Saya telah meneliti artikel kiriman Rekan Suchamda ini dengan mendalam, dan menemukan beberapa poin yang perlu dipertanyakan sebagai berikut:
(1) Mengapa 'renunciation' dipisahkan & diletakkan sejajar dengan 'transformation'? - Menurut saya kedua hal itu bergandengan tanpa bisa dipisahkan dengan tegas dalam praktiknya. ... kalau mau dikotakkan, seharusnya diletakkan vertikal, 'renunciation' di bawah 'transformation' ... tapi sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dengan tegas.
(2) 'Liberation practices' (no subjet-objet duality) - saya tidak tahu seperti apa itu "latihan" (practice)-nya. ... oleh karena itu saya kesampingkan dulu dari pertimbangan saya, sampai saya memperoleh sumber primer yang menguraikan tentang itu. ... Menurut saya, 'no subject-object duality' itu suatu keadaan batin yang muncul dengan sendirinya, tidak bisa dilatih, karena setiap 'latihan' (practice) mau tidak mau melibatkan dualitas subyek-obyek.
(3) Mengapa 'samadhi', 'sati' & 'vipassana' dipisahkan dalam tiga kotak sejajar? - Menurut saya, dalam tradisi Theravada sejak zaman Sang Buddha, hanya ada dua pendekatan atau penekanan, yaitu 'samatha' dan 'vipassana'. ... Tampaknya pemisahan menjadi tiga kotak ini dipaksakan oleh penulis agar sesuai dengan pemisahan 'shamata with support', 'shamata without support', dan 'vipasyana' dari Tibetan system ... ini perlu dicek dengan sumber primer ... Tapi pemisahan 'samadhi', 'sati' dan 'vipassana' dari Theravada TIDAK didukung oleh sutta.
(4) 'shamata with support' - menilik dari uraiannya, tampaknya ini sepadan dengan jhana pertama di mana masih ada vitakka-vicara.
(5) 'shamata without support' - di mana kotaknya, kok tidak ada dalam skema? Mungkin salah ketik dan maksud sesungguhnya adalah kotak kedua? ... dikatakan "effortless mindfulness WITHOUT an object": saya tidak mengerti uraian ini ... perlu melihat sumber primernya ... - Menurut saya, kalau yang dimaksud di sini 'runtuhnya dualisme subyek-obyek', keadaan ini tidak bisa dilatih, harus muncul dengan sendirinya ... jadi tidak bisa disebut 'shamata'.
(6) 'vipassana' - uraiannya membingungkan ... "Its FINAL OUTCOME is the CONCEPTUAL KNOWLEDGE of egolessness/emptiness": saya rasa ini salah - dari pengalaman saya dan apa yang tertulis di Tipitaka, 'final outcome' dari vipassana adalah ditembusnya (bukan conceptual knowledge yang berasal dari pikiran) 'anatta' (egolessness/emptiness).
(7) 'Letting go' (Theravada), mengapa dipisahkan dari kotak 'vipassana'? ... Tidak jelas rujukannya dari sutta. ... Lagi-lagi ini mungkin dipaksakan oleh penulis untuk mencari padanan Theravadin dari 'dzogchen'. ... Menurut hemat saya, sebetulnya padanan dari 'dzogchen' itu adalah 'vipassana' sendiri.
"a subtle sense of self (as a trace of the Knower) often remains as bare attention" - pada mulanya memang begitu ... tapi kalau self ini disadari juga terus-menerus, pada akhirnya akan lenyap juga. ... Ini juga terjadi pada latihan 'dzogchen' ... tidak mungkin seorang Lama duduk melakukan dzogchen ujug-ujug tanpa diri. ...
"There is no training offered to dispense with the Knower" - memang harus begitu, 'si aku yang tahu' itu harus runtuh dengan sendirinya; runtuhnya si aku tidak bisa dilatih. ... Sebaliknya, kalau di dalam dzogchen ada latihan untuk meruntuhkan si aku, justru itulah yang salah.
(8.) 'dzogchen': uraiannya menarik ... perlu dibedah satu per satu:
"non-conceptual non-meditation (no meditative objects) PRACTICE" - kalau memang "non-conceptual non-meditation", maka keadaan itu tidak bisa dilatih (practice), tidak bisa dikejar ... jadi istilah itu bertentangan dalam dirinya sendiri (contradictio in terminis).
"which TRAINS the mind to rest in rigpa" - ini sama dengan di atas, itu bukan "latihan" (training).
"there is no object of meditation, including no experience of awareness, attention, or consciousness as an object; there is no separation of self/other in the knowing" - apalagi ini, keadaan ini bukan keadaan yang bisa dilatih, ini harus muncul sendiri
(9) Membandingkan uraian penulis tentang 'vipassana', 'letting go' (Theravada) dan 'dzogchen' (Tibetan) menunjukkan dengan gamblang motivasi dan sikap penulis yang sangat sektarian. 'Vipassana' dan 'letting go' digambarkan sebagai LEBIH RENDAH daripada 'dzogchen'. Inilah yang secara intuitif dikeluhkan oleh Rekan Kelana.
(10) 'yidam practice' - ya itulah kekhasan Tibetan system. ... Padanannya dalam Theravada adalah meditasi "Buddhanussati', "Dhammanussati" & "Sanghanussati" ... cuma di Tibetan dipakai visualisasi, di Theravada dipakai inteleksi/kontemplasi (perenungan).
Yang saya tidak mengerti ialah mengapa 'yidam practice' dihubungkan dengan 'without a knower, nothing known' - jelas ini tidak benar, karena dalam 'yidam practice' ada aku dan ada visualisasi.
(11) Dikotomi "conceptual practice" dan "nonconceptual practice" secara sejajar menurut saya adalah artifisial ... penulis tidak memahami hakikat 'conceptual' dan terutama 'nonconceptual' itu sendiri ... Kalau pun mau dibagi seharusnya pembagian itu vertikal, 'conceptual' menuju 'nonconceptual', bukan horisontal ... menurut saya, inilah kesalahan konseptual terbesar dari penulis.
(12) 'rigpa' - menurut uraian penulis, saya rasa rigpa ini tidak berbeda dengan nibbana dalam Theravada yang diuraikan dalam Udana 8.1-4:
8.1 "There is that dimension where there is neither earth, nor water, nor fire, nor wind; neither dimension of the infinitude of space, nor dimension of the infinitude of consciousness, nor dimension of nothingness, nor dimension of neither perception nor non-perception; neither this world, nor the next world, nor sun, nor moon. And there, I say, there is neither coming, nor going, nor staying; neither passing away nor arising: unestablished, unevolving, without support (mental object). This, just this, is the end of dukkha."
8.2 "It's hard to see the unaffected,
for the truth isn't easily seen.
Craving is pierced
in one who knows;
For one who sees,
there is nothing."
8.3 "There is, monks, an unborn — unbecome — unmade — unfabricated. If there were not that unborn — unbecome — unmade — unfabricated, there would not be the case that emancipation from the born — become — made — fabricated would be discerned. But precisely because there is an unborn — unbecome — unmade — unfabricated, emancipation from the born — become — made — fabricated is discerned."
8.4 "One who is dependent has wavering. One who is independent has no wavering. There being no wavering, there is calm. There being calm, there is no desire. There being no desire, there is no coming or going. There being no coming or going, there is no passing away or arising. There being no passing away or arising, there is neither a here nor a there nor a between-the-two. This, just this, is the end of dukkha."
KESIMPULAN: menurut penilaian saya, artikel ini setara dengan skripsi mahasiswa S1 Agama Buddha, dengan keputusan: "Tidak Lulus". ... Penulis harus membongkar tulisannya secara fundamental dan membuat skripsi baru ... membandingkan kedua sistem meditasi itu secara apresiatif, bukan secara kontradiktif seperti ini ... karena menurut hemat saya, setiap sistem meditasi Buddhis yang sudah bertahan selama ribuan tahun tentu telah membuktikan dirinya mampu membawa praktisinya pada tujuan tertinggi, tanpa yang satu lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang lain.
Salam,
hudoyo