//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Legenda atau asli  (Read 29544 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Legenda atau asli
« Reply #105 on: 10 August 2010, 09:45:36 AM »
Lho kok w****a. c o m disensor y?
dilarang memberikan link situs atau forum lain, demi kenyamanan forum, soalnya suka ada orang yang berusaha mengadu domba antar forum.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Legenda atau asli
« Reply #106 on: 10 August 2010, 08:44:14 PM »
Sebenarnya kalau mau diangkat ke soal legenda atau asli, sesuai topik, ada yang perlu ditanyakan. Kira-kira di dhamma-vinaya bagian mana Sang Buddha menyebutkan dan menjelaskan soal Panca Niyama ya? Thanks.. ^:)^

Maaf terlambat jwbnya.....

Ternyata Panca Niyama (atau lebih tepatnya Dhamma Niyama yang berunsur lima) tidak ditemukan dalam kanon Tipitaka mana pun, tetapi berasal dari kitab komentar (Abhidhammavatara, Digha Nikaya Atthakatha, dst)

Quote
fivefold niyama in the Pali commentaries

It is well known that the list of ‘pañcavidha niyama’, fivefold niyama or the five niyamas, is only found in the commentaries, not in the Pali canon. In fact, it only occurs twice in the whole commentarial literature. The first occurrence is in the commentary to the Mahaapadaana Sutta in the Diigha Nikaaya. Here the Buddha is describing the life of the former Buddha Vipassi, and tells of sixteen special occurrences at the time of Vipassi’s birth, things which always happen at the birth of a Buddha-to-be. Some are pious, such as his mother being completely virtuous; some are sad, such as her dying after seven days; and many are supernatural, such as the earthquake that rocks the entire universe at the descent of the bodhisatta into his mother’s womb. After describing each special occurrence, the Buddha says ‘and all this is natural [dhammataa]’. (4)

The word ‘dhammataa’ is an abstract noun derived from ‘dhamma’, and it could also be rendered ‘according to dhamma’. The commentary takes it upon itself to explain what is meant by ‘dhammataa’ here. It first glosses ‘dhammataa’ as ‘sabhaava’ (nature) and as ‘niyama’ (order or necessity). Then it goes on to explain the fivefold niyama. (5) I will quote Walpola Rahula’s summary of the passage (I will do this because Rahula is writing about dhammataa, not the fivefold niyama, so he is not trying to make any particular point about niyama):

‘The commentary goes on to enumerate five kinds of niyaama “order of things”: (i) kammaniyaama “the order of kamma”, i.e. good actions produce good results and bad actions produce bad results; (ii) utu-niyaama “the order of the seasons”, i.e. in certain regions of the earth at certain periods the flowering and fruiting of trees, the blowing or ceasing of wind, the degree of the heat of the sun, the amount of rain-fall, some flowers like the lotuses opening during the day and closing at night and so on; (iii) biija-niyaama “the order of seeds or germs”, i.e. a seed producing its own kind as barley seed produces barley; (iv) citta-niyaama “the order of mind”, i.e. the order of the process of mind-activities as the preceding thought-moment causing and conditioning the succeeding one in a cause and effect
relation; (v) dhamma-niyaama “the order of dhamma”, i.e. such events like the quaking of the ten thousand world-systems at the Bodhisatta’s conception in his mother’s womb and at his birth. At the end of the discussion the Commentary decides that in this case the dhammataa refers to dhammaniyaama.’ (6)

The other occurrence of pañcavidha niyama is in the Atthasaalinii, the commentary on the Dhammasangani, the first book of the Theravaada Abhidhamma Pitaka. (7) The exposition of fivefold niyama here is very similar, the only difference being that the emphasis is on how the citta-niyaama is an automatic, natural process of perception, as described by the very complex Abhidhamma theory of unconscious mind-moments. This process is thus compared to the seasonal patterns of plants and weather, how the seeds of plants sprout as plants of the same sort, how good actions lead to good results and bad actions to bad, and how there are always earthquakes at the birth of the bodhisatta. The Atthasaalinii seems to take for granted the list of fivefold niyama but uses it to illustrate different kinds of natural, non-volitional processes that happen of their own accord.

Sumber:  http://www.dhivan.net-a.googlepages.com/shortniyamasessay.pdf

Jadi apakah ajaran tentang Niyama tidak valid? Padahal kita selalu menggunakan Niyama untuk menjelaskan semua fenomena fisik dan mental yang terjadi di alam semesta tanpa campur tangan sosok pengatur/pencipta....
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Legenda atau asli
« Reply #107 on: 11 August 2010, 11:37:02 PM »
Spoiler: ShowHide
Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

 _/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika

Bro Ryu yang baik,

Bila kita mau kritis kita juga bisa pertanyakan bhante Dhammika, darimana Bhante Dhammika tahu itu hanya simbolik...? Apa kredibilitas beliau...?
Jadi saya hanya menerima pendapat bhante Dhammika hanya sebatas pendapat juga, itu boleh-boleh saja.
Bukan berarti pendapat beliau benar.

 _/\_
ko fabian yang baik, itu ada di catatan kaki dalam MN III.123 Acchariyabbhutadhamma Sutta, cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha

Bro Ryu yang baik,

Saya rasa itu adalah tafsiran terhadap sutta, yang jelas melangkah tujuh kali tertulis di Sutta, mengenai benar tidak nya tentu kita tidak tahu karena kita tidak hadir disana ketika itu terjadi.

Sejauh belum ada argumentasi yang lebih sahih, Sutta tersebut adalah penggambaran yang dianggap paling mewakili.
 
_/\_
 
ko Fabian yang baik,

di sutta itu hanyalah menggambarkan tanda2 kelahiran Boddhisatva, bukan menceritakan kelahiran Sidharta Gautama, sama seperti dalam Digha Nikaya 14 yang menceritakan Buddha Vipassi, mungkin apabila disebutkan semua bodhisatva ketika dilahirkan berjalan tujuh langkah termasuk pangeran Sidharta aye tidak tahu, kalau boleh minta apa ada sutta yang menceritakan riwayat pangeran Sidharta yang mengenai itu tolong dong kasih link nya thanks. BTW ini OOT kalau mau lanjut mungkin harus bikin thread baru, eh ada kok threadnya di :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,7167.msg138394.html#msg138394
 ;D

Bro Ryu yang baik,

Setahu saya setiap Bodhisatta pada kelahirannya yang terakhir memang akan selalu terlahir dalam keadaan-keadaan yang selalu demikian, umpamanya disertai 32 keajaiban, usia ibunya singkat dsbnya.
Pada prinsipnya saya tak mau men-judge isi Tipitaka.
Karena saya tak ada disana pada waktu itu. Entah kalau para scholar menganggap mereka tahu kejadian yang sebenarnya.

 _/\_

mat fabian yang baik :
bukankah justru para scholar/yang membuat cerita gotama ketika lahir langsung berjalan 7 langkah yang diambil kesimpulan dari cerita kelahiran semua bodhisatta harus begitu, sedangkan sumber asli dari tipitaka sendiri tidak ada yang mengatakan ketika gottama lahir langsung berjalan tujuh langkah, saya coba cari cerita ratu maha maya tidak ada, boleh tahu ga link sutta nya :)
Intermezzo Ko Fab & Cek Ryu..

ADA. Memang ada sumber asli Tipitaka yang menyatakan ketika lahir bodhisatta yang masih bayi berjalan tujuh langkah. Ada di Majjhima Nikaya 123: Acchariyabbhuta-dhamma Sutta (Sutta tentang mukjizat)

Sebelumnya saya DULU pernah meragukan juga dari sisi rasionalitas & berpendapat mungkin mukjizat kelahiran bodhisatta hanya penambahan belakangan. Hingga saya menemukan memang ada sutta yang memuat hal tersebut. Setidaknya ini mematahkan keraguan semula saya, meski dari sisi rasionalitas mungkin masih terasa sedikit aneh, tapi malah hal ini memicu saya untuk ehipassiko sendiri. :P

Sedikit telat.. Thanks Bang Kumis yang udah mereply saya 1,5 tahun lalu sehingga saya kemudian mengambil asas praduga tak bersalah atas cerita2 buddhisme yang belum terbukti kebenarannya.

_/\_
intermezo juga lagi :D
di sutta itu hanya menerangkan keluarbiasaan kelahiran bodhisatta, bukan menerangkan cerita kelahiran siddharta, sama seperti dalam sutta digha 14.

Bro Ryu yang baik,

Memang seringkali demikian cara Sang Buddha menggambarkan keadaan Beliau yang lampau ketika masih menjadi Bodhisatta.
Dalam Jataka juga demikian, yang dimaksudkan di Jataka bukan orang lain, tapi Beliau.
Di Achariyabhuta sutta tidak dijelaskan Bodhisatta yang mana, itu bisa berarti Beliau sendiri, atau Beliau dan juga para Bodhisatta yang lain, yang jelas Sutta itu tak mungkin menceritakan hanya Bodhisatta yang lain tapi bukan Beliau.

 _/\_

bro Fabian yg baik,
pls tolong dijelaskan yg bertanda bold, kok sy kurang mengerti maksudnya...kayaknya anda juga sama dengan saya, kurang mempercayai kisah kelahiran beliau....tapi saya sekarang udah percaya, karena kalau ditangani dewa sudah pasti BEDA, tidak bisa sama dg kelahiran normal....

mettacittena,

Samaneri yang saya hormati,
Maksudnya Sutta ini menceritakan Beliau ketika masih menjadi Bodhisatta, atau Beliau dan juga Bodhisatta-Bodhisatta yang lain, sesuai dengan Dhammata (dalam versi Dhammacitta diterjemahkan: sesuai dengan peraturan) maksudnya adalah susuai dengan hukum alam. Peristiwa semacam itu selalu terjadi mengiringi kisah kelahiran terakhir setiap Bodhisatta yang akan menjadi Buddha.

Sebagai contoh, ketiga Buddha terdahulu sebelum Sang Buddha Gotama, selalu mencapai Penerangan Sempurna tepat di tempat yang sama, hanya pohonnya yang berbeda. Ini sesuai dengan Dhammata, karena dijelaskan di Jataka, hanya tempat itu di bumi yang mampu menahan pencapaian seorang Buddha.

Mettacittena,
fabian

thanks atas jawaban nya bro Fabian,
sory baru sy tanggapi krn td pagi brkt jam 7 pagi ini baru aja pulang. langsung baca tanggapan ini.

begini bro yg buat sy agak bingung adalah kalimat "Sutta itu tak mungkin menceritakan hanya Bodhisatta yang lain tapi bukan Beliau" padahal yg sedang kita bahas adalah beliau, Buddha Gotama. Makanya saya nanya lagi krn disitu ada kalimat bro Fabian demikian. Apakah ada salah ketik? mengingat yg sedang kita bahas adalah beliau. Selanjutnya tanggapan anda menjawab bhw yg dimaksud adalah "sesuai dengan Dhammata (dalam versi Dhammacitta diterjemahkan: sesuai dengan peraturan) maksudnya adalah susuai dengan hukum alam. Peristiwa semacam itu selalu terjadi mengiringi kisah kelahiran terakhir setiap Bodhisatta yang akan menjadi Buddha". jadi seperti nya blm menjawab yg saya tanyakan, krn disitu bro menulis bukan hanya Bodhisattva yang lain tapi bukan beliau. mohon jangan salah paham ya bro, sy hanya mau meluruskan apa yg saya tanyakan....thanks sblm n sessdnya...

mettacittena,


mo meralat posting ini, ternyata saya yg salah membaca....bukan adanya kesalahan ketik....thanks bro Fabian....

mettacittena,

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Legenda atau asli
« Reply #108 on: 17 August 2010, 05:22:19 AM »
Quote
Pada suatu sore, Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia telah pulih kembali dan merasa lebih segar setelah jatuh pingsan pada hari sebelumnya – berkat susu kambing yang diberikan oleh anak laki-laki gembala itu. Jika tidak demikian, pastilah Ia sudah mati. Tatkala merenung seperti itu, sekelompok gadis penyanyi yang tengah berjalan menuju kota berlalu di dekat tempat Ia bermeditasi. Seraya berjalan, mereka berdendang: “Jika dawai kecapi ditala terlalu longgar, suaranya tak akan muncul. Jika dawai ditala terlalu kencang, dawai akan putus. Jika dawai ditala tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang, kecapi akan menghasilkan suara merdu.”

Batin Petapa Gotama sungguh tergugah oleh syair tembang yang dilantunkan para gadis itu. Ia telah terlalu banyak menikmati kepuasan indrawi dengan segala kemewahannya selagi masih tinggal di istana dulu. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu longgar, demikian pula Pencerahan tak akan tercapai dengan pemanjaan diri. Ia juga telah menjalankan tapa sedemikian ketat hingga hampir mati. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu kencang, demikian pula Pencerahan tak dapat dicapai melalui penyiksaan diri.
mengenai dawai ini kenapa bisa berkembang ceritanya menjadi seperti ini?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Legenda atau asli
« Reply #109 on: 17 August 2010, 02:16:35 PM »
Karena ada rentang waktu 2500 tahun. Waktu yang cukup lama buat nambah-nambah ngurang-ngurangin.
appamadena sampadetha

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Legenda atau asli
« Reply #110 on: 17 August 2010, 02:28:47 PM »
Quote
Pada suatu sore, Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia telah pulih kembali dan merasa lebih segar setelah jatuh pingsan pada hari sebelumnya – berkat susu kambing yang diberikan oleh anak laki-laki gembala itu. Jika tidak demikian, pastilah Ia sudah mati. Tatkala merenung seperti itu, sekelompok gadis penyanyi yang tengah berjalan menuju kota berlalu di dekat tempat Ia bermeditasi. Seraya berjalan, mereka berdendang: “Jika dawai kecapi ditala terlalu longgar, suaranya tak akan muncul. Jika dawai ditala terlalu kencang, dawai akan putus. Jika dawai ditala tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang, kecapi akan menghasilkan suara merdu.”

Batin Petapa Gotama sungguh tergugah oleh syair tembang yang dilantunkan para gadis itu. Ia telah terlalu banyak menikmati kepuasan indrawi dengan segala kemewahannya selagi masih tinggal di istana dulu. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu longgar, demikian pula Pencerahan tak akan tercapai dengan pemanjaan diri. Ia juga telah menjalankan tapa sedemikian ketat hingga hampir mati. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu kencang, demikian pula Pencerahan tak dapat dicapai melalui penyiksaan diri.

mengenai dawai ini kenapa bisa berkembang ceritanya menjadi seperti ini?

Perumpamaan kecapi ini memang ada dalam Pitaka, suatu perumpamaan yg diberikan oleh Sang Buddha untuk mengajar Bhikkhu Sona Kolivisa.

Quote from: RAPB
Mengetahui pikiran Sang Thera, Sang Buddha datang pada suatu malam disertai oleh banyak bhikkhu ke tempat itu, dan melihat jalan setapak yang merah, Beliau bertanya: “Para bhikkhu, jalan setapak siapakah itu yang merah bagaikan rumah pemotongan hewan?” (Walaupun Beliau mengetahui, tetapi Beliau tetap bertanya, dengan tujuan untuk membabarkan khotbah). Para bhikkhu menjawab: “Buddha Yang Agung, telapak kaki Yang Mulia Sona, yang berusaha keras berjalan dalam latihan meditasi, telah terluka. Jalan setapak ini menjadi merah bagaikan rumah pemotongan hewan adalah milik bhikkhu itu, Sona.” Sang Buddha berjalan menuju tempat meditasi Sona Thera dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

Sona Thera datang dan bersujud kepada Sang Buddha dan duduk di tempat yang semestinya. Ketika Sang Buddha bertanya apakah benar ia memiliki pikiran seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Sona Thera mengakui hal itu. Selanjutnya Sang Buddha membabarkan khotbah, perumpamaan kecapi, dawai kecapi tidak boleh terlalu kencang juga tidak boleh terlalu kendur.

Buddha: Anakku, bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Engkau boleh menjawabnya sesukamu. Engkau terampil dalam bermain kecapi sewaktu masih menjadi seorang awam, bukan?

Sona: Ya, Buddha Yang Agung.

(Ketika Yang Mulia Sona masih muda, orang tuanya berpikir: “Jika putera kami mempelajari keterampilan lain, ia akan menjadi lelah. Tetapi bermain kecapi adalah suatu hal yang dapat dipelajari sambil duduk dengan nyaman di suatu tempat.” Maka ia mempelajari keterampilan bermain kecapi dan menjadi seorang pemain yang ahli.

(Sang Buddha mengetahui bahwa “Bentuk meditasi lainnya tidak cocok untuk Bhikkhu Sona. Ketika masih menjadi seorang awam, ia terampil dalam bermain kecapi. Ia akan cepat mencapai pengetahuan spiritual jika Aku mengajarkannya dengan memanfaatkan keterampilannya itu.” Maka, setelah bertanya kepada Sona Thera seperti di atas, Sang Buddha memulai khotbahNya.)

Buddha: Anakku, Sona, bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu kencang, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?

Sona: Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.

Buddha: Anakku, Sona, Bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu kendur, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?

Sona: Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.

Buddha: Anakku, Sona, Bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Jika dawai kecapimu tidak terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?

Sona: Ya, itu mungkin, Buddha Yang Agung, kecapi itu akan menghasilkan bunyi yang merdu dan akan bertahan lama.

Buddha: Demikian pula, anakku Sona, usaha yang berlebihan akan mengakibatkan kegelisahan (uddhacca). (Usaha yang berlebihan akan mengakibatkan kegelisahan.) Usaha yang terlalu kendur akan mengakibatkan kelambanan (kosajja) (Kurangnya usaha akan mengakibatkan kelambanan.) Karena itu, anakku Sona, usaha (viriya) dan konsentrasi (samadhi) harus sama jumlahnya. (Usahakan agar usaha dan konsentrasi tetap seimbang.) Usahakan agar kemampuanmu seperti keyakinan (saddha) juga dalam tingkat yang sama. (Usahakan agar lima indria seperti keyakinan (saddha), usaha (viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samadhi) dan kebijaksanaan (panna) juga dalam porsi yang sama.) saat semuanya seimbang, cobalah untuk mendapatkan ketenangan, dan lain-lain.

Sona: Baiklah, Buddha Yang Agung.

Setelah menasehati Sona Thera dengan memberikan perumpamaan bermain kecapi dan setelah mengajarkan praktek meditasi yang melibatkan keseimbangan sempurna antara usaha dan konsentrasi, Sang Buddha kembali ke vihara di Bukit Gijjhakuta.


Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Legenda atau asli
« Reply #111 on: 17 August 2010, 11:00:21 PM »
Quote
Pada suatu sore, Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia telah pulih kembali dan merasa lebih segar setelah jatuh pingsan pada hari sebelumnya – berkat susu kambing yang diberikan oleh anak laki-laki gembala itu. Jika tidak demikian, pastilah Ia sudah mati. Tatkala merenung seperti itu, sekelompok gadis penyanyi yang tengah berjalan menuju kota berlalu di dekat tempat Ia bermeditasi. Seraya berjalan, mereka berdendang: “Jika dawai kecapi ditala terlalu longgar, suaranya tak akan muncul. Jika dawai ditala terlalu kencang, dawai akan putus. Jika dawai ditala tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang, kecapi akan menghasilkan suara merdu.”

Batin Petapa Gotama sungguh tergugah oleh syair tembang yang dilantunkan para gadis itu. Ia telah terlalu banyak menikmati kepuasan indrawi dengan segala kemewahannya selagi masih tinggal di istana dulu. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu longgar, demikian pula Pencerahan tak akan tercapai dengan pemanjaan diri. Ia juga telah menjalankan tapa sedemikian ketat hingga hampir mati. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu kencang, demikian pula Pencerahan tak dapat dicapai melalui penyiksaan diri.

mengenai dawai ini kenapa bisa berkembang ceritanya menjadi seperti ini?

Perumpamaan kecapi ini memang ada dalam Pitaka, suatu perumpamaan yg diberikan oleh Sang Buddha untuk mengajar Bhikkhu Sona Kolivisa.

Quote from: RAPB
Mengetahui pikiran Sang Thera, Sang Buddha datang pada suatu malam disertai oleh banyak bhikkhu ke tempat itu, dan melihat jalan setapak yang merah, Beliau bertanya: “Para bhikkhu, jalan setapak siapakah itu yang merah bagaikan rumah pemotongan hewan?” (Walaupun Beliau mengetahui, tetapi Beliau tetap bertanya, dengan tujuan untuk membabarkan khotbah). Para bhikkhu menjawab: “Buddha Yang Agung, telapak kaki Yang Mulia Sona, yang berusaha keras berjalan dalam latihan meditasi, telah terluka. Jalan setapak ini menjadi merah bagaikan rumah pemotongan hewan adalah milik bhikkhu itu, Sona.” Sang Buddha berjalan menuju tempat meditasi Sona Thera dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

Sona Thera datang dan bersujud kepada Sang Buddha dan duduk di tempat yang semestinya. Ketika Sang Buddha bertanya apakah benar ia memiliki pikiran seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Sona Thera mengakui hal itu. Selanjutnya Sang Buddha membabarkan khotbah, perumpamaan kecapi, dawai kecapi tidak boleh terlalu kencang juga tidak boleh terlalu kendur.

Buddha: Anakku, bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Engkau boleh menjawabnya sesukamu. Engkau terampil dalam bermain kecapi sewaktu masih menjadi seorang awam, bukan?

Sona: Ya, Buddha Yang Agung.

(Ketika Yang Mulia Sona masih muda, orang tuanya berpikir: “Jika putera kami mempelajari keterampilan lain, ia akan menjadi lelah. Tetapi bermain kecapi adalah suatu hal yang dapat dipelajari sambil duduk dengan nyaman di suatu tempat.” Maka ia mempelajari keterampilan bermain kecapi dan menjadi seorang pemain yang ahli.

(Sang Buddha mengetahui bahwa “Bentuk meditasi lainnya tidak cocok untuk Bhikkhu Sona. Ketika masih menjadi seorang awam, ia terampil dalam bermain kecapi. Ia akan cepat mencapai pengetahuan spiritual jika Aku mengajarkannya dengan memanfaatkan keterampilannya itu.” Maka, setelah bertanya kepada Sona Thera seperti di atas, Sang Buddha memulai khotbahNya.)

Buddha: Anakku, Sona, bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu kencang, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?

Sona: Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.

Buddha: Anakku, Sona, Bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu kendur, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?

Sona: Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.

Buddha: Anakku, Sona, Bagaimanakah menurutmu mengenai pertanyaan yang akan kuajukan ini? Jika dawai kecapimu tidak terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?

Sona: Ya, itu mungkin, Buddha Yang Agung, kecapi itu akan menghasilkan bunyi yang merdu dan akan bertahan lama.

Buddha: Demikian pula, anakku Sona, usaha yang berlebihan akan mengakibatkan kegelisahan (uddhacca). (Usaha yang berlebihan akan mengakibatkan kegelisahan.) Usaha yang terlalu kendur akan mengakibatkan kelambanan (kosajja) (Kurangnya usaha akan mengakibatkan kelambanan.) Karena itu, anakku Sona, usaha (viriya) dan konsentrasi (samadhi) harus sama jumlahnya. (Usahakan agar usaha dan konsentrasi tetap seimbang.) Usahakan agar kemampuanmu seperti keyakinan (saddha) juga dalam tingkat yang sama. (Usahakan agar lima indria seperti keyakinan (saddha), usaha (viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samadhi) dan kebijaksanaan (panna) juga dalam porsi yang sama.) saat semuanya seimbang, cobalah untuk mendapatkan ketenangan, dan lain-lain.

Sona: Baiklah, Buddha Yang Agung.

Setelah menasehati Sona Thera dengan memberikan perumpamaan bermain kecapi dan setelah mengajarkan praktek meditasi yang melibatkan keseimbangan sempurna antara usaha dan konsentrasi, Sang Buddha kembali ke vihara di Bukit Gijjhakuta.


aye tau cerita itu, hanya kenapa bisa ada perubahan cerita riwayat Buddha ke arah situ? sejak kapan sejarah Buddha menjadi begitu?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Legenda atau asli
« Reply #112 on: 18 August 2010, 12:21:57 AM »
biasa, ada komentarnya
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Legenda atau asli
« Reply #113 on: 18 August 2010, 07:55:39 AM »
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Legenda atau asli
« Reply #114 on: 18 August 2010, 03:12:58 PM »
biasanya sutta itu ada penjelasannya, apa latar belakang peristiwa itu. seingat saya memang ada penjelasan bahwa dawai itu pada saat sebelum mencapai pencerahan.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Legenda atau asli
« Reply #115 on: 18 August 2010, 03:15:34 PM »
biasanya sutta itu ada penjelasannya, apa latar belakang peristiwa itu. seingat saya memang ada penjelasan bahwa dawai itu pada saat sebelum mencapai pencerahan.
jadi memang bener ya ada?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Legenda atau asli
« Reply #116 on: 18 August 2010, 06:29:32 PM »
biasanya sutta itu ada penjelasannya, apa latar belakang peristiwa itu. seingat saya memang ada penjelasan bahwa dawai itu pada saat sebelum mencapai pencerahan.
jadi memang bener ya ada?
masih sekedar ingatan, harus dicek&ricek lagi. kita tunggu info lebih lanjut.
appamadena sampadetha

 

anything