Nah Gunasaro, gimana Anda sendiri? Sy mah masih belum ariya puggala, jelas masih sering melanggar sila & dalam tahap usaha keras. Makan enak saja masih sering lepas kendali, dll...
Ini bagus. Suatu sikap jujur yang berani.
Namun sy berpikir, kalo sdh masih sering melanggar & tdk mengakui;
kan tambah tolol sy ini, rugi sendiri
Ini benar, saya setuju dan lakukan pula.
... Lebih tolol nan bodoh lagi bagi saya, sdh melanggar - malah membenarkan diri dgn dalil tertentu.
Ini benar, saya setuju, karena saya juga mengatakan bahwa menjalankan sila adalah hal yang correct; Self-justification (membenarkan diri) adalah hal yang wrong.
Jangankan self-justification dengan dalil tertentu,
melekat pada suatu konsep pun tidak dapat dibenarkan menurut pemahaman Jalan Tengah.
Disinilah pemahaman yg ingin saya sampaikan sebenarnya melampaui pemahaman yg anda berikan bro Gun.
Extra bodoh lagi, kalo saya dalam diskusi, malah karena takut dibilang sok suci; lantas gak berani bedah idealisme dari Buddha Dhamma...
Betul! Extra bodoh juga bagi orang yang karena takut dianggap bad buddhist yg berpandangan sesat kemudian tidak berani membabarkan idealisme Bodhicitta dari Buddha Dharma.
----------
Bro Gun, kalau anda menyimak tentunya anda akan paham ya tulisan saya? >> bukan untuk mendukung tindakan self-justification, tetapi untuk memberikan view tentang esensi Buddhadharma yang mana bukan sekedar sila saja.
Tetapi memang kalau diurut dari jenis pemahamannya, memang barangkali perdebatan ini mewakili perbedaan sikap pandangan antara Theravada (aliran Dhammayut. Di Indonesia : STI) dan Mahayana (dan Theravada aliran Mahanikaya yg lebih liberal).
Saya cerita dikit ya, mungkin terkesan muter terlalu jauh. Tapi dengerin aja kalo mau.
Saya berpikir, bahwa banyak sekali Buddhist di Indonesia yang berpikiran tinggi dan luhur, tapi dalam kenyataannya kok sulit sekali menemukan seorang yang bisa mengatualisasikannya secara baik. Justru di dalam agama kr****n / Katholik, kita banyak menemukan orang2 yang lebih baik dalam beretika, dalam bersantun, dalam bersosialisasi, dalam bergaul, dalam bersetia kawan, dalam pelayanan, dalam bakti ke masyarakat, dalam soal mengasihi dan perhatian (care) thd sesama..... Mengapa?
Saya justru melihat kuncinya seperti yang tersirat dalam debat di topik ini. Apa itu?
Tampak sekali bahwa kita terlalu idealist, akhirnya terlalu mengkhayal yang muluk-muluk tapi lupa kondisi real dan adanya prioritas dalam hidup ini. Hal kecil dibikin besar, dan hal besar tidak dilaksanakan (karena dianggap kecil). Semut diurusin, tapi orang baru datang ke vihara dicuekin. Ga mau bohong dalam dagang tapi gossip di vihara heboh banget.
Adalah suatu hal yang konyol kalau menuntut seseorang menjalankan sesuatu secara murni dan sempurna padahal diri kita sendiri pun tidak sanggup menjalankannya (setelah berjuang keras!). Barangkali hal ini dikarenakan kita terlalu mendongak ke atas terlalu menginginkan mencapai nibbana secepat mungkin, padahal modal kita tidak banyak. Lalu menjadikan kita terlalu ngoyo membabi buta.
Ini jadi seperti mentalitas orang miskin vs mentalitas orang kaya.
Mentalitas miskin menuntut banyak hal, dan berusaha ngirit-ngirit sebisa mungkin untuk mendapat uang sisa.
