Dalam kasus pemalakan, ya saya setuju bahwa korban di sini memang melakukan perbuatan "memberi" walaupun dengan pikiran gondok dan benci bukan main, yg berdampak pada penurunan kualitas "memberi"nya.
sebaliknya dalam kasus lainnya, korban tidak memberi, karena apakah si korban akhirnya memutuskan untuk merelakan benda-benda miliknya, faktor ini tidak penting di sini. rela atau tidak rela, benda-benda miliknya tetap tidak akan kembali.
Yang saya fokus baru 'kesempatan'-nya dulu. Soal pikiran yang memicunya atau perasaan yang menyertainya, sebetulnya masih belum dibahas.
Tapi tampaknya kita bisa setuju bahwa dalam pemalakan, ada kesempatan untuk memutuskan memberi atau tidak, sedangkan dalam jambret, rampok, perkosa, tidak ada keputusan tersebut karena si pelaku langsung melakukannya terhadap kita. Pilihan yang ada hanyalah: menerima (membiarkan, merelakan, dsb) atau menolak (melawan, merebut kembali, mengejar, dsb).
---
Sekarang ke pikiran & perasaannya. Kalau kita bahas secara umum, mungkin saja kebanyakan yang terjadi adalah kebencian (penolakan) terhadap si pemalak, dan pemberiannya juga adalah terpaksa. Tapi saya punya 3 kasus, semuanya adalah pengalaman pribadi.
1. Sewaktu saya masih kecil, di satu Plaza, pernah dipalak. Setelah intimidasi bertele-tele, akhirnya saya dengan terpaksa memberi Rp. 5000,- (saat itu lumayan juga nilainya).
2. Suatu kali saya sedang mengurus birokrasi kampus dan sangat buruk mood-nya, ketika pulang ada yang menghampiri dan meminta uang untuk minum. Dengan muka masam tapi berusaha untuk tetap sopan, saya katakan, 'maaf, tidak ada.' Dalam pikiran saya, kalau dia maksa, saya akan lawan. Tapi ternyata dia hanya senyum kecil, 'oh, ya sudah.' Entahlah dia punya "mata-dewa" dan melihat dompet saya betulan kosong atau apa.
3. Yang ini seru. Saya pulang kuliah bersama seorang teman, lalu ada orang mabuk nekad menodong kami dengan kapak. (Yah, orang mabuk memang tidak berpikir panjang, maka jangan lupa sila 5.) Lalu teman saya ini memegang tangannya, mendorongnya ke tembok. Posisinya seperti kodok laboratorium sudah ditancap di papan fiksasi, mau 'dibongkar' pun sudah gampang sekali, tapi kemudian saya malah kasihan karena dia ketakutan (mungkin karena tidak berdaya). Lalu saya keluarkan dompet, saya bilang, "nih, uang saya hanya segini," dan saya berikan uang di dompet yang tinggal Rp. 1000,- itu ke dia, dan dia ambil lalu lari.
Kejadiannya sama, pemalakan. Yang nomor 2 ini hanya contoh bagi orang2 "cerdas" yang tidak memahami bahwa dalam pemalakan itu belum tentu terjadi 'transaksi', berbeda kalau jambret/rampok/perkosa, pasti sudah ada 'transaksinya'.
Kejadian nomor 3 ini memberikan contoh bahwa dalam pemalakan, kadang posisi korban lebih kuat dan bisa untuk menolak. Tapi di sini pun dengan pertimbangan tertentu, bisa jadi diberikan. Menurut saya, ada pikiran-pikiran mendasari perbuatan ini yang membuat pemberian itu BISA disebut berdana juga. Oleh karena itu, selain perbuatannya, kondisi pikiran mempengaruhi apakah suatu pemberian bisa disebut berdana. (Otomatis sebaliknya, pemberian dengan kondisi pikiran tertentu, bisa juga menyebabkan satu pemberian tidak bisa dibilang berdana.)
Bagaimana menurut Bro Indra?