādikā 1.36.) Hanya belakangan, teks Pali mengatakan ia mempelajari Dhamma-Vinaya seperti yang dibacakan dalam dua Konsili, “bersama-sama dengan komentarnya”, sedangkan teks Mandarin mengatakan ia mempelajari Sutta dan Vinaya Piṭaka, menghafal Tripiṭaka. (CBETA, T24, no. 1462, p. 682, a13-14.) Kedua perubahan ini dapat dilihat sebagai pencerminan suatu pandangan Theravādin: sementara 3 pengetahuan dan 6 abhiññā adalah standar, paṭisambhidā bersifat marginal dalam sutta-sutta dan aliran lainnya, tetapi penting bagi akar-ulasan Theravādin Paṭisambhidāmagga. Penyebutan anakronistik Mahinda menghafal komentar tidaklah perlu dijelaskan.

[105] Terjemahan sebagian ada di http://www.sacred-texts.com/journals/ia/18sb.htm. Untuk pembahasan, lihat Liang.

[106] Lihat Warder, 209; Cousins, The ‘Five Points’ and the Origins of Buddhist Schools.

[107] 餘人染污衣。 無明疑他度 。聖道言所顯。 是諸佛正教 (CBETA, T49, no. 2033, p. 20, a24-25) Syair ini telah direkonstruksi ke dalam bahasa Pali oleh  Cousins (The ‘Five Points’ and the Origins of Buddhist Schools, catatan 84): parūpahāro aññāṇaṁ / kaṅkhā paravitāraṇā / dukkhāhāro ca maggaṅgaṁ / etaṁ buddhānusāsanaṁ (atau buddhānasāsanaṁ)

[108] Dibahas di http://sectsandsectarianism.googlepages.com/thefirstmahasanghikas

[109] Lamotte, History of Indian Buddhism, 276

[110] 謂因四眾共議大天五事不同 (CBETA, T49, no. 2031, p. 15, a20-21)

[111] Misalnya Nattier and Prebish, 205; Roth, vii; Walser, 45; dst.

[112] Lamotte, History of Indian Buddhism, 283

[113]有一出家外道。捨邪歸正。亦名大天 (CBETA, T49, no. 2031, p. 15, b1-2)

[114] Juga dikenal sebagai Tarkajvālā. Bhavya’s life story at Tāranātha, 186-189186-189. Terjemahan dalam Rockhill, 182-196.

[115] Tahun kejadiannya adalah 160 AN, alih-alih 100 atau 116 dalam Vasumitra; tetapi Bareu berpendapat bahwa 160 hanya kebingungan untuk 116.

[116] Xuan-zang: 二即本上座部。轉名雪山部 (CBETA, T49, no. 2031, p. 15, b10-11) Tetapi Paramārtha hanya memiliki Sthavira:二雪山住部。亦名上座弟子部 (CBETA, T49, no. 2033, p. 20, b10). Kumārajīva memiliki: “…Satu disebut Sarvāstivāda, juga disebut aliaran Hetuvāda, Mūlasthavira. Yang kedua disebut aliran Haimavata. 一名薩婆多。亦名因論先上座部。二名雪山部 (CBETA, T49, no. 2032, p. 18, a24-25). Karena kedua terjemahan bahasa Mandarin lainnya memberikan daftar dua nama untuk masing-masing Sarvāstivādin dan Haimavata, sedangkan Kumārajīva memiliki tiga nama untuk Sarvāstivādin dan hanya satu untuk Haimavata, tampaknya Kumārajīva telah salah memberikan nama alternatif Haimavata, Mūlasthavira, kepada Sarvāstivāda.

[117] Lamotte, History of Indian Buddhism, 281

[118] Mungkin patut dicatat bahwa daftar guru dari Mahāsaṅghika Vinaya juga mengakui seorang yang bernama Nāga (尊者龍覺 CBETA, T22, no. 1425, p. 492, c22-23),  sementara tidak ada yang bernama Mahādeva. Tetapi ini daftar ini sangat panjang dan meragukan, dan nama Nāga sangat umum, sehingga ini dianggap remeh.

[119] Rockhill, 1992, 189

[120] Cousins, On the Vibhajjavādins, 158

[121] Tāranātha, 80

[122] Semua yang kita punyai adalah empat ulasan dalam terjemahan bahasa Mandarin: dua karya Abhidhamma yang sama (T1506, T1505), sebuah pembahasan ajaran utama mereka (T1649), dan sebuah ringkasan Vinaya (T1461). Lihat Chau.

[123] 舍利弗問經 , CBETA, T24, no. 1465. Terjemahan bahasa Inggris ada di santipada.googlepages.com.

[124] Dalam kasus apa pun, ini bukanlah suatu “Mahāsaṅghika Abhidharma” seperti yang digambarkan dalam Nattier dan Prebish, 207.

[125] 在此時中應行此語。在彼時中應行彼語 (CBETA, T24, no. 1465, p. 900, a10-11)

[126] Ini membuat kesulitan untuk kerangka waktu narasi, khususnya dalam bahasa Mandarin, maka saya berusaha menggunakan “masa kini secara historis”.

[127] 輸柯 shu-ke = Aśoka

[128] 總聞. Seseorang tertentu bernama Bahuśruta  disebutkan dalam Vasumitra sebagai pemimpin dari tiga atau empat kelompok yang membahas lima tesis di Pāṭaliputta pada masa Aśoka. Karakter pertama di sini tidak secara biasa diterjemahkan sebagai bahu, dapat berarti juga sarva, dst. Sementara kisah ini diceritakan berasal dari masa yang berbeda, ini mungkin bahwa nama-nama ini telah bergabung, atau mungkin hanya orang yang berbeda.

[129]為求學來難. Sebuah frase yang tidak jelas. Sasaki menerjemahkan: “Sebagai akibatnya, ini menjadi sulit untuk datang belajar”. (Sasaki 1998, 31, cf. catatan 43.)

[130] 時. Ini hanyalah karakter biasa yang mewakili kata Pali ‘atha kho…’ atau yang mirip. Sementara Lamotte dan Prebish telah menyatakan kronologi Śāriputraparipṛcchā membingungkan, Sasaki (1998, 33) setuju bahwa teks ini dengan terus terang menempatkan perpecahan setelah Puṣyamitra.

[131]為他俾羅也。他俾羅部 (CBETA, T24, no. 1465, p. 900, b28) Ini tidak jelas; teks ini menggunakan dua istilah untuk Sthavira, terjemahan上座 dan transliterasi 他俾羅.

[132]目揵羅優婆提舍 (mu-qian-luo you-po-ti-she) (CBETA, T24, no. 1465, p. 900, c3). Teks tidak jelas, tetapi tampaknya mengatakan bahwa Moggaliputtatissa hanya memulai aliran Dharmaguptaka, walaupun ini dapat dibaca menyatakan ia juga memulai aliran Suvarṣaka dan Sthavira.

[133]末多利

[134] CBETA, T22, no. 1425, p. 281, c12-21. Translation in Walser, 100.

[135] CBETA, T22, no. 1425, p. 548, b10-15

[136] 和修 bukanlah Vasuki, seperti yang dimiliki Lamotte and CBETA. Śāṇavāsin umumnya dilafalkan sebagai  商那和修 contohnya CBETA, T41, no. 1822, p. 493, a12; CBETA, T14, no. 441, p. 310, c10-11; CBETA, T46, no. 1912, p. 146, a4.

[137] Fa-yun at T 2131, 4.1113a22-b19, translation Lamotte, History of Indian Buddhism, 176

[138] Lamotte, History of Indian Buddhism, 525

[139] Lamotte, History of Indian Buddhism, 331

[140] Walaupun Mahāvaṁsa sendiri mengatakan disebabkan oleh “kemunduran para makhluk”, apa pun itu artinya; ini kelihatannya menunjuk pada gagasan Buddhis yang umum atas kemunduran kemampuan spiritual orang-orang.

[141] Namun demikian, saya mempertimbangkan beberapa pilihan dalam http://sectsandsectarianism.googlepages.com/sekhiyarulesreconsidered

[142] 幽求名實. Lamotte menerjemahkan ini sebagai “seorang penyelidik yang halus atas Nāma-Rūpa (sic)” (Lamotte, History of Indian Buddhism, 280), yang rupanya merasa tidak nyaman dengan penggunaan 實untuk rūpa; kenyataannya istilah ini berarti “kebenaran, kenyataan”, dan biasanya menunjuk pada kata India demikian seperti tattva, bhūta, satya, dravya, paramārtha, dst. Beal menerjemahkan: “Dalam pengasingannya ia mencari kemashyuran sejati” (Beal, 1983, 1.150), yang merupakan suatu ingatan yang menenangkan dari fleksibilitas di mana beberapa frase bahasa Mandarin yang dapat diterjemahkan. Setelah konsultasi dengan Rod Bucknell, saya mengikuti Beal, walaupun ini bergantung pada pembacaan teks sebagai 幽求實名. Tetapi frase ini terlalu tidak pasti untuk diandalkan.

[143] CBETA, T51, no. 2087, p. 886, b14

[144] Cousins, The Five Points and the Origins of the Buddhist Schools, 57.

[145] 遂為時俗所嫉 謗之以造三逆 加之以增五事 (CBETA, T43, no. 1829, p. 1, b3-4) Teks memberikan terjemahan lain dari syair yang merangkum lima poin. (CBETA, T43, no. 1829, p. 1, b4-5)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #17 on: 27 January 2013, 02:47:38 PM »
Bab 5
Tiga Perbuatan Salah dan Lima Tesis

SARVĀSTIVĀDIN MAHĀVIBHĀṢĀ DISUSUN, menurut legenda, oleh sekelompok 500 orang Arahat di Kaśmīr pada masa raja Kaniṣka; kenyataannya teks ini pasti setelah Kaniṣka dan setelah abad ke-2 M. penciptaan bangunan besar komentar yang mengagumkan ini menandai upaya yang berani oleh cabang Kaśmīr dari Sarvāstivādin untuk mengembangkan dirinya sebagai aliran utama dari Buddhisme yang mengikuti perlindungan Kaniṣka. Teks ini mencurahkan sebuah bagian yang panjang untuk menjelaskan “5 poin”, yang berikutnya menceritakan kisah Mahādeva:

Setelah menjelaskan 5 pandangan salah dan meninggalkannya, maka bagaimana mereka mengatakan 5 poin ini muncul? Mereka mengatakan 5 poin muncul karena Mahādeva.

Di masa lampau terdapat seorang pedagang dari Mathura. Ia memiliki seorang istri muda yang cantik yang melahirkan seorang putra. Wajahnya sangat menawan, maka mereka menamakannya Mahādeva. Tidak lama setelah itu, sang pedagang membawa banyak kekayaan dan pergi ke sebuah negeri yang jauh. Di sana ia sibuk berdagang selama waktu yang lama tanpa kembali. Ketika putranya tumbuh dewasa ia melakukan hubungan tidak senonoh dengan ibunya. Setelah itu, mendengar bahwa ayahnya sedang kembali, pikirannya menjadi takut. Dengan ibunya ia membuat rencana, kemudian membunuh ayahnya. Demikianlah ia melakukan satu perbuatan salah ānantarika.

Perbuatan itu perlahan-lahan diketahui. Maka dengan membawa ibunya mereka bersiap-siap untuk melarikan diri dan bersembunyi di Pāṭaliputta. Di sana ia bertemu dengan seorang bhikkhu Arahat, yang telah ia berikan persembahan di negerinya sendiri. Lagi ia takut perbuatannya akan terungkap, dan maka ia membuat rencana dan membunuh bhikkhu itu. Demikianlah ia melakukan perbuatan salah ānantarika yang kedua.

Pikirannya menjadi sedih dan khawatir. Belakangan ia melihat ibunya melakukan persetubuhan dengan orang lain. Maka dengan marah ia mengatakan: “Untuk kepentinganmu aku telah melakukan dua kesalahan berat. Kita telah pindah ke negeri lain, dan masih tidak menemukan ketenangan. Sekarang engkau telah meninggalkanku dan menyenangkan dirimu sendiri dengan laki-laki lain! Bagaimana aku dapat menahan perbuatan-perbuatan kotor darimu!” Kemudian dengan cara yang sama ia membunuh ibunya. Demikianlah ia melakukan perbuatan salah ānantarika yang ketiga.

Tetapi tidak ada pemotongan dari kekuatan akar kebajikan karena alasan itu, maka ia menjadi sangat bersedih dan tidak dapat tidur dengan tenang, [dengan berpikir]: “Bagaimana seseorang dapat melenyapkan kesalahan berat diri sendiri?” Ia mendengar didesas-desuskan bahwa para pertapa, putra dari Sakya, mengajarkan sebuah Dhamma untuk melenyapkan kesalahan masa lalu. Kemudian ia pergi ke vihara Kukkuṭārāma. Di luar pintu gerbang ia melihat seorang bhikkhu yang sedang berlatih meditasi berjalan, dengan melantunkan syair berikut:

“Jika seseorang melakukan kesalahan yang berat
Dengan melakukan kebajikan, ia membuatnya berakhir
Kemudian orang itu menyinari dunia
Bagaikan bulan yang muncul dari awan.”

Ketika ia mendengar hal ini, hatinya melompat kegirangan, mengetahui bahwa dengan berlindung dalam agama Buddha ia pastinya akan mengakhiri kesalahan itu. Maka ia mendekati bhikkhu itu dan sangat ingin meminta penahbisan. Kemudian bhikkhu itu, ketika ia melihatnya memohon dengan percaya diri, memberikan penahbisan kepadanya tanpa bertanya dengan hati-hati. Ia mengizinkannya untuk tetap memakai nama Mahādeva dan memberikannya ajaran.

Mahādeva cerdas, sehingga tidak lama setelah penahbisan ia dapat mengulangi dari ingatannya seluruh Tripitaka dalam huruf dan maknanya. Ucapannya pintar dan terampil, sehingga ia dapat mengajar, dan semua orang di Pāṭaliputta tanpa kecuali menganggapnya sebagai pembimbing mereka. Raja mendengar hal ini dan sering memanggilnya ke dalam istana, memberikan persembahan kepadanya dan meminta ajaran Dhamma.

Setelah meninggalkan istana, ia pergi untuk tinggal di vihara. Karena pemikiran tidak lurus, dalam mimpi ia mengeluarkan kekotoran [ejakuasi]. Namun, sebelumnya ia telah dipuji sebagai seorang Arahat. Kemudian ia meminta salah seorang muridnya untuk membersihkan jubahnya yang kotor. Sang murid berkata: “Seorang Arahat telah melenyapkan semua āsava.[146 Jadi bagaimana guru sekarang masih mengizinkan hal ini terjadi?” Mahādeva menjawab: “Ini adalah perbuatan onar Māra Devaputta, kamu tidak seharusnya berpikir ini aneh. Terdapat, secara singkat, dua jenis pengeluaran āsava. Yang pertama adalah kekotoran batin. Yang kedua adalah kekotoran [fisik]. Arahat tidak memiliki kekotoran batin āsava. Tetapi bahkan mereka tidak dapat menghindari mengeluarkan āsava kekotoran. Untuk alasan apakah? Walaupun seorang Arahat telah melenyapkan semua kekotoran, bagaimana mungkin mereka tidak memiliki zat-zat seperti air mata, ludah, dan seterusnya? Lebih lanjut, semua Māra Devaputta terus-menerus iri dan membenci Buddhisme. Ketika mereka melihat seseorang berlatih kebajikan, mereka oleh sebab itu akan mendekat untuk menghancurkannya. Mereka bahkan akan melakukan hal ini kepada para Arahat, inilah sebabnya mengapa aku mengeluarkan kekotoran. Itulah apa yang terjadi, maka sekarang kamu tidak seharusnya memiliki sebab untuk keragu-raguan.” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang pertama”.

Lagi bahwa Mahādeva ingin mengajarkan para muridnya untuk bergembira dalam keterikatan personal [padanya]. Ia dengan salah menetapkan suatu sistem dengan penjelasan perlahan-lahan atas 4 buah pertapaan. Kemudian muridnya bersujud dan berkata: “Semua Arahat memiliki kebijaksanaan pencerahan. Bagaimana mungkin kami semua tidak tahu diri kami sendiri?” Kemudian ia menjawab demikian: “Semua Arahat memiliki ketidaktahuan. Kalian sekarang seharusnya tidak kehilangan keyakinan atas diri kalian sendiri. Dikatakan bahwa semua ketidaktahuan dapat dirangkum dalam dua jenis. Yang pertama adalah yang mengotori; Arahat tidak memiliki ketidaktahuan ini. Yang kedua adalah yang tidak mengotori, di mana Arahat masih memilikinya. Oleh sebab itu kalian tidak dapat mengetahui diri kalian sendiri.” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang kedua”.

Kemudian semua murid kembali dan berkata: “Kami baru saja mendengar bahwa seorang mulia telah melampaui keragu-raguan. Bagaimana kami masih memiliki keragu-raguan tentang kebenaran?” Kemudian lagi ia berkata: “Semua Arahat masih memiliki keragu-raguan. Keragu-raguan ada dua jenis. Yang pertama adalah kecenderungan yang melekat pada keragu-raguan; Arahat telah meninggalkan hal ini. Yang kedua adalah keragu-raguan tentang kemungkinan dan ketidakmungkinan;[147] seorang Arahat belum meninggalkan hal ini. Bahkan para Pacceka Buddha adalah sama dalam hal ini yang juga terjadi pada kalian para murid, walaupun mereka tidak memiliki keragu-raguan yang disebabkan oleh kekotoran yang berkaitan dengan kebenaran. Maka mengapa kalian masih memandang rendah diri kalian sendiri?” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang ketiga”.

Setelah itu para murid itu membaca sutta-sutta, yang mengatakan seorang Arahat memiliki mata kebijaksanaan yang mulia, dan dapat merealisasinya bagi diri sendiri berkaitan dengan pembebasan seseorang. Karena alasan ini mereka berkata kepada guru mereka: “Jika kami adalah Arahat kami seharusnya merealisasi untuk diri sendiri. Dan jadi mengapa [sebagai contoh] guru ketika memasuki kota tidak terlihat memiliki kecerdasan untuk merealisasi sendiri [apa jalan benar yang harus diambil]?” Kemudian lagi ia berkata: “Seorang Arahat masih belajar dari orang lain, dan tidak dapat mengetahui dengan sendirinya. Sebagai contoh, Sāriputta adalah yang terkemuka dalam kebijaksanaan; Mahāmoggallāna adalah yang terkemuka dalam kekuatan batin. Tetapi jika [kata-kata] Sang Buddha tidak diingat, mereka tidak dapat mengetahui hal ini dengan sendirinya.[148] Inilah suatu keadaan ketika seseorang dapat belajar dari orang lain dan kemudian ia sendiri akan mengetahui. Oleh sebab itu mengenai hal ini kalian tidak seharusnya berselisih.” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang keempat”.

Tetapi Mahādeva, walaupun ia telah melakukan sejumlah besar kejahatan, tidak memotong dan menghentikan semua akar bermanfaat sebelumnya. Setelah itu sendirian di tengah malam kesalahannya membebaninya [dengan berpikir]: “Di tempat apakah aku akan mengalami semua penderitaan yang hebat itu?” Merasa tertekan dan takut, ia seringkali berteriak: “Oh, betapa menderitanya!” Murid pelayannya mendengar teriakan itu dan terkejut. Di pagi hari ia berkunjung dan bertanya: “Bagaimana kabar anda hari-hari ini?” Mahādeva menjawab: “Aku sangat berbahagia.” Sang murid lanjut bertanya: “Tadi malam apakah anda berteriak ‘Oh, betapa menderitanya!’” Ia kemudian menjawab: “Aku meneriakkan jalan mulia – kamu tidak seharusnya berpikir ini aneh. Dikatakan bahwa jika seseorang tidak melakukannya dengan penuh kesungguhan meminta penderitaan yang mendatangi [seluruh] kehidupan [seseorang], maka jalan mulia tidak akan muncul. Itulah sebabnya tadi malam aku seringkali berteriak ‘Oh, betapa menderitanya!’” Itulah yang disebut “munculnya pandangan salah yang kelima”.

Setelah itu, Mahādeva mengumpulkan dan mengajarkan 5 pandangan salah ini. Ia membuat syair ini:

Orang lain membawa [kekotoran untuk mengotori jubah];
Ketidaktahuan; keragu-raguan; ia belajar dari orang lain;
Sang jalan disebabkan oleh suatu ucapan:
Inilah yang disebut dispensasi Buddha yang sejati.[149]

Setelah itu, para bhikkhu sesepuh di vihara Kukkuṭārāma satu demi satu meninggal dunia. Pada hari ke-15, datanglah waktunya untuk uposatha.[150] Pada giliran ini Mahādeva mengambil tempat duduk untuk mengajarkan sila. Kemudian ia membacakan syair yang telah ia buat. Pada waktu itu dalam perkumpulan itu terdapat siswa yang masih berlatih dan sudah tidak berlatih lagi yang sangat terpelajar, kokoh dalam sila, dan mengembangkan jhana. Ketika mereka mendengar ajaran itu, tanpa kecuali mereka terkejut dan keberatan. Mereka mengkritik bahwa hanya orang bodoh yang membuat pernyataan yang demikian, dengan mengatakan: “Ini tidak ditemukan dalam Tripitaka!” Mereka segera membuat kembali syair yang berbunyi demikian:

Orang lain membawa [kekotoran untuk mengotori jubah];
Ketidaktahuan; keragu-raguan; ia belajar dari orang lain;
Sang jalan disebabkan oleh suatu ucapan:
Apa yang kamu katakan bukanlah dispensasi Buddha!

Kemudian sepanjang malam dipenuhi dengan perdebatan yang membuat gaduh, sampai akhirnya kelompok-kelompok muncul. Di dalam kota, berita ini tersebat sampai ke menteri negara. Masalah ini perlahan-lahan menyebar, dan tidak akan berhenti. Raja mendengar dan secara pribadi datang ke vihara, tetapi masing-masing kelompok bersikukuh pada pembacaannya sendiri. Kemudian raja, mendengar hal ini, ia sendiri mulai ragu-ragu. Ia bertanya kepada Mahādeva: “Pihak manakah yang harus kita percayai?” Mahādeva berkata kepada raja: “Dalam kitab aturan dikatakan untuk menyelesaikan masalah, seseorang seharusnya bergantung pada apa yang dikatakan mayoritas.” Raja kemudian memerintahkan kedua kelompok Sangha untuk berdiri terpisah. Kelompok orang mulia, walau tua dalam usia, berjumlah sedikit. Kelompok Mahādeva, walau muda dalam usia, berjumlah banyak. Raja kemudian mempercayai kelompok Mahādeva, karena mereka adalah mayoritas, dan menekan kelompok yang lain. Ketika ini telah diselesaikan ia kembali ke istana.

Pada waktu itu, di vihara Kukkuṭārāma masih ada perdebatan terbuka yang tidak dapat dipadamkan dengan mereka yang berpandangan lain, sampai terdapat pemisahan menjadi dua kelompok: yang pertama adalah aliran Sthavira;[151] yang kedua adalah aliran Mahāsaṅghika.

Pada waktu itu semua orang mulia, mengetahui bahwa komunitas [Sangha] sedang berargumentasi, meninggalkan vihara Kukkuṭārāma, berkeinginan untuk pergi ke tempat lain. Ketika para menteri mendengar hal itu, mereka segera memberitahukan raja. Raja, mendengar hal ini, menjadi marah, dan memerintahkan para menterinya: “Bawa mereka semua ke sungai Gangga. Masukkan mereka ke dalam perahu yang rusak dan apungkan mereka pada arus sungai agar tenggelam. Maka kita akan mengetahui siapakah yang adalah orang mulia, dan siapakah yang adalah orang biasa!” Menteri itu dengan patuh menjalankan perintah raja dan melaksanakannya. Kemudian semua orang mulia naik ke atas dengan kekuatan batin, sama seperti seekor raja angsa yang terbang di udara, dan mereka pergi. Sekembalinya, mereka menggunakan kekuatan batin mereka untuk membawa yang lain di perahu yang bersamanya mereka meninggalkan vihara Kukkuṭārāma, dan yang tidak memiliki kekuatan batin. Menunjukkan keajaiban, mereka membuat berbagai wujud. Kemudian mereka berjalan melalui udara menuju barat laut dan pergi.

Ketika raja mendengar dan melihat hal ini, ia sangat menyesal. Ia pingsan dan jatuh ke tanah. Mereka memerciki air kepadanya, dan barulah ia sadar. Dengan segera ia mengirimkan para pengiring untuk mengikuti [para Arahat] ke mana mereka pergi. Seorang menteri kembali setelah menemukan mereka tinggal di Kaśmīr. Tetapi ketika Sangha diminta untuk kembali, semuanya menolak permintaan yang bersikeras itu. Raja kemudian memberikan seluruh Kaśmīr, membangun sebuah vihara untuk para orang mulia tinggal. Setiap vihara dinamakan sesuai dengan berbagai bentuk yang diubah yang sebelumnya diwujudkan oleh masing-masing [ketika melarikan diri]. Dikatakan bahwa terdapat 500 “Vihara Angsa”. Lagi ia mengirimkan seorang utusan dengan banyak kekayaan untuk mengatur kebutuhan materi mereka dan persembahan. Karena hal ini, tanah tersebut sampai sekarang memiliki banyak makhluk suci yang menegakkan Buddha Dhamma, yang telah diturunkan sejak saat itu sampai saat ini dan masih berkembang.

Setelah raja Pāṭaliputta telah kehilangan komunitas tersebut, membawa yang lain ia pergi memberikan persembahan kepada Sangha di vihara Kukkuṭārāma.

Setelah itu, Mahādeva kadangkala pergi ke dalam kota, di mana terdapat seorang peramal. [Mahādeva] bertemu dengannya; [sang peramal] melihatnya, dan secara diam-diam meramalkan bahwa:[152] “Sekarang putra Sakya ini pasti akan meninggal setelah tujuh hari.” Ketika para murid [Mahādeva] mendengar, mereka menjadi tertekan dan berkata [kepada Mahādeva]. Ia menjawab: “Aku telah mengetahui hal ini sejak lama.” Kemudian ia kembali ke vihara Kukkuṭārāma dan mengirim para muridnya untuk menyebarluaskan dan memberitahukan raja dan semua perumah tangga yang kaya di Pāṭaliputta: “Setelah tujuh hari pengasingan diri aku akan memasuki Nibbana.” Ketika mereka mendengar, raja dan semuanya tanpa kecuali mulai meratap.

Ketika tujuh hari telah tercapai, kehidupannya berakhir. Raja dan semua penduduk kota dipenuhi kesedihan dan penyesalan. Mereka membawa kayu bakar wangi, bersama dengan banyak minyak, bunga dan persembahan. Mereka menumpukkannya di satu tempat untuk membakarnya. Tetapi ketika mereka menyalakan api di sana, api langsung padam. Berkali-kali mereka mencoba dalam berbagai cara, tetapi tidak dapat membuatnya terbakar. Dikatakan bahwa seorang peramal berkata kepada orang-orang: “Ini tidak akan terbakar dengan barang-barang kremasi berkualitas bagus ini. Kita harus menggunakan kotoran anjing dan olesan kotoran.” Setelah mengikuti nasehat ini, api segera menyala, dengan seketika membakar dan menjadi abu. Angin kuat bertiup dan menyebarkan sisa-sisanya. Ini karena ia sebelumnya telah membuat pandangan-pandangan salah tersebut. Semua yang memiliki kebijaksanaan seharusnya tahu melenyapkan pandangan-pandangan salah.[153]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #18 on: 27 January 2013, 02:51:27 PM »
Kisah ini hanya ditemukan dalam Mahāvibhāṣā (T 1545) yang besar dan tidak dalam terjemahan Vibhāṣā lebih awal oleh Buddhavarman (T 1546).[154] Tetapi siapa yang dapat menolak kisah yang begitu mengerikan ini? Ini menjadi versi definitif, dan lebih jauh diuraikan, misalnya oleh Paramārtha pada abad keenamm, dan diambil oleh kebanyakan kisah bahasa Mandarin yang belakangan.

Terdapat sejumlah poin yang dibuat di sini. Yang pertama kita melihat bahwa teks ini secara eksplisit dihadirkan sebagai suatu tambahan pada pembahasan dasar tentang 5 poin. Berikutnya kita melihat bahwa kisah ini tampaknya berkembang sebagai mitos asal mula yang sudah berkembang. Seperti mitos lainnya, ini mungkin berasal dari sejumlah sumber. Lamotte melihat kisah Aśokavadāna tentang seorang bhikkhu jahat pada masa Upagupta sebagai sebuah sumber yang mungkin.[155] Kenyataanya kebanyakan unsur dari kisah Mahāvibhāṣā dapat dikumpulkan dari unsur-unsur yang sudah ada yang tersedia bagi para penulis Kaśmīr: kisah Upagupta dan bhikkhu jahat yang tidak bernama dari Aśokavadāna memberikan konteks narasinya; warisan Vibhajjavādin yang digunakan bersama dalam Kathāvatthu tentang lima poin, dalam substansi dan urutannya; Vasumitra untuk detail dasar atas perpecahan. Ini dicampur dengan takaran perkembangan sastra, mitos, dan satire yang bagus: kremasi Mahādeva tampaknya adalah parodi dari kremasi Sang Buddha, dengan api kremasi yang tidak dapat menyala, dst.

