Kalau menurut saya analogi ini kurang sesuai untuk realisasi nirvana.. Kenapa? Kekenyangan hanya bisa dirasakan secara subjektf oleh suatu ego-diri yang merasa hanya dirinya yang bisa merasakan lapar. Sedangkan nirvana adalah fenomena di luar batas diri subjektif. Nirvana bukan hanya pengalaman batin ataupun fisik belaka, karena untuk merealisasinya seseorang harus melampaui batin maupun fisiknya sendiri. Jika Nirvana dirasakan hanya sama dengan rasa lapar yang berupa pengalaman subjektif, dan fisik maka merealisasinya tidak akan banyak berarti...
Sedangkan dalam hal makan,sebenarnya tidak peduli apakah ia disuap atau makan sendiri, jika makanan sudah dicerna dengan baik dan cukup jumlahnya maka ia otomatis kenyang.
Sobat... Analogi yang saya berikan itu tidak perlu dibandingkan tiap seginya dengan Nirvana. Bagaimanapun juga tidak akan ada analogi yang sebanding dengan Nirvana. Analogi saya itu cukup dilihat dalam
term "mencapai kenyang". Jadi maksudnya... meski saya disuapi oleh orang lain atau makan sendiri, tetap saja yang bisa membuat saya kenyang adalah dengan makan. Makan ini adalah usaha sendiri.
Sampai di sini, apakah kita sepakat dengan paradigma ini...?
Kalau gitu jelaskan, akal sehat Anda menjadi ukuran kebenaran bagi Anda… Minimal anda menafsirkannya dengan suatu cara tertentu dan makna yang Anda yakini sebagai kebenaran yang akhirnya memotivasi Anda… walaupun wujudnya sudah jauh berbeda dengan kalimat aslinya..
Saya
rasa, tidak perlu saya menguraikan lebih lanjut mengenai
statement dari agama lain di sini...
Bagi saya, suatu hal harus teruji oleh banyak pembuktian agar dapat saya terima. Setidaknya untuk saat ini... Anda tidak perlu mencari tahu bagaimana pola gelombang pikiran saya bekerja. Yang sedang kita bahas adalah
statement yang harus dapat dipertanggungjawabkan di sepanjang zaman.
Coba perhatikan kata anda sendiri, “saya rasa logika tidak menjadi tuan saya.” Kata yang anda gunakan adalah “saya rasa”, dalam hal ini yang bekerja di balik “saya rasa” itu sendiri tidak lain hanya keyakinan.
Ini bukan soal filter yang berbeda belaka… Jika logika dijadikan panduan awal, maka bersiap-siaplah ia akan menjadi penuntun Anda, atau dengan kata lain siapa yang memandu ia yang akan menjadi pemipin, dan pemimpin itulah tuan bagi yang dipimpin dan yang dituntun. Daripada anda menjadikan logika dan akal sehat sebagai penuntun, bukanlkah lebih baik kita dituntun oleh Buddha Dharma, sebelum akhirnya dituntun oleh Nirvana .
Hehehe... Anda ini orangnya lucu juga.
Saya pakai kata "rasa", itu pun karena formalitas dalam tata berbahasa. Lagipula kata "rasa" di kalimat itu sebenarnya menunjukkan bahwa saya melewati proses menimbang, hingga akhirnya saya menyatakan
statement itu.
Hmmm... Jadi kita tidak perlu memakai akal sehat dan logika sebagai panduan awal? Lalu kita sebaiknya memakai apa? Iman...?
Lalu darimana Anda bisa berpendapat bahwa bila kita menggunakan akal sehat dan logika sebagai panduan awal, maka seterusnya kita akan menjadi budaknya...? Saya harap Anda mengeluarkan pernyataan ini dengan tidak menggunakan akal sehat dan logika...
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?
Sekarang saya tambah tidak mengerti dengan konsep Nirvana...
Saya baru tahu kalau Nirvana itu adalah penuntun. Saya baru tahu kalau Nirvana itu bukanlah
the Ultimate. Saya baru tahu, hmmm... jika sekiranya kita dituntun Nirvana, lalu kita akan diarahkan ke mana lagi...?
Saya sudah mencoba menjelaskannya, tapi memang akal sehat sulit menerimanya… Setiap ruang dan waktu selalu ada jika dialami batin, oleh karena itu tidak ada ruang dan waktu yang berdiri sendiri… Alam yang murni hanya bisa dicapai oleh pikiran yang murni pula, “Jika pikiran murni maka alampun murni.” Dalam hal ini Nirvana adalah wilayah yang bebas dari pensekatan kaku antara dunia batin internal dan dunia alam eksternal…. Tidak mungkin Nirvana hanya merupakan suatu tempat belaka… Kalau anda masih juga belum paham soal ini ya saya tidak punya argumen lain lagi.
Ya, saya tahu bagaimana sulitnya mendeskripsikan Pembebasan dengan kata-kata. Tapi saya mencium adanya aroma perbedaan konsep Pembebasan antara Aliran Mahayana dengan Aliran Theravada. Jadi saya hanya ingin menggali pemahaman yang lebih lanjut mengenai konsep ini di Mahayana...
Saya tidak akan berspekulasi sejauh itu. Kalimat singkat itu cukup menjadi satu kalimat kontroversial. Karenanya, saya tidak akan mengeluarkan
statement seperti itu.
Statement yang lebih tepat adalah, "Nirvana dapat direalisasi di kehidupan ini".
Statement ini lugas, tidak spekulatif, maknanya tidak akan melebar, koridornya jelas, dan
value dari Nirvana itu sendiri tetap terjaga. Seumpanya Anda mengeluarkan
statement ini dari kemarin, saya tidak akan memperpanjang pembicaraan.
Kalau saya memang masih terlihat tidak paham, saya juga tidak punya argumen lain lagi...
Bagaimana jika “saya sendiri”, “makhluk lain” dan “alam” sekitar pada hakikatnya adalah satu?
Apa maksudnya bahwa "saya sendiri", "makhluk lain" dan "alam sekitar" pada hakikatnya adalah satu?