//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Save Our World, Reduce Global Warming  (Read 112570 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Pitu Kecil

  • Sebelumnya Lotharguard
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.344
  • Reputasi: 217
  • Gender: Male
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #90 on: 15 April 2009, 10:54:47 AM »
Saya sudah berhasil mematikan listrik di rumah saya selama satu jam
Akhirnya berhasil juga saya sudah ikut serta dalam aksi ini
Awalnya sedih juga, karena tetangga2 pada gak mendukung, jadi rumah saya sendiri saja yang gelap gulita
Namun karena sudah diniatkan dari kemaren2, yah ditahan2in deh, rela demi bumi kita tercinta
Lega rasanya sudah berhasil tepat 1 jam memadamkan listrik
Bagaimana dengan rekan2 DC yang lain ?
Ceritakan juga dong..
Kalau rumah saya sih paling matikan yang lampu kamar, ruang tamu, dll...
yang dihidupkan adalah Lampu di depan rumah dengan pertimbangan yang jauh (Di Jalan sepajang rumah saya kalau malam Gelap sih) kalau tidak dihidupkan lampu bisa berabe...
yang dihidupkan pompa aquarium (ikan pada mati kalau gak ada oksigen)
Mesin Liam Keng yang diretakkan di altar leluhur yang On 24 Jam.
Sisanya Closed selama 1 jam lebih... saat itu saya menghadiri acara Talk Show Bhante Uttamo _/\_
Smile Forever :)

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #91 on: 17 April 2009, 08:34:14 AM »
 [at] Lothar :

demikianlah seharusnya kita bersikap dalam hal penghematan energi (pun sebenarnya dalam semua aspek kehidupan) yaitu dengan sewajarnya dan sesuai dengan kebutuhan

jika penghematan dilakukan dengan terpaksa, secara batin biasanya muncul dosa mula citta, rasa kebencian terhadap hal yg dipaksa, plus lobha mula citta dimana ada rasa lega dan senang begitu waktu yg ditetapkan itu lewat

Padahal seharusnya itu melatih kita utk jadi lebih disiplin.
- Matikan lampu dan peralatan listrik pada saat tidak digunakan utk wkt yg lama (lebih dari 5 - 10 menit) tapi jangan matikan jika dalam 5 -10 menit akan digunakan lagi karena utk mengaktifkan peralatan itu, perlu listrik yg lebih besar ketimbang daya yg digunakan selama 5 - 10 menit
- Jika memang sering menggunakan peralatan yg mempunyai fitur Standby, dan ga yakin apa dalam 5 - 10 menit akan menggunakan lagi, lebih baik menggunakan fitur standby itu (konsumsi daya dalam fitur itu berkisar 5 watt aja)
- Untuk pompa air otomatis, bisa menggunakan RADAR (semacam pelampung tp bentuknya bola) dimana ini akan mengaktifkan pompa air hanya pada saat diperlukan saja
- Untuk lampu depan dan penerangan pekarangan rumah, bisa menggunakan timer sehingga hanya mati dan hidup sesuai waktu yg sudah ditentukan (sering kita lupa matikan saat weekend, entah karena ketiduran atau karena berlibur ke luar kota)

Masih banyak hal lain yg bisa kita lakukan demi menghemat energi yg semakin langka dan mahal

semoga bermanfaat

metta

Offline wiithink

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.630
  • Reputasi: 32
  • Gender: Female
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #92 on: 19 July 2009, 11:13:54 PM »
udah matiin lampu.. pengurangan memakai kertas.. udah cabut charge ndak kepake.. belum ganti lampu (harus masuk ke plafon), masih pake monitor tabung (belum ada duit ntuk ganti)..

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #93 on: 06 August 2009, 09:26:09 AM »
Kurangi pemakaian kantong plastik dengan membawa tas belanjaan sendiri

Kurangi pemakaian tisyu

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #94 on: 06 August 2009, 09:26:59 AM »
Sahara Desert Greening Due to Climate Change?



Emerging evidence is painting a very different scenario, one in which rising temperatures could benefit millions of Africans in the driest parts of the continent.

Scientists are now seeing signals that the Sahara desert and surrounding regions are greening due to increasing rainfall.

If sustained, these rains could revitalize drought-ravaged regions, reclaiming them for farming communities.

This desert-shrinking trend is supported by climate models, which predict a return to conditions that turned the Sahara into a lush savanna some 12,000 years ago.

Green Shoots

The green shoots of recovery are showing up on satellite images of regions including the Sahel, a semi-desert zone bordering the Sahara to the south that stretches some 2,400 miles (3,860 kilometers).