Detail sisanya yang tidak dapat saya jelaskan dari sumber India adalah motif pembunuhan ayah oleh putranya yang tidur dengan ibunya. Ini tidak ditemukan, sejauh yang saya tahu, dalam mitos India lebih awal mana pun. Kita mencatat bahwa Kaśmīr di bawah pengaruh Yunani dan kadangkala pemerintahan selama beberapa abad sebelum penyusunan Mahāvibhāṣā, dan bahwa beberapa referensi dalam sumber-sumber Yunani pada pertunjukan drama Yunani di Asia. Teater Yunani telah ditemukan dalam penggalian di dekat Bactria, tetapi belum di Kaśmīr.[156] Kemungkinan berpendapat bahwa motif “Oedipal” ini muncul dari pengaruh Yunani.

Motif untuk pembuatan mitos kelihatannya cukup jelas. Penyusunan Mahāvibhāṣā biasanya dianggap pada masa kekuasaan Kaṇiṣka, walaupun kenyataannya ini pasti telah diselesaikan belakangan, karena namanya disebutkan dalam teks itu sendiri sebagai seorang raja dari masa lampau. Tidak diragukan lagi bahan sumber menjangkau suatu periode waktu yang lama, kebanyakan sekitar 500-600 AN. Penyusunan ini menandai upaya berani oleh Vaibhāṣika Kaśmīr untuk memastikan diri mereka sendiri sebagai aliran doktrinal Buddhisme yang terkemuka, dan mengembangkan penafiran mereka sebagai “ortodoks terhadap yang dinilai oleh lainnya” dan dalam taraf yang besar mereka berhasil. Satu masalah yang jelas adalah bahwa Kaśmīr sangat jauh dari daerah penting Buddhis, dan tidak menonjol dalam kisah Buddhis awal mana pun. Sama awalnya dengan Konsili Kedua (100 AN), Vajjiputtaka memastikan keunggulan mereka karena para Buddha semuanya tinggal di negeri sebelah timur.[157] Dengan demikian Vaibhāṣika, yang mengetahui mereka tidak dapat mengklaim keaslian sebagai suatu aliran dari masa Sang Buddha, memerlukan yang terbaik yang berikutnya: sebuah perkumpulan para Arahat yang langsung terbang dari jantung kerajaan Buddhis terbesar sesungguhnya.

Sementara raja tidak disebutkan namanya, tampaknya mungkin bahwa raja itu adalah Aśoka. Teks ini berbicara dari tradisi yang sama seperti Vasumitra, dan tanpa memperhatikan apakah “Vasumitra” dari ulasan itu sama dengan “Vasumitra” yang dihubungkan dengan penyusunan Mahāvibhāṣā, tampaknya tidak mungkin bahwa para penulis Mahāvibhāṣā yang terpelajar tidak mengetahui kisah Vasumitra. Oleh sebab itu dengan mengikuti Vasumitra mereka mungkin menghubungkan kejadian ini dengan Aśoka.

Isi bacaan ini, walaupun tidak tegas, cenderung mendukung kronologi ini. Sejauh yang kita ketahui, Aśoka adalah satu-satunya raja Pāṭaliputta yang secara eksplisit berhubungan dengan misi ke Kaśmīr. Lebih jauh lagi, ia digambarkan mendanakan semua Kaśmīr dan, selain sifat kepatuhan yang berlebihan, Aśoka mungkin hanya satu-satunya raja Pāṭaliputta yang kekuasaannya menjangkau sangat jauh. Alasan penghilangan namanya tidak sulit ditemukan. Bacaan ini diberikan sebagai suatu pengisahan kembali kisah dari sumber lain. Kiranya dalam konteks aslinya identitas sang raja jelas dan para penulis Mahāvibhāṣā mungkin menganggap ini akan dimengerti. Walaupun demikian, meskipun kita dapat setuju dengan menghubungkan episode ini pada kekuasaan Aśoka, kenyataannya bahwa teks ini tidak memberikan waktunya yang berarti bahwa teks ini tidak dapat menjadi sebuah bukti tersendiri dalam mendukung kronologi Vasumitra.

Walaupun kemarahan raja yang sementara, ia segera menjadi lunak dan secara pribadi membangun vihara-vihara di seluruh Kaśmīr, sedangkan mereka (Mahāsaṅghika) yang masih ada di negeri lama tidak murni dan tidak berharga. Sementara kita tidak seharusnya menganggap polemik ini dengan sangat serius, terdapat suatu taraf kebenaran dalam perkataan pedas ini, karena adalah biasa bahwa tradisi yang telah lama berkembang, khususnya dengan sokongan kerajaan, cenderung menjadi merosot, dan gerakan reformasi memiliki lebih banyak kesempatan untuk hidup, bereksperimen, dan tumbuh di wilayah-wilayah luar.

Kisah penggambaran bagaimana lima tesis dirumuskan memiliki cincin realitas. Dalam pengalaman saya, adalah umum bahwa ketika para bhikkhu tinggal dekat dengan seorang guru besar, mereka biasanya akan meyakini ia adalah seorang Arahat, dan tidak dapat dielakkan pertanyaan-pertanyaan muncul atas perilakunya. Beberapa contoh acak yang telah saya dengar pada masa saya sebagai seorang bhikkhu: Dapatkah seorang Arahat merokok? Dapatkah seorang Arahat berjalan ke dalam aula menepuk seekor anjing dan lupa untuk membersihkan kakinya? Dapatkah seorang Arahat menangis selama kotbah Dhamma? Dapatkah seorang Arahat mengumumkan pencapaiannya – di TV? Dapatkah seorang Arahat menderita Alzheimer? Dapatkah seorang Arahat mengungkapkan dukungan bagi seorang calon perdana menteri yang ternyata sangat korup? Dan bukan tidak mungkin – dapatkah seorang Arahat memiliki mimpi basah? Ini muncul persis dalam jenis konteks kehidupan nyata yang digambarkan dalam kisah Mahāvibhāṣā tentang Mahādeva, dan saya berpikir ini sangat mungkin bahwa kejadian ini mewakili jenis konteks yang di dalamnya pertanyaan-pertanyaan ini muncul dan menjadi kontroversial. Ini sangat sejalan dengan bagaimana familiarnya pertanyaan-pertanyaan ini diperlakukan dalam sutta-sutta:

“Di sini, Sandaka, beberapa guru mengaku mengetahui semuanya dan melihat semuanya, memiliki pengetahuan dan penglihatan sempurna demikian: ‘Apakah aku berjalan atau berdiri atau tidur atau sadar, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tidak terhalangi muncul padaku.’ Ia memasuki sebuah rumah kosong, ia tidak mendapatkan dana makanan, seekor anjing menggigitnya, ia bertemu dengan seekor gajah liar, seekor kuda liar, seekor banteng liar, ia bertanya nama dan marga seorang wanita atau pria, ia bertanya nama sebuah desa atau kota, dan jalan menuju ke sana. Ketika ia ditanyai ‘Bagaimana ini?’ ia menjawab: ‘Aku harus masuk ke sebuah rumah kosong, itulah sebabnya aku memasukinya. Aku harus tidak mendapatkan dana makanan, itulah sebabnya aku tidak mendapatkan dana makanan. Aku harus digigit oleh seekor anjing... Aku harus bertemu dengan seekor gajah liar, seekor kuda liar, seekor banteng liar... Aku harus bertanya nama... Aku harus bertanya jalan menuju ke sana, itulah sebabnya aku bertanya’.”[158]

Situasi-situasi demikian akan umum di India kuno seperti halnya pada saat ini, dan kisah Mahāvibhāṣā dengan realistis menunjukkan bagaimana pertanyaan-pertanyaan demikian dapat muncul dalam konteks lima poin.

Kisah di balik poin 2-4, yang berhubungan dengan jenis pengetahuan yang seharusnya dimiliki seorang Arahat, juga tampak bagi saya adalah suatu konteks yang realistis. Mahādeva membuat suatu sistem di mana ia dapat menilai dan menjamin pencapaian para muridnya, dengan membuat Mahādeva dan para muridnya bergantung satu sama lain dalam sejenis pijatan-ego bersama. Jenis hubungan guru/murid yang simbotik ini adalah umum dalam lingkaran spiritual, dan juga umum dalam Buddhisme modern sehingga ini akan ditemani oleh suatu sistem yang memeriksa berbagai pencapaian konsentrasi atau kebijaksanaan. Tidak jarang, para murid sendiri sebenarnya meragukan klaim ini: saya sendiri dalam situasi ini. Keseluruhan konteks ini memancing pertanyaan terhadap kepercayaan bahwa lima tesis ini dimaksudkan sebagai kritik terhadap Arahat. Penafsiran ini telah dipertanyakan Cousins berdasarkan Kathāvatthu, yang berargumen bahwa apa yang dikritik adalah jenis Arahat tertentu, yaitu mereka yang tanpa kekuatan batin. Mahādeva sendiri dianggap sebagai seorang Arahat; dengan mempertimbangkan karakternya dalam kisah ini, tidak mungkin kasusnya bahwa ia mengkritik dirinya sendiri. Ataupun ia tidak mengkritik para pengikutnya. Ia semata-mata menunjukkan bahwa Kearahatan bukanlah kemahatahuan, tetapi hanya berhubungan dengan pengetahuan spiritual yang membebaskan. Sementara seseorang dapat setuju atau tidak setuju dengan penafsiran tertentu ini, kedudukan umum ini tidak berbeda dari aliran Buddhis lainnya. Juga sering dinyatakan bahwa lima tesis meratakan jalan untuk munculnya cita-cita Bodhisattva dan gagasan belakangan tentang “Arahat yang mementingkan diri sendiri”. Sementara mungkin terdapat sesuatu dalam hal ini, tidak ada petunjuk perkembangan yang demikian pada tahap ini. Masalah sebenarnya tampaknya tidak sebanyak masalah teoritis tertentu dengan Kearahatan, tetapi penyalahgunaan otoritas spiritual. Penyesuaian dengan suatu sistem yang dinilai secara eksternal, alih-alih realisasi dari dalam, menjadi standar di mana perkembangan spiritual dinilai.

Satu poin yang menarik dalam kisah di atas adalah bahwa Mahādeva pertama kali mengumumkan ajaran menyimpangnya dalam bentuk sebuah syair yang dibacakan setelah pembacaan dua minggu sekali dari pāṭimokkha. Adalah kebiasaan para bhikkhu dan bhikkhuni untuk datang bersama-sama setiap dua minggu untuk berbagi dalam pembacaan bersama atas aturan monastik mereka. Dalam Mahāpadāna Sutta, pembacaan ini – walaupun dalam konteks seorang Buddha masa lampau – diberikan sebagai syair-syair yang terkenal yang dikenal sebagai “Ovāda Pāṭimokkha”. Tampaknya mungkin bahwa pembacaan beberapa dari syair-syair yang demikian membentuk pāṭimokkha  pertama. Dalam setiap kasus, ini masih ada – dan sesungguhnya memang masih ada – kebiasaan Sangha untuk menyertakan daftar kering aturan Vinaya dengan beberapa syair inspirasi, yang biasanya termasuk “Ovāda Pāṭimokkha”.[159] Beberapa syair ini berakhir dengan pernyataan yang terkenal bahwa: “Inilah ajaran para Buddha”, dan syair-syair tertentu ini kenyataannya ditemukan dalam teks pāṭimokkha Sanskrit dari Mahāsaṅghika dan Sarvāstivāda.

Sekarang frase ini juga ditemukan dalam syair menyimpang  Mahādeva di atas, di mana ia mengklaim bahwa 5 tesisnya adalah “ajaran para Buddha”. Tampaknya bahwa ia menyusun kembali bentuk syair Ovāda Pāṭimokkha-nya sendiri yang secara teratur dibacakan pada uposatha. Salah satu syair Ovāda Pāṭimokkha yang berakhir dengan “Inilah ajaran para Buddha” dimulai frase Anūpavādo, anūpaghāto (Sarv: (nopavā)d(ī) nopaghātī; Mahāsaṅghika āropavādī aparopaghātī). Anūpavādo sama dalam irama dan bunyinya dengan parūpahāro, kata Pali yang bermakna “penyampaian oleh orang lain”, yang muncul memulai syair Mahādeva. Tetapi parūpahāro (secara harfiah “orang lain-dekat-membawa”) tidak mungkin suatu penggambaran yang jelas atas apakah tesis pertama dari lima tesis itu. Namun penggunaan istilah samar-samar yang demikian akan masuk akal jika ini mulanya disusun untuk peran yang ia mainkan dalam Mahāvibhāṣā: untuk menggantikan sedekat mungkin dengan syair yang terkenal yang dibacakan pada uposatha.

Mungkin ciri yang paling penting dari kisah ini bagi tujuan kita saat ini adalah memperhatikan bahwa Mahādeva dituduh melakukan hanya tiga perbuatan ānantarika. Ini dengan hati-hati dihitung, dan jumlahnya diulangi di tempat lain. Sebuah perbuatan ānantarika adalah salah satu kejahatan yang paling kejam yang dikenal dalam Buddhisme, yang mengakibatkan kelahiran kembali yang tidak terhindarkan di neraka. Tetapi daftar perbuatan ānantarika sangat terkenal dan standar, dan terdiri dari lima jenis. Dua yang tidak disebutkan dalam kisah Mahāvibhāṣā adalah dengan kedengkian meneteskan darah Sang Buddha – yang, mengulang sesuatu yang jelas, tidak mungkin setelah kematian Sang Buddha – dan menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Mahādeva, walaupun sering dianggap akar perpecahan, tidak dituduh, bahkan dalam teks yang ingin menghancurkan namanya selamanya, dengan sengaja dan jahat menyebabkan suatu perpecahan dalam pengertian teknis yang diperlukan oleh Vinaya. Ini adalah bukti yang sangat kuat bahwa tradisi ini tidak menganggap bahkan pemisahan Mahāsaṅghika, yang disesali karena itu, merupakan suatu perpecahan dalam pengertian ini.

Mahāvibhāṣā jelas tidak menahan diri menuduh Mahādeva menyebabkan perpecahan berdasarkan rasa kasih sayang yang lembut. Mengapa kemudian ia tidak membuat tuduhan ini? Para penulis Mahāvibhāṣā adalah para bhikkhu terpelajar yang menguasai Vinaya. Bagi mereka telah jelas bahwa, jika kisah mereka benar, secara teknis tidak mungkin bagi Mahādeva untuk menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Vinaya dengan tegas menyatakan bahwa perpecahan formal tidak dapat disebabkan oleh seorang umat awam atau bahkan seorang samanera, tetapi hanya oleh seorang bhikkhu yang telah ditahbiskan sepenuhnya. Tetapi Mahādeva telah melakukan tiga perbuatan salah ānantarika, yang menyebabkan tidak mungkin baginya untuk ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu. Teks ini sangat mengetahui hal ini, itulah sebabnya ia perlu mencatat bahwa guru penahbisnya tidak menanyakan dengan hati-hati, seperti yang diperlukan untuk ia lakukan dalam Vinaya. Dengan demikian penahbisannya tidak sah, dan ia tidak mungkin menyebabkan suatu perpecahan.[160]

Mahādeva yang Mana?

Kita telah melihat bahwa Bhavya, Vasumitra, dan Śāripūtraparipṛcchā, tidak ada satu pun yang menyebutkan Mahādeva awal, semuanya menyebutkan Mahādeva II yang belakangan, beberapa generasi setelah Aśoka. Ia dihubungkan dengan pembentukan cabang Mahāsaṅghika yang belakangan di Andhra. Bhavya[161] dan Vasumitra[162] menjelaskan bahwa Mahādeva II adalah seorang pertapa yang berubah keyakinan dari ajaran lain, yang tidak sesuai dengan kisah Mahādeva I.

Lamotte berargumentasi terhadap identifikasi Mahādeva yang baik dari tradisi Pali dengan Mahādeva Mahāsaṅghika berdasarkan dua alasan. Alasan minornya adalah argumen geografis: Mahādeva seorang vibhajjavādin yang dikirim ke Mahiṁsaka, sedangkan Mahādeva reformis Mahāsaṅghika yang belakangan berada di Andhra. Lamotte menolak sebagai upaya “sia-sia”[163] untuk menempatkan Mahiṁsaka di Andhra, tetapi belakangan lebih moderat menganggapnya sebagai “mungkin”.[164] Tentu saja, sumber kanon Pali[165] menempatkan suatu tempat bernama “Mahissati” di dekat Ujjeni di Avanti. Tetapi komentar Pali menempatkan Mahiṁsaka di Andhra.[166] Prasasti-prasasti menegaskan bahwa Mahāvihāra memiliki sebuah cabang atau cabang-cabang di Andhra, dan sebenarnya terdapat referensi pada “komentar Andhra”, sehingga kita dapat menganggap bahwa mereka mengetahui apa yang mereka bicarakan, dan bahwa adalah masuk akal bahwa sumber-sumber komentar Pali menganggap Mahiṁsaka sebagai Andhra, tanpa memperhatikan apa pun yang dikatakan sumber lain. Sesungguhnya, terdapat beberapa prasasti yang menunjuk pada Mahīśāsaka di Andhra, dan prasasti-prasasti di wilayah Andhra yang menunjuk pada “Penguasa Kaliga dan Mahisaka”. Kira-kira 200 km ke barat daya dari Nāgārjunikoṇḍa terdapat suatu petunjuk pada Mahiṣa-visaya.[167] Saya oleh sebab itu menyatakan kita memiliki alasan yang masuk akal untuk menganggap bahwa Mahiṁsaka bisa jadi Andhra, setidaknya dari sudut pandang orang Sri Lanka.

Pertimbangan yang lebih penting adalah poin doktrinal yang jelas: bagaimana mungkin Moggaliputtatissa yang ortodoks, seorang Vibhajjavādin yang diakui, berhubungan dengan seorang pengikut ajaran lain seperti Mahādeva? Tetapi kita baru saja melihat bahwa bukti penyimpangan ajaran sesungguhnya lemah. Tampaknya keseluruhan legenda didasarkan pada Mahāvibhāṣā, yang ditulis 400 tahun atau lebih setelah kejadian tersebut. Dan – saya tahu saya terkesan sombong, tetapi ini adalah suatu poin yang penting – Moggaliputtatissa bukanlah “seorang Vibhajjavādin yang diakui”.  Sementara kita dapat menganggap dirinya sendiri termasuk aliran yang disebut Vibhajjavāda, bukti tidak membuat ini eksplisit. Alih-alih, ia mengatakan Sang Buddha adalah seorang Vibhajjavādin, mungkin berbeda dengan para guru ajaran lain [yang mengajarkan] tentang suatu “diri”, yang bukan suatu ajaran Mahāsaṅghika ataupun di mana pun yang dihubungkan dengan Mahādeva.

Pada akhirnya saya cenderung menerima dua orang Mahādeva. Yang pertama hidup pada masa Aśoka, merupakan salah seorang guru Mahinda, dan pergi dalam suatu misi ke Mahiṁsaka (= Andhra), di mana ia menjadi tokoh utama dalam pembentukan aliran Mahīśāsaka. Yang kedua hidup beberapa ratus tahun kemudian di daerah yang sama, dan merupakan seorang pemimpin lokal dari salah satu subaliran  dari Mahāsaṅghika. Keduanya tidak ada hubungannya dengan perpecahan awal ataupun lima tesis.[168] Kesamaan nama dan wilayah aktivitas membawa pada kebingungan atas keduanya, dan kisah tentang bhikkhu jahat yang tidak bernama dari Aśokavadāna disisipkan untuk menjelaskan bagaimana aliran yang paling ortodoks – dari sudut pandang Sarvāstivādin, yaitu diri mereka sendiri – menjadi terelokasi jauh dari pusat kekuatan Buddhisme awal.

Satu poin lebih jauh yang dapat dipertimbangkan: jika Mahādeva mulanya tidak berkaitan dengan 5 ajaran menyimpang, mengapa namanya muncul? Satu alasan dapat berupa kesamaan dalam nama dan lokasi dengan satu atau dua Mahādeva. Tetapi kita dapat juga bertanya, siapa lagi yang dalam Buddhisme yang dihina dengan cara ini? Hanya ada satu orang bhikkhu dalam sejarah Buddhis yang namanya muncul atas perlakuan seperti ini: Devadatta. Ia berhubungan erat dengan Ajātasattu, raja Magadha, seperti halnya Mahādeva berhubungan dengan Aśoka. Dan Devadatta juga mengusulkan sekumpulan “5 tesis” untuk menimbulkan perpecahan. Terdapat banyak asimilasi mitos yang terjadi antara dua sepasang ini. Tanpa bermaksud memperpanjang poin ini, saya akan mengajukan pertanyaan apakah Mahādeva cocok memerankan peran jahat karena namanya mirip dengan Devadatta.

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #19 on: 27 January 2013, 02:53:38 PM »
Lima Ajaran Menyimpang

Daftar umum lima tesis adalah:

1. Bahwa air sperma dapat dikeluarkan pada seorang Arahat (oleh makhluk bukan-manusia ketikia ia sedang tidur).
2. Bahwa seorang Arahat dapat memiliki keragu-raguan.
3. Bahwa seorang Arahat dapat memiliki ketidaktahuan.
4. Bahwa seorang Arahat dapat dibawa pada pemahaman oleh orang lain.
5. Bahwa sang jalan dapat dimunculkan dengan meneriakkan “Aho! Betapa menderitanya.”

Tiga yang di tengah yang berhubungan dengan “ketidaksempurnaan” pengetahuan Arahat seperti yang dibahas dengan sangat singkat dan berulang-ulang dalam Kathāvatthu; komentar membahas topik ini secara ringkas. Kathāvatthu menekankan pengetahuan dan kebijaksaanan seorang Arahat dan menyebabkan lawan debat menyetujui bahwa Arahat bukan tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan Dhamma. Ini berlanjut beberapa kali, tetapi teks ini dengan sangat menggoda secara singkat menyampaikan poin yang aktual. Lawan debat bertanya: “Mungkinkah seorang Arahat tidak tahu nama atau silsilah seorang wanita atau pria, jalan yang benar dan salah, nama rerumputan, cabang, dan tanaman hutan?” Ini mengingatkan kita pada klaim Mahādeva bahwa seorang Arahat mungkin tidak memiliki pengetahuan pribadi tentang Sāriputta dan Moggallāna, yaitu rincian sejarah [mereka]. Ini kelihatannya masuk akal, dan tidak ada Theravādin akan memperdebatkannya. Masalahnya akan tampak apakah jenis “ketidaktahuan” ada hubungannya dengan “ketidaktahuan” dalam pengertian spiritual. Tetapi yang menanggapi tidak membuat hal ini eksplisit, hanya menambahkan: “Apakah seorang Arahat tidak memiliki pengetahuan tentang buah pemasuk-arus, yang kembali-sekali, yang tidak-kembali, dan Kearahatan?” “Itu tidak seharusnya dikatakan….” Walaupun pengungkapan yang samar-samar ini, poinnya cukup jelas, bahwa seorang Arahat dapat ragu-ragu tentang masalah-masalah duniawi, tetapi tidak tentang masalah-masalah dalam makna spiritual. Dengan demikian seluruh pertanyaan ini kelihatannya lebih merupakan masalah istilah alih-alih perbedaan pandangan dunia.

Lawan debat mengajukan perbedaan antara seorang Arahat yang “terampil dalam Dhamma-nya sendiri” dan yang “terampil dalam Dhamma orang lain”. Komentar menyamakan yang pertama dengan seseorang yang “terbebaskan melalui kebijaksanaan”, yang terampil dalam “Dhamma-nya sendiri” dari Kearahatan, yang kedua juga adalah “yang terbebaskan dalam kedua cara”, yang juga mahir dalam delapan pencapaian. Mungkin akan lebih jelas untuk melihat hal ini sebagai perbedaan antara seseorang yang mengetahui pikirannya sendiri (seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta) dan seseorang yang membaca pikiran orang lain (seperti dalam Pelatihan Bertahap, misalnya Sāmaññaphala Sutta, dst.). Jika memang demikian halnya, komentar Mahāvihāravāsin, bahkan ketika bersikeras atas sifat tidak bercacat dari Arahat, mengembangkan kerangka konseptual yang pada akhirnya menyebabkan pengikisan yang penting atas status Arahat. Akibat nyata dari proses ini berupa kepercayaan, yang normatif dalam Theravāda modern, bahwa seorang Arahat mungkin tidak mencapai jhana.

Mempertimbangkan bahwa tiga tesis tidak kelihatannya begitu penting, pandangan yang lebih kontroversial berikutnya kelihatannya adalah yang pertama dan terakhir. Yang terakhir adalah bahwa seseorang dapat memunculkan sang jalan melalui meratapi “O, penderitaan”. Saya tidak akan membahas ini di sini,[169] tetapi terdapat satu uraian yang menarik dalam pembahasan Kathāvatthu. Kathāvatthu mengatakan bahwa jika ini benar, maka seseorang yang telah membunuh ibunya, ayahnya, atau Arahat, meneteskan darah Sang Buddha atau menyebabkan perpecahan dalam Sangha dapat memunculkan sang jalan hanya dengan menyerukan “O penderitaan!”[170] Ini agak terlalu keras menekankan persoalan, karena dalil itu tampaknya bahwa teriakan “O penderitaan!” merupakan kondisi untuk sang jalan, bukan dengan sendiri cukup. Dalam kasus apa pun, kita memperhatikan bahwa kejahatan ini hampir identik dengan kejahatan yang sesungguhnya berhubungan dengan Mahādeva dalam Mahāvibhāṣā. Daftar ini tentu saja stok, sehingga mungkin kita seharusnya tidak melakukan apa pun terhadapnya. Tetapi mungkin bahwa argumen yang sama diketahui oleh Sarvāstivādin, yang memberikan tuduhan mendarah daging dengan menyematkannya kepada Mahādeva.

“Sesuatu yang Mengalir Keluar”

Tetapi anggapan yang paling menarik, dan mungkin menentukan, adalah apakah seorang Arahat dapat mengeluarkan air sperma. Gagasan ini diungkapkan dalam cara-cara yang berbeda, mungkin karena sifat samar-samar dari syair rangkuman di mana 5 tesis diungkapkan, dan sebagian disebabkan upaya yang mematikan pada kebijaksanaan. Tetapi gagasan dasarnya adalah bahwa suatu pengeluaran [air sperma] tidak selalu menjadi masalah dari kekotoran batin. “Penyampaian” jelas adalah penyampaian air sperma dari seorang Arahat oleh makhluk bukan-manusia, terutama mereka yang berhubungan dengan Māra.

Sementara gagasan ini kelihatannya aneh bagi kita, ini memiliki suatu korelasi dalam pemikiran awal. Malleus Maleficarum yang terkenal mengatakan bahwa para setan yang tidak murni seperti incubi dan succubi “... menyibukkan diri mereka dengan mengganggu proses normal persetubuhan dan konsepsi dengan mengambil air sperma manusia, dan mereka sendiri yang memindahkannya....”[171] Pembahasan di sini sangat layak mendapatkan suatu perbandingan yang rinci dengan Kathāvatthu, tetapi sayangnya, kita harus menunda kesenangan itu pada waktu lain. Kita akan meninjau Vinaya lain mengatakan tentang masalah ini pertama-tama, lalu melihat bagaimana Mahāsaṅghika membandingkan.

Seperti yang sangat sering dalam perdebatan Buddhis, masalah ini muncul karena suatu wilayah abu-abu dalam teks kanon, dalam kasus ini bhikkhu saṅghādisesa yang pertama. Saṅghādisesa merupakan kelompok kedua pelanggaran yang paling serius dalam Vinaya. Sementara kelompok pelanggaran yang paling serius, pārājika, mengharuskan pengusiran yang segera dan permanen dari Sangha, saṅghādisesa memerlukan suatu periode rehabilitasi yang melibatkan kehilangan status, pengakuan pelanggaran kepada semua bhikkhu, dan pengakuan yang ringan tetapi memalukan yang sama.

Aturan dasar untuk saṅghādisesa 1 adalah sama dalam semua pāṭimokkha yang ada: “pengeluaran air sperma dengan sengaja, kecuali dalam mimpi, adalah saṅghādisesa”. Dalam teks Pali, latar belakangnya adalah ini. Pertama kali aturan ini ditetapkan hanya untuk “pengeluaran air sperma dengan sengaja”. Kemudian sejumlah bhikkhu pergi tidur setelah memakan makanan yang lezat, tanpa kesadaran, dan mengalami mimpi basah. Mereka takut mereka telah melakukan suatu pelanggaran. Sang Buddha mengatakan: “Ada kehendak, tetapi ini dapat diabaikan.”[172] Dengan demikian tidak ada pelanggaran untuk mimpi basah, tetapi ini adalah suatu konsesi untuk tujuan Vinaya, bukan suatu penerimaan bahwa tidak ada muatan etis untuk mimpi basah. Poin ini dijelaskan dalam Kathāvatthu 22.6, di mana Mahāvihāravāsin secara khusus menyanggah dalil (yang dianggap komentar berasal dari Uttarapāthaka) bahwa kesadaran mimpi selalu secara etis netral.

