Sebenarnya perbedaan pandangan mengenai anatta ini karena atta diterjemahkan sebagai self (diri), tetapi saya lebih suka penerjemahan atta/atma = soul, yang saya rasa lebih tepat.
atta vagga (dlm dhammapada), disana semua yg dibahas adalah tentang "diri sendiri".
dalam agama lain ya, atta = soul. dalam Buddhisme, pendapat kita bertolak belakang
buddha menerangkan dhamma dengan cara Pannatta & Paramatta :
Terdapat dua cara pengajaran dalam Buddha dhamma. Keduanya dinamakan paramatta desana dan pannatta desana. Yang pertama berhubungan dengan abstraksi pengetahuan. Sementara cara terakhir merujuk pada pengetahuan umum atau konvensional yang muncul dari obyek-obyek yang diketahui melalui penamaannya. Saat kalian mendiskusikan anicca (ketidakkekalan), dukkha (penderitaan), anatta (ketiadaan diri), dhatu (sifat dasar suatu zat), sacca (kebenaran), satipatthana (kesadaran yang kokoh), dan ayatana (perasaan yang utuh), kalian berhubungan dengan bahasa pengetahuan abstrak. Tetapi bila kalian membicarakan laki-laki, perempuan, dewa-dewa, brahmin, dan lain-lain, ini merupakan subyek sehari-hari dimana suatu makhluk dikenali melalui penamaannya.
Ada sejumlah orang yang dapat melihat cahaya dhamma dengan petunjuk pannatta sebaik orang-orang yang memperoleh pencerahan melalui petunjuk paramatta. Misalnya, seorang profesor yang mengetahui banyak bahasa akan mengajar dengan bahasa Inggris bagi muridnya yang mengetahui bahasa Inggris, bahasa Hindi bagi para muridnya yang berada di India, dan lain sebagainya. Demikian pula Sang Buddha lebih banyak membabarkan dhamma dengan cara kedua seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Ada delapan alasan mengapa Sang Buddha memberi penamaan dalam penggunaaan umum dan mengajarkan cara pannatta, yakni:
1. Guna menjelaskan tentang hiri, rasa malu dan ottapa, perasaan takut, jika melakukan perbuatan jahat.
2. Untuk menunjukkan bahwa suatu individu hanya memiliki harta berupa kamma.
3. Untuk menjelaskan perbuatan individu-individu.
4. Untuk menjelaskan secara alami jenis-jenis kamma buruk yang tak dapat dipertukarkan dan bekerja secara terus-menerus.
5. Mendorong praktek brahma vihara.
6. Untuk mengungkapkan kewajaran pubbenivasana nana, suatu kemampuan supranatural dalam mengingat kehidupan pada masa lampau, baik dirinya sendiri maupun makhluk lain.
7. Untuk menjelaskan dakhinavisuddhi, kemurnian hasil usaha, dan
8. Selaras bagi kehidupan saat ini.
Maksud dari 8 alasan di atas adalah :
1. Bila dikatakan khandha-khandha malu atau takut, maka kalian tidak akan mengerti maksudnya. Tapi, kalau dikatakan ada seorang gadis yang malu atau ketakutan, setiap orang akan mengerti apa yang dimaksud dengan pernyataan ini. Karenanya bila Sang Buddha ingin menegaskan perlunya menumbuhkan perasaan malu berbuat jahat dan takut akibat perbuatan jahat tersebut, beliau menggunakan istilah-istilah umum.
2. Saat dijelaskan bahwa khandha hanya memiliki satu-satunya harta yakni kamma-nya sendiri, maka arti dari pernyataan ini bisa beragam. Akan berbeda bila dikatakan individu-individu yang melakukan perbuatan baik atau buruk akan menerima akibat tumbuhnya kamma baik atau buruk hasil dari perbuatannya itu. Maka pernyataan ini lebih bisa dipahami. Inilah yang dimaksud dengan kamma merupakan satu-satunya harta yang dimiliki. Istilah kamma individu lebih gampang untuk dimengerti. Sehingga maksud dari pernyataan ini pun lebih gampang untuk dipahami. Karenanya Sang Buddha menggunakan istilah-istilah yang mudah dimengerti saat menguraikan tentang kamma.
3. Saat dikatakan bahwa khandha tengah membangun rumah-rumah dan vihara-vihara, maka pernyataan ini sulit untuk dimengerti. Namun jika dikatakan Anathapindika tengah membangun Vihara Jetavana, maka penyebutan nama ini akan lebih mudah untuk dimengerti. Oleh sebab itu digunakanlah penamaan individual.
