//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: pilih yg mana?  (Read 32945 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: pilih yg mana?
« Reply #60 on: 23 October 2007, 09:28:17 PM »
Quote from: Gunasaro
Nah Gunasaro, gimana Anda sendiri? Sy mah masih belum ariya puggala, jelas masih sering melanggar sila & dalam tahap usaha keras. Makan enak saja masih sering lepas kendali, dll...

Ini bagus. Suatu sikap jujur yang berani.

Quote
Namun sy berpikir, kalo sdh masih sering melanggar & tdk mengakui;
kan tambah tolol sy ini, rugi sendiri

Ini benar, saya setuju dan lakukan pula.

Quote
... Lebih tolol nan bodoh lagi bagi saya, sdh melanggar - malah membenarkan diri dgn dalil tertentu.

Ini benar, saya setuju, karena saya juga mengatakan bahwa menjalankan sila adalah hal yang correct; Self-justification (membenarkan diri) adalah hal yang wrong.

Jangankan self-justification dengan dalil tertentu, melekat pada suatu konsep pun tidak dapat dibenarkan menurut pemahaman Jalan Tengah.
Disinilah pemahaman yg ingin saya sampaikan sebenarnya melampaui pemahaman yg anda berikan bro Gun.


Quote
Extra bodoh lagi, kalo saya dalam diskusi, malah karena takut dibilang sok suci; lantas gak berani bedah idealisme dari Buddha Dhamma...

Betul! Extra bodoh juga bagi orang yang karena takut dianggap bad buddhist yg berpandangan sesat kemudian tidak berani membabarkan idealisme Bodhicitta dari Buddha Dharma.

----------

Bro Gun, kalau anda menyimak tentunya anda akan paham ya tulisan saya? >> bukan untuk mendukung tindakan self-justification, tetapi untuk memberikan view tentang esensi Buddhadharma yang mana bukan sekedar sila saja.

Tetapi memang kalau diurut dari jenis pemahamannya, memang barangkali perdebatan ini mewakili perbedaan sikap pandangan antara Theravada (aliran Dhammayut. Di Indonesia : STI) dan Mahayana (dan Theravada aliran Mahanikaya yg lebih liberal).

Saya cerita dikit ya, mungkin terkesan muter terlalu jauh. Tapi dengerin aja kalo mau.

Saya berpikir, bahwa banyak sekali Buddhist di Indonesia yang berpikiran tinggi dan luhur, tapi dalam kenyataannya kok sulit sekali menemukan seorang yang bisa mengatualisasikannya secara baik. Justru di dalam agama kr****n / Katholik, kita banyak menemukan orang2 yang lebih baik dalam beretika, dalam bersantun, dalam bersosialisasi, dalam bergaul, dalam bersetia kawan, dalam pelayanan, dalam bakti ke masyarakat, dalam soal mengasihi dan perhatian (care) thd sesama..... Mengapa?

Saya justru melihat kuncinya seperti yang tersirat dalam debat di topik ini. Apa itu?
Tampak sekali bahwa kita terlalu idealist, akhirnya terlalu mengkhayal yang muluk-muluk tapi lupa kondisi real dan adanya prioritas dalam hidup ini. Hal kecil dibikin besar, dan hal besar tidak dilaksanakan (karena dianggap kecil). Semut diurusin, tapi orang baru datang ke vihara dicuekin. Ga mau bohong dalam dagang tapi gossip di vihara heboh banget. ^-^

Adalah suatu hal yang konyol kalau menuntut seseorang menjalankan sesuatu secara murni dan sempurna padahal diri kita sendiri pun tidak sanggup menjalankannya (setelah berjuang keras!). Barangkali hal ini dikarenakan kita terlalu mendongak ke atas terlalu menginginkan mencapai nibbana secepat mungkin, padahal modal kita tidak banyak. Lalu menjadikan kita terlalu ngoyo membabi buta.
Ini jadi seperti mentalitas orang miskin vs mentalitas orang kaya.
Mentalitas miskin menuntut banyak hal, dan berusaha ngirit-ngirit sebisa mungkin untuk mendapat uang sisa.
Mentalitas kaya sebaliknya justru berusaha memberi banyak dan berusaha mencari income sebesar2nya untuk dimanfaatkan kembali bagi orang banyak. Ini yang menjadikan yg miskin tambah miskin, dan yang kaya tambah kaya.
Nah, demikian juga kita praktisi Dharma. Kita terlalu memusingkan menghindari karma buruk yang kecil-kecil sekecil-kecilnya, mau perfect. Mengapa tidak kita mencoba sebaliknya: berusaha memperbanyak perbuatan baik demi kebahagiaan semua mahluk? Kan ada pepatah di masyarakat : "rugi dikit takut gimana mau untung gede?"

Disini tampak perbedaan fokusnya ya? Kita bisa saja terjebak pada ekstrim fokus pada karma buruk. Mengapa kita mencoba untuk tidak fokus pada membuat karma baik?

