Konsep dewa dan brahma hanyalah bagian dr sistem kepercayaaan masyarakat dan penganut brahmanisme. Apa yang dipercayai secara umum tidak berarti dianggap nyata. Hal ini diperkuat lagi dengan muncul para guru petapa yang melawan sistem brahmanisme. Bahkan terdapat guru dari aliran nihilis seperti Ajita Kesakambala yang secara nyata menolak eksistensi dewa, brahma, surga, neraka.
Memang demikian. Karma dan tumimbal lahir juga sudah menjadi bagian kepercayaan masyarakat walaupun ada juga penganut akiriya dan nihilisme. Tapi toh, Buddha tetap mengajarkan karma & tumimbal lahir, meskipun tidak ada satupun orang yang bisa membuktikan cara kerja karma. Hal ini diajarkan untuk membimbing pada pola pikir yang benar (sebab-akibat).
Pada sisi lain bahkan Sang Buddha lebih jauh menceritakan eksistensi sistem dunia yang berlipat ;cula;majjhima; maha sahassi lokadhatu dengan masing2 jumlah 1000 surga catur-maharajika, 1000 surga Tavatimsa, dst.. hingga 1000 alam Brahma di setiap sistemnya, yang sangat sulit dijangkau pikiran awam. Apalagi kepercayaan masa itu hanya mengenal 1 MahaBrahma sbg pencipta alam smesta. Tidak mungkin ini tidak dianggap sbg potensi spekulasi.
Betul, itupun sudah berpotensi spekulasi juga, tapi setidaknya menjelaskan bahwa Buddha tidak mengatakan di semesta ini, kehidupan cuma hanya di sini saja. Ini banyak pengaruhnya terutama dalam pertanyaan 'kalau masa penyusutan galaksi, manusia terlahir di mana?' oleh orang berpandangan lain.
Maka, menurut pendapat saya, berdasarkan ini, mengatakan bahwa menceritakan eksistensi Buddha di konstelasi lain memberi potensi spekulasi bukanlah analisa yang tepat . Di samping itu, saya menganggap menceritakan eksistensi Buddha lain merefleksikan jangkauan pengetahuan Buddha yang tak terbatas. Sama seperti Buddha menceritakan eksistensi Buddha masa lalu yang tak terjangkau pikiran awam. Memperkenalkan Buddha masa lalu dan akan datang adalah paparan yang linear, memperkenalkan Buddha di konstelasi lain adalah paparan yang paralel. Keduanya adalah pandangan yang saling melengkapi.
OK, saya berikan perumpamaan, ada satu ilmuwan yang mahatahu. Ia menjelaskan begini:
1. Di masa lalu, sebagian dinosaurus berevolusi menjadi burung. Bagi para ilmuwan, bisa menelusuri mutasi DNA dan melihat jejak evolusinya begini-begitu.
2. Di galaksi x, ada alien mata tiga berevolusi jadi monyet terbang. Alien mata tiganya tidak ada di sini, monyet terbangnya juga tidak ada, gambarannya juga tidak ada, tidak kelihatan di teleskop.
Kira-kira sama atau tidak? Apakah ada manfaatnya menceritakan yang ke dua?
Konklusi dari diskusi ini hanya bisa begini: kalo pandangan mahayana ya bisa diterima. Theravada tidak. That's all.
Memang betul, karena kembali lagi saya katakan pandangan Mahayana dan Theravada berbeda. Khotbah tentang Buddha di galaksi lain bisa saja bermanfaat bagi pandangan Mahayana, tapi kalau dari Theravada, menurut saya, tidak bermanfaat.