Saya rasa mengurangi tingkat pemerkosaan dan menghentikan kemunafikan adalah tidak tepat. Anda berani menjamin hal itu pasti terjadi secara signifikan apabila pelacuran makin marak? Pemilik restoran, aktor-aktris, dan pencipta lagu maupun penyanyi juga memberikan nafkah untuk keluarganya. Yang saya tekankan adalah manfaat positif dari si konsumen, orang yang membeli "produk" pelacuran. Coba cermati sekali lagi.
Lagi-lagi anda keliru menangkap. Saya katakan sekali lagi, manfaat itu bukan karena objeknya, tetapi karena kita masing-masing. Apakah pelacuran ditingkatkan atau dikurangi, selama kita menyikapinya dengan tidak benar, maka tidak akan bermanfaat. Yang saya berikan contohnya (mengurangi pemerkosaan & kemunafikan) adalah manfaat adanya pelacur bagi mereka yang menyikapi dengan benar. Anda tidak netral kalau mengatakan produk pelacuran tidak bermanfaat, sedangkan produk lagu ga mutu itu bermanfaat. Saya bilang bermanfaat atau tidak, tergantung dari kitanya masing-masing.
Sama seperti pertambahan/pengurangan pelacuran, pertambahan/pengurangan lagu tak bermutu TIDAK menjamin kemajuan bathin masyarakat. Lalu apakah suatu produk bermanfaat atau tidak, itu tergantung kita menyikapinya, dan saya sudah memberikan contoh bagaimana pelacuran bisa bermanfaat.
Budaya hanyalah mencakup aspek tata-cara pernikahan. Bukan dalam aspek fungsi pernikahannya. Orang-orang suku primitif pun mengenal adanya pernikahan. Tujuannya untuk mengesahkan hubungan sepasang kekasih. Hubungannya tidak bisa diganggu-gugat, keduanya terikat hak dan tanggung-jawab, dan konsekuen dengan kesepakatannya ini. Ini jelas menunjukkan bahwa selaras dengan ajaran Sang Buddha. Pernikahan itu wujud kebahagiaan tertinggi di duniawi (Digha Nikaya).
Betulkah hanya tata-cara pernikahannya? Betulkah menurut anda aspek fungsinya tetap sama?
Saya kasih contoh sederhana. Apakah perkawinan dalam masyarakat India kuno yang mengenal Kasta sama dengan kita sekarang? Apakah aspek fungsi pernikahan kakak-beradik, asal mula suku Sakya, sama seperti dalam masyarakat sekarang? Kalau anda masih bilang sama, coba research tentang nikah mut'ah.
Yang jelas, Sang Buddha pernah menyatakan bahwa mengasingkan diri dari keramaian duniawi adalah pertapaan yang tinggi. Hidup setia pada pasangan yang sah adalah pertapaan yang tinggi pula.
Ini yang saya cari. Dulu saya baca dari Samaggi-phala, ayatnya ada di Anguttara Nikaya IV,55. Tetapi ternyata tidak ada dikatakan tentang setia pada satu pasangan adalah pertapaan juga. Bisa bantu saya?
Lalu bila saya hidup setia dengan seorang wanita secara kumpul kebo, apakah itu pertapaan yang tinggi juga? Manusia itu hidup secara norma masyarakat juga, bro.
Betul, maka saya bilang umat Buddha harus mematuhi norma yang berlaku dan hukum negara, walaupun dalam dhamma tidak dikatakan bertentangan. Dan ya, "kumpul kebo" yang setia pada satu pasangan adalah satu bentuk pertapaan juga (walaupun tidak sesuai dilakukan di negara yang tidak melegalkannya, seperti Indonesia).
Memang benar orang yang menikah itu juga dilandasi modus untuk mencari sarana penyaluran seks yang legal, atau Anda sebut itu dengan munafik.
Yang saya sebut munafik adalah mengutuk para pelacur sementara menikmati keindahan pelacur; bathinnya terusik oleh pelacur, tapi mengaku suci. Tidak ada yang munafik dalam memuaskan hasrat secara benar dengan istri.
Tapi itulah yang disahkan secara norma. Bisa Anda bayangkan kalau semua Umat Buddha menganggap bahwa berhubungan intim dengan wanita pelacur itu tidak bertentangan dengan sila ke-3? Hmm... Kalau saya punya pikiran seperti itu, saya mungkin sudah mennderitas penyakit AIDS.
Lagi-lagi anda menyalahkan objek luar.
Baiklah, kalau berhadapan dengan bayi yang harus disuapi dogma-dogma tentang sila, saya tidak akan menjawab.
Kalau berhadapan dengan orang yang berusaha dewasa dan mengerti tentang dhamma, saya akan menjawab dengan jujur bahwa itu tidak bertentangan dengan sila ke tiga.
Anda mungkin sudah kena AIDS? Saya telah menggenggam pelacur tidak bersalah lebih dari 10 tahun. Begitu pula sejak belajar Dhamma, (dalam kondisi tertentu) saya melihat tetap tidak melanggar sila ke tiga. Ironisnya, saya tidak pernah menggunakan jasa pelacur sama sekali. Jadi saya atau anda yang ngaco? Atau jika anda terkena AIDS, anda mau melemparkan kesalahan pada sila ke tiga-nya?