Quote
Secara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada.
Pertanyaan saya belum dijawab mas Chingik, ini tertulis di kitab suci Mahayana yang mana? atau ini cuma pendapat sendiri? Pencerahan menurut Theravada setelah Bodhisatta mencapai pencerahan maka itu adalah kehidupannya yang terakhir, apakah sama dengan Mahayana? Lantas persamaannya dimana? tolong penjelasannya.
Saya dapat mengerti kebingungan anda yg berpijak pada perspektif Theravada utk memahami pandangan Mahayana. Tetapi sekali lagi mohon dicamkan baik-baik bahwa saya tidak menjelaskan menurut pandangan Theravada. Sangatlah wajar bila bro yang berpijak pd pandangan Theravada merasa bahwa konsep pencerahan Theravada tidak sama Mahayana. Begitu juga Mahayana memang memiliki konsep yg berbeda, tetapi karena Mahayana menerima cakupan Theravada, maka pada sisi tertentu disebut sama. Nah, yg saya maksudkan sama itu adalah sisi tersebut, sedangkan pada aspek yg lebih luas lagi, Mahayana menyebutkan hal-hal yang tidak ada di dalam konsep Theravada. Aspek ini berbeda. Itu jelas. Ya, bro mungkin akan merasa puas bahwa benar saja memang beda. Ini tentu adalah pilihan kita masing-masing. Tetapi berbalik lagi pada pertanyaan awal bahwa apakah pencerahan itu sama dalam pandangan Mahayana, maka penjelasan yang bisa dikemukakan tetap seperti semula yakni Sama pada sisi kronologitas historikal, namun beda karena ada penjelasan dalam aspek yg lebih luas lagi. Apakah ini pendapat pribadi? Tentu tidak, sejauh saya mempelajari Mahayana, memang demikian adanya. Mengapa? Karena Mahayana tidak berdiri sendiri dgn mengabaikan sisi kehidupan Buddha yg tercatat dalam Agama Sutra (ataupun Nikaya Pali). Semua kotbah yg tercatat dalam kitab tersebut merupakan satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan bagi seorang praktisi Mahayana, karena semua ini tetap sangat dijunjung tinggi karena merupakan kotbah Hyang Buddha. Yang membedakannya adlah Mahayana sekaligus juga meyakini kotbah-kotbah yg tercatat dalam Sutra Mahayana. Sebagai contoh, Sutra Mahayana yakni Maharatnakuta Sutra bagian Varga UpayaKausalya, Salah satu Bodhisatva berdialog dgn Buddha mengenai kebingungannya tentang mengapa Buddha lahir dari sisi kanan ratu Mahamaya, mengapa Buddha saat mencapai pencerahan tidak membabarkan dhamma sebelum diminta oleh Brahma Sahampati, dan lain-lain yang mana pertanyaan2 tersebut merupakan pertanyaan yg berkaitan dgn kotbah yg ada di dalam kitab Nikaya/Agama Sutra. Tidak hanya itu, dalam Mahasatyanirgrantha Nirdesa, menguraikan keagungan Buddha yg isinya selaras dgn kotbah-kotbah dalam Nikaya, hanya saja Sutra ini memberi uraian yg lebih luas hingga ke aspek Mahayanis.
Quote
Itulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini.
Aah saya mengerti, jadi pencapaian di bawah pohon Bodhi hanya sebuah sandiwara saja? begitukah?