Teks Pali agak aneh mengulangi kisah para bhikkhu yang tidak berkesadaran, serakah yang mengeluarkan air sperma sebagai suatu dalih untuk memberikan izin untuk menggunakan sehelai kain duduk untuk mencegah tempat tinggalnya terkotori.[173] Mengapa sehelai kain yang demikian disebut “kain duduk” (nisīdana) tidak jelas, dan penggunaan sehelai kain kecil demikian dengan cepat membuktikan ketidakcukupan, maka Sang Buddha mengizinkan sehelai kain duduk “selebar seperti yang kamu sukai”. Tetapi bacaan ini, yang kelihatannya muncul dari asal mula yang sama dengan kisah saṅghādisesa, menambahkan beberapa pesan yang tegas.

“Mereka, Ānanda, yang tertidur dengan kesadaran yang berkembang dan dengan jelas mengetahui tidak akan mengeluarkan kekotoran. Bahkan orang-orang biasa yang bebas dari kesenangan indera, mereka tidak mengeluarkan kekotoran. Tidak mungkin, Ānanda, tidak dapat terjadi, bahwa seorang Arahat akan mengeluarkan kekotoran.”[174]

Teks melanjutkan memberikan daftar lima bahaya tertidur tanpa kesadaran: Seseorang tidur dengan tidak enak, bangun dengan tidak enak, mendapatkan mimpi buruk, para dewa tidak melindunginya, dan ia mengeluarkan air sperma. Mereka yang tidur dengan penuh kesadaran dapat mengharapkan lima manfaat yang berhubungan.
Daftar lima bahaya/manfaat muncul dalam konteks yang sama dalam Vinaya Sarvāstivāda,[175] Dharmaguptaka,[176] and Mahīśāsaka.[177] Sarvāstivāda lebih lanjut menambahkan hal berikut: “Bahkan jika seorang bhikkhu yang belum bebas dari keserakahan, kebencian dan delusi tidur dengan kesadaran yang tidak bingung dan pikiran yang menyatu ia tidak akan mengeluarkan air sperma; terlebih lagi seseorang yang bebas dari nafsu.”[178] Mahīśāsaka menambahkan sebuah pernyataan yang sama: “Jika seseorang yang belum bebas dari keserakahan, kebencian, dan delusi pergi tidur dengan pikiran yang kacau dan bingung, mereka akan mengeluarkan air sperma; bahkan jika tidak dapat bebas, pergi tidur dengan kesadaran yang berkembang, ia tidak akan melakukan kesalahan itu.”[179] Saya belum menemukan pernyataan-pernyataan yang sama dalam Vinaya lain. Ini adalah sama pada pernyataan yang ditemukan dalam Vinaya Pali, tetapi saya tidak menemukan di mana pun yang menyatakan begitu tegas bahwa tidak mungkin bagi seorang Arahat untuk mengeluarkan air sperma dalam mimpi.

Vinaya Mūlasarvāstivāda, sementara mempertahankan suatu aturan saṅghādisesa yang persis, memberikan hanya suatu kisah awal mula yang singkat, bersifat rumusan, dan tidak ada pernyataan bahwa seseorang mengeluarkan [air sperma] setelah tidur tanpa kesadaran, walaupun teks ini juga mengatakan tentang memiliki nafsu keinginan ketika sedang bermimpi.[180] Ini menyatakan bahwa pengeluaran pada malam hari adalah hasil dari kekotoran batin, tetapi sedikit banyak lebih eksplisit daripada Vinaya lain tentang poin ini. Keseluruhan aturan ini berhubungan dengan bagian yang relatif singkat, tetapi ini bersifat khusus dari Vinaya ini, keringkasan ini lebih mungkin hanya karakteristik literatur daripada suatu perbedaan sektarian.

Dengan demikian semua Vinaya mempertahankan aturan yang sama terhadap pengeluaran air sperma. Dengan pengecualian Mūlasarvāstivāda, aliran Sthavira semuanya mengandung teguran yang menekankan bahwa mimpi basah terjadi karena seseorang pergi tidur tanpa kesadaran. Mahāvihāravāsin, Sarvāstivādin, dan Mahīśāsaka sebagai tambahan mengatakan orang yang belum tercerahkan dapat mencegah mimpi basah dengan tidur penuh kesadaran, lebih lagi seorang yang telah tercerahkan. Mahāvihāravāsin sendiri secara eksplisit menyatakan bahwa tidak mungkin bagi seorang Arahat untuk mengeluarkan air sperma.

Dalam Vinaya Mahāsaṅghika kisah awal mulanya agak berbeda dengan Mahāvihāravāsin. Setelah penetapan awal aturan itu, terdapat dua orang yang masih berlatih (yaitu para Ariya tetapi bukan Arahat) dan dua orang biasa yang mengalami mimpi basah. Mereka ragu-ragu dan memberitahukan Sāriputta, yang memberitahukan Sang Buddha. Sang Buddha berkata:

“Mimpi tidaklah nyata, tidak sejati. Jika mimpi nyata, seseorang yang menjalankan kehidupan suci dalam Dhamma-Ku tidak akan menemukan pembebasan. Tetapi karena semua mimpi tidak sejati, oleh sebab itu, Sāriputta, mereka yang menjalankan kehidupan suci dalam Dhamma-Ku mencapai akhir penderitaan.”[181]

Kemudian ia memberikan daftar (dan mendefinisikan) lima jenis mimpi: mimpi sejati (seperti 5 mimpi Bodhisattva sebelum pencerahannya); mimpi palsu (ketika seseorang melihat dalam mimpi apa yang tidak benar ketika bangun); mimpi yang tidak disadari (setelah bangun, seseorang tidak ingat lagi); mimpi di dalam mimpi; mimpi yang lahir dari pemikiran (seseorang berencana dan berkhayal selama siang hari, kemudian memimpikannya sepanjang malam).[182]

Kemudian teks memberikan 5 sebab ereksi: nafsu indera; kotoran; air seni; gangguan angin; kontak dengan bukan-manusia.[183] Daftar yang sama ditemukan dalam kasus teks Pali untuk pārājika pertama, dalam konteks menegaskan bahwa seorang Arahat dapat menjadi ereksi:

“Terdapat, para bhikkhu, lima sebab ereksi ini: nafsu, kotoran, air seni, angin, atau gigitan serangga. Inilah lima sebab ereksi. Tidak mungkin, para bhikkhu, tidak terjadi bahwa bhikkhu itu dapat menjadi ereksi karena nafsu. Para bhikkhu, bhikkhu itu adalah seorang Arahat.”[184]

Poin terakhir adalah penting: dalam teks Pali ini dengan jelas menunjuk ada “gigitan ulat, dan makhluk-makhluk kecil”, sedangkan Mahāsaṅghika mengatakan tentang “bukan-manusia”, suatu istilah yang secara luas digunakan untuk makhluk-makhluk halus, dan dengan demikian termasuk gagasan “pembawaan oleh Māra”.

Jadi Mahāsaṅghika tidak memuat pernyataan apa pun yang menyalahkan mimpi basah, atau menghubungkannya dengan ketanpa-kesadaran. Sementara Mūlasarvāstivāda juga diam atas topik ini, dalam hal ini ini hanya penghilangan, sedangkan Mahāsaṅghika tampaknya dengan sengaja membenarkan mimpi basah dengan ajaran yang aneh tentang ketidaknyataan mimpi (yang bertentangan segera dengan yang di bawah ini!) Sama halnya, mereka tampaknya menyusun ulang lima sebab ereksi untuk menyatakan kemungkinan terlibatnya Māra.

Berdasarkan hal ini, kita dibenarkan dalam melihat perbedaan sektarian dalam masalah Vinaya ini. Semua Vinaya memperhatikan tentang mimpi basah. Aliran Sthavira, dengan pengecualian yang meragukan dari Mūlasarvāstivāda, menyalahkannya dengan tingkat kenyaringan yang berbeda-beda, sedangkan Mahāsaṅghika memperhatikan untuk memakluminya. Terdapat sedikit keragu-raguan bahwa perbedaan ini berhubungan sebab akar pemisahan antara aliran-aliran berdasarkan “lima poin”. Karena Vinaya ini ditemukan di Pāṭaliputra, teks ini seharusnya dilihat berhubungan dengan pusat atau arus utama Mahāsaṅghika, tidak hanya bagi sub-aliran mereka yang belakangan.

Seperti dengan banyak sekali poin ajaran yang secara teoritis “Theravādin”, tidak ada kesatuan terhadap pertanyaan ini dalam Theravāda saat ini. Pertanyaan ini biasanya dibahas di luar wilayah publik, tetapi membuat jalannya ke dalam setidaknya satu publikasi saat ini. Beberapa Theravādin modern menganggap bahwa pengeluaran [air sperma] pada malam hari bisa jadi kejadian yang sangat alamiah, dengan mengatakan: “Ketika pot telah penuh, ia mengalir keluar”. Pertanyaan ini kadangkala muncul karena keadaan yang sama dengan yang digambarkan dalam kisah Mahādeva: seorang pelayan mencuci jubah seorang bhikkhu yang dihormati dan menemukan bukti yang tidak diharapkan dari “sesuatu yang mengalir keluar”. Sementara tidak berharap untuk memberikan penilaian apakah seorang Arahat dapat mengalami pengeluaran [air sperma], kita dapat mengatakan bahwa beberapa bhikkhu yang telah mengatakan hal ini pada masa modern merupakan para guru meditasi yang benar-benar berlatih dengan baik. Apakah benar atau tidak benar, mereka tidak seperti Mahādeva yang jahat yang muncul dengan tiba-tiba dari khayalan demam dari Mahāvibhāṣā.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #20 on: 27 January 2013, 03:05:02 PM »
Dhamma atau Vinaya?

Kita telah melihat berbagai sebab yang diajukan untuk perpecahan akar. Dua hal yang kelihatannya berdiri tegak adalah status Arahat dan revisi tekstual. Namun kadangkala diperdebatkan bahwa perpecahan pasti didasarkan pada landasan Vinaya, karena Vinaya sendiri mendefinisikan perpecahan sebagai penyelenggaraan uposatha yang terpisah dalam batas monastik yang sama. Tetapi ini mencurigakan sebagai penunjukan pada diri sendiri: tentu saja Vinaya melihat perpecahan sebagai suatu masalah Vinaya – bagaimana lagi? Kenyataannya adalah Dhamma dan Vinaya tidak pernah terpisah dalam praktek, dan maka Vinaya dengan berulang kali dan secara eksplisit menekankan bahwa perpecahan dapat disebabkan oleh salah satu Dhamma atau Vinaya.

Kita masih menyisakan masalah kita: apakah sebab perpecahan akar – apakah Dhamma atau Vinaya? Saya rasa kita dengan cukup menunjukkan bahwa tidak ada dasar apa pun untuk menyimpulkan bahwa praktek Vinaya sebagai sebabnya: tidak ada sumber kita yang mengatakan hal ini. Tetapi ini menyisakan kita sedikit lebih dekat pada suatu solusi, karena semua batas demikian pasti dapat ditembus. Kita berurusan dengan berbagai pertanyaan praktek, tekstualitas, pendefinisian-diri, kelangsungan hidup komunal,  evolusi filosofis, dan seterusnya yang saling berkaitan dengan halus. Pecahan-pecahan yang bertahan yang kebetulan kita warisi datang tanpa jaminan bahwa mereka dapat menghasilkan penafsiran yang “tepat”.

Saya ingat tentang suatu rangkaian yang mengesankan dalam dokumentasi “The Fog of War”. Robert McNamara, Sekretaris Pertahanan AS selama pemerintahan Kennedy dan Johnson, mengenang sebuah makan malam sosial yang ia atur pada awal tahun 1990-an dengan sejumlah lawannya selama Perang Vietnam (yang namanya saya lupa). Seraya makan malam berlangsung, diskusi menjadi semakin panas. McNamara berusaha menyampaikan poin bahwa orang Amerika hanya tertarik dalam menghentikan perkembangan komunisme. Para pria Vietnam itu bersikeras bahwa orang Amerika ingin mengkolonisasi Vietnam. McNamara menyangkal poin-kosong ini, dengan mengatakan bahwa Vietnam adalah kartu domino berikutnya yang mengizinkan komunisme Cina mengambil alih Asia. Perwakilan orang Vietnam berpikir ini menggelikan: mereka telah dikolonisasi lebih dari 1000 tahun oleh Cina, dan dominasi Cina adalah hal terakhir yang mereka inginkan. Seraya percakapan berlanjut, menjadi semakin jelas bahwa dua pihak sedang memperjuangkan dua perang yang sangat berbeda. Orang Amerika memperjuangkan suatu perang ideologi global, orang Vietnam memperjuangkan suatu perang lokal untuk kemerdekaan bangsanya. Masalah sebenarnya bukan komunisme ataupun kolonialisme, tetapi ketidakmampuan untuk mendengar satu sama lain.

Dalam kisah-kisah perpecahan kita yang berbeda-beda, dengan beberapa pihak menyatakan trik tekstual, yang lain mengatakan tentang perusakan ajaran, dan sebagainya. Pastinya kita memiliki situasi yang sama. Kita mengetahui bahwa semua hal ini kenyataan berlangsung: semua orang merevisi dan memperbarui teks-teks mereka, semua orang memurnikan perspektif ajaran mereka. Proses ini berlanjut saat ini. Tetapi ini sangat jarang membawa pada perpecahan. Sebab perpecahan bukanlah lima poin ataupun revisi tekstual, tetapi ketidakmampuan untuk mendengarkan.

Ini dapat dengan mudah dibandingkan dengan situasi modern. Terdapat banyak Buddhis di sekeliling dengan banyak pandangan yang berbeda, jauh lebih berlainan daripada pada periode awal di India. Kita memperhatikan bahwa beberapa Buddhis tertarik dalam dialog dan terlibat dengan Buddhis dari tradisi lain, dan sangat terbuka untuk belajar dari mereka. Beberapa, pada sisi lain, puas dengan tradisi mereka sendiri, dan tidak peduli atau secara terbuka mengutuk tradisi Buddhis lain. Dalam kedua kelompok ini, kita menemukan perbedaan pandangan dan ajaran yang sama. Theravādin tidak berhenti menjadi Theravādin karena mereka berbicara dengan Tibetan. Praktisi Zen tidak mengambil tantra hanya karena mereka melihat sebuah mandala pasir. Pandangan-pandangan tidak berubah, pengkondisian bersama memang terjadi, tetapi akibatnya bukan suatu perpaduan yang homogen, tetapi lebih sebuah perspektif dan pendekatan yang berbeda tidak terbatas. Kunci perbedaan bukan bahwa suatu kelompok memiliki ajaran yang jelas berbeda dan yang lain tidak, tetapi bahwa satu kelompok tertarik berdialog dan yang lain tidak. Sepanjang ketertarikan dalam dialog dan belajar masih ada, orang-orang yang berbeda pandangan dapat hidup, berlatih, dan tumbuh bersama.

Inilah mengapa saya melihat perbedaan sebenarnya dalam kisah-kisah perpecahan bukan sebagai perbedaan dalam detail faktual yang telah kita uraikan dengan susah payah, tetapi perbedaan dalam suasana emosional. Ulasan Mahāvihāravāsin, Sarvāstivādin, dan Puggalavāda semuanya menghancurkan (secara harfiah!) lawan-lawan mereka. Śāriputraparipṛcchā, pada pihak lain, berdiri tegak atas penerimaannya yang lembut atas perpecahan. Sementara teks ini mendukung alirannya sendiri, ini tidak mengurangi penghargaannya atas aliran lain.

Catatan Kaki Bab 5:

[146] Secara harfiah, “mengalir keluar” atau “pengaruh”; sebuah istilah Buddhis standar untuk kekotoran batin. Percakapan di sini melakukan permainan kata-kata antara makna harfiah dan metaforis.

[147]處非處 = ṭhānaṭṭhāna

[148] ? 佛若未記彼不自知 (CBETA, T27, no. 1545, p. 511, b18-19). Sasaki menerjemahkan: “… jika Sang Buddha tidak mengatakan kemampuan mereka, mereka tidak akan memiliki kesadaran diri.”

[149] 餘所誘無知 猶豫他令入 道因聲故起 是名真佛教 (CBETA, T27, no. 1545, p. 511, c1-2) Tiga karakter pertama secara harfiah sama dengan parūpahāra dari Kathāvatthu. (餘=para; 所=upa; 誘=hāra). Cf. komentar Kuei Chi’s yang dianggap berasal dari Mahādeva sendiri: 大天解言。 諸阿羅漢。 煩惱漏失二事俱無。為魔所誘。或以不淨塗污其衣。乍如漏失 (CBETA, T43, no. 1829, p. 1, b6-7)

[150] Pembacaan setiap dua minggu. Adalah melalui mengadakan uposatha yang terpisah dalam batas monastik yang sama sehingga suatu perpecahan formal dapat terjadi. Tetapi teks kita tidak mengatakan ini terjadi.

[151] Bukan Sarvāstivāda seperti yang diklaim Nattier dan Prebish, 201.

[152] ? 遇爾見之竊記彼言

[153] CBETA, T27, no. 1545, p. 510, c23-p. 512, a19. Dalam beberapa tempat saya mengacu pada terjemahan sebagian Liang dari bacaan ini, dan Sasaki, 1998, 12-19.

[154] Lamotte, History of Indian Buddhism, 278

[155] Lamotte, History of Indian Buddhism, 277

[156] McEvilley, 2002, 386-388

[157] Pali Vinaya 2.303: Para Buddha, yang diberkahi muncul di Negeri Timur. Para bhikkhu dari timur adalah pembicara Dhamma, para bhikkhu Pāveyyaka adalah pembicara bukan-Dhamma. (puratthimesu janapadesu buddhā bhagavanto uppajjanti. dhammavādī pācīnakā bhikkhū, adhammavādī pāveyyakā bhikkhū.)

[158] MN 76.21, terjemahan Bodhi/Ñāṇamoḷi. Untuk pembahasan dan versi Sanskrit yang paralel, lihat Anālayo.

[159] Pachow, 192-197

[160] Lihat Sasaki, 1998, 30

[161] Rockhill, 1992, 189

[162] 有一出家外道。捨邪歸正。亦名大天 (CBETA, T49, no. 2031, p. 15, b1-2)

[163] Lamotte, History of Indian Buddhism, 299

[164] Lamotte, History of Indian Buddhism, 342

[165] DN Vol 2.235; Sutta Nipāta 1017

[166] Misalnya Cousins, On the Vibhajjavādins 161, menunjuk pada Vjb 28: Mahiṁsakamaṇḍala Andharaṭṭhanti vadanti…

[167] Cousins, On the Vibhajjavādins, 166

[168] Lihat http://sectsandsectarianism.googlepages.com/dhammaorvinaya%3F

[169] Lihat pembahasan dalam Cousins, The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools.

[170] Kathāvatthu, 2.6

[171] Malleus Maleficarum (“Palu Penyihir”) adalah sebuah buku teks yang diterbitkan pada tahun 1486 oleh dua biarawan Dominican tentang bagaimana mengenali dan mengalahkan para penyihir. Lihat http://www.malleusmaleficarum.org/part_I/mm01_03a.html

[172] Pali Vinaya 3.112: “Atthesā, bhikkhave, cetanā; sā ca kho abbohārikā’ti”

[173] Pali Vinaya 1.294

[174] “Ye te, Ānanda, bhikkhū upaṭṭhitassatī sampajānā niddaṁ okkamanti, tesaṁ asuci na muccati. yepi te, Ānanda, puthujjanā kāmesu vītarāgā tesampi asuci na muccati. aṭṭhānametaṁ, Ānanda, anavakāso yaṁ arahato asuci mucceyyā'ti.”

[175] 一者無難睡苦。二者睡易覺。三者睡無惡夢。四者睡時善神來護。五者睡覺心易入善覺觀法 (CBETA, T23, no. 1435, p. 197, a18-20). Yang terakhir berbeda: ia dengan mudah memasuki pikiran-pikiran yang bermanfaat.

[176] 1. Mimpi buruk; 2. Tidak dilindungi oleh para dewa; 3. Pikiran tidak memasuki pemikiran akan Dhamma; 4. Ia tidak mencapai persepsi cahaya; 5. Ia mengeluarkan air sperma. (一者惡夢。二者諸天不護。 三者心不入法。四者不思惟明相。五者於夢中失精 (CBETA, T22, no. 1428, p. 579, b25-27))

[177] 1. Mimpi buruk; 2. Tidak dilindungi para dewa; 3. Tidak memperoleh persepsi cahaya; 4. Tidak ada pemikiran Dhamma dalam pikiran; 5. Mengeluarkan air sperma. (一者惡夢二者善神不護三者不得明想四者無覺法心 五者失不淨 (CBETA, T22, no. 1421, p. 10, b22-24)) Ini sama dengan Dharmaguptaka, kecuali item ketiga dan keempat ditukar.

[178]比丘有婬怒癡未離欲。不亂念一心眠。尚不失精。何況離欲人(CBETA, T23, no. 1435, p. 197, a20-22), also (CBETA, T23, no. 1435, p. 197, a20-22)

[179] 若未離欲恚癡散亂心眠必失不淨。雖未能離。以繫念心眠者無有是過 (CBETA, T22, no. 1421, p. 10, b27-29)

[180] 夢中雖有情識 (CBETA, T24, no. 1458, p. 540, b28-29)

[181] 夢者虛妄不實。若夢真實。於我法中修梵行者。無有解脫。以一切夢皆不真實。是故舍利弗。 諸修梵行者於我法中得盡苦際 (CBETA, T22, no. 1425, p. 263, a26-29)

[182] 者實夢。二者不實夢。三者不明了夢。四者夢中夢。五者先想而後夢 (CBETA, T22, no. 1425, p. 263, b8-10)

[183]身生起有五事因緣。欲心起。大行起。小行起。風患起。若非人觸起 (CBETA, T22, no. 1425, p. 263, b20-21)

[184] Pali Vinaya 3.39: “pañcahi, bhikkhave, ākārehi aṅgajātaṁ kammaniyaṁ hoti - rāgena, vaccena, passāvena, vātena, uccāliṅgapāṇakadaṭṭhena. imehi kho, bhikkhave, pañcahākārehi aṅgajātaṁ kammaniyaṁ hoti. aṭṭhānametaṁ, bhikkhave, anavakāso yaṁ tassa bhikkhuno rāgena aṅgajātaṁ kammaniyaṁ assa. arahaṁ so, bhikkhave, bhikkhu.” Daftar yang sama dalam Mahīśāsaka Vinaya saṅghādisesa 1, kecuali nafsu keinginan yang terakhir. (CBETA, T22, no. 1421, p. 10, b26-27)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #21 on: 27 January 2013, 06:50:32 PM »
Bab 6
Lagi Tentang Vibhajjavādin

STUDI BUDDHIS AWAL FAMILIAR DENGAN ISTILAH VIBHAJJAVĀDA, dan pemahaman kita telah dibuat dalam pijakan yang lebih kuat oleh L.S. Cousins dalam makalahnya “On the Vibhajjavādins”. Ia menganggap istilah ini ada dua pengertian, yang menunjukkan baik ajaran Sang Buddha secara umum, dan juga nama suatu aliran Buddhis tertentu, atau sekumpulan aliran yang berkaitan erat. Posisi dasar ini kelihatannya bahwa Vibhajjavādin yang muncul sebagai satu aliran awal yang besar. Perpecahan pertama adalah antara Sthavira dan Mahāsaṅghika. Kemudian perselisihan tentang “pribadi” dan “semuanya ada” menghasilkan masing-masing aliran (atau kelompok aliran, atau gerakan filosofis) Puggalavāda dan Sarvāstivāda. Apa yang tersisa adalah Vibhajjavāda, yang, disebabkan terutama pemisahan geografis, perlahan-lahan menjadi berlainan ke dalam Mahāvihāravāsin,[185] Dharmaguptaka, Mahīśāsaka, dan Kaśyapīya, dan mungkin yang lain.

Tidak diragukan lagi bahwa sumber-sumber tertentu, seperti Bhavya II dan III, dengan jelas menghadirkan sekelompok aliran Vibhajjavādin yang demikian. Kurang jelas bahwa situasi ini relevan pada periode awal. Dan tidak jelas sama sekali kelompok yang demikian pernah dibayangkan oleh Sinhala. Jadi kita perlu untuk bertanya tentang penggunaan kata ini dalam kisah komentar Sinhala kita tentang periode Aśoka.

Cousins mengakui bahwa salah satu dari sumber paling awal kita untuk istilah ini ada dalam komentar Kathāvatthu.[186] Ini adalah suatu versi dari Konsili Ketiga, di mana para bhikkhu yang baik dan Moggaliputtatissa meyakinkan raja Aśoka bahwa Sang Buddha adalah seorang vibhajjavādin. Di sini, konteksnya bernada sejenis kerancuan yang dilihat Cousin dalam istilah ini:

“Keseluruh poin kisah ini adalah tidak seorang pun dapat menolak bahwa Sang Buddha adalah seorang vibhajjavādin, karena beliau setidaknya kadangkala digambarkan demikian dalam teks-teks kanon. Tidak juga tentunya mengejutkan jika seorang tokoh yang terkemuka dalam aliran Vibhajjavādin memastikan bahwa beliau adalah seorang vibhajjavādin. Tidak ada dari hal ini yang memberikan kita alasan apa pun untuk menganggap bahwa Sang Buddha telah ditunjuk dalam orang ketiga sebagai seorang vibhajjavādin sebelum adopsi kata ini sebagai nama aliran.”[187]

Sebenarnya, prosa Cousins itu sendiri rancu: “tokoh yang terkemuka dari aliran Vibhajjavādin” (yaitu Moggaliputtatissa) menggunakan istilah vibhajjavādin untuk menunjuk pada Sang Buddha, bukan kepada ia sendiri. Teks ini seperti yang ia pertahankan tidak menghalangi kemungkinan bahwa Sang Buddha ditunjuk sebagai seorang vibhajjavādin sebelum pembentukan aliran dengan nama itu. Kenyataannya, Sang Buddha ditunjuk dalam orang ketiga sebagai seorang vibhajjavādin dalam teks kanon yang telah dikutip oleh Cousins.[188]

Apa yang Cousins maksudkan, saya pikir, adalah bahwa sumber kanon sedikit dan sangat kecil. Teks-teks ini berlaku hanya dalam konteks yang khusus dan mengatakan bagaimana Sang Buddha akan menanggapi ketika diberikan dengan pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dengan demikian teks-teks ini adalah dasar yang tidak cukup untuk membentuk karakterisasi Sang Buddha sebagai seorang vibhajjavādin. Oleh sebab itu, Cousins menyimpulkan bahwa ketika teks-teks tertentu memilih istilah khusus ini untuk menggambarkan karakter ajaran Sang Buddha, ini tidak dapat dijelaskan berdasarkan teks-teks kanon, tetapi pasti telah terjadi setelah pembentukan suatu aliran yang disebut Vibhajjavāda, yang saat itu berusaha mengesahkan dirinya sendiri dengan mengklaim Sang Buddha sebagai seorang vibhajjavādin.

Tetapi ini hanya menangguhkan argumen itu: tidak di sini ataupun di mana pun Cousins berusaha menjelaskan mengapa, mempertimbangkan bahwa vibhajjavāda adalah istilah yang demikian tidak penting dalam kanon, aliran mana pun memilih untuk menyebut dirinya [dalam istilah] itu. Oleh sebab itu, kita mengemukakan untuk memeriksa kembali sumber-sumber.

Kathāvatthu

Kisah Pali tentang Konsili Ketiga menyatakan Aśoka bertanya kepada para bhikkhu baik apakah yang Sang Buddha ajarkan (kiṁvādī bhante sammāsambuddhoti?) yang dijawab mereka Sang Buddha adalah seorang vibhajjavādin (vibhajjavādī mahārājāti). Perhatikan akhiran sama yang agak rancu – vādī mengakhiri kedua frase itu. Ini merentangkan suatu spektrum makna, dari “mengatakan”, “mengajarkan”, “memiliki ajaran tentang”, “mengikuti aliran yang mengajarkan ajaran demikian”. Dalam kasus ini, raja tidak mungkin memaksudkan: “Pada aliran apa Sang Buddha termasuk?”[189] Ataupun ia bertanya pemaparan yang rinci dari banyak ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha dalam karir-Nya. Ia memerlukan ringkasan yang singkat, penuh makna dari ajaran utama Sang Buddha. Para bhikkhu pada waktu itu telah familiar dengan kemampuan Sang Buddha dalam menyesuaikan ajaran pada waktu, tempat dan orangnya, dan dengan demikian telah memilih suatu pesan yang secara langsung mengena pada masalah mendesak yang dihadapi raja.

