//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Fanatisme VS SADDHA  (Read 2528 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Fanatisme VS SADDHA
« on: 31 March 2008, 09:47:52 AM »
Ini adalah salah satu topik yang dalam aplikasinya masih sangat rancu.
Kerancuan itu dapat terjadi karena batas diantara keduanya sangat
tipis, namun bila yang satu menuju ke sebuah kebaikan maka yang
lainnya akan memberikan sebuah kerugian besar. Tulisan ini didasarkan
pada sabda-sabda Sang Buddha sebagaimana tercantum di dalam kitab suci
Tripitaka namun dengan bahasa yang sederhana sesuai kapasitas
pemahaman pribadi saya.

Keyakinan yang dinamakan Saddha, adalah iman atau kepercayaan yang
berdasarkan kebijaksanaan. Keyakinan dalam ajaran Sang Buddha bukan
berdasarkan atas rasa percaya semata atau bahkan rasa takut, tapi
keyakinan yang didasarkan atas aebuah penyelidikan (ehipassiko).
Kegembiraan tidak akan pernah dirasakan oleh mereka yang hanya
memiliki keyakinan yang didasari atas rasa takut atau karena
kepercayaan yang membuta. Karena sesungguhnya kegembiraan itu hanya
dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki pengertiian benar dan
kebijaksanaan. Seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha bahwa
seseorang yang bermoral dan berwatak baik akan belajar bahwa
demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa yang mematahkan
kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan
dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru . Setelah ia
sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup
ini, lalu berpikir untuk melaksanakannya sendiri (Puggala-Pannatti,
III, 1). Sariputra (salah seorang siswa utama Sang Buddha) juga
mengungkapkan bahwa keyakinan yang baik itu harus diuji dengan
mengendalikan indra. Dengan keyakinan ini, semangat, kesadaran,
konsentrasi, dan kebijaksanaan berkembang terus menerus. "Sebelumnya
aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan
mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku
menembusnya dan membuktikan secara jelas" (Samyutta Nikaya . V, 226).

Setelah melihat uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa Saddha
adalah sebuah keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan
dengan pengertian yang benar serta penuh kebijaksanaan. Iman semacam
itu dikategorikan sebagai iman yang rasional (akaravati-saddha).
Sebuah iman yang dewasa tentu saja akan berbeda dengan iman yang
kekanak-kanakan atau membuta. Iman yang kekanak-kanakan atau membuta
inilah yang dikenal sebagai Fanatisme. Sang Buddha juga pernah
menyampaikan bahwa seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah
dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang fanatik dan tanpa
dasar. Sedangkan seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah
dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat
kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang
penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang,
seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila ada dasarnya
(Visuddhimagga. 129).

Dalam Brahmajala-sutta tercatat bagaimana Sang Buddha mengajarkan
siswanya agar bersikap kritis terhadap penganutan agama Buddha
sendiri: "Para Bhikkhu, jika ada orang berbicara menentang aku, atau
menentang Dharma atau menentang Sangha, janganlah karena hal itu
engkau menjadi marah, benci, atau menaruh dendam. Jika engkau merasa
tersinggung dan sakit hati, hal itu akan menghalangi perjalanananmu
sendiri mencapai kemenangan. Jika engkau merasa jengkel dan marah
ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang menentang kita, bagaimana
engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau salah?...
Jika ada orang yang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau
Dharma atau Sangha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan
menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini atau
itu, tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak diketemukan di
antara kami dan bukan pada kami. Sebaliknya pula, Bhikkhu, jika orang
lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sangha, janganlah karena hal
tersebut engkau merasa senang atau bangga atau tinggi hati. Jika
engkau bersikap demikian maka hal itu itu pun akan menghalangi
perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika orang lain memuji
Aku, atau Dharma atau Sangha, maka engkau harus membuktikan kebenaran
dari apa yang diucapkan dengan menyatakan berdasar hal ini atau itu,
ini benar, itu memang begitu, hal demikian terdapat di antara kami,
ada pada kami" (Digha-Nikaya. I, 3).