Disamping sila, kita juga mengenal ajaran sebab-akibat. Suatu tindakan tidak berdiri sendiri, tapi berkaitan satu sama lain seperti jaring-jaring. Bisakah anda melihat bahwa adanya keniscayaan hukum alam nan kejam , yaitu rantai makanan. Satu mahluk untuk hidup harus memangsa mahluk yang lain.
Demikian juga hukum kesetimbangan alam : anda mengambil keuntungan dari satu resource berarti memberi kerugian kepada resource yg lain. Hukum relatifitas : sesuatu dapat dilihat sebagai baik dari satu sisi tapi juga bisa dilihat buruk dari sisi lain, tergantung referensi sudut pandang anda.
Kalau kita belum memahami ini, berarti kita belum memahami filosofi Jalan Tengah.

Hidup ini memerlukan pengorbanan. Seringkali selalu ada yang dikorbankan demi sesuatu yang nilainya lebih besar / lebih baik / lebih luas. Ini adalah keniscayaan yang tak dapat kita pungkiri loh.

Kalau kita berharap bisa bertindak perfect, tentu harus tinggal di alam yang perfect. Padahal kenyataannya alam di tempat kita hidup ini tidak perfect!

Dari sini seharusnya kita sudah bisa melihat betapa absurdnya menuntut orang lain untuk menjalankan sesuatu secara perfect.
Idealisme memang boleh, dan memang diperlukan, tapi jangan keterlaluan donk. Ini bukan masalah self-justification yang saya anggap memang wrong itu loh.

Oleh karena itu, kalau seseorang datang kepada kita untuk meminta advice, ya jangan selalu di ultimatum dengan sila, sila dan sila terus. Cobalah lihat dulu kompleksitas permasalahannya. Pahami posisinya secara empati. Jangan karena anda bikkhu mentang2 menuntut umat awam harus bisa jalankan spt anda. Ini anda tidak bijak karena tidak memperhitungkan situasi dan kondisinya. Apalagi si bikkhu itu kenyataannya juga sering blong!

Gini deh.
Saya rasa uraian saya diatas sudah cukup jelas bahwa saya tidak menentang menempatkan sila sebagai sebuah idealisme untuk merangsang pertumbuhan spiritual, tapi saya menentang penggunaan sila secara membabi buta untuk menjawab segala persoalan.

Sepertinya, dari pembicaraan tidak ada lagi point yg perlu diperdebatkan. Posisi dan alasan masing2 sudah jelas. Oleh karena itu marilah kita sekarang mencoba utk menerapkan apa yang telah kita katakan. Dari situ kita nanti evaluasi lagi.
Bagi saya sih rasanya memang akan nyantai saja sebab saya tidak menerapkan standar apa2. Oleh karena itu 'tidak ada kemungkinan' buat saya untuk melakukan pembenaran diri. Saya cukup untuk mengembangkan mindfulness saja.
Tapi buat para idealis, saya rasa kalian harus benar2 konsekwen dengan apa yang anda katakan. Barangkali anda perlu buat jurnal harian untuk mencatat apakah pembenaran diri anda semakin lhari semakin sedikit atau semakin banyak!  :))





« Last Edit: 24 October 2007, 11:29:15 AM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: pilih yg mana?
« Reply #61 on: 23 October 2007, 09:44:20 PM »
Quote
Pertama,
Anggaplah sumpah itu benar adanya, disini dapat kita lihat, "langgarlah sila demi karuna"...
Perhatikan: tetap ada kata-kata "LANGGAR", kan?
Artinya:
~ Benar ada sila dilanggar
~ karuna ada dijalankan
Dua kamma, dua vipakka.
Buah pelanggaran sila akan diterima
Buah karuna juga akan diterima
Ini tidak bisa ditawar2 lagi (perbuatanmu adalah milikmu sendiri)

Seperti yg kita tau, citta muncul dan lenyap cepat sekali saling bergantian. Karuna Citta TIDAK MUNGKIN muncul berbarengan dengan Dosa Citta. Karuna dan Dosa muncul saling bergantian disamping citta2 yg lainnya.
Artinya apa? artinya masing2 citta memiliki effectnya masing2.

Kata "langgar" itu kan cuman kata-kata untuk mewakili konsep kita yg sudah terpatok pada satu sisi.
Kalau dari awal tidak ada konsep pelanggaran tentu tidak perlu muncul dengan kata "langgar".
Dalam pengertian relatif memang ada yang dilanggar, tapi untuk apa motifnya?? Itulah yang harus anda pahami, jangan dipreteli kata2nya lepas konteks.

Kemudian uraian anda itu kan munculnya dari kepercayaan anda pada teori Abhidhamma.
Sudah pernah lihat sendiri proses pikiran??

Quote
Kedua,
Kalo demi kesejahteraan makhluk lain dibenarkan melanggar sila, ini GAWAT.
FPI merusak pub dan cafe2, motifnya: demi menolong masyarakat banyak (karuna).
Juga Amrozi membom ratusan orang, alasannya membunuh para kafir, demi umat muslim, orang banyak juga, karuna juga. Semakin kacau Bro....
Masing-masing orang bebas melakukan tindakan AMORAL yang dilandasi karuna.