Tetapi di sini versi Mahāvihāra atas kejadian ini, seperti yang tercatat dalam Samantapāsādikā[190] dan Kathāvatthu-aṭṭhakathā,[191] dan di tempat lain[192] mengambil giliran lain: setelah menyelesaikan perselisihan, sesepuh yang terkemuka, Moggaliputtatissa, dikatakan menyusun Kathāvatthu dan 1000 orang bhikkhu dipilih untuk mengesahkan Konsili Ketiga dengan menambahkan karya ini ke dalam Tipitaka. Tetapi marilah kita membandingkan bacaan-bacaan ini dengan yang berkaitan dalam Sudassanavinayavibhāsā.[193] Perbedaan-perbedaan antara versi-versi ini disoroti.

Sudassanavinayavibhāsā
Samantapāsādikā
Kathāvatthu-aṭṭhakathā
Dalam perkumpulan itu Moggaliputtatissa bertindak sebagai sesepuh yang menyanggah ajaran-ajaran salah dari para pengikut ajaran lain. Perkumpulan itu memilih  mereka yang berpengetahuan dalam Tripitaka dan realisasi berunsur tiga, yang berjumlah 1000 orang bhikkhu.
Dalam perkumpulan itu sesepuh Moggaliputtatissa, menyanggah ajaran-ajaran lain, mengucapkan risalah Kathāvatthu. Dan kemudian dari para bhikkhu yang dihitung sejumlah 6.000.000 orang dipilih para bhikkhu yang adalah para penghafal Tripitaka, terkemuka dalam paṭisambhida, yang diberkahi dengan realisasi berunsur tiga, dst. berjumlah 1000 orang bhikkhu
Dalam perkumpulan itu sesepuh Moggaliputtatissa, berkenaan dengan masalah-masalah yang telah muncul dan yang akan muncul di masa yang akan datang, untuk kepentingan melenyapkan semuanya, menggunakan metode yang telah diberikan Sang Guru, Sang Tathāgata, menyusun matriks yang membedakan 500 pernyataan dari aliran sendiri dan 500 dari aliran lain. Setelah membawa bersama-sama 1000 pernyataan ia mengucapkan risalah Kathāvatthu, yang berkarakteristik masa depan, untuk kepentingan menyanggah ajaran-ajaran lain. Dan kemudian dari para bhikkhu yang dihitung sejumlah 6.000.000 orang dipilih para bhikkhu yang adalah para penghafal Tripitaka, terkemuka dalam paṭisambhida, berjumlah 1000 orang bhikkhu

Perhatikan bahwa Samantapāsādikā menambahkan tiga frase: penyebutan Kathāvatthu, melebih-lebihkan angka (di tempat lain Sudassanavinayavibhāsā menyebutkan 60.000), dan penyebutan paṭisambhida. Komentar Kathāvatthu menambahkan lebih jauh detail yang menggambarkan Kathāvatthu itu sendiri, yang mungkin seseorang harapkan. Penambahan ini menunjuk pada kisah legenda bahwa Sang Buddha telah merancang kerangka dasar Kathāvatthu agar Moggaliputtatissa dapat mengisi rinciannya. Menariknya, dikatakan bahwa pandangan ortodoks dan heterodoks “dibagi” (vibhajanto); karena bacaan ini mengikuti segera setelah bacaan yang menyebutkan vibhajjavāda, mungkin ini memberikan suatu petunjuk dalam penafsiran. Perhatikan bahwa Kathāvatthu-aṭṭhakathā menghilangkan pernyataan bahwa 1000 orang bhikkhu yang dipilih untuk menyelenggarakan Konsili Ketiga semuanya memiliki tiga realisasi: dengan demikian cita-cita yang berdasarkan sutta awal dan praktek dari seorang Arahat dikesampingkan dalam mendukung cita-cita tekstual Mahāvihāravāsin.

Semua perubahan ini tampak dalam versi-versi Pali seperti yang dibandingkan dengan Sudassanavinayavibhāsā adalah sepenuhnya karakteristik perspektif Mahāvihāra.[194] Saya tidak bisa melihat kesimpulan lain yang masuk akal selain bahwa penambahan pada Samantapāsādikā dan Kathāvatthu-aṭṭhakathā adalah semuanya penyisipan pada masa yang belakangan dalam Mahāvihāra, mungkin dibuat oleh Buddhaghosa. Tampaknya bahwa versi awal dari Konsili Ketiga tidak menyebutkan Kathāvatthu.

Kathāvatthu adalah penyangkalan ekstensif atas pandangan-pandangan yang menyimpang, tetapi pandangan-pandangan Buddhis yang menyimpang. Dengan demikian terdapat ketegangan yang diputuskan dalam kisah ini: apakah kita seharusnya melihat kejadian ini sebagai suatu pemurnian Sangha dari para pengikut ajaran lain non-Buddhis (eternalisme, dst.), atau penafsiran yang salah atas ajaran Buddhis? Mungkin kita tergoda untuk menyatukan kedua perspektif ini; bagaimana pun, debat pertama dan utama dalam Kathāvatthu adalah puggala, “pribadi”, yang, dalam sifat yang dicurigai mirip Diri, dianggap entah bagaimana ada di luar 5 kelompok unsur kehidupan dan melewati satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Tidak diragukan terdapat sesuatu pada hal ini, seperti Buddhis, kadangkala dibenarkan, seringkali mencurigai “inovasi-inovasi” praktek atau ajaran sebagai pengaruh “Hindu”. Ini mungkin menyatakan ketika komentar Kathāvatthu menghubungkan perdebatan puggala pada: “Dalam sasana, Vajjiputtaka dan Saṁmitiya, dan banyak guru lainnya yang tidak termasuk dalam sasana.”[195]

Tetapi debat tentang puggala tampaknya terutama untuk menyelesaikan sekitar ketegangan dalam ajaran Buddhis. Ketika Sang Buddha mengajar, beliau banyak dikelilingi oleh agama-agama “Diri”, dan dari keperluan untuk menekankan “bukan-diri”; yaitu, berlawanan dengan mereka yang menyatakan kesatuan absolut dari pribadi, beliau menekankan apa yang kita sebut suatu “diri” adalah suatu abstraksi yang disimpulkan dari pengalaman, didorong oleh ketakutan akan kematian dan penghancuran, tetapi yang, ketika kita mencarinya dalam pengalaman, tidak dapat ditemukan. Demikianlah, berlawanan dengan mereka yang menegaskan keutamaan kesatuan absolut, beliau mengemukakan perenungan atas keberagaman, tetapi tanpa membuat konkrit keberagaman itu menjadi absolut yang lain.[196]

Ini efektif sebagai suatu alat filosofis untuk melawan teori-teori diri, tetapi menyisakan kita untuk mencari suatu penjelasan atas mengapa kita merasa atau mengalami suatu kesadaran atas “identitas”: mengapa, jika tidak ada inti atau esensi yang benar-benar kekal, meskipun demikian kita merasakan seakan-akan kita suatu pribadi? Indikasi tertentu dalam teks-teks kanon menyatakan cara-cara mendekati masalah ini, tetapi aliran-aliran dibiarkan untuk mengerjakan solusi definitif mereka sendiri. Bagi beberapa aliran, seperti Mahāvihāravāsin, kesadaran atas identitas dijelaskan dalam istilah hubungan sebab akibat di antara unsur-unsur yang berbeda. Tetapi bagi Puggalavādin ini tidak cukup, sehingga mereka berusaha “mengambil” kutipan sutta-sutta tertentu yang mengimplikasikan keberadaan suatu “pribadi” (puggala) dalam beberapa pengertian di luar lima kelompok unsur kehidupan, yang, tetapi, bukan Diri yang dikatakan oleh non-Buddhis. Bagi mereka, inilah suatu “jalan tengah” antara teori diri dan “tanpa-diri” yang absolut dari para teoritikus Abhidhamma.

Dengan demikian kita dibenarkan dalam berpikir tentang perpecahan Puggalavāda sebagai terutama suatu masalah internal di antara Buddhis, dan sementara tidak menolak hubungan apa pun dengan ajaran non-Buddhis, mendesak suatu upaya untuk menyederhanakan “keruntuhan” dua masalah yang kita hadirkan pada Konsili Ketiga: penyusupan para penganut ajaran salah non-Buddhis, dan perkembangan gagasan filosofis Buddhis seperti yang diperdebatkan dalam Kathāvatthu. Teks kita tidak membuat upaya pada suatu sintesis dari perspektif ini, tetapi lebih meninggalkan kita dengan suatu kesan agenda-agenda yang berbeda, walaupun berhubungan.

Mempertimbangkan situasi ini, dan mempertimbangkan aliran teks seperti yang dipertahankan oleh Mahāvihāravāsin, apakah peran yang dimainkan oleh istilah vibhajjavādin? Mengapa istilah ini dipilih, dan bagaimana ia bermanfaat pada masa ini? Bagaimana ini telah berlaku sebagai suatu kunci menyelesaikan dilema sang raja?

Sumber-Sumber Mahāvihāravāsin yang Belakangan

Cousins mengutip dan menerjemahkan bacaan-bacaan dari literatur Mahāvihāravāsin yang belakangan yang mendefinisikan apakah makna vibhajjavāda bagi mereka. Mereka mengatakan, sebagai contoh, bahwa Sang Buddha adalah seorang vibhajjavādin karena ia membedakan berbagai indera di mana beliau dapat disebut “seorang yang membawa pada ketersesatan” (yaitu ia membawa tersesat dari hal-hal yang tidak bermanfaat); atau ia membedakan jenis-jenis perasaan yang menyenangkan atau berbagai jenis jubah yang diolah atau tidak (menurut apakah mereka menimbulkan munculnya keadaan pikiran yang bermanfaat).

Tetapi seperti yang dikomentari Lamotte: “... bahwa ini adalah suatu keadaan pikiran yang sesuai bagi semua pemikir Buddhis pada umumnya dan tidak dapat dipakai bagi Aśoka dalam membangun sifat ortodoks para bhikkhu Aśokārāma dan memisahkan yang tidak berkeyakinan dari yang benar-benar berkeyakinan”.[197] Hanya membuat perbedaan rasional tidak pernah dianggap oleh umat Buddhis sebagai suatu ciri yang membedakan dari agama mereka, atau aliran tertentu mereka.

Sebagai contoh, Mahāvibhāṣā menggambarkan Mahādeva, yang ia lihat sebagai pendiri aliran Mahādeva yang jahat, dengan membuat perbedaan halus antara jenis keragu-raguan yang dapat atau tidak dapat dimiliki seorang Arahat; atau jenis “mengalir keluar” yang mungkin atau tidak mungkin dialami seorang Arahat, dan seterusnya. Inilah persisnya jenis perbedaan yang dimaksudkan oleh penggunaan umum vibhajja, dan mereka sepenuhnya karakteristik dari musuh vibhajjavādin yang seharusnya.

Atau dalam lingkungan non-Buddhis, kita hanya perlu memperhatikan para Jain, yang filosofi utamanya adalah anekantavāda, ajaran tentang “tidak hanya satu pendirian”. Mereka menganggap bahwa kebenaran apa pun dapat dilihat dari banyak perspektif yang berbeda, sehingga tidak ada perspektif seorang pun yang dapat diistimewakan sebagai yang terutama. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan Cousins, Sang Buddha sendiri, walau kadangkala menggunakan metode membedakan, dalam konteks lain membuat pernyataan yang tegas (ekaṁsa). Karena ajaran yang tegas demikian termasuk empat kebenaran mulia, ini dapat dengan sungguh-sungguh diargumentasikan bahwa Sang Buddha adalah seorang ekaṁsavādin.[198]

Teks-teks Pali yang belakangan juga, seperti yang ditunjukkan oleh Cousins, menggunakan vibhajjavāda untuk membedakan aliran Mahāvihāravāsin dari yang lain, dengan mengklaim sebagai satu-satunya vibhajjavādin yang sejati, dan secara khusus menyebutkan beberapa ajaran dari aliran-aliran lain. Ini mungkin termasuk istilah Sarvāstivāda hetupaccaya, walaupun ini tidak jelas. Lebih jelas adalah penunjukan pada “ketidaktahuan yang tidak mengotori”, yang diterima oleh Sarvāstivādin dan yang lain,[199] dan “materialitas yang tidak berkomunikasi”, yang diterima oleh Vaibhāṣika Sarvāstivādin, dan mungkin yang lain. Tetapi ajaran-ajaran ini semuanya topik Abhidhamma yang lanjutan yang, bahkan jika mereka berlaku pada masa awal itu, memiliki sedikit relevansi dengan dilema sang raja.

Jadi kita menyimpulkan bahwa makna kata vibhajjavādin yang dikemukakan oleh Cousins berdasarkan kanon Pali dan komentar tidak cukup untuk menjelaskan penggunaannya dalam kisah Konsili Ketiga.
« Last Edit: 27 January 2013, 07:16:03 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #22 on: 27 January 2013, 06:56:27 PM »
Tetapi Apakah yang Dimaksud Vibhajjavāda?

Maka kita ditinggalkan dengan masalah: apakah yang dimaksud vibhajjavāda, dan mengapa ia relevan dalam konteks Konsili Ketiga? Marilah kita mengingat kembali aliran teks. Para pengikut ajaran salah non-Buddhis menyatakan berbagai ajaran tentang “diri”; Moggaliputtatissa menentangnya dengan ajaran Sang Buddha tentang vibhajjavāda; kemudian sumber-sumber Mahāvihāra menggambarkannya akan mengajarkan Kathāvatthu. Bahkan jika Kathāvatthu adalah penambahan yang belakangan, Mahāvihāra pasti telah menambahkannya atas beberapa alasan. Komentar Kathāvatthu, seperti yang telah kita lihat, secara khusus mengatakan bahwa Kathāvatthu “membedakan” (vibhajanto) pandangan heterodoks dan ortodoks, sehingga mungkin ini berarti untuk membuat beberapa hubungan eksplisit antara Kathāvatthu dan vibhajjavāda.

Sekarang, Kathāvatthu membahas sangat banyak topik, kebanyakan darinya yang sepele dan diberikan sedikit ruang kosong, dan yang jauh lebih penting semua topik lain dalam buku itu adalah bagian pertama tentang “diri”. Ini adalah, seperti yang telah kita lihat, satu-satunya topik utama yang umum dalam Kathāvatthu dan Vijñānakāya, selain dari posisi berlawanan tentang tesis “semuanya ada”. Ini jelas adalah perdebatan yang sulit, dan meskipun dialetika Abhidhamma yang dingin, suatu hal yang emosional.

Dalam konteks kita sekarang, pastinya tema yang muncul adalah debat diri/bukan-diri ini. Saya ingin menyatakan bahwa istilah vibhajjavāda digunakan di sini untuk mengimplikasikan suatu kritik atas teori non-Buddhis tentang diri. Ini tentunya memenuhi kriteria yang kita pertanyakan sebelumnya, bahwa istilah ini pasti membangkitkan suatu aspek ajaran Sang Buddha yang penuh makna, penting dalam suatu cara yang akan menjawab tantangan para pengikut ajaran salah.

Ajaran bukan-diri selalu dianggap sebagai ajaran utama Sang Buddha. Metode khas yang digunakan oleh Sang Buddha untuk mematahkan gagasan salah tentang diri adalah menggunakan analisis. Dalam Buddhisme awal, metode utamanya adalah dengan sistematis menentukan hal-hal tersebut yang dianggap sebagai diri, mengangkatnya untuk diselidiki, dan menemukan dalam pengamatan yang cermat bahwa mereka tidak memiliki ciri-ciri yang kita berikan pada suatu diri. Dengan demikian lima kelompok unsur kehidupan digambarkan sebagai yang membentuk landasan bagi teori-teori diri. Tetapi dalam perenungan, mereka dilihat membawa pada penderitaan, yang bukan bagaimana suatu diri dipahami, sehingga mereka gagal memenuhi kriteria dari suatu diri. Dalam sutta-sutta, metode ini dicontohkan oleh siswa Kaccāyana, yang dikenal sebagai yang terkemuka di antara mereka yang dapat menganalisis (vibhajjati) dalam detail apa yang diajarkan Sang Buddha secara singkat; Dīpavaṁsa mengatakan bahwa ia memenuhi peran itu dalam Konsili Pertama.[200]

Analisis ini, atau vibhaṅga, adalah momentum pengumpulan selama masa Konsili Ketiga. Sebenarnya, teks dasarnya disebut Vibhaṅga dalam versi Mahāvihāravāsin; versi Sarvāstivāda adalah Dharmaskandha, dan versi Dharmaguptaka adalah Śāripūtrābhidharmaśāstra. Semua ini berasal dari suatu tahap kuno dari perkembangan Abhidhamma, yang mengumpulkan sutta-sutta “analitis”, terutama yang diatur berdasarkan topik-topik dari Saṁyutta Nikāya/Āgama, dan menguraikannya dengan tingkat penafsiran Abhidhammik yang berbeda-beda.

Jadi akan sangat masuk akal dalam kisah kita untuk vibhajjavāda untuk mewakili gerakan Abhidhamma sebagai suatu pendekatan analitis atas Dhamma secara umum, dan sebagai sebuah kritik atas “diri” secara khusus. Juga kelihatannya tepat untuk menggambarkan Sang Buddha sebagai seorang vibhajjavādin, sama dengan mengatakan beliau adalah seorang anattavādin. Penafsiran ini bersifat sementara, karena ini tidak dapat didukung dengan pernyataan yang jelas dari teks-teks. Tetapi, seperti yang kita telah lihat, definisi vibhajjavāda yang diberikan kepada kita dari teks-teks tidak cukup untuk menjelaskan penggunaan oleh Mahāvihāravāsin dalam teks mereka sendiri: teks-teks ini belakangan, atau tidak relevan, atau diturunkan dari aliran yang berbeda. Jika spekulasi kita memiliki suatu nilai, tampaknya bahwa sasaran utama dari polemik dalam bacaan ini bukanlah Sarvāstivādin, tetapi para teoritikus Diri non-Buddhis, dan mungkin oleh implikasi Puggalavādin.

Tetapi terdapat aspek lain yang lain, yang sangat berbeda, dari istilah vibhajjavāda yang dinyatakan oleh sumber-sumber kita. Ketika masalah dalam Sangha terbukti keras kepala, raja Aśoka bertanya kepada para menterinya siapakah yang dapat menyelesaikan masalah itu. Mereka menyarankan Moggaliputtatissa, dan maka raja memerintahkan bahwa ia harus dijemput pada sebuah perahu. Aśoka bermimpi bahwa seekor gajah putih akan tiba dan membawanya dengan tangan; demikianlah, pagi berikutnya Moggaliputtatissa tiba, dan, dengan mengarungi air untuk membantunya, raja dan sang sesepuh menggenggam tangan satu sama lain. Ini adalah suatu pelanggaran yang serius atas hal yang tabu dalam kerajaan, dan para penjaga menghunuskan pedang mereka dengan mengancam sebelum ditahan oleh raja.

Semua fakta ini sebagai suatu mitos pendahulu yang penting pada Konsili Ketiga. Dengan pengecualian mimpi raja, kejadian-kejadian ini dengan rapat merupakan cermin kejadian-kejadian yang mengelilingi Upagupta; Moggaliputtatissa dan Upagupta berbagi suatu mitos yang demikian dekat yang beberapa sarjana dengan sungguh-sungguh berargumentasi bahwa keduanya adalah bhikkhu yang sama. Satu-satunya perbedaan yang penting antara keduanya dalam contoh ini adalah urutan mimpi, yang kelihatannya menggemakan mimpi ibu Sang Buddha sebelum ia melahirkan, yang menyatakan bahwa Moggaliputtatissa, seperti Upagupta, adalah seorang “Buddha kedua”.[201] Gajah putih juga adalah salah satu dari tujuh “harta kekayaan” seorang Raja Pemutar-roda.

Tetapi berikutnya adalah episode yang lain, yang sejauh yang saya ketahui tidak ada yang sama dengan Upagupta. Raja meminta untuk melihat suatu keajaiban dari kekuatan batin: ia ingin Moggaliputtatissa membuat bumi berguncang. Sang sesepuh bertanya apakah ia ingin melihat seluruh bumi berguncang, atau hanya sebagian darinya, dengan mengatakan lebih sulit untuk membuat hanya sebagian yang berguncang, sama seperti lebih sulit membuat hanya separuh dari semangkuk air berguncang. Karenanya, raja meminta untuk melihat gempa bumi sebagian, dan dengan saran sang sesepuh, ia menempatkan pada jarak satu league di empat arah sebuah kereta, seekor kuda, seorang manusia, dan sebuah mangkuk air masing-masing, setiap setengah di luar dan di dalam batas. Sang sesepuh, dengan menggunakan jhana keempat sebagai suatu landasan, bertekad bahwa semua tanah dalam [jarak] satu league akan berguncang, dan hal yang sama untuk kuda, laki-laki, dan bahkan mangkuk air. Adalah keajaiban ini yang meyakinkan Aśoka bahwa Moggaliputtatissa adalah orang yang tepat untuk menstabilkan sāsana.[202]

Nilai penting di sini adalah ketepatan di mana sang sesepuh dapat menyelesaikan kemampuan batinnya, dengan membagi bumi seakan-akan dengan sebuah pisau cukur. Perhatian pada ketepatan, keteraturan, dan batasan yang bersih adalah suatu karakteristik dari aliran Mahāvihāravāsin, yang menunjukkan dengan jelas suatu penolakan filosofis untuk wilayah yang abu-abu, hal yang bertahap, dan kerancuan.

Sebagai contoh, sementara aliran-aliran lain menyatakan bahwa kelahiran kembali terjadi melalui suatu tahap transisional yang perlahan-lahan yang disebut “keadaan antara”, Mahāvihāravāsin tidak, dengan menyatakan bahwa satu kehidupan berakhir dan kehidupan berikutnya berawal pada momen berikutnya. Atau sementara banyak aliran mengatakan tentang penembusan Dhamma yang bertahap (anupubbābhisamaya), Mahāvihāravāsin mengembangkan gagasan bahwa penembusan terjadi seketika (ekābhisamaya). Hal yang sama, ketika menjelaskan “Keajaiban Kembar” di mana Sang Buddha seharusnya secara bersamaan mengeluarkan air dan api: poin keajaiban ini tampaknya sebagai perpaduan dua hal yang berlawanan, tetapi Mahāvihāravāsin di sini tidak ada perpaduan, keajaiban adalah suatu contoh betapa cepatnya Sang Buddha dapat berbolak-balik di antara kasiṇa-air dan kasiṇa-api, yang memancar masuk dan keluar untuk menciptakan ilusi keserentakan.

Gagasan kedipan masuk dan keluar dengan sesaat untuk menjelaskan apa yang tampaknya diberikan teks sebagai sintesis ditemukan di tempat-tempat lain juga. Dalam satipatthana, meditator seharusnya merenungkan “secara internal” kemudian “secara eksternal”, lalu “secara internal/eksternal”. Sementara sutta-sutta melihat perenungan “eksternal/internal” sebagai pemahaman tidak ada perbedaan yang penting di antara keduanya, Mahāvihāravāsin menjelaskannya sebagai kedipan masuk dan keluar yang cepat. Hal yang sama, sutta-sutta mengatakan “samatha dan vipassana yang dilakukan bersama-sama”, tampaknya membayangkan suatu keseimbangan yang bersamaan atas kualitas-kualitas ini dalam kesadaran seorang meditator. Sementara sumber-sumber Mahāyāna tampaknya mempertahankan pemahaman ini, lagi-lagi Mahāvihāravāsin mengatakan tentang suatu pergantian yang cepat antara keduanya.

Jadi saya menyatakan bahwa kesadaran “kejelasan” yang tidak dapat disangkal tidak jelas yang kita lihat dalam Mahāvihāravāsin juga dapat diimplikasikan dalam penggunaan vibhajjavādin.

Terdapat satu implikasi akhir dalam kata vibhajjavādin dalam kisah ini. Salah satu episode yang paling dramatis yang berhubungan dengan upaya awal Aśoka untuk menyembuhkan masalah dalam Sangha. Ia memerintahkan seorang menteri untuk pergi dan menyuruh para bhikkhu mengadakan uposatha. Sang menteri diberitahu oleh para bhikkhu baik bahwa mereka menolak untuk melakukan uposatha dengan para pengikut ajaran lain. Sang menteri, yang salah memahami maksud Aśoka, mulai memenggal para bhikkhu yang keras kepala. Ia baru berhenti ketika ia menyadari bahwa bhikkhu berikutnya dalam giliran untuk dipenggal kepalanya tak lain adalah Tissa, adik laki-laki raja. Ia kembali untuk memberitahu Aśoka, yang dapat dimengerti diliputi rasa bersalah, bergegas meminta maaf kepada para bhikkhu, dan bertanya apakah ia dianggap secara karma bertanggung jawab. Para bhikkhu mengatakan padanya cerita yang berbeda-beda: beberapa mengatakan ia bersalah, beberapa mengatakan ia dan sang menteri berbagi kesalahan, sedangkan beberapa mengatakan bahwa hanya perbuatan yang dilakukan dengan kehendak yang menghasilkan akibat karma – karena ia tidak memiliki kehendak maka tidak ada kesalahan.

Tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat meredakan keragu-raguannya. Hanya kemunculan Moggaliputtatissa yang dapat melakukan hal ini. Sang sesepuh kemudian dipanggil, dan setelah ia tiba dalam perahu dan berikutnya pertunjukan kekuatan batinnya, raja dapat menerima penjelasannya: tidak ada kehendak, oleh sebab itu tidak ada rasa bersalah. Episode ini mengingatkan kita kunjungan kenegaraan yang spektakuler oleh Ajātasattu pada Sang Buddha, di mana ia sama halnya mengakui suatu kejahatan besar dan ditenangkan oleh Sang Buddha. Dalam kedua kasus ini raja tidak dapat menemukan kedamaian sampai mendengarkan Dhamma dari orang yang tepat.

Saya menyatakan bahwa dalam analisis yang hati-hati atas perbedaan antara tindakan fisik dan mental kita melihat makna lain yang mungkin dari vibhajjavādin. Ini adalah suatu posisi doktrinal yang penting yang jelas menandai Buddhis dari kelompok lain yang sama dan sezaman seperti Jain. Kita telah melihat bahwa Mahādeva sama halnya melakukan pembedaan yang demikian untuk membenarkan tindakannya.

Demikianlah vibhajjavāda mungkin memiliki perbedaan makna dalam konteks ini. Mungkin kita tidak seharusnya mencari jawaban yang definitif. Sebagai sebuah teks mitos, bacaan ini membangkitkan suatu gaya, suatu atmosfir untuk aliran itu, bukan meletakkan definisi-definisi. Mungkin bahwa kita tidak dapat pergi lebih jauh daripada menjelajahi berbagai kemungkinan. Bagaimana pun, aliran itu sendiri tidak berusaha untuk menutup denotasi dari kata ini. Tetapi kesimpulan penting dari pembahasan ini bahwa kita dapat menemukan banyak implikasi dalam istilah vibhajjavāda, apakah yang secara eksplisit diberikan oleh tradisi, atau yang secara spekulatif disimpulkan dari konteks, yang tidak melibatkan perbedaan sektarian. Ini bertahan dalam perbedaan yang jelas pada konsepsi yang sering diasumsikan terhadap vibhajjavāda sebagai lawan dari sarvāstivāda, yang akan kita selidiki selanjutnya.

Catatan Kaki Bab 6:

[185] Cousins menggunakan istilah Tambapaṇṇiya (Mereka yang berasal dari Pulau Tambapaṇṇa) untuk menunjuk pada aliran Sinhala yang sekarang kita sebut “Theravāda”. Saya lebih suka menggunakan Mahāvihāravāsin, karena ini lebih jelas membedakan “Theravādin” dari aliran Sinhala yang belakangan, yang mungkin dengan sama disebut “Tambapaṇṇiya”. Pandangan-pandangan yang diterima sebagai “Theravādin” adalah pandangan-pandangan yang disahkan oleh para sesepuh dari Mahāvihāra; sejumlah besar suara-suara ketidaksepakatan yang tercatat dalam komentar menunjukkan bahwa pandangan-pandangan “ortodoks” tidak pernah diterima sepenuhnya oleh semua bhikkhu Sri Lanka.

[186] Kathāvatthu Aṭṭhakathā, pg. 7; Law, 6

[187] Cousins, On the Vibhajjavādins, 138

[188] AN 10.94 pada AN v.189f

[189] Cousins (On the Vibhajjavādins, 171 catatan 73), sebaliknya, mempercayai bahwa inilah sebenarnya apakah yang “penunjukan yang mendasari” pada pertanyaan itu. Oleh karena itu ia tidak menerjemahkan frase itu berdasarkan apa yang ia terima sebagai makna dalam bacaan Sutta: “Apakah yang diajarkan Sang Buddha?” Dalam pernyataan demikian kita melihat pengaruh yang memutarbalikkan dari membaca agenda sektarian ke dalam bacaan Aśoka.

[190] Samantapāsādikā 1.61: tasmiṃ samāgame moggaliputtatissatthero parappavādaṃ maddamāno kathāvatthuppakaraṇaṃ abhāsi. tato saṭṭhisatasahassasaṅkhyesu bhikkhūsu uccinitvā tipiṭakapariyattidharānaṃ pabhinnapaṭisambhidānaṃ tevijjādibhedānaṃ bhikkhūnaṃ.