Saya menyebutkan kata lakon dgn tanda petik dgn harapan agar anda memahami maksud yg saya kemukakan. Namun saya menangkap cara bro menanggapinya dgn sangat aburd. Atau memang ingin bertanya dgn sangat sangat serius? Saya pernah berdiskusi dgn seorang rekan yg tidak meyakini ajaran Buddha, namun ketika beliau mendengar hal-hal yg diluar pemahaman beliau, bagaimanapun juga beliau tidak akan bertanya tentang hal-hal yg seolah-olah sangat absurd. Dari mempelajari ajaran Buddha, kita sama-sama memahami bahwa Buddha adalah manusia yg sangat luar biasa karismatiknya. Ini tercermin dari kata-kata bijaknya. Dari sisi ini saja, seharusnya tidak perlu sampai memunculkan rasa curiga bahwa seorang Buddha sedang bersandiwara. Kalaupun ingin mengatakan sandiwara, maka sepatutnya konteks sandiwara itu dibedakan dgn tanda petik, karena tentu ini sangat berbeda. Singkatnya, Buddha tentu tidak mungkin bersandiwara. Bagi bro yg sudah terpaten dgn konsepsi Theravada, memang sulit menerima bahwa Buddha dapat muncul lagi di dunia lain dgn alur : "lahir, menjadi pertapa, mencapai pencerahan, membabarkan dhamma, Mahaparinibbana". Namun bagi Mahayana hal ini sejalan dgn ikrar agung dan tidaklah mustahil ini dilakukan seorang Buddha, mengapa? Seorang Buddha sudah tidak melekat lagi dgn Keakuan, karena tidak melekat lagi itulah maka apalah artinyan jika setelah Mahaparibbana lalu sampai suatu waktu muncul lagi dgn alur seperti di atas utk mengajar di sebuah lokadhatu yg msh asing sama sekali dgn dhamma? Mungkin Mahaparinibbana yg bro hendaki adalah padam total, namun ingatlah bahwa Buddha tidak pernah mengatakan bahwa mencapai nibbana itu sama dgn lenyap, jiak sama dgn lenyap bukankah sama dgn paham nihilis? Sedangkan bagi Mahayana, muncul lagi di suatu tempat pd satu kondisi yg tepat tidak menandakan bahwa Mahayana menganut paham kekal. Jika dikatakan paham kekal, maka seharusnya Buddha tidak perlu Mahaparinibbana, namun Mahayana lebih menganggapnya sebagai perubahan yg terus menerus, dan hakikat dhamma itu tetap ada karena dhammatanya, dan karena Buddha tidak melekat pd Keakuan itu pula maka Beliau bebas leluasa dgn kearifan sejati tetap akan membimbing orang yg kondisi karmanya selaras utk dibimbing Buddha.
Quote
Dengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma.
Bila para Buddha tidak sungguh sungguh Maha Parinirvana, lantas siapakah yang sungguh-sungguh Maha Parinirvana?
Sejatinya bagi mahayana, Mahaparinirvana yg berbentuk matinya seorang Buddha hanyalah perwujudan yg diperlihatkan atau hanya dipahami secara awam. Hakikat sejatinya Mahaparinirvana tidak lain adalah tidak lahir dan tidak mati. Konsep ini Mungkin ini akan menjadi bahasan yg terpisah lagi. Dalam kitab Mahayana membahas dgn sangat-sangat banyak.
Quote
Tentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini.
Boleh tahu pembebasan mahluk hidup itu melalui jalan Bodhisattva kan? seperti apa pembebasannya?
Bentuk pembebasannya banyak juga dibahas dlm kitab ulasan Buddhavamsa (silakan baca sendiri RAPB), setelah saya baca, secara garis besar selaras dgn Mahayana. Intinya tidak lari dari 10 Paramita.
Quote
Kedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.
Saya setuju alam semesta luas, Jadi nanti Shakyamuni Buddha akan berpura-pura mencapai pencerahan dimana lagi?
Hahaha...saya harap bro tidak membuat pertanyaan yg kekanak-kanakan.
Mengapa harus berpura-pura? Pada intinya, tujuan terpenting adalah menyelidiki makhluk derita mana yg kondisinya siap utk dibimbing agar dapat memasuki pintu dhamma. Itulah yg diutamakan Buddha. Jadi mau bilang pura2 atau tidak, itu terserah bro. Yg Jelas, silakan renungkan sifat2 agung Buddha lalu pahami bhw jika hal itu memungkinkan bagi seorang Buddha utk datang lagi dan mengajar orang yg sangat kasian itu, maka why not ? Mungkin bro akan terpaku pada persoalan "masalahnya Buddha tidak mungkin datang lagi karena sudah Mahaparinibbana" , ya itu karena menyangkut keyakinan bro saja. Silakan
Quote
Jika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.
Maksudnya melakukan apa? berpura-pura mencapai pencerahan lagi, padahal sudah tercerahkan?
Hahahah..