Kelana,
Jadi jelas, segelap apa pun kamma vipaka (hasil kamma) seseorang, ia tetap perlu mendapatkan instruksi Dhamma. Dan sekarang yang ditekankannya adalah CARA memberikannya.
Membiarkan seseorang yang tersesat ataupun yang akan tersesat tanpa memberikan mereka arahan Dhamma, dengan alasan mereka tidak berjodoh, kamma buruk masa lampau mereka, adalah pandangan keliru. Sang Buddha menjelaskan bahwa kamma masa lampau bukanlah penentu segalanya karena tindakan kita pada kehidupan ini pun bisa mengubah kondisi yang kita alami sekarang. Dengan demikian ada kesempatan untuk mengubah seseorang. Adalah benar bahwa kita tidak bisa mengubah, membatalkan kamma yang sedang berbuah, sehingga kita perlu menunggu kekuatan kamma buruk itu habis, tapi kita tidak pernah tahu (kecuali arahat) secara tepat kapan habisnya. Oleh karena itu mengumandangkan terus-menerus ”ayat-ayat” cinta Dhamma adalah hal yang perlu dilakukan. Dan tidak perlu terlebih dulu menjadi seorang Buddha untuk mengubah pandangan keliru seseorang (setidaknya ini yang pernah saya alami).
Ya, betul sekali. Memang yang masalah adalah "cara"-nya, dan menurut saya pribadi, tidak akan berhasil dengan cara "menunjuk orang lain salah", yang bisa adalah dengan menunjukkan kebenaran apa adanya (lepas dari embel2 Buddhisme asli ato tidak). Terlebih lagi, mana mungkin orang berniat belajar suatu ajaran jika komunitas itu belum apa2 sudah menunjuknya sebagai "sesat"? Blom belajarpun pasti ada satu sikap defensif yang muncul.
Mengenai ayat2 yang disertakan juga saya setuju kita membicarakan kebenaran (dhamma) kepada siapapun. Tetapi kalo sudah menyangkut doktrin (seperti kamma ataupun Tuhan/Lao Mu), maka kondisinya tidak berlaku. Dengan kata lain kalo orang beda kepercayaan akan mengatakan, "Itu 'kan
benar menurutmu, menurut kitabmu. Kenapa tidak kamu saja yang melepaskan kepercayaanmu yang sesat dan ikut kebenaranku dan kitabku?". Nah, akhirnya 'kusut'.