[191] Kathāvatthu-aṭṭhakathā 7: tasmiṃ samāgame moggaliputtatissatthero yāni ca tadā uppannāni vatthūni, yāni ca āyatiṃ uppajjissanti, sabbesampi tesaṃ paṭibāhanatthaṃ satthārā dinnanayavaseneva tathāgatena ṭhapitamātikaṃ vibhajanto sakavāde pañca suttasatāni paravāde pañcāti suttasahassaṃ āharitvā imaṃ parappavādamathanaṃ āyatilakkhaṇaṃ kathāvatthuppakaraṇaṃ abhāsi. tato saṭṭhisatasahassasaṅkhyesu bhikkhū uccinitvā tipiṭakapariyattidharānaṃ pabhinnapaṭisambhidānaṃ. Terjemahan dalam Law, 7.

[192] Misalnya Dīpavaṁsa 6.40: Maddivā nānāvādāni nīharivā alajjino, Sāsanaṁ jotayivāna kathāvathuṁ pakāsayi. Juga lihat Dv 6.55, 56.

[193]目乾連蘊 (CBETA, T26, no. 1539, p. 531, c29)

[194] Cp. pg. 65, catatan 104 di atas.

[195] Kathāvatthu Aṭṭhakathā 9

[196] Cf. SN 12.48: “Semuanya adalah kesatuan: itulah spekulasi kosmologis yang ketiga... Semuanya adalah keberagaman: itulah spekulasi kosmologis yang keempat....”

[197] Lamotte, History of Indian Buddhism, 274

[198] Cousins, On the Vibhajjavādins, 134

[199] Ketidaktahuan yang tidak mengotori juga tampaknya berhubungan dengan salah satu dari lima poin.

[200] Dīpavaṁsa 4.9

[201] Sudassanavinayavibhāsā: CBETA, T24, no. 1462, p. 683, b21-c18

[202] Sudassanavinayavibhāsā: CBETA, T24, no. 1462, p. 683, c22-p. 684, a10. Ini mengikuti teks Pali dalam setiap detail, kecuali jaraknya adalah 4 yojana. Tetapi 1 yojana dalam CBETA, T53, no. 2121, p. 179, a24.
« Last Edit: 27 January 2013, 08:03:01 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #23 on: 27 January 2013, 07:40:32 PM »
Bab 7
Vibhajjavāda vs. Sarvāstivāda?

DALAM SUMBER-SUMBER NON-PALI, VIBHAJJAVĀDA KADANGKALA DIPERLAWANKAN DENGAN SARVĀSTIVĀDA. Cousins membuatnya jelas bahwa ia melihat Sarvāstivāda berbeda dari vibhajjavāda, tetapi tidak menjelaskan mengapa.[203] Problematik untuk mengasumsikan bahwa tradisi Mahāvihāra bermaksud menyatakan perbedaan ini, karena ini tidak ditemukan dalam sumber-sumber Pali.

Sebenarnya, artikel Cousins kadangkala memberikan petunjuk pada masalah-masalah ketika ia berusaha untuk menyatakan suatu perbedaan antara aliran Sarvāstivāda dan Vibhajjavādin dalam pengertian yang sempit (Dharmaguptaka, Kaśyapīya, Mahīśāsaka, Mahāvihāravāsin). Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa Abhidhamma- piṭaka dari aliran Pali adalah berbeda, tetapi “tidak diragukan berhubungan dekat dengan literatur Abhidhamma dari aliran Vibhajjavādin lain”.[204] Ini benar, tetapi sedikit menyamarkan situasinya. Frauwallner telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa Pali Abhidhamma Vibhaṅga berhubungan dekat dengan Sarvāstivādin Dharmaskandha. Keduanya ini juga berhubungan dengan Śāriputrābhidharma dari Dharmaguptaka, tetapi tampaknya, agak lebih renggang, setidaknya pada bentuk karya tersebut, jika bukan isi ajarannya. Jadi, iya, Vibhajjavādin mungkin memiliki Abhidhamma yang berhubungan dekat, tetapi tidak lebih dekat daripada Sarvāstivādin (dengan kemungkinan pengecualian Jñānaprasthāna).

Hal yang sama, Cousins berargumentasi bahwa bukti prasasti mendukung gagasan bahwa Vibhajjavādin adalah aliran misionaris yang utama. Tetapi tentu saja Sarvāstivādin terbukti dengan baik di barat laut, dan ketiadaan prasasti ke selatan hanya menegaskan kisah misi bahwa patriark Majjhantika pergi ke Kaśmīr.
Konteks klasik dan yang berpengaruh atas pandangan bahwa vibhajjavāda secara khusus dimaksudkan berlawanan dengan sarvāstivāda termasuk Abhidharmakośa oleh Vasubandhu,[205] dan bagian dari penjelasan daftar sektarian dari Bhavya I. Kita tidak seharusnya mengingat bahwa penjelasan ini memperluas daftar dasar aliran-aliran dalam Bhavya I; tetapi dalam daftar itu vibhajjavāda adalah sinonim dari sarvāstivāda. Inkonsistensi yang demikian dalam satu bagian tunggal dari suatu teks harus memperingatkan kita atas pengharapan konsistensi di seluruh aliran-aliran, daerah-daerah, dan masa yang luas dari Buddhisme kuno. Di sini saya mengutip dari Bhavya dalam terjemahan Rockhill:

“Mereka yang mengatakan bahwa semuanya ada – masa lampau, masa yang akan datang, dan masa kini – oleh karenanya disebut ‘Mereka yang mengatakan bahwa semuanya ada’ atau Sarvāstivādin.

Mereka yang mengatakan bahwa beberapa hal ada, (seperti) perbuatan-perbuatan lampau di mana akibatnya belum masak, dan bahwa beberapa tidak ada, (seperti) perbuatan-perbuatan yang akibatnya telah terjadi dan hal-hal dari masa yang akan datang; membuat kategori-kategori (atau pembagian-pembagian), karenanya mereka disebut ‘Mereka yang mengatakan tentang pembagian-pembagian’ atau Vibhajjavādin.”[206]

Sekarang pandangan ini dibahas dalam Kathāvatthu itu sendiri, di mana lawan debat mengatakan bahwa beberapa hal dari masa lampau dan masa depan ada dan beberapa hal tidak.[207] Komentar menghubungkan pandangan salah ini pada Kassapīya, yang umumnya dianggap salah satu dari aliran vibhajjavādin (walaupun dari sudut pandang Mahāvihāravāsin, Kassapīya diturunkan dari Sarvāstivādin). Vasumitra setuju dalam menghubungkan pandangan demikian pada Kassapīya.[208] Dalam kasus apa pun, pandangan yang dipertanyakan secara khusus disanggah oleh Mahāvihāravāsin, dalam buku yang dianggap oleh mereka ditulis oleh Moggaliputtatissa pada Konsili Ketiga yang sama yang sedang kita bahas.

Tidak mengejutkan bahwa teks-teks utara menunjuk pada penggunaan vibhajjavādin yang sebenarnya diikuti oleh suatu aliran yang diwakili di utara, alih-alih Sinhala yang jauh. Tetapi tidak ada alasan tertentu untuk berpikir bahwa bacaan ini menunjuk pada suatu aliran yang dengan jelas didefinisikan; kenyataannya pandangan demikian mungkin telah dianut oleh kelompok-kelompok atau individu-individu yang berbeda. Agaknya, ini tampaknya bahwa sumber-sumber utama memperlakukan setidaknya satu makna dari vibhajjavāda sebagai suatu ajaran yang secara khusus berlawanan dengan ajaran sarvāstivāda. Namun sumber-sumber Mahāvihāravāsin tidak pernah menggunakan istilah itu dalam cara tersebut, ataupun mereka menganut pandangan yang dihubungkan pada vibhajjavādin dalam konteks-konteks tersebut.

Ini bukan satu-satunya kasus di mana sumber utara menganggap pandangan-pandangan berasal dari vibhajjavādin yang berbeda dari perspektif Mahāvihāravāsin. Vibhāṣā membahas pandangan bahwa waktu adalah kekal, sedangkan dhamma-dhamma yang berkondisi tidak kekal; dhamma-dhamma yang berkondisi berpindah bagaikan buah-buahan yang diambil dari satu keranjang dan ditempatkan di keranjang lain.[209] Pandangan ini dihubungkan dengan Dārṣṭāntika and Vibhajjavādin, tetapi bukan posisi yang dianut oleh Mahāvihāravāsin.

Tentu saja, mungkin terdapat konteks lain di mana sumber-sumber utara menghubungkan pandangan-pandangan vibhajjavādin yang kenyataannya dianut oleh Mahāvihāravāsin. Tetapi kita harus dengan jelas membedakan antara bagaimana istilah vibhajjavādin digunakan dalam sumber-sumber yang berbeda.

Kita melihat di atas bahwa dalam menggambarkan penggunaan vibhajjavādin, teks-teks Pali yang belakangan memang mengatakan ajaran-ajaran yang dianut oleh Sarvāstivādin, tetapi aliran-aliran lain mungkin juga menganut pandangan demikian, dan prinsip utama Sarvāstivādin tidak disebutkan. Konteks-konteks yang demikian jelas bertujuan pada aliran-aliran Buddhis lain secara umum dan tidak secara khusus mendefinisikan vibhajjavāda sebagai suatu alternatif dari teori Sarvāstivādin tentang keberadaan dalam tiga masa. Dengan kata lain, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa dalam menggunakan istilah vibhajjavādin, Mahāvihāravāsin bermaksud membedakan dirinya dari Sarvāstivādin secara khusus.

Perdebatan-Perdebatan Awal

Kesimpulan ini diperkuat dengan menyelidiki sumber-sumber ajaran atas pembahasan perdebatan Sarvāstivāda. Ini ditemukan dalam dua karya Abhidhamma kanonik awal, Kathāvatthu dari Mahāvihāravāsin yang telah disebutkan sebelumnya, dan Vijñānakāya dari Sarvāstivādin Devaśarman.

Kathāvatthu dianggap Mahāvihāravāsin berasal dari Moggaliputtatissa, yang dikatakan komentar telah disusun pada Konsili Ketiga. Karya ini sebagai keseluruhan tidak mungkin disusun pada waktu itu, karena ini adalah hasil dari periode yang panjang dari uraian-uraian, dan pembahasan-pembahasan banyak pandangan dari aliran-aliran yang belum muncul hingga lama setelah masa Aśoka. Sebagai tambahan, kita telah melihat bahwa penganggapan karya ini berasal dari Moggaliputtatissa pada Konsili Ketiga mungkin adalah suatu modifikasi Mahāvihāra yang belakangan.
Namun demikian, tidak ada alasan mengapa inti buku itu tidak dimulai pada masa Aśoka, dan sebenarnya K. R. Norman telah menunjukkan bahwa khususnya bab-bab awal memiliki sejumlah bentuk tata bahasa Magadhin, yang bernada dari sumber Aśoka. Sebagai tambahan, nama-nama tempat yang disebutkan dalam teks ini sesuai dengan nama pada penanggalan awal yang demikian.[210] Jadi mungkin bahwa argumentasi utama tentang masalah-masalah ajaran yang penting, yang cenderung dikumpulkan pada awal buku, dikembangkan oleh Moggaliputtatissa dan karya ini diuraikan kemudian.

Bukti pendukung yang kuat untuk ini berasal dari Vijñānakāya. Karya ini dimulai dengan pembahasan ekstensif, bukan ratusan poin seperti Kathāvatthu, tetapi hanya dua: tesis bahwa semuanya ada, dan tesis tentang “pribadi”. Sarvāstivādin setuju dengan Mahāvihāravāsin bahwa tidak ada “pribadi” dalam pengertian tertinggi, sehingga penyanggahan mereka atas pandangan Puggalavādin berbagi banyak kesamaan. Tetapi pada dalil bahwa “semuanya ada” mereka menganut pandangan yang berlawanan. Sementara bagi Mahāvihāravāsin pandangan ini adalah pandangan keenam yang dibahas, Sarvāstivādin membuatnya nomor satu.

Bab pertama dari karya mereka berjudul “bagian Moggallāna”.[211] Ini adalah debat dengan seorang bhikkhu bernama 目乾連 (mu-gan-lian), dan isi teksnya disebut 沙門目連 (sha-men mu-lian = Samaṇa Moggallāna). Mempertimbangkan kedekatan dua pembahasan tentang “pribadi”, dan mempertimbangkan bahwa Moggaliputtatissa dikatakan oleh teks dari kedua aliran telah membahas pandangan ini, tampaknya ada sedikit keragu-raguan bahwa ini menunjuk pada sesepuh yang sama.[212]

Diskusi Vijñānakāya lebih sederhana daripada Kathāvatthu. Masing-masing paragraf dimulai dengan Moggallāna mengulangi tesisnya: “Masa lampau dan masa depan tidak ada; masa sekarang dan yang tidak berkondisi ada.”[213] Keterusterangan dari pandangan ini sesuai dengan Kathāvatthu dan tidak sesuai dengan posisi yang dianggap berasal dari Vibhajjavādin oleh Bhavya dan Vasubandhu (seperti yang dibahas sebelumnya). Sayangnya, Moggallāna tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk mempertahankan tesisnya, tetapi hanya membalas dengan serentetan argumentasi berdasarkan kutipan-kutipan sutta. Bentuk dasar argumentasinya adalah bahwa untuk meninggalkan, katakanlah, keserakahan, seseorang harus secara langsung “melihat”-nya dengan pikiran. Tetapi melihat keserakahan pasti berbeda dari keserakahan itu sendiri. Oleh sebab itu seseorang harus “melihat” kejadian-kejadian masa lampau dari keserakahan. Tetapi seseorang hanya dapat “melihat” apa yang benar-benar ada. Oleh sebab itu masa lampau ada.[214]

Anehnya, sementara setiap paragraf mengulangi frase ini, setelah sebelas pengulangan kita menemukan tesis yang berbeda, dengan tidak ada penjelasan untuk perbedaan ini. Sisa delapan paragraf dari bagian ini kembali ke tesis awal, lagi dengan tidak ada penjelasan. Thesis yang menyimpang dari kebiasaan ini adalah 有無所心[215] yang kelihatannya sama dengan bahasa Pali: atthi anārammaṇaṁ cittaṁ (terdapat pikiran tanpa objek). Frase yang agak tidak jelas ini tampaknya tidak sesuai, karena ia muncul tidak ada hubungannya dengan pertanyaan keberadaan dalam tiga periode waktu. Tetapi kenyataannya ia jelas mengambil bagian dalam debat dasar Abhidhamma: sebagai contoh, tiga mātikā Dhammasaṅgaṇī memasukkan: “dhamma-dhamma dengan objek masa lampau, dhamma-dhamma dengan objek masa depan, dhamma-dhamma dengan objek masa kini....”

Masalah-masalah yang berkaitan dibahas dalam beberapa tempat dalam Kathāvatthu, tetapi yang paling relevan muncul sebagai pernyataan yang menyimpang bahwa: atītārammaṇaṁ cittaṁ anārammaṇanti (pikiran dengan objek masa lampau adalah tanpa objek).[216] Ini, sementara tampaknya bertentangan dengan dirinya sendiri, memberikan pertanyaan yang penting: jika masa lampau dan masa depan tidak ada, apakah yang kita sadari ketika mengingat masa lampau atau meramalkan masa depan? Mempertimbangkan bahwa aliran non- Sarvāstivādin menolak keberadaan masa lampau dan masa depan, mereka pasti muncul dengan catatan ini. Demikian juga pernyataan ini, mempertimbangkan bahwa ia muncul tepat di tengah-tengah debat tentang tiga periode waktu, tampaknya untuk menyampaikan pertanyaan apakah objek kesadaran ketika kita berpikir tentang masa lampau dan masa depan.

Pandangan yang dipertanyakan dianggap oleh komentar berasal dari Uttarapāthaka, sebuah kelompok yang tidak jelas yang tidak diketahui pada teks lain: ini kelihatannya digunakan sebagai suatu istilah umum untuk aliran-aliran utara (secara harfiah “Norwegia”!), walaupun di sini pasti tidak termasuk Sarvāstivādin. Ini dapat juga termasuk Kaśyapīya dan Dharmaguptaka, yang terbukti dengan baik ada di barat laut. Pandangan vibhajjavādin/Kaśyapīya bahwa sebagian dari masa lampau ada tampaknya berhubungan. Kita berpikir bahwa, jika kisah misi dapat dipercaya, semua aliran ini mungkin mengakui Moggaliputtatissa sebagai seorang guru pendiri.

Jelas bahwa Vijñānakāya dan Kathāvatthu menganggap dua pandangan yang berlawanan berasal dari Moggaliputtatissa. Mempertimbangkan bahwa Kathāvatthu lebih luas berkembang daripada Vijñānakāya – ini adalah pandangan ke-86 yang dibahasnya – dan mempertimbangkan bahwa hanya Vijñānakāya secara langsung menghubungkan pandangan ini dengan Moggaliputtatissa (dalam teks Pali penghubungan ini muncul dalam komentar), kita cenderung untuk mempercayai Vijñānakāya di sini. Pada sisi lain, Sarvāstivādin mungkin telah mengalah pada godaan untuk memburukkan lawan debat mereka dengan menganggap pandangan-pandangan yang tidak sesuai berasal dari mereka, menghubungkan pendiri aliran itu pandangan yang belakangan dianut oleh “Uttarapāthaka”, di mana dalam kasus ini Kathāvatthu lebih dapat dipercaya. Kemungkinan lain masih ada: mungkin Moggaliputtatissa berargumentasi untuk kedua pandangan ini pada kesempatan yang berbeda; atau mungkin ia tidak menganut keduanya. Dalam setiap kasus, kedua teks setuju bahwa Moggaliputtatissa terlibat dalam diskusi ini, dan perbedaannya adalah dalam detail bagaimana menyusun suatu psikologi yang berhasil berdasarkan pandangan anti-Sarvāstivāda, alih-alih posisi dasarnya.

Tetapi poin yang paling penting untuk tujuan kita adalah baik Vijñānakāya ataupun Kathāvatthu dengan komentarnya tidak menggunakan istilah vibhajjavādin dalam pembahasan tentang masalah ini. Bagi teks-teks ini, istilah vibhajjavāda tidak ada hubungannya dengan debat tentang tiga periode waktu.

Perpecahan Apakah?

Sementara jelas bahwa terdapat debat dan ketidaksepahaman tentang masalah ini, tidak sepenuhnya jelas bahwa ini telah mencapai suatu pemisahan sektarian pada masa ini. Kathāvatthu seluruhnya membahas hanya ajaran, dan menahan diri dari menunjuk pada individu atau aliran tertentu. Hanya dalam komentarnya kita menemukan identifikasi berbagai pandangan dengan aliran-aliran tertentu. Dengan membaca hanya Kathāvatthu itu sendiri, kita tidak dapat mengatakan apakah diskusi itu antara aliran-aliran yang berbeda atau hanya debat yang berlangsung di antara satu komunitas. Tentu saja, ketiadaan referensi pada tempat dan waktu tertentu sepenuhnya adalah karakteristik Abhidhamma Pali, dan mungkin kita tidak seharusnya membaca apa pun ke dalamnya.

Tetapi suatu proses yang sama sedang bekerja dalam Vijñānakāya. Debat pertama, tentang “semuanya ada”, diarahkan terhadap seorang individu, Moggallāna. Debat kedua, tentang “pribadi”, diarahkan terhadap suatu aliran, Puggalavāda.[217] Lagi, dengan membaca dengan serta merta permukaan teks ini, debat dengan Moggallāna adalah suatu diskusi dengan seorang individu, sedangkan topik kedua adalah debat antara aliran-aliran. Ini sepenuhnya sesuai dengan suatu situasi di mana perpecahan Puggalavāda telah terwujud, sehingga para pengikut tesis tersebut dianggap suatu cabang Buddhisme yang berbeda, sedangkan perpecahan Sarvāstivāda masih mulai terbentuk, masih suatu debat antara orang-orang yang merasa mereka termasuk dalam satu aliran yang sama.

Catatan Kaki Bab 7:

[203] Cousins, On the Vibhajjavādins, 132

[204] Cousins, On the Vibhajjavādins, 166

[205]若自謂是說一切有宗決定應許實有去來世。以說三世皆定實有故。許是說一切有宗。謂若有人說三世實有。方許彼是說一切有宗。若人唯說有現在世及過去世未與果業。說無未來及過去世已與果業。彼可許為分別說部 (CBETA, T29, no. 1558, p. 104, b22-27)

[206] Rockhill, 184

[207] Kathāvatthu, pg. 151

[208] 其飲光部本宗同義。謂若法已斷已遍知則無。未斷未遍知則有。若業果已熟則無。業果未熟則有 (CBETA, T49, no. 2031, p. 17, a27-29)

[209] Frauwallner, Studies in Abhidharma Literature, 190ff

[210] Lihat Barua

[211]目乾連蘊 (CBETA, T26, no. 1539, p. 531, c29)

[212] Cf. Cousins, The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools, 58

[213] 過去未來無。現在無為有 (CBETA, T26, no. 1539, p. 532, a4-5). Saya telah memberikan tanda baca untuk menjelaskan sintaksisnya. Bahasa Pali-nya mungkin: atītānāgataṁ natthi; paccuppannāsaṅkhataṁ atthi. Pembahasan masa lampau, masa depan, dan masa kini dalam Kathāvatthu juga sering membawakan Nibbana.

[214] Untuk pembahasan yang lebih baru dan mengagumkan, lihat Bastow.

[215] CBETA, T26, no. 1539, p. 535, a8. Bastow tidak memperhatikan perbedaan ini.

[216] Kathāvatthu 410

[217] 補特伽羅論 (CBETA, T26, no. 1539, p. 537, b2)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #24 on: 28 January 2013, 07:43:51 PM »
Bab 8
Dharmagupta: Misi Yunani

SEPERTI YANG TERCATAT DALAM KRONOLOGI SRI LANKA, salah satu misi mengadakan perjalanan ke Aparantaka di sebelah barat India (Gujarat). Ini dipimpin oleh seorang bhikkhu bernama Yonaka Dhammarakkhita, seseorang yang membangkitkan minat.

Sementara kebanyakan para bhikkhu yang disebutkan dalam sumber-sumber Pali untuk Konsili Ketiga muncul pada kita dengan sebuah nama dan sedikit detail dari misi mereka, Yonaka Dhammarakkhita dikhususkan untuk penghormatan spesial sebagai guru adik laki-laki Aśoka Tissa. Tampaknya bahwa pikiran Tissa telah cenderung terhadap Dhamma. Ketika berjalan-jalan di hutan ia melihat sang sesepuh duduk bermeditasi, dengan dikipasi oleh gajah jantan dengan cabang pohon sala. Suatu keinginan untuk bergabung dalam Sangha muncul dalam dirinya, dan mengetahui hal ini, Dhammarakkhita naik ke angkasa dan turun di kolam teratai di vihara Aśokārāma di Pāṭaliputta. Ia mandi, sembari meninggalkan jubahnya yang bergantung di tengah udara. Melihat hal ini, Tissa begitu terinspirasi sehingga ia meminta untuk bergabung dalam Sangha segera, mengambil Dhammarakkhita sebagai pembimbingnya.[218]

Ketika misi dikirimkan, Dhammarakkhita pergi ke Aparantaka, di barat India, di mana ia mengajarkan kotbah tentang Kumpulan Besar Api [Aggikkhandopama Sutta] dan mendapatkan 37000 orang pengikut, dengan 1000 orang laki-laki dan 6000 orang perempuan ditahbiskan.

Yonaka adalah yang berhubungan dengan “Ionia”, dan digunakan dalam teks India untuk orang Barat mana pun, terutama orang Yunani. Alexander Agung telah memimpin pasukan Yunani-nya ke dalam India barat laut tak lama sebelum Aśoka. Ia mendirikan beberapa kota yang dinamakan “Alexandria”, salah satunya tampaknya adalah kampung halaman Yonaka Dhammarakkhita. Walaupun ia dikatakan telah dikirimkan ke Aparantaka, di sebelah barat India, ini adalah istilah umum dan di tempat lain jelas bahwa Dhammarakkhita tinggal di wilayah Yunani.[219]
Bagian kedua namanya juga menarik. Kata rakkhita dan gupta memiliki makna yang persis sama: “yang dijaga”. Demikianlah beberapa sarjana modern (Frauwallner, Przyluski), yang mencatat bahwa nama Dhammarakkhita dan Dharmagupta dapat dengan mudah saling dipertukarkan, telah melihat suatu hubungan antara “Dhammarakkhita” ini dan aliran “Dharmaguptaka”: Dharmaguptaka adalah cabang Vibhajjavāda yang berkembang karena ombak misi Dhammarakkhita di barat.[220] Untuk memverifikasi teori ini kita harus menyelidiki bentuk persis namanya sedikit lebih dekat.

Di sini adalah nama-nama yang disebutkan dalam kisah misi Pali,[221] bersama dengan nama-nama seperti yang tercatat dalam Sudassanavinayavibhāsā. Untungnya nama-nama ini secara fonetik tercatat dalam terjemahan Mandarin dan rekonstruksi yang dilakukan tanpa kesulitan yang berarti.

NegeriSumber-Sumber PaliSudassanavinayavibhāsā[222]
Kaśmīr-GandhāraMajjhantika末闡提Majjhantika
MahiṁsakamaṇḍalaMahādeva摩呵提婆Mahādeva
VanavāsaRakkhita勒棄多Rakkhita
AparantakaYonaka Dhammarakkhita曇無德Dharmagupta
MahāraṭṭhaMahādhammarakkhita摩訶曇無德Mahādharmagupta
YonakalokaMahārakkhita摩呵勒棄多Mahārakkhita
HimavataMajjhima末示摩Majjhima
Kassapagotta迦葉Kassapa
Alakadeva提婆Deva
Dundubhissara純毘帝須Dundubhissara
Sahadeva提婆Deva “yang lain”
SuvaṇṇabhūmiSoṇaka須那迦Soṇaka
Uttara欝多羅Uttara
TambapaṇṇidīpaMahinda摩哂陀Mahinda
Iṭṭhiya地臾Iṭṭhiya[223]
Uttiya欝帝夜Uttiya
Sambala參婆樓Sambala
Bhaddasāla拔陀Bhadda

Sementara teks Pali memiliki empat orang “Rakkhita” yang berbeda, versi Mandarin memiliki dua orang “Rakkhita” dan dua orang “Dharmagupta”. Sanghabhadra, penerjemah bahasa Mandarin, jelas dapat secara fonetik membedakan rakkhita dari gupta, dan kita hanya dapat menyimpulkan bahwa naskahnya mengandung bentuk-bentuk ini.[224] Dengan alasan lain, kita dibenarkan dalam menganggap versi Mandarin dari teks ini secara historis lebih dapat dipercaya daripada versi Pali,[225] maka kita menyimpulkan bahwa Dharmagupta adalah bentuk awalnya. Jadi menurut kisah ini, dua dari misionaris ini,[226] yang memasukkan bhikkhu yang dalam bahasa Pali dikenal sebagai Dhammarakkhita, disebut Dharmagupta.

Penemuan dari teks Mandarin ini menambah hal yang cukup masuk akal dalam saran Przyluski bahwa Yonaka Dhammarakkhita adalah pendiri Dharmaguptaka. Penemuan lain yang tidak tersedia bagi Przyluski dan Frauwallner adalah penegasan terbaru atas kehadiran Dharmaguptaka di Gandhāra yang dipengaruhi Yunani.[227] Ini menambah dukungan kuat yang lebih jauh pada gagasan bahwa Dharmaguptaka terpusat pada daerah yang sama di mana kita menemukan Yonaka Dhammarakkhita.

Ketika kita melihat suatu kisah kuno, dengan validitas historis yang telah dikonfirmasi, yang mengatakan bahwa seorang bhikkhu bernama Dharmagupta tinggal di barat laut; dan beberapa abad kemudian terdapat bukti penting atas kehadiran sebuah aliran yang disebut Dharmaguptaka di daerah yang sama; dan catatan-catatan dari aliran tersebut menegaskan bahwa mereka dinamakan berdasarkan guru pendiri mereka; ini tampaknya terlalu mencurigakan, jika bukan dengan aktif menentang, untuk menolak bahwa sumber-sumber ini, meskipun mereka berbeda-beda, mengatakan tentang orang yang sama.

Kita mungkin berspekulasi mengapa Samantapāsādikā tampaknya menggantikan Dhammagutta dengan Dhammarakkhita, sedangkan bentuk yang lebih awal masih ditemukan dalam Sudassanavinayavibhāsā. Saya menyarankan bahwa Buddhaghosa menghilangkan penunjukan pada Dharmaguptaka ketika ia menyusun komentar Vinaya barunya, Samantapāsādikā. Dalam hal ini ia mungkin telah dipengaruhi oleh Dīpavaṁsa, yang terbukti bertanggal setelah Sudassanavinayavibhāsā.[228] Dīpavaṁsa tampaknya adalah teks pertama yang telah meleburkan kisah perpecahan dengan kisah misi. Setelah mengeluarkan kecaman umum terhadap Dhammagutta,[229] akan sesuai dengan tujuan Dīpavaṁsa yang bersifat polemik untuk menyembunyikan hubungan yang diimplikasikan antara aliran ini dan [pengiriman] misi.