Images taken between 1982 and 2002 revealed extensive regreening throughout the Sahel, according to a new study in the journal Biogeosciences.

The study suggests huge increases in vegetation in areas including central Chad and western Sudan.

The transition may be occurring because hotter air has more capacity to hold moisture, which in turn creates more rain, said Martin Claussen of the Max Planck Institute for Meteorology in Hamburg, Germany, who was not involved in the new study.

"The water-holding capacity of the air is the main driving force," Claussen said.

Not a Single Scorpion

While satellite images can't distinguish temporary plants like grasses that come and go with the rains, ground surveys suggest recent vegetation change is firmly rooted.

In the eastern Sahara area of southwestern Egypt and northern Sudan, new trees—such as acacias—are flourishing, according to Stefan Kröpelin, a climate scientist at the University of Cologne's Africa Research Unit in Germany.

"Shrubs are coming up and growing into big shrubs. This is completely different from having a bit more tiny grass," said Kröpelin, who has studied the region for two decades.

In 2008 Kröpelin—not involved in the new satellite research—visited Western Sahara, a disputed territory controlled by Morocco.

"The nomads there told me there was never as much rainfall as in the past few years," Kröpelin said. "They have never seen so much grazing land."

"Before, there was not a single scorpion, not a single blade of grass," he said.

"Now you have people grazing their camels in areas which may not have been used for hundreds or even thousands of years. You see birds, ostriches, gazelles coming back, even sorts of amphibians coming back," he said.

"The trend has continued for more than 20 years. It is indisputable."

Uncertain Future

An explosion in plant growth has been predicted by some climate models.

For instance, in 2005 a team led by Reindert Haarsma of the Royal Netherlands Meteorological Institute in De Bilt, the Netherlands, forecast significantly more future rainfall in the Sahel.

The study in Geophysical Research Letters predicted that rainfall in the July to September wet season would rise by up to two millimeters a day by 2080.

Satellite data shows "that indeed during the last decade, the Sahel is becoming more green," Haarsma said.

Even so, climate scientists don't agree on how future climate change will affect the Sahel: Some studies simulate a decrease in rainfall.

"This issue is still rather uncertain," Haarsma said.

Max Planck's Claussen said North Africa is the area of greatest disagreement among climate change modelers.

Forecasting how global warming will affect the region is complicated by its vast size and the unpredictable influence of high-altitude winds that disperse monsoon rains, Claussen added.

"Half the models follow a wetter trend, and half a drier trend."

source
« Last Edit: 06 August 2009, 09:28:42 AM by markosprawira »

Offline freedom

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 100
  • Reputasi: 7
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #95 on: 19 August 2009, 04:13:32 PM »
Dukung!!
Demi kehidupan mahluk2 planet Biru kecil .. Bumi..
Go-green :) Menanam pohon mulai dari pekarangan rumah :)

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Tahun Lalu, Gas Rumah Kaca Capai Peningkatan Tertinggi
« Reply #96 on: 26 November 2009, 01:21:35 PM »
GENEVA, KOMPAS.com - Gas rumah kaca telah mencapai tingkat tertingginya sejak masa pra-industri, demikian peringatan beberapa ahli meteorologi, Senin (23/11). Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), di Geneva, mengumumkan,  pada 2008 terjadi peningkatan tertinggi gas rumah kaca sejak 1998.
   
"Kami ingin semua keputusan tidak dilandasi atas desas-desus tapi atas kenyataan, jadi di sinilah semua fakta itu," kata Michel Jarraud, Sekretaris Jenderal WMO, yang merujuk kepada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen pada Desember.
   
WMO Greenhouse Gas Bulletin memperlihatkan, hingga 2008, rasio karbon dioksida, metan, dan nitro oksida, masing-masing naik sebesar 38 persen, 157 persen, dan 19 persen sejak masa pra-industri sebelum 1750. "Apa makna kenaikan ini ialah Kyoto tak cukup," kata Jarraud, "tapi tanpa Kyoto, itu bahkan akan lebih buruk".

Buletin itu mengungkapkan bahwa kosentrasi kloroflurokarbon (CFC) naik, berkat Protokol Montreal mengenai Bahan yang Merusak Lapisan Ozon, yang mulai diberlakukan pada 1989, kendati gas lain, halogen, meningkat dengan cepat. "Apa yang saya ketahui ialah kita tak boleh menyerah. Kita mesti melakukan setiap upaya guna mencapai kesepakatan terbaik yang mungkin dicapai di Copenhagen. Penting untuk bertekad. Penting untuk mengurangi jumlah perubahan iklim. Makin lama kita menunda keputusan, makin besar dampaknya," kata Jarraud.
   