Itu kan karena anda salah memberi contoh. Atau anda memberi contoh yang ekstrim dan muncul dari pandangan yang salah. Pandangan salah tetap saja salah. Tapi metta karuna itu bukan muncul dari pandangan salah.


Quote
ketiga,
Contoh pemburu tsb. Jika kita berbohong demi kijang2, is oke-oke aja.
TAPI, Berbohong dan Menolong kijang, dua2 kamma ini akan berbuah.
Jangan gara2 dengan niat menolong lantas kita anggap kamma berbohong dapat dibenarkan, TIDAK, karena kedua kejadian terpisah.
Berbohong adalah berbohong, kamma buruk, buahnya buruk juga.
Bagaimana jika para Pemburu ternyata mengetahui kita telah membohongi mereka dan mereka membantai seluruh keluarga kita? Kamma berbohong berbuah...
.

Apakah saya pernah mengatakan bahwa berbohong itu bukan karma buruk bro Willi?
Tapi coba donk lihat prioritasnya.

Bro Willi yg baik,
Intinya, orang hidup, apalagi sebagai Buddhist, itu harus REALISTIS lah. Jangan jadi idealis.
Idealis berarti ekstrim ke satu kutub.
Idealis berarti ada sesuatu yang di idealkan , itu berarti pada suatu pandangan, pada sesuatu.
Melekat pada satu pandangan itu adalah ekstrim yang harus dibuang. Bukankah segala sesuatu itu sebetulnya kosong (sunya)?
Menjadi REALISTIS itu berarti bisa melihat segala sesuatu sebagai mana adanya, sebagai sunya, tanpa adanya satu beban pengaruh apa pun!

"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: pilih yg mana?
« Reply #62 on: 23 October 2007, 10:38:32 PM »
Saya rasa, di dalam menjalankan sila bagi pemula harus dari taraf ringan dulu berangsur kemudian menjadi moderate dan berat. Hal ini perlu disesuaikan dengan komitmen pribadi yang bersangkutan.
Oleh karena menurut saya sila itu adalah sebuah alat, maka ada baiknya dibuat program pelatihan untuk itu.

Program itu ada baiknya dimanage dan ditulis dalam sebuah jurnal. Diberikan penilaian dan target waktu yg fleksibel. Setelah itu, komitmen itu harus dilaksanakan secara konsekwen dengan penuh kesadaran. Dan kemudian seiring waktu, list itu boleh ditambah atau diperketat tergantung kemampuan dan komitmen kita.
Tentu dalam membuat ini harus dengan perenungan dan pertimbangan yang masak.

Hal ini untuk menghindari guilty feeling yg terus menghantui bila kita terlalu idealist.

Misalnya :
* Program dari tgl..... s/d tgl.....

* Menjalankan sila secara penuh dan perfect :
     - Saat retret
     - Tiap tanggal 1 dan 15

* Hidup sehari-hari :

1. Sila 1 : Berusaha untuk tidak membunuh mahluk hidup.
     - Tidak akan membunuh dan menyakiti sama sekali : manusia, hewan domestik,....,.....
     - Membunuh dengan kondisional : kalau membahayakan jiwa seseorang, kalau....., kalau....
     - Tidak peduli : nyamuk, serangga berbahaya, kuman,  ....
     
   Pertimbangan-pertimbangan saya :                       Kesan di akhir periode / Insight:
     - Saya melindungi keluarga saya dari hama             - ..............
     - ..........                                                         - ..............

   Perbuatan positif yang perlu saya lakukan :
     - Fangsheng ikan tiap tanggal 1 dan 15
     - Bermeditasi metta tiap hari min.15
     - ..............

   Evaluasi :
     .........................................

, dst dst.


Note :

Tujuannya adalah :
- Untuk mengalihkan fokus dari pertimbangan / perhitungan karma baik/buruk menjadi sebuah cara pengendalian diri dan peningkatan kesadaran.
- Untuk mencegah munculnya guilty feeling, gejala kejiwaan obsesive compulsive.
- Untuk memberi harapan bagi mereka yang rasanya susah untuk menjalankan sila.
- Untuk mengukur dan menilai perkembangan diri kita sejalan dengan waktu.
- Dengan pencatatan yg baik maka dapat ditemukan aspek2 kelemahan diri / pandangan kita / pengenalan diri.
- Untuk menyadari adanya prioritas : First thing first.
- Untuk memberi sense of reality : idealisme yang dikembangkan sejalan dengan realita kondisi dan situasi kita.

Saya tidak tahu apakah usulan semacam begini pantas atau tidak ya. Tapi niat saya cuman sekedar membantu. Mohon maaf bila kurang pantas.

« Last Edit: 23 October 2007, 10:56:37 PM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: pilih yg mana?
« Reply #63 on: 23 October 2007, 11:54:17 PM »
Saya berpikir, bahwa banyak sekali Buddhist di Indonesia yang berpikiran tinggi dan luhur, tapi dalam kenyataannya kok sulit sekali menemukan seorang yang bisa mengatualisasikannya secara baik. Justru di dalam agama kr****n / Katholik, kita banyak menemukan orang2 yang lebih baik dalam beretika, dalam bersantun, dalam bersosialisasi, dalam bergaul, dalam bersetia kawan, dalam pelayanan, dalam bakti ke masyarakat, dalam soal mengasihi dan perhatian (care) thd sesama..... Mengapa?