Kita juga mungkin membayangkan mengapa Sudassanavinayavibhāsā tidak menggambarkan Dhammarakkhita/Dharmagupta sebagai “orang Yunani” (yonaka). Mungkin penggunaan modern relevan di sini. Masih merupakan kebiasaan di Sri Lanka bagi para bhikkhu asing dipanggil dengan negeri asalnya, seperti katakanlah “Sujata orang Australia”. Tetapi, tentu saja, tidak ada gunanya memanggil para bhikkhu lokal sebagai “Sujata orang Sri Lanka”. Maka penggunaan julukan yonaka pasti berasal dari suatu situasi di mana para bhikkhu Yunani dianggap sebagai orang asing, seperti halnya di India tengah atau Sri Lanka. Tetapi di wilayah yang didominasi orang Yunani ini mungkin tidak digunakan. Maka, mungkin bacaan dari Sudassanavinayavibhāsā adalah sebuah perspektif orang dalam, yang berasal dari tradisi yang menganggap Dhammarakkhita/Dharmagupta sebagai orang sedaerah, yaitu di barat laut.

Ini akan mengimplikasikan bahwa Sudassanavinayavibhāsā memiliki hubungan dekat dengan aliran Dharmaguptaka. Dan sebenarnya, Bapat membuat daftar banyak ciri Dharmaguptaka dalam Sudassanavinayavibhāsā yang ditemukan oleh Hirakawa. Sebagai contoh teks menyebutkan 24 aturan sekhiya yang berhubungan dengan stupa, suatu ciri yang terkenal dari Vinaya Dharmaguptaka.[230] Dari mana bumbu Dharmaguptaka ini tercampur ke dalam teks ini? Bapat melihat ini berasal dari pengaruh Dharmaguptaka di Cina ketika teks ini diterjemahkan. Penafsiran ini problematis, karena ini akan menyatakan bahwa penerjemahnya membuat revisi besar-besaran sesuai dengan sudut pandang sektariannya, sedangkan menurut pengetahuan saya para penerjemah Mandarin tidak, sebagai suatu aturan, membuat perubahan yang ekstensif. Keperluan atas penafsiran ini berasal dari anggapan dasar Bapat bahwa teks ini adalah suatu terjemahan dari Samantapāsādikā. Jika kita menerima argumentasi Guruge bahwa teks ini bukan suatu terjemahan dari Samantapāsādikā, tetapi berasal dari komentar Sinhala yang lebih awal, atau dari komentar yang digunakan oleh persaudaraan Abhayagiri, maka akan tampak lebih mungkin bahwa pengaruh Dharmagupta ada dalam teks aslinya.

Kita mengetahui bahwa persamaan ini ada, tetapi karya tekstual yang lebih terperinci dibutuhkan untuk memastikan persisnya bagaimana atau mengapa mereka ada. Tetapi kesimpulannya tampak tidak terhindarkan bahwa Dharmaguptaka memiliki komentar Vinaya yang mungkin memasukkan suatu versi dari Konsili Ketiga dan misi, kejadian-kejadian yang jika tidak hanya diketahui dari Mahāvihāravāsin.

Detail yang bernada lebih jauh adalah hanya Mahāvihāravāsin dan Dharmaguptaka menyatakan bahwa Brahmajāla adalah Sutta pertama yang dibacakan pada Konsili Pertama.[231] Saya yakin mereka menempatkan sutta ini dalam posisi strategis ini untuk membentuk prototipe mitos untuk Konsili Ketiga di mana para penganut ajaran salah yang menguraikan 62 pandangan dari Brahmajāla dikeluarkan oleh Aśoka di bawah bimbingan Moggaliputtatissa. Fakta bahwa Dharmaguptaka memberikan tempat kebanggaan pada Brahmajāla Sutta menyatakan bahwa mereka memiliki tradisi yang sama berkenaan dengan Konsili Ketiga, yang bersesuaian dengan catatan kita sebelumnya tentang persamaan Dharmaguptaka dari Sudassanavinayavibhāsā.

Dharmaguptaka & “Moggallāna”

Dengan demikian mempertimbangkan tradisi Mahāvihāravāsin bersama-sama dengan penemuan arkeologis, kita dibenarkan dalam melihat suatu hubungan antara Dhammagutta (= Yonaka Dhammarakkhita) dan Moggaliputtatissa, sesepuh yang terkemuka pada masa [pengiriman] misi. Memandang lebih dekat mengungkapkan beberapa sumber-sumber independen yang lebih jauh yang menyatakan suatu hubungan antara Dharmaguptaka dan seorang tertentu bernama “Moggallāna”. Yang pertama dari ini adalah Vasumitra:

Dalam abad ketiga ini dari Sarvāstivādin muncul aliran yang disebut Mahīśāsaka. Dalam abad ketiga ini dari Mahīśāsaka muncul aliran lain yang disebut Dharmaguptaka. Aliran ini menyatakan bahwa Moggallāna adalah guru utama mereka. Dalam abad ketiga ini dari Sarvāstivādin muncul aliran lain yang disebut Suvarṣaka, yang juga disebut Kaśyapīya.[232]

Bhavya[233] dan San-lun-xian-yi,[234] pada pihak lain, mengatakan bahwa Dharmaguptaka disebut demikian berdasarkan guru pendiri mereka. Tentu saja ini adalah alami, karena ingatan atas Moggallāna ternyata memudar seiring waktu.

Śāriputraparipṛcchā, yang memberikan suatu kisah asal mula aliran yang sama, juga menghubungkan pembentukan Dharmaguptaka dengan seorang Moggallāna. Teks ini, yang juga menetapkan dirinya sendiri dalam abad ketiga AN, membaca demikian:

“Aliran Sarvāstivāda kemudian memunculkan aliran Mahīśāsaka. 目揵羅優婆提舍 (mu-qian-luo you-po-ti-she) memulai aliran Dharmaguptaka...”[235]

Walaupun bacaan ini adalah bagian dari pembahasan atas kelompok aliran Sarvāstivāda, teks ini, tidak seperti Vasumitra, tidak secara harfiah menghubungkan Dharmaguptaka dengan Sarvāstivādin atau Mahīśāsaka, tetapi dengan 目揵羅優婆提舍. Bagian pertama dari nama ini jelas “Moggala-“atau sesuatu yang sama. Bagian kedua, 優婆提舍, biasanya diterjemahkan upadeśa, di mana dalam kasus ini menunjuk pada suatu risalah oleh Moggallāna; kita ingat bahwa Moggaliputtatissa terkenal atas penyusunan risalah Kathāvatthu. Tetapi saya pikir ini lebih mungkin menunjuk pada upatissa, yang mengingatkan kita pada bagian akhir nama Moggaliputtatissa. Mungkin frase ini menunjuk pada siswa Sang Buddha, Moggallāna, bersama-sama dengan sahabatnya Sāriputta, yang nama pribadinya adalah Upatissa. Tetapi ungkapan India, sejauh yang saya ketahui, selalu memasangkan dua nama ini berdasarkan nama keluarga sebagai “Sāriputta dan Moggallāna” atau berdasarkan nama pribadi mereka sebagai “Upatissa dan Kolita”, tanpa mencampurkan nama keluarga dan pribadi.[236]

Sekarang tentu saja pertanyaannya adalah, apakah bacaan ini menunjuk pada siswa Sang Buddha Mahāmoggallāna atau pada Moggaliputtatissa dari Konsili Ketiga? Pandangan tradisional, yang dinyatakan kembali oleh Yin Shun dan yang lainnya,[237] adalah bahwa bacaan-bacaan ini menunjuk pada Mahāmoggallāna. Ini dapat dipahami karena Moggaliputtatissa sebenarnya tidak dikenal dalam sumber-sumber utara, maka penunjukan apa pun pada seorang “Moggallāna” secara alami cenderung ditelusuri kembali pada siswa besar tersebut.

Bentuk-bentuk nama-nama ini tidak memutuskan masalah ini. Kita tidak melihat awalan “mahā-“, yang pasti mengidentifikasi sang siswa besar; dan ketiadaan kesamaan yang dipastikan pada bagian kedua nama Moggaliputtatissa tidak menentukan, karena Vijñānakāya pasti tidak menunjuk pada Mahāmoggallāna dan sangat mungkin pada Moggaliputtatissa, tetapi ia hanya menggunakan nama Moggallāna.

Kita tidak dapat memutuskan pertanyaan ini dengan pasti. Namun demikian, saya ingin memajukan beberapa pertimbangan yang, dalam pandangan saya, membuatnya mungkin bahwa penunjukan dalam Vasumitra dan Śāriputraparipṛcchā menunjuk pada sesepuh Konsili Ketiga.

* Kedua sumber kita secara eksplisit menempatkan diri mereka sendiri pada abad ketiga setelah Sang Buddha. Penyebutan Moggallāna muncul dalam penyajian ini, dengan tidak ada petunjuk bahwa mereka meloncat kembali ke masa yang lebih awal. Saya pikir lebih alami untuk membaca bacaan-bacaan ini seakan-akan mereka menunjuk pada kejadian-kejadian yang sezaman.

* Nama dalam Śāriputraparipṛcchā, seperti yang saya buktikan di atas, lebih mungkin sebagai suatu pembacaan yang berbeda dari Moggaliputtatissa daripada mewakili Moggallāna-Upatissa.

* Tampaknya tidak ada alasan yang kuat bagi Dharmaguptakan untuk menyatakan Mahāmoggallāna sebagai leluhur mereka. Secara normal kita akan mengharapkan suatu aliran untuk menyatakan seorang leluhur yang mereka memiliki beberapa hubungan khusus: sebagai contoh, aliran Sautrantika menghormati Ānanda, guru sutta-sutta. Mahāmoggallāna adalah yang terkemuka dalam kekuatan batin, tetapi saya tidak mengetahui adanya petunjuk bahwa ini secara khusus ditekankan oleh Dharmaguptaka. Pada sisi lain, sumber-sumber Sri Lanka menunjukkan hubungan yang mudah antara Moggaliputtatissa dan Dhammarakkhita (= Dharmagupta).

* Kisah dari Vasumitra dan Śāriputraparipṛcchā sangat berhubungan erat, dan keduanya menunjuk pada Moggallāna: lalu mengapa Śāriputraparipṛcchā memperkenalkan “Upatissa”? Ini sangat dapat dipahami jika kita menganggap nama-nama ini hanyalah variasi dari Moggaliputtatissa.

* Dalam kisah Vasumitra, Dharmaguptakan menyatakan “Moggallāna” sebagai guru mereka, dan ini dapat dipahami bahwa suatu aliran dapat melihat kembali pada salah satu guru historis sebagai inspirasi utama mereka. Tetapi Śāriputraparipṛcchā mengatakan bahwa Moggalla (-puttatissa atau –upatissa atau – upadeśa) “memulai” (起) Dharmaguptaka. Ini jelas anakronistik untuk mengatakan Mahāmoggallāna sebagai “pencipta” suatu aliran tertentu. Pada sisi lain, akan sepenuhnya alami, di bawah teori kita, bagi Dharmagupta untuk menganggap Moggaliputtatissa sebagai guru pendiri mereka.

* Seperti yang telah kita lihat, terdapat alasan bagus untuk meyakini bahwa Dharmaguptaka memiliki tradisi misi dan Konsili Ketiga yang sebanding dengan tradisi dari Mahāvihāra, yang menekankan peran Moggaliputtatissa sebagai pemimpin gerakan misionaris. Dukungan tekstual konkrit atas tesis ini ditemukan dalam Sudassanavinayavibhāsā. Seperti yang telah kita lihat, kisah misi yang ditemukan dalam teks ini mengakui peran Moggaliputtatissa sebagai pencetus misi “Dharmagupta”. Jika suatu hubungan Dharmaguptaka untuk teks ini dibangun, ini juga akan menjelaskan secara khusus peran terkemuka yang dimainkan “Yonaka Dhammarakkhita” (=Dharmagupta) dalam narasi ini.

* “Moggallāna” dari Vijñānakāya dikatakan menganut pandangan bahwa terdapat kesadaran tanpa objek. Mungkin bahwa ini adalah suatu pandangan Dharmagupta, karena Buddhaghosa menganggap pandangan ini dan yang berhubungan berasal dari Uttarapāthaka[238] dan Dharmaguptaka mungkin telah dimasukkan di antara Uttarapāthaka. Bhavya dan Vasubhandu menghubungkan pada Vibhajjavādin (termasuk Dharmaguptaka) ajaran yang berhubungan erat bahwa perbuatan-perbuatan lampau yang telah menghasilkan buahnya tidak ada, sedangkan perbuatan-perbuatan yang belum menghasilkan buahnya masih ada. Buddhaghosa dan Vasumitra menganggap pandangan ini berasal dari Kaśyapīya, tetapi Vasumitra mengatakan bahwa dalam kebanyakan ajaran Kaśyapīya sama dengan Dharmaguptaka.[239] Lebih banyak penelitian perlu dilakukan untuk melihat apakah Dharmaguptaka benar-benar menganut pandangan yang dianggap berasal dari Moggallāna dalam Vijñānakāya.

Oleh sebab itu saya berpikir kita memiliki alasan yang bagus untuk menerima tesis bahwa Moggallāna yang ditunjuk dalam hubungan dengan Dharmaguptaka kenyataannya adalah sesepuh vibhajjavādin Moggaliputtatissa alih-alih siswa besar Mahāmoggallāna. Ini hanya akan membuat penjelasan yang lebih mudah dan masuk akal.
« Last Edit: 28 January 2013, 08:15:46 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #25 on: 28 January 2013, 07:50:52 PM »
Dhammarakkhita: beberapa kisah lainnya

Kronologi Sri Lanka mencatat bahwa Yonaka Dhammarakkhita dan banyak dari para pengikutnya mengadakan perjalanan ke Sri Lanka untuk upacara pemberkahan perdana atas Stupa Besar.[240] Ini bukan perlakuan yang kita harapkan dari seorang pengikut ajaran yang bersifat memecah belah, tetapi seorang sesepuh yang dihormati dari tradisi itu.

Komentar Abhidhamma masih menggambarkan Dhammarakkhita, walau ia jauh, sebagai seorang guru yang dihormati. Berikut adalah uraian dengan kata-kata sendiri dari Dictionary of Pali Proper Names:

Punabbasukutumbikaputta Tissa Thera: Ia berasal dari Sri Lanka, dan menyeberang ke India, di mana ia belajar di bawah Yonaka Dhammarakkhita. Dalam perjalanan pulang melalui laut ia merasa ragu-ragu atas satu kata, dan kembali sepanjang jalan, seratus league, untuk berkonsultasi dengan gurunya. Di jalan dari pelabuhan ia menyebutkan kata itu pada seorang perumah tangga, yang begitu gembira terhadapnya sehingga ia memberikannya selembar selimut dan seratus ribu. Selimut ini Tissa berikan kepada gurunya, tetapi gurunya memotongnya dan menggunakannya sebagai kain bentangan, sebagai contoh kepada yang lain (untuk tidak menginginkan barang-barang mewah). Tissa menyelesaikan keragu-raguannya dan kembali ke Jambukola. Di sana, di Vālīkāvāma, ketika ia sedang menyapu halaman cetiya, para bhikkhu lain menanyainya pertanyaan-pertanyaan untuk menyusahkannya. Tetapi ia dapat menjawab semua pertanyaan ini, karena telah mencapai paṭisambhidā. VibhA. 389.

Hubungan antara Dhammarakkhita dan Abhidhamma juga diisyaratkan dalam teks pasca-kanonik mirip-Abhidhamma, Milindapañha. Teks ini, yang ada dalam beberapa versi, dengan terkenal mencatat (atau menemukan kembali) suatu dialog antara raja Yunani Milinda (Menander) dan bhikkhu Buddhis Nāgasena. Versi Pali memperkenalkan seseorang tertentu bernama Dhammarakkhita dalam suatu peran kunci. Nāgasena, setelah pelatihan awalnya, melakukan “perjalanan panjang” ke timur ke Aśokārāma di Pāṭaliputta untuk menerima ajaran dari “Dhammarakkhita”. Peristiwa ini tidak muncul dalam terjemahan Mandarin dari versi Sarvāstivāda. Umumnya disetujui bahwa versi Pali telah menjadi subjek perluasan, beberapa jelas tidak sesuai dengan sejarah.[241] Salah satu tujuan modifikasi ini adalah untuk menghubungkan kembali aksi dari teks ini dengan daerah penting Buddhis di timur. Demikianlah teks ini menyebutkan lima sungai; dalam versi Mandarin empat dari sungai-sungai ini berasal dari barat laut India, tetapi dalam Pali, semuanya ada di daerah timur.[242] Karena Milindapañha ditetapkan di barat laut, tampaknya mungkin bahwa para penyusun Pali ingin membawa aksi tersebut kembali lebih jauh ke timur, ke negeri-negeri yang mereka lebih familiar, dan yang memiliki pergaulan yang panjang dengan daerah penting Buddhis.

Tidak ada kebetulan bahwa kembalinya ini ke “vihara Aśoka”, pusat aksi dalam kisah Konsili Ketiga, dan bahwa di sini, dengan Dhammarakkhita sebagai guru, sehingga Nāgasena menjadi seorang Arahat. Tampaknya bahwa versi Pali, sementara memuliakan penyebaran Dhamma ke negeri-negeri asing, masih menyayangi tempat-tempat lama, dan membawa pahlawannya kembali ke daerah pedalaman untuk kejadian penting pencerahannya. Demikianlah penyisipan peristiwa Dhammarakkhita mungkin juga untuk membuat hubungan dengan “Dhammarakkhita orang Yunani” yang lebih baik untuk mengajar guru orang Yunani, Nāgasena? Tidak mungkin bahwa “Dhammarakkhita” yang sama dapat hidup di masa Aśoka dan Milinda, walaupun McEvilley menganggap ini mungkin.[243] Tetapi mempertimbangkan kurangnya perhatian terhadap historisitas yang ditunjukkan oleh para penyusun Pali, ini tidak mempengaruhi identifikasi dua orang Dhammarakkhita ini.

Demikianlah “Dhammarakkhita” tetaplah seorang sesepuh yang dihormati bagi Mahāvihāravāsin selama waktu yang panjang, yang dikenang dengan baik oleh mereka sebagai saudara jauh yang berhasil membawa Dhamma ke wilayah-wilayah Yunani. Ini sangat sesuai dengan naskah yang ada dan penunjukan prasasti pada Dharmaguptaka, yang terpusat di Gandhāra, yang lama berada di bawah kekuasaan orang Yunani.

Ajaran-Ajaran dan Teks-Teks Dharmaguptaka

Penyelidikan teks-teks dan gagasan-gagasan Dharmaguptaka menegaskan hubungan dekat mereka dengan Mahāvihāravāsin. Pertama-tama kita akan melihat bagaimana mereka digambarkan dalam sumber-sumber Mahāvihāravāsin.

Kathāvatthu Mahāvihāravāsin memberikan daftar ratusan poin perdebatan antara berbagai aliran. Namun, aliran-aliran ini tidak disebut namanya dalam teks, dan untuk menemukan siapa yang menganut pandangan-pandangan ini – atau setidaknya, siapakah yang diyakini Mahāvihāravāsin menganut pandangan-pandangan ini – kita harus berbalik ke komentar [Kathāvatthu]. Dalam pendahuluannya, komentar mengelompokkan “Dhammaguttika” sebagai salah satu cabang dari Mahīśāsaka, dan karenanya mereka dianggap di antara 17 aliran yang “bersifat memecah belah” atau “menyimpang”. Tetapi ini hanyalah penyapuan penolakan sektarian semua aliran yang berbeda. Dalam isi komentar tidak menyebutkan Dharmaguptaka. Demikianlah Mahāvihāravāsin mengetahui Dharmaguptaka, tetapi mereka tidak mengetahui pandangan yang tidak disetujui yang dianut Dharmaguptaka.

Informasi tentang ajaran-ajaran Dharmaguptaka dapat ditemukan dalam Vasumitra:[244]

* Sang Buddha, ketika masih hidup, termasuk dalam Sangha.
* Pemberian yang diberikan kepada Sang Buddha lebih berjasa daripada pemberian yang diberikan kepada Sangha.
* Pemberian yang dibuat pada sebuah stupa adalah berjasa.
* Pembebasan dari para Buddha dan dua kendaraan (= sāvaka dan paccekabuddha) adalah sama (ini disebutkan hanya dalam terjemahan Xuanzang), walaupun jalannya berbeda.[245]
* Mereka yang berada di luar Buddhisme tidak dapat mencapai lima pengetahuan istimewa (abhiññā).
* Tubuh seorang Arahat adalah tanpa āsava.

Empat yang pertama akan dapat diterima oleh Mahāvihāravāsin; yang kelima tidak; yang terakhir, sementara terlalu kabur untuk benar-benar masuk akal bagi semua orang kecuali seorang Abhidhammika, akan bertentangan dengan penafsiran Mahāvihāravāsin, yang menganggap bahwa tubuh seorang Arahat dapat menjadi objek kekotoran bagi orang lain; tetapi mungkin ini dimaksudkan lebih sebagai suatu koreksi atas poin pertama dari “5 poin” Mahāsaṅghika.

Sebagai tambahan pada pandangan-pandangan ini, Vasubandhu[246] mengatakan bahwa Dharmaguptaka menganggap, sepaham dengan Mahāvihāravāsin dan berlawanan dengan Sarvāstivādin, bahwa realisasi kebenaran terjadi semuanya dalam seketika (ekābhisamaya).

Ini akan membawa kita terlalu menyimpang untuk menyelidiki secara rinci teks-teks sebenarnya dari Dharmaguptaka, tetapi suatu peninjauan yang cepat cukup untuk memperkuat kesan kedekatan mereka dengan Mahāvihāravāsin.

Berkenaan dengan Vinaya Dharmaguptaka, Pachow dalam penelitiannya tentang pāṭimokkha menyatakan: “Dharmaguptaka mengikuti sangat dekat teks Pali dalam kebanyakan kasus, tidak hanya dalam menomori rangkaian-rangkaiannnya tetapi juga dalam isinya, kecuali bagian [sekhiya], yang mana teks Dharmaguptaka menambahkan 26 aturan larangan yang berkenaan dengan stupa.”[247]

Berkenaan dengan literatur sutta, McQueen mempelajari berbagai versi dari Sāmaññaphala Sutta, dan menyimpulkan bahwa dari semuanya, Mahāvihāravāsin dan Dharmaguptaka merupakan tradisi kuno yang terdekat dan berdiri berdekatan. Ia juga mengatakan bahwa kedekatan ini juga berlaku untuk Dīgha Nikāya Mahāvihāravāsin secara umum ketika dibandingkan dengan Dīrgha Āgama Dharmaguptaka: “Kumpulan-kumpulan ini secara umum sangat dekat; ketidaksepahaman utama jarang. Di mana perbedaan memang terjadi, Dīrgha [Dharmaguptaka] lebih sering salah (belakangan), dengan menunjukan perubahan dan perluasan dari teks.”[248]

Akhirnya, Frauwallner dalam pembahasannya tentang karya Abhidharma Dharmaguptaka yang bertahan satu-satunya, Śāriputrābhidharma, menunjukkan hubungan yang dalam antara karya ini dan berbagai buku Abhidhamma Mahāvihāravāsin, termasuk Dhammasaṅgaṇī, Vibhaṅga, Dhātukathā, dan Paṭṭhāna. Ia menyimpulkan dengan mengatakan “Sementara terutama berdasarkan suatu bahan kuno yang diturunkan, bahkan ini diatur dalam cara yang berbeda seperti yang dibandingkan dengan aliran-aliran lain yang telah kita bahas [Mahāvihāravāsin and Sarvāstivāda]. Ini [Abhidharma Dharmaguptaka] mengandung sedikit dalam cara inovasi atau evolusi ajaran.”[249] Demikianlah, sementara menerima bahwa terdapat beberapa perbedaan yang penting dalam bidang Abhidhamma, jelas terdapat suatu sumber umum. Tidak ada alasan mengapa perbedaan demikian seperti yang ada tidak muncul dalam periode panjang perkembangan Abhidhamma yang berlangsung setelah pemisahan aliran-aliran.

Penemuan naskah yang baru-baru ini dari Gandhāra memberikan kita sumber baru teks-teks Dharmaguptaka, dan wawasan baru ke dalam bagaimana mereka berkembang. Menurut Richard Solomon, teks-teks yang ada, yang berada dalam kondisi kerusakan yang sangat buruk, berasal dari masa sesaat setelah Masehi, yaitu awal dari periode pertengahan Buddhisme India. Teks-teks ini tidak memiliki keseragaman tekstual seperti yang kita harapkan dari teks Pali, dan demikianlah Solomon menyatakan teks-teks ini berasal dari masa ketika kanon belum terbentuk sepenuhnya. Kemungkinan lain, bisa jadi bahwa Dharmaguptaka tidak menempatkan seistimewa seperti Mahāvihāravāsin tentang ketepatan tekstual: kita telah melihat bahwa Dīpavaṁsa menganggap perpecahan akar berasal dari tekstualitas yang jelek, dan keulungan paṭisambhidā dalam risalah-akar mereka Paṭisambhidāmagga menegaskan sentralitas analisis tekstual bagi aliran ini. Sesungguhnya, Mahāvihāravāsin, sejauh yang kita ketahui, merupakan satu-satunya aliran yang menghasilkan kumpulan komentar yang lengkap atas teks-teks kanon. Mungkin kita harus menganggap mereka sebagai aliran tafsir tekstual yang terkemuka.

Teks-teks Gandhārī dari Dharmaguptaka hanya sebagian yang telah dipelajari. Jelas teks-teks ini mewakili suatu tradisi tekstual yang berbeda dengan tradisi yang dipertahankan dalam literatur Pali atau Āgama Mandarin, dengan pengecualian yang jelas bahwa mereka sangat sepaham dengan teks-teks Dharmaguptaka Mandarin yang ada, dalam sejauh perbandingan yang telah dibuat. Tetapi tidak ada perbedaan ajaran yang nyata. Satu-satunya unsur yang benar-benar baru adalah pengenalan beberapa kisah berjenis avadāna yang berkaitan dengan tokoh-tokoh terkemuka lokal.  Demikianlah Dharmaguptaka menyesuaikan literatur mereka pada budaya lokal, namun tanpa mengubah ajarannya.

Jadi tampaknya bahwa pemisahan antara Mahāvihāravāsin dan Dharmaguptaka bukan disebabkan oleh Dhamma ataupun Vinaya, tetapi hanya geografi. Dharmaguptaka merupakan cabang barat laut dari Vibhajjavāda, dan Mahāvihāravāsin atau Theravādin merupakan cabang selatan. Sementara Mahāvihāravāsin dalam suasana yang bertikai mengeluarkan kecaman murni yang resmi atas Dharmaguptaka, teks-teks, ajaran-ajaran, dan sejarah sebaliknya mengungkapkan suatu persamaan yang dekat.

Catatan Kaki Bab 8:

[218] Pali Vinaya 1.55

[219] Thūpavaṁsa 20: yonakaraṭṭhe alasaṇdā nagarato yonaka dhammarakkhitatthero tiṁsa bhikkhu sahassāni (“… dari kota Alexandria di negeri Yonaka, Yonaka Dhammarakkhita dan 30.000 orang bhikkhu [datang]…”.) Ini menunjuk pada kunjungannya pada pembukaan Stupa Agung di Sri Lanka.

[220] Komentar memperlakukan dua kata ini bersama-sama, misalnya Dhammapāda Aṭṭhakathā 257: Dhammassa guttoti so dhammagutto dhammarakkhito.

[221] Sumber-sumber Pali sangat konsisten dalam menamakan bhikkhu ini, tetapi terdapat beberapa pengecualian. Dalam kisah yang baru kita ceritakan tentang Dhammarakkhitta mengubah keyakinan adik raja, bhikkhu ini ditunjuk sebagai “Yonakamahādhammarakkhita”. Tetapi teks Mandarin di sini hanya memiliki Dharmagupta (曇無德 CBETA, T24, no. 1462, p. 682, c14) Hal yang sama, pada Mahāvaṁsa 29.39 kita menemukan Yonamahādhammarakkhita. Tetapi ini patut diperhatikan bahwa nama-nama bhikkhu itu tunduk pada modifikasi yang membingungkan. Awalan “Mahā” ditambahkan atau tidak, seperti yang kita lihat dalam kasus Yonaka [Mahā] Dhammarakkhita. Terdapat banyak sekali nama-nama yang berawalan “Dhamma-“ yang normal dalam masa modern untuk menghilangkan Dhamma dan hanya menggunakan unsur kedua; dengan demikian Dhammarakkhita menjadi “Rakkhita”. Juga umum untuk menamakan seorang bhikkhu berdasarkan negeri asalnya, tetapi lagi ini dapat diterapkan sangat tidak konsisten. Maka, tanpa berusaha menyelesaikan sesuatu yang definitif, saya membayangkan apakah beberapa bhikkhu ini mungkin adalah orang yang sama, yang dikenali dengan gelar-gelar yang sedikit berbeda di negeri-negeri yang berbeda.