WMO, melalui Global Atmosphere Watch (GAW) Progam, mengkoordniasikan pengawasan gas rumah kaca di atmosfir melalui jaringan kerja 200 stasiun di lebih dari 50 negara. WMO didirikan pada 1950. Organisasi tersebut memiliki 188 negara anggota dan bermarkas di Geneva.


XVD

Editor: primus

Sumber : Ant

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
APP Terapkan Program Pengurangan Emisi sejak 2007
« Reply #97 on: 26 November 2009, 01:22:26 PM »
JAKARTA, KOMPAS.com — Sembilan perwakilan Greenpeace menyampaikan aspirasi meminta Indah Kiat Pulp & Paper Mill (IKPP), salah satu pabrik di bawah bendera Asia Pulp & Paper (APP), untuk melakukan tindakan terhadap isu perubahan iklim, Rabu (25/11). IKPP berlokasi di Perawang, Provinsi Riau, Indonesia.

"Kendati hari ini Greenpeace melakukan aksi yang membahayakan dan kemungkinan tidak sah, kami mengerti kekhawatiran Greenpeace terhadap pentingnya pengurangan emisi gas rumah kaca. Pabrik-pabrik APP telah menerapkan program pengurangan emisi sejak tahun 2007. APP bekerja sama dengan Environmental Resource Management (ERM) dari Inggris untuk melakukan penilaian Carbon Footprint secara independen. Kami saat ini telah menggunakan hasil dari penilaian tersebut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di setiap pabrik kami, untuk memantau carbon footprint APP, serta untuk menghitung carbon life cycle produk-produk kami," demikian siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu.

Mengenai perlindungan keanekaragaman hayati dan hutan gambut, sejalan dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mengenai peraturan perlindungan hutan dengan nilai konservasi tinggi, APP dan Greenpeace sebenarnya memiliki tujuan yang sama. "Di Provinsi Riau, pemasok bahan baku HTI kami mengalokasikan lahan sekitar 180.000 hektar eksklusif untuk kepentingan konservasi. Termasuk dalam area konservasi itu adalah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil yang telah didukung oleh UNESCO Man & Biosphere Program dan hutan gambut di Semenanjung Kampar. Semua usaha-usaha konservasi kami menggunakan dasar ilmiah dan merujuk pada hasil penilaian sosial ekonomi," demikian siaran pers tersebut.

Menurut audit independen, hutan konservasi kami di Giam Siak Kecil sendiri mengandung karbon dalam jumlah yang sangat banyak—lebih dari 1,7 miliar ton CO2 dan telah membantu dalam pengadaan oksigen kebutuhan dunia.

Seperti yang diutarakan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (UN Intergovernmental Panel on Climate Change): “Secara jangka panjang, strategi pengelolaan hutan secara lestari di mana karbon hutan dapat dipertahankan atau ditambah dan secara bersamaan menghasilkan produksi kayu yang berkesinambungan justru merupakan mitigasi terbesar yang akan lestari. Kami menghargai pendapat dari Greenpeace dan ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengundang mereka untuk melakukan dialog secara terbuka dan bertanggung jawab," demikian siaran pers APP.




Editor: ksp

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Pemanasan Global Lebih Buruk dari Perkiraan
« Reply #98 on: 26 November 2009, 01:23:28 PM »



WASHINGTON, KOMPAS.com - Sejak persepakatan Kyoto tahun 1997 tentang pemanasan global, perubahan iklim justru menunjukkan gejala memburuk dan makin cepat - melebihi perkiraan terburuk ditahun 1997.

Ketika dunia selama belasan tahun bicara tentang pemanasan global, lautan Artik yang tadinya beku kini mencair menjadi jalur-jalur baru perkapalan. Di Greenland dan Antartika, lapisan es telah berkurang triliunan ton. Gletser di pegunungan Eropa, Amerika Selatan, Asia, dan Afrika menciut sangat cepat.

Bersama itu pula, menjelang konferensi tingkat tinggi iklim di Kopenhagen bulan depan, fakta-fakta perubahan iklim lainnya terus berlangsung, antara lain:

* Semua samudera di dunia telah meninggi 1.5 inchi

* Musim panas dan kebakaran hutan makin parah di seluruh dunia, dari Amerika bagian barat hingga Australia, bahkan sampai Gurun Sahel di Afrika utara.

* Banyak spesies kini terancam karena berubahnya iklim. Bukan saja beruang kutub yang kepayahan bermigrasi (yang telah menjadi ikon pemanasan global),  tapi juga pada kupu-kupu yang sangat rapuh, berbagai spesies kodok, dan juga pada hutan-hutan pinus di Amerika utara.

* Temperatur selama 12 tahun terakhir lebih panas 0.4 derajat dibandingkan dengan 12 tahun sebelum 1997

Sebelumnya, di tahun 90'an, para peneliti tak ada yang memperkirakan perubahan iklim akan separah saat ini, dan tak ada yang mengira semuanya akan terjadi secepat ini. "Penelitian terakhir menyatakan bahwa keadaan kita lebih pelik dari yang tadinya disangka," kata Janos Pasztor, penasehat iklim bagi Sekjen PBB, Ban Ki-moon.

Sejak perjanjian untuk mengurangi polusi gas berefek rumah kaca ditandatangani di Kyoto, Jepang, Desember 1997, level karbondioksida di udara telah meningkat 6,5 persen. Petinggi dari seluruh dunia akan bertemu lagi di Kopenhagen bulan depan untuk membentuk suatu perjanjian lanjutan, yang menurut Presiden Barack Obama "akan berdampak langsung secara operasional .... dan merupakan kemajuan dalam usaha menyatukan dunia untuk mencari pemecahan."

Meski begitu, nyatanya usaha terakhir di Kyoto tak mendapatkan hasil yang diinginkan.

Dari 1997 hingga 2008, emisi karbondioksida di dunia akibat penggunaan bahan bakar fosil telah meningkat 31 persen; emisi gas berdampak rumah kaca di Amerika juga naik 3,7 persen. Emisi dari China, yang kini merupakan penyebab polusi terbesar untuk jenis ini, telah berlipat dua selama periode 12 tahun ini. Ketika senat AS keberatan atas persetujuan terdahulu dan Presiden George W Bush mengundurkan diri dari hal itu, artinya 3 penyebab polusi terbesar dunia - AS, China, dan India - tak berpartisipasi dalam perjanjian pengurangan emisi itu. Negara berkembang tak diikutsertakan dalam protokol Kyoto dan kini hal itu akan menjadi salah satu masalah utama di Kopenhagen.

Dan gas berefek rumah kaca ternyata lebih kuat dampaknya dan lebih cepat terbentuknya daripada perkiraan, kata para ilmuwan. "Di tahun 1997, dampak dari perubahan iklim dipandang rendah; kini rasio perubahan makin cepat," kata Virginia Burkett, peneliti perubahan iklim global dari Survei Geologis AS.

Pernyataan terakhir itu mengkhawatirkan mantan Wapres Al Gore, yang membantu menengahi perjanjian menjelang akhir pertemuan di Kyoto. "Perbedaan yang paling serius yang kita alami adalah percepatan krisis itu sendiri," kata Gore dalam wawancara bulan ini.

Tahun 1997, pemanasan global adalah bahan pembicaraan ilmuwan bidang iklim, pakar lingkungan, dan pelobi kebijakan. Sekarang para pakar biologi, pengacara, ekonom, insinyur, analis asuransi, manajer resiko, pakar bencana alam, pedagang komoditas, ahli nutrisi, pakar etika, dan bahka psikolog turut terlibat dalam topik pemanasan global.

"Kita telah berjalan dari 1997, dimana pemanasan global adalah masalah abstrak di kalangan cendikiawan, hingga sekarang dimana masalah ini dibicarakan semua orang," kata Andrew Weaver, ilmuwan bidang iklim dari Universitas Victoria.

Perubahan dalam 12 tahun terakhir yang paling mengkhawatirkan para ilmuwan adalah yang terjadi di Artik, dimana lautan es musim panasnya lumer, dan hilangnya massa es beralas daratan pada lokasi-lokasi kunci di seluruh dunia. Semuanya terjadi jauh lebih cepat dari perkiraan.

Dahulu di tahun 1997 tak ada orang yang menyangka bahwa lautan es di Artik bisa meleleh - ini dimulai kira-kira 5 tahun yang lalu, - kata Weaver. Dari 1993 hingga 1997, es di lautan biasanya mengecil kira-kira menjadi 2,7 juta mil persegi di musim panas. Dalam lima tahun terakhir rata-rata hanya menjadi 2 juta mil persegi. Selisih itu sebesar Alaska.

Antartika mengalami peningkatan es laut yang kecil, dikarenakan efek dingin dari lubang di ozon, menurut Survei Antartika Inggris. Dalam waktu bersamaan, bongkah-bongkahan besar dari lapisan es lepas dari semenanjung Antartika.

Walau es di Samudera Artik tak meningkatkan permukaan laut, tapi lumernya lapisan es raksasa dan gletser bisa menaikkan permukaan laut. Kedua hal tersebut terjadi dengan cepat di kedua kutub bumi.

Pengukuran menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, Greenland telah kehilangan lebih dari 1,5 triliun ton es, sementara Antartika 1 triliun ton sejak 2002. Menurut beberapa laporan dari Dewan Antar-Pemerintahan untuk Perubahan Iklim, para ilmuwan tidak mengantisipasi hilangnya lapisan es di Antartika, kata Weaver. Dan rasio kecepatan melelehnya es makin tinggi, sehingga lapisan es di Greenland kini meleleh dua kali lebih cepat dibanding tujuh tahun lalu, sehingga meninggikan permukaan laut.

Gletser di seluruh dunia menciut tiga kali lebih cepat dibanding tahun 1970'an dan rata-rata tiap gletser telah kehilangan es setebal 25 kaki (7,62 m) sejak 1997, kata Michael Zemp, peneliti di Badan Pengawan Gletser Dunia di Universitas Zurich.

"Gletser adalah pengukur iklim yang handal, " kata Zemp. "Yang terjadi adalah hilangnya es yang makin cepat."

Dan permafrost - yaitu kawasan beku di utara juga meleleh dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, kata Burkett.

Ada satu lagi dampak pemanasan global - baru diketahui setelah tahun 1997 - yang membuat ilmuwan gigit jari. Semua samudera makin asam karena banyaknya karbondioksida yang diserap oleh air. Ini menyebabkan pengasaman, suatu isu yang bahkan tak diberi nama hingga beberapa tahun terakhir.

Air yang lebih asam akan merusak karang, kerang, dan plankton, yang ujungnya mengancam rantai makanan di lautan, kata para bakar biologi.

Di tahun 1997, "tak disebut perihal tumbuhan dan satwa" dalam hal pemanasan global. Namun kini keduanya ikut terancam, kata pakar biologi Universitas Stanford, Terry Root. Kini para ilmuwan sedang memikirkan spesies mana saja yang bisa diselamatkan dari kepunahan dan mana yang sudah tak tertolong. Beruang kutub adalah spesies pertama di daftar federal untuk spesies terancam, dan hewan sejenis kelinci kecil dari Amerika, Pika, kemungkinan juga terancam.

Lebih dari 37 juta hektar hutan pinus di Kanada dan Amerika telah dirusak oleh kumbang yang tak mati (terkendali populasinya) karena musim salju tak sedingin dahulu lagi. Dan di Amerika bagian barat, jumlah daerah yang mengalami kebakaran berlipat.

Penampung Sungai Colorado, penyedia air besar untuk Amerika Barat, hampir penuh di tahun 1999, tapi di tahun 2007 setengah dari persediaan air telah hilang setelah daerah itu menderita kemarau berkepanjangan terparah dalam catatan seabad.

Kerugian asuransi dan pemadaman listrik menjulang dan para ahli mengatakan bahwa pemanasaan global turut ada andilnya juga di sini. Jumlah pemadaman listrik sehubungan cuaca di Amerika dari 2004-2008 tujuh kali lebih tinggi dibanding tahun 1993-1997, kata Evan Mills, kata staf peneliti dari Lab. Nasional Lawrence Berkeley.

"Pesan dari segi ilmu pengetahuan ialah bahwa kini kita tahu lebih banyak dibanding tahun 1997, dan semuanya kabar buruk," kata Eileen Claussen, ketua dari Pusat Perubahan Iklim Global di Pew. "Keadaannya lebih parah dari perkiraan manapun."


C17-09

Editor: wsn

Sumber : AP



Offline darwin hua

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 103
  • Reputasi: 3
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #99 on: 31 December 2009, 11:57:19 PM »

Namo Buddhaya,

Salah satunya cara barang2 yang kita pakai bisa didaur ulang.

Darwin

Offline darwin hua

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 103
  • Reputasi: 3
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #100 on: 20 January 2010, 12:16:11 PM »

Namo Buddhaya,

Wah perubahan iklim semakin kita lihat dech...ampe hujan es yang dahsyat di China,hujan deras dan disertai angin kencang..kemudian gempa lagi,musim kemarau lagi el nino..Jika kita tidak menyelamatkan bumi kita,sulit dech bertahan yach.....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Aduh, panas ya akhir-akhir ini....
« Reply #101 on: 19 April 2010, 04:50:36 PM »
Akhir-akhir ini memang panas banget... Tapi yang g heran, kenapa sih masih banyak orang yang gak peduli lingkungan? Hanya bisa bilang: "aduh panas ya akhir-akhir ini...". Lalu keluhan berhenti seiring dengan dihidupkannya AC. Gak kebayang deh, apa jadinya kita kalo suatu saat nanti AC pun gak mampu lagi. Fenomena lain yang g liat: kemaren g belanja di Car***ur. Satu orang pembeli bisa menghabiskan minimal 5 plastik, belum termasuk plastik bening buah-buahan. Bayangkan aja, dalam satu hari ada berapa ribu pembeli!

Di Car***ur memang dijual tas kain. Pembeli bisa membelinya sebagai pengganti plastik belanjaannya. Tapi kalo sudah punya, bisa pake tas itu aja. Bahkan ada garansinya, kalo tas itu rusak bisa diganti gratis. Tapi berapa banyak sih orang yang mau pake tas kain? Berapa banyak sih orang yang "mau repot" bawa-bawa tas itu saat mau belanja? Bahkan berapa banyak sih orang yang "mau tampil beda"?

Seandainya g adalah si pemilik Car***ur, g kasih diskon tuh orang-orang yang mau pake tas kain. Mungkin dengan begitu, mereka mau? Hmm... entahlah...
« Last Edit: 19 April 2010, 05:01:44 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Pembangkit Listrik Tenaga Pedal ?
« Reply #102 on: 22 April 2010, 12:57:37 PM »
KOPENHAGEN, KOMPAS.com - Sebuah hotel di Denmark menjadi pionir penggunaan pembangkit listrik tenaga pedal. Cara seperti ini diharapkan dapat diikuti oleh negara lain.

Hotel Crowne Plaza Kopenhagen, berjarak 15 menit dari pusat kota dan lima menit dari bandara, menyediakan dua sepeda untuk dikayuh dan menjadi pembangkit listrik. Tamu-tamu sukarelawan diminta mengayuh. Jika berhasil menghasilkan listrik, mereka akan mendapat makanan gratis.

Mulai Juni, mereka akan berlomba dengan sistem panas matahari untuk menghasilkan lebih banyak listrik. ”Setiap orang yang memproduksi 10 watt listrik atau lebih untuk hotel ini akan diberi makanan gratis. Hal ini mengurangi emisi karbon sekaligus menghemat listrik dan uang,” kata Frederikke Tommargaard. Namun, makanan gratis hanya untuk tamu bukan yang hanya berkunjung.(Reuters/Joe)

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Suhu Medan Terik
« Reply #103 on: 22 April 2010, 05:44:27 PM »
Suhu Medan Terik, Waspadai ISPA

Warta - Warta Fokus
WASPADA ONLINE

MEDAN - Suhu panas di Kota Medan dan sekitarnya memperlihatkan tanda-tanda kenaikan dalam beberapa hari terakhir. Dampaknya, kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mengalami peningkatan.

Seperti yang terjadi pada Selasa (13/4), teriknya sinar matahari telah menaikkan temperatur udara pada angka 36 derajat Celcius. Selain memicu terjadinya ISPA, suhu panas juga berpotensi menimbulkan cuaca ekstrem berupa angin kencang dan petir.

“Saya berulang kali mengingatkan warga kota Medan dan sekitarnya agar mewaspadai suhu panas yang terus meningkat, baik pada siang maupun pada malam hari,” kata kepala Data dan Informasi (Datin) pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I stasiun Bandara Polonia Medan, Firman, tadi malam.

Suhu panas yang mencapai 36 derajat Celcius akan berlangsung hingga pertengahan April 2010. “Yang meresahkan warga kota Medan dan sekitarnya suhu panas tersebut berlangsung lama dibandingkan sebelumnya,” tambah Firman.

Masyarakat semakin resah karena suhu udara panas itu tidak hanya terjadi pada siang hari tetapi berlanjut hingga malam. Hal ini disebabkan bumi melepas sinar gelombang panjang disertai panas efek rumah kaca dan benda-benda yang memuai.

Menurut Firman, suhu panas juga akan terjadi pada Mei dan Juni yang menyebabkan udara tidak memiliki kandungan uap air. Kemudian, tidak ada penguapan air laut sehingga tidak terjadi pembentukan awan-awan dan bumi terkena sinar matahari langsung.

Disebutkan Firman, dinamika udara demikian dari pola tekanan rendah bisa terjadi cuaca ekstrem antara lain muncul kebakaran hutan, angin kencang disertai hujan lebat dan petir. “Dari udara ekstrem ini efek negatif ditimbulkan lebih besar,” ujarnya.

Prakiraan BMKG, kata Firman, pemanasan yang meningkat saat ini, seiring gerakan semu matahari di belahan bumi utara. “Jadi, klimatologi dipengaruhi juga dari efek rumah kaca,” ujarnya.

Menyinggung kondisi perairan, Firman menjelaskan saat ini stabil, tidak ada gejolak laut baik di kawasan pantai barat seperti Sibolga-Nias hingga ke Sabang Pulau Weh.

Sementara itu, data yang diperoleh dari sejumlah Puskesmas di Kota Medan menunjukkan adanya peningkatan kasus ISPA. Bahkan, kunjungan pasien di Puskesmas tersebut didominasi penderita ISPA dengan gejala batuk, pilek disertai demam.

Kepala Puskesmas Sering dr. Rosita Nurjannah mengatakan, kunjungan pasien di sarana pelayanan kesehatan tersebut didominasi penderita ISPA. ”Dalam satu hari ada 50 – 60 pasien yang berkunjung ke Puskesmas Sering. Dari jumlah tersebut, penderita ISPA hampir mencapai 80 persen,” ujar Rosita.

Di Puskesmas Glugur Darat, jumlah kunjungan pasien mencapai 80-100 orang pada Senin (12/4). Dari jumlah tersebut  60 – 70 persen di antaranya menderita ISPA. ”Tingginya angka penderita ISPA ini dipicu cuaca panas yang melanda Kota Medan selama beberapa hari terakhir,” kata Kepala Puskesmas Glugur Darat dr. Retno Sari Dewi.

Di tempat terpisah, Kadis Kesehatan Kota Medan dr. Edwin Effendi, mengingatkan masyarakat tentang potensi penyakit yang timbul disaat cuaca panas.

”Kalau cuaca panas, masyarakat sangat rentan terhadap ISPA dan diare. Sebab, volume debu yang berterbangan sangat besar. Jika debu mengandung bakteri ini terhirup, maka berpotensi menimbulkan ISPA. Sama halnya jika debu tersebut bercampur dengan makanan dan dikonsumsi masyarakat, maka akan berpeluang terjadi diare,” ujar Edwin.

Selain itu, cuaca panas juga berpotensi menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan) bagi masyarakat yang sering melakukan aktivitas di luar rumah seperti anak sekolah, pekerja di lapangan dan lain-lain.

Karenanya, Edwin mengimbau agar masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah pada siang hari. Jika hendak keluar rumah, sebaiknya menggunakan pelindung dan mencegah terkena sinar matahari langsung.

”Kita menganjurkan agar masyarakat banyak mengkonsumsi air, buah dan sayuran segar. Dengan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung cairan ini, maka akan terhindar dari dehidrasi.


Panas, waspadai penularan penyakit

Warta - Warta Fokus
WASPADA ONLINE

MEDAN - Cuaca panas yang melanda kota Medan dan sejumlah kota lainnya selama beberapa hari terakhir berdampak kepada naiknya temperatur udara sehingga masyarakat merasa gerah. Hal ini disebabkan karena tingkat polusi udara di kota-kota besar termasuk Medan makin mengkhawatirkan.

”Polusi udara inilah yang menyebabkan temperatur di permukaan bumi naik,” kata praktisi kesehatan lingkungan yang juga dosen tidak tetap Universitas Sumatera Utara (USU), S. Otniel Ketaren, pagi ini.

Otniel menjelaskan, lapisan udara di permukaan bumi telah diselimuti sejumlah zat polutan (penyebab polusi) di antaranya CO2, Nox, Sox, Methane, Chloro Carbon (CFC) dan lain-lain. Penyumbang polusi udara terbesar adalah transportasi darat 70 persen, industri 25 persen dan rumah tangga 5 persen.

Di siang hari, sinar Ultra Violet B (UVB) atau gelombang pendek yang dipancarkan matahari mampu menembus lapisan zat polutan tersebut hingga mencapai permukaan bumi. Sekitar 45 persen sinar matahari itu diserap oleh bumi dan pada saat bersamaan sekitar 5 persen dipantulkan kembali.

Kemudian, sekitar 25 persen sinar matahari itu dipantulkan kembali saat berada di lapisan stratosfer dan 25 persen lainnya dipantulkan oleh lapisan awan sehingga tidak mencapai ke permukaan bumi.

Pada malam hari, cahaya matahari yang diserap bumi itu berubah menjadi sinar infra merah (gelombang panjang) dan dipantulkan kembali ke angkasa. Saat terjadi proses pemantulan ke angkasa tersebut, sinar infra merah ini terhalang lapisan zat polutan yang ada di atas permukaan bumi. Akibatnya, sehingga temperatur udara di permukaan bumi menjadi naik.

”Jika cuaca panas terjadi berkepanjangan, maka sinar infra merah yang tertahan di permukaan bumi semakin bertambah. Jadi, tidak mengherankan bila suhu udara di siang hari sangat panas dan malam hari terasa gerah. Inilah yang disebut sebagai efek gas rumah kaca,” ujar Otniel.

Setelah temperatur udara di permukaan bumi naik, lanjut Otniel, masyarakat harus dihadapi dengan perubahan pola penularan penyakit di samping Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang sering terjadi di saat cuaca panas.

”Umumnya, perubahan pola penularan tersebut akan terjadi pada jenis penyakit yang ditularkan lewat serangga seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) dan lain-lain,” kata mantan kepala Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Regional Medan ini.

Selama ini, sejumlah daerah berhawa sejuk seperti di kawasan pegunungan, sulit ditemukan nyamuk aedes aegypti yang menyebarkan virus dengue. Ketika temperatur udara di permukaan bumi naik, praktis tingkat kesejukan kawasan pegunungan akan berkurang sehingga berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk penular DBD tersebut.

Di daerah perkotaan, kata Otniel, cuaca panas akan memperpendek siklus perkembangbiakan nyamuk. Siklus (proses telur menjadi nyamuk dewasa) yang biasanya berkisar tiga minggu, akan menjadi lebih singkat yakni berkisar dua minggu. Akibatnya, populasi nyamuk meningkat dan berpotensi menularkan penyakit.

Selain itu, tingkat virulensi (keganasan virus) semakin bertambah. Artinya, selama ini virus tersebut tidak bisa menularkan penyakit, namun belakangan terjadi perubahan sehingga virus tersebut bisa menjadi penyebar penyakit.

Mengingat begitu kompleks permasalahan polusi udara hingga cuaca panas, Otniel menganjurkan agar dilakukan penambahan wilayah hutan kota di sejumlah kawasan Kota Medan. ”Saat ini masih ada kawasan yang tidak memiliki pohon pelindung. Paling tidak, Medan harus menambah lagi 20 persen kawasan hutan kota untuk mengurangi polusi udara,” ujarnya.

Otniel juga menyambut baik program car free day (hari bebas kendaraan bermotor-red) di Kota Medan sebagai upaya mengurangi polusi udara. ”Mudah-mudahan program tersebut bisa lebih digalakkan di sejumlah ruas jalan Kota Medan,” tambahnya.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Ario_botax

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 4
Re: Save Our World, Reduce Global Warming
« Reply #104 on: 09 April 2011, 02:34:49 AM »
 _/\_
nimbrung, pernah ada yang terpikir ga si, slogan

"SAVE OUR WORLD" itu sebenarnya lucu?

waktu itu pernah lihat video komedian, lelucon2 yang membuat kita berpikir ^^

Bumi ini muncul sudah miliaran tahun lamanya. Sedangkan manusia baru muncul puluhan atau ratusan ribu tahun lamanya. bahkan dinosauruspun puluhan hingga ratusan juta tahun lamanya.
Bumi selama masa tersebut sudah selamat dari berbagai macam bencana, kejatuhan meteor, zaman es, gunung berapi meletus dimana2, gempa bumi, dll..
tapi yang diherankan adalah, bagaimana, kok bisa... manusia yang baru muncul puluhan atau ratusan ribu tahun, sudah bisa mengetahui "apa yang terbaik untuk bumi ini?" padahal bumi seperti ini ada 2 penyebabnya, karena memang hukum alam dan memang "ulah" manusia itu sendiri.

"Save our world"? bumi sepertinya akan baik-baik saja. justru slogannya itu "Save Human!" karena yang perlu ditolong adalah pikiran kita, (keserakahan, kebencian, kebodohan), tanpa ada manusia, tidak ada plastik, tidak ada kendaraan *bahan bakar, tidak ada penebangan pohon liar, tidak ada pembakaran hutan. hmm karena ada manusia dengan ketiga temannya (LODOMO) maka muncullah "SAVE OUR WORLD!" hahaha

Just joking hahaha  ;D