Saya justru melihat kuncinya seperti yang tersirat dalam debat di topik ini. Apa itu?
Tampak sekali bahwa kita terlalu idealist, akhirnya terlalu mengkhayal yang muluk-muluk tapi lupa kondisi real dan adanya prioritas dalam hidup ini. Hal kecil dibikin besar, dan hal besar tidak dilaksanakan (karena dianggap kecil). Semut diurusin, tapi orang baru datang ke vihara dicuekin. Ga mau bohong dalam dagang tapi gossip di vihara heboh banget.
sori, kalo saya memperpanjang muter2nya ;D

paragraf di atas tepat sekali menggambarkan apa yg saya rasakan...

saya menemukan cukup banyak buddhis yg sepertinya overdosis dalam mempelajari yg mereka sebut sebagai dhamma... sepertinya melihat terlalu jauh ke puncak gunung, lupa memperhatikan langkah kakinya... menjalankan pengekangan yg tidak sesuai dengan levelnya saat ini...

saya gak menyebutkan anda semua itu overdosis. mungkin saja anda semua emang levelnya sudah di sana, tapi yg saya maksudkan masih banyak buddhis yg hidup di dunia nyata, yg merasakan pahitnya hidup, tidak tahan menyaksikan kesengsaraan orang2 yg dicintainya, mengotorkan tangannya untuk tujuan (yg baginya) lebih mulia. saya pikir orang2 seperti itu tidak perlu digiring untuk mengekang dirinya untuk melaksakan sila dengan level sotapana (misalnya). tidak perlu membuat orang2 itu merasa semakin tertekan dan merasa bersalah dengan melanggar sila. apa bedanya dong dengan samawi yg mengatakan "anda sudah berdosa"? ;D

ada orang yg mengalami kepahitan hidup, mungkin meminta2 kepada patung2 di vihara.
ada orang yg tidak tahan menyaksikan penderitaan orang yg sangat dicintainya, melakukan pelanggaran sila.

apakah perlu lagi mereka diberatkan bebannya dengan mengatakan, "anda sudah melanggar sila!", atau "anda sudah melanggar dhamma" atau "pandangan anda adhammik"?

bukan pembenaran yg saya harapkan, tapi empati dan kejujuran yg saya ingin lihat...
apakah kalo anda berhadapan dengan kepahitan yg sama, tidak akan bersikap yg sama?
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: pilih yg mana?
« Reply #64 on: 24 October 2007, 10:04:02 AM »
Suchamda:
Kalau dari awal tidak ada konsep pelanggaran tentu tidak perlu muncul dengan kata "langgar".
Dalam pengertian relatif memang ada yang dilanggar, tapi untuk apa motifnya?? Itulah yang harus anda pahami, jangan dipreteli kata2nya lepas konteks.

Willi:
Saya senang bahwa Bro Suchamda akhirnya setuju mengakui bahwa MELANGGAR SILA adalah MELANGGAR. Pengakuan ini penting.
Tapi kata2 dibawah, menetralisir lagi pernyataan tsb.
Anda kembali kepada motif. Pelanggaran tidak perlu melihat motif.
Apapun motifnya, pelanggaran adalah pelanggaran. Saya tidak pernah mengatakan KITA TIDAK BOLEH MELANGGAR SILA, yg saya katakan adalah: Kita harus MENYADARI bahwa telah terjadi pelanggaran.
Kenapa hal ini penting? Karena dengan mengetahui proses pikiran yg timbul dan lenyap, artinya kita sedang melakukan Vipassana sehari-hari (pengikisan Lobha, Dosa dan Moha; jalan yg ditunjukkan oleh Sang Buddha). Tanpa mengetahui pikiran hakiki (sebenarnya, asli) yg muncul, kita tidak akan pernah bisa mengawasi pikiran kita. Kita terbuai oleh kepalsuan dan khayalan indah.

Untuk lebih jelasnya saya ambil contoh yg pernah Bro Suchamda kemukakan: Membunuh orang lain karena ingin menyelamatkan anak kita.
~ Dalam kasus ini, Saya tidak mengatakan Sila harus dijaga dengan ketat dan kita tidak boleh membunuh orang lain tsb.
Yg saya kemukakan adalah proses batin yg timbul akibat perbuatan tsb. Apa prosesnya? Pada peristiwa tsb, pikiran KARUNA (rasa sayang pada anak) dan pikiran DOSA (menolak objek yg tidak dikehendaki, yaitu orang lain tsb) muncul silih berganti. Kedua-dua proses batin ini akan memberikan implikasi pada batin kita, dan masing-masingnya akan membuahkan vipaka dikemudian hari. 

Jadi tidak ada yang membenarkan atau menyalahkan pembunuhan atas dasar karuna (karena SIAPA yang akan membenarkan / menyalahkan?). Tidak ada yang melarang atau membenarkan pelanggaran sila, yang ada ialah impilkasinya pada batin. EFEKnya pada batin pada saat itu juga, pada saat perbuatan dilakukan.