[222] CBETA, T24, no. 1462, p. 684, c17-p. 685, a4. Para guru Hemavata dalam CBETA, T24, no. 1462, p. 686, a5-9

[223] Tidak ditemukan dalam bagian pertama, tetapi di bawah dalam CBETA, T24, no. 1462, p. 684, b26

[224] Poin ini sayangnya samar-samar dalam terjemahan Bapat, di mana ia menerjemahkan 曇無德 (tan-wu-de) seakan-akan mencari kembali pada suatu dhamma(rakkhi)ta yang awal (misalnya, Bapat, 36). Tetapi 曇無德 adalah penerjemahan standar dari Dharmagupta, yang digunakan belasan kali dalam pengertian ini. Karena kita mengetahui bahwa Sanghabhadra sangat memahami fonetik yang mewakili rakkhita oleh 勒棄多 (le-qi-duo), mengapa ia menggunakan suatu kombinasi terjemahan yang membingungkan demikian dalam konteks yang sama? Penafsiran Bapat mengharuskan bahwa penerjemahan Sanghabhadra secara sembarangan tidak konsisten. Bahkan untuk fonetik India yang sama yang berakhiran –ta, Sanghabhadra menggunakan dua karakter yang berbeda: 德 (de) dan 多 (duo). Ini hanya masuk akal jika 曇無德 diterjemahkan sebagai Dharmagupta, karena dalam kasus ini penerjemahan ini adalah penggunaan umum, bahkan jika tidak secara internal konsisten dalam bacaan ini. Oleh sebab itu saya berpikir bahwa pasti benar bahwa  teks Sanghabhadra membaca Dharmagupta (atau yang sama) dan terjemahan Bapat sebagai Dhammarakkhita berasal dari anggapannya bahwa Sudassanavinayavibhāsā adalah terjemahan dari Samantapāsādikā; walaupun mencatat banyak perbedaan antara dua teks ini, ia masih cenderung membaca teks Pali kembali ke bahasa Mandarin.

[225] Sebagai contoh, dalam setiap kisah misi, sebuah angka diberikan berdasarkan konversi dan penahbisan yang dibuat. (Lamotte, History of Indian Buddhism, 296) Dalam dua kisah, dalam 12 kasus angka-angkanya sama. Dalam kasus-kasus sisanya perbedaannya adalah, dengan menyebutkan versi Pali pertama kali: 100000/1000; 37000/7000; 37000/30000; 13000/3000; 170000 (atau 137000)/73000; 10000/1000. Dengan demikian kapan pun keduanya berbeda, versi Pali lebih besar daripada versi Mandarin, dan perbedaan ini selalu oleh suatu jumlah buatan yang mencurigakan.

[226] Jika nama-namanya tidak membuat bingung dan keduanya dihitung sebagai satu nama.

[227] Salomon

[228] Atau setidaknya, Sudassanavinayavibhāsā tidak menyebutkan Dīpavaṁsa. Kadangkala Sudassanavinayavibhāsā mengutip syair-syair yang ditemukan dalam Dīpavaṁsa, tetapi sementara Samantapāsādikā menyebutkan Dīpavaṁsa dengan nama, Sudassanavinayavibhāsā hanya mengatakan syair-syair ini diucapkan oleh orang-orang zaman kuno: 今說往昔偈讚 (CBETA, T24, no. 1462, p. 687, c3, c17-18)

[229] Dīpavaṁsa 4.86

[230] Bapat l-liii; lihat Guruge, 96.

[231] CBETA, T22, no. 1428, p. 968, b15-16. Versi Dharmaguptaka dari Brahmajāla sangat dekat dengan versi Pali, dengan hanya variasi sepele dalam urutan dan susunan kata dari 62 pandangan salah. Untuk studi yang rinci, lihat Cheng.

[232] 於此第三百年中。從說一切有部。又出一部。名正地部。於此第三百年中。從正地部。又出一部。名法護部。此部自說勿伽羅是我大師。於此第三百年中。從說一切有部。又出一部。名善歲部。亦名飲光弟子部 (CBETA, T49, no. 2033, p. 20, b14-18). Ini adalah terjemahan Paramārtha, terjemahan Xuan-zang sepaham, dengan mengatakan bahwa Dharmaguptaka mengikuti guru Moggallāna (自稱我襲採菽氏師, CBETA, T49, no. 2031, p. 15, b16-17; di mana Moggallāna diterjemahkan sebagai 採菽氏, cai-shu-shi. Terjemahan ini berasal dari suatu kisah yang menyatakan bahwa nama keluarga Moggallāna berasal dari nenek moyang yang terbiasa memetik (採) buncis (菽, Pali mugga). Terjemahan Kumarajiva mengatakan bahwa: “Mahīśāsaka memunculkan aliran lain yang disebut Dharmaguptaka, yang mengikuti guru utama mereka Moggallāna.” (彌沙部中復生異部。因師主因執連名曇無德 (CBETA, T49, no. 2032, p. 18, b1-2) Menurut Li Ch’ung An terdapat kesalahan goresan di sini, dengan 因執連 alih-alih  目揵連. Lihat http://ccbs.ntu.edu.tw/FULLTEXT/JR-BJ001/03_02.htm#n36)

[233] Rockhill, 1992, 184

[234] CBETA, T45, no. 1852, p. 9, c13-15

[235] 其薩婆多部。復生彌沙塞部。目揵羅優婆提舍。起曇無屈多迦部 (CBETA, T24, no. 1465, p. 900, c2-4)

[236] Misalnya Pali Vinaya 1.42: addasā kho bhagavā sāriputtamoggallāne dūratova āgacchante, disvāna bhikkhū āmantesi – ‘ete, bhikkhave, dve sahāyakā āgacchanti, kolito upatisso ca. etaṁ me sāvakayugaṁ bhavissati aggaṁ bhaddayugan’ti.

[237] http://www.budd.cn/news/budren/news_budren_20030430_9.html

[238] Kv 9.3, 9.4, 9.5, 9.6.

[239] 餘義多同法藏部執 (CBETA, T49, no. 2031, p. 17, b2)

[240] Lihat catatan di atas dari Thūpavaṁsa. Kejadian ini lebih awal dicatat dalam Mahāvaṁsa 29.39: Yonanagarā’lasandāso, yonamahādhammarakkhito; thero tiṁsa sahassāni bhikkhū ādāya āgamā.

[241] Seperti penyebutan Milinda mengunjungi enam guru ajaran lain yang hidup pada masa Sang Buddha.

[242] http://www.saigon.com/~anson/ebud/milinda/ml-01.htm

[243] McEvilley, 378

[244] Lihat Dutt, 172

[245] 佛與二乘解脫雖一。而聖道異 (CBETA, T49, no. 2031, p. 17, a25)

[246] Abhidharmakośa vi. 27

[247] Pachow, 39. Untuk suatu tantangan atas penafsiran yang biasa bahwa Dharmaguptaka memiliki persamaan khusus atas pemujaan stupa, lihat http://sectsandsectarianism.googlepages.com/dharmaguptakasandthestupa

[248] McQueen, 190

[249] Frauwallner, 1995, 116
« Last Edit: 28 January 2013, 08:40:17 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #26 on: 28 January 2013, 09:03:24 PM »
Bab 9
Mūlasarvāstivādin dari Mathura

TERDAPAT DUA ALASAN UTAMA mengapa aliran Mūlasarvāstivāda adalah penting. Alasan pertama adalah bahwa aliran ini meninggalkan warisan tulisan yang besar, yang semakin bertambah sejak banyak dari fragmen Sanskrit yang ditemukan baru-baru ini yang mungkin berasal dari aliran ini. Alasan kedua bahwa Sangha Tibet menganggap silsilah Vinaya-nya dari aliran ini.[250] Maka adalah penting untuk memahami tempat Mūlasarvāstivādin dalam sejarah Buddhis.

Sayangnya, ini jauh dari jelas. Nama Mūlasarvāstivāda tidak ditemukan dalam prasasti awal mana pun, dan tidak dapat dibuktikan keberadaannya secara pasti sampai periode yang belakangan dari Buddhisme India. Vinaya mereka panjang lebar, dan kebanyakan sarjana modern cenderung melihatnya sebagai belakangan. Dalam bentuknya yang sekarang Vinaya mereka dapat ditentukan pada “periode pertengahan” Buddhisme India – antara 500-1000 tahun AN – dan ketidakjelasan dari anggapan ini mengatakan pada kita betapa sedikitnya kita mengetahui. Namun demikian, beberapa sarjana telah menyatakan bahwa Vinaya ini menunjukkan ciri-ciri awal dalam beberapa hal. Ini tidak mengejutkan kita, karena seluruhnya telah terbukti dikumpulkan selama suatu jangka waktu yang lama, dan pasti memasukkan bahan dari daerah-daerah yang sangat berbeda. Jika kita menganggap ciri-ciri yang paling awal, seperti pāṭimokkha, berasal dari Sang Buddha sendiri, dan penambahan terbaru, katakanlah, pada tahun 500 M, kita sedang membicarakan suatu periode 1000 tahun penyusunan!

Ketidakpastian mengenai aliran ini telah membawa pada sejumlah hipotesis. Teori Frauwallner menyatakan bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah aturan disiplin dari komunitas Buddhis awal yang berbasis di Mathura, yang sangat independen dalam perkembangannya sebagai komunitas monastik dari Sarvāstivādin dari Kaśmir (walaupun tentu saja ini tidak berarti mereka berbeda dalam hal ajaran). Lamotte, berlawanan dengan Frauwallner, menyatakan bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah penyusunan Kaśmīr yang belakangan untuk melengkapi Vinaya Sarvāstivāda.[251] Warder menyatakan bahwa Mūlasarvāstivādin adalah perkembangan belakangan dari Sarvāstivāda, yang inovasi utamanya adalah tulisan, penyusunan Vinaya yang besar dan Saddharmasmṛtyupasthāna Sūtra,[252] yang mengandung ajaran-ajaran awal tetapi membawa gaya tetap up to date pada masa perkembangan tulisan yang sezaman.[253] Enomoto menarik kesimpulan dari semua teori ini dengan menyatakan bahwa Sarvāstivādin dan Mūlasarvāstivādin sebenarnya adalah sama. Sementara itu, Willemen, Dessein, dan Cox telah mengembangkan teori bahwa Sautrantika, suatu cabang atau kecenderungan dalam kelompok aliran Sarvāstivādin, muncul di Gandhāra dan Bactria sekitar tahun 200 M. Walaupun mereka adalah kelompok yang paling awal, mereka secara sementara kehilangan tanah pada aliran Kaśmīr Vaibhāśika disebabkan oleh pengaruh politik Kaṇiṣka. Dalam tahun-tahun belakangan Sautrantika menjadi dikenal sebagai Mūlasarvāstivādin dan mendapatkan kembali pengaruhnya.[254] Saya telah di tempat lain memberikan alasan saya untuk tidak setuju dengan teori dari Enomoto dan Willemen dkk.[255] Baik Warder ataupun Lamotte tidak memberikan cukup bukti untuk mendukung teori mereka.

Kita disisakan dengan teori Frauwallner, yang dalam hal ini bertahan dalam uji waktu. Untuk sisa bab ini saya terutama menaruh perhatian dengan menarik implikasi dari teori ini. Namun, karena skenario tertentu ini kontroversial, saya juga akan menyelidiki kemungkinan lain. Jika Frauwallner salah, dan Sarvāstivādin dan Mūlasarvāstivādin tidak berasal dari komunitas Vinaya yang berbeda, maka ini mungkin bahwa mereka berhubungan satu sama lain dalam beberapa cara. Mungkin aliran yang sama mempertahankan turunan tekstual yang berbeda dari Vinaya sementara tetap bersatu dalam hal praktis. Dalam kasus ini kita harus mencari asal mula Mūlasarvāstivāda dalam hubungannya dengan asal mula Sarvāstivāda. Kemungkinan ini diselidiki pada akhir bab ini.

Tetapi dimulai dengan Frauwallner, inti teorinya adalah ini. Vinaya Mūlasarvāstivādin memasukkan satu bagian yang menceritakan perjalanan Sang Buddha ke Kaśmīr, yang meramalkan pengubahan keyakinan oleh Majjhantika. Namun, bagian ini telah dengan sembarang disisipkan ke dalam teks, menunjukkan bahwa ini adalah penambahan yang belakangan.[256] Bagian-bagian yang lebih awal menunjuk pada suatu hubungan dengan Mathura. Argumentasi ini telah dinyatakan kembali oleh Wynne, yang mempertahankan tesis Frauwallner, dan menambahkan anggapan bahwa komunitas Mathura belakangan pindah ke Kaśmīr, di mana mereka berselisih dengan Vaibhāśika atas siapa yang mengklaim sebagai Sarvāstivādin yang “asli”.[257]

Demikianlah teori Frauwallner menganggap bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah aturan disiplin dari suatu komunitas Buddhis awal yang berbasis di Mathura. Sepotong kunci bukti adalah pernyataan Kumārajīva dalam terjemahannya atas Mahāprajñāpāramitopadeśa:

“(Vinaya), secara singkat, mengandung delapan puluh bagian. Ini ada dua jenis. Yang pertama Vinaya dari Mathura, yang memasukkan Jātaka dan Avadāna, dan mengandung delapan puluh bagian. Bagian kedua, Vinaya dari Kaśmīr, tidak memasukkan Jātaka dan Avadāna;[258] menerima hanya yang penting, ia berbentuk sepuluh bagian. Namun, terdapat suatu komentar (vibhāṣā) dalam delapan puluh bagian yang menjelaskannya.”[259]

Vinaya Mūlasarvāstivāda sesungguhnya sangat panjang, penuh dengan kisah-kisah Avadāna dan Jātaka, dan memiliki hubungan erat dengan Mathura. Vinaya Sarvāstivāda, yang berhubungan dekat dengan Kaśmīr, dikenal sebagai “Vinaya Sepuluh Bagian”, dan tidak mengandung bahan legendaris dan narasi. Maka kita dibenarkan dalam menyamakan dua Vinaya ini dengan Vinaya yang disebutkan oleh Kumārajīva. Frauwallner mencatat perbedaan penting antara dua Vinaya ini, dan menganggap Vinaya Sarvāstivāda dalam banyak hal lebih dekat dengan aliran-aliran misionaris yang lain, dan mungkin berasal dari sumber itu, sedangkan Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah silsilah awal yang independen. Sementara tidak bermaksud mendiskusikan hal ini, saya telah memperhatikan bahwa kadangkala dua Vinaya memang berbagi ciri-ciri khusus yang sama yang menyatakan beberapa hubungan.

Beberapa sumber membuat hubungan yang lebih jauh antara Vinaya dan Upagupta, guru besar dari Mathura.[260] Sebagai yang terakhir dari lima orang “Guru Hukum” yang diterima dalam seluruh tradisi utara, adalah alami bahwa nama Upagupta dihubungkan dengan Vinaya. Dan kita memperhatikan bahwa salah satu atribut Upagupta yang paling bertahan adalah sebagai seorang pengkotbah avadāna. Sesungguhnya, begitu dekatnya hubungan ini sehingga Strong bahkan mengatakan Upagupta sebagai pelindung dari sekelompok bhikkhu yang mengembangkan dan mempertahankan literatur ini. Maka ini tidak mungkin kebetulan bahwa semua Vinaya yang kita ketahui, satu-satunya yang menonjolkan avadāna begitu kuatnya datang dari kampung halaman sang sesepuh besar yang sangat erat berhubungan dengan kelompok literatur ini.

Mathura dalam Sutta-Sutta

Mathura tidak memiliki awal yang menguntungkan sebagai pusat Buddhis. Anguttara Nikāya menyebutkan Sang Buddha secara ringkas berkomentar bahwa di Mathura jalan-jalan tidak rata, berdebu, anjing-anjingnya ganas, para yakkha buas, dan dana makanan sulit diperoleh.[261] Latar belakang untuk kejadian ini diberikan secara singkat diberikan dalam komentar Pali, yang mengatakan bahwa ketika Sang Buddha mengunjungi Mathura, beliau disambut oleh sesosok yakkhinī, yang berusaha menakuti atau menggoda beliau (atau lebih mungkin keduanya), tanpa takut beliau mengubah semua pemuja yakkhinī itu.[262] Peristiwa ini diambil dalam detail penuh dalam Vinaya Mūlasarvāstivādin, dalam naskah Gilgit[263] dan Mandarin, dan tampaknya telah menjadi sumber penyesalan Mūlasarvāstivādin atas Mathura, yang akan saya rangkum dengan singkat.

Sang Buddha mengunjungi Mathura dan disambut oleh para brahmana perumah tangga, walaupun mereka awalnya curiga karena dikatakan bahwa beliau tidak memberikan penghormatan yang pantas kepada para brahmana. Namun demikian, beliau mengajarkan Nīlabhūti suatu pelajaran tentang sistem kasta dan mereka semua berubah keyakinan. Hari itu adalah hari perayaan, dan Sang Buddha kemudian ditantang oleh yakkhinī itu. Adalah setelah peristiwa ini beliau mengatakan lima kerugian, yang sama seperti di atas. Lalu beliau memberitahukan para bhikkhu untuk tidak tinggal di Mathura, dan pergi untuk tinggal di Hutan Monster-Keledai. (Tradisi Pali juga mengenal seorang yakkha bernama Gardabbha: ia adalah seorang penjaga pintu dari yakkha Ālavaka yang terkenal, sesosok monster pemakan anak kecil yang ditaklukkan Sang Buddha.) Para brahmana dari Mathura sangat ingin memberi dana makanan kepada para bhikkhu dan mengamankan berkah mereka, karena mereka telah diganggu oleh yakkha pemakan anak kecil[264] bernama Śara,[265] Vana,[266] dan yakkhinī Hārīka (訶梨迦).[267] Bentuk India dari dua yang pertama dari nama-nama ini sama dengan nama-nama yang ditemukan dalam bacaan yang paralel dalam Gilgit Mss seperti yang diberikan oleh Strong.[268] Nama yang terakhir tidak sama dengan nama mana pun dalam Gilgit Mss, tetapi kelihatannya sangat mungkin tidak lain daripada Hārītī yang terkenal, yang mulanya seorang dewi penyakit cacar di Rajagaha, yang menjadi terkenal dalam budaya popular Buddhis, dan sesungguhnya bahkan bertahan sampai saat ini di Jepang yang jauh. Para raksasa datang dan duduk ketika Sang Buddha mengajarkan Dhamma, jelas bermaksud untuk mengganggu acara ini, tetapi Sang Buddha menasehati mereka dan mereka berubah keyakinan. Para penduduk kota mendirikan 2500 vihara, masing-masing dari 2500 yakkha yang telah diubah keyakinannya.

Kita telah memperhatikan di atas bahwa sosok dewi tertentu yang bernama Kuntī jelas memiliki hubungan keluarga dengan Kotiputa, nama seorang bhikkhu awal yang tercatat di Vedisa. Sementara legenda-legenda misi menggambarkan Kuntī sebagai peri hutan yang baik, di tempat lain ia mengambil rupa yang lebih menyeramkan. Vinaya Mūlasarvāstivāda menunjukkan sisinya sebagai sosok raksasa kejam yang memangsa anak-anak.[269]

Nama-nama lain yang tercatat di Vedisa termasuk Hāritīputa dan Ālābagira. Ini sekarang tampaknya bahwa semua nama ini berhubungan dengan yakkha pemakan anak kecil: Hārītī, Kuntī, dan Ālavaka. Terdapat lebih dari sedikit hubungan antara kisah Hārītī dan Kuntī: mereka kenyataannya kisah yang sama dengan sedikit rincian yang berubah untuk menambahkan warna lokal. Kita memperhatikan bahwa vihara-vihara diberi nama berdasarkan nama yakkha lokal, yang menyatakan penyatuan yang sedang berjalan antara kultus dewa-dewi lokal dan pendirian vihara-vihara Buddhis.[270] Mungkin bahwa vihara-vihara tersebut menyimpan suatu tempat pemujaan untuk dewa-dewi lokal yang digunakan para penduduk desa untuk kultus pemujaan makhluk halus tradisional mereka. Para penduduk desa, tampaknya, akan memberikan anak-anak mereka ke vihara selama suatu jangka waktu, mungkin sebagai pengganti untuk kultus pengorbanan anak yang lebih primitif.

Sumber kita berikutnya, dari kanon Pali, ditetapkan pada sebuah vihara yang disebut Gundāvana, “Hutan Gundā”.[271] Segera setelah Parinibbana [Sang Buddha], siswa Mahākaccāna mengajarkan Madhura Sutta (MN 84/SA 548) kepada raja Avantiputta ketika sedang berdiam di Gundāvana. Kotbah ini adalah pernyataan utama tentang ketidakabsahan sistem kasta, dan karena ikatan demikian sesuai dengan ajaran kepada para brahmana Madhura seperti yang digambarkan dalam Vinaya Mūlasarvāstivāda. Perlindungan kerajaan yang awal demikian telah membentuk landasan yang kuat untuk pertumbuhan Dhamma yang belakangan di sana.

Satu abad kemudian, beberapa kisah Konsili Kedua juga menyebutkan Mathura (Mahīśāsaka, Sarvāstivāda, Mahāsaṅghika, walaupun bukan Mūlasarvāstivāda). Salah satu dari para sesepuh pada konsili itu adalah Śāṇavāsin, guru pembimbing dari Upagupta, keduanya adalah orang suci lokal dari Mathura. Maka kita dibenarkan untuk menganggap Mathura sebagai sebuah kota yang ditinggali para bhikkhu Buddhis terus-menerus dari masa hidup Sang Buddha atau sesaat setelahnya.

Mathura dan Perpecahan

Komunitas di Mathura dengan demikian dapat dengan benar menganggap diri mereka sebagai komunitas awal mula. Meskipun demikian, mereka cukup jauh dari pusat awal yang utama di sekeliling Pāṭaliputta untuk tetap sedikit jauh dari perselisihan-perselisihan. Sementara mereka terlibat dalam Konsili Kedua, ini adalah waktu terakhir para bhikkhu Buddhis dari semua daerah berkumpul menjadi satu. Tidak ada bukti bahwa komunitas Mathura mengambil bagian dalam konsili-konsili berikutnya. Benar bahwa sesepuh mereka Upagupta seringkali dikatakan telah mengajar Aśoka, dan oleh sebab itu mungkin telah berpartisipasi pada berbagai diskusi yang terjadi pada waktu itu. Tetapi ini jauh dari kepastian, dan dalam banyak kasus, ia melakukan ini sebagai seorang sesepuh yang berkunjung, dan ini tidak secara langsung mempengaruhi Sangha Mathura. Tidak ada kisah-kisah diskusi dan perpecahan setelah Konsili Kedua menyebutkan Mathura.[272] “Maklumat Persatuan” mengikuti jalur selatan sangat jauh dari Mathura.

Jadi tampaknya bahwa komunitas Mathura – mungkin seperti banyak yang lain – tidak berpartisipasi secara langsung dalam pergerakan yang bersifat memecah belah yang awal. Mereka mengembangkan kitab mereka sendiri, yang diinspirasi oleh gaya Upagupta, dan tampaknya masuk akal bahwa beberapa gagasan Abhidhamma Sarvāstivāda mungkin telah muncul di sini, walaupun ini murni bersifat spekulatif. Mereka tidak ditunjukkan dalam kisah Mahāvihāravāsin tentang Konsili Ketiga, bukan karena mereka dalam pengertian menyimpang, tetapi hanya karena mereka adalah komunitas yang telah berkembang yang tidak perlu dimisionariskan.

Pada tahun-tahun awal tentu saja tidak perlu untuk komunitas ini untuk menyebut diri mereka sendiri dengan nama sektarian apa pun, karena komunitas ini hanya cabang lain dari Sangha Buddhis. Pada abad pertama Masehi nama Sarvāstivāda muncul di wilayah Mathura. Belakangan kemudian istilah Mūlasarvāstivāda dipakai, mungkin ketika komunitas Mathura berkompetisi dengan Vaibhāṣika Sarvāstivādin dari Kaśmir dan ingin memastikan keunggulan mereka. Tidak ada indikasi bahwa ketika Moggaliputtatissa menggunakan istilah vibhajjavādin ia bermaksud untuk mengecualikan komunitas Mathura yang kemudian dikenal sebagai Mūlasarvāstivādin.

Kenyataan sebaliknya berlaku. Kita telah melihat bahwa sesepuh Mathura Śāṇavāsin tinggal di pegunungan Ahogaṅga/Urumuṇḍa, beberapa jalan keluar dari kota.[273] Sebelum Konsili Ketiga, Moggaliputtatissa melihat kesulitan-kesulitan yang terjadi di ibukota Pāṭaliputta, dan maka pergi untuk berlatih di pegunungan Ahogaṅga/Urumuṇḍa yang sama yang didirikan oleh Śāṇavāsin, yang terkenal sebagai yang terkemuka dari semua tempat untuk meditasi samatha. Moggaliputtatissa berdiam dalam pengasingan diri di sana selama tujuh tahun sebelum dengan enggan turun atas undangan Aśoka untuk menyelesaikan masalah-masalah pada Konsili Ketiga.[274] Demikianlah komunitas Mathura, dalam silsilah Śāṇavāsin, jauh dari bersifat memecah belah, adalah tempat Moggaliputtatissa pergi dalam pengasingan diri untuk menghindari dari gangguan perpecahan.

Ini sangat masuk akal sebagai sejarah, tetapi juga membentuk suatu bagian yang penting dari mitos Moggaliputtatissa: dengan tinggal di vihara hutan yang sering dikunjungi para guru meditasi Śāṇavāsin dan Upagupta, karisma Moggaliputtatissa sebagai seorang guru yang telah mencapai realisasi terjamin. Ia menunjukkan kekuatan batin ini kepada Aśoka saat ia turun dari vihara Ahogaṅga. Aśoka menjadi yakin bahwa ia satu-satunya bhikkhu yang mampu memantapkan Buddhisme, dan oleh sebab itu mengundang Moggaliputtatissa untuk memimpin Konsili Ketiga. Demikianlah kharisma spiritual yang berasal dari silsilah hutan Mathura dari Śāṇavāsin dan Upagupta adalah unsur penting dalam memungkinkan pemurnian Sangha dan pendirian vibhajjavāda.

Jelas ini bukan, dari perspektif seorang vibhajjavāda, suatu komunitas yang memecah belah. Pada waktu [pengiriman] misi-misi Sangha dari Mathura, yang Vinaya-nya kita sekarang miliki di bawah nama Mūlasarvāstivāda, jelas berada dalam lingkaran vibhajjavādin.

Soṇaka and Sāṇaka

Bahkan mungkin bahwa Moggaliputtatissa sendiri memiliki hubungan penahbisan langsung dengan Śāṇavāsin. Kemungkinan ini terletak pada kebingungan yang jelas antara nama yang sama Soṇaka and Sāṇaka.[275]

Silsilah Vinaya dan Abhidhamma Sinhala menyebutkan nama seorang Soṇaka, salah satu dari lima orang ahli Vinaya awal: Upāli, Dāsaka, Soṇaka, Siggava, Moggaliputtatissa.[276] Dalam kronologi dan komentar daftar yang sama dari para ahli Vinaya menjadi sebagian menyatu dengan kisah konsili-konsili, walaupun keduanya secara tekstual berbeda.

Soṇaka pasti hidup pada waktu yang sama dengan Śāṇavāsin, karena tradisi Pali menghubungkan keduanya dengan pemerintahan Kāḷaśoka.[277] Tradisi Pali mengatakan Konsili Kedua diadakan di bawah perlindungan Kāḷaśoka, dan tentu saja Śāṇavāsin berpartisipasi dalam konsili itu menurut semua tradisi, termasuk tradisi Pali.

Ini menyoroti suatu perbedaan yang membingungkan: daftar Pali dari lima ahli Vinaya tampaknya tidak mengandung sesepuh mana pun yang disebutkan dalam berlangsungnya Konsili Kedua. Ini benar-benar tidak terpikirkan bahwa krisis Vinaya yang paling serius dalam sejarah Buddhis, di mana para bhikkhu berkumpul dari semua daerah Buddhis, tidak memasukkan seorang ahli Vinaya yang sezaman.

Terdapat kesamaan yang tidak terhindarkan antara Soṇaka dari sumber selatan dan Śāṇavāsin dari sumber utara.

SoṇakaŚāṇavāsin
Lahir di Kāsī, 45 ANLahir di Rājagaha, segera setelah [Pari-]Nirvana [Sang Buddha]
Putra saudagarPutra saudagar
Ketika masih muda, pergi dalam perjalanan dagang ke Giribbaja (= Rājagaha).Ketika muda, pergi dalam perjalanan dagang ke negeri seberang
Pergi ke Veḷuvana pada usia 15 tahun, dengan 55 orang teman.   Saat kembali, pergi ke Veḷuvana
Menemui Dāsaka, murid Upāli, dan memperoleh keyakinanBertemu dengan Ānanda dan menawarkan untuk mengadakan perayaan 5 tahunan.
Meminta izin orang tua dan pergi melepaskan keduniawian, menjadi seorang Arahat yang ahli dalam TipitakaPergi melepaskan keduniawian, menjadi Arahat yang ahli dalam Tipitaka
« Last Edit: 28 January 2013, 09:57:46 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #27 on: 28 January 2013, 09:10:29 PM »
Kita menganggap bahwa terdapat dua kisah yang berbeda, satu dari silsilah para sesepuh, dan satu dari Konsili Kedua. Dalam hal ini, sesepuh yang sama mungkin dikenal dengan nama-nama yang berbeda. Bacaan yang terpisah ini kemudian disatukan, dengan silsilah para guru segera sebelum kisah Konsili [Kedua] dalam beberapa kasus (misalnya Dīpavaṁsa, Vinaya Mūlasarvāstivāda). Demikianlah dalam tradisi Pali Soṇaka dari silsilah itu menjadi Sambhūta Sāṇavāsin dari Konsili Kedua.