Setelah membaca semua sabda-sabda Sang Buddha di atas, apa yang
sekarang muncul di dalam benak anda sekalian? Bagi saya pribadi,
ajaran Sang Buddha lebih menitik-beratkan pada pengembangan
religiusitas mental dan batin kita ketimbang sebuah keberAGAMAan.
Sebagaimana dikatakan oleh Bodhidharma, bahwa Buddha tak dapat
ditemukan dalam kitab suci. Ia mengajarkan untuk melihat ke dalam hati
kita sendiri dengan kesadaran dan kesucian yang sempurna, karena di
situlah kita akan bertemu dengan Buddha. Mungkin banyak diantara anda
yang sering melihat orang-orang di sekeliling anda yang kuat menganut
agamanya secara lahiriah, tapi tidak seiring dengan perkembangan
religiusitas mental dan batinnya. Orang bisa saja sangat taat
beribadah, namun di dalam rumahnya ia menyiksa istrinya dan di luar
rumahnya ia seorang lintah darat. Boleh jadi orang gigih menganut
agama dengan motivasi tertentu seperti dagang, karier atau tuntutan
calon mertua. Orang yang militan dalam kegiatan organisasi agama,
namun mengobarkan kebencian dan permusuhan, tidak peduli dengan
kesulitan orang lain, tidak jujur, tidak adil, tentunya tidak
religius. Sebaliknya ada orang yang tidak begitu cermat menaati aturan
agama (bukan mengenai nilai moral yang universal) atau bahkan ia juga
tidak mengenal agama sama sekali, namun ia cinta pada kebenaran,
lurus, tidak munafik, tidak egois, tidak serakah dan suka menolong,
maka ia bisa disebut religius.

Jadi sekarang pilihan berada di tangan anda. Karena sesungguhnya Sang
Buddha sudah membabarkan secara lengkap dan sempurna mengenai
perbedaan antara Saddha & Fanatisme. Artikel ini sendiri bersumber
dari tulisan Bapak Khrisnanda Wijaya-Mukti dalam bukunya yang sangat
indah dan berjudul "Wacana Buddha-Dharma". Buku tersebut dan juga
nasehat mama saya, telah sangat banyak membantu saya keluar dari
kesalahan pandangan saya sebagai seorang siswa Sang Buddha. Saya
sendiri mengenal Buddha-Dharma pada tahun 1997 (kemudian menerima
Tisarana & Pancasila pada tahun yang sama). Namun bukan kedamaian yang
saya temukan akan tetapi "debat kusir" yang tak perlu serta
berkepanjangan dengan famili dan para sahabat yang kebetulan
non-Buddhis. Puncaknya adalah tahun 2003, saat saya mendapat
kesempatan menjadi seorang Dharmaduta, karena pada saat itu saya
justru lebih banyak melakukan ADharma (dengan cara melakukan musavada
tentang keyakinan-keyakinan selain Buddhis kepada para umat). Nasihat
mama saya pun hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Tahun
2004 saya mendapatkan buku yang sangat berharga itu, yang juga
kemudian menyadarkan saya akan kebenaran nasehat mama saya selama ini.
Seperti Angulimala, saya akhirnya membuang "pedang" saya dan
menggantinya dengan sebuah teratai kebenaran. Keindahan lain yang saya
rasakan adalah saat saya bisa mengenalkan Buddha-Dharma kepada
rekan-rekan non-Buddhis, karena kini saya datang kepada mereka dengan
kedamaian.

Teman-teman sekalian, jadikan Buddha-Dharma sebagai pembebasmu dan
bukan sebagai belenggumu, karena sesungguhnya Sang Buddha pun juga
sudah menguraikan bahwasanya kebanggaan (beragama Buddha) juga adalah
salah satu penghalang kita dalam mencapai kemenangan (Nibbana).
Selamat berbuat kebajikan dan semoga semua mahkluk selalu hidup
berbahagia, Saddhu.

(sumber: Buku Wacana Buddha-Dharma karya Bapak Krishnanda Wijaya-Mukti)

Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: Fanatisme VS SADDHA
« Reply #1 on: 31 March 2008, 10:03:47 AM »
 _/\_ tulisan yang bagus....ehipassiko dari pengalaman pribadi.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Fanatisme VS SADDHA
« Reply #2 on: 31 March 2008, 10:53:59 AM »
gw copas dari wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Shradda

Quote
Shraddha
From Wikipedia, the free encyclopedia
  (Redirected from Shradda)
Jump to: navigation, search

Sraddha, Śraddhā (Sanskrit literally "faith") is a Hindu funeral ceremony. There are several forms of this ritual. The monthly Sraddha is performed every month in honor of one's deceased ancestors. This ritual is described in detail in the dharmasutras of Apastamba, Gautama, Baudhayana and Vasishtha. The host invites brahmans to a funeral meal, and the food they consume is thought to nourish the deceased ancestors.

