UNEK UNEK SAYA SEBAGAI WANITA
Sang Buddah tidak diskriminatif, tidak gender bias! Ini kunci yang perlu kita pegang.
Dibandingkan dengan ajaran agama lain, agama Buddha paling respect terhadap wanita. Pengakuan bahwa kesempatan wanita dalam merealisasi tujuan tertinggi (Nibbāna) oleh Sang Buddha adalah point yang luar biasa.
Kalaupun ada "SLIGHT diskriminasi" adalah pada masa selanjutnya oleh umat Buddha dan dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dimana agama Buddha berkembang. Misalnya saja, sekarang ini ada praktek bahwa wanita tidak boleh naik ke areal pohon Bodhi (bisa ditanyakan kepada para bhikkhu yang tinggal di Sri Lanka). Tetapi ini bukanlah Sang Buddha dan bukan agama Buddha yang mengajarkan demikian. Ini adalah praktek yang sudah dipengaruhi kultur daerah.
Pada saat membaca beberapa Buddhis literature (tentang ajaran yang mengatakan bahwa sasana akan berumur 500 tahun karena wanita menjadi bhikkhuni, tentang ketidakmungkinan wanita menjadi Buddha dan menjadi cakkavati) memang kadang saya bertanya "oh...apakah ini karena wanita lebih rendah dari pria?" Misalnya pada saat membaca konsep Raja Cakkavatti. Dikatakan dengan tegas bahwa wanita tidak bisa menjadi raja cakkavatti (
Aṭṭhānametaṃ, bhikkhave, anavakāso yaṃ itthī rājā assa cakkavattī. Netaṃ ṭhānaṃ vijjati. Ṭhānañca kho etaṃ, bhikkhave, vijjati yaṃ puriso rājā assa cakkavattī. Ṭhānametaṃ vijjatī’’. A.N. I. 28.)
Hal ini harus disikapi dengan cara positive thinking oleh wanita. Pertama, Sang Buddha tidak melarang wanita menjadi Raja. Nah konsep ini yang harus dimaknai secara positive oleh wanita bahwa kita bisa menjadi pemimpin. Walaupun tidak dapat mendapat julukan cakkavatti, tetapi wanita dapat menjadi raja besar. Dalam teori tentang kepemimpinan, Sang Buddha mengajarkan bahwa semua raja (raja pria dan wanita) memenuhi kewajiban dengan baik seperti: berlaku sesuai Dhamma dan menyejahterakan rakyatnya (
dhammikaṃ-rakkhāvaraṇāguttiṃ. A.N.I. 109) pastilah akan dicintai rakyatnya dan menjadi raja besar.
Melihat konsep bahwa wanita tidak bisa menjadi Buddha (A.N. I. 28), hal ini tidak berati bahwa wanita tidak bisa mencapai kesucian tertinggi. Tentu banyak sutta dan cerita di Therigātha yang dapat dijadikan bukti.
So, para wanita mari berpikir positif. Dan kepada semuanya (pria dan wanita), mari menjadi sadar gender. Gender adalah membedakan wanita dan pria berdasarkan cultur sosial. Secara faktor bilogi, memang kita berbeda, tetapi kita tetap mempunyai potensi yang sama untuk merealisasi kebenaran.
Pria dan wanita kan sama-sama kumpulan pancakkhandha yang sedang berjuang mencapai Nibbāna.