Mentalitas kaya sebaliknya justru berusaha memberi banyak dan berusaha mencari income sebesar2nya untuk dimanfaatkan kembali bagi orang banyak. Ini yang menjadikan yg miskin tambah miskin, dan yang kaya tambah kaya.
Nah, demikian juga kita praktisi Dharma. Kita terlalu memusingkan menghindari karma buruk yang kecil-kecil sekecil-kecilnya, mau perfect. Mengapa tidak kita mencoba sebaliknya: berusaha memperbanyak perbuatan baik demi kebahagiaan semua mahluk? Kan ada pepatah di masyarakat : "rugi dikit takut gimana mau untung gede?"
Disini tampak perbedaan fokusnya ya? Kita bisa saja terjebak pada ekstrim fokus pada karma buruk. Mengapa kita mencoba untuk tidak fokus pada membuat karma baik?
Disamping sila, kita juga mengenal ajaran sebab-akibat. Suatu tindakan tidak berdiri sendiri, tapi berkaitan satu sama lain seperti jaring-jaring. Bisakah anda melihat bahwa adanya keniscayaan hukum alam nan kejam , yaitu rantai makanan. Satu mahluk untuk hidup harus memangsa mahluk yang lain.
Demikian juga hukum kesetimbangan alam : anda mengambil keuntungan dari satu resource berarti memberi kerugian kepada resource yg lain. Hukum relatifitas : sesuatu dapat dilihat sebagai baik dari satu sisi tapi juga bisa dilihat buruk dari sisi lain, tergantung referensi sudut pandang anda.
Kalau kita belum memahami ini, berarti kita belum memahami filosofi Jalan Tengah.
Hidup ini memerlukan pengorbanan. Seringkali selalu ada yang dikorbankan demi sesuatu yang nilainya lebih besar / lebih baik / lebih luas. Ini adalah keniscayaan yang tak dapat kita pungkiri loh.
Kalau kita berharap bisa bertindak perfect, tentu harus tinggal di alam yang perfect. Padahal kenyataannya alam di tempat kita hidup ini tidak perfect!
Dari sini seharusnya kita sudah bisa melihat betapa absurdnya menuntut orang lain untuk menjalankan sesuatu secara perfect.
Idealisme memang boleh, dan memang diperlukan, tapi jangan keterlaluan donk. Ini bukan masalah self-justification yang saya anggap memang wrong itu loh.
Oleh karena itu, kalau seseorang datang kepada kita untuk meminta advice, ya jangan selalu di ultimatum dengan sila, sila dan sila terus. Cobalah lihat dulu kompleksitas permasalahannya. Pahami posisinya secara empati. Jangan karena anda bikkhu mentang2 menuntut umat awam harus bisa jalankan spt anda. Ini anda tidak bijak karena tidak memperhitungkan situasi dan kondisinya. Apalagi si bikkhu itu kenyataannya juga sering blong!
Gini deh.
Saya rasa uraian saya diatas sudah cukup jelas bahwa saya tidak menentang menempatkan sila sebagai sebuah idealisme untuk merangsang pertumbuhan spiritual, tapi saya menentang penggunaan sila secara membabi buta untuk menjawab segala persoalan.
Sepertinya, dari pembicaraan tidak ada lagi point yg perlu diperdebatkan. Posisi dan alasan masing2 sudah jelas. Oleh karena itu marilah kita sekarang mencoba utk menerapkan apa yang telah kita katakan. Dari situ kita nanti evaluasi lagi.
Bagi saya sih rasanya memang akan nyantai saja sebab saya tidak menerapkan standar apa2. Oleh karena itu 'tidak ada kemungkinan' buat saya untuk melakukan pembenaran diri. Saya cukup untuk mengembangkan mindfulness saja.
Tapi buat para idealis, saya rasa kalian harus benar2 konsekwen dengan apa yang anda katakan. Barangkali anda perlu buat jurnal harian untuk mencatat apakah pembenaran diri anda semakin lhari semakin sedikit atau semakin banyak!