4. Bila diceritakan ada khandha yang membunuh orang tuanya, tak seorang pun mengerti maksud dari pernyataan ini. Tapi setiap orang akan mengerti kalau kalian katakan ada anak laki-laki yang membunuh orang tuanya atau pangeran Ajatasattu membunuh ayahnya sendiri, yaitu raja Bimbisara. Pada suatu saat kamma buruk yang telah dilakukan, dengan membunuh ayah atau ibu, akan berbuah ketika mereka meninggal. Dan bekerjanya kamma paling buruk yang dikenal dengan istilah anantariya ini tidak dapat digantikan. Kamma tersebut bekerja secara terus-menerus. Untuk membabarkan jenis kamma semacam ini Sang Buddha menggunakan bahasa sehari-hari yang lebih mudah dimengerti. Raja Ajatasattu terperangkap oleh anantariya kamma karena membunuh ayahnya. Maka, meski memiliki kesempatan mendengarkan pembabaran dhamma dari Sang Buddha, ia gagal memperoleh pencerahan. Perbuatan Raja Ajatasattu membunuh ayahnya menjadi kendala baginya untuk memperoleh “jalan – magga”. Dalam kasus ini Raja Ajatasattu digolongkan sebagai maggantaraya, artinya orang yang berbahaya bagi “jalan”. Setelah kematiannya, ia terlahir di alam neraka Lohakumbhi. Diceritakan ia kehilangan kesempatan tumimbal lahir di alam-alam dewa karena kamma buruknya. Disebabkan perbuatannya yang sangat buruk ini Raja Ajatasattu juga digolongkan sebagai saggantaraya, maksudnya mahkluk yang berbahaya bagi para dewa.
5. Apabila dikatakan ada khandha yang mengirimkan permohonan- permohonan baik kepada khandha lain. Seperti pengharapan semoga khandha lain berumur panjang dan berbahagia. Maka pernyataan semacam ini akan sulit dimengerti. Akan lebih mudah dipahami jika dikatakan bahwa para bhikkhu atau umat awam berharap para bhikkhu atau umat awam lain berbahagia dan terbebas dari segala penderitaan.
Sang Buddha membabarkan praktek Brahmacariya, yakni mengembangkan metta, karuna, mudita dan upekkha dengan menggunakan metode pannatta desana. Bagi seseorang yang tidak memahami sepenuhnya cara pengajaran Sang Buddha dalam mengajarkan dhamma, menganggap hanya cara paramatta desana yang terbaik. Karenanya mereka mengirimkan permohonan-permohonan baik seperti di atas tidak kepada individu tapi kepada khandha-khandha.
Perlu diketahui dalam praktek Brahmacariya, selalu dipakai istilah umum, seperti semua mahkluk atau sabba satta, dan juga istilah yang spesifik atau khusus seperti semua laki-laki atau sabba purisa, semua perempuan atau sabba itthiya, dan lain-lain.
Saat mengirim metta dan jenis-jenis pikiran baik kepada pihak lain kalian harus secara langsung mengarahkan pikiran atau perhatian kepada individu secara keseluruhan dan bukan kepada pikiran atau jasmaninya. Sebab pikiran dan badan jasmani menunjuk kepada sesuatu yang bersifat abstrak, tak ubahnya batu atau kerikil. Jika demikian, cinta, keyakinan dan penghormatan semacam apa yang dikirimkan seseorang kepada benda mati? Lebih jauh, dalam mempraktekkan Brahmavihara, kalian harus mengenali individu yang menjadi obyek dari buah pikiran baik kalian.
6. Jika kami mengatakan ada khandha yang bisa mengingat masa lalu, tak ada orang yang mengerti maksudnya. Tapi, bila dikatakan Sang Buddha mengingat hal ini atau para arahat mengingat hal itu, maka artinya akan jelas. Oleh karenanya bila Sang Buddha ingin menjelaskan tentang mengingat hal-hal di masa lalu, beliau menggunakan kemampuan pubbenivasana nana, sebagaimana hal itu disebut, dalam hal ini Sang Buddha menggunakan pannata desana.
7. Jika dikatakan, kami melakukan pemberian dana kepada khandha, ini merupakan kalimat yang membingungkan. Coba baca kalimat ini, “ada satu khandha yang memberikan jubah kepada khandha yang lain”. Bagaimana caranya khandha-khandha itu memberi? Dan bagaimana caranya khandha-khandha yang lain menerima pemberian? Kumpulan materi mana yang bisa melakukan perbuatan baik, berdana ini? Juga kelompok materi yang mana lagi yang tidak suka melakukan perbuatan baik? Kumpulan yang satu bermanfaat dan kumpulan yang lain adalah tidak bermanfaat? Jika seseorang membaca abstraksi kalimat semacam itu akan muncul perasaan bingung. Sang Buddha lebih memilih menjelaskan hal di atas dengan mengatakan si pemberi dan penerima sebagai Individu. Dengan demikian kebingungan dapat dihindari.
8. Alasan kedelapan, mengapa Sang Buddha mengajar dengan menggunakan metode pannatta desana. Siapa yang memiliki kesadaran lebih tinggi dari Sang Buddha dalam memahami keberadaan semua makhluk, yang sesungguhnya hanya merupakan fenomena batin dan jasmani, muncul dan lenyap serta selalu berubah ? Sang Buddha selalu membahas masalah ini pada saat yang tepat. Tapi, beliau tidak pernah menolak untuk menggunakan istilah-istilah awam seperti ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, laki-laki, perempuan, dewa, bhikkhu, dan lain-lain. Istilah-istilah ini dipakai Sang Buddha dalam pembabaran dhamma. Sang Buddha mengajar dengan bahasa sehari-hari yang berlaku pada saat itu.