//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Bhavaviveka "vs" Hinayana  (Read 185056 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #540 on: 17 February 2009, 10:55:08 PM »
Quote
Wah saya jadi bingung nih mas Chingik, berdasarkan beberapa hal:

Jika Arahat tak mampu memahami jalan Bodhisattva lantas apakah mahluk yang lebih rendah dari Arahat yang mampu memahami jalan Bodhisattva? jika jalan Arahat merupakan penghalang untuk memahami jalan Bodhisattva, mengapa Sang Buddha mengajarkan jalan Arahat? bagaimana dengan mahluk non Arahat seperti kita, mampukah memahami jalan Bodhisattva?

mohon penjelasannya

 

at] atas
Idem dgn pertanyaan saya, tapi sepertinya tidak bisa dijawab bro.

at] Bro cingik.
Apa paramitha yg sudah dijalani oleh Arahat (Bodhisatva tgkt 7) malah lebih rendah/sedikit drpd umat awam, atau Bodhisatva 1 s/d 6 ?
Sehingga yg lebih memahami adalah tingkatan yg lebih rendah/ tgkt 1 s/d 6, dan langsung loncat ke tgkt 8,9 dan 10?
Apa hanya Bodhisatva tgkt 7 saja yg begitu kasihan, sehingga tdk sanggup memahami ajaran yg Superior?

 _/\_

Sang Buddha tidak mengajar jalan Arahat lho ya. Sang Buddha hanya mengajarkan dhamma. ketika pendengarnya cenderung lebih refer ke salah satu tingkatan , maka ke situlah arah bimbingannya. Bukan salah Buddha. Toh jika orang2 tidak ada kecenderungan apapun, atau belum sanggup menerima ajaran, Buddha juga tidak mungkin memaksakan diri mengajar. Ini tercermin dari ada yg sekedar belajar sebagai siswa perumah tangga, ada yg sekedar menjalani Pancasila dan masih cenderung ke hal2 duniawi  maka Buddha mengajar dhamma yg sesuai dgn kapasitasnya, akhirnya orang tersebut lahir ke alam dewa. Mengapa Buddha tidak megajar dia utk mencapai Arahat saja, mengapa hanya mengajar agar dia terlahir di alam dewa yg makin membuatnya melekat pd kenikmatan alam dewa, bukankah semakin menjerumuskannya? Jadi  seperti dalam Mahayana yg mengatakan bhwa semua ini tergantung pada kapasitas para makhluk itu sendiri.   

Arahat walaupun sudah suci, mereka tetap tidak dapat memahami jalur Sammasambuddha , sedangkan seorang putthujana yg belum suci bisa saja memahami keistimewaan jalur Sammasambuddha. Silakan rujuk ke riwayat petapa Sumedha yg masih putthujana sanggup mengembangkan Abhinihara (cita2 Agung) dibandingkan dgn para Sotapanna yg sudah mencapai tingkat kesucian pertama.  

Saya setuju dengan pandangan bahwa BUDDHA tidak menggiring pengikut ajarannya ke jalur tertentu (SAVAKA atau SAMMASAMBUDDHA). BUDDHA hanya mengajarkan jalan pembebasan. Ketika seorang murid merealisasikan jalan pembebasan bagi diri-nya sendiri maka jalur SAVAKA-lah yang duluan dicapai. Tetapi ketika seorang murid memiliki Chanda (keinginan luhur) ditambah dengan kapasitas-nya (tentunya semua harus dengan adanya keinginan dan kapasitas), maka seorang murid dapat menempuh jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian Sammasambuddha, dimana ketika Chanda (keinginan luhur) itu mendapat ramalan pasti dari seorang sammasambuddha, maka resmi-lah individu tersebut masuk ke jalur bodhisatta yang mana ketika jalur bodhisatta ini telah dibuka/dijalani, maka jalur SAVAKA sudah tertutup sendiri-nya karena tingkatan yang lebih tinggi akan ditempuh dan konsekuensinya adalah tambahan tumimbal lahir selama beberapa asankheya kappa untuk penyempurnaan PARAMI-nya.