Suchamda:
Kata "langgar" itu kan cuman kata-kata untuk mewakili konsep kita yg sudah terpatok pada satu sisi. Kalau dari awal tidak ada konsep pelanggaran tentu tidak perlu muncul dengan kata "langgar".

Willi:
SILA dibuat untuk menjadi pagar kita dalam bertindak. Tanpa SILA kita tidak punya pegangan. SILA SAMADHI dan PANNA adalah jalan satu2nya menuju akhir penderitaan. Moral, meditasi dan kebijaksanaan tsb saling menopang dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.
Lemah satu akan melamahkan yang lainnya. SILA adalah basic / dasarnya. Tanpa sila yg baik sebagai dasar maka samadhi apalagi panna tidak akan dapat tercapai

Suchamda:
Kemudian uraian anda itu kan munculnya dari kepercayaan anda pada teori Abhidhamma.
Sudah pernah lihat sendiri proses pikiran??

Willi:
Asumsi dan pertanyaan ini sudah mengarah ke pribadi saya.  Apa hubungannya kehidupan luar saya dengan pembahasan topik kita? Apakah ingin membandingkan teori dan praktek? Jika begitu akan lebih bagus lagi. Saya siap saja, sih.
Mengenai melihat proses pikiran, sejauh ini ada perkembanganlah dibanding dulu.
(setelah ini mohon untuk tidak merembet ke pribadi lagi)
 
Suichamda:
Bukankah segala sesuatu itu sebetulnya kosong (sunya)?

Willi:
Kalo bicara soal ini, saya mundur. Soal 'Kosong' ini nggak ada dalam ajaran Buddha, keknya nggak ada di Tipitaka. Ini adalah bahasa penyair, yg memerlukan pemahaman penyair pula, Untuk konsumsi awam, bisa muncul bermacam2 tafsiran: ....aye-aye wae.....
Ajaran Buddha adalah sejelas melihat telapak tangan sendiri.

Maaf kalo ada kata-kata yg kelihatannya keras keras, Bro... 
Karena jika dipoles berkata-kata indah, nanti intinya nggak tertangkap lagi.

***Saya lihat diskusi sudah melebar, dan tidak sehat karena menyinggung2 pribadi dan diawal2 Bro malah telah menilai ego saya.... mungkin sebaiknya kita tutup untuk direnungkan masing2...
 
_/\_
::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: pilih yg mana?
« Reply #65 on: 24 October 2007, 10:49:06 AM »
Quote
Saya senang bahwa Bro Suchamda akhirnya setuju mengakui bahwa MELANGGAR SILA adalah MELANGGAR. Pengakuan ini penting.
Tapi kata2 dibawah, menetralisir lagi pernyataan tsb.
Anda kembali kepada motif. Pelanggaran tidak perlu melihat motif.
Apapun motifnya, pelanggaran adalah pelanggaran. Saya tidak pernah mengatakan KITA TIDAK BOLEH MELANGGAR SILA, yg saya katakan adalah: Kita harus MENYADARI bahwa telah terjadi pelanggaran.
Kenapa hal ini penting? Karena dengan mengetahui proses pikiran yg timbul dan lenyap, artinya kita sedang melakukan Vipassana sehari-hari (pengikisan Lobha, Dosa dan Moha; jalan yg ditunjukkan oleh Sang Buddha). Tanpa mengetahui pikiran hakiki (sebenarnya, asli) yg muncul, kita tidak akan pernah bisa mengawasi pikiran kita. Kita terbuai oleh kepalsuan dan khayalan indah.

Ya, kalau salah paham ya sudah.
Pada hakikatnya saya tidak pernah mengatakan melanggar sila itu bukan melanggar. Yang ingin saya katakan --kurang lebih -- adalah bila demi kebaikan ya langgarlah.

Quote
Untuk lebih jelasnya saya ambil contoh yg pernah Bro Suchamda kemukakan: Membunuh orang lain karena ingin menyelamatkan anak kita.
~ Dalam kasus ini, Saya tidak mengatakan Sila harus dijaga dengan ketat dan kita tidak boleh membunuh orang lain tsb.
Yg saya kemukakan adalah proses batin yg timbul akibat perbuatan tsb. Apa prosesnya? Pada peristiwa tsb, pikiran KARUNA (rasa sayang pada anak) dan pikiran DOSA (menolak objek yg tidak dikehendaki, yaitu orang lain tsb) muncul silih berganti. Kedua-dua proses batin ini akan memberikan implikasi pada batin kita, dan masing-masingnya akan membuahkan vipaka dikemudian hari.

Loh, pemahaman saya sama kok dengan anda. Saya juga tidak mengkritik bagian itu.
Coba anda baca lagi dari awal diskusi ini.

Quote
Jadi tidak ada yang membenarkan atau menyalahkan pembunuhan atas dasar karuna (karena SIAPA yang akan membenarkan / menyalahkan?). Tidak ada yang melarang atau membenarkan pelanggaran sila, yang ada ialah impilkasinya pada batin. EFEKnya pada batin pada saat itu juga, pada saat perbuatan dilakukan.

Ada.
Bila seseorang mengatakan "Kamu telah melanggar sila". Berarti secara tidak langsung orang tersebut ingin mengatakan bahwa "Kamu telah salah". Nah siapa itu?
Kalo implikasinya pada batin, seharusnya sudah semenjak pertanyaan saya lontarkan
- "Apakah melanggar sila demi kebaikan (eg.: menolong mahluk lain) dapat dimaklumi?" (diskusi page 2, Reply #16 on: 22 October 2007, 01:50:04 PM )
- "Apakah mungkin seseorang bisa mencapai kesucian bila masih memiliki egoisme?" (diskusi page 3, Reply #33 on: Yesterday at 01:47:56 PM)
hal- hal inilah yang dibahas. Karena dari pertanyaan itulah saya mencoba memancing diskusi yang beresensi pada masalah batin.

Quote
SILA dibuat untuk menjadi pagar kita dalam bertindak. Tanpa SILA kita tidak punya pegangan. SILA SAMADHI dan PANNA adalah jalan satu2nya menuju akhir penderitaan. Moral, meditasi dan kebijaksanaan tsb saling menopang dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.
Lemah satu akan melamahkan yang lainnya. SILA adalah basic / dasarnya. Tanpa sila yg baik sebagai dasar maka samadhi apalagi panna tidak akan dapat tercapai


Betul, saya setuju. Dimana saya menegasikan hal tersebut?
Yang ingin saya katakan adalah bahwa dalam kehidupan itu harus ada prioritas dan bersifat realistis. Jadi masalah sila harus dipahami dengan kebijaksanaan, dan bukan menjadi doktrin yang kaku. Apalagi doktrin kaku itu dilaksanakan membabi buta tanpa melihat kasusnya. 'One recipe for all'...ingat? Itulah yg saya tolak.
The Buddha was not interested in setting up a religion filled with religious dogma and metaphysical stances.(http://online.sfsu.edu/~rone/Buddhism/Misconceptions%20about%20Buddhism.htm)

Quote from: Willibordus
Quote from: suchamda
Kemudian uraian anda itu kan munculnya dari kepercayaan anda pada teori Abhidhamma.
Sudah pernah lihat sendiri proses pikiran??
Asumsi dan pertanyaan ini sudah mengarah ke pribadi saya.  Apa hubungannya kehidupan luar saya dengan pembahasan topik kita? Apakah ingin membandingkan teori dan praktek? Jika begitu akan lebih bagus lagi. Saya siap saja, sih.
Mengenai melihat proses pikiran, sejauh ini ada perkembanganlah dibanding dulu.
(setelah ini mohon untuk tidak merembet ke pribadi lagi)

Saya tidak pernah mengarah ke penyerangan pribadi anda. Itu asumsi anda. Persepsi yg timbul di batin anda. So it's your problem not mine.
Statement yang saya buat itu penting untuk disampaikan ke anda, yaitu untuk mengingatkan bahwa Abhidhamma itu cuman sekedar teori. Kalau anda pelajari filosofi2 lain di Buddhism (eg.Mahayana) maka anda akan melihat bahwa teori Abhidhamma Theravada juga mengandung kesalahan fatal.
Cara terbaik untuk memverifikasi benar atau tidaknya teori itu adalah dari pengalaman langsung.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa kalau mempelajari Abhidhamma tanpa diiringi dengan direct valid cognition ya akhirnya menghasilkan pandangan yang kaku seperti yg direpresentasikan oleh anda.
Oleh karena itulah maka itu ada urgencynya untuk anda saya informasikan hal itu, bro Willi.

Begini yah contohnya:
Kalau misalkan kita berdiskusi tentang kewarganegaraan Mexico (suatu hal yang kita sama-sama bukan demikian krn kita WNI), lalu saya mengatakan :
"Anda orang bodoh yang gak tahu kondisi Mexico" --> ini tentu adalah sebuah penyerangan pribadi (ad-hominem).
Tapi kalau saya bertanya "Apakah anda pernah ke Mexico?", ini adalah sebuah inquiry yang bersifat berguna bagi kelanjutan diskusi. Kalau anda tidak pernah ke Mexico, lantas apa dasar anda mengungkapkan pengetahuan tentang Mexico? Bisa saja anda jawab, dari peta, dari brosur, dsb. Jadi sama sekali bukan mengarah kepada penyerangan personal.

Quote from: Willibordus
Quote from: suchamda
Bukankah segala sesuatu itu sebetulnya kosong (sunya)?


Kalo bicara soal ini, saya mundur. Soal 'Kosong' ini nggak ada dalam ajaran Buddha, keknya nggak ada di Tipitaka. Ini adalah bahasa penyair, yg memerlukan pemahaman penyair pula, Untuk konsumsi awam, bisa muncul bermacam2 tafsiran: ....aye-aye wae.....
Ajaran Buddha adalah sejelas melihat telapak tangan sendiri.

Bro Willi, jangan terburu mengatakan bahwa soal 'kosong' ini nggak ada dalam ajaran Buddha.
Kalau kata 'kosong' tidak ada dalam Tipitaka Pali secara eksplisit barangkali saya bisa maklumi. Tapi Tipitaka Pali bukan tidak membicarakan tentang kesunyataan secara tersirat.