Untuk mengkoloborasi hal ini, Vinaya Mūlasarvāstivāda merupakan satu-satunya Vinaya yang secara langsung menggabungkan silsilah para sesepuh dengan Konsili Kedua. Dan di sana kita menemukan nama Śāṇaka[278] dalam silsilah, tetapi Yang-dag skyes (= Sambhūta) dalam Konsili Kedua.[279] Tetapi Sambhūta ini pasti Sambhūta Sāṇavāsin yang disebutkan dalam teks Pali. Ini dengan demikian jelas bahwa versi Mandarin dan Tibetan dari Vinaya ini menyebut sesepuh yang sama dengan nama-nama yang berbeda dalam dua konteks.

Sama halnya, di mana Samantapāsādikā, dalam membandingkan tugas Moggaliputtatissa dengan para Thera dari masa lampau, menunjuk pada Kassapa pada Konsili Pertama dan Yasa pada Konsili Kedua, Sudassanavinayavibhāsā menyebut Kassapa dan Soṇaka.[280] Ini segera sebelum penyebutan lima ahli Vinaya, sehingga pasti memaksudkan orang yang sama, yaitu Śāṇavāsin = Soṇaka. Dalam kisah Konsili Kedua itu sendiri, kita menemukan 婆那參復多 (po-na can-fu-tuo),[281] untuk Sāṇasambhūta atau Sonasambhūta.

Oleh sebab itu, terdapat alasan yang bagus untuk menganggap kebingungan yang sama telah terjadi dalam tradisi Pali, dan Soṇaka benar-benar identik dengan Sāṇavāsin.

Sekarang, Soṇaka/Śāṇavāsin tentu saja guru pembimbing Upagupta, tetapi ia juga guru pembimbing Siggava,[282] yang kemudian adalah guru pembimbing Moggaliputtatissa.[283] Demikianlah, jika gagasan kita benar, Moggaliputtatissa merupakan pewaris langsung dari silsilah penahbisan yang sama seperti Mūlasarvāstivādin dari Mathura.

Para Naga dari Kaśmīr

Para sarjana yang tidak siap menerima asal mula Mathura dari Mūlasarvāstivādin biasanya melihat ke barat laut, khususnya Kaśmīr, sebagai rumah aliran ini. Dalam kasus ini kita perlu kembali ke kisah [pengiriman] misi-misi sebagai informasi.

Setelah menyelesaikan masalah-masalah dalam Sangha pada Konsili Pertama, Moggaliputtatissa memutuskan bahwa Buddhisme akan berkembang dengan baik di daerah-daerah perbatasan, dan mengirimkan para misionaris ke seluruh India. Salah satu dari para misionaris ini adalah Majjhantika, yang dikirimkan ke Kaśmīr, di mana ia dengan terkenal menaklukkan sekumpulan naga dan mengembangkan Dhamma di daerah itu. Dīpavaṁsa 7.3 meringkaskan:

“Majjhantika sang bijaksana agung, setelah pergi ke daerah Gandhāra, menginspirasi naga yang menakutkan dan membebaskan banyak orang dari belenggu.”

Majjhantika ini tidak dianggap dalam cara apa pun sebagai pengikut ajaran lain. Kenyataannya ia adalah guru penahbis Mahinda, pendiri yang dihormati dari Buddhisme Sinhala. Ini disebutkan dalam kisah komentar, dan ditegaskan dalam Dīpavaṁsa.[284] Sementara kisah misionaris, secara umum, terutama diketahui dari sumber-sumber selatan, dalam kasus ini terdapat satu teks Mandarin yang mengatakan Majjhantika dan Mahinda disuruh Ānanda sendiri untuk pergi, masing-masing, ke Kaśmīr dan Sri Lanka;[285] sebagai tambahan Mahākarmavibhaṅga, di antara penyebutannya atas tugas misionaris oleh para Arahat dari masa Sang Buddha, juga menyebutkan penaklukan Madhyandina atas para naga dari Kaśmīr, dan Mahendra mengalahkan Rakṣasa dari Siṁhaladvīpa.[286] Demikianlah sumber utara dan selatan sangat bersesuaian.

Tetapi seperti yang telah diketahui dengan baik, Kaśmīr menjadi pusat utama bagi Sarvāstivādin. Kisah Majjhantika, yang sama dalam garis besar utamanya, muncul kembali dalam sepanjang literatur yang dipengaruhi Sarvāstivādin, termasuk Aśokarājasūtra,[287] Vinaya Mūlasarvāstivādin,[288] dll. Terdapat jelas sebuah masalah dalam melihat seorang patriark dari Sarvāstivādin sebagai salah satu bapak dari aliran Mahāvihāravāsin.

Demikianlah Wynne[289] menyarankan kita melihat Majjhantika sebagai seorang pengikut vibhajjavāda yang berubah menjadi Sarvāstivāda setelah tiba di Kaśmīr. Tetapi skenario ini bergantung pada asumsi dasar bahwa sarvāstivāda dan vibhajjavāda adalah aliran-aliran yang bertentangan. Kenyatannya, tidak ada alasan mengapa Majjhantika tidak menganut pendapat yang kita ketahui sebagai sarvāstivādin ketika masih di Pāṭaliputta, tetapi ini tidak dirasakan pada waktu itu terletak di luar spektrum dari pandangan-pandangan yang diterima; atau mungkin ia belum memutuskan pandangan tentang poin itu pada waktu itu; atau mungkin ia tidak pernah menganut pandangan-pandangan sarvāstivādin tetapi toleran terhadap para pengikutnya yang menganutnya; dan lain sebagainya. Poinnya adalah kita tidak harus berpikir dalam aliran yang saling bertentangan dalam suatu situasi yang kompleks dan tidak pasti.

Bukti internal dari Sarvāstivādin sendiri menyatakan bahwa ajaran “semuanya ada” (sarvam asti) muncul setelah masa Aśoka. Terdapat bacaan yang terkenal, yang ditemukan berulang kali dalam seluruh literatur Sarvāstivādin,[290] yang mengandung daftar terkenal dari para guru yang memberikan pandangan mereka tentang ajaran “semuanya ada”. Frauwallner mencatat bahwa semua pandangan dalam bacaan ini berbeda dari posisi matang aliran itu, dan bacaan itu kelihatannya dimasukkan dalam Vibhāṣā sebagai sebuah “tambahan doksografis”. Demikianlah ini kelihatannya sebelum masa penyusunan Vibhāṣā. Ini menyebutkan guru-guru berikut: Dharmatrāta, Ghoṣaka, Vasumitra, Buddhadeva. Bhavya, setelah memberikan tiga daftar aliran, menyatakan, seperti penjelasan lain tentang perpecahan, bahwa munculnya aliran-aliran disebabkan oleh keberagaman pendapat oleh para guru ini.[291] Tampaknya kita harus menganggap para guru ini sebagai pengembang ajaran “semuanya ada”, dan tidak ada dari mereka yang muncul dalam nama-nama yang kita temukan yang disebutkan dalam periode Maurya.

Ini secara eksplisit ditegaskan dalam San Lun Xuan Yi, sebuah risalah yang ditulis oleh Jia-xiang. Dalam menjelaskan kemunculan Mahāsaṅghika ia mengikuti kisah dari Mahāvibhāṣā. Dalam membicarakan tentang cabang Sthavira, ia mengatakan bahwa dalam 200 tahun pertama terdapat rangkaian para guru: Kassapa, Ānanda, Majjhantika, Śāṇavāsin, Upagupta, Pūrṇa, Mecaka, Kātyāyanīputra. Dari Kassapa ke Mecaka adalah 200 tahun di mana selama periode ini tidak ada perpecahan.[292] Pada awal abad ketiga, Kātyāyanīputra meninggal dunia, dan terdapat pemisahan menjadi dua aliran, Sthavira dan Sarvāstivādin. Sejak Pūrṇa, telah ada penyimpangan yang bertahap dari yang intinya, terutama suatu pengangkatan yang berlebihan terhadap Abhidhamma atas sutta-sutta. Untuk menghindari perdebatan, Sthavira pergi ke daerah Himalaya, dan karenanya disebut Haimavata.[293]

Catatan ini sangat bersesuaian dengan gambaran yang telah kita tarik dari sumber-sumber Pali. Moggalputtatissa dan Pūrṇa terpisah dari Konsili ke Dua oleh satu 'generasi' dari silsilah, yang menempatkan mereka pada kontemporer dekat sekitar zaman Asoka. Hubungan antara Moggaliputtatissa dan Abhidhamma adalah pusat dari identitasnya: bukan saja dia menggubah inti dari Katthavathu, namun minat utamanya dalam menyelidiki Buddhisme dipicu oleh didengarnya kalimat Abhidhamma yang rahasia dari Cittayamaka, disebut sebagai “Mantra Buddha”. Jadi sekitar masa Asoka, para bhikkhu ini berpartisipasi dalam investigasi, klasifikasi, dan klarifikasi formal ajaran-ajaran dari Sutta. Namun hanya beberapa generasi kemudian, setelah masa Katyayaniputra, hal ini membawa pada perpecahan. Deskripsi dari periode gestasi dan diskusi yang panjang, pada akhirnya menghasilkan pemisahan, yang jauh lebih masuk akal dibanding catatan radikal tentang perpecahan instan. Menarik untuk dicatat bahwa Moggaliputtatissa tampaknya memiliki lebih banyak kesamaan dengan para Abhidhammika Sarvāstivādin dibanding dengan Sthavira, yang adalah pengikut setia dari sutta.


Catatan Kaki Bab 9:

[250] Beberapa biarawan Jepang juga mengikuti Vinaya ini. Lihat Clarke, Miscellaneous Musings on Mūlasarvāstivāda Monks

[251] Lamotte, History of Indian Buddhism, 178

[252] T 721, T 722, T 728

[253] Warder, 393-394

[254] Charles Willemen, xi-xiii

[255] Sujato, A History of Mindfulness, 304, catatan 480

[256] Frauwallner, The Earliest Vinaya and the Beginnings of Buddhist Literature, 28-36

[257] Wynne, 29ff

[258] Kisah-kisah yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan di kehidupan-kehidupan lampau dan buahnya di masa sekarang.

[259] CBETA, T25, no. 1509, p. 756, c2-6

[260] Lamotte, History of Indian Buddhism, 175-176

[261] AN 5.220

[262] Anguttara Aṭṭhakathā 2.646

[263] Gilgit Mss. 3, pt. 1:14-15

[264] 我等所生孩子。皆被侵奪 (CBETA, T24, no. 1448, p. 43, c2)

[265] 池 chi, kolam

[266] 林 lin, hutan

[267] CBETA, T24, no. 1448, p. 42, c7-p. 43, c18

[268] Strong, The Legend and Cult of Upagupta, 6

[269] Strong, The Legend and Cult of Upagupta, 34-37

[270] Lihat http://sectsandsectarianism.googlepages.com/whoiskunti%3F#_ftn4

[271] Walaupun para yakkha tidak disebutkan, kesamaan antara nama ini (v.l. Kundavana) dan Kuntī/Konta, dll., patut dicatat, yang memberikan hubungan yang jelas antara kisah-kisah ini.

[272] Saya telah lebih awal menyatakan bahwa Śāriputraparipṛcchā mungkin berasal dari suatu perselisihan di Mathura; tetapi jika hipotesis sementara ini benar, ini menunjuk pada suatu periode yang belakangan.

[273] Pali Vinaya 2.298: tena kho pana samayena āyasmā sambhūto sāṇavāsī ahogaṅge pabbate paṭivasati.

[274] Samantapāsādikā 1.53

[275] Terdapat berbagai variasi pengejaan.

[276] Daftar ini ditemukan dalam kanonik yang belakangan Parivāra (5.1), di mana ia membentuk awal dari daftar yang panjang dari para ahli Vinaya yang mencakup beberapa abad transmisi di Sri Lanka.

[277] Dīpavaṁsa 4.52

[278] 奢搦迦 (CBETA, T24, no. 1451, p. 411, b18). Saya tidak dapat mengidentifikasi bentuk persis yang digunakan untuk Śāṇavāsin dalam Konsili Kedua, tetapi ini tentunya tidak sama. Yang paling dekat yang dapat saya identifikasi dengan perbandingan dengan terjemahan Tibetan Rockhill ini seharusnya 善見 (CBETA, T24, no. 1451, p. 413, b19), tetapi ini agaknya Sudassana.

[279] Rockhill, 170, 176

[280] 須那拘 (CBETA, T24, no. 1462, p. 684, b13). Dalam penyebutan pertama atas para ahli Vinaya ini dieja 蘇那拘 (CBETA, T24, no. 1462, p. 677, b19-20).

[281] CBETA, T24, no. 1462, p. 678, a24

[282] Samantapāsādikā 1.235: upālitthero sammāsambuddhassa santike uggaṇhi, dāsakatthero attano upajjhāyassa upālittherassa, soṇakatthero attano upajjhāyassa dāsakattherassa, siggavatthero attano upajjhāyassa soṇakattherassa, moggaliputtatissatthero attano upajjhāyassa siggavattherassa caṇḍavajjittherassa cāti
Sudassanavinayavibhāsā: 陀寫俱從優波離受。須提那俱從陀寫俱受。悉伽婆從須那俱受。 目揵連子帝須從悉伽婆受。又栴陀跋受。如是師師相承乃至于今 (CBETA, T24, no. 1462, p. 716, c26-29)

[283] Kisah Siggava, sebagai tanggapan atas sebuah ramalan, dengan sengaja mengunjungi rumah orang tua Moggaliputtatissa untuk dana selama tujuh tahun sebelum menemukan keberhasilan dengan dekat menggemakan kisah Śāṇavāsin, sebagai tanggapan atas sebuah ramalan, mengunjungi rumah keluarga Upagupta selama bertahun-tahun sebelum menemukan keberhasilan.

[284] Dīpavaṁsa 6.25: Tato mahido pabbajito moggaliputtassa santike, Pabbājesi mahādevo majdhanto upasampade

[285] T 1507, p.37b 16-27; see Lamotte, History of Indian Buddhism, 303

[286] Sumber-sumber Pali sepaham pada dominasi Sri Lanka kuno oleh para setan, misalnya Dīpavaṁsa 1.20

[287] T 2043; see Rongxi, 122-124

[288] Rockhill, 167-170

[289] Wynne, 32

[290] Lihat Frauwallner, 1995, 185ff untuk referensi dan diskusi.

[291] Rockhill, 194-5

[292] 從迦葉至寐者柯二百年已來無異部 (CBETA, T45, no. 1852, p. 9, b20-21)

[293] CBETA, T45, no. 1852, p. 9, b15-c1
« Last Edit: 30 December 2013, 10:06:01 AM by Kainyn_Kutho »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #28 on: 28 January 2013, 10:04:49 PM »
Kesimpulan

TAMPAKNYA BAGI SAYA BAHWA KITA TIDAK DAPAT MENGANGGAP Buddhisme “pra-sektarian” dan “sektarian” sebagai dua periode yang jelas. Alih-alih, kita harus menganggap dalam istilah suatu proses evolusioner, yang kompleksitasnya hanya dapat kita tebak, dan di mana kita dapat mengetahui hanya melalui potongan-potongan. Kecenderungan sektarian telah berlangsung pada taraf yang berbeda-beda pada tempat yang berbeda-beda. Seperti halnya Moggaliputtatissa menghindari konflik dengan melakukan pengasingan diri, pasti juga banyak bhikkhu yang telah melihat perdebatan-perdebatan sebagai Dhamma duniawi. Bahkan Xuan-zang, satu milenium setelah Sang Buddha, mencatat keberadaan banyak bhikkhu yang tidak termasuk salah satu aliran atau yang lainnya. Tetapi ini tidak seharusnya membutakan kita pada pencapaian-pencapaian aliran-aliran: perkembangan organisasi sektarian membuatnya dapat mempertahankan kitab-kitab suci dan menjaga Dhamma tetap hidup.

Saya menyatakan skema berikut untuk menafsirkan perkembangan sektarian Buddhis awal. Ini tidak seharusnya dianggap terlalu serius atau ditekan terlalu jauh – ini hanyalah kerangka konseptual yang mungkin sedikit lebih bermanfaat daripada memikirkan Buddhisme “pra” dan “pasca” sektarian. Semua penilaian diberikan, semua pengecualian diperbolehkan!

•   0-100 AN – Buddhisme Pra-sektarian yang Bersatu: Setelah Parinibbana [Sang Buddha], komunitas Buddhis berada dalam keadaan ketidakpastian, bahkan terguncang. Adalah sangat penting bahwa mereka bekerja bersama untuk membuat nasehat Sang Buddha agar mengambil Dhamma dan Vinaya sebagai perlindungan mereka. Kebesaran tugas ini dan ketidakpastian atas masa depan telah menyediakan Sangha dengan cukup alasan untuk tetap bersama, sebagai pergerakan spiritual bibit yang masih belum dicoba.

•   100-200 AN – Buddhisme Pra-sektarian yang Terpecah: Keberhasilan Sangha dalam mempertahankan dirinya sendiri dan Dhamma tidak terhindarkan pasti melahirkan kepuasan akan diri sendiri. Konsili Kedua melihat suatu celah yang penting atas praktek Vinaya, dan hanya dengan kesulitan sehingga cukup bhikkhu yang berkumpul dari berbagai daerah untuk menyelesaikan masalah itu sebagai sebuah Sangha yang bersatu. Masa Aśoka melihat berbagai potensi yang bersifat memecah belah dalam Sangha dengan cepat berlipat ganda dalam potensinya. Tidak dapat lagi Sangha menyelesaikan masalah-masalah ini menggunakan mekanisme internalnya, tetapi harus bergantung pada dukungan pemerintah.

•   200-300 AN – Munculnya Buddhisme Sektarian: Menyebar ke berbagai daerah yang luas, Sangha mengembangkan identitas regional. Para orang suci lokal menghasilkan Abhidhamma-Abhidhamma yang lebih rumit dan tepat. Dukungan yang berlebihan memungkinkan pembangunan pusat-pusat lokal yang berdasarkan pemujaan stupa dan relik, termasuk stupa dan relik para orang suci lokal. Teks-teks menjadi semakin kokoh tetap dalam dialek-dialek tertentu. Pada stupa-stupa Vedisa banyak dari unsur-unsur ini telah muncul, tetapi masih tidak terdapat bukti langsung bahwa komunitas itu menganggap dirinya sebagai suatu “aliran” yang berbeda.

•   300+ AN – Buddhisme Sektarian: Konstelasi kecenderungan sektarian saat ini telah diatur tidak dapat dibalik dalam cakrawalanya. Kemunculan aliran-aliran, jika bukan telah terjadi sebelumnya, sedang berlangsung saat ini. Sejak saat ini pada komunitas-komunitas yang berbeda melihat dirinya terpisah tidak dapat dikembalikan lagi. Batas-batas antara aliran-aliran tidak pernah mutlak, tetapi mereka ada di sana, dan mereka memainkan peran penting dalam semua perkembangan berikutnya.

Saya telah mengikuti saran dari para peneliti yang lebih awal dalam menghubungkan dengan erat kemunculan aliran-aliran dengan para misionaris Aśoka. Tetapi kita harus ingat bahwa kita tidak tahu apakah para pemimpin misi-misi ini secara pribadi mengajarkan tesis-tesis yang kemudian dianggap mendefinisikan posisi doktrinal dari aliran-aliran. Kita harus menghindari kekeliruan membaca kembali suatu situasi belakangan ke dalam masa-masa yang lebih awal: “kecenderungan sektarian” atau “pelopor sektarian” bukan berarti “aliran”.

Tidak ada bukti untuk “perpecahan yang tiba-tiba” dalam periode Aśoka atau pra-Aśoka yang berdiri dengan cermat. Kisah sektarian di mana gagasan-gagasan ini ditemukan adalah teks-teks mitos yang tujuan utamanya adalah untuk mengesahkan aliran-aliran. Aliran-aliran yang berkembang di daerah-daerah perbatasan masing-masing menemukan dirinya dalam posisi berusaha memastikan bahwa mereka adalah benteng pertahanan sejati dari Buddhisme yang asli. Ini dilakukan dengan mengembangkan suatu mitos asal mula. Mahāvihāravāsin dan Sarvāstivādin secara khusus kelihatannya merasa perlu untuk menggabungkan otoritas mitos ini dengan tuduhan yang lantang atas aliran-aliran yang “bertentangan”. Ini mencerminkan kurangnya kepercayaan diri dan kedewasaan dari aliran-aliran ini pada periode tersebut, dan bertahan sebagai bukti dari kepahitan tertentu dalam persaingan sektarian lokal.

Dan bahkan bacaan yang paling berpolemik dari Mahāvibhāṣā menegaskan bahwa “perpecahan-perpecahan” bukanlah perpecahan Vinaya yang harfiah dari jenis “pergilah ke neraka”. Kita tidak dapat menemukan bukti apa pun di mana pun untuk pembentukan aliran-aliran yang disebabkan oleh perpecahan dalam pengertian Vinaya yang sempit.

Kisah-kisah mitos tentang pembentukan aliran pasti, sebagai dokumen sejarah, menundukkan kepala dan keluar sebelum “Maklumat Persatuan” dari Aśoka sendiri. Menggunakan teks-teks mitos untuk memutuskan apakah perpecahan berlangsung pada 116 AN atau 137 AN adalah sama masuk akalnya dengan menggunakan Alkitab untuk memutuskan apakah dunia tercipta pada tahun 4004 SM. Aśoka mengatakan Sangha telah bersatu, dan kita tidak memiliki alasan kuat untuk tidak mempercayai kata-katanya.

Penemuan-penemuan dalam karya saya sejauh ini membenarkan sebagian suatu peninggalan yang radikal dari pengamatan dari periode ini. Jika ada manfaat dari analisis ini, kita harus berpikir kembali banyak dari gagasan-gagasan kita tentang bagaimana Buddhisme terbentuk. Tidak sedikit masalah kita adalah pertanyaan tentang antarhubungan antara teks-teks kanonik awal yang ada. Ini biasanya dianggap terutama berasal dari periode pra-sektarian, kemudian diselesaikan dan diubah pada masa awal sektarian. Dengan demikian menyusun bagian-bagian yang berhubungan dari kumpulan-kumpulan yang berbeda dapat membawa kita kembali ke sebelum perpecahan. Dengan mengubah perpecahan akar satu atau dua abad kemudian dapat membuat perbedaan besar dalam bagaimana teks-teks diperkirakan dari masa kapan.

Tetapi saya mencatat bahwa pemisahan sektarian hanya salah satu faktor yang dipertimbangkan. Kejadian-kejadian sejarah telah menetapkan bahwa teks-teks kanonik awal yang telah diturunkan kepada kita datang terutama dari dua daerah: Sri Lanka dan Kaśmīr/Gandhāra. Daerah-daerah ini, 3000 km jauhnya, dibangun pada akhir yang ekstrem dari suasana kultural India dari masa Aśoka. Bahkan jika teks-teks ini tidak terpisah dalam landasan ajaran/sektarian sampai kemudian, pemisahan geografis pasti berarti kumpulan-kumpulan ini tetap terisolasi terutama dari masa ini. Demikianlah dengan menyusun kumpulan-kumpulan ini masih menghasilkan janji mengembalikan kita pada masa pra-Aśoka.

Semua yang telah saya katakan sejauh ini, tentu saja, hanyalah kisah-kisah dari masa lampau. Seperti para ahli sejarah lain, dalam menganalisis mitos-mitos dari masa lampau saya menciptakan mitologi saya sendiri, sebuah mitologi yang melemparkan metode dan konsep dari masa sekarang. Sejarah terletak sejauh ia berpura-pura menolak mitos, dan memiliki makna sejauh ia mengaku sepenuhnya agendanya: menciptakan masa kini dalam gambaran masa lampau. Ini sebabnya sejarah sangatlah politis, dan tindakan berpura-pura objektif hanyalah gerakan politis yang lain. Setelah bertahun-tahun membaca dan merenungkan baik sejarah maupun mitos, saya telah menjadi yakin bahwa satu-satunya perbedaan dari keduanya adalah bahwa mitos memiliki keajaiban, sedangkan sejarah memiliki catatan kaki.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #29 on: 28 January 2013, 10:31:06 PM »
Lampiran
Kronologi

PENANGGALAN KEJADIAN-KEJADIAN BUDDHIS merupakan masalah menyakitkan yang kompleks dan meragukan. Para sarjana modern awalnya menetapkan sekitar 486 SM sebagai tahun Sang Buddha parinibbana. Ini berdasarkan pembacaan yang dikoreksi atas sumber-sumber Sinhala dan dikenal sebagai “kronologi panjang”. Lebih baru lagi, para sarjana mengemukakan “kronologi pendek” yang berdasarkan sumber-sumber utara, yang menempatkan Nibbana Sang Buddha sekitar 368 SM. Tetapi penelitian terbaru sedang bergerak  menuju “kronologi tengah” (“teori Rhys Davids-Gombrich”[294]), yang menempatkan Nibbana sekitar 410 SM, dengan batas kesalahan 10-20 tahun di kedua sisi. Inilah penanggalan yang saya ikuti dalam tulisan ini. Namun untuk menghindari kerancuan yang berhubungan dengan penanggalan kalender ini, seringkali berguna untuk membandingkan kejadian-kejadian dalam istilah berapa lama mereka terjadi “Setelah Nibbana (After Nibbana)”, yang dalam kasus ini singkatan AN digunakan. Tabel berikut adalah suatu upaya untuk secara perkiraan menghubungkan kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh besar dalam karya ini dengan kronologi tengah. Saya telah mendasarkan kebanyakan tanggal-tanggal ini pada Cousins.[295]

Cousins dan Gombrich membawa Konsili Kedua ke bawah pada 60-80 AN. Salah satu alasan untuk ini adalah bahwa beberapa sesepuh pada Konsili Kedua dikatakan sebagai murid-murid Ānanda, dan dirasakan celah antara Parinibbana [Sang Buddha] dan Konsili Kedua terlalu besar untuk dijembatani oleh hanya satu generasi. Tetapi Ānanda mungkin sekitar umur 45 tahun pada waktu Parinibbana [Sang Buddha], dan mungkin telah hidup selama 40 tahun kemudian atau lebih. Tradisi Pali dan tradisi utara[296] mengandung pernyataan pada pengaruh ini. Mempertimbangkan karakternya, akan mengejutkan jika ia masih tidak menerima murid sampai usia tuanya. Seorang murid berusia 20 tahun pada 40 AN akan berusia 80 tahun pada waktu tradisional Konsili Kedua. Ini biasa-biasa saja, jika bukan mungkin, bahwa konsili ini terdiri atas para bhikkhu sesepuh, termasuk “bhikkhu tertua di dunia”, akan memasukkan para bhikkhu dari usia ini yang telah ditahbiskan pada masa Ānanda. Oleh sebab itu saya tidak melihat alasan untuk mengubah tanggal Konsili Kedua. Ini berarti konsili ini mungkin berlangsung sebelum atau sesudah penobatan Candragupta.

Tanggal perpecahan Vasumitra diberikan dua kali, berdasarkan apakah kita menganggap ini berdasarkan tanggal kalender dalam teks, atau apakah kita mengoreksinya dengan pemerintahan Aśoka.

Kronologi TengahSesepuhSesepuhPerpecahan
SMANMahāvihāSan-lun-xuan-yi[297]
Buddhisme458
awal mulaPencerahanKassapa
UpaliĀnanda
Buddhisme4131
Pra-sektarianNirvanaKonsili 1
yang Bersatu(Rājagaha)
DāsakaMajjhantika
326
Alexander
Buddhisme313100SoṇakaŚāṇavāsin100
Pra-sektarianCandraguptaKonsili II(=Śāṇavāsin)Dīpavaṁsa
yang(Vesāli)(Vasumitra)
TerpecahSiggava
Upagupta137
Munculnya277-246154MoggaliputtatissaBhavya III
BuddhismeAśokaKonsili III(Vasumitra)
Sektarian(Pāṭaliputta)Mahinda (para
guru Haimavata)Pūrṇa
Mecaka
Buddhisme185-151(Gotiputa)(200 AN)
SektarianPuṣyamitraŚāriputra-
Kātyāyanī-paripṛcchā
putra

Catatan Kaki:

[294] Cousins, The Dating of the Historical Buddha: A Review Article, 109

[295] Cousins, The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools, 76

[296] T45, 1852 p10a08
 
[297] 三論玄義 (CBETA, T45, no. 1852, p. 9, b20-21)
« Last Edit: 01 February 2013, 07:23:23 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa