BTW, ego nya siapa nih yg mulai kelihatan? Kurang ngeh neh, ego si nenek, pemilik toko atau siapa?
Anda juga baiknya hati-hati bro Willi, pernyataan anda terakhir ini terkesan personal. Tanggapan anda terakhir ini terasa mengandung sindiran.
Apa yang saya kemukakan tadi adalah dengan tujuan untuk
mengarahkan. Rupanya arahan saya tidak dapat dipahami, malah disalah artikan sebagai sesuatu yg bersifat penyerangan pribadi. Saya mohon maaf.
Bukan itu.
Perspektifnya sebaiknya jangan 'aku' lawan 'kamu', sedari awal sudah saya ingatkan bro Willi. Tapi fokuslah pada perdebatan konseptualnya. Cobalah, sekali lagi saya mengharapkan dengan hormat: telitilah batin anda. Tidak bisa sekarang ya lain kali.
Coba lihat tulisan saya dari perspektif lain, saya coba mengkemukakan permainan pikiran belaka.
Buktinya adalah bhw yang saya kritik adalah 2 kubu , perhatikan :
- Menunjukkan bahwa walau ini hanya sebuah diskusi, tapi ego defense kita sangat kuat. Ego defense itu sangat licik berubah bentuk selalu kembali melindungi "si aku" walau di atas namakan yg lain (eg: atas nama sila, atas nama kebenaran, atas nama Buddha, atas nama pembenaran diri, atas nama cintakasih, dsb).
Perhatikan yg saya cetak tebal.
Saya anggap anda kubu yang kaku terhadap sila. Betul memang saya kritik.
Tapi kubu yg sebaliknya : yang mengatas namakan pembenaran diri dan mengatas namakan cinta kasih, juga saya kritik.
Saya mencoba mengarahkan ke pengertian bahwa :
berpraktek Buddhism janganlah takut kotor, jangan hanya mau main-main yang bersih saja tapi cuman dalam khayalan.
Sisi gelap kita harus kita hadapi, kita sambut dengan gagah berani. Transformasikan racun itu menjadi obat utk penawar ego kita.
Emosi negatif/ perbuatan negatif memang bisa diatasi dengan cara pertama, yaitu menghindari sejauh-jauhnya atau menolaknya. Tapi ada 2 cara lain:
2. Transformasikan emosi / perbuatan negatif itu menjadi sebuah path menuju kesucian.
3. Emosi / perbuatan negatif itu sendiri digunakan sebagai empty appearance dari wisdom.
Disini saya cuman mau mengarahkan ke cara ke-2, tapi tak dipahami. Apalagi cara ke-3, saya sendiri cuman baru meraba-raba. (Source : Bodhi Magazine, Dzogchen Ponlop Rinpoche)
-------------
Baiklah, rupanya sia-sia saja pengarahan saya, maka saya barangkali lebih baik menulis suatu artikel yang komprehensif mewakili apa yg saya maksud. Itu pun kalo saya memiliki enersi cukup utk berbagi. Tidak tahu, apakah kondisi sudah memungkinkan utk dapat kalian mengerti.
Btw, untuk sekedar informasi :
Di dalam Mahayana ada secondary Bodhisattva Vow (Sumpah Bodhisattva) yang bunyinya demikian. Ini cuman ingin sekedar membuktikan bahwa apa yang sebenarnya saya ingin katakan bukannya tanpa dasar.
11. TIDAK MEMAHAMI MAKSUD SEPENUHNYA DARI WELAS ASIH
"Jika memenuhi tujuan khusus bagi orang lain, seorang Bodhisattva diperkenankan
melakukan ketujuh perbuatan tidak baik dari tubuh dan ucapan (1. membunuh, 2.
mencuri, 3. berhubungan seksual yang tidak benar, 4 - 7. berbohong, berkata
kasar, bergunjing, memfitnah). Jika Anda menolak melakukan tindakan tidak baik
tersebut, apabila dengan melakukannya Anda dapat menolong makhluk hidup yang tak
terhitung, Anda mengalami runtuhnya (sumpah) ini. Pada umumnya, Anda harus
menghindari semua perbuatan tidak baik. Tetapi jika muncul situasi di mana,
melalui welas asih Anda dapat membantu makhluk hidup yang tak terhitung dengan
melakukan salah satu dari ketujuh perbuatan tidak baik dari tubuh dan ucapan,
maka Anda harus melakukannya. Misalnya, anda tinggal di pedalaman dan datang
seorang pemburu bertanya apakah Anda melihat kijang. Jika Anda melihat kijang
dan memutuskan tidak akan berbohong, Anda akan memegang teguh aturan Vinaya Anda
dan mempertahankan ketaatan pada sila yang tujuh, tetapi pemburu itu akan
membunuh kijang itu. Dalam hal ini, Anda seharusnya berbohong, alih-alih menaati
aturan yang biasa. Penilaian ini tentu saja membutuhkan kearifan."
[dari:
http://www.buddhism.kalachakranet.org/resources/bodhisattva_vows.html#2-- 'Compendium of Trainings by Shantideva the Luminous Jewel Garland of
Instructions on the Three Vows' by Gelong Tsewang Samdrub, and teachings by
Geshe Tashi in London (February and March 2001) which were based on Lama Tsong
Khapa's commentary.]