Ajaan Sujin, a prominent Thai lay teacher of Theravada Buddhism, interprets abhidhammic theory in a manner that, in my view, approaches the teachings of Emptiness as presented in the Prajñā-pāramitā-sumacrtras and in the Madhyamaka-kārikā. This paper presents an overview of Ajaan Sujin's teachings and compares them with Emptiness as expressed in the Diamond Sumacrtra, the Heart Sumacrtra, and the Madhyamaka-kārikā, as well as from a few well-known secondary sources. Core distinctions between the two theories do remain, primarily that for Ajaan Sujin dhammas do have characteristics and nibbāna is distinct from samsāra; thus I have termed Ajaan Sujin's teachings 'Theravada Emptiness'. (http://www.informaworld.com/smpp/content~content=a779058057~db=all~jumptype=rss?waited=0)

Lihat tulisan Thanissaro Bikkhu:
http://civet-cat.skandinaviskzencenter.org/civet-cat/theravada-writings/emptiness.htm

Collophone :
Bro, saya tidak pernah bermaksud menyinggung pribadi anda. Itu interpretasi / proliferasi pikiran anda sendiri.
Maaf, saya juga menolak kalau anda mengatakan saya menyinggung pribadi anda. Justru sejak awal saya sudah mengajak anda agar diskusi [perkataan saya] jangan dibawa ke arah personal. Saya perlu memberi peringatan tsb karena saya sadar bahwa dalam argumentasi yg saya lontarkan nanti akan bersifat tajam. Tajam tapi tidak saya arahkan ke personal anda. Rupanya anda tidak aware pada peringatan saya tsb sehingga akhirnya anda merasa bahwa tulisan saya itu mengomentari pribadi anda.

Ini buktinya:
Quote from: Suchamda, Reply #33 on: Yesterday at 01:47:56 PM
+ Bro Willi, kayaknya ini bakal jadi diskusi two liners deh, tapi ga apa, teruskan aja. Jangan diartikan bersifat personal yah. Ini debat utk kemajuan kita semua kok. Jadikan 'ketegaan membantai pandangan musuh' sebagai sebuah act motivated out of compassion.

Tapi kalau anda menginginkan saya meminta maaf, maka dengan ini saya mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya.  ^-^

Salam,
Suchamda
« Last Edit: 24 October 2007, 11:40:45 AM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: pilih yg mana?
« Reply #66 on: 24 October 2007, 11:33:30 AM »
Keep Cool Bro...

Kalau boleh, diskusi ini kita tutup disini saja.

Semoga masing2 kita dan DCners lainnya dapat merenung dan mengambil point yg berguna dari diskusi ini bagi perkembangan diri.

Mohon maaf kalau ada kata2 yg tidak berkenan.

 _/\_

Willibordus


::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: pilih yg mana?
« Reply #67 on: 24 October 2007, 12:05:11 PM »
saya ndak ngerti kenapa harus ditutup...  ::)
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: pilih yg mana?
« Reply #68 on: 24 October 2007, 12:51:21 PM »
kalau saya bilang sih, udah out of topic bro.... sudah sampai membahas kekosongan tuh

but kalo memang dirasa masih sesuai topic, yah silahkan dilanjutkan aja.....

Offline Lily W

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.119
  • Reputasi: 241
  • Gender: Female
Re: pilih yg mana?
« Reply #69 on: 24 October 2007, 04:27:04 PM »
saya ndak ngerti kenapa harus ditutup...  ::)


Sudah teliti batin masing-masing....

 _/\_  :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: pilih yg mana?
« Reply #70 on: 25 October 2007, 03:15:24 PM »
saya gak ngerti kenapa dialog yg damai dan terbuka seperti ini harus ditutup. kenapa proses belajar yg bagus seperti ini harus ditutup? kalo alasannya oot, maka agar konsisten mungkin hampir semua topic di forum ini juga harus ditutup. kalo alasannya mempengaruhi batin, semua tergantung diri masing2. mungkin saja kata2 yg terbacanya keras sebenernya keluar dari batin yg tenang. who knows? semuanya tergantung persepsi pembacanya... saya pikir buddhis harus tahan banting, bisa tetap tenang dilingkungan yg tidak tenang. bukan hanya tenang di vihara ataupun di atas bantal meditasinya...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: pilih yg mana?
« Reply #71 on: 25 October 2007, 03:48:10 PM »
Mungkin karena yang dimaksudkan oleh realita oleh Sdr. Morpheus adalah realita "nasi yang menjadi bubur".
Sehingga karena "nasi sudah menjadi bubur" menjadikan semakin sedikitnya opsi2 yang dapat dipilih.
...
2 opsi di atas tersebut adalah opsi "nasi menjadi bubur" karena keteledoran kita. Yang sebenarnya ada opsi ke 3, yaitu menghindari bermain dan kita manfaatkan waktu untuk belajar selama seminggu
bang hedi orang farmasi atau kedokteran ya?

pernah liat orang kena kanker stadium lanjut menyebar sampai ke tulang?
ada penyakit yg benar2 membawa kesakitan luar biasa sampai berteriak2 kesakitan, mungkin juga sampai kepengen lekas mati...

kalo anda kena penyakit seperti itu (konon 1 dari 4 orang kena kanker), apakah anda:
option 1: memegang sila, menahan sakit sampai ajal tiba (teguh memegang sila)
option 2: meminta dokter menyuntikkan morfin untuk mengurangi sakit (pelanggaran sila 5)
option 3: minta euthanasia (pelanggaran sila 1)

juga, bagaimana kalo anda melihat orang yg anda cintai menjerit2 kesakitan minta diakhiri hidupnya?
apakah dalam hal ini ada option ideal lainnya atau option di saat belum menjadi bubur?
apakah kita bisa bilang orang yg kena kanker itu "kesalahannya sendiri"?
« Last Edit: 25 October 2007, 03:53:49 PM by morpheus »
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: pilih yg mana?
« Reply #72 on: 25 October 2007, 04:04:35 PM »
 [at] Sdr. Morpheus

Sebelum saya jawab, saya ingin menekankan sebenarnya adaa 4 opsi dan ada 1 opsi yang terlupakan, yakni "opsi sebelum nasi menjadi bubur"  yaitu opsi menjaga kesehatan ketika masih sehat.

Pemicu kanker adalah akibat teraktivasinya sel kanker yang belum aktif. Dan setiap manusia memiliki sel kanker yang belum aktif. Dan jika kita tidak menjaga kesehatan dengan mengikuti pola hidup yang salah seperti dugem, merokok, atau menggunakan bahan2 aditif yang berbahaya seperti MSG, Pewarna, dll. Maka kita pasti akan terkena kanker.

Dan jawaban saya adalah memilih Opsi ke-2 dengan menggunakan morfin

Alasannya :
1. Saya menggunakan morfin untuk pengobatan bukan untuk mengumbar kepuasan
2. Dengan adanya efek analgesik dan euforia dari morfin akan membantu saya dalam menghargai hidup dan memikirkan solusi sampai nafas terakhir.
3. Lahir sebagai manusia sangat sulit, kenapa harus disia2kan?

Saya tidak memilih opsi 1 karena
1. Menurut saya bisa saja seseorang tewas ketika menahan rasa sakit yang amat berlebihan.
IMO : Rasa sakit berlebihan -> Memicu Stress -> tekanan darah naik -> Bisa serangan jantung seketika
2. Gairah untuk sembuh itu biasa hilang dan malas untuk diobati (jadi usaha untuk memikirkan solusi jadi tidak ada)

Kedua alasan itu saya dasari dari pandangan terlahir sebagai manusia itu sangat sulit

Alasan tidak memilih opsi ketiga : alasannya sama dengan dasar pandangan saya, terlahir sebagai manusia sangat sulit







Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: pilih yg mana?
« Reply #73 on: 25 October 2007, 04:10:32 PM »
Quote from: Morpheus
saya gak ngerti kenapa dialog yg damai dan terbuka seperti ini harus ditutup. kenapa proses belajar yg bagus seperti ini harus ditutup? kalo alasannya oot, maka agar konsisten mungkin hampir semua topic di forum ini juga harus ditutup. kalo alasannya mempengaruhi batin, semua tergantung diri masing2. mungkin saja kata2 yg terbacanya keras sebenernya keluar dari batin yg tenang. who knows? semuanya tergantung persepsi pembacanya... saya pikir buddhis harus tahan banting, bisa tetap tenang dilingkungan yg tidak tenang. bukan hanya tenang di vihara ataupun di atas bantal meditasinya...

Bro Morph, tidak apa ditutup saja diskusi saya dengan bro Willi. Saya rasa point2nya sudah jelas, dan yang terutama adalah karena saya juga cape. :)) :))

Kalau sehubungan dengan kaitan pelatihan sila hingga menuju ke pengertian kesunyataan, saya rasa itu adalah topik yang besar sekali. Tak mungkin dibicarakan , apalagi pihak2 ybs belum pernah mempelajarinya. Setahu saya, buku2 tentang emptiness sangat tebal-tebal dan kompleks. Tentu tidak mungkin utk didiskusikan tanpa pemahaman backgroundnya, kecuali dibuat kursus2 terlebih dahulu.
Disini saya cuma mau menjajagi (test case) apakah pemahaman anak2 disini sudah mencapai kesana, dan apakah bisa dibawa kesana. Ternyata belum. So, ga ada gunanya juga dilanjutkan.

Salam,
Suchamda
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: pilih yg mana?
« Reply #74 on: 25 October 2007, 04:25:06 PM »
Pendapatku: suatu masalah harusnya dianalisa kasus per kasus. dilihat sebab2, situasi dan kondisi-kondisinya. Penentuan cara kita bertindak disesuaikan dengan analisa kita terhadap situasi dan kondisinya.

Kalau cuma perlu satu jenis obat untuk semua jenis penyakit, saya kira para dokter bisa ga laku, apoteker2 jadi pengangguran, dan apotek2 banyak yang tutup... ;D

 
By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

 

anything