Setiap individu terbuka untuk mencapai tingkat sammasambuddha, tetapi harus-lah memiliki Chanda (keinginan luhur). Dalam hal ini memang dalam MAHAYANA, konsep keinginan luhur untuk pencapaian samyaksambuddha (mungkin yang sering didengungkan MAHAYANA adalah konsep bodhicitta) adalah yang sering ditekankan. Tetapi tidak dalam artian bahwa para ARAHAT/SRAVAKA yang sudah terealisasi masih bisa kembali lagi ke jalur bodhisatta.

Dan pendapat bahwa petapa sumedha adalah masih puthujanna saya kira tidaklah benar. Karena seorang petapa sumedha sudah memiliki kapasitas dan persyaratan untuk pencapaian ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA. Ibarat perjalanan, maka petapa sumedha sudah hampir mendekati garis finish/tiba di tujuan pembebasan.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #541 on: 17 February 2009, 11:42:26 PM »
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit
Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)
yah,mungkin saja BAKAL BUDDHA tidak pernah sakit..ibarat tenggelam dalam kebahagiaan jhana
misalkan kalau kita saja sudah begitu semangat untuk menonton match football.
biar lapar pun tidak terasa......tapi setelah selesai nonton barulah lapar nya terasa.

saya pernah "jalan-jalan" menemani orang tua saya berserta familiy shoping.di LN
(semua nya wanita, saya sendiri pria )
bayangkan jalan kaki dari jam 2 siang sampai jam 10 malam cuma makan semangkuk nasi...dan itupun dikatakan "sudah kenyang"...
saya sendiri sudah letih nya minta ampun, bahkan porsi makanan saya bisa lebih banyak dari biasanya.

tapi begitu tiba di hotel...langsung ibu saya minta di pijat-pijat...katanya capek...
saya tanya "apa tidak lapar"?
terus dibilang "memang begini kalau lagi asik shoping"
------------------------------------------------------------
dalam RAPB itu "bakal buddha"...jadi bukan sammasambuddha.

seorang Buddha tentu lebih memperhatikan dan fokus pada pengendalian diri menuju kesucian...coba lihat pratek Satipatthana...
bagaimana dikatakan tenggelam dalam perasaan bahagia lalu sampai lupa sakit?..
seorang pratek Satipatthana tidak mungkin,tidak merasa sakit atau mati rasa.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #542 on: 17 February 2009, 11:57:03 PM »
Seperti yang telah dijelaskan, Pacceka Buddha dan Siswa Mulia adalah makhluk Tarita. Dengan demikian, setelah mereka menembus Jalan menuju Kearahattaan, selanjutnya mereka memasuki tahap pencapaian Buah (Phàla samàpatti) dan pencapaian Penghentian (Nirodha Samàpatti) demi kebahagiaan dan kedamaian mereka sendiri, tidak bekerja demi kebaikan makhluk-makhluk lain. Di lain pihak, seorang Buddha Yang Mahatahu (Samma-Sambuddha) tidak akan berusaha demi dirinya sendiri saja. Bahkan sebenarnya, dalam masa pemenuhan Kesempurnaan pun ia telah bertekad, “Setelah memahami Empat Kebenaran Mulia, Aku akan membantu yang lain untuk memahaminya juga (Buddho bodheyyaÿ) dan seterusnya. (Sumber : Riwayat Agung Para Buddha)


Di jaman Buddha Dipankara, banyak sekali siswa Buddha Dipankara, ada yg mencapai Arahat, ada yg belum. Pertapa Sumedha saat itu telah sanggup mencapai Kearahatan, namun Beliau tidak mau menjadi Arahat. Karena menjadi Arahat akan menghambatnya utk menjadi Sammasambuddha. (Dalam Mahayana, Arahat akan menjadi Buddha juga karena aspek lain yg dibicarakan secara lebih luas yg tidak dibahas dlm Theravada).  Para siswa lain yg tidak memiliki cita2 seperti Sumedha, sudah jelas karena mereka belum memahami keistimewaan dari memilih jalur Sammasambuddha.  Sumedha sendiri dapt menjadi Arahat toh menolaknya, padahal saat itu Sumedha masih putthujana (blm mencapai kesucian seperti para siswa ARahat dari Buddha Dipankara). Nah...ini bersumber dari Theravada sendiri lho, apakah para siswa Dipankara yg sudah Arahat yg notabene sudah suci tidak memilih seperti pilihan Sumedha? Sumedha yg cuma bercita-cita menjadi Buddha (blm benar2 mencapai Kebuddhaan) tapi para penduduk dan dewa sudah menhujani beliau dgn bunga2 layaknya seorang yg telah suci.

Saya tidak bermaksud mengatakan para Arahat tidak mulia. Jangan Salah paham. Selama ini saya juga sangat sangat respek kepada para Arahat. hehe...   
Cuma di sini kita hanya saling belajar, saling mencari masukan. Toh saya juga senang kalo anda2 menjadi Arahat dan mendatangi saya utk mengajar.
Saya mempelajari Theravada dan Mahayana secara terbuka. Kalo dlm theravada mengatakan Arahat telah selesai. Saya setuju,tetapi setelah saya lihat mahayana mengatakan Arahat masih punya "ruang" utk maju, saya tidak akan membantahnya juga tidak mengatakan bahwa hanya ini yg benar. Kita tidak bisa membuktikan secara teoritis, ini tentu kita sama2 setuju, karena sama2 paham bahwa harus ehipassiko, praktikkan. Saya sendiri blm tahu siapa sesungguhnya diri saya, lantas utk apa saya harus membela salah satu aliran religius, emangnya aliran itu punya bapa saya, kira2 begitu , hehe..
Saya hanya menerima informasi dan menyadari ooooo....ajarannya begitu. Kemudian terdapat perbedaan pendapat antar aliran, okelah..masing2 punya pendapat masing2, si A bilang dia benar, si B bilang dia benar, okelah.., saya tidak mau membela. Akhirnya saya akui karena saya cocok ke Mahayana, maka saya memberi peluang kepada pikiran saya utk membuktikan apakah suatu saat pilihan saya benar atau salah. Toh jika salahpun ,saya tidak akan menyesal, karena semua orang belajar dari kesalahan. Setelah baca RIWAYAT AGUNG PARA BUDDHA yg notabene kitab dari Theravada, terus terang saya semakin kokoh dgn cita-cita menjadi SAMMASAMBUDDHA saya yg saya canangkan seperti nasihat dalam Mahayana agar membangkitkan Bodhicitta yg ternyata SAMA dgn ABHINAHARA dalam Theravada.       
sadhu-sadhu-sadhu...semoga cita-cita luhur itu terealisasikan.

tetapi pada waktu di hadapkan pada pencapaian arahat atau sammasambuddha...
dan sumedha sendiri belum pernah merasakan "nibbana se-utuh-nya"...

dalam Theravada sendiri "nibbana" arahat dan "nibbana" sammasambuddha itu sama kualitas nya.
tidak ada beda-nya.....sama-sama padam.
ini jika di lihat dari segi "pencapaian nibbana"
tetapi kalau ukuran luhur tentu sammasambuddha lebih luhur.

-----------------------------------------
saat ini bukanlah topik pencapaian Sammasambuddha...melainkan masalah disini dibahas adalah
1. arahat masih bisa merosot..

2. bagian mana yang dikatakan sammasambuddha bebas dari penderitaan
(toh 4 kesunyataan mulia di langgar dan hukum paticasammupada di langgar)

3.pengertian "nirvana" dalam mahayana itu sebenarnya apa....soalnya tidak sesuai dengan "nibbana" dalam theravada.
(nibbana theravada = padam...
sedangkan nirvana mahayana = pergi ke suatu alam/tempat...lalu bisa milih mau lahir dimana terus mengajarkan dhamma lagi)

4.apakah enak nya menjadi sammasambuddha?...toh sama-sama akan lahir lagi.
dan sama-sama akan menderita ( jara-marana )

5.muncul 1 pertanyaan lagi. ^^
jika dikatakan Buddha gotama telah mencapai "pencerahan beberapa kalpa sebelum nya"
mengapa Buddha gotama menghina seorang sammasambuddha, sehingga harus melunasi kamma nya dengan meditasi selama 6 tahun dan begitu menderita,barulah mencapai kesempurnaan.

mengapa buddha gotama bisa menghina...padahal kenyataan nya orang yang telah tercerahkan sudah tahu akibat hal itu...
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #543 on: 18 February 2009, 11:59:22 AM »
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit
Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

mas Chingiiikkkk......

Mohon jangan dicampur aduk konsep Mahayana dan Theravada, saya yakin member yang lain seperti saya juga ingin mendapatkan penjelasan secara Mahayana bukan dicampur aduk.

Golongan Theravada menganggap bahwa ajaran yang mereka terima dari Sang Buddha Shakyamuni sudah lengkap sehingga tak perlu mengutip ajaran-ajaran lain bahkan dijaga jangan sampai ada ajaran non Theravada yang menyusup.

Bagaimana dengan Mahayana? apakah ajaran Mahayana kurang komplit, sehingga harus mengutip kitab yang berlandaskan kitab suci Theravada seperti RAPB? malu donggg...... kutip sumber Mahayana saja dong mas...

 _/\_
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #544 on: 18 February 2009, 12:07:07 PM »
Quote
Oh Jadi pada jaman Buddha ternyata ajaran Mahayana sudah di ajarkan dan ada murid yg bisa memahami  Namaste
Tapi bagaimanapun juga... Arahat (Bodhisatva tgkt 7) dgn batinnya yg jernih dimana mereka sudah menghapus kilesa, seharusnya bisa lebih memahami ajaran Mahayana.
Dibanding dgn kita (umat awam), yg mgkn juga sudah termasuk Bodhisatva, tp masih di bawah tgkt 7 pastinya kan. Roll Eyes

Ini karena para Arhat menurut Mahayana masih memiliki kemelekatan akan "kedamaian ekstrim". Inilah yang menyebabkan ada beberapa dari para Arhat Hinayana yang lebih sulit memahami jalan Bodhisattva ketimbang umat awam seperti kita-kita ini.


Jika nibbana theravada dikatakan "kedamaian ekstrim" dan para savaka arahat itu dikatakan melekat pada kedamaian ekstrim. Bukankah para bodhisatva dan buddha dari jalur Mahayana juga melekat pada ikrar "menolong semua makhluk".
logika ajaran pembebasan sejati ajaran Theravada adalah pembebasan individu. Karena mengapa ? Hanya diri sendiri-lah yang bisa membebaskan diri sendiri, tiada orang yang bisa mensuci-kan diri orang lain. Oleh diri sendiri-lah kesucian itu bisa dicapai.

BUDDHA HAS SHOWN THE PATH OF LIBERATION, NOW DEPEND ON EACH INDIVIDUAL TO TAKE THE PATH AND JOURNEY HIMSELF.

Siapa yang sependapat dengan saya ? Cukup sependapat di dalam hati saja... dan anda akan semakin SADDHA (yakin) dengan yang mana ajaran pembebasan yang sejati.

Jika dikatakan melekat, saya mau nambahin mas Dilbert nih, pakai baju juga melekat kan? makan nasi juga melekat kan? pandangan salah dll adalah kemelekatan kan? lantas apa yang tidak melekat di dunia ini? Jika demikian cita-cita Bodhisattva juga suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan.

Ke-Buddha-an juga adalah suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan dong... (jadi manusia biasa lagi?) kalau begitu suami jangan melekat pada isteri dan sebaliknya, warga negara jangan patuh hukum karena menimbulkan kemelekatan dsbnya.

Inikah yang dimaksud kemelekatan? apa batasan kemelekatan? mas Dilbert, saya prihatin dengan orang-orang yang demikian mudah mengucapkan kata kemelekatan tanpa mengerti batasannya.

 _/\_
tidak ada dan tidak ada tiada.....bebas dari itu semua...itulah kedamaian.

misalkan contoh anda yaitu baju...
ketika baju kita yang kita sayangi/favorit( melekat ^^) begitu baju kita rusak atau pudar/sobek.
coba tanya batin kita...menderita bukan^^ ----- pelajaran dan contoh dasar. ^^

andaikata kita memakai baju hanya memakai baju....begitu baju kita rusak atau pudar...toh tidak sedih dan juga tidak bahagia...memang kok begitu sifat baju tsb.....-----disini ada kedamaian.


begitu juga dengan kebuddha-an...pada saat kita belum mencapai pencerahan kita melekat dengan ke-inginan kita "ingin mencapai tahap itu"..
tetapi pada saat kita mencapai...ternyata kenyataan nya malah
"semakin ingin mencapai semakin jauh dari tahap itu"

disitu lah muncul kata Buddha pada Angulimala
"aku sudah lama berhenti,mengapa kamu masih terus berlari?"

jadi jelas donk....
bahkan lebih halus lagi seperti ketika kita mau meditasi memakai objek nafas..coba tanyakan pada batin,,mengapa nafas?
mengapa bukan lain....kalau dengan alasan sudah sangat terbiasa dengan nafas...itu juga kemelekatan..
yah bersifat halus lah.^^

Maksud saya kemana-mana kita pakai baju itu kemelekatan kan? sekali-sekali keluar rumah tanpa pakaian mas... untuk membuktikan jangan melekat   ;D

gimana yang punya isteri dan suami? kemelekatan kan? sekali sekali suami atau isteri orang lain?  untuk membuktikan tidak melekat   ;D

Maksud saya: apa batasan kemelekatan?
 _/\_
« Last Edit: 18 February 2009, 12:31:43 PM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #545 on: 18 February 2009, 12:13:50 PM »
Dan pendapat bahwa petapa sumedha adalah masih puthujanna saya kira tidaklah benar. Karena seorang petapa sumedha sudah memiliki kapasitas dan persyaratan untuk pencapaian ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA. Ibarat perjalanan, maka petapa sumedha sudah hampir mendekati garis finish/tiba di tujuan pembebasan.

Bro Dilbert,
saya hanya ingin meluruskan bahwa berdasarkan banyak rujukan, Petapa Sumedha dapat dipastikan memang masih Puthujanna, karena jika Petapa Sumedha adalah seorang Ariya bahkan hanya tingkat 1, maka Beliau tidak mungkin terlahir kembali selama jutaan kali sebelum akhirnya Parinibbana.

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #546 on: 18 February 2009, 12:20:22 PM »
Mas Chingik dan mas Gandallf,

sudah berapa kali saya bertanya persoalan yang sama tapi belum dijawab nih.

Saya masih belum tahu bagaimanakah proses pencapaian Samyak Sambodhi yang dialami oleh pangeran Siddharta dibawah pohon Bodhi menurut kitab Mahayana?

Tolong dijelaskan untuk menghilangkan kebingungan saya mas.

 _/\_
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #547 on: 18 February 2009, 12:28:51 PM »
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

 _/\_
The truth, and nothing but the truth...

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #548 on: 18 February 2009, 12:35:02 PM »
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

 _/\_

Itu adalah terjemahan apa adanya tanpa penambahan dan tanpa pengurangan, tapi tetap diperlukan kedewasaan pembaca untuk mencerna makna yg terkandung di dalamnya.

saya ilusitrasikan begini
misalnya, ada 1 kg emas murni terletak di tumpukan sampah yang sedang terbakar dan di dekat2 situ tidak ada tongkat atau alat untuk megambil emas itu, maka saya akan rela menahankan tangan saya terbakar untuk mengambil emas itu. bukan saya tidak merasa sakit secara fisik, tapi saya rela menahankan sakitnya.

_/\_

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #549 on: 18 February 2009, 02:36:01 PM »
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

 _/\_

Itu adalah terjemahan apa adanya tanpa penambahan dan tanpa pengurangan, tapi tetap diperlukan kedewasaan pembaca untuk mencerna makna yg terkandung di dalamnya.

saya ilusitrasikan begini
misalnya, ada 1 kg emas murni terletak di tumpukan sampah yang sedang terbakar dan di dekat2 situ tidak ada tongkat atau alat untuk megambil emas itu, maka saya akan rela menahankan tangan saya terbakar untuk mengambil emas itu. bukan saya tidak merasa sakit secara fisik, tapi saya rela menahankan sakitnya.

_/\_

Tuhhh.. mas Chingik, penerjemahnya sendiri mengatakan bahwa bakal Buddha bukannya tidak merasakan sakit. Bakal Buddha juga merasakan sakit, cuma mereka menahan rasa sakit tsb.
Bagaimana pendapat mas Chingik?

 _/\_
« Last Edit: 18 February 2009, 02:52:20 PM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #550 on: 18 February 2009, 03:48:56 PM »
Seperti yang telah dijelaskan, Pacceka Buddha dan Siswa Mulia adalah makhluk Tarita. Dengan demikian, setelah mereka menembus Jalan menuju Kearahattaan, selanjutnya mereka memasuki tahap pencapaian Buah (Phàla samàpatti) dan pencapaian Penghentian (Nirodha Samàpatti) demi kebahagiaan dan kedamaian mereka sendiri, tidak bekerja demi kebaikan makhluk-makhluk lain. Di lain pihak, seorang Buddha Yang Mahatahu (Samma-Sambuddha) tidak akan berusaha demi dirinya sendiri saja. Bahkan sebenarnya, dalam masa pemenuhan Kesempurnaan pun ia telah bertekad, “Setelah memahami Empat Kebenaran Mulia, Aku akan membantu yang lain untuk memahaminya juga (Buddho bodheyyaÿ) dan seterusnya. (Sumber : Riwayat Agung Para Buddha)


Di jaman Buddha Dipankara, banyak sekali siswa Buddha Dipankara, ada yg mencapai Arahat, ada yg belum. Pertapa Sumedha saat itu telah sanggup mencapai Kearahatan, namun Beliau tidak mau menjadi Arahat. Karena menjadi Arahat akan menghambatnya utk menjadi Sammasambuddha. (Dalam Mahayana, Arahat akan menjadi Buddha juga karena aspek lain yg dibicarakan secara lebih luas yg tidak dibahas dlm Theravada).  Para siswa lain yg tidak memiliki cita2 seperti Sumedha, sudah jelas karena mereka belum memahami keistimewaan dari memilih jalur Sammasambuddha.  Sumedha sendiri dapt menjadi Arahat toh menolaknya, padahal saat itu Sumedha masih putthujana (blm mencapai kesucian seperti para siswa ARahat dari Buddha Dipankara). Nah...ini bersumber dari Theravada sendiri lho, apakah para siswa Dipankara yg sudah Arahat yg notabene sudah suci tidak memilih seperti pilihan Sumedha? Sumedha yg cuma bercita-cita menjadi Buddha (blm benar2 mencapai Kebuddhaan) tapi para penduduk dan dewa sudah menhujani beliau dgn bunga2 layaknya seorang yg telah suci.

Saya tidak bermaksud mengatakan para Arahat tidak mulia. Jangan Salah paham. Selama ini saya juga sangat sangat respek kepada para Arahat. hehe...   
Cuma di sini kita hanya saling belajar, saling mencari masukan. Toh saya juga senang kalo anda2 menjadi Arahat dan mendatangi saya utk mengajar.
Saya mempelajari Theravada dan Mahayana secara terbuka. Kalo dlm theravada mengatakan Arahat telah selesai. Saya setuju,tetapi setelah saya lihat mahayana mengatakan Arahat masih punya "ruang" utk maju, saya tidak akan membantahnya juga tidak mengatakan bahwa hanya ini yg benar. Kita tidak bisa membuktikan secara teoritis, ini tentu kita sama2 setuju, karena sama2 paham bahwa harus ehipassiko, praktikkan. Saya sendiri blm tahu siapa sesungguhnya diri saya, lantas utk apa saya harus membela salah satu aliran religius, emangnya aliran itu punya bapa saya, kira2 begitu , hehe..
Saya hanya menerima informasi dan menyadari ooooo....ajarannya begitu. Kemudian terdapat perbedaan pendapat antar aliran, okelah..masing2 punya pendapat masing2, si A bilang dia benar, si B bilang dia benar, okelah.., saya tidak mau membela. Akhirnya saya akui karena saya cocok ke Mahayana, maka saya memberi peluang kepada pikiran saya utk membuktikan apakah suatu saat pilihan saya benar atau salah. Toh jika salahpun ,saya tidak akan menyesal, karena semua orang belajar dari kesalahan. Setelah baca RIWAYAT AGUNG PARA BUDDHA yg notabene kitab dari Theravada, terus terang saya semakin kokoh dgn cita-cita menjadi SAMMASAMBUDDHA saya yg saya canangkan seperti nasihat dalam Mahayana agar membangkitkan Bodhicitta yg ternyata SAMA dgn ABHINAHARA dalam Theravada.       

Bagus sekali kalau sdr.chingik memiliki chanda (keinginan luhur) untuk mencapai sammasambuddha. Dan nasihat nasihat seperti itu tidak salah kalau dari sisi pandang paham mahayana yang luhur. Tetapi yang di-kritis-i adalah pencapaian ARAHAT itu sendiri dari sisi Theravada dan Mahayana yang berbeda...
Theravada = BEgitu merealisasikan ARAHAT / SAVAKA BUDDHA = FINAL
Mahayana = Merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA = Bodhisatva tingkat 7... Jika berkenan lagi, seorang ARAHAT/Bodhisatva tgkt 7 dapat keluar dari NIBBANA Ekstrim ala Hinayana dan kembali menjalani jalur/karir bodhisatva untuk menuju penerangan sempurna ala seorang samyaksambuddha/bodhisatva tingkat 10...
(Dalam hal ini, SAVAKA BUDDHA (Theravada/Hinayana) TIDAK SAMA dengan SRAVAKA BUDDHA (Mahayana))

Dan kembali lagi, saya juga tidak menyatakan bahwa konsep SAVAKA BUDDHA ala Theravada/Hinayana itu benar... tetapi kenyataannya BEDA dengan SRAVAKA BUDDHA ala Mahayana... yang satu sudah FINAL, yang satu lagi masih bisa LANJUT... Dan perbedaan ini cukup prinsipil.

Perbedaan minor tentu ada. Bagi saya sih tidak begitu prinsipil. Ketika mengatakan Arahat telah final, orang tetap saja bisa berlatih menjadi Arahat. Ketika mengatakan Arahat blm final orang juga masih bisa berlatih menjadi Arahat, dan saat pelatihannya mencapai Arahat ini bukan menjadi masalah lagi.  Sama-sama bisa menjadi Arahat, walaupun yg satu bilang blm final, yg satu bilang final. Jadi ga prinsipil kok. Ya...kalo menurut bro sangat prinsipil, ya just do it. hehe..

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #551 on: 18 February 2009, 03:59:31 PM »
Quote
Nah... dalam RAPB, jelas dikatakan bahwa petapa sumedha telah memenuhi semua persyaratan untuk pencapaian ARAHAT (savaka buddha), tetapi karena chanda (keinginan luhur) beliau untuk mencapai sammasambuddha, maka pencapaian ARAHAT ditinggalkan (petapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT atau NIBBANA yang dimana kalau mencapai nibbana dan parinibbana maka tidak terlahirkan lagi di alam manapun lagi). Oleh karena ikrar-nya tersebut, Petapa Sumedha harus menjalani tumimbal lahir selama 4 asankheya kappa dan 100 ribu kappa untuk menyempurnakan parami...

Sedangkan dalam konsep MAHAYANA (terutama dilihat dari Saddharmapundarika Sutra), dikatakan bahwa para Sravaka (Arahat) --- Dalam hal ini yang telah mencapai Arahat / tidak ditunda ---- disetarkan dengan bodhisatva tingkat 7, dan jika para Sravaka ingin menempuh jalan bodhisatva dan bertujuan mencapai sammasambuddha, dapat keluar dari nibbana ekstrim (katanya nibbana para sravaka) untuk mencapai sammasambuddha. (Demikian juga BUDDHA GOTAMA dalam sutra saddharmapundarika meramalkan pencapaian sammasambuddha di masa mendatang dari beberapa sravaka/Arahat seperti Arahat Ananda dsbnya)...

Nah, persoalannya terjadi perbedaan di sini... Dari cerita penempuhan jalur bodhisatta (karir bodhisatta calon sammasambuddha seperti petapa sumedha) versi Theravada (sumber RAPB), jelas dikatakan bahwa Petapa Sumedha tidak merealisasikan pencapaian Savaka Buddha / Arahat, tetapi memasuki jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian sammasambuddha. BEDA DENGAN KONSEP MAHAYANA, dimana setelah seorang individu merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA, seorang ARAHAT dalam kembali menempuh jalur bodhisatva dengan bertumimbal lahir atau beremanasi atau berinkarnasi atau semacamnya dalam rangka pencapaian sammasambuddha.
Yaah....karena pada dasarnya Sammasambuddha lebih luhur. Lihat saja Sumedha walapun belum mencapai kesucian (cuma 4 jhana 5 abhinna), toh ketika mencanangkan ikrarnya, Api neraka aja menjadi padam (lihat RAPB).  Dan masih banyak lagi memuji keluhuran ikrar ini. Semua ini menurut saya membuka kemungkinan bahwa jalur Arahat utk menempuh Sammasambuddha adalah memungkinkan. Oya , perlu dicatat walaupun Mahayana mengatakan Arahat masih ada ruang utk maju lagi, tetapi ruang ini sangat kecil alias sangat sulit seorang Arahat sampai bisa membangkitkan cita2 Agung ini. (SEbenarnya ini secara implisit mengatakan bahwa Arahat memang sudah final sama seperti pandangan Theravada, tetapi Mahayana tidak mau menutup pintu kemungkinan ini rapat2, karena bagaimanapun Arahat blm tahu apa yg Buddha tahu, ini yg menjadi kunci bahwa bisa saja dia belajar lagi dlm arti belajar utk meraih pengetahuan sempurna)

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #552 on: 18 February 2009, 04:07:09 PM »
Quote
Dan pendapat bahwa petapa sumedha adalah masih puthujanna saya kira tidaklah benar. Karena seorang petapa sumedha sudah memiliki kapasitas dan persyaratan untuk pencapaian ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA. Ibarat perjalanan, maka petapa sumedha sudah hampir mendekati garis finish/tiba di tujuan pembebasan.

Bukannya rekan2 Theravada yg mengatakan begitu? karena Sumedha kan blm mencapai kesucian (baru 4 jhana dan 5 abhinna).

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #553 on: 18 February 2009, 04:12:05 PM »
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit
Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

mas Chingiiikkkk......

Mohon jangan dicampur aduk konsep Mahayana dan Theravada, saya yakin member yang lain seperti saya juga ingin mendapatkan penjelasan secara Mahayana bukan dicampur aduk.

Golongan Theravada menganggap bahwa ajaran yang mereka terima dari Sang Buddha Shakyamuni sudah lengkap sehingga tak perlu mengutip ajaran-ajaran lain bahkan dijaga jangan sampai ada ajaran non Theravada yang menyusup.

Bagaimana dengan Mahayana? apakah ajaran Mahayana kurang komplit, sehingga harus mengutip kitab yang berlandaskan kitab suci Theravada seperti RAPB? malu donggg...... kutip sumber Mahayana saja dong mas...

 _/\_

Di Mahayana tentu lebih banyak, saya cuma ingin nunjukin bahwa itu lho..di Theravada juga bilang begitu...
hehe..

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #554 on: 18 February 2009, 04:13:37 PM »
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

 _/\_

Itu adalah terjemahan apa adanya tanpa penambahan dan tanpa pengurangan, tapi tetap diperlukan kedewasaan pembaca untuk mencerna makna yg terkandung di dalamnya.

saya ilusitrasikan begini
misalnya, ada 1 kg emas murni terletak di tumpukan sampah yang sedang terbakar dan di dekat2 situ tidak ada tongkat atau alat untuk megambil emas itu, maka saya akan rela menahankan tangan saya terbakar untuk mengambil emas itu. bukan saya tidak merasa sakit secara fisik, tapi saya rela menahankan sakitnya.

_/\_
Maka demikian juga penjelasan dlm Mahayana, yakni perlu kedewasaan utk mencerna maknanya..

 

anything