Shraddha is an important constituent element thoughout Dharmic Traditions; though each of these traditions, nameley: Sikh Dharma, Jain Dharma, Buddha Dharma and the traditions of Shaivism, Shaktism and Vaishnavism within Hinduism, have their own particular 'view' (Sanskrit: drishti) and doxology of "śraddhā".

In the Hindu religion, the term śraddhā popularly denotes the ritual that one performs to paying homage to one’s deceased ancestors (Pitri), and especially to one’s deceased parents, either on the anniversary of their death or during the dark fortnight called Pitri Paksha (which usually falls in September or October).

Conceptually, performing shraadhs is a way of expressing our heartfelt gratitude and thanks to our parents and ancestors, for having helped us to be what we are. It can also can be thought of as a “day of remembrance”.



Quote
Buddha Dharma

Of the teachings of the Shakyamuni Buddha, faith was subsumed within his earliest discourse: "Wide opened is the door of the Immortal to all who have ears to hear; let them send forth faith [saddha] to meet it."[1]

In the Kalama Sutta, Shakyamuni Buddha remonstrates "blind faith" based upon authority, tradition and/or specious reasoning.

The Pali suttas (scriptures) list faith as one of the Seven Treasures (dhanas), one of the five “spiritual faculties” (indriyas), one of the four “streams of merit”, and one of the “spiritual powers” (balas).

When a person decides to give up domestic life and live as a monk or nun, it is said to be out of faith “through faith in the Lord”[2]. First comes the hearing () of Dharma and then the apirant follows the Dharma teachings and instructions on faith, reflecting upon the value of its application.[3]

Faith is primarily faith in the Buddha himself as the Teacher of supreme spiritual realization and accomplishment. The Buddha extols such faith as befitting a “noble” Buddhist disciple:

    “The ariyan [noble] disciple is of faith; he has faith in the Awakening of the Tathagata [Buddha], and thinks: He is indeed Lord, perfected one, fully Self-Awakened One, endowed with right knowledge and conduct, well-farer, knower of the world(s), matchless charioteer of men to be tamed, teacher of devas [gods] and men, the Awakened One, the Lord.”[4]

In the Kasibharadvaja Sutta of the Samyutta Nikaya , we have the relationship of faith, practice and wisdom:

    Faith is the seed, practice the rain,
    And wisdom is my yoke and plough.
    Modesty’s the pole, mind the strap,
    Mindfulness my ploughshare and goad.


Such faith, it is said, can lead towards Liberation. Indeed, a person who is “released by faith” can well, in consequence, be “on the path to arahantship” (spiritual adeptship).[5] It is for such reasons that faith is stated by the Buddha to be appropriate as “a person’s partner”[6] and to be “a man’s best treasure”.[7] The Buddha even quotes with evident approval the god Sakka’s Dharma-charged words:

    “… faith in the Tathagata
    unshakable and well established …
    … the person of intelligence,
    remembering the Buddha’s Teaching,
    should be devoted to faith and virtue,
    to confidence and vision of the Dhamma [Dharma].”[8]



Quote
Ananda and Vakkali

Two disciples of Buddha in the Theravada canon exemplify faith in Buddha -- Ananda and Vakkali.

The power of visionary faith over skepticism is exemplified in An 3.8, a passage which more closely resembles in tone and quality many of the later Mahayana sutras. Buddha extols Ananda over the skeptic Udayi when Ananda is awed and overwhelmed by the power of the Buddha, "Ananda had asked the Blessed One how far his voice would reach in the universe. The Lord had answered that the Enlightened Ones were immeasurable and could reach further than a thousandfold world system (with a thousand suns, a thousand heavens, and a thousand brahma worlds), even further than a three-thousandfold world system. They could penetrate all those worlds with their shining splendor and reach all beings living there with their voice.

Ananda was delighted with this description, so all-encompassing and transcending all horizons, and he exclaimed: "How fortunate I am, that I have such an almighty, powerful master!" Udayi objected: "What good does it do to you brother Ananda, that your master is almighty and powerful?" The Buddha immediately took sides with Ananda with the following words:

    "Not so, Udayi, not so, Udayi! Should Ananda die without being fully liberated; he would be king of the gods seven times because of the purity of his heart, or be king of the Indian subcontinent seven times. But Udayi, Ananda will experience final liberation in this very life."[9]

Vakkali Thera was considered one of the Chief Arahants who had obtained Arahanthood through faith and love (saddhādhimuttānam) for Buddha. After seeing the Buddha, he could never tire of looking at him and became a monk just to be near him. Apart from eating and bathing, spent all his time meditating on the Buddha's appearance, to which Buddha admonished Vakkali with his famous utterence on the transcendental nature of Buddha's true Dharmakaya, "The sight of my foul body is useless; he who sees the Dhamma, he it is that seeth me".[10] Buddha had to command Vakkali to leave. With a heavy heart he went up to Gijjhakuta mountains. In the Apadana Buddha is said to have spoken to him from the foot of the rock, saying "Come, monk." Filled with joy Vakkali jumped down the mountain to greet Buddha dropping a depth of many cubits but remained unhurt and realized Arahantship. Here, Buddha declared him to be amongst the foremost among those of great faith.



Quote
Criticism of blind faith

In Buddhism, faith is only one part of five characteristics that a Noble disciple must possess. In other words, in Buddhism faith is qualified. Blind faith is especially not treated well. In Sutta 44(iv, 220), Buddha questions Sariputta to which Sariputta answers, "Herein, O Lord, I do not follow the Exalted One out of faith. Those by whom this is unknown, unseen, uncognized, unrealized and unexperienced by wisdom, they will herein follow others out of faith." In other words, in blind faith there is no knowledge or conviction, and one can have blind faith in anyone and such blind faith never leads to wisdom and true conviction. Only the actual experience of regular practice can lead to true faith and conviction born out of realization. "But those by whom this is known, seen, cognized, realized and experienced by wisdom, they have no uncertainty, no doubt about it that these five faculties, if cultivated and regularly practiced, lead to the Deathless, are bound for the Deathless, end in the Deathless."

« Last Edit: 31 March 2008, 10:59:38 AM by SandalJepit »

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Fanatisme VS SADDHA
« Reply #3 on: 03 May 2008, 08:10:36 PM »
"Setelah membaca semua sabda-sabda Sang Buddha di atas, apa yang
sekarang muncul di dalam benak anda sekalian? Bagi saya pribadi,
ajaran Sang Buddha lebih menitik-beratkan pada pengembangan
religiusitas mental dan batin kita ketimbang sebuah keberAGAMAan."
>>Agama buddha bukanlah suatu konsep keagamaan belaka,bknkah agama Buddha sudah melebihi suatu konsep suatu agama ttg doktrin2 keTuhanan??

"Sebagaimana dikatakan oleh Bodhidharma, bahwa Buddha tak dapat
ditemukan dalam kitab suci. Ia mengajarkan untuk melihat ke dalam hati
kita sendiri dengan kesadaran dan kesucian yang sempurna, karena di
situlah kita akan bertemu dengan Buddha. "
>>Melihat kedalam hati,bisakah anda jelaskan mksd tersirat anda disini dgn jelas???
 "Mungkin banyak diantara anda
yang sering melihat orang-orang di sekeliling anda yang kuat menganut
agamanya secara lahiriah, tapi tidak seiring dengan perkembangan
religiusitas mental dan batinnya. Orang bisa saja sangat taat
beribadah, namun di dalam rumahnya ia menyiksa istrinya dan di luar
rumahnya ia seorang lintah darat. Boleh jadi orang gigih menganut
agama dengan motivasi tertentu seperti dagang, karier atau tuntutan
calon mertua. Orang yang militan dalam kegiatan organisasi agama,
namun mengobarkan kebencian dan permusuhan, tidak peduli dengan
kesulitan orang lain, tidak jujur, tidak adil, tentunya tidak
religius. Sebaliknya ada orang yang tidak begitu cermat menaati aturan
agama (bukan mengenai nilai moral yang universal) atau bahkan ia juga
tidak mengenal agama sama sekali, namun ia cinta pada kebenaran,
lurus, tidak munafik, tidak egois, tidak serakah dan suka menolong,
maka ia bisa disebut religius."
>>Bukankah sudah dijelaskan???tdk ada suatu jaminan bahkan  org yg bljr Dhamma akan selalu berbuat baik,Manusia itu sendiri selalu berubah2 setiap saat,Manusia yg hr ini beda dgn manusia yg kemarin,dan yg lalu2.(kecuali dalam konteks ini manusia tersbt sudah mencapai tingkat kearahatan)
Jd apakah dgn kata2 anda bahwa taat beragama,dsbnya hrslah 100% baik??atau bisa dikatakan Munafik??dan pura2 suci???
Setiap manusia kan punya batas2annya sendiri,Sekrang setiap manusia itu berusaha mengendalikannya..Sesuatu yg dikendalikan bs saja lepas kendali...(Jk blm mencapai kearahataan)...
  _